Anda di halaman 1dari 132

PENGARUH DIAGENESIS

BATUPASIR
Pada Proses Recovery Hidrokarbon

Rosmalia Dita Nugraheni


Naily Salsabila Setiawan

2021

i
PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR
Pada Proses Recovery Hidrokarbon

ii
PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR
Pada Proses Recovery Hidrokarbon

Rosmalia Dita Nugraheni


Naily Salsabila Setiawan

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.penerbit.medsan.co.id

Anggota IKAPI
No. 370/JBA/2020

iii
PENGARUH DIAGENESIS BATUPASIR
Pada Proses Recovery Hidrokarbon

Rosmalia Dita Nugraheni


Naily Salsabila Setiawan

Editor :
Rintho R. Rerung
Tata Letak :
Rosmalia Dita Nugraheni
Desain Cover :
Naily Salsabila Setiawan
Ukuran :
A4: 21 x 29,7 cm
Halaman :
xv, 118
ISBN :
978-623-362-054-3
Terbitan:
September 2021

Hak Cipta 2021 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi,


atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA


(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.penerbit.medsan.co.id

iv
Prakata

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia
kesehatan dan rahmat-Nya untuk dapat menyelesaikan penulisan buku berjudul
“Pengaruh Diagenesis Batupasir Pada Proses Recovery Hidrokarbon” ini tepat waktu.
Penyusunan buku ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pustaka dari ilmu
Kebumian dan Energi, khususnya terkait dengan kajian kualitas reservoar akibat
diagenesis dan menejemen perencanaan teknik recovery hidrokarbon yang sesuai tanpa
menyebabkan kerusakan formasi. Pemahaman mengenai proses diagenesis yang
mempengaruhi kualitas batuan reservoar dan menentukan dalam perencanaan teknik
recovery, mampu menjembatani dua cabang keilmuan sekaligus, yakni ilmu Geologi
dan Perminyakan. Dengan demikian penulisan buku ini dapat menjadi sumber acuan
atau referensi bagi mahasiswa, peneliti dan praktisi industri dalam melakukan riset
maupun pencarian dan ekstraksi sumberdaya minyak dan gas bumi di Indonesia.
Pemahaman diagenesis juga dapat digunakan untuk menjelaskan bukti terjadinya
proses tektonik pengangkatan (dari cabang ilmu Geologi struktur) maupun penentuan
fasies pengendapan (cabang ilmu Sedimentologi).
Buku monograf ini disajikan dengan foto dan gambar ilustrasi hasil penelitian
penulis yang ditulis secara sistematis dan terstruktur agar mudah untuk dipahami.
Penyajian gambar dan foto dimaksudkan untuk menarik minat baca mahasiswa dan
mempermudah pemahaman materi melalui tampilan visual dibandingkan penggunaan
text yang padat. Penjabaran materi disampaikan melalui gaya bahasa penulisan yang
sederhana agar lebih mudah dipahami. Buku rujukan ini juga disusun dalam bahasa
Indonesia yang dimaksudkan untuk memperkaya literatur dan buku rujukan berbahasa
Indonesia, akibat lebih banyaknya literatur yang tersedia dalam bahasa Inggris.
Sumber utama dalam penyusunan buku ini mengacu pada pengalaman kerja
penulis saat masih bergabung di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi (PPPTMGB) LEMIGAS, dari tahun 2009 hingga 2011 serta bagian dari
hasil penelitian dan publikasi selama menyelesaikan studi S2 dari tahun 2012 hingga
2015. Terdapat kurang lebih 5 publikasi nasional dan internasional serta laporan thesis
yang secara langsung berkaitan dengan materi buku. Adapun sumber lainnya yang
digunakan untuk penulisan buku antara lain berupa text book, jurnal ilmiah dan modul
yang dikumpulkan selama riset dan studi.
Sasaran utama pengguna buku monograf ini adalah mahasiswa Teknik Geologi
yang mengambil mata kuliah petrologi, petrografi dan sedimentologi. Disamping itu,
materi juga sangat membentu bagi mahasiswa Teknik Perminyakan, untuk mendalami
dan memecahkan masalah terkait Evaluasi Formasi (Formation Evaluation) dan
Kerusakan Formasi (Formation Damage), termasuk mata kuliah dasar Mineralogi yang
juga menjadi mata kuliah wajib di Teknik Perminyakan. Sasaran umum dari pengguna
buku ini adalah praktisi industri Minyak dan Gas bumi, serta kalangan peneliti dan
akademisi.
Adanya beberapa keterbatasan selama penyusunan buku, seperti waktu
penyusunan dan jumlah halaman, maka untuk dapat menggunakan buku dengan efektif,
para pembaca buku diharapkan dapat memanfaatkan referensi pendukung tambahan
v
yang disertakan. Beberapa referensi tambahan tersebut mencakup buku, artikel ilmiah
hingga atlas Scanning Electron Microscope (SEM). Adapun kritik, saran dan masukan
yang bersifat membangun sangat diperlukan dan diharapkan demi kesempurnaan
penulisan buku selanjutnya.
Akhir kata, kami ucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu, memberikan pendampingan, pemberian akses perijinan publikasi buku
hingga pendanaan kegiatan riset dan penulisan buku. Terima kasih penulis ucapkan
kepada American Association of Petroleum Geologists (AAPG) Foundation yang telah
memberikan award berupa Alexander & Geraldine Wanek Memorial Grant, guna
membiayai penelitian dan publikasi penulis selama pelaksanaan riset. Apresiasi yang
setinggi tingginya kepada tim LEMLIT, terutama Ibu Dr. Astri Rinanti, M.T., selaku
direktur LEMLIT, Universitas Trisakti yang telah memberikan kesempatan dan
dukungan materiil untuk penulisan buku monograf ini. Tak lupa ucapan terima kasih
disampaikan kepada rekan – rekan di Prodi Teknik Geologi dan FTKE yang selalu
memberikan dukungan moril dan semangat untuk aktif berkontribusi dalam membuat
tulisan ilmiah serta penerbitan buku.

Jakarta, Juli 2021


Penyusun

Rosmalia Dita Nugraheni, S.T., M.Sc.


Nik. 3477/USAKTI

vi
Daftar Isi
Halaman
RAKATA .................................................................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang............................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3. Nilai kebaruan (Novelty) ............................................................... 3
1.4. Kerangka Batupasir ....................................................................... 3
1.5. Tekstur Batupasir........................................................................... 4
1.6. Klasifikasi Batupasir ..................................................................... 8
Bahan Bacaan/ Referensi .......................................................................................... 9
BAB II DIAGENESIS ........................................................................................ 10
II.1 Definisi Diagenesis ....................................................................... 10
II.2 Tahap Awal Diagenesis ............................................................... 12
II.2.1 Kompaksi Awal ............................................................ 12
II.2.2 Proses Pelarutan ......................................................... 13
II.2.3 Autigenesis ................................................................... 14
II.2.4 Pembentukan mineral sekunder (Sementasi) ........... 16
a. Quartz (SiO2) dan Feldspar Overgrowth .................. 18
b. Kaolinite ................................................................... 19
c. Zeolite ....................................................................... 20
d. Pirit (FeS2) ............................................................... 20
e. Gipsum ...................................................................... 21
f. Semen Karbonat (Kalsit, Dolomit, Siderit) ............... 22
II.2.5 Bioturbasi .................................................................... 23
II.3 Tahap Menengah Diagenesis-Mesogenesis .......................... 24
II.3.1 Kompaksi Lanjut ........................................................ 25
II.3.2 Rekristalisasi Lanjut .................................................. 25
II.3.3 Pelarutan Lanjut ......................................................... 26
II.3.4 Pembentukan Mineral Sekunder .............................. 28
a. Mixed Layer (Illite-Smektit) ..................................... 28
b. Klorit ......................................................................... 29
II.3.5 Pembentukan Pori Intragranular dan Material Organik 30
II.4 Tahap Akhir Diagenesis-Telodiagenesis ............................... 30
II.4.1 Pembentukan Mineral Sekunder (Sementasi/Pergantian) 32
a. Kaolinit ..................................................................... 32

vii
b. Oksida Besi ................................................................ 33
II.4.2 Proses Pelarutan ......................................................... 33
Bahan Bacaan/ Referensi .......................................................................................... 34
BAB III TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &PROPERTI FISIK BATUAN
RESERVOIR 36
III.1. Identifikasi Morfologi dan Struktur Molekul Kristal ........ 36
III.1.1 Mikroskop Polarisasi ................................................ 36
III.1.2 X-Ray Diffraction (XRD) .......................................... 39
III.1.3 Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray
Spectroscopy (SEM-EDS) ......................................... 42
a. Kuarsa dan Semen Silika ....................................... 42
b. Feldspar dan Semen Feldspar .................................. 44
c. Semen Zeolit ........................................................... 44
d. Semen Mineral Lempung ......................................... 46
e. Semen Karbonat ....................................................... 49
f. Semen Sulfat ............................................................ 50
g. Semen Sulfida .......................................................... 51
h. Semen Oksida Besi .................................................. 51
III.2. Identifikasi Properti Fisik Batuan Reservoir Klastik ......... 52
III.2.1 Pengamatan Visual .................................................... 54
a. Mikroskop Polarisasi ............................................. 54
b. Scanning Electron Microscope ................................ 55
III.2.2 Perhitungan Nilai Porositas-Permeabilitas ............. 59
a. Core Analysis ........................................................ 59
b. Mercury Injection Capillary Pressure (MICP) ........ 60
c. Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy .......... 61
Bahan Bacaan/ Referensi ........................................................................................... 66
BAB IV PERANAN EOGENESIS ..................................................................... 68
IV.1. Indikator Fasies Pengendapan .............................................. 68
IV.1.1 Fasies Fluvial .............................................................. 71
IV.1.2 Fasies Delta ................................................................ 73
IV.1.3 Daerah Pasang Surut / Tidal .................................... 74
IV.1.4 Laut / Marine ............................................................. 75
IV.2. Menurunkan Kualitas Batuan Reservoir ............................ 76
IV.2.1 Penurunan Nilai Porositas Primer ........................... 77
IV.2.2 Penyumbatan Porositas (Pore Throat) ..................... 78
IV.2.3 Modifikasi Porositas Intergranular menjadi Interkristalin 79
Bahan Bacaan/ Referensi ........................................................................................... 80
BAB V PERANAN TELODIAGENESIS ....................................................... 81
V.1. Indikator Adanya Ketidakselarasan (Disconformity) ............ 81
V.1.1 Tektonik Pengangkatan/Uplift .................................. 81

