Anda di halaman 1dari 14

“KAJIAN ISU PSIKOLOGI”

GENITO-PELVIC PAIN DISORDER (1902531050)


CARL GUSTAV JUNG

PROGRAM STUDI SARJANA PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2020
MENINGKATNYA KASUS DEPRESI YANG BERUJUNG
BUNUH DIRI PADA MAHASISWA, MENGAPA TERJADI?

Sebagai manusia, tentunya kita memiliki berbagai permasalahan hidup


baik dalam dimensi sosial, finansial, akademis dan lainnya. Tidak semua masalah
yang sedang kita alami dapat dengan mudah terselesaikan. Pada kondisi inilah
seseorang dituntut untuk menjadi sosok yang pantang menyerah, tabah dan kuat
untuk melalui semua yang sedang dihadapi. Berdasarkan pada kasus bunuh diri
yang dilakukan oleh mahasiswa asal Samarinda akibat skripsinya ditolak,
mahasiswa tersebut memiliki ketahanan terhadap stres yang rendah (Kompas, 15
Juli 2020). Sehingga, individu tidak mampu bertahan dalam menghadapi
permasalahannya yang sedang terjadi. Kesulitan dalam menemukan jalan keluar
dari masalah yang dihadapi membuat seseorang merasa stres kemudian depresi
dan berujung untuk mengakhiri hidup.
Pada Januari lalu, terdapat sebuah berita menyatakan bahwa mahasiswi di
Yogyakarta ditemukan tewas bunuh diri di dalam kamar kos akibat stres dengan
skripsi. Berdasarkan informasi yang didapat, alasan korban melakukan tindakan
bunuh diri diduga karena memiliki kesulitan dalam menyelesaikan skripsi dan
mempunyai masalah keluarga (Detik.com, 31 Januari 2020). Tidak hanya itu,
pada tahun 2019 telah terjadi kasus yang sama seperti yang menungkapkan bahwa
terdapat 20 persen mahasiswa di Bandung memiliki pemikiran serius mengenai
bunuh diri (Kompas, 12 Oktober 2019). Dengan adanya kasus seperti ini, maka
harus mencari tahu lebih lanjut mengenai faktor risiko dan faktor pemicu perilaku
bunuh diri. Sehingga, dapat diketahui bahwa tidak ada faktor tunggal yang
menyebabkan seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Bunuh diri juga
dapat disebut sebagai titik klimaks dari permasalah yang sedang dialami setiap
individu.
Bunuh diri merupakan suatu perilaku yang memiliki potensi bagi individu
untuk menyakiti atau melukai diri dengan tujuan mangakhiri hidup (Wenzel, et
al., 2009). Pada tahun 2016, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyatakan
bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-8 sebagai negara dengan kasus bunuh
diri terbanyak diantara negara-negara ASEAN. Upaya bunuh diri paling sering
dilakukan oleh individu dengan rentang usia 15 – 29 tahun (Valentina & Helma,
2016). Hal tersebut karena masa transisi dari sekolah ke perguruan tinggi
membuat seseorang mengalami perasaan tertekan, bingung, cemas, kesepian dan
stres (Assari, 2018). Terdapat dua faktor yang menyebabkan seseorang berniat
untuk mengakhiri hidupnya yaitu faktor risiko dan faktor pemicu. Faktor risiko
tindakan bunuh diri antara lain adalah depresi, permasalahan keluarga,
kecemasan, masalah finansial, keputusasaan, perasaan terisolasi dalam lingkungan
sosial, kesepian, ketidakberdayaan permasalahan dalam menjalin hubungan
dengan orang lain (Yozwiak, et al., 2017). Sementara, faktor pemicu yang dapat
membuat individu melakukan bunuh diri adalah kurangnya dukungan sosial yang
diterima dari orang tua dan teman sebaya di masa awal perkuliahan (Tao, Dong,
Pratt, Hunsberger, & Pancer, 2007 dalam Hope & Smith-Adcock, 2015).
