Anda di halaman 1dari 36

BAB I

1. PENGUKURAN RESISTANSI DENGAN METODA VOLT/AMPERE


1.1 Tujuan Percobaan
1. Menghitung nilai resistansi suatu resistor dari pengukuran menggunakan
metode VA meter.
2. Menjelaskan pemasangan VA meter yang tepat untuk pengukuran suatu
tahanan beban yang tinggi atau rendah
3. Menghitung kesalahan pengukuran

1.2 Alat dan Bahan


1. Catu daya DY 1 buah
2. Ampere meter 1 buah
3. Volt meter 1 buah
4. Resistansi yang telah diketahui harganya ( R L) 5 buah
5. Resistor R1 = 47Ω, R2 = 330Ω, R3 = 1KΩ, R4 = 100KΩ, R5 = 100MΩ

1.3 Dasar Teori


Mengukur nilai resistansi suatu resistor, selain bisa dilakukan dengan
menggunakan ohm meter, metode jembatan Wheatstone, juga dapat
dilakukan dengan menggunakan metode volt ampere meter.Volt meter dan
ampere meter mempunyai tahanan dalam (Rd) yang akan mempengaruhi hasil
pengukuran arus/tegangan rangkaian. metode Volt-Ampere untuk mengukur
resistansi pembumian. Metode ini menggunakan dua alat ukur yaitu
Voltmeter dan Ampere meter. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membandingkan hasil pengukuran resistansi pembumian menggunakan tiga
metode tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran resistansi
pembumian yang paling baik adalah metode tiga titik menggunakan alat
ukur Volt meter dan Ampere meter. Hal ini karena tidak pada metode ini
tidak diperlukan sumber dari luar dan paling banyak mengahsilkan hasil
pengukuran yang nilainya homogen. (Wicaksono, R. and Haris, 2007)
Perhatikan:

Gambar 1.1 Gambar Rangkaian Pengukuran Tahanan dengan metode Volt Ampere

Ra = Rd ampere meter
Rv = Rd volt meter
RL = Beban

Sehingga harga arus beban I L di pengaruhi oleh harga Ra dan Rb.


P = I2 R
2
V
P
R
Jadi I L yang terukur adalah :
RV
IL = ¿
RV + RL
Kesalahan pengukuran / error (%) dari hasil pengukuran

| |
V
−R
Error (%) = I X100%
R

R : harga resistansi sesuai dengan nilai-nilainya ( dari warna cincinnya )


1.4 Gambar Rangkaian

Gambar 1.2 Rangkaian Long shunt

Gambar 1.3 Rangkaian Short Shunt

1.5 Langkah Percobaan


1. Mengukur tegangan dan arus gambar rangkaian 1.1 untuk harga R L
( seolah – seolah tahu harganya )
R1=47Ω, R2=330Ω, R3=1KΩ, R4=100KΩ, R5=1MΩ. Catat dalam tabel
1.1
2. Mengukur tegangan dan arus dari gambar rangkaian 1.2untuk harga
R L, R1 = 47Ω, R2 = 330Ω, R3 = 1KΩ, R4 = 100KΩ, R5 = 100MΩ.
Mencatat dalam tabel 1.2
1.6 Hasil Percobaan

Tabel 1. 1 Hasil Percobaan Rangkaian 1 ( long shunt )

Rangkaian 1.1 R1 R2 R3 R4 R5
V 6V 6V 6V 6V 6V
I 0,125 A 0,017 A 0,0065 A 5X10−5 A 6X 10−5 A
Perhitungan R 48Ω 33Ω 1KΩ 100KΩ 1MΩ
Rangkaian 1.1 R1 R2 R3 R4 R5
V 6V 6V 6V 6V 6V
I 0,1275 A 0,0168 A 0,006 A 9,375 A 0,000036 A

Pewrhitungan R 45,490Ω 357,142Ω 1000Ω 64KΩ 166,666,667Ω

Tabel 1. 2 Hasil Percobaan Rangkaian 2 ( short shunt )


BAB II

2. JEMBATAN WHEATSTONE
2.1 Tujuan Percobaan
1. Mahasiswa diharapkan dapat mempelajari prinsip kerja jembatan
wheatstone
2. Mahasiswa dapat mengukur tahanan dengan jembatan wheatstone.