viii
V.1.2 Kaolinite-Illite/Montmorillonite-Chlorite Plot .......... 85
V.2. Meningkatkan Kualitas Batuan Reservoar ........................ 86
V.2.1 Peningkatan Nilai Porositas Pelarutan .................... 86
V.2.2 Peningkatan Nilai Permeabilitas ................................ 88
Bahan Bacaan/ Referensi .......................................................................................... 89
BAB VI HYDROCARBON RECOVERY ........................................................... 90
VI.1. Tipe Recovery Minyak dan Gas ................................................ 90
VI.1.1 Improved Oil Recovery (IOR) ................................... 93
VI.1.2 Enhanced Oil Recovery (EOR .................................... 93
a. Metode Thermal ..................................................... 93
b. Metode Kimia .......................................................... 94
c. Metode Injeksi Gas ................................................. 95
d. Metode lainnya ........................................................ 95
V.2. Diagenesis vs IOR ................................................................. 96
VI.2.1 Acid Stimulation Design ............................................ 99
VI.2.2 Hydraulic Fracturing .................................................. 102
V.3. Diagenesis vs Secondary Recovery ........................................ 104
VI.3.1 Pengaruh Semen Lempung terhadap Waterflooding 105
V.4. Diagenesis vs Tertiary Recovery ............................................ 105
VI.4.1 Pengaruh Mineral Autigenik terhadap Metode Thermal 106
VI.4.2 Pengaruh Mineral Autigenik terhadap Chemical Flooding 107
Bahan Bacaan/ Referensi ...................................................................................... 109
GLOSARIUM ............................................................................................................ 111
PROFIL PENULIS .................................................................................................... 117

ix
Daftar Tabel

Tabel 2.1. Mineral autigenik yang umum dijumpai ................................................................ 15


Tabel 3.1. Indikator dalam membedakan mineral karbonat dengan staining ..................... 38
Tabel 3.2. Perhitungan prosentase komponen penyusun batupasir dari 300
titik pengamatan hasil point counting .................................................................... 39
Tabel 3.3. Data detil setiap peak kristal hasil analisis XRD ................................................... 41
Tabel 3.4. Klasifikasi nilai prosentase porositas batuan ......................................................... 55
Tabel 3.5. Klasifikasi tipe pori menurut ukuran yang dimiliki (Ali et al., 2010) .................. 55
Tabel 3.6. Karakteristik lempung autigenik dan tipe pembentukannya ............................... 57
Tabel 3.7. Mercury Injection Capillary Pressure (MICP) ........................................................ 60
Tabel 4.1. Proses yang terjadi pada lingkungan sedimen dan responnya terhadap
Fasies yang dihasilkan (Boggs, 2013) ...................................................................... 70
Tabel 4.2. Variasi tipe semen menurut karakteristik fasies dan lingkungan
pengendapan ........................................................................................................... 75
Tabel 5.1. Proses diagenesis yang berlangsung pada setiap tahapannya ............................ 83
Tabel 6.1. Luas permukaan/1 gr kuarsa dan kapasitas tukar kation dari beberapa mineral
lempung .................................................................................................................. 96
Tabel 6.2. Karakteristik mineral lempung yang dapat menyebabkan permasalahan
reservoir …………………………………………………………………………. 99
Tabel 6.3. Kelarutan relative mineral lempung terhadap pemberian beberapa asam
(HCl dan HF)……………………………………………………………………… 100
Tabel 6.4. Perbandingan keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari penerapan
berbagai macam jenis sequestering
agent……………………………………………………………………………….. 100
Tabel 6.5. Tahap stimulasi untuk memperbaiki kerusakan formasi……………………… 101
Tabel 6.6. Pengaruh mineral diagenetic dalam menyebabkan kerusakan formasi
(formation damage) dan prosedur perlakuan remedial yang sesuai untuk
recovery hidrokarbon............................................................................................. 102
Tabel 6.7. Suhu transformasi mineral sebagai indikator suhu maksimum uap panas….. 106

x
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Batuan reservoir sebagai komponen petroleum system yang
menyimpan fluida hidrokarbon .............................................. 1
Gambar 1.2 Variasi teknik recovery minyak dan gas bumi ....................... 2
Gambar 1.3 Komponen volumetric penyusun batupasir ............................ 4
Gambar 1.4 Skala ukuran butir pada sedimen menurut Wentworth (1922) &
histogram kurva frekuensi kumulatif dari distribusi ukuran butir 5
Gambar 1.5 Pengendapan kelas butiran menurut tingkat kebundaran dan
kebolaan (Modifikasi dari M.C. Powers (1953) ..................... 6
Gambar 1.6 Skema perbandingan sortasi dan kelasnya (modifikasi Petitjohn et al
1973) serta pengaruh sortasi terhadap kondisi porositas primer
dan permeabilitasnya ........................................................... …. 6
Gambar 1.7 Konfigurasi kemas dari bidang bola yang seragam ............... 7
Gambar 1.8 Klasifikasi batupasir yang disajikan dalam bentuk segitiga . 8
Gambar 2.1 Komponen dari batupasir ......................................................... 10
Gambar 2.2 Ilustrasi tahapan proses diagenesis .......................................... 11
Gambar 2.3 Ilustrasi proses kompaksi terhadap penyusunan ulang butir
(grain rearrangement) ................................................................. 12
Gambar 2.4 Pelarutan Sebagian pada mineral yang tidak stabil (feldspar) 13
Gambar 2.5 Proses penggantian mineral primer (feldapar) oleh mineral sekunder
(kaolinit) ..................................................................................... 14
Gambar 2.6 Foto SEM dari mineral glaukonit ............................................ 15
Gambar 2.7 Pelarutan dari mineral silikat mengawali terjadinya sementasi silika berupa
quartz overgrowth .................................................................... 17
Gambar 2.8 Ilustrasi proses pelarutan hingga sementasi ........................... 17
Gambar 2.9 Pertumbuhan awal semen silica berbentuk rombohedral yang
secara setempat pertumbuhannya dihalangi oleh kehadiran semen
lempung kaolinit ....................................................................... 18
Gambar 2.10 Proses pelarutan menghasilkan penggantian Sebagian maupun keseluruhan dari
mineral feldspar ......................................................................... 19
Gambar 2.11 Pore-filling semen kaolinit pada pori intragranular .............. 19
Gambar 2.12 Sampel batupasir vulkanik menunjukkan kehadiran semen zeolite
Dan lempung smektit yang terbentuk dari hasil presipitasi fluida
pelarutan dari litik tipe andesitik ............................................. 20
Gambar 2.13 Proses sementasi dan penggantian komponen tidak stabil (mika) oleh
Framboidal dan sucrossic pyrite ............................................... 21
Gambar 2.14 Proses penggantian material organic oleh mineral pirit pada kondisi
lingkungan reduktif (Nugraheni et al., 2013) .......................... 21
Gambar 2.15 Semen karbonat yang hadir sebagai pore-filling dan grain coating

xi
cement pada batupasir .............................................................. 22
Gambar 2.16 Bioturbasi mengacaukan struktur internal dan orientasi butir
batupasir .................................................................................... 23
Gambar 2.17 Skema tahapan diagenesis ........................................................ 24
Gambar 2.18 Tipe kontak antarbutir ............................................................. 25
Gambar 2.19 Morfologi dan system kristal aragonite dibandingkan dengan kalsit 26
Gambar 2.20 Proses pembentukan pori dan mineral sekunder dari hasil pelarutan K-
feldspar ....................................................................................... 27
Gambar 2.21 Grafik hubungan antara tingkat pelarutan dengan porositas dan permeabilitas
yang dihasilkan .......................................................................... 27
Gambar 2.22 Ilustrasi susunan struktur kristal dari mixed-layer illite-smectite 28
Gambar 2.23 Pengamatan di bawah mikroskop polarisasi menunjukkan bahwa klorit
hadir sebagai semen pore-lining yang mengelilingi permukaan butir
kuarsa ......................................................................................... 29
Gambar 2.24 Porositas intragranular dari material karbon yang terbentuk ketika tingkat
kematangan Ro-nya ≥0,6 .......................................................... 30
Gambar 2.25 Ilustrasi tahapan diagenesis ..................................................... 31
Gambar 2.26 Ilustrasi kemungkinan air meteoric dapat hadir pada lapisan yang memiliki
ketidakselarasan ........................................................................ 31
Gambar 2.27 Pola distribusi dari porositas, permeabilitas dan pengaruh kaolinit pada saat
telogenesis terjadi ...................................................................... 33
Gambar 2.12 Sistem kristal aragonite dan kalsit ........................................... 21
Gambar 2.13 Proses pembentukan pori dan mineral sekunder dari hasil pelarutan
K-feldspar (Yuan et al., 2015) ................................................. 21
Gambar 2.14 Grafik hubungan antara tingkat pelarutan dengan porositas dan
permeabilitas yang dihasilkan (Ma et al., 2017) ...................... 22
Gambar 2.15 Ilustrasi susunan struktur kristal dari mixed-layer Illite-smectite
(Brigatti et al., 2013) dan foto SEM dari mixed layer illite-smectite
berbentuk seperti pita bergelombang ................................... 23
Gambar 2.16 (a) Pengamatan di bawah mikroskop polarisasi menunjukkan bahwa
Klorit hadir sebagai semen pore-lining yang mengelilingi permukaan
Butir kuarsa. (b) pengamatan dari SEM menunjukkan bahwa
Pore-lining klorit menghalangi pertumbuhan semen kuarsa 23
Gambar 2.17 Porositas intragranular dari material karbon yang terbentuk ketika
tingkat kematangan Ro-nya > 0.6 ............................................ 24
Gambar 2.18 Ilustrasi kemungkinan air meteoric dapat hadir pada lapisan yang
Memiliki ketidakselarasan (Morad et al., 2000)...................... 25
Gambar 2.19 Pola distribusi dari porositas, permeabilitas dan pengaruh
kaolinite saat telodiagenesis terjadi ......................................... 26
Gambar 3.1 Detil karakteristik tipe kuarsa yang dapat diamati di bawah mikroskop polarisasi
dan mineral glaukonit dengan warna khas hijau membundar 37