Depresi diartikan sebagai gangguan mental kronis yang menyebabkan
terjadinya perubahan suasana hati, tingkah laku, kondisi kesehatan serta
pemikiran. Gangguan ini bersifat umum namun dalam konteks yang serius,
lantaran dapat mengakibatkan penurunan kapabilitas individu dalam menjalankan
aktivitas harian (Fekadu, et al., 2017). WHO menyatakan bahwa ada sekitar 264
juta orang di dunia yang menderita depresi dan 36,4 % diantaranya adalah
mahasiswa (Association for University and College Counselling Center Directors,
2016). Depresi dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab seperti faktor
psikologis, masalah akademis, ekonomi, orientasi seksual, penyalahgunaan zat
adiktif, faktor hormonal dan sebagainya. Namun, sebuah jurnal menyatakan
bahwa faktor biologis dan psikologis memiliki kaitan yang sangat relevan dengan
adanya ide bunuh diri. Sementara faktor keluarga, faktor orientasi seksual dan
faktor lingkungan tidak berhubungan dengan adanya suicidal thoughts atau
suicidal ideation (Aulia dkk, 2019). Ketika individu memiliki permasalahan dan
tak kunjung menemukan solusi, individu akan memilih untuk bunuh diri karena
memiliki ketidakberdayaan dalam menjalani kehidupan dan berkeinginan agar
semua masalah yang sedang hadapi segera berakhir (Dewi & Hamidah, 2013) .
Perasaan depresi tersebut pun akhirnya menjadi faktor pemicu seseorang
melakukan tindakan bunuh diri. Setidaknya, sekitar 800.000 jiwa melayang akibat
bunuh diri (Tentama dkk, 2019). Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
memberikan dukungan pada orang yang memiliki suicidal thoughts, antara lain
adalah menghubungi tenaga profesional seperti psikiater atau psikolog, tidak
mengkritik atau menyalahkan orang tersebut, memberi ruang kepada seseorang
untuk bercerita dengan rasa aman serta mencari tahu seberapa tinggi tingkat risiko
bunuh diri yang direncanakan.
Agar peristiwa bunuh diri tidak terulang kembali, ada beberapa cara yang
dapat dilakukan, salah satu contohnya adalah dengan menemukan strategi coping
yang tepat. Strategi yang paling sering digunakan dalam menyelesaikan masalah
adalah problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused
coping dapat digunakan ketika individu mengambil tindakan guna merubah
keadaan yang menyebabkan seseorang stres. Sementara, emotion-focused coping
ialah kondisi dimana individu berusaha untuk mengubah emosi negatif yang
sedang dirasakan akibat permasalahan yang membuat individu stres. Pada
dasarnya, kedua strategi tersebut memiliki jangkauan yang luas. Seperti misalnya,
ketika individu merasa putus asa dalam menjalani hidup dan memiliki keinginan
untuk bunuh diri, maka individu tersebut akan mengambil langkah yaitu
menghubungi tenaga profesional sebagai bentuk dari problem-focused coping
(Horwitz, et al., 2011). Terdapat penelitian yang dilakukan terkait coping
strategies dan depresi seperti penggunaan metode emotional-focused coping
diketahui memiliki hubungan yang erat dengan depresi (Elliot & Frude, 2001;
Rafnsson, Jonsson & Windle, 2006 dalam Horwitz, et al., 2011). Sedangkan
problem-focused coping dianggap berkaitan negatif dengan depresi dan
keputusasaan (Li, DiGiuseppe & Froh, 2006; Elliot & Frude, 2001 dalam
Horwitz, et al., 2011).
Telah dilakukan sebuah riset kecil mengenai Masculinity-Coping Model
