Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A.. Latar Belakang dan Masalah

Problematika kehidupan keluarga kian lama kian kompleks seiring spirit perubahan zaman dan paradigma

berpikir individu maupun komunitas tertentu terhadap hakikat atau esensi sebuah perkawinan. Perkawinan

adalah kegiatan yang sakral. Konsep itu selalu memandang lembaga sosial tersebut dari sudut pandang

filsafat- teologis sehingga tidak jarang melahirkan benturan konsep, antara ruang yang transenden dan

interpretasi menurut rasio manusia. Namun, gejolak zaman terus “menggugat” hakikat atau esensi sebuah

perkawinan manakala manusia mengalami kegetiran hidup yang menuntut adanya sebuah rumusan baru

atau sebuah rekonstruksi pemahaman yang lebih seimbang. Himpitan ekonomi, tranformasi budaya, politik

merupakan bentuk-bentuk gugatan

terhadap cara pandang di atas.

Simpul-simpul permasalahan sebuah rumah tangga yang tidak dapat diurai secara jelas dapat menyebabkan

keretakan sebuah kebersamaan yang serius yaitu ,perceraian. Perceraian kemudian melahirkan babak

kehidupan baru seperti terjadinya peran baru yang disebut single parent. Realitas sosial itu kemudian

menjadi sebuah guratan impresi ketika diciptakan kembali oleh pengarang (novelis) dengan bakat

kepengarangannya. Karya sastra tersebut selanjutnya dimaknai sebagai lembaga sosial yang tampil sebagai

corong perwakilan gagasan bagi sebuah nilai yang belum semuanya memasyarakat.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah yang kami susun kami mencoba akan membahas tentang single parent dalam kesehatan

reproduksi dan single parent dalam kehidupan umum.

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas penulis merumuskan tujuan pokok sebagai berikut :

1. Untuk lebih mengetahui lebih jauh lagi tentang pengaruh single parent terhadap kesehatan reproduksi

dan pengaruh single paret dalam kehidupan umum

2. Untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata Kuliah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Keluarga

Konsep keluarga bukan lagi kaku secara teori konvensional bahwa keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anak kandung.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang

berkumpul dalam suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. (depkes RI 1998)

B. Fungsi keluarga menurut WHO

• Fungsi biologis

• Fungsi psikologis

• Fungsi sosial budaya

• Fungsi sosial ekonomi

• Fungsi pendidikan

C. Sosiologi Keluarga

Gagasan lahirnya ilmu sosiologi keluarga berawal dari momentum revolusi Perancis 1789 yang diikuti

perubahan mendalam pada hubungan keluarga. Perubahan-perubahan itu jauh lebih ekstrim tatkala dunia

dilanda perang dunia Ke-II di mana pemimpin negara-negara yang sedang menuju tahap/era industrialisasi,

mengeluarkan undang-undang baru yang bertujuan membentuk pola-pola keluarga yang lebih sesuai

dengan tuntutan kehidupan kota dan industri (Hasyim,2004:3).

Sosiologi keluarga memandang bahwa setiap keluarga ialah fungsi pengantara masyarakat besar. Daya

tahan sebuah keluarga terletak pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, baik yang bersifat primer

maupun yang bersifat tersier, seperti produksi dan pembagian makanan, perlindungan terhadap kaum muda

dan tua, yang sakit dan yang mengandung, persamaan hukum, pengembangan generasi muda dalam

kehidupan sosial, dan lain sebagainya

(Hasyim, 2004: 3).

Revolusi industri yang terjadi telah membawa perubahan-perubahan yang sangat signifikan. Di satu sisi

revolusi industri membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu dan pertumbuhan ekonomi, di sisi lain

revolusi industri membawa imbas negatif yang begitu dahsyat. Etos-etos tradisi terancam tercabut dari

akarnya dan kecemasan yang mendalam akan semakin hilangnya kekuasaan dan wibawa gereja dan

kerukunan hidup (Ihromi,2004:3). Pola-pola keluarga tradisional yang mapan memperoleh kesaksian yang

dahsyat. Kerukunan hidup keluarga terkoyak. Goode mengemukakan satu contoh fenomena sosial yang

melanda keharmonisan keluarga sebagai dampak revolusi industri dan perkotaan. “Seperempat sampai

sepertiga pasangan yang menikah akan bercerai, mereka tidak menjunjung tinggi nilai monogami”. Kinsey

memperkirakan bahwa setengah dari semua laki-laki yang telah menikah melakukan hubungan kelamin di

luar perkawinan, tetapi barangkali sebagian besar dari mereka percaya akan manfaat kesetiaan. (Hasyim,

