Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Hyaline Membrane Disease (HMD) atau disebut juga Respiratory
Distress Syndrome (RDS)merupakan hasil dari ketidakmaturan dari paru-paru
dimana terjadi gangguan pertukaran gas. Berdasarkan perkiraan 30% dari
kematian neonatus diakibatkan oleh HMD atau komplikasi yang dihasilkannya
(Behrman, 2004 didalam Leifer 2007).
Hyaline membrane disease merupakan keadaan akut yang terutama
ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering
pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat
badan dibawah 1500 gram.
Pada HMD dapat menyebabkan hipoksia yang menimbulkan kerusakan
endotel kapiler dan epitel duktus alveolus. Kerusakan ini menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveolus dan terbentuk fibrin. Fibrin bersama-
sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang
disebut membran hialin.
Secara klinis bayi dengan HMD menunjukkan takipnea (>60 kali/menit),
pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory
grunting (merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis
lain, seperti, hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi
hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory atau asidosis campuran
(Bobak, 2005).
Jadi, Hyaline membrane disease merupakan hal yang paling sering
terjadi pada bayi premature yang disebabkan karena defisiensi surfaktan akibat
perkembangan imatur pada system pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah
surfaktan dalam paru.
B. ANATOMI FISIOLOGI PARU-PARU
Paru-paru berada di dalam rongga dada manusia sebelah kanan dan kiri
yang dilindungi oleh tulang-tulang rusuk. Paru-paru terdiri dari dua bagian,
yaitu paru-paru kanan yang memiliki tiga lobus dan paru-paru kiri memiliki
dua lobus.
Paru-paru sebenarnya merupakan kumpulan gelembung alveolus yang
terbungkus oleh selaput yang disebut selaput pleura.

1. Fungsi Paru-Paru
Paru-paru merupakan organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia
karena tanpa paru-paru manusia tidak dapat hidup. Dalam Sistem Ekskresi,
paru-paru berfungsi untuk mengeluarkan karbondioksida (CO2) dan uap air
(H2O).
Didalam paru-paru terjadi proses pertukaran antara gas oksigen dan
karbondioksida. Setelah membebaskan oksigen, sel-sel darah merah
menangkap karbondioksida sebagai hasil metabolisme tubuh yang akan dibawa
ke paru-paru. Di paru-paru karbondioksida dan uap air dilepaskan dan
dikeluarkan dari paru-paru melalui hidung.
2. Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat
permukaan aktif. Surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar
alveoli tetap mengembang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang
matur. Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada
gestasi 22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26
minggu,yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Produksi
surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang
terdapat pada sel alveolus. Pada bayi premature, produksi surfaktan seringkali
tidak memadai guna mencegah alveolar collapse dan atelektasis sehingga dapat
terjadi Respitarory Distress Syndrome (RDS).

C. KLASIFIKASI
Sindrom gawat nafas Respiratory Distress Syndrome (RDS)
dikelompokkan sebagai berikut(Bobak, 2005) :
a) Syndrom Gawat Nafas Klasik (Clasik Respyratory Distress Syndrome)
Thoraks atau dada berbentuk seperti bel disebabkan karena kekurangan
aerasi (underaration). Volume paru-paru menurun, parenkim paru-paru
memiliki pola retikulogranuler difusi, dan terdapat gambaran broncho
gram udara yang meluas ke perifer.
b) Sindrom Gawat Nafas Sedang - Berat (Moderately Severe Respiratory
Distress Syndrome)
Pola retikulogranuler lebih menonjol dan terdisribusi lebih merata. Paru-
paru hypoaerated. Dapat dilihat pada bronkhogram udara meningkat.
c) Sindrom Gawat Nafas Berat (Severe Respiratory Distress Syndrome)
Terdapat retikulogranuler yang berbentuk opaque pada kedua paru-paru
area cystic pada paru-paru kanan bisa manunjukan alveoli yang
berdilatasi atau empisema interstitial pulmonal dini.