dengan melibatkan 246 remaja dengan rentan usia 14-18 tahun yang duduk di
kelas 9-12 yang berasal dari 4 sekolah negeri dan 1 sekolah swasta khusus
perempuan di lokasi metropolitan. Studi tersebut menunjukkan bahwa coping
strategies berhubungan dengan pemikiran bunuh diri pada remaja (Li, DiGiuseppe
& Froh, 2006). Akan tetapi, penggunaan metode emotion-focused coping dan
avoidant coping terhadap orang dewasa dianggap lebih berisiko karena tingginya
pikiran untuk bunuh diri (Edwards & Holden, 2001; Marusic & Goodwin, 2006;
Pienaar, Rothmann & Van De Vijver, 2007 dalam Horwitz, et al., 2011). Pada
umumnya emotion-focused coping lebih banyak diterapkan oleh perempuan dan
laki-laki lebih menggunakan metode problem focused-coping. Studi lain
mengungkapkan bahwa problem-focused coping hanya mengatasi sebagian kecil
penyebab dari depresi. Berbeda halnya dengan emotion-focused coping dan
avoidant coping yang memberikan strategi coping secara positif dalam mengatasi
suicidal thoughts dan depresi pada remaja atau mahasiswa (Baker & Berenhaum,
2007; Folkmann & Lazarus, 1980 dalam Horwitz, et al., 2011). Setiap individu
perlu untuk meningkatkan pemahaman dalam menanggulangi tingkah laku depresi
dan pemikiran bunuh diri. Selain itu, hal ini juga dapat menambah informasi
mengenai program pencegahan dan perawatan yang efektif dalam merespon stres.
Setiap orang dapat berkontribusi dalam mencegah peilaku bunuh diri baik
pada remaja, mahasiswa maupun orang dewasa. Penulis menyarankan untuk mulai
mengenali dan memahami tanda-tanda dari individu yang berniat untuk
melakukan bunuh diri. Selain itu, kita juga perlu untuk memberikan semangat
kepada seseorang sebagai bukti bahwa orang-orang disekitarnya memiliki
kepedulian terhadapnya dan diharapkan kepada semua masyarakat untuk tidak
mengkritik atau membicarakan orang lain tanpa tahu apa yang orang lain sedang
alami dan kondisi psikis seseorang pada saat itu. Keluarga juga memiliki peran
yang cukup besar dalam masalah ini. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan
menciptakan hubungan yang baik antar anggota keluarga, bertanya mengenai
perasaan individu setiap hari, selalu memberikan dukungan dan tidak membiarkan
salah satu anggota keluarganya menyelesaikan suatu masalah secara sendirian.
Tidak hanya keluarga, pihak-pihak tertentu seperti sekolah, perguruan tinggi
bahkan perkantoran juga perlu memberikan layanan konseling kepada para siswa
maupun karyawannya agar dapat meminimalisir terjadinya peristiwa yang tidak
diinginkan. Dan yang tidak kalah penting, baik dari pemerintah, lembaga
organisasi dan lainnya sangat diharapkan untuk mulai memberikan penyuluhan
dan edukasi secara langsung maupun melalui media sosial mengenai tindakan
bunuh diri, faktor risiko dan pemicunya, cara mendeteksi dini dan pencegahannya.
Sebagai mahasiswa, terdapat hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
aksi bunuh diri pada sesama yaitu dengan mencari tahu sejauh mana seseorang
memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidupnya, menjadi pendengar yang baik
ketika seseorang menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi, tidak
menyalahkan dan tidak menghakimi individu yang memiliki keinginan untuk
bunuh diri serta berusaha untuk memberikan bantuan dengan mengantarkan
seseorang ke tenaga profesional.
Daftar Pustaka