2004:12)

Revolusi industri, pola keluarga konjunal serta masalah urbanisasi menjadi variabel utama yang

menggerogoti kerukunan keluarga sekalipun perkawinan itu dibangun berdasarkan cinta dan kesetiaan.
Terhadap fenomena itu Goode menyatakan “sebagai contoh di Amerika, hampir semua perkawinan pertama

didasarkan atas hubungan cinta dan jarang yang akan mengakui bahwa mereka menikah dengan seseorang

yang tidak dicintainya”. (Hasyim , 2004:13).

Fenomena tentang perceraian dan peran single parent tidak hanya menarik perhatian para pakar sosiologi

untuk dijadikan objek kajian ilmiah, namun seorang sastrawan yang handal seperti La Vyrle Spencer

merekam realitas itu ke dalam bentuk yang lebih unik, yang dikemas dalam kandungan estetika yang tinggi

dan menjadi sebuah novel sebagai corong perwakilan bagi selaksa nilai yang mengkristal dalam wilayah

kehidupannya.

D. Definisi Single Parents

Single parent adalah seorang ayah atau seorang ibu yang memikul tugasnya sendiri sebagai kepala keluarga

sekaligus ibu rumah tangga. Orang tua tunggal atau biasa disebut dengan istilah single parent adalah orang

tua yang hanya terdiri dari satu orang saja, dimana didalam rumah tangga ia berperan sebagai ibu dan juga

berperan sebagai ayah. Saat ini keluarga orang tua tunggal memiliki serangkaian masalah khusus. Hal ini

disebabkan karena hanya ada satu orang tua yang membesarkan anak. Bila diukur dengan angka mungkin

lebih sedikit sifat positif yang ada dalam diri suatu keluarga dengan satu orang tua dibandingkan dengan

keluarga dengan orang tua tunggal. Orang tua tunggal ini menjadi lebih penting bagi anak dan

perkembangannya karena orang tua tunggal ini tidak mempunyai pasangan untuk saling menopang.

Pilihan untuk menjadi orang tua tunggal adalah pilhan yang sangat berat, walaupun demikian daripada

aborsi dan menambah beban dosa, mereka lebih ikhlas menjadi oarng tua tunggal. Untuk iini mereka juga

harus siap menerima reaksi dari orang tua, keluarga dan dikucilkan entah untuk sementara atau untuk

selamanya. Belum lagi menjadi gunjingan maupun dicibirkan oleh teman, tetangga maupun rekan kerja.

Untuk menjalani semua itu dibutuhkan kekuatan hati dan daya juang yang tinggi, termasuk mengikis

perasaan dendam kepada silelaki notabene ayah dari anaknya sendiri. Sedangkan bagi perempuan yang

sudah menikah siap atau tidak predikat janda dengan anak yang disandangnya. Untuk menjadi orang tua

tunggal itu tidaklah mudah.

E. Penyebab Orang Tua Tunggal

Ada dua jenis kategori orang tua tunggal yaitu yang sama sekali tidak pernah menikah dan sempat atau

pernah menikah. Mereka menjadi orang tua tunggal bisa saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih awal

oleh pasangan hidupnya, ataupun akibat perceraian atau bisa juga ditinggal oleh sang kekasih yang tidak

mau bertanggung jawab atas perbuatannya, dan kebanyakan terjadi dikalangan remaja yang terlibat dalam

pergaulan bebas. Penyebab single parent antara lain :

• Perceraian

• Kematian

• Kehamilan diluar nikah


• Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi anak orang lain

(majalah ayah bunda)

Seorang ibu dapat menjadi orang tua tunggal mungkin karena kematian suaminya atau perceraian, dan

beberapa ibu tentu tidak pernah menikah lagi, termasuk mereka yang memilih memlih menjadi ibu tunggal.

Saat ini percerraian menjadi cara yang umum untuk menjadi orang tua tunggal. Ibu yang bercerai lebih

banyak mengalami kesulitan dalam masalah kekuasaan dan kedisiplinan. Beberapa ibu menjelaskan tentang

beratnya mengemban tugas tersebut. Para ibu ini mulai terpaksa mulai bekerja diluar rumah untuk pertama

kalinya guna memenuhi kebutuhan keuangan keluarganya dengan gaji pertama yang tidak begitu banyak.