xii
Gambar 3.2 Semen pirit yang menutup porositas intergranular ............... 37
Gambar 3.3 Ilustrasi pengamatan dengan menggunakan metode point counting 38
Gambar 3.4 Grafik hasil analisis XRD menggunakan tipe difraktometer
PANalytical PW 3040/60 dan material anode Cu ................... 40
Gambar 3.5 Karakteristik mineral lempung pada analisis XRD dengan perlakuan
air dried, glycolated dan heated ................................................. 42
Gambar 3.6 Tahapan pertumbuhan semen silica (quartz overgrowth) ...... 43
Gambar 3.7 Morfologi kristal kristobalit/ tridimit ...................................... 43
Gambar 3.8 Pertumbuhan semen feldspar berbentuk tabular .................. 44
Gambar 3.9 Morfologi bilah lempeng semen clinoptilolite ......................... 44
Gambar 3.10 Morfologi individu kristal erionite ........................................... 45
Gambar 3.11 Morfologi individu kristal chabazite ....................................... 45
Gambar 3.12 Kumpulan bilah prisma kristal phillipsite .............................. 45
Gambar 3.13 Kristal octahedral kristal analcime ......................................... 45
Gambar 3.14 Morfologi kristal mordenite ..................................................... 46
Gambar 3.15 Morfologi kristal laumontite .................................................... 46
Gambar 3.16 Bentuk morfologi utama dari autigenik kaolinit yang dijumpai
pada batupasir ........................................................................... 47
Gambar 3.17 Morfologi kristal haloisit .......................................................... 47
Gambar 3.18 Variasi morfologi kristal klorit ................................................ 48
Gambar 3.19 Variasi morfologi dari lempung autigenik illite ..................... 48
Gambar 3.20 Variasi morfologi pada smektit ................................................ 49
Gambar 3.21 Morfologi blocky dari semen kalsit .......................................... 49
Gambar 3.22 Morfologi rombik yang ditunjukkan oleh dolomit dan Fe-dolomit
Hasil analisis SEM-EDAX ........................................................ 50
Gambar 3.23 Variasi morfologi kristal siderit ............................................... 50
Gambar 3.24 Variasi morfologi pada semen gipsum .................................... 51
Gambar 3.25 Variasi morfologi yang dijumpai dari autigenik pirit ............ 51
Gambar 3.26 Variasi tipe porositas visual yang teramati di bawah mikroskop
polarisasi .................................................................................... 54
Gambar 3.27 Distribusi pori mikro dan kripto pada tipe semen lempung
kaolinit dan pirit ........................................................................ 56
Gambar 3.28 Model pembentukan lempung autigenik pada batupasir. Ilustrasi
Sketsa diambil dari Wilson dan Pittman, 1977 dalam (Pszonka
dan Gotze, 2018) ........................................................................ 56
Gambar 3.29 Tipe porositas dan geometri yang teramati melalui hasil pengamatan
Mikroskop polarisasi dan SEM. Gambar modifikasi dari (Nugraheni
et al., 2013) ................................................................................. 59
Gambar 3.30 Alat pengukuran MICP ............................................................ 60
Gambar 3.31 Kurva hasil analisis MICP berupa distribusi ukuran pori .... 60
Gambar 3.32 Atom-atom dengan atau tanpa spin ......................................... 61

xiii
Gambar 3.33 Empat tahap pengukuran NMR (modifikasi dari Kenyon et al.,
1995) ........................................................................................... 63
Gambar 3.34 Relaksasi permukaan butir terbentuk akibat adanya pergerakan
Proton hydrogen (air) dengan arah tidak beraturan sepanjang ruang
Pori dan secara konstan menumbuki butiran mineral ........... 64
Gambar 3.35 Pengaruh ukuran pori terhadap waktu relaksasi T2 ............. 65
Gambar 4.1 Variasi lingkungan pengendapan sedimen (Aliyuda et al., 2018) 68
Gambar 4.2 (a) pengaruh air pori sedimen yang terkontaminasi logam terhadap
Intensitas bioturbasi (b) dan (c) kehadiran biosturbasi memperburuk
Butir dan mengurangi permeabilitas batuan ......................... 71
Gambar 4.3 Pola diagenesis mineral lempung menurut lingkungan pengendapan
Fluvial (Gellis et al., 2016) ......................................................... 72
Gambar 4.4 Presipitasi kaolinit dan pirit umum dijumpai diantara lembaran
mika. Semen pirit dijumpai dengan bentuk geometri sukrosik 73
Gambar 4.5 Morfologi vermicular yang menjadi ciri khas kaolinit sebagai ubahan
dari mika .................................................................................... 73
Gambar 4.6 Sebaran lempung klorit mengindikasikan adanya influx air laut 74
Gambar 4.7 Mineral-mineral yang hadir pada diagenesis di daerah marin
Courtesy Blackwell scientific .................................................... 75
Gambar 4.8 Deformasi mineral lempung kaolinit diantara sementasi kuarsa 77
Gambar 4.9 Pengaruh pertumbuhan Bersama antara semen kuarsa dengan semen
lempung ....................................................................................... 78
Gambar 4.10 Ilustrasi konsep dari pore size dan pore throat ....................... 78
Gambar 4.11 Transformasi porositas intergranular menjadi porositas interkristalin
akibat sementasi ........................................................................ 79
Gambar 5.1 Proses tektonik pengangkatan yang menghasilkan bidang
ketidakselarasan (disconformity) .............................................. 82
Gambar 5.2 Overprinting pirit oleh hematit sebagai indikator tahap
Mesogenesis ............................................................................ 82
Gambar 5.3 Pembentukan mosaic kalsit dengan zonasi oscillatory ........... 84
Gambar 5.4 Pembentukan ferroan dolomit menggantikan mosaic kalsit . 84
Gambar 5.5 (a) Plot genesa lempung yang menggambarkan variasi pengaruh
Asal genetic terhadap kelimpahan dari mineral lempung. Tipe plot
Disebut KIC plot dari tiga kelompok mineral lempung kaolinite-
Illite + MLC-klroit (Stonecipher, 2010) (b) hasil plot kelimpahan
mineral lempung yang menjadi penanda antara tahapan Eo-
mesodiagenesis dengan telodiagenesis (Nugraheni, 2015) ..... 85
Gambar 5.6 Pengaruh tektonik pengangkatan yang berlangsung selama
Telodiagenesis akan meningkatkan volume pori total dengan
membentuk porositas pelarutan ............................................... 87

xiv
Gambar 5.7 Retakan yang terbentuk pada Mesogenesis diikuti dengan pelarutan
pada Telogenesis ........................................................................ 87
Gambar 5.8 Gambar backscatter dari field emission-SEM yang menunjukkan
Porositas sekunder berupa mold dari pirit akibat migrasi kristal 88
Gambar 5.9 Permeabilitas efektif yang terbentuk sebagai hasil pelarutan 88
Gambar 6.1 Kondisi batuan reservoar pada berbagai skala yang harus
diperhatikan saat produksi hidrokarbon 90
Gambar 6.2 Mekanisme pendesakan minyak menuju ke sumur produksi dengan
menggunakan waterflooding .............................................. 91
Gambar 6.3 Tahapan perolehan minyak melalui penerapan teknologi
ekstraksi ................................................................................. 92
Gambar 6.4 Skema gas flooding melalui SAG atau foam flooding ........ 95
Gambar 6.5 Struktur internal kristal lempung ....................................... 97
Gambar 6.6 Proses hidrasi air atau penambahan air pada lempung
smektit dengan kation Ca2+ dan Na2+ .................................. 98
Gambar 6.7 Mekanisme surfaktan dalam memindahkan minyak yang
terikat pada permukaan butir silika .................................. 107
Gambar 6.8 Mekanisme terjebaknya polimer pada ruang pori ........... 108

xv
Bab I. PENDAHULUAN

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang


Diagenesis meliputi perubahan fisika dan kimia yang berlangsung setelah material
sedimen diendapkan dan sebelum mengalami metamorfisme. Proses ini dapat
mempengaruhi kualitas batuan reservoar dengan cara meningkatkan maupun mengurangi
keberadaan pori pada batuan. Saat diagenesis berlangsung, batupasir akan kehilangan
volume porinya akibat proses diagenesis berupa kompaksi dan sementasi. Proses
kompaksi dan sementasi ini tampak pada variabel komposisi mineralogi dan tekstur
batuan yang muncul sebagai respon dari adanya penambahan tekanan dan suhu saat
penimbunan sedimen (burial) serta perubahan komposisi air porinya.
Diagenesis pada batupasir yang
merupakan batuan reservoar ini
cenderung lebih kompleks
dibandingkan dengan diagenesis
pada batuan karbonat (Gambar 1.1).
Identifikasi dari pola diagenesis
batupasir seolah menjadi kunci
dalam pengembangan kegiatan
Gambar 1.1. Batuan reservoar sebagai
komponen petroleum system yang menyimpan eksplorasi dan produksi minyak dan
fluida hidrokarbon. gas bumi. Pada kegiatan eksplorasi,
pola diagenesis dapat digunakan untuk memprediksi fasies model, pendugaan bidang
ketidakselarasan yang samar maupun karakterisasi reservoar yang meliputi identifikasi
properti fisik batuan reservoar. Pada kegiatan pengembangan lapangan, pola diagenesis
digunakan untuk memecahkan masalah terkait well-completion serta meminimalkan
kerusakan formasi (formation damage), sebelum upaya remediasi dilakukan.
Dalam sikuen stratigrafi, interpretasi fasies dilakukan menurut rekaman proses
fisika hidrodinamis. Hal ini teramati sebagai tekstur dan struktur batuan. Sayangnya
struktur sedimen tertentu tidak selalu mewakili lingkungan pengendapan yang unik

