Harta
warisan sendiri berdasarkan definisinya adalah harta benda yang ditinggalkan orang yang
telah wafat (pewaris) untuk diberikan kepada ahli warisnya. Terkait harta bendanya, bisa
berupa aset bergerak seperti mobil, deposito, logam mulia, hingga uang. Atau bisa juga aset
tidak bergerak, misalnya rumah, tanah, ruko, dan bangunan lainnya. Namun perlu diketahui
juga, bahwa utang atau kewajiban sang pewaris juga dikategorikan sebagai harta warisan.
Pada prosesnya, pembagian harta warisan akan berpatok pada hukum waris yang berlaku.
Hukum waris menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, ialah hukum
yang mengatur mengenai kekayaan seseorang setelah ia meninggal, mengenai bagaimana
memindahkan kekayaan seseorang setelah ia tiada. Lebih lengkap membahas soal harta
warisan, akan terangkum dalam beberapa poin sebagai berikut.
Pasal yang mengatur tentang waris tertulis dalam 300 pasal, yang dimulai dari Pasal 830
sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata. Di samping itu, waris juga diatur dalam Inpres no. 1
Tahun 1991. Merujuk Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, harta warisan
adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Sesuai Pasal 830 KUHPerdata,
yang berhak disebut sebagai ahli waris adalah sebagai berikut:
Para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin (Pasal 852 perdata)
Suami atau istri yang hidup terlama
Oleh karenanya, pembagian waris menurut sistem Hukum Perdata diutamakan kepada
golongan pertama sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan. Pembagian
warisan menurut Hukum Perdata juga tidak membedakan porsi antara laki-laki dan
perempuan, sehingga dilakukan secara adil dan seimbang.
Berbeda dengan hukum Islam, dimana pembagian harta warisan antara laki-laki dan
perempuan akan berbeda porsinya. Mengapa demikian? Selengkapnya akan dijelaskan dalam
pembahasan di bawah ini.
Pada hukum Islam tentang harta warisan mengatur bahwa jumlah yang diterima laki-laki
adalah dua kali jumlah yang diterima perempuan. Hal ini merujuk pada ketentuan yang sudah
tertulis dalam Alquran, surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi:
Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.
Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang
dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Tafsir dari ayat di atas, jelas artinya bahwa harta warisan dibagikan jika memang orang yang
wafat meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun, sebelum harta warisan itu
diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terlebih dahulu mesti dikeluarkan sebagai
peninggalan dari mayit, yakni:
Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214. Dalam
pasal 171 KHI, ada beberapa ketentuan umum mengenai kewarisan ini, diantaranya:
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.
Pada beberapa kondisi di lapangan, ada sebagian masyarakat yang memilih untuk mengikuti
hukum adat sebagai patokan dalam pembagian harta warisan. Dalam materi Hukum Adat,
disebutkan bahwa di dalam masyarakat Indonesia tidak terdapat satu sifat
kekerabatan/kekeluargaan yang sama.
Ini lantaran di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai sifat kekerabatan yang dapat
dimasukkan dalam tiga macam golongan, sebagaimana dikutip dari jurnal Repository IAIN
Salatiga karya Sigit Sapto Nugroho, sebagai berikut:
Oleh karenanya, ketika membicarakan salah satu bidang Hukum Adat sebagai pegangan
dalam pembagian harta warisan, maka akan selalu dipengaruhi oleh sistem atau sifat
kekerabatan di atas. Sedangkan kalau melihat masing-masing sistem kekerabatan tersebut,
maka pengaruhnya terhadap hukum waris akan terlihat perbedaan-perbedaannya.
Berdasarkan definisinya, hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun
suku tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat daerah
tersebut. Hukum waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya, terlepas
dari hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut
agar harta warisan dibagikan kepada para waris, sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari
Pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris
mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat
saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara
bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.
Pembagian harta warisan secara tepat dan sesuai dengan hukum yang berlaku patut
dipertimbangkan untuk meminimalkan kemungkinan persengketaan antar anggota keluarga di
masa mendatang. Mau punya rumah sendiri tanpa harus nunggu warisan.
Golongan
suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam
I Ahli
yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendap
Waris
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunya
Golongan istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan at
II Ahli saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu
Waris saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian o
boleh kurang dari ¼ bagian.
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang menda
Golongan
adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh bagan
III Ahli
mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipeca
Waris
bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
Golongan Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam gar
IV Ahli masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis ya
Waris derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
Waris menurut Hukum Perdata adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang
mengatur akibat-akibat hukum. Umumnya di bidang hukum harta kekayaan karena kematian
seseorang, yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mendiang beserta akibat bagi para
penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga.
Golongan ahli waris menurut Hukum Perdata dapat dibedakan atas empat golongan.
5. Yang Perlu Dilakukan Sebelum Harta Warisan Dibagikan
Dalam Islam, bila ada seorang muslim yang meninggal dunia dan memiliki harta yang
ditinggalkan (tirkah), maka ada kewajiban sebelum melaksanakan pembagian harta warisan
kepada ahli waris. Kewajibannya adalah sebagai berikut.
Contoh kewajiban ini adalah zakat, kafarat dan gadai. Jadi, apabila terdapat pewaris
meninggal dunia dan ternyata ia memiliki tanggungan zakat, kafarat dan gadai misalnya,
maka tirkah atau harta peninggalannya harus digunakan untuk kepentingan ini.
Sebelum mewariskan harta si pewaris, harta miliki si pewaris harus digunakan untuk
biaya perawatan mayit seperti biaya untuk memandikannya, mengkafani hingga
menguburkannya.
Bila yang wafat masih memiliki hutang, maka harta peninggalannya (tirkah) harus
digunakan untuk membayar seluruh utang si pewaris.
Apabila pewaris sebelum meninggal dunia telah mewasiatkan sesuatu yang berkaitan
dengan hartanya (tirkah), maka wasiatnya harus didahulukan terlebih dahulu sebelum
membagi warisan.
Pengecualian ini secara legal didasarkan pada adanya Akta Waris yang sah terbitan
Notaris dan dibuat sebelum pengakuan kepemilikannya. Walaupun warisan tersebut
merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi ahli waris, namun tidak merupakan objek
pajak.
Warisan yang dimaksud ini adalah meliputi semua jenis harta baik itu harta yang
bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Walaupun warisan dikategorikan ke dalam
bukan objek pajak, namun tetap harus diperhatikan, apakah warisan tersebut sudah dibagikan
ataukah belum.