Beberapa diantaranya juga tidak dapat lagi menggantungkan kebutuhan keuangan dan emosonalnya

kemantan suaminya.

George Levinger mengambil 600 sampel pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian dan mereka

paling sedikit mempunyai satu orang anak di bawah usia 14 tahun. Levinger menyusun sejumlah kategori

keluhan yang diajukan, yaitu:

(1) pasangannya sering mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah,

tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan

pasangan;

(2) masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi keluarga dan

kebutuhan rumah tangga);

(3) adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;

(4) pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan;

(5) tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;

(6) sering mabuk dan judi;

(7) ketidakcocokan dalam melaksanakan hubungan seksual;

(8) keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;

(9) kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya;

(10) berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan

di antara pasangan;

(11) tuntutan yang dianggap berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada

toleransi dan dirasakan terlalu “menguasai”; (melalui Ihromi, 2004; 155)

F. Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi

Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal seringkali terlalu dibebani

dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak memliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa

memikirkan dirinya sendiri karena terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun

dampak terhadap tarhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi,

sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian,
namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai

sesame jenisnya.

Banyak ibu tunggal saat ini belum pernah menikah. Peningkatan jumlah perempuan menghabiskan 20-an

mereka membangun diri dalam karir mereka dan tidak serius keinginan anak-anak sampai mereka

mencapai usia 30-an. Pada saat itu mereka mungkin merasa bahwa jika mereka menunggu sampai mereka

bertemu jodoh yang cocok, mungkin terlalu terlambat untuk melahirkan anak. Ide memiliki anak di luar

perkawinan juga menjadi lebih luas diterima oleh wanita yang lebih muda.

Beberapa wanita yang memilih untuk ibu tanpa perkawinan memilih untuk menjadi hamil dengan cara

inseminasi buatan. Tetapi banyak menemukan bahwa beberapa dokter tidak mau artifisial membuahi

seorang wanita yang belum menikah. Beberapa yang memilih inseminasi buatan benar-benar tidak ingin

menjadi emosional terlibat dengan ayah dari anak dan merasa ini akan dihindari jika mereka tahu dia.

Lainnya, terutama perempuan lesbian, memilih inseminasi buatan hanya karena tidak memerlukan

hubungan pribadi dengan pasangan laki-laki. Yang lain ingin membesarkan anak sendiri dan takut bahwa

jika mereka tahu ayah, ia kemudian bisa membuat klaim pada anak.

Beberapa wanita yang menginginkan anak tanpa menikah memilih mitra yang bersedia untuk ayah anak

dengan tanpa pamrih. Lain setuju ayah diakui akan terlibat dalam kehidupan anak walaupun orang tua tidak

akan menikah.

Apapun pilihan mereka, bagaimanapun, ibu-ibu ini bebas untuk membesarkan anak-anak mereka sesuai

dengan ide-ide mereka sendiri dan nilai-nilai, dan mereka menuai banyak manfaat orangtua. Di sisi lain,

mereka melakukan tanggung jawab yang berat dan risiko kesepian pengasuhan tanpa mitra dengan siapa

untuk berbagi baik beban dan waktu yang baik. Untuk alasan ini, dukungan kelompok untuk ibu tunggal

tersebut telah mulai musim semi up-setidaknya di beberapa kota besar (dan juga di Internet).

G. Peran Seks dalam Perkawinan

Seks memegang peran penting dalam sebuah perkawinan. Pasangan suami-istri membutuhkan seks sebagai

sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka dan sarana untuk menghasilkan generasi baru.

Berdasarkan berbagai survei di Amerika, % dari perceraian yang terjadi diberikan kepada wanita. Fenomena

ini menggambarkan konsep/paradigma wanita dalam memandang arti perkawinan yang lebih besar bagi

mereka dari pada laki-laki, ketergantungan mereka dan kepuasan untuk penyesuaian diri terhadap

kehidupan itu sendiri (Goode, 2004; 196). Sebaliknya, terdapat satu pengembangan penelitian yang

menemukan bahwa para suami lebih sering melakukan perceraian. Argumentasinya adalah hampir semua

waktu, energi dan tenaga suami dihabiskan di luar rumahnya. Kesempatan atau keadaan demikian

membuka peluang kepada suami untuk terlibat dalam tingkah laku yang rentan terhadap keharmonisan

keluarganya. Suami boleh saja menjalin banyak persahabatan dengan lawan jenisnya. Akibatnya, terjadi

jarak atau kurangnya keterikatan kepada rumahnya sebagaimana halnya, istrinya, dan lebih banyak

kemungkinan untuk memperoleh kegembiraan hiburan, dan juga kesibukan di luar rumah. (Goode, 2004:
197).