D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Penyebab dari HMD ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu).
2. Gangguan atau defisiensi surfactan
3. Bayi prematur yang lahir dengan operasi caesar
4. Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur
atau prematur.
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan
perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan
surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat
konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi,
mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.
Kelainan dianggap terjadi karena faktor pertumbuhan atau pematangan
paru yang belum sempurna antara lain : bayi prematur, terutama bila ibu
menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu
dengan :
1. Diabetes
2. Toxemia
3. Hipotensi
4. SC
5. Perdarahan antepartum.
6. Sebelumnya melahirkan bayi dengan HMD.
Penyakit membran hialin diperberat dengan :
1. Asfiksia pada perinatal
2. Hipotensi
3. Infeksi
4. Bayi kembar.

E. PATOFISIOLOGI
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini.
Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru,
merupakan salah satu teori yang banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang
memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu
kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama
zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 – 24
minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke-35.

Gambar 1. Timeline Pembentukan surfaktan pada fetus


Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan
membuat stabil alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi
dengan mengurangi tegangan. Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC)
merupakan komposisi utama dalam surfaktan yang mengurangi surface
tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant-associated proteins yaitu SP - A,
SP - B, SP – C, dan SP – D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II
dengan proses multi-step dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki
kandungan fosfolipid yang tinggi. Lamellar bodies ini berikutnya diubah
menjadi lattice structure yang dinamakan tubular myelin. Penyebaran dan
adsorpi dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam
pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus.
Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara
fungsionil pada akhir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang
ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan kemampuan paru
untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali
kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya
dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha
inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya
ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan
menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi
metabolism anaerobic dengan penimbunan asam laktat dan asan organic
lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2)
kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin
dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan
atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke
jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan
mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
setan yang terdiri dari: atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi 
penurunan aliran darah paru  hambatan pembentukan substansi surfaktan
 atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan
atau kematian bayi.
F. PATOFLODIAGRAM
Bayi Prematur

Alveoli masih kecil, dinding thorak masih lemah

Pengembangan paru kurang sempurna

Produksi surfaktan kurang sempurna


(penurunan produksi surfaktan)

Ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi, dan


Kolaps alveoli saat ekspirasi

Paru-paru kaku

Perubahan fisiologis paru

Daya pengembangan paru (compliance) menurun

Ventilasi pulmonal terganggu

Metabolisme anaerob dengan penimbunan


Asam Laktat dan Asam Organik

Hipoksia

Ventilasi alveolus terganggu O2 kejaringan tidak adekuat asidosis

Pola napas tidak Nutrisi ke jaringan tidak adekuat atelektasis


efektif
Aliran darah ke jantung terganggu
lemas termogulasi terganggu
Gangguan pertukaarn gas