1
Bab I. PENDAHULUAN

karena beberapa jenis struktur sedimen dapat dijumpai pada beberapa lingkungan
pengendapan. Berbeda dengan penggunaan struktur dan tekstur, interpretasi fasies dari
diagenesis melibatkan juga proses kimiawi yang berkaitan dengan stabilitas mineral dan
fluida. Kombinasi dari variabel fisika dan kimia ini akan menjadi lengkap untuk dapat
menguraikan proses sedimentasi dan deposisi yang berlangsung pada cekungan
pengendapan.
Kegiaan eksplorasi dan produksi hidrokarbon sendiri berkaitan erat dengan tiga
proses geologi utama, yakni pengendapan, diagenesis dan struktur geologi. Ketiganya
memegang peranan penting dalam proses pembentukan, migrasi dan akumulasi
hidrokarbon. Sebagai contoh kondisi pengendapan dalam memberikan informasi terkait
geometri batuan reservoar, porositas primer dan pengawetan material organik; diagenesis
memberikan pengaruh pada porositas dan permeabilitas batuan serta pematangan material
organik; sedangkan struktur geologi akan dapat mempengaruhi arah migrasi hidrokarbon
dan pembentukan jebakannya. Identifikasi dari variabel jenis batuan, kondisi
pengendapan dan struktur geologi dapat diketahui melalui data seismik, sample cutting
(pecahan kecil batuan), core bar maupun data log pemboran, namun diagenesis
memerlukan observasi yang lebih detil melalui mikroskop polarisasi , X-ray diffraction
(XRD) maupun Scanning Electron Microscope (SEM).

I.2. Rumusan Masalah


Kondisi batuan reservoar klastik berupa
batupasir, memiliki karakteristik yang beragam
mulai dari tekstur, struktur dan komponen
penyusunnya, termasuk proses yang
mempengaruhinya sejak awal sedimen
tertransport hingga diendapkan pada cekungan Gambar 1.2. Variasi teknik recovery
minyak dan gas bumi
sedimentasi. Rekaman variabel tersebut sering
menjadi acuan dalam menentukan lingkungan pengendapan. Dalam prakteknya, proses
kimiawi dari diagenesis dapat melengkapi informasi terkait lingkungan pengendapan.
Disamping itu, kehadiran semen autigenik, penggantian mineral akan mempengaruhi
properti petrofisik batuan dan mampu menyebabkan terjadinya kerusakan formasi
(formation damage). Proses ekstraksi hidrokarbon yang secara konvensional

2
Bab I. PENDAHULUAN

mengandalkan pada kualitas batuan reservoar, menjadi tidak maksimal karena masih
banyaknya fluida hidrokarbon yang terjebak pada pori – pori batuan akibat proses
diagenesis. Untuk mengoptimalkan perolehan minyak dan gas bumi, pengetahuan dasar
tentang diagenesis akan memberikan gambaran tentang karakterisasi batuan reservoar
klastik serta upaya recovery yang sesuai dengan kondisi batuan reservoar klastik yang
dihadapi (Gambar 1.2). Cakupan pembahasan materi disesuaikan berdasarkan kasus yang
umum berlangsung pada kodisi reservoar di Indonesia yang beriklim tropis.

I.3. Nilai Kebaruan (Novelty)


Pemahaman ilmu diagenesis selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk
menentukan fasies pengendapan hingga pemanfaatannya untuk kegiatan eksplorasi
minyak dan gas bumi. Padahal diagenesis sendiri dapat diterapkan dalam penentuan
bidang ketidakselarasan yang samar, terutama terkait dengan tahap akhir diagenesis
(Telogenesis). Hal ini tentunya akan dapat membantu rekonstruksi dari proses tektonik
uplift yang berlangsung pada suatu cekungan pengendapan. Penentuan bidang
ketidakselarasan ini dapat teramati dari rekaman tumpang tindihnya mineral diagenetik
(diagenetic overprint). Secara umum penggunaan buku manual ini untuk memberikan
gambaran hubungan antara diagenesis terhadap properti petrofisik batupasir sebagai salah
satu tipe dari batuan reservoar, dimana pendekatan dan karakteristik diagenesisnya
terutama diamati dari hasil analisis SEM dan petrografi.

I.4. Kerangka Batupasir


Sebelum membahas tentang diagenesis, kita perlu mengenal tentang batupasir
yang meliputi komponen volumetriknya, antara lain kerangka butirannya, detritus
matriks, semen pengisi pori serta ruang pori (Gambar 1.3). Sesuai namanya, batupasir
tentunya memiliki butiran yang dominan berukuran pasir. Walaupun demikian masih
dijumpai ukuran sedimen lanau dan lempung yang menjadi merupakan bagian dari
komponen detrital matriks. Volume ruang tersisa yang tersebar diantara kerangka butiran
disebut sebagai ruang pori.
 Kerangka Butiran
Tipe butiran yang paling melimpah dan menyatakan sedimen asal darat antara lain
kuarsa, feldspar dan fragmen batuan. Mineral berat (berat jenis >2,85) umum dijumpai
sebagai partikel butiran sedimen dibandingkan dengan mineral ringan yang hadir sekitar

3
Bab I. PENDAHULUAN

0,1 – 1%. Fragmen batuan yang sering dijumpai hadir


pada batupasir antara lain : 1) kelompok argillaceous,
yakni serpih (shale), sabak (slate), filit dan sekis; 2)
batuan volkanik termasuk gelas volkanik; 3)
kelompok silika yakni kuarsa dan rijang (chert)
(Gambar 1.3). Batuan karbonat juga terkadang hadir
secara local sebagai fragmen batuan pada batupasir. Gambar 1.3. Komponen
Pengetahuan akan tipe feldspar dan fragmen batuan volumetrik penyusun batupasir

ini dapat memandu kita dalam mengevaluasi daerah asal dari rombakan batuan serta
menentukan proses kompaksi dan sementasi setelah sedimen tersebut diendapkan.
 Detrital Matriks
Partikel memiliki ukuran diameter kurang dari 0,03 mm dan terdiri atas berbagai tipe
mineral lempung, seperti kaolinit, ilit, klorit, smektit dan lain – lain. Mineral yang hadir
berukuran lanau umumnya diwakili oleh mineral kuarsa. Pseudomatriks merupakan
istilah yang digunakan untuk menjelaskan material remukan atau hancuran dari fragmen
batuan argillaceous berukuran <0,03 mm yang menempati sela-sela antar butir
(Dickinson, 1970).
 Ruang Pori
Ruang pori umumnya ditempati oleh fluida air, hidrokarbon maupun campuran
keduanya. Fluida pori ini dapat mengalami proses presipitasi membentuk semen, bereaksi
dengan kerangka butiran maupun matriks. Porositas maksimum dari batupasir dapat
mencapai 55% maupun 0% pada kondisi batupasir yang terkompaksi dan tersementasi
dengan kuat. Pada batupasir yang rapat (tight) 2-3% porositasnya merupakan tipe
irreducible porosity.
 Semen
Semen merupakan material berupa mineral yang secara kimia terpresipitasi dari
fluida pori. Jenis semen yang umum dijumpai pada batupasir antara lain : kalsit, kuarsa,
anhidrit, dolomit, hematit, feldspar, siderite, gipsum, mineral lempung, zeolit dan barit.
Proses sementasi dapat berlangsung secara bertahap hingga penuh mengisi ruang pori.

I.5. Tekstur Batupasir


Dalam penentuan karakteristik batupasir, beberapa parameter yang diamati terkait
tekstur, antara lain ukuran butir, sortasi (sorting), kemas (grain packing), derajat kebun-

4
Bab I. PENDAHULUAN

daran (roundness), derajat kebolaan (sphericity) dan kontak antar butir (grain contact).
Porositas dan permeabilitas awal dari batupasir sangat dikontrol oleh karakteristik tekstur
di atas.
 Ukuran Butir
Ukuran butir disebut pula sebagai diameter butir yang diklasifikasikan menurut skala
ukuran Udden-Wentworth (Gambar 1.4a). Distribusi dari ukuran butir dapat digambarkan
dalam bentuk histogram dan kurva frekuensi kumulatif (Gambar 1.4b). Data statistik
tersebut akan menggambarkan tingkat kesimetrian (skewness), keruncingan (kurtosis)
dan standar deviasi dari sebaran ukuran butir pada batuan. Hal ini digunakan sebagai
indikator kondisi sortasi dari batupasir (Hou et al., 2015). Identifikasi ukuran butir akan
memberikan gambaran mekanisme fisika yang berlangsung selama pengendapan.

Gambar 1.4. a) Skala ukuran butir pada sedimen menurut Wentworth (1922), b)
Gambar histogram dan kurva frekuensi kumulatif dari distribusi ukuran butir.

 Sphericity & Roundness


Sphericity mewakili derajat kebolaan dari butiran sebagai hasil interaksi dari
permukaan butir sedimen klastik dengan kondisi permukaan dari lingkungan
pengendapan. Roundness menyatakan tingkat kebundaran dari tepi luar butiran sedimen.
Sphericity & Roundness memiliki arti dalam menyingkap tingkat abrasi, pelarutan dan
sortasi (Zhou et al., 2018)(Cruz-Matías and Ayala, 2013)(Suh et al., 2017). Bentuk dari
kedua tekstur ini diilustrasikan pada gambar 1.5, dimana searah sumbu x menggambarkan

5
Bab I. PENDAHULUAN

perubahan tingkat kebundaran butiran sedangkan searah sumbu y menggambarkan


tingkat kebolaannya. Secara keseluruhan tekstur ini berkaitan dengan mekanisme proses
transportasi dari material rombakan yang bergesekan dengan batuan dasar selama
terpindahkan dari lingkungan batuan asal menuju ke lingkungan pengendapan.

Gambar 1.5. Pengelompokan kelas butiran menurut tingkat kebundaran dan kebolaan
(modifikasi dari M. C. Powers (1953).