Goode lebih lanjut menjelaskan bahwa norma-norma persamaan hak modern, kelakuan sang suami itu

mungkin membuat sang istri tidak bahagia. Sementara, bagi sang suami, istrinya tidak mempunyai banyak

kekuasaan/otoritas untuk mengendalikan atau memaksanya agar mengikuti kemauannya. Sang istri pada

permulaan, sedikit kemungkinan menginginkan perceraian, sedangkan sang suami kemungkinan merasa

bersalah untuk menuntut hal itu. Hasilnya ialah bahwa laki-laki mungkin mengembangkan pola tingkah laku

yang menimbulkan celaan, kutukan dan pelecehan bagi sang istri sebagai bagian dari memuncaknya

pertengkaran antar keduanya yaitu membuat dirinya tidak disukai, ia menimbulkan dalam diri istrinya

(dengan sengaja atau tidak) keinginan untuk memutuskan hubungan perkawinan (2004; 197).

H. Dampak Perceraian terhadap Mantan Pasangan Suami – Istri

Menurut Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian

adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan

sosial (social relationship) (melalui Ihromi, 2004:156).

Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-

istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan

lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk

menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau

mantan istri (melalui Karim, 2004:156).

Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai masa transisi yang penuh

kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam

menilai perceraian itu sebagai sesuatu yang “tidak patut” (melalui Karim, 2004:157).

Waller menilai pasca perceraian sebagai masa yang kurang dan hilang dalam kehidupan pasangan suami-

istri yang bercerai. Seseorang pada masa ini dilanda perasaan “ambivalen” antara melihat perceraian

sebagai sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan dan munculnya rasa sedih mengenang

kebersamaan pada masa-masa indah dulu (melalui Karim, 2004:157). Sementara, Scanzoni dan Scanzoni

(lewat Karim) menilai setelah perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu menghampiri

kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan rasa benci dan

ketidaksenangan hidup bersama lagi (melalui 2004:157).

Terdapat dua hal utama yang menjadi fokus pengamatan Goode terhadap pasangan suami istri yang

bercerai yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan sosial di mana mereka bukan lagi

sebagai pasangan suami istri serta peran sebagai suami atau istri dan memperoleh peran baru (2004: 165)

Mel Krantzler (lewat Ihromi 2004), seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian

merupakan sebuah masa transisi yang penuh kesedihan. Masa penuh kesedihan atau kedukaan apabila

dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat. Apabila masyarakat memandang perceraian sebagai

sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses penyatuan kembali, seseorang akan merasakan beratnya
tantangan yang harus dihadapi karena perceraian.

Perceraian antara pasangan suami-istri menghasilkan dampak lain yaitu masalah penyesuaian kembali

terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship), (Goode

lewat Ihromi, 2005: 156)

Scanzoni and Scanzoni kemudian membuat sintesa atas konsep-konsep pemikiran Krantzler (lewat Ihroni

2004: 157) dalam tulisan “creative Divorce”. Menurut Kranztler perceraian memberikan peluang kepada

seseorang untuk memperoleh pengalaman-pengalaman serta kreativitas baru guna mengisi kehidupan

menjadi lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya. Krantzler berpendapat bahwa perceraian tidak

harus diartikan sebagai kegagalan yang membawa kesedihan bagi seseorang. Untuk menguatkan

pandangannya, ia mengutip tulisan Herman Hesse (penulis puisi dan novel) yang pernah mengalami

perceraian sebanyak dua kali yaitu “Be ready bravely and without remorse to fin now light that old ties

cannot give'”

Scanzoni and Scanzoni (lewat Ihroni 2004) mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih

dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri

menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan

seseorang tidak perlu membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena

kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama pasangannya.

Scanzoni dan Scanzoni kembali mendengarkan, mantan pasangan suami istri seyogyanya menyadari bawah

“kebersamaan” dan saling ketergantungan diantara mereka telah berakhir.