2.2 Alat dan Bahan


1. Catu daya DC 1 buah
2. Ampere meter 1 buah
3. Volt meter 1 buah
4. Resistansi yang telah diketahui harganya ( R L) 5 buah

2.3 Dasar Teori


Prinsip jembatan wheatstone sering digunakan dalam alat-alat ukur,
misalnya untuk mengukur tahanan yang tidak diketahui Rx. Pengukuran ini
berdasarkan sifat jembatan yang dapat dibuat setimbang.
Rangkaian jembatan wheatstone pada umumnya adalah seperti gambar 2.1

Gambar 2.1 Rangkaian Jembatan Wheatstone


Bila tidak ada arus yang mengalir melalui Galvanometer, atau tegangan BD
sama dengan nol (V BD = 0 volt), maka dikatakan jembatan dalam keadaan
setimbang. Dengan teorema rangkaian dan hukum kirchoff dapat dibuktikan
dalam keadaan setimbang akan berlaku persamaan :
V AB V AD R 1 R3
= atau =
V BC V DC R2 R4
……………………………………………………..2.1
Rangkaian-rangkaian jembatan dipakai secara luas untuk pengukuran nilai-
nilai komponen seperti resistor R, induktansi L dan Kapasitor C dan
parameter lainnya yang diturunkan secara langsung dari nilai-nilai komponen
seperti frekuensi, sudut fasa dan suhu. Karena rangkaian jembatan hanya
membandingkan nilai komponen yang tidak diketahui dengan komponen
yang besarnya diketahui secara tepat, tentu saja ketelitian hasil
pengukurannya akan sangat tinggi sekali. Pengukuran dengan rangkaian
jembatan adalah dsengan cara perbandingan , yaitu yang didasarkan pada
penunjukan nol dari kesetimbangan rangkaian jembatan. Oleh karena itu
ketelitian pengukuran ini adalah langsung sesuai dengan ketelitian komponen
yang tersedia pada rangkaian jembatan, bukan bergantung pada detektor
nolnya sendiri. (Herlan et al., 2014)
5. Gambar Rangkaian

Gambar 2.2 Rangkaian Pengukuran Tegangan Seri

Gambar 2.3 Rangkaian Pengukuran Tegangan Seri

Gambar 2.4 Rangkaian Pengukuran Tegangan Paralel

Gambar 2.5 Rangkaian Pengukuran Arus dengan Galvano Meter


6. Langkah percobaan
A. Pengukuran Tegangan
1. Membuat rangkaian seperti gambar 2.2a dan 2.2b
2. Mengukur tegangan V AB, V BC, V AD , dan V DC serta mencatat hasilnya pada
tabel 2.1
3. Menghitung tegangan pada titik-titik pengukuran diatas
4. Mengubungkan kedua gambar diatas (2.2.a dan 2.2.b) secara parallel
sehingga terbentuk gambar 2.3
5. Mengukur tegangan V AB, V BC, V AD , dan V BD
6. Mengukur pula arus antara titik D dengan titik B !
7. Mengganti R = 1 KΩ dengan R = 4,7 kΩ dan mengulangi Langkah ke 5
dan 6.
8. Mencatat hasil pengamatan serta mencatat hasilnya pada table 2.1

B. Pengukuran Arus
1. Membuat rangkaian seperti gambar 2.4
2. Mengatur tahanan geser sehingga ampere meter menunjukkan 0 (nol)
3. Melepas tahanan geser Rs dan mengukur besarnya resistensinya !
4. Dari hasil pengukuran diatas, menghitung nilai Rx.
5. Mengukur tahanan-tahanan Rx secara langsung !
6. Memasasukkan hasil pengamatan dalam table 2.2
C. Hasil Percobaan