 Sortasi
Sortasi menyatakan pemilahan ukuran butir yang membentuk keseragaman atau
ketidakseragaman ukuran. Variasi ukuran butir tampak dari histrogram sebaran ukuran
butir yang membentuk kurva unimodal, bimodal maupun polymodal. Keragaman ukuran
butir partikel akan menentukan tipe sortasi dan tingkat kedewaan, disamping memberikan
gambaran kondisi porositas dan permeabilitasnya dari batuannya (Gambar 1.6).

Gambar 1.6 a & b) Skema perbandingan sortasi dan kelasnya (modifikasi dari (Pettijohn
et al., 1973); c) pengaruh sortasi terhadap kondisi porositas primer dan permeabilitasnya.

6
Bab I. PENDAHULUAN

Kemas
Tekstur ini berkaitan dengan susunan kerapatan
jarak antar butiran serta kontak ntar partikel
penyusun batuan. Suatu butir yang memiliki
ukuran butir yang seragam akan memiliki variasi
kemas berupa kubik, rhombohedral dan lain- lain
sesuai gambar 1.7. Susunan kerapatan butir ini
juga akan menggambarkan kecenderungan
partikel untuk kontak satu dengan yang lain
(Gambar1.7). Terdapat 4 tipe kontak antar butir,
yakni 1) tangensial/ point contact; 2) long contact;
3) concavo-convex contact; dan 4) suture contact,
dimana tiap jenis kontak ini dapat digunakan
Gambar 1.7. Konfigurasi kemas dari
untuk menentukan intensitas kompaksi. bidang bola yang seragam

 Tingkat Kedewasaan Batupasir


Kedewasaan ini memiliki kaitan erat dengan tekstur dan komposisi mineralogi. Menurut
Folk, (1974), kedewasaan tekstur sedimen dapat dikenali menurut kandungan lempung,
sortasi dan kebundaran butir. Tingkatan utama kedewasaan tekstur ini meliputi :1)
immature; 2) submature; 3) mature; dan 4) supermature (Khokhar et al., 2014).
Tingkatan tersebut berkaitan dengan 3 proses dasar yang berlangsung selama
transportasi sedimen ke lingkungan pengendapan, yakni pencucian lempung oleh proses
winnowing; peningkatan kelas sortasi dan tingkat kebundarannya tanpa memperhatikan
komposisi mineraloginya. Namun skema yang diutarakan oleh Folk ini memiliki
kelemahan dalam menjelaskan kondisi sedimen pasir yang well rounded tetapi poorly
sorted karena mengandung 5% detrital lempung. Konsep tersebut selanjutnya direvisi
oleh (Pettijohn, 1975) yang mengemukakan kedewasaan mineralogi, yakni dengan
menmbandingkan satu mineral dengan mineral lainnya, seperti kuarsa terhadap
feldspar; (kuarsa + rijang/ chert) terhadap (feldspar +fragmen batuan). Konsep
kedewasaan mineralogi ini penting untuk menjelaskan hal yang berlaku selama
kompaksi dan penimbunan sedimen (deep burial). Quartzarenite memiliki kedewasaan
mineralogi yang mature dan berkebalikan dengan kondisi immature pada Arkose

7
Bab I. PENDAHULUAN

maupun Litharenite, dimana akan merespon secara berbeda juga terhadap kondisi
diagenetiknya.

1.6. Klasifikasi Batupasir


Parameter yang digunakan dalam melakukan klasifikasi batupasir adalah
komposisi mineralogi antara lain kuarsa (termasuk chert), feldspar dan fragmen batuan.
Terdapat sekitar 50 klasifikasi batupasir yang dipublikasi, tetapi yang umum digunakan
dalam melakukan klasifikasi disajikan pada Gambar 1.8 (Earle F. Mcbride, 1963);
(Folk, 1974); (Pettijohn et al., 1973) (Boggs, 2013) (Garzanti, 2019). Beberapa jenis
klasifikasi batupasir, menempatkan kuarsa dan chert pada kutub atau puncak ternary
pertama, kutub ternary kedua ditempati oleh feldspar dan fragmen batuan yang labil atau
tidak stabil pada kutub ketiga. Klasifikasi ini umumnya digunakan dalam analisis
petrografi untuk mengamati sayatan tipis batuan di bawah mikroskop polarisasi.

Gambar 1.8. Klasifikasi batupasir yang disajikan dalam bentuk ternary diagram (Earle F.
Mcbride, 1963); (Folk, 1974); (Pettijohn et al., 1973) (Boggs, 2013) (Garzanti, 2019)

8
Bab I. PENDAHULUAN

Bahan Bacaan/Referensi

Boggs, S., 2013. Principles of sedimentology and stratigraphy 4th edition. Journal of
Chemical Information and Modeling.
Cruz-Matías, I., Ayala, D., 2013. Orientation, Sphericity and Roundness Evaluation of
Particles Using Alternative 3D Representations. Nuclear Physics Review.
Dickinson, W.R., 1970. Interpreting Detrital Modes of Graywacke and Arkose. SEPM
Journal of Sedimentary Research.
Earle F. Mcbride, 1963. A Classification of Common Sandstones. SEPM Journal of
Sedimentary Research.
Folk, R.L., 1974. Petrologie of sedimentary rocks. Hemphll Publishing Company, Austin.
Garzanti, E., 2019. Petrographic classification of sand and sandstone. Earth-Science
Reviews.
Hou, T. xing, Xu, Q., Zhou, J. wen, 2015. Size distribution, morphology and fractal
characteristics of brittle rock fragmentations by the impact loading effect. Acta
Mechanica.
Khokhar, Q.D., Hakro, A A D, Solangi, S.H., Brohi, I.A., Markhand, A.H., 2014. Textural
Maturity and Depositional Environment of Bara Formation at Ranikot, Sindh. Sindh
University Research Journal.
M. C. Powers, 1953. A New Roundness Scale for Sedimentary Particles. SEPM Journal
of Sedimentary Research.
Pettijohn, F.J., 1975. Sedimentary Rocks, Third Edition. Geoscience Canada 2.
Pettijohn, F.J., Potter, P.E., Siever, R., 1973. Sand and Sandstone, Sand and Sandstone.
Suh, H.S., Kim, K.Y., Lee, J., Yun, T.S., 2017. Quantification of bulk form and angularity
of particle with correlation of shear strength and packing density in sands.
Engineering Geology.
Wentworth, C.K., 1922. A Scale of Grade and Class Terms for Clastic Sediments. The
Journal of Geology.
Zhou, B., Wang, J., Wang, H., 2018. Three-dimensional sphericity, roundness and fractal
dimension of sand particles. Geotechnique.

9
Bab II. DIAGENESIS

BAB II. DIAGENESIS

II.1 Definisi Diagenesis


Diagenesis mengacu pada proses perubahan fisika dan kimia yang berlangsung
sesaat setelah sedimen diendapkan hingga sebelum memasuki tahap metamorfisme.
Dalam prosesnya, diagenesis tidak melibatkan aspek perubahan tekanan dan temperatur
yang tinggi seperti pada proses metamorfisme. Menurut (Worden and Burley, 2009)
(Stuart D. Burley, 2003), diagenesis terjadi pada suhu dibawah 200 oC dengan tekanan
dibawah 300 MPa atau 2 Kb dengan kedalaman maksimal 7 km. Meskipun melibatkan
perubahan fisika, biologi, dan kimiawi, diagenesis dapat dibedakan terhadap proses
pelapukan. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pada proses pelapukan, batuan akan
berubah menjadi tanah, sedangkan dalam proses diagenesis, material sedimen akan
terkonsolidasi dan menjadi lebih kompak.
Proses diagenesis pada sedimen berlangsung
sebagai respon untuk mencapai kestabilan kimiawi dan
kesetimbangan tekstur. Hal ini terjadi karena adanya
interaksi antara komponen sedimen yang tidak stabil
(feldspar, mika, mineral ferromagnesian, litik) dengan
fluida pada lingkungan pengendapan. Fluida ini
umumnya menempati ruang antar butir sedimen,
mengalami sirkulasi pergerakan yang menyebabkannya
bersentuhan dengan permukaan butiran sambal Gambar 2.1 Komponen dari
Batupasir
melarutkan komposisi kimia dari butiran. Secara
vertikal, material sedimen juga mengalami kompaksi akibat tekanan penimbunan, dimana
hal ini akan mengakibatkan ruang pori menjadi mengecil dan fluida yang telah jenuh
secara kimiawi akan mulai mengalami presipitasi dengan membentuk semen (Gambar
2.1). Akibatnya, komponen mineral primer dari butiran sedimen tersebut akan berubah
menjadi mineral sekunder tertentu yang bertindak sebagai semen.
Proses diagenesis tidak hanya mengubah mineral primer menjadi mineral sekunder,
tetapi juga menyebabkan terjadinya kompaksi, pelarutan, presipitasi dan sementasi.
Proses ini dikontrol oleh tekstur asal dan komposisi sedimen, kecepatan penimbunan,

1
10
0
Bab II. DIAGENESIS

lingkungan pengendapan, tektonik, kecepatan reaksi kimia, heterogenitas batuan serta


gradien hidrodinamik dan geothermal.

Diagenesis menjadi hal yang menarik untuk diamati untuk


mendukung kegiatan eksplorasi. Hal ini dikarenakan diagenesis
dapat mempengaruhi properti fisik batuan seperti porositas dan
permeabilitas. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas batuan
reservoir, dimana batuan ini bertindak dalam menyimpan
hidrokarbon. Dengan demikian, diagenesis dapat mempengaruhi
efektivitas dari batupasir sebagai salah satu dari batuan reservoar.