Devisit Hipertermi
nutrisi

G. MANIFESTASI KLINIS
Bayi penderita HMD biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan
berat badan antara 1200 – 2000 g dengan masa gestasi antara 30 – 36
minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 g
dan masa gestasi lebih dari 38 minggu. Gejala klinis biasanya mulai terlihat
pada beberapa jam pertama setelah lahir terutama pada umur 6 – 8 jam.
Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 24 – 72 jam dan setelah itu
keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan. Apabila
membaik gejala biasanya menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atalektasis
dan perforasi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan
keadaan klinis seperti :
1. Dispnea atau hiperpnea
2. Sianosis
3. Retraksi suprasternal, epigastrium, intercostals
4. Rintihan saat ekspirasi (grunting)
5. Takipnea (frekuensi pernafasan . 60 x/menit)
6. Melemahnya udara napas yang masuk ke dalam paru
7. Mungkin pula terdengar bising jantung yang menandakan adanya
duktur arteriosus yang paten
8. Kardiomegali
9. Bradikardi (pada HMD berat)
10. Hipotensi
11. Tonus otot menurun
12. Edem.
Gejala HMD biasanya mencapai puncaknya pada hari ke-3.
Sesudahnya terjadi perbaikan perlahan-lahan. Perbaikan sering
ditunjukan dengan diuresis spontan dan kemampuan oksigenasi bayi
dengan kadar oksigenasi bayi yang lebih rendah.
Kelemahan jarang pada hari pertama sakit biasanya terjadi antara
hari ke-2 dan ke-3 dan disertai dengan kebocoran udara alveolar
(emfisema interstisial, pneumotoraks), perdarahan paru atau
interventrikuler.
Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah)
mungkin dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada HMD yang
tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada
umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam
pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan
membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Gambaran Rontgen
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium
HMD yaitu :
 Stadium 1: Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit
bronchogram udara
 Stadium 2: Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru
dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas
sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi
paru
 Stadium 3: Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak
terlihat, bronchogram udara lebih luas
 Stadium 4: Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung
tak dapat diliha.
2. Laboratorium
Kimia darah :
 Meningkatnya asam laktat dan asam organik lain > 45 mg/dl
 Merendahnya bikarbonat standar
 pH darah dibawah 7,2
 PaO2 menurun
 PaCO2 meninggi.
3. Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan
arah dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi
pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural
jantung. 
4. Tes kocok (Shake test)
Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung
diambil melalui nasogastrik tube pada neonatus sebanyak 0,5 ml. Lalu
tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %, dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian
dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15 menit.
Pembacaan :
 Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD
 +1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi
HMD
 +2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung
 +3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa
gelembung pada dua deret 
 +4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh
permukaan neonatus matur 
5. Amniosentesis
Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan
terjadinya HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan
amnion dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal). Rasio
lesitin-spingomielin
I. PENATALAKSANAAN
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis
sebaik-baiknya,agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ
lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 – 37C) dengan meletakkan
bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 – 80%).
2. Pemberian oksigen harus berhati-hati.
Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang
baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru (bronchopulmonary
dysplasia (BPD)), kerusakan retina (fibroplasi retrolental / retinopathy of
prematurity (ROP)) dan lain-lain.1Untuk mencegah timbulnya komplikasi
ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen,
sebaiknya diantara 85 – 93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi
terjadinya ROP dan BPD.
Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi:
 Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang
cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 – 70
mmHg untuk distres pernafasan ringan.
 Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi
oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal
Continuous Positive Airway Pressure) terindikasi. NCPAP merupakan
metode ventilasi yang non-invasif. Penggunaan NCPAP sedini mungkin
(early NCPAP) untuk stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat rendah
(1000 – 1500gram) di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk
mencegah kolaps alveoli.Penggunaan humidified high flow nasal
cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP sedang digalakkan
di beberapa negara karena memiliki keefektivitasan yang sama dengan
NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.
 Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau
komplikasi yang menimbulkan apneu persisten. Ventilator mekanik
dihubungkan erat dengan terjadinya bronchopulmonary dysplasia (BPD)
dan juga meningkatkan risiko terjadinya trauma dan infeksi. Indikasi
rasional untuk penggunaan ventilator adalah
 pH darah arteri <7,2
 pCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih
 pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70 –
100% dan tekanan CPAP 6 – 10 cm H2O
 Apneu persisten
3. Pemberian cairan, glukosa dan elektrolit sangan berguna pada bayi yang
menderita penyakit membrane hialin.
Prinsip:
Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang
diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan
homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari-hari pertama diberiksan glukosa
5 -10 % dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan (60-
125 ml/kgbb/ hari). Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita,
harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena.
Pemeriksaan keseimbangan asam-basa tubuh harus diperiksa secara teratur
agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus :
kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi.
Kebutuhan basa ini sebagian dapat langsung diberikan secara intravena dan
sisanya diberikan secara tetesan. Pada pemberian NaHCO 3 ini bertujuan
untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 – 7,45. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan keseimbangan asam-basa tidak ada, NaHCO3 dapat diberikan
dengan tetesan. Cairan yang dipergunakan berupa campuran larutan glukosa
5- 10% dengan NaHCO3 1,5% dalam perbandingan 4:1. Pada asidosis yang
berat, penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa
yang diberikan sudah cukup adekuat.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi.
Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50 – 70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan
antara 45 – 60 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas
7,25 dengan saturasi oksigen antara 88 – 92%.
4. Pemberian antibiotika.
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai dengan
spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena
setiap 12 jam dan gentamisin 3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir
kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika
dihentikan.
5. Surfaktan
Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami
penyakit membran hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui
pipa endotrakea setiap 6 – 12 jam untuk total 2 - 4 dosis, tergantung jenis
preparat yang dipergunakan