Tabel 2.1 Hasil Pengukuran Tegangan Rangkaian Seri dan parallel

Gambar 2.1.a & 2.1b Gambar 2.2


R V AB V BC V AD V DC V AB V BC V AD V DC V BD I BD

28, 0,0
3,16 6,89 3,1 6,90 3,10 6,87 3,07 6,8
1 kΩ 5 1
V V V V 7v v 9v 9v
mV mA

4,7 0,4
6,92 3,13 3,15 6,90 6,80 3,16 3,07 6,9 3,7
kΩ 5
v v v v v 9v 7v 0v 0v
mA

Tabel 2.2 Hasil Pengukuran dan Perhitungan Arus Jembatan Wheatstone dengan
Galvanometer
Nilai Rx Rs Terukur Rx Terhitung Rx Terukur
2,2 KΩ 4,70 kΩ 2,136 kΩ 1,648 kΩ
1,2 KΩ 2,54 kΩ 1,1 kΩ 1,00 kΩ
1,5 KΩ 3,20 kΩ 1,45 kΩ 1,21 kΩ
4,7 KΩ 10,15 kΩ 4,61 kΩ 2,85 kΩ
100 Ω 221,1 kΩ 100,45 kΩ 94,3 kΩ
BAB III
PEMAKAIAN OSILOSKOP UNTUK MENGKUR TEGANGAN AC DAN
FREKUENSI
3.1 Tujuan
Setelah melakukan percobaan ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan bermacam-macam fungsi osiloskop
2. Menggunakan osiloskop untuk mengukur tegangan dan bentuk
gelombang
3. Menggunakan osiloskop untuk mengukur amplitude dan frekuensi
gelombang bolak balik.
3.2 ALAT DAN BAHAN
1. Osiloskop
2. Generator fungsi
3. Kapasitor 4,7 µF 16V, 220 nF
4. Resistor 1k Ω
5. Jumper secukupnya
3.3 Dasar Teori
Osiloskop merupakan suatu alat peukur, yang bentuk gelombang
sinyal listrik diukur, tergambar pada layar tabung sinar katoda. Osiloskop
digunakan untuk melihat bentuk sinyal yang sedang diamati. Dengan
Osiloskop maka kita dapat mengetahui berapa frekuensi, periode dan
tegangan dari sinyal. Display menyerupai tampilan layar televisi hanya saja
tidak berwarna warni dan berfungsi sebagai tempat sinyal uji ditampilkan.
Pada layar ini terdapat garisgaris melintang secara vertikal dan horizontal
yang membentuk kotak-kotak dan disebut div. Pada umumnya osiloskop
terdiri dari dua kanal yang bisa digunakan untuk melihat dua sinyal yang
berlainan, sebagai contoh kanal satu untuk melihat sinyal masukan dan
kanal dua untuk melihat sinyal keluaran. Osiloskop dapat digunakan untuk
mengukur tegangan DC (Direct Current) ataupun tegangan AC (Alternating
Current) dari suatu rangkaian (Sinusoida, Gigi Gergaji dan Kotak),
Tegangan Sinusoida (SYAHRUL, 2008)
Gambar 3.1. Tegangan Sinusoida

T = Periode
T = 1/f
Vpp = Tegangan puncak ke puncak
Vp = Tegangan puncak /Vm
Vrms = Tegangan Efektif = 0,707 V
Vav = Tegangan rata-rata = 0,636 Vm
Osiloskop dapat digunakan untuk mengukur frekuensi tegangan bolak-
balik. Untuk pengukuran frekuensi dengan osiloskop yang diperhatikan
adalah :
1. Posisi Time/div (T/div)
2. Bila saat T/div = 1 ms, satu gelombang (T) = 1 kotak, maka
1
f = T
1
f = 1.10−3

f = 1 KHz
Saat T/div = 0,5 ms, satu gelombang 5 kotak
1
f = T
1
f = 2,5 = 400 Hz
3
10
f = 2,5
3.4 Gambar Rangkaian