Diagenesis terjadi melalui tiga tahapan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.2:

Gambar 2.2 Ilustrasi tahapan proses diagenesis

1) Eogenesis : merupakan tahap awal. Tahapan ini dimulai dari terjadinya perubahan,
serta penyusunan ulang komponen butir dan batuan. Proses Eogenesis ini terjadi pada
kedalaman yang cukup dangkal atau dekat dengan permukaan.
2) Mesogenesis : merupakan proses lanjutan atau proses yang terjadi setelah batuan
terendapkan. Proses ini meliputi pembebanan yang mengakibatkan penambahan
tekanan overburden, serta pengaruh fisika dan kimia lanjutannya berupa proses
kompaksi, pelarutan dan sementasi lanjutan, termasuk replacement (penggantian) dan
authigenesis.
3) Telogenesis : merupakan tahap akhir dari diagenesis. Tahap ini ditandai dengan adanya
proses pengangkatan dari sedimen yang telah tertimbun pada kedalaman besar ke

1
11
1
Bab II. DIAGENESIS

permukaan hingga mengalami erosi. Tahapan ini dicirikan dengan adanya overprinting
dari mineral autigenik yang dijumpai pada mesogenesis dengan mineral sekunder baru
yang menandai pembentukan di permukaan seperti lempung autigenik berupa kaolinit,
maupun oksida besi.

Proses diagenesis ini dapat menambah maupun mengurangi jumlah pori dalam
batuan sedimen, sehingga mempengaruhi porositas dan permeabilitas batuan. Sebagai
contoh akibat dari proses diagenesis, nilai porositas dapat meningkat tanpa meningkatkan
nilai permeabilitasnya, begitu pula sebaliknya. Adapun tahapan dari proses diagenesis
dapat dijabarkan sebagai berikut :

II.2. Tahap Awal Diagenesis (Eogenesis)


II.2.1. Kompaksi Awal
Kompaksi didefinisikan sebagai proses pengurangan
volume batuan akibat hilangnya air dari pori – pori
sedimen. Proses ini dapat berlangsung akibat adanya
tekanan pembebanan dari sedimen yang diendapkan di
atasnya. Kecepatan penurunan porositas terhadap kenaikan
kedalaman selama pembebanan tergantung pada faktor
komposisi asal dari butiran sedimen. Suatu batupasir yang
mengandung banyak material tidak stabil akan
terkompaksi dan tersementasi lebih cepat daripada
batupasir yang mengandung mineral yang secara mekanis
dan kimiawi lebih stabil (Taylor et al., 2010). Pada tahap
awal diagenesis, proses kompaksi secara fisika terutama
berlangsung melalui mekanisme rotasi, dimana hal ini
Gambar 2.3 Ilustrasi mengakibatkan butiran saling bergerak mendekat dan
proses kompaksi terhadap melakukan penyusunan ulang orientasi butirnya (grain
penyusunan ulang butir
(grain rearrangement). rearrangement, Gambar 2.3). Pada batupasir kaya kuarsa,
dimana tidak dijumpai komponen ductile, rotasi butiran
menjadi mekanisme utama yang berlangsung.

1
12
2
Bab II. DIAGENESIS

Proses kompaksi tidak hanya ditunjukkan dari besarnya penurunan ketebalan


sedimen, tetapi juga tampak pada kontak antar butir dan penurunan nilai porositas. Tipe
kontak antar butir yang dijumpai pada proses kompaksi awal terdiri atas: a) Floating
contact, b) Point contact/ Tangential contact, c) Long contact. Pada awal proses
pengendapan atau pada kedalaman yang dangkal, butiran dapat memiliki tipe floating
contact, dimana butiran tidak saling bersentuhan atau tampak mengambang pada matriks.
Proses kompaksi awal memungkinkan terjadinya tipe kontak berupa point contact
(dimana ujung partikel sedimen saling berkontak atau menyudut satu sama lain),
penambahan kompaksi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kontak antar butir
menjadi long contact. Proses kompaksi juga menyebabkan keluarnya fluida antar butir
dan pengurangan volume dari porositas awal. Sebagai contoh, batupasir dapat mengalami
penurunan porositas awal yang mencapai 17 – 40%. (Ali et al., 2010). Parameter yang
mempengaruhi kompaksi, bergantung pada karakteristik awal dari sedimen yang
diendapkan, seperti sortasi, derajat kebundaran dan terutama komposisi dari kerangka
butirannya.

II.2.2. Proses Pelarutan


Pelarutan terjadi karena adanya
pergerakan fluida sepanjang ruang pori
sambil memberikan tekanan ke permukaan
butiran dan melarutkan komposisi kimia dari
butiran yang tidak stabil. Tekanan yang
diberikan fluida terhadap permukaan butir,
mampu menguraikan ikatan kimia
molekulnya. Kation dari molekul senyawa
butiran yang terlepas selanjutnya akan
terlarut pada fluida pori dan menghasilkan Gambar 2.4. Pelarutan sebagian pada mineral
komposisi kimia fluida yang baru. Jika yang tidak stabil (feldspar)
komposisi kimia baru yang dihasilkan memiliki alkalinitas yang rendah, hal ini akan
meningkatkan kemampuan fluida dalam bertindak sebagai agen pelarut atau
menyebabkan komponen butiran menjadi lebih mudah larut.
Pada tahap awal diagenesis, proses pelarutan umumnya menghasilkan pelarutan

1
13
3
Bab II. DIAGENESIS

sebagian (partial dissolution) dari komponen butiran yang tidak stabil seperti feldspar
(Gambar 2.4). Beberapa parameter yang berperan dalam proses pelarutan antara lain
perubahan suhu, tekanan, fase fluida, serta pelarutan dan represipitasi dari mineral yang
sudah ada.

II.2.3. Autigenesis
Autigenesis merupakan suatu proses
dimana mineral baru terbentuk di suatu
lingkungan pengendapan tertentu melalui
presipitasi atau rekristalisasi (MacNaughton et
al., 2005). Mineral baru yang terbentuk tersebut
selanjutnya disebut sebagai mineral autigenik.
Mineral ini berbeda dengan mineral alogenik
yang berasal dari hasil rombakan dan transportasi
dari tempat lain. Pembentukan mineral autigenik Gambar 2.5. Proses penggantian mineral
primer (feldspar) oleh mineral sekunder
berkaitan dengan kehadiran dari komponen
(kaolinit).
butiran yang tidak stabil berinteraksi dengan
fluida pori yang bersifat melarutkan komposisi kimiawi butiran. Proses deformasi butir
juga mendukung proses pelarutan menjadi semakin intensif dan mengakibatkan
komposisi kimia fluida menjadi jenuh. Kondisi fluida yang jenuh memungkinkan untuk
terjadinya presipitasi dan rekristalisasi dari mineral asal (pre-existing mineral; seperti
feldspar, mika dan mineral tidak stabil lainnya). Presipitasi dapat berlangsung pada ruang
pori, permukaan butiran, hingga menggantikan mineral (replacement) (Gambar 2.5).
Akibatnya mineral primer akan terubah menjadi mineral sekunder untuk mencapai
kesetimbangan secara fisika dan kimia. Mineral lempung montmorillonite yang termasuk
kelompok dari tipe lempung smektit, mencerminkan proses pembentukannya yang
berasal dari hasil pelarutan dan redeposisi dari material abu volkanik.
Mineral autigenik memiliki variasi yang lebih beragam daripada tipe semen, hal
ini dirangkum pada tabel 2.1. Glaukonit merupakan contoh mineral autigenk yang
terbentuk secara insitu pada lingkungan laut dangkal dengan kedalaman <500 m,
temperatur 15oC dan berada di bawah kondisi sub-oxic. Mineral ini merupakan hydrous

1
14
4
Bab II. DIAGENESIS

phyllosilicate yang kaya akan kation Fe dan K (López-


Quirós et al., 2019) (Gambar 2.6). Karena terbentuk
secara insitu pada lingkungan laut dangkal mineral
glaukonit merupakan komponen dari material
autochthon.
Mineral ini tampak berwarna kehijauan pada
pengamatan di bawah mikroskop polarisasi. Glaukonit
yang menunjukkan adanya bercak kecoklatan
Gambar 2.6. Foto SEM dari
menunjukkan bahwa mineral ini mengalami mineral glaukonit
penampian ke arah darat dan laut oleh arus ombak,
badai maupun pasangsurut saat pembentukannya belum sempurna. Hal tersebut
mengakibatkan glaukonit memiliki kedewasaan yang rendah dan mencerminkan asal
komponen parautochthonous. Pada pengamatan dengan SEM mineral ini tampak
diselubungi oleh mineral lempung- smektit. Secara umum, faktor yang mempengaruhi
dalam pembentukan mineral autigenik adalah kumpulan mineral teutama mineral yang
tidak stabil, suhu, tekanan, konsentrasi ionik, pH, kehadiran elektron dan penambahan
fluida pada ruang pori.
Kehadiran mineral autigenik menarik untuk dipelajari karena dapat memberikan
gambaran kondisi fisio-kimia dari suatu akumulasi sedimen (terutama terkait pH dan
salinitasnya), proses diagenesisnya serta proses pembatuan atau litifikasi dari sedimen.