J. KOMPLIKASI
Komplikasi jangka pendek (akut ) dapat terjadi :
1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi
dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea,
atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk
dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan
alat2 respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi
bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen
yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering
terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu.
BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan
pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan
defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa
gestasi.
2. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan
dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.
K. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat,
agama, tanggal pengkajian.
2) Riwayat Kesehatan
 Riwayat Maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti
perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau
intrapartus.
 Status Infant Saat Lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia),
bayi lahir melalui operasi caesar.
3) Data dasar pengkajian
 Cardiovaskuler
- Bradikardia (<100 kali/menit) dengan hipoksemia berat
- Murmur sistolik
- Denyut jantung normal
 Integumen
- Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
- Pitting edema pada tangan dan kaki
- Mottling (bintik-bintik seperti cat yang ada pada kulit bayi)
 Neurologis
- Immobilitas, kelemahan
- Penurunan suhu tubuh
 Pulmonary
- Takipnea ( >60 kali/menit)
- Nafas grunting
- Pernapasan cuping hidung
- Pernapasan dangkal
- Retraksi suprasternal dan substernal
- Sianosis
- Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
 Status Behavioral
- Letargi
4) Pemeriksaan Diagnostik
a. Set rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi
diafragma dengan over distensi duktus alveolar
b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
- Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan
cairan amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
- Lesitin/Spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih
mengindikasikan maturitas paru
- Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
- GDA : PaO2 80-100 mmHg, PaCO2>50 mmHg, saturasi oksigen
92%-94%, pH 7,3-7,45.
- Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release
potassium dari sel alveolar yang rusak.

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi – perfusi.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi atau
kelelahan, keterbatasan, dan pengembangan otot.
3. Hipotermi berhubungan dengan kekurangan lemak subkutan
4. Defisit nutrisi berhungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
I. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
(OTEK)
1. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi  Mengumpulkan dan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam, menganalisis data untuk
ketidakseimbangan diharapkan; memastikan kepatenan
ventilasi – perfusi. Luaran: pertukaran gas Tindakan jalan napas dan
Gejala tanda mayor Ekspetasi: meningkat * Observasi keefektifan pertukaran
- Subjektif : dispnea Dengan kriteria hasil: 1) Monitor frekuensi, irama, gas.
- Objektif : 1. Tingkat kesadaran meningkat kedalaman, dan upaya napas  Takipnea menandakan
 PCO2 meningkat 2. Dispnea menurun 2) Monitor pola napas (seperti distress pernafasan,