Gambar 3.2. Gambar Rangkaian Osiloskop

Gamb
ar 3.3. Gambar Rangkaian Osiloskop
3.5 Langkah Percobaan
3.5.1 Kalibrasi
1. Menghubungkan osiloskop dengan tegangan jala – jala
2. Menyalakan osiloskop, tunggu beberapa saat sampai muncul berkas
elektron pada layar
3. Mengatur posisi gambar pada layar sehingga rerletak di tenga – tengah
4. Menghubungkan terminal masukan A dengan terminal kalibrasi yang ada
pada panel depan seperti table 3.2
5. Amplitudo sinyal kalibrasi harus sesuai dengan yang tertera pada
kalibrasi osiloskop yaitu sebesar 1 Vpp
6. Mengukur tegangan serta periodenya untuk beberapa harga volt/div dan
time/div sesuai dengan data pada table 3.1
7. Mengulangi langkah diatas untuk masukkan B
3.5.2 Pengukuran Tegangan AC (Bolak Balik)
1. Menyusun rangkaian seperti gambar 3.3. pada multisim
2. Mengatur frekuensi generator sinyal pada 500 Hz, kemudian setelah
selesai mengubah posisi menjadi 1 KHz dan juga 2 KHz
3. Dengan tegangan susuai table 3.2., bentuk tegangan dilihat dengan
osiloskop
4. Mengukur tegangan dengan voltmeter, lalu memasukan hasil
pengamatan kedalam table 3.1. 3.2
5. Mengambil screenshot hasil kedalam table 3.2.
3.5.3 Pengukuran Frekuensi
1. Menghubungkan keluaran dari generator fungsi dengan memasukan
kanal A, saklar fungsi generator dipasang pada posisi sinus seperti
gambar 3.3.
2. Mengamati bentuk gelombang yang ditampilkan di layar, mengukur
frekuensinya. Kemudian mencatat hasil penunjukan frekuensi dari
generator fungsi. Screenshot hasil percobaan kedalam table 3.2.
3. Membandingkan hasil pengukuran frekuensi menggunakan osiloskop
dengan frekuensi yang ditunjukan oleh generator.
4. Mengulangi langkah 2 dan 3 untuk gelombang segi empat.
3.6 Hasil Percobaan

1. Kalibrasi Pada Osiloskop


Tabel 3. 1. Gambar Percobaan Kalibrasi Osiloskop

Gambar Percobaan Keterangan

Tegangan = 2
Vpp V/div = 1
V/div T/div = 1 ms T/div
Gambar 3. 5. Kalibrasi Osiloskop Frekuensi = 500 Hz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div T/div = 0,5 ms
Gambar 3. 6. Kalibrasi Osiloskop T/div Frekuensi = 500 Hz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V VaV
= 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = Vpp
V/div = V/div
T/div = 0,2 ms T/div
Gambar 3. 7. Kalibrasi Osiloskop Frekuensi = 500 Hz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V VaV
= 1 × 0,636 = 0,636 V
2. Pengukuran AC (bolak-balik)
Tabel 3. 2. Gambar Percobaan Pengukuran Ac (bolak-balik)

Gambar Percobaan Keterangan

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 2 ms T/div
Gambar 3. 8. Pengukuran AC Frekuensi = 500 Hz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 2 ms T/div
Frekuensi = 1 kHz
Gambar 3. 9. Pengukuran AC
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 2 ms T/div
Gambar 3. 10. Pengukuran AC Frekuensi = 2 kHz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V
Tegangan = 4 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 1 ms T/div
Gambar 3. 11. Pengukuran AC Frekuensi = 500 Hz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V

Tegangan = 4 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 1 ms T/div
Gambar 3. 12. Pengukuran AC Frekuensi = 1 kHz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V

Tegangan = 4 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 1 ms T/div
Gambar 3. 13. Pengukuran AC Frekuensi = 2 kHz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V

Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 5 ms T/div
Gambar 3. 14. Pengukuran AC Frekuensi = 500 Hz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V
Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 5 ms T/div
Gambar 3. 15. Pengukuran AC Frekuensi = 1 kHz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V

Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 5 ms T/div

Gambar 3. 16. Pengukuran AC


Frekuensi = 2 kHz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 2 ms T/div
Gambar 3. 17. Pengukuran AC Frekuensi = 500 Hz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 2 ms T/div
Gambar 3. 18. Pengukuran AC Frekuensi = 1 kHz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V
Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 2 ms T/div

Gambar 3. 19. Pengukuran AC


Frekuensi = 2 kHz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = 4 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 1 ms T/div
Gambar 3. 20. Pengukuran AC Frekuensi = 500 Hz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V

Tegangan = 4 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 1 ms T/div
Gambar 3. 21. Pengukuran AC Frekuensi = 1 kHz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V