Tabel 2.1. Mineral autigenik yang umum dijumpai (James R. Boles, Stephen G. Franks,
1979)
Mineral Rumus kimia
Albit NaAlSi3O8
Anatase TiO2
Anhidrit CaSO4
Apatit Ca5(PO4)3(F,Cl,OH)
Aragonit (ortorombik) CaCO3
Barit BaSO4
Boehmit AlO(OH)
Kalsit (heksagonal) CaCO3

1
15
5
Bab II. DIAGENESIS

Mineral Rumus kimia


Celestite SrSO4
Mineral lempung - Klorit (Mg, Fe2+, Fe3+)6.(Al,Si3)O10(OH)8
Mineral lempung – Illite K(Al)2(AlSi3)O10(OH)2
Mineral lempung - Kaolinit Al2Si2O5(OH)4
Mineral lempung - Smektit (Na, 0,5Ca)0,5(Al, Mg, Fe)2.(Al,
Si3)O10(OH)2.nH2O
Dolomit CaMg(CO3)2
Gibsit Al(OH)3
Glaukonit K(Al, Mg,Fe2+, Fe3+)2.(Al, Si3)O10(OH)2.nH2O
Goetit Fe2O3.n(H2O)
Gipsum CaSO4. 2(H2O)
Halit NaCl
Hematit Fe2O3
Leucoxene TiO2
Limonit FeO(OH). n(H2O)
Opal (amorf) SiO2. n(H2O)
Ortoklas KAlSi3O8
Pirit (isometric) FeS2
Pirolusit MnO2
Kuarsa SiO2
Siderit FeCO3
Zeolit – Klinoptilolit (Na, 0,5Ca, K)3,5(Al3,5, Si14,5)O36.nH2O
Zeolit – Analcime NaAlSi2O6 . H2O
Zeolit – Laumontit CaAl2Si4O12 . 4H2O

II.2.4. Pembentukan Mineral Sekunder (Sementasi)

Sementasi merupakan hasil presipitasi fluida pori yang membentuk material


sekunder dan bersifat mengikat butiran komponen. Material semen dapat berasal dari
pelarutan air ke dalam porositas batuan, maupun hasil dari pelarutan mineral dalam
batuan yang disertai dengan proses presipitasi. Pertumbuhan kristal baru dapat

1
16
6
Bab II. DIAGENESIS

berlangsung pada permukaan luar butiran dan tumbuh ke luar menuju pori yang terbuka
atau disebut secondary outgrowth (Gambar 2.7 dan 2.8). Tipe semen ini umum dijumpai
pada semen silika (quartz overgrowth) dan feldspar (feldspar overgrowth).
Jenis semen yang umum ditemukan pada batupasir adalah semen karbonat,
lempung dan silika. Dari kedua jenis ini, silika merupakan jenis semen yang dominan.
Tipe semen lain yang dapat dijumpai adalah pirit, gipsum dan zeolit. Terdapat berbagai
faktor yang mempengaruhi tipe dari semen, yakni lingkungan pengendapan, komposisi
mineral dan butiran, temperatur, dan tekanan. Kuantitas semen tergantung pada
komposisi porositas, kecepatan aliran fluida yang mengalir, dan waktu yang tersedia
selama proses sementasi.
Menurut Tallman (1949), ada
kecenderungan dimana batupasir yang
lebih muda tersementasi dengan
karbonat, sedangkan batupasir yang
lebih tua cenderung tersementasikan
oleh semen silika. Ada kemungkinan
bahwa pada batupasir yang berumur
lebih tua, karbonat telah tergantikan
oleh kehadiran mineral-mineral silika.
Gambar 2.7. Pelarutan dari mineral silikat
mengawali terjadinya sementasi silika
berupa quartz overgrowth.

Gambar 2.8. Ilustrasi proses pelarutan hingga sementasi

1
17
7
Bab II. DIAGENESIS

a. Quartz (SiO2) dan Feldspar Overgrowth


Kuarsa umum ditemukan pada batupasir dikarenakan tingkat kestabilannya
yang tinggi. Kuarsa memiliki tingkat stabilitas yang tinggi, namun bukan berarti tidak
dapat mengalami pelarutan. Semen kuarsa merupakan tipe semen yang umum
dijumpai pada awal diagenesis. Pembentukan dari semen silika diawali dengan adanya
proses pelarutan, dimana mineral silika dapat mengalami pelarutan pada kondisi pH
yang sangat rendah. Akibat pelarutan tersebut menyebabkan fluida menjadi jenuh akan
silika dan membentuk semen silika pada permukaan tepi dari butiran kuarsa.
Pertumbuhan awal semen silika ditandai oleh bentuk morfologi yang rombohedral di
bagian terluar dari permukaan mineral kuarsa dan semakin sempurna pertumbuhan
semennya akan membentuk morfologi semen yang prismatik (Weibel et al., 2010). Hal
ini berbeda dengan semen feldspar yang menunjukkan kesan bentuk semen yang
tabular maupun blocky. Walaupun semen kuarsa umumnya hadir menyelubungi
butiran kuarsa, tetapi semen ini juga dapat dijumpai mengisi pada pori intragranular
berupa rongga kamar foraminifera. Pertumbuhan semen silika akan terhalangi jika
terdapat semen lempung pada permukaan butir (Gambar 2.9).

Gambar 2.9. Pertumbuhan awal semen silika berbentuk rombohedral yang secara
setempat pertumbuhannya dihalangi oleh kehadiran semen lempung kaolinit

Berbeda dengan kuarsa yang keberadaannya dalam batupasir sangat melimpah,


keberadaan mineral feldspar terbilang cukup banyak namun tidak sebanyak kuarsa.
Feldspar merupakan mineral yang cenderung tidak stabil, namun hal itu tidak bersifat
mutlak, mengingat ada berbagai jenis feldspar. Feldspar yang kaya akan unsur kalsium
(Ca) relatif kurang stabil. Sedangkan feldspar alkali (K-feldspar) relatif stabil, contohnya
mikroklin. Sama halnya dengan kuarsa, mineral feldspar juga dapat membentuk feldspar

1
18
8
Bab II. DIAGENESIS

overgrowth dan meluas di permukaan butir asal (secondary enlargement). Lingkungan


yang mendukung terbentuknya feldspar, yakni adanya silika (baik yang berasal dari
skeletal organisme, maupun dari hidrolisis silika serta melimpah akan ion Natrium dan
Kalium.
Feldspar autigenik sering ditemukan berasosiasi dengan mineral sekunder zeolit
dan mineral lempung. Feldspar autigenik dapat hadir pada batupasir dari beragam umur,
mulai dari umur Pleistocene hingga Precambrian, namum lebih umum dijumpai
melimpah pada batupasir dengan umur yang lebih tua. Contoh dari feldspar autigenik
yang dapat ditemukan pada batupasir yakni K-Feldspar dan Albite.

b. Kaolinite
Kaolinite termasuk salah satu jenis dari mineral
lempung, yang terbentuk pada lingkungan
pengendapan yang reduktif atau memiliki air
dengan pH asam. Kehadiran kaolinit
menunjukkan proses penimbunan (burial) yang
dangkal. Pembentukan semen kaolinit diduga
berasal dari pelarutan mineral feldspar maupun
mika muskovit yang memiliki kandungan
Gambar 2.10. Proses pelarutan
alumino silikat tinggi, sehingga kehadirannya menghasilkan penggantian sebagian
umum dijumpai didekat komponen butiran labil maupun keseluruhan dari mineral feldspar
tersebut (Gambar 2.10).
Semen kaolinit umumnya hadir sebagai tipe
semen yang mengisi pori primer (intergranular
maupun intragranular pore) maupun sekunder
(porositas pelarutan) (Gambar 2.11). Pembentukan
semen maupun penggantian oleh kaolinit ini
dikontrol oleh adanya interaksi antara mineral
aluminosilikat dengan fluida pada pH dan suhu
tertentu. Peningkatan dari burial depth (>2 km),
Gambar 2.11. Pore-filling semen
menyebabkan kaolinit bertransformasi menjadi
kaolinit pada pori intragranular
dickite dan membetuk mixed-layer kaolinite-dickite.

1
19
9
Bab II. DIAGENESIS

c. Zeolite
Zeolit sekunder terbentuk selama dan setelah penimbunan (burial) akibat adanya
reaksi antara air pori dengan material aluminosilikat seperti gelas volkanik, feldspar,
silika biogenik dan mineral lempung. Kehadiran semen zeolit pada batupasir identik
dengan karakteristik batuan reservoar yang bersifat vulkaniklastik, dimana material
vulkanik yang bersifat tidak stabil mudah larut kemudian terpresipitasi membentuk
semen zeolit. Jenis dan kelimpahan zeolit yang dijumpai tergantung pada tekstur dan
komposisi dari batuan pembawa, komposisi air pori dan suhu (Ali et al., 2010). Sebagai
contoh, ketika semen zeolit yang dijumpai tipe laumontite dan/ atau klinoptilolit, maka
hal ini menunjukkan bahwa pelarutan dari komponen sedimen menyebabkan fluida
menjadi jenuh akan Ca dan Na, sehingga akan dapat dijumpai presipitasi dari tipe zeolite
laumontite dan klinoptilolit yang berasosiasi dengan semen smektit (Gambar 2.12).

Gambar 2.12. Sampel batupasir vulkanik menunjukkan kehadiran semen zeolite dan
lempung smektit yang terbentuk dari hasil presipitasi fluida pelarutan dari litik tipe
andesitik.
d. Pirit (FeS2)
Secara genetik, pirit merupakan hasil ubahan dari material amorf hydrotroilite
(FeS) pada tahap awal diagenesis (Ali et al., 2010). Material amorf ini terbentuk dari hasil
reduksi sulfat dan umum dijumpai pada sedimen yang diendapkan di lingkungan reduktif,
seperti rawa, daerah pasang surut (tidal) dan lain - lain. Semen pirit umumnya hadir
mengisi ruang pori. Pada lingkungan pengendapan yang sesuai, kehadiran pirit tidak
hanya bertindak sebagai semen, melainkan juga dapat menggantikan sebagian komponen
mineral yang tidak stabil seperti mika biotit (Gambar 2.13).

2
20
0
Bab II. DIAGENESIS

Gambar 2.13. Proses sementasi dan penggantian komponen tidak stabil (mika) oleh framboidal
dan sucrossic pyrite

Pirit dapat berbentuk seperti butian halus yang disebut sucrossic pyrite maupun berupa
kumpulan agregat yang menyerupai bola atau elips yang disebut sebagai framboidal
pyrite. Framboidal pyrite dapat terbentuk sebagai hasil pelarutan dan penggantian dari
material organik yang berbentuk membola (seperti algae Botryococcus sp.). Proses
pelarutan berlangsung efektif pada lingkungan reduktif, dimana kondisi pHnya
memungkinkan terjadinya penggantian oleh mineral pirit. Jika agregat ini dijumpai
berbentuk elips, hal ini menunjukkan bahwa proses kompaksi akibat penimbunan
sedimen menghasilkan modifikasi dari bentuk asal framboidal pyrite seperti ditunjukkan
pada gambar 2.14.