Aulia, N., Yulastri, Y., & Sasmita, H. (2019). Analisis Hubungan Faktor Risiko
Bunuh Diri dengan Ide Bunuh Diri pada Remaja. Jurnal Keperawatan,
11(4), 307-314.

Assari, S. (2018). Multiplicative Effects of Social and Psychological Risk Factors


on College Students’ Suicidal Behaviors. Brain Sciences, 8(5), 91.

Dewi, L. A. K & Hamidah. (2013). Hubungan antara Kesepian dengan Ide Bunuh
Diri pada Remaja dengan Orangtua yang Bercerai. Jurnal Psikologi Klinis
dan Kesehatan Mental, 2(3), 24-33.

Fekadu, N., Shibeshi, W., & Engidawork, E. (2017). Major Depressive Disorder:
Pathophysiology and Clinical Management. Journal of Depression and
Anxiety, 6(1). https://dx.doi.org/10.4172/2167-1044.1000255

Hardiyanto, S. (2020, July 15). Viral Soal Kasus Bunuh Diri Mahasiswa Karena
Skripsinya Ditolak Dosen, Ini Analisis Pengamat Pendidikan. Retrieved
October 31, 2020 from
https://amp.kompas.com/tren/read/2020/07/15120405165/viral-soal-kasus-
bunuh-diri-mahasiswa-karena-skripsinya-ditolak-dosen

Hope, K. J., & Smith-Adcock, S. (2015). A Reason To Live: Can Understanding


Close Friendship In College Prevent Suicide?. College Student Affairs
Journal, 33(1), 85-104.

Horwitz, A. G., Hill, R. M., & King, C. A. (2011). Specific Coping Behaviors In
Relation To Adolescence Depression and Suicidal Ideation. Journal of
Adolescence, 34(5), 1077-1085
https://dx.doi.org/10.1016/j.adolescence.2010.10.004
Li, C. E., DiGiuseppe, R., & Froh, J. (2006). The Roles of Sex, Gender and
Coping in Adolescent Depression. Adolescence, 41(163), 409.

Reetz, D. R., Krylowicz, B., & Mistler, B. (2016). The Association for University
and College Counselling Center Directors Annual Survey. Retrieved from
Association for University and College Counselling Center Directors:
https://www.aucccd.org/director-surveys-public.

Salsabhilla, A., & Panjaitan, R., U. (2019). Dukungan Sosial dan Hubungannya
dengan Ide Bunuh Diri Pada Mahasiswa Rantau. Jurnal Keperawatan
Jiwa, 7(1), 107-114.

Susanti, R. (2019, October 12). 20 Persen Mahasiswa Di Bandung Berikir Serius


untuk Bunuh Diri. Kompas.com. Retrieved from
https://amp.kompas.com/bandung/read/2019/10/12/19563181/20-persen-
mahasiswa-di-bandung-berpikir-serius-untuk-bunuh-diri

Tentama, F., Mulasari, S. A., Sukesi, T. W., & Sulistyawati, S. (2019).


Penyuluhan dan Pendampingan pada Korban Selamat Percoban Bunuh
Diri di Gunung Kidul. International Journal of Community Service
Learning, 3(1), 27-32.

Tuasikal, A. N. A. & Retnowati, S. (2018). Kematangan Emosi, Problem-Focused


Coping, Emotion-Focused Coping dan Kecenderungan Depresi pada
Mahasiswa Tahun Pertama.Gadjah Mada Journal of Psychology
(GAMAJOP), 4(2), 105-118 https://dx.doi.org/105-118.
10.22146/gamajop.46356

Valentina, T. D., & Helmi, A. F. (2016). Ketidakberdayaan dan Perilaku Bunuh


Diri: Meta-Analisis. Buletin Psikologi, 24(2), 123-135.
https://dx.doi.org/10.22146/buletinpsikologi.18175
Wawan, J. H. S. (2020, January 31). Diduga Stres Skripsi, Mahasiswa Yogya
Tewas Bunuh Diri dalam Kos. Retrieved from
https://m.detik.com/newa/berita-jawa-tengah/d-4880262/diduga-stres-
skripsi-mahasiswa-yogya-tewas-bunuh-diri-dalam-kos/1

World Health Organization. (2020, January 30). Depression. Retrieved from


https://www.who.int.news-room/fact-sheets/detail/depression

Yozwiak, J. A., Lentzsch-Parcells, C. M., & Zapolski, T. C. (2017). College


Students and Suicide. International Journal of Child Health and Human
Development, 10(4), 311-318.
Lampiran 1. Artikel Berita