Tegangan = 4 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 1 ms T/div
Gambar 3. 22. Pengukuran AC Frekuensi = 2 kHz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V
Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 5 ms T/div
Gambar 3. 23. Pengukuran AC Frekuensi = 500 Hz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V

Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 5 ms T/div
Gambar 3. 24. Pengukuran AC Frekuensi = 1 kHz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V

Tegangan = 6 Vpp
V/di = 1 V/div
T/div = 5 ms T/div
Gambar 3. 25. Pengukuran AC Frekuensi = 2 kHz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V
3. Pengukuran Frekuensi
Tabel 3. 3. Gambar Percobaan Pengkuran Frekuensi

Gambar Percobaan Keterangan

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 0,5 ms T/div
Gambar 3. 26. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 500 Hz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 0,5 ms T/div
Gambar 3. 27. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 1 kHz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 0,5 ms T/div
Gambar 3. 28. Pengukuran Frekuensi
Frekuensi = 2 kHz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V
Tegangan = 2 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 0,5 ms T/div
Gambar 3. 29. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 10 kHz
Vp = 2 × 0,5 = 1 V
Vrms = 1 × 0,707 = 0,707 V
VaV = 1 × 0,636 = 0,636 V

Tegangan = 3 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 0,2 ms T/div
Gambar 3. 30. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 500 Hz
Vp = 3 × 0,5 = 1,5 V
Vrms = 1,5 × 0,707 = 1,060 V
VaV = 1,5 × 0,636 = 0,954 V

Tegangan = 3 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 0,2 ms T/div
Frekuensi = 1 kHz
Gambar 3. 31. Pengukuran Frekuensi
Vp = 3 × 0,5 = 1,5 V
Vrms = 1,5 × 0,707 = 1,060 V
VaV = 1,5 × 0,636 = 0,954 V

Tegangan = 3 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 0,2 ms T/div

Gambar 3. 32. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 2 kHz


Vp = 3 × 0,5 = 1,5 V
Vrms = 1,5 × 0,707 = 1,060 V
VaV = 1,5 × 0,636 = 0,954 V
Tegangan = 3 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 0,2 ms T/div
Frekuensi = 10 kHz
Gambar 3. 33. Pengukuran Frekuensi
Vp = 3 × 0,5 = 1,5 V
Vrms = 1,5 × 0,707 = 1,060 V
VaV = 1,5 × 0,636 = 0,954 V

Tegangan = 4 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 0,5 ms T/div

Gambar 3. 34. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 500 Hz


Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V

Tegangan = 4 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 0,5 ms T/div
Gambar 3. 35. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 1 kHz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V

Tegangan = 4 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 0,5 ms T/div
Gambar 3. 36. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 2 kHz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V
Tegangan = 4 Vpp
V/div = 2 V/div
T/div = 0,5 ms T/div
Gambar 3. 37. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 10 kHz
Vp = 4 × 0,5 = 2 V
Vrms = 2 × 0,707 = 1,414 V
VaV = 2 × 0,636 = 1,272 V

Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 0,2 ms T/div
Gambar 3. 38. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 500 Hz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V

Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 0,2 ms T/div
Gambar 3. 39. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 1 kHz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V

Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 0,2 ms T/div
Gambar 3. 40. Pengukuran Frekuensi Frekuensi = 10 kHz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908 V
Tegangan = 6 Vpp
V/div = 1 V/div
T/div = 0,2 ms
T/div Frekuensi = 10 kHz
Vp = 6 × 0,5 = 3 V
Gambar 3.41. pengukuran frekuensi
Vrms = 3 × 0,707 = 2,121 V
VaV = 3 × 0,636 = 1,908
BAB IV
DAYA DALAM RANGKAIAN AC
4.1. Tujuan Percobaan
1. Mahasiswa diharapkan dapat membedakan daya semu dan daya nyata
2. Mahasiswa diharapkan dapat mengukur daya pada rangkaian AC
4.2. Alat dan Bahan
1. Transformator 1 buah
2. Dual trace osiloskop 1 buah
3. Multimeter 2 buah
4. Watt meter 1 buah
5. Resistor 100 Ω, 5 W 1 buah
6. Kapasitor 4,7 µF/25V, 10 µF/25V 1 buah
4.3. Dasar Teori
A. Konsumsi Daya AC
Pada rangkaian AC, faktor tegangan, arus dan daya diperngaruhi
oleh waktu dan berbentuk sinus. Sehingga perhitungan daya tidak bisa
disamakan dengan menghitung daya pada rangkaian DC. Akan tetapi
dasarnya tetap sama yaitu P= V * I.
Faktor lainnya adalah adanya reaktansi yang terdapat pada
rangkaian AC. Reaktansi menghasilkan medan listrik/elektromagnet
yang mempengaruhi keseluruhan rangkaian. (Kuliah and Elektrik, no
date)
Rumus umum yang digunakan untuk menghitung Daya Listrik
dalam sebuah Rangkaian Listrik adalah sebagai berikut :
P = V x I atau P=I 2 R atau P = V 2/R
Dimana :
P = Daya Listrik dengan satuan Watt (W)
V = Tegangan Listrik dengan Satuan Volt (V)
I = Arus Listrik dengan satuan Ampere (A)
R = Hambatan dengan satuan Ohm (Ω)
B. Daya Nyata
Daya nyata PA (Apparent Power) adalah daya masukan ke
rangkaian AC. Dan didefinisikan sebagai produk dari tegangan V dan
arus I pada rangkaian AC.
P A =¿ V.I
Untuk kekurangan dari satuan yang lebih baik dan untuk
menghindari kerancuan dengan satuan watt, daya nyata biasa diukur
dalam volt ampere (VA).
C. Daya Semu dan Daya Nyata
Daya dalam watt dikonsumsi oleh peralatan elektrikal dengan
kedua komponen resistif dan reaktif yang didefinisikan sebagai daya
aktif.
Daya Nyata P(W )
PF = = dan P=P A × PF=V × I × PF
Daya Semu P A (VA )
Diagram fasor tegangan pada gambar 4.1.a dapat dikonversikan
menjadi diagram daya dengan mengalikan tiap sisi dari segitiga
tegangan oleh I, seperti dalam Gambar 4.2.b. Kemudian,
P(W )
cos 𝜃 =
P A (VA )
Tetapi dalam gambar 4.1.a diperoleh
VR R R
cos 𝜃 = = dan PF¿
V Z Z
Jika PF = 1, ini berarti bahwa impedansi total rangkaian sama
dengan resistansi. Jika PF = 0, ini berarti bahwa R = 0, dan tidak ada
daya semu yang dikonsumsi dalam rangkaian. R tidak dapat lebih
besar dari Z, PF tidak pernah dapat lebih besar dari 1. Dan R dan Z
adalah selalu positif, PF tidak pernah dapat menjadi bilangan negatif.
Daya semu dalam watt, direpresentasikan oleh P, dapat dicari
menggunakan rumus yang sama dengan yang digunakan untuk
rangkaian DC.
2
V
P=I R atau P=V R . I atau P=
2
R

Gambar 4.2. Diagram Fasor Tegangan

D. Mengukur Daya AC Metode Volt-Ampere


Daya pada rangkaian AC dapat ditentukan dengan menggunakan
instrumen pengukuran yang dipasang secara seri, yang disebut dengan
voltmeter dan osiloskop. Dengan voltmeter kita dapat mengukur
tegangan VR pada R dan memasang tegangan V. kemudian kita dapat
menentukan faktor daya dengan mensubtitusi nilai yang terukur
VR
dengan rumus PF = . Sedangkan untuk menghitung daya semu
V
V 2R
menggunakan rumus PF= .
V
E. Wattmeter
Watt Meter adalah gabungan dari dua alat ukur daya listrik
lain berupa Volt Meter dan Amperemeter. Perangkat Watt Meter
memiliki dua jenis kumparan yakni kumparan tetap / arus, dan
kumparan putar / tegangan. Lalu dalam hal pemasangan, kumparan
tetap akan dipasangkan dengan model seri, sementara kumparan putar
dipasang secara paralel. Jika dibanding dengan empat jenis lainnya,
Watt Meter menjadi salah satu yang paling banyak digunakan karena
tergolong lebih praktis dengan proses pengukuran yang tidak lama.
Berikut informasi lengkapnya. (Lawera, 2022)
Daya dapat diukur secara langsung menggunakan wattmeter.
Untuk pengukuran frekuensi rendah, meter analog yang mempunyai 2
koil biasanya digunakan. Gambar 4.3 menggambarkan skema
sederhana dari wattmeter.