atau menurun 3. Bunti napas tambahan bradipnea, takikardia, mengorok menunjukkan
 PO2 menurun menurun hiperventilasi, kusmaul, upaya mempertahankan
 Takikardia 4. Pusing menurun chesynes-stckes, biot, ekspansi alveolar,
 pH Arteri 5. Peengelihatan kabur menurun ataksik) pernafasan cuping
meningkat/menuru 6. Diaforesis menurun 3) Monitor kemampuan batuk hidung untuk
n 7. Gelisah menurun efektif meningkatkan masukan
 Bunyi napas 8. Napas cupung hidung menurun 4) Monitor adanya produksi oksigen,
tambahan 9. PCO2 membaik sputum  Untuk mempermudah
Gejala tanda minor 10. PO2 membaik 5) Monitor adanya sumbatan mengeluarkan sputum
- Subjektif : pusing, 11. Takikardi membaik jalan napas  Untuk mengetahui
pengelihatan kabur 12. pH arteri membaik apakah ada sputum atau
- Objektif : sianosis, 13. sianosis membaik 6) Palpasi kesimetrisan ekspansi tidak
diaforesis, gelisah, 14. pola napas membaik paru  Untuk mengetahui
napas cuping hidung, 15. warna kulit membaik apakah ada penyumbatan
pola napas abnormal 7) Auskultasi bunyi napas jalan napas atau tidak
(cepat/lambat,  Untuk mengetahui
reguler/ireguler, 8) Monitor saturasi oksigen eksansi parunya simteris
dalam/dangkal, atau tidak simetris
warna kulit abnormal 9) Monitor nilai AGD  Apakah ada bunyi napas
(pucat, kebiruan), 10) Monitor hasil x-ray tambahan
kesadaran menurun. thoraks  Untuk mengetahui kadar
* Terapeutik oksigen dalam tubuh
1) Atur interval pemantauan  Untuk bisa menilai kadar
respirasi sesuai kondisi gas darah
pasien
2) Dokumentasi hasil
pemantauan  Supaya tidak terjadi
* edukasi kekurarngan atau
1) Jelaskan tujuan dan kelebihan Oksigen
prosedur pemantauan
2) Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam, Tindakan
penurunan energi atau diharapkan; * Obeservasi
kelelahan, keterbatasan, Luaran: pola napas efektif 1. Monitor jalan napas (frekuensi,  Untuk Membantu dalam
dan pengembangan otot. Ekspetasi: membaik kedalaman, usaha napas) membedakan perputaran
Gejala tanda mayor Dengan kriteria hasil:
Subjektif:- 1. Ventilasi semenit meningkat 2.Monitor bunyi napas tambahan ( pernafasan normal
Objektif : 2. Kapasitas vital meningkat gugling, mengi wheezing,  Untuk mengetahui
1. Batuk tidak 3. Diameter thoraks anterior rhonki kering) apakah ada bunyi napas
efektif posterior meningkat tambahan
2. Tidak mampu 4. Tekanan ekspirasi  Untuk mengethaui
batuk meningkat 3. Monitor sputum (jumlah, apakah ada sputum yang
3. Sputum berlebih 5. Tekanan inpirasi meningkat warna, aroma) mengahambat jalan
4. Mengi, wheezing 6. Dispnea menurun napas
dan/atau ronki 7. Penggunanan otot bantu *Teraputik
kering napas menurun 1. Pertahankan kepatenan jalan  Untuk mengetahui
5. Mekonium 8. Pemanjangan fase ekspirasi napas dengan chin lift apakah jalan napas paten
dijalan (pada menurun 2. Posisikan semifowler atau atau tidak
neonatus) 9. Ortopnea menurun fowler  Posisi ini dapat
Gejala tanda minor 10. Pernapasan cuping hidung memudahkan pernafasan
Subjektif: dispnea, sulit menurun dan menurunkan episode
bicara, ortopnea 11. Frekuensi napas membaik apnein, khususnya
Objektif: 12. Kedalaman napas membaik hipoksia, asidosis
1. Gelisah 13. Ekskursi dada membaik metabolic atau,
2. Sianosis hiperkapnea.
3. Bunyi napas 3. Berikan minum hangat  Untuk mengencerkan
menurun dahak dan untuk
4. Frekuensi napas 4. Lakukan fisioterapi dada mengurangi nyeri pada
berubah tenggorokan
5. Pola napas  Untuk mengeluarkan
berubah sputum yang tertumpuk
pada rongga thoraks