Diduga Stres Skripsi, Mahasiswa Yogya Tewas Bunuh Diri dalam


Kos

Sumber: www.news.detik.com
Oleh: Jauh Hari Wawan S.
Jumat, 31 Januari 2020 11.07 WIB
Seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta
ditemukan meninggal dunia di kamar kos di Dusun Jetis, Desa Tirtoadi, Mlati,
Sleman. Korban diduga meninggal dunia akibat bunuh diri.
”Iya benar ada laporan dugaan bunuh diri di daerah Dusun Jetis, Tirtoadi,
pada Kamis (30/1) malam," ujar Kanit Reskrim Polsek Mlati, Iptu Noor Dwi
Cahyanto, kepada wartawan melalui pesan singkat, Jumat (31/1/2020).
Korban diketahui atas nama FH (24), asal Jawa Timur. Berdasarkan keterangan
dari para saksi yang dikumpulkan, polisi menduga korban bunuh diri lantaran
depresi.
Korban diketahui mahasiswa perguruan tinggi swasta, dugaannya dia
bunuh diri karena depresi, dari info yang kami terima, sepertinya ada masalah
keluarga dan ada kesulitan (menyelesaikan) skripsi juga," bebernya.

Noor menjelaskan teman sesama penghuni kos melihat ada kaki di


dalamsebuah kamar kos yang sedang dibangun pada Kamis (30/1) malam. Saksi
tersebut kemudian memanggil temannya. Setelah dicek ternyata dia menemukan
korban dalam keadaan bersimbah darah.
Kemudian karena takut dan situasi kamar gelap saksi memanggil
temannya dan melihat korban sudah dalam keadaan bersimbah darah di dalam
kamar dengan posisi tengkurap dan kepala di sebelah barat, namun oleh saksi
lainnya korban dibalik sehingga menjadi posisi terlentang. Tujuannya untuk
memastikan korban masih hidup atau tidak. Namun ternyata korban sudah dalam
keadaan meninggal," ucapnya. Lebih lanjut, pada saat saksi menemukan korban,
saksi melihat ada gerinda tergeletak di dalam kamar.
"Saksi melihat gerinda yang biasa digunakan oleh pemilik kos untuk
memotong keramik berada di dalam kamar tempat korban ditemukan meninggal,"
katanya. Gerinda itu diduga kuat digunakan untuk bunuh diri. Pasalnya dari hasil
pemeriksaan tim dokter ditemukan luka terbuka pada bagian leher.
Dari hasil keterangan tim Dokter Puskesmas Mlati dalam hal ini Dokter
Putra korban diperkirakan meninggal lebih kurang 4 jam sebelum ditemukan.
Hasil pemeriksaan ada luka terbuka pada leher akibat dari gerinda yang yang
dipakai untuk melukai diri korban," jelasnya.
Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi kepada
siapapun untuk melakukan tindakan serupa. Bagi Anda pembaca yang
merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk
bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat
membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
Lampiran 2. Artikel Berita

“20 Persen Mahasiswa di Bandung Berpikir Serius untuk Bunuh Diri...”