4.4. Gambar Rangkaian

Gambar 4.3. Pengukuran Metode Volt-Ampere

Gambar 4.4. Pengukuran Metode Wattmeter

Gambar 4.5. Menentukan Faktor Daya Dengan Osiloskop


4.5. Langkah Percobaan
4.5.1. Menentukan Daya Menggunakan Metode Volt-Ampere
1. Mengukur resistansi resistor 100 Ω dengan multimeter dan mencatat
nilainya pada tabel 4.1
2. Dengan mencabut kabel, mengubah saklar menjadi off dan J1 terbuka.
Mengubungkan seperti rangkaian. Mengatur autotransformator ke
output tegangan terendah dan amperemeter di range 25 mA.
3. Menyambungkan J1. Menaikkan tegangan output potensiometer
sampai VAB = 50 V. Mengukur tegangan jatuh pada resistor VR dan
arus I. Mencatat nilainya pada tabel dibaris 4,7 µF. Membuka J1,
memutus hubungan kapasitor 4,7 µF.
4. Menghitung daya nyata PA, daya sesungguhnya P, power faktor, sudut
fasa dari rangkaian. Menggunakan hasil pengukuran dari VAB, VR,
dan I sebagai pendekatan dalam perhitungan. Mencatat pada tabel 4.1
5. Membuka J1 dan potensiometer diatur pada output terendah,
menghubungkan dengan kapasitor 10 µF secara seri dengan resistor
100 Ω.
6. Menyambung J1, menaikkan tegangan output potensiometer sampai
VAB = 25 V, mengukur VR dan I. mencatat nilainya pada tabel 4.1
dibaris 10 µF. Setelah pengukuran berakhir, membuka J1.
7. Mengulangi langkah 4 untuk 100 Ω/10 µF menyeri dengan rangkaian.
Mencatat pada tabel 4.1 dibaris 10 µF.
4.5.2. Mengukur Daya Dengan Wattmeter
1. Dengan J1 terbuka dan potensiometer diatur pada output terendah,
menghubungkan wattmeter secara seri dengan rangkaian dari bagian
A. menghubungkan wattmeter seperti gambar 4.4 Mengecek kembali
instruksi manual dari alat ukur dan mengecek hubungannya.
2. Menghubungkan J1, menaikkan tegangan output sampai VAB = 25 V
mengukur daya sesungguhnya P, menggunakan wattmeter dan
tegangan jatuh pada resistor VR dan VAB. Mencatat nilainya pada
tabel 4.2 dibaris 10 µF. Setelah pengukuran berakhir, membuka J1,
memutus rangkaian dengan kapasitor 10 µF.
3. Menghitung daya sesungguhnya menggunakan VR dan mengukur nilai
R(dari tabel). Menghitung faktor daya menggunakan VR dan VAB.
Mencatat pada tabel 4.2.
4. Dengan J1 terbuka, menghubungkan kapasitor 4,7 µF seri dengan
resistor 100 Ω.
5. Menghitung J1, menaikkan tegangan output potensiometer sampai
VAB = 50 V. Mengukur daya dari rangkaian menggunakan wattmeter
dan tegangan jatuh di resistor VR. Mencatat nilai pada tabel 4.2 di
baris 4,7 µF. Kemudian membuka J1.
6. Menghitung daya sesungguhnya menggunakan VR dan ukur nilai R
(dari tabel). Menghitung PF menggunakan VR dan VAB. Mencatat
pada tabel 4.2.
4.5.3. Menentukan Power Faktor Dengan Osiloskop
1. Menghubungkan osiloskop dual trace secara seri dengan rangkaian RC
seperti terlihat pada gambar, potensiometer seharusnya diatur
outputnya tegangan terendah. Trigger switch diatur pada EXT.
2. Menutup J1. Menaikkan output dari potensiometer ke 10 Vrms. Kanal
1 untuk tegangan refrence. Menyalakan osiloskop mengatur scope
hingga terlihat sebuah gelombang.
3. Saklar kanal 2, adalah arus kanal. Mengatur kontrolnya sehingga
gelombang sekitar 4 div peak to peak.
4. Saklar osiloskop dari dual kanal mode. Sinyal ch 1 dan ch 2
seharusnya ditampilkan bersama gelombang sinus. Dengan saklar
sentimeter, mengukur secara akurat jarak horizontal d antara 2 positif
atau negatif gelombang sinus. Mencatat hasil pengukuran pada tabel
4.3. juga mengukur jarak D dari 0 hingga 360º untuk tegangan
gelombang sinus. Mencatat nilainya pada tabel 4.3. Mematikan
osiloskop dan melepaskan kapasitor 4,7 µF.
5. Menggunakan rumus pada gambar 4.4, menghitung sudut fasa antara
tegangan dan arus pada rangkaian gambar 4.4. Menggunakan nilai 𝜃
terhitung, menghitung faktor daya PF rangkaian. Mencatat pada tabel
4.3.
6. Mengganti kapasitor 4,7 µF dengan 10 µF pada rangkaian gambar 4.5.
7. Menutup J1, mengulangi langkah 3 hingga 5, setelah pengukuran
selesai matikan osiloskop, membuka J1, dan melepaskan osiloskop
dari rangkaian.
8. Mengulangi langkah 5 untuk 10 µF untuk rangkaian seri 100 Ω.
4.6. Hasil Percobaan
Tabel 4.1. Pengukuran Daya Metode Volt-Ampere
Resistor(Ω) C VAB VR I(ukur) PA P
PF Q(º)
Rated Ukur (µF) (V) (V) (mA) (VA) (W)
100 100,5 4,7 8,83 0,73 7,54 65,07 5.000,16 7,86 2,72
100 100,5 10 8,62 2,86 29,04 0,025 84.000,16 3,36 1,88