5. Lakukan pengisapan lendir  Untuk mengurangi


kurang dari 15 detik. jumlah sputum
6. Berikan oksigen  Untuk tetap menjaga
* Edukasi kepatenan kadar oksigen
1. Anjurkan asupan cairan 2000  Untuk mencegah agar
ml / hari tidak terjadi dehidrasi
2. Anjurkan teknik batuk efektif berat
* Kolaborasi  Untuk bisa
Kolaborasi pemberian bronkodilator, mengeluarkan sputum
ekspektoran, mukolitik (nebu) dengan baik

3. Hipotermi berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipotermia  Mengidentifikasi dan


dengan kekurangan keperawatan selama 3x24 jam, Tindakan mengelolah suhu tubuh
lemak subkutan diharapkan; * Observasi dibawah rentang
Gejala dan tanda minor Luaran: termoregulasi neonatus 1. Monitor suhu tubuh normal.
Subjektif:- Ekspetasi: membaik  Untuk mencegah
Objektif : kulit teraba Dengan kriteria hasil: 2.Identifikasi penyebab terjadinya syok
dingin, menggigil, suhu 1. Menggigil menurun (kekurangan lemak subkutan) hipovolemik
tubuh dibawah nilai 2. Akrosianosis menurun 3. Monitor tanda dan gejala akibat  Untuk bisa melakukan
normal. 3. Piloekresi hipotermia (hipotermia ringan: perawatan dengan cara
Gejala dan tanda mayor 4. Konsumsi oksigen menurun takipnea, menggigil, disartria, memakai selimut
Subjektif:- 5. Kutis memorata menurun hipertensi, diuresis,. Hipertermi hangat
Objektif: 6. Dasar kuku sianotik sedang: aritmia, hipotensi,  Hipotermia cenderung
1. Akrosianosis menurun apatis, koagulopati, refleks membuat bayi pada
2. Bradikardi 7. Suhu tubuh cukup menurun,. Hipotermia berat: stres, penggunaan
3. Dasar kuku meningkat oliguria, refleks menghilang, lemak tidak dapat
sianotik 8. Suhu kulit meningkat edema paru, asam basa diperbarui apabila ada
4. Hipoglikemi 9. Frekuensi nadi sedang abnormal). penurunan.
5. Hipoksia 10. Kadar glukosa darah sedang *Terapeutik
6. Pengisian kapiler 11. Pengisian kapiler meningkat 1) Sedikan lingkungan yang  Untuk menjaga bayinya
>3 detik 12. Ventilasi meningkat hangat (mis: atur suhu tetap hangat
7. Konsumsi runagan, inkubator)
oksigen 2) Ganti pakaian dan linen yang  Untuk menjaga bayinya
meningkat basah tetap hangat
8. Ventilasi 3) Lakukan penghangatan pasief  Untuk menjaga bayinya
menurun ( selimut, menutup kepala, tetap hangat
9. Piloreksia pakaian tebal)  Untuk menjaga bayinya
10. Takikardi 4) Lakukan penghangatan akitf tetap hangat
11. Vasokonstriksi eksternal (kompres hangat,
perifer selimut habgat, perawatan
12. Kutis memorata metode kangguru)  Mencegah bayinya
(pada neonatus) *Edukasi dehidrasi
Anjurkan makan/minum hangat
4. Defisit nutrisi berhungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi  Mengidentfikasi dan
dengan ketidakmampuan keperawatan selama 3x24 jam, Tindakan mengelolah asupan
menelan makanan diharapkan; nutrisi yang seimbang
Gejala dan tanda minor Luaran: status nutrisi bayi *Observasi
Subjektif:- Ekspetasi: membaik 1) Identifikasi status nutrisi
Objektif: berat badan Dengan kriteria hasil: 2) Identfikasi alergi dan
menurun minimal 10% 1. Berat badan meningkat intolerasi makanan
dibawah rentang ideal 2. Panjang badan meningkat 3) Identifikasi makanan yang
Gejala dan tanda mayor 3. Kulit kuning menurun disukai
Subjektif: 4. Sklerea kuning menurun 4) Identifikasi kebutuhan
1. Cepat keyang 5. Membran mukosa kuning kalori dan jenis nutrien
setelah makan menurun 5) Identifikasi perlunya
2. Kram/nyeri 6. Prematuritas menurun penggunanan sealng
abdomen 7. Bayi cengeng menurun nasogastrik
3. Nafsu makan 8. Pucat menurun 6) Monitor asupan makanan
menurun 9. Kesulitan makan menurun 7) Monitor berat badan
Objektif: 10. Alergi makan menurun 8) Monitor hasil pemeriksaan
1. Bising usus 11. Pola makan membaik laboratorium.
hiperaktif 12. Tebal lipatan kulit membaik * Teraputik
2. Otot pengunyah 13. Proses tumbuh kembang 1) Lakukan oral hygiene
lemah membaik sebelum makan
3. Otot menelan 14. Lapisan lemak membaik 2) Fasilitasi menentukan
lemah pedomaan diet
4. Membran mukosa 3) Sajikan makanan tinggi
pucat serat untuk mencegah
5. Sariawan konstipasi
6. Serum albumin 4) Berikan makanan tinggi
turun kalori dan tinggi protein
5) Berikan suplemen
7. Rambut rontok makanan
belebihan 6) Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogastrik
*Edukasi
1. anjurkan posisi duduk
2.Ajarkan diet yang diprogramkan
*Kolaborasi
1. kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan ( pereda nyeri,
antiemetik)
2. kolaborasi dengan ahli gizi
unuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrien yang dibuuhkan
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik.  2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta:


EGC.
Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal Pedoman untuk 
Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan KlienEdisi 2. Jakarta: EGC.
Kosim MS. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto
A, Dewi Rizalya, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2008. h. 126-45.
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to Maternity andPediatric Nursing. Saunders
Elsevier: St. Louis Missouri.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2005. Buku Kuliah 3Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Suriadi S.Kp, dan Rita Yuliani S.Kp. 2001.Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi
1. Jakarta: PT. Fajar Interpratama.

Anda mungkin juga menyukai