I. Masalah orang tua tunggal

Masalah utama bagi orang tua tunggal khususnya bagi wanita yaitu pada masalah ekonomi, dan bagi pria

mereka lebih cenderuung mengalami kesulitan menjadi seorang ibu, yang tidak terbiasa mengerjakan

pekerjaan rumah tangga. Bagi wanita yang bersatatus ibu tunggal, yang diakibatkan oleh pergaulan bebas

ataupun karena korban perkosaan, mereka cenderung sulit menerima kehadiran anaknya, belum siap

menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah berstatus ibu, cibiran tetangga, dan masalah-masalah yang

timbul selanjutnya yang beerhubungan dengan status anaknya, bahkan mungkin pertanyaan anaknya yang

ingin mengetahui dimana ayah mereka. Hl inilah yang membuat sebagian besar wanita mengalami depresi

yang menyandang sebagai ibu tunggal. Namun tidak semua pula para ibu tunggal yang berfikiran seperti

itu, misalnya salah satu selebriti papan atas yang mengaku siap menjadi orang tua tunggal, dan siap

menerima segala konsekuensinya sebagai ibu tunggal dan baginya ia menikmati perannya sebagai ibu

walaupun tanpa adanya sesosok ayah untuk anaknya.

J. Penaggulangan orang tua tunggal

Orang tua tunggal bisa tetap bahagia menjalani hidup ini dengan tetap menggunakan pendekatan yang

positif. Dengan menjadikan hsl-hsl ysng positif dalam hidup menjadi pemicunya, maka kebahagiaan

tersebut juga bisa didapatkan. Barikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua tunggal agar
tetap bisa bahagia :

• Focus pada anak-anak. Jika anak-anak adalah pusat kehidupan anda, dengan sendirinya anak-anak

tersebuta akan menhetahui dan merespons apapun yang terjadi pada diri orang tuanya.

• Mengenal diri sendiri. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengenal diri sendiri dan merasa nyaman

dengan kesendirian tinggalkan segala pikiran yang negative tentang kesendidrian dan berlatihlah untuk

merasa cukup nyaman dengan diri sendiri.

• Libatkan anak-anak dalam mencerminkan peran orang tua yag hilang. Dalam hal ini bukan berarti harus

menemukan pengganti dari seorang ibu atau ayah, tapi bisa dengan membuata anak dekat dengan paman,

bibi atau kakek dan nenek untuk mengisi kekosongan salah satu orang tua.

• Biarkan anak-anak tahu bahwa dirinya dapat melengkapkan hidup anda. Jika anda percaya bahwa anda

tetap bisa bertahan tanpa seorang laki-laki atau seorang perempuan disamping anda maka anak-anakpun

akan mempercayai itu. Karena anak adalah cerminan oleh apa yang dirasakan oleh orang tuanya.

• Memahami bahwa anda tidak bisa menjadi segalanya bagi anak-anak. Dengan memahami hal tersebut

akan membuat merasa tidak terlalu tertekan namun bukan berarti anak-anak tidak bisa kasih saying yang

sempurna. Kasih saying bisa didapatkan dari saudara atau orang-orang terdekat anda.

K. Dampak Single Parent Dikaitkan Dengan Fungsi Keluarga :

• Fungsi seksual dan reproduksi

• Fungsi sosialisasi

• Fungsi ekonomi

• Fungsi budaya

• Fungsi edukasi

• Fungsi agama

• Fungsi perlindungan

L. Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent

1. Keterbukaan

Menyandang status single parent (janda/duda) sebenarnya bukanlah suatu hal yang harus ditutup-tutupi.

Ketika masyarakat menilai status itu dengan prasangka negatif, sebagian orang justru bisa menunjukan

bahwa menjadi single parent justru bukan sesuatu yang buruk.

2. Mengisi waktu

Sebagai manusia biasa, kehilangan pasangan hidup bisa menimbulkan rasa kesepian, rasa kesendirian yang

mendalam biasanya muncul ketika dia sedang dilanda masalah.

3. Membuka diri untuk masa depan

Berbagi cerita dengan orang-orang yang bernasib sama adalah salah satu terapi yang bisa dilakukan untuk
mengurangi tekanan psikologis. Kegiatan ini juga dilakukan oleh mereka yang tidak siap menjalani

statusnya sebagai single parent (janda/duda). Melalui komunitas berbagi ini mereka dapat membuka diri

untuk pergaulan meski tetap masih memilih-milih teman.