Sumber: www.kompas.com
Oleh: Kontributor Bandung, Reni Susanti
Sabtu, 12 Oktober 2019 19.56 WIB
Kesehatan jiwa di kalangan akademisi hingga kini belum mendapatkan
perhatian atau menjadi prioritas. Padahal mahasiswa calon penerus pemimpin
bangsa dan menjadi prasy arat world class university.
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Teddy Hidayat mengatakan,
peristiwa tiga mahasiswabunuh diri di sebuah perguruan tinggi dalam waktu tiga
bulan menjadi bukti tingginya angka bunuh diri di kalangan mahasiswa.
“Sekaligus menjadi bukti kegagalan perguruan tinggi dalam memberikan
perlindungan dan keamanan mahasiswanya,” ujar Teddy kepada Kompas.com di
sela-sela World Mental Health Day di Bandung, Sabtu (12/10/2019).
Teddy mengatakan, sebuah survei dilakukan tahun ini pada mahasiswa
semester satu perguruan tinggi di Kota Bandung.
Hasilnya, ditemukan 30,5 persen mahasiswa depresi, 20 persen berpikir
serius untuk bunuh diri, dan 6 persen telah mencoba bunuh diri seperti cutting,
loncat dari ketinggian, dan gantung diri.
Perilaku bunuh diri, sambung Teddy, merupakan puncak dari berbagai
permasalahan yang dihadapi mahasiswa.
Tekanan akademis hingga ketidakjelasan kelulusan
Hal yang umum antara lain tekanan akademis, ketidakjelasan kelulusan,
ancaman drop out. Kemudian faktor keuangan dan biaya hidup, hubungan dengan
dosen, orangtua, serta muda mudi.
“Kendala lain yang tidak kalah penting adalah belum setiap perguruan
tinggi memiliki tim konseling. Kalaupun sudah ada belum dimanfaatkan oleh
mahasiswa,” tuturnya.
Hal lain yang mengherankan adalah hingga kini BPJS tidak membiayai
penderita bunuh diri karena dianggap penyakit yang dibuat sendiri.
Padahal banyak mahasiswa yang kehidupannya pas-pasan. Jangankan
berobat, untuk hidup sehari-hari saja kekurangan.
Kondisi Indonesia
Bunuh diri, sambung Teddy, merupakan masalah yang komplek, karena
tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal.
Perilaku bunuh diri diakibatkan interaksi dari faktor biologik, genetik,
psikologi, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Di dunia, setiap tahunnya 800.000 orang meninggal karena bunuh diri atau
setiap 40 detik satu orang meninggal karena bunuh diri.
Di Indonesia, 10.000 orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri
atau setiap satu jam satu orang meninggal bunuh diri.
“Bunuh diri adalah penyebab utama kedua kematian pada kelompok
remaja dan dewasa muda usia 15-29 tahun,” ucapnya.
Teddy menjelaskan, sebanyak 80-90 persen bunuh diri berhubungan
dengan gangguan mental-emosional, terutama depresi.
Sekitar 40 persen penderita depresi berpikir serius untk bunuh diri, dan 15
persen melakukannya.
Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2018 dengan menggunakan
alat ukur MINU untuk kelompok usia lebih dari 15 tahun angka prevalensi depresi
di Indonesia 6,1 persen atau 11.315.500 orang, dan Jawa Barat 2.310.000.
Dari angka tersebut, 4.526.200 orang Indonesia memiliki ide serius bunuh
diri dan 1.697.325 orang melakukannya.
Sedangkan untu Jabar 924.000 orang memiliki ide serius bunuh diri dan
346.500 orang melakukannya.
Bisa Dicegah
Teddy mengatakan, bunuh diri di kalangan akademisi bisa dicegah dengan
advokasi pada pihak penentu kebijakan di perguruan tinggi dan pemerintah
daerah.
Advokasi dilakukan agar kampus mengakui, kesehatan jiwa termasuk
bunuh diri merupakan masalah yang memerlukan perhatian dan komitmen untuk
menanggulanginya. Kemudian lakukan assesment dan mengidentifikasi
permasalahan. Lalu buat alur rujukan dan pelayanan termasuk pembiayaan mulai
dari kampus hingga ke tepat pelayanan kesehatan jiwa.
“Ada kampus di Kota Bandung yang memberi layanan kesehatan jiwa
untuk mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan sebesar 50 persen. Bagi yang
keuangannya terbatas dibebaskan biayanya,” ucapnya.
Upaya penting lainnya adalah pelatihan mental health first aid atau
pertolongan pertama pada krisis mental dan bunuh diri. Pelatihan singkat ini
berjalan 8-16 jam. Pelatihan dirancang bukan untuk melatih peserta menjadi
terapis, tetapi memberi peserta pengetahuan mengenai tanda-tanda krisis mental
seperti bunuh diri, mencederai diri, dan panik.
“Juga dipelajari keterampilan membantu seseorang yang tengah
mengalami krisis mental sampai dapat diatasi,” tuturnya.
Layanan konseling
Bunuh diri bisa terjadi di saat seseorang mengalami depresi dan tak ada
orang yang membantu. Jika Anda memiliki permasalahan yang sama, jangan
menyerah dan memutuskan mengakhiri hidup. Anda tidak sendiri. Layanan
konseling bisa menjadi pilihan Anda untuk meringankan keresahan yang ada.
Untuk mendapatkan layanan kesehatan jiwa atau untuk mendapatkan berbagai
alternatif layanan konseling, Anda bisa simak website Into the Light Indonesia di
bawah ini: https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/hotline-dan-
konseling/

Anda mungkin juga menyukai