Tabel 4.2. Pengukuran Daya Metode Wattmeter


Resistor C VAB VR P(ukur) P(hitung) PF
I (A)
(Ω) (µF) (V) (V) (W) (W) (%)
100 4,7 8,4 0,75 0,03 0,58 0,9 0,076
100 10 8,4 2,89 0,11 0,08 0,3 0,029

Tabel 4.3. Menentukan Faktor Daya Dengan Osiloskop


Resistor C PF(hitung)
d, cm D, cm Q(º)
(Ω) (µF) (%)
100 4,7 1 4 90 0
100 10 25 4,2 51,428 0,62
DAFTAR PUSTAKA

Herlan, D. et al. (2014) ‘237-458-1-Sm’, (November), pp. 1–6.

Kuliah, M. and Elektrik, R. (no date) ‘Analisis Daya Pada Rangkaian AC


( Alternating Current )’.

Lawera, F. (2022) Berbagai Macam Jenis Alat Ukur Listrik Berdasarkan Besaran
yang diUkur, https://furqanlawera.blogspot.com/.

SYAHRUL, A. (2008) ‘Penggunaan Osciloscope Dalam Pengukuran’, pp. 1–10.

Wicaksono, T., R., A.S. and Haris, A. (2007) ‘Rancang Bangun Alat Penghitung
Biaya Energi Listrik Terpakai Berbasis Mikrokontroler Pic 16f877’, Wicaksono:
Rancang Bangun Alat Penghitung Biaya, 1(1), pp. 37–41.

Herlan, D. et al. (2014) ‘237-458-1-Sm’, (November), pp. 1–6.

Kuliah, M. and Elektrik, R. (no date) ‘Analisis Daya Pada Rangkaian AC


( Alternating Current )’.

Lawera, F. (2022) Berbagai Macam Jenis Alat Ukur Listrik Berdasarkan Besaran
yang diUkur, https://furqanlawera.blogspot.com/.

SYAHRUL, A. (2008) ‘Penggunaan Osciloscope Dalam Pengukuran’, pp. 1–10.

Wicaksono, T., R., A.S. and Haris, A. (2007) ‘Rancang Bangun Alat Penghitung
Biaya Energi Listrik Terpakai Berbasis Mikrokontroler Pic 16f877’, Wicaksono:
Rancang Bangun Alat Penghitung Biaya, 1(1), pp. 37–41.

Anda mungkin juga menyukai