Adapun hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Single Parent Berkaitan Dengan Anaknya, antaralain :

• Selain berharap ayah dan ibunya berumur panjang, anak-anak mengharapkan kedua orang tuanya itu

senantiasa hadir ditengah-tengah mereka

• Terjadinya kesepahaman antara suami dan isteri dalam berbagai hal yang berhungan dengan kehidupan

pribadi dapat berpengaruh pada diri anak

• Terdapatnya sistem dan aturan yang sama dalam membina rumah tangga dan mendidik anak bukan

berarti meniadakan sistem dan aturan yang lain

• Tersedianya berbagai perlengkapan rumah tangga tentunya untuk kehidupan yang wajar dan tidak

bermegah-megahan

• Adanya rasa kasih sayang yang bersumber dari keyakinan dan keimanan, inilah yang akan

mempersatukan suami dan isteri dengan anggota keluarga yang lain

M. Dilema anak

Selain berbagi kiat cara menghadapi stigma sosial, komunitas tersebut juga dapat saling memberikan

masukan tentang bagaimana menjadi orang tua tunggal, untuk selalu terbuka dengan anaknya dalam

berbagai masalah. Dampak bagi mental Anak

• Ketidakhadiran ayah bagi anak perempuan tidak memberi dampak yang besar dibandingkan dengan

ketidakhadiran ayah pada anak laki-laki.

• Jangan mengevaluasi anak dengan kata-kata yang negatif sehingga anak-anak kehilangan kepercayaan

diri

• Libatkan dia dengan lingkungan keluarga yang memiliki anak laki-laki dan izinkan dia untuk mengambil

keputusan atas nama dan untuk dirinya sendiri

N. Dampak Single Parent Bagi Perkembangan Anak

• Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kurang dapat berinteraksi dengan

lingkungan, menjadi minder dan menarik diri

• Pada anak single parent dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi tidak seimbang sehingga menyebabkan

pertumbuhan dan perkembangan terganggu

• Single parent kurang dapat menanamkan adat istiadat dan murung dalam keluarga, sehingga anak kurang

dapat bersopan santun dan tidak meneruskan budaya keluarga, serta mengakibatkan kenakalan karena

adanya ketidakselarasan dalam keluarga

• Dibidang pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan anak kurang
sempurna dan tidak optimal

• Dasar pendidikan agama pada anak single parent biasanya kurang sehingga anak jauh dari nilai agama

• Single parent kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain, dan bila dalam jangka waktu

lama, maka akan menimbulkan kecemasan pada anak atau gangguan psikologis yang sangat berpengaruh

pada perkembangan anak

O. 6 Karakter Dalam Keluarga Single Parent Yang Prima

• Adanya kualitas waktu yang dihabiskan bersama dalam anggota keluarga.

• Memberikan perhatian lebih, termasuk dalam hal-hal kecil, seperti meninggalkan pesan yang melukiskan

perhatian dari orang tua

• Keluarga yang prima adalah keluarga yang saling komitmen satu sama lainnya

• Menghormati satu sama lain, contohnya : dengan mengucapkan atau mengekspresikan rasa sayang

kepada anak-anak, mengucapkan terima kasih pada saat anak-anak selesai melakukan tugas yang diberikan

• Kemampuan berkomunikasi penting dalam membangun keluarga yang prima

• Kondisi krisis dan stress dianggap sebagai tahapan kesempatan untuk terus berkembang

P. Pentingnya Konseling Agar Dapat :

• Menyesuaikan diri terhadap lingkungan

• Penerimaan ibu dan anak dalam lingkaran keluarga

• Masuk dalam lingkungan keluarga/masyarakat secara wajar

• Upaya menyatukan kembali keluarga, bagi keluarga mereka yang ditelantarkan suami/ayah

BAB III

KESIMPULAN

Secara umum single parents berdampak pada tidak berjalannya fungsi keluarga, yang antara lain :

• Fungsi seksual dan reproduksi

• Fungsi sosialisasi

• Fungsi ekonomi

• Fungsi budaya

• Fungsi edukasi

• Fungsi agama

• Fungsi perlindungan

Dalam hal kesehatan reproduksi, single parents berdampak pada kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak

terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari
pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung

menyukai sesame jenisnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.kesehatanreproduksi.com/

http://hadikuntoro.blogspot.com/2007/09/single-parent.html

http://retnowati.blogspot.com/2005/03/single-parent-menyiapkan-kemandirian.html

Anda mungkin juga menyukai