Gambar 2.14. Proses penggantian material organik oleh mineral pirit pada kondisi
lingkungan reduktif (Nugraheni et al., 2013)
e. Gipsum
Gipsum merupakan jenis mineral sulfat yang paling umum dijumpai sebagai agen
sementasi pada batupasir. Semen ini dihasilkan dari presipitasi fluida jenuh sulfat pada
lingkungan air payau. Secara umum, gipsum terbentuk pada singkapan dengan

2
21
1
Bab II. DIAGENESIS

kedalaman yang lebih dangkal dan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan anhidrit.
Keberadaan dari semen gipsum dipengaruhi oleh kondisi temperatur, salinitas dan
tekanan yang rendah.
f. Semen karbonat (Kalsit, Dolomit, Siderit)
Kehadiran semen kalsit pada batupasir menunjukkan kondisi lingkungan
pengendapan laut (marine). Walaupun demikian pada lingkungan transisi (seperti estuari)
juga dapat dijumpai air payau dengan salinitas tertentu memungkinkan terjadinya
pembentukan sementasi awal kalsit. Kehadiran semen kalsit juga dapat mengindikasikan
proses sedimentasi yang berada pada kedalaman besar akibat terjadinya penimbunan
(burial). Banyak semen kalsit yang dapat terbentuk pada kedalaman > 300 m (Ali et al.,
2010). Walaupun demikian, beberapa semen kalsit penciri Eogenesis membentuk kemas
poikilotopik. Tipe semen poikilotopik ini mengelilingi butiran yang tersusun dengan
dengan kemas terbuka. Semen ini dapat memiliki ukuran beberapa mm hingga beberapa
cm. Kondisi semen poikilotopik yang mengelilingi butiran dengan kerapatan longgar
mengindikasikan bahwa sementasi berlangsung pada kedalaman yang dangkal sebelum
mengalami kompaksi lebih lanjut. Kalsit umumnya hadir pada tahap awal dari presipitasi
semen karbonat dan diikuti oleh presipitasi dari semen dolomit. Walaupun demikian
dolomit juga dapat hadir pada tahap awal presipitasi. Presipitasi semen kalsit membentuk
kristal anhedral berukuran besar dengan mengisi porositas moldic maupun menggantikan
semen lainnya. Semen karbonat umumnya mengisi pori (pore- filling) dan menyelubungi
butiran (grain-coating) (Gambar 2.15).

Gambar 2.15. Semen karbonat yang hadir sebagai pore-filling dan grain coating cement
pada batupasir

2
22
2
Bab II. DIAGENESIS

Autigenik siderit dapat dijumpai sebagai kristal berbentuk belah ketupat yang
umumnya terkonsentrasi pada laminasi lempung maupun lempung yang kaya abioturbasi.
Hal ini terjadi karena laminasi dari lempung umumnya memiliki ketersediaan besi dan
oksida besi yang tinggi. Pembentukan siderit berlangsung pada tahap awal sebelum
kompaksi lamina lempung berlangsung, dimana hal ini melibatkan interaksi antara oksida
besi dengan air bikarbonat yang berasal dari air meteorik kaya CO2 dan berlangsung pada
laminasi lempung.

II.2.5. Bioturbasi

Bioturbasi merupakan rekaman hasil aktivitas organisme (seperti menggali/


burrowing, berjalan/ grazing, tinggal/ dwelling dan mencari makan / feeding) yang dapat
mengganggu atau mengubah tekstur dan struktur asal dari sedimennya. Dalam
pembentukan burrow, beberapa organisme mampu memisahkan komponen (mineral
tertentu dan klastika kasar) dari sedimen. Ketika bioturbasi memotong struktur internal
laminasi, tipe bioturbasi ini akan menghasilkan porositas yang terisolasi karena bagian
terluar dari galian organisme berupa laminasi
lanau atau lempung. Sebaliknya, organisme
lainnya dapat mencampurkan komponen
sedimen. Ketika bioturbasi berlangsung intensif,
banyak dari struktur internal sedimen berupa
perlapisan dan laminasi yang menjadi rusak
maupun hilang sepenuhnya. Selain merusak
struktur sedimen, kehadiran bioturbasi dapat
mempengaruhi orientasi partikel, memperburuk
sortasi sedimen dan menurunkan nilai porositas
Gambar 2.16. Bioturbasi mengacaukan
dan permeabilitas batupasir ketika organisme ini struktur internal dan orientasi butir
mencampurkan lempung dari sedimen di atasnya batupasir
(Ali et al., 2010) (Gambar 2.16).
Derajat bioturbasi menyatakan fungsi dari densitas populasi organisme, kedalaman
dari sedimen yang terganggu serta kecepatan sedimentasi. Kelimpahan lokal dari
bioturbasi terjadi hampir pada semua tipe endapan, baik pada lingkungan marin, non-
marin maupun sedimen deltaik. Kehadirannya dapat dikenali dari bentukan laminasi dan

2
23
3
Bab II. DIAGENESIS

orientasi susunan butir yang terganggu maupun seperti sarang dan kantung dari sedimen lanau
dan lempung pada pasir.

II.3. Tahap Menengah Diagenesis – Mesogenesis


Mesogenesis merupakan suatu tahapan diagenesis lanjut yang terjadi setelah
sedimen melewati proses yang dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya
sebelum mengalami tingkat metamorfisme rendah. Jika proses Eogenesis terjadi dekat
dengan permukaan dari lingkungan pengendapan tertentu, maka berbeda dengan
mesogenesis yang terjadi pada kedalaman tertentu. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi mesogenesis ini antara lain waktu dan termperatur, adanya kehadiran
fluida, mineralogi primer, gas hidrokarbon, hingga geokimia air pori. Batas antara
tahap mesogenesis dengan eogenesis bergantung kepada kedalaman dan temperatur
pada lingkungan tersebut. Mesogenesis ditandai dengan beberapa proses, yakni
kompaksi mekanik dan kimiawi, pertumbuhan semen, dan kerusakan pada porositas
primer. Perbedaan tahapan dalam diagenesis ditunjukkan oleh diagram berikut
(Gambar 2.17) :

Gambar 2.17. Skema tahapan diagenesis

2
24
4
Bab II. DIAGENESIS

II.3.1. Kompaksi Lanjut


Proses pengendapan sedimen yang berlangsung secara bertahap dalam waktu
yang lama akan menyebabkan terjadinya pembebanan pada lapisan sedimen bagian
bawah akibat pembebanan dari sedimen diatasnya. Proses penimbunan dan pembebanan
lanjut inilah yang menyebabkan proses kompaksi lanjut. Akibatnya, air yang terkandung
didalam lapisan batuan akan tertekan keluar dari ruang pori sedimen. Proses kompaksi
ini mengakibatkan terjadinya pengurangan porositas dan ketebalan lapisan. Kompaksi
pada batupasir dapat dicirikan oleh empat proses, yakni penyusunan ulang butiran,
deformasi komponen brittle, pembengkokan (bending) pada komponen ductile dan
proses disolusi.
Taylor (2010) mengemukakan bahwa proses
kompaksi menghasilkan 4 tipe hubungan antarbutir,
yaitu tangential, long, concavo-convex, dan sutured
(Gambar 2.18). Keempat tipe tersebut dapat
terbentuk karena dipengaruhi oleh meningkatnya
kedalaman penimbunan saat diagenesis terjadi. Pada

Gambar 2.18. Tipe kontak proses kompaksi lanjut dapat dijumpai tipe kompaksi
antarbutir concavo-convex, dan sutured. Tipe kompaksi suture
terjadi karena butiran yang menggerus satu dengan lainnya akibat tekanan pelarutan di
sepanjang butiran yang saling bersentuhan. Kontak ini akan meninggalkan penampakan
seperti bergerigi di tepian permukaannya. Kompaksi juga erat kaitannya dengan
sementasi, dimana kedua proses ini berkesinambungan dalam mengurangi porositas
batupasir. Sementasi akan hadir mengisi rongga antarbutir dan pertumbuhannya relatif
tegak lurus terhadap butiran. Meskipun proses kompaksi dapat mengurangi nilai porositas
dan permeabilitas batuan, namun pada tahap tertentu dimana nilai kuat tekan partikel
sedimen penyusun lebih rendah daripada tekanan kompaksi yang berlangsung, hal ini
akan dapat meningkatkan besaran nilai porositas dan permeabilitas melalui rekahan-
rekahan (fractures) yang terbentuk.

II.3.2. Rekristalisasi lanjut

Menurut (Nichols, 2009), rekristalisasi merupakan keadaan dimana struktur


kristal baru terbentuk tanpa mengubah komposisi kimia awal. Proses rekristalisasi lanjut

2
25
5
Bab II. DIAGENESIS

merupakan proses dimana terdapat perubahan pada ukuran dan bentuk kristal dari
mineral, namun komposisi kimianya cenderung tidak berubah. Pada saat sedimen
terakumulasi, mineral yang kurang stabil akan cenderung mengkristal kembali atau
mengalami rekristalisasi agar menjadi stabil. Misalnya, mineral aragonit akan mengalami
rekristalisasi menjadi kalsit (Soldati et al., 2016). Aragonit (CaCO3) memiliki bentuk
kristal orthorombik yang cenderung tidak stabil (Wang et al., 2012), dan akhirnya
berubah menjadi kalsit yang memiliki sistem kristal heksagonal dan lebih stabil (Gambar
2.19).

Gambar 2.19 Morfologi dan


sistem kristal aragonit
dibandingkan dengan kalsit (a,
b) Aragonite memiliki sistem
kristal orthorombik, dimana
atom Ca (hijau) berikatan
dengan 9 atom O.
Gambar ( c ) Calcite, memiliki
sistem kristal Trigonal.
Gambar (d), atom Ca,
terkoordinasi secara oktahedral
dengan atom O (Soldati et al.,
2016); (Wang et al., 2012)

II.3.3. Pelarutan Lanjut

Pelarutan yang terjadi pada batuan umumnya terjadi pada matriks, mineral
maupun fragmen batuan yang tidak stabil. Contoh mineral yang sering mengalami
pelarutan adalah mineral feldspar (Gambar 2.20). Proses pelarutan feldspar terjadi
melalui reaksi berikut :

CaAl2Si2O8 + H2CO3 + ½O2 —> Al2Si2O5(OH)4 + Ca2+ + CO32-


Ca-plagioklas + air hujan + oksigen —> smektit + ion
karbonat
2
26
6
Bab II. DIAGENESIS

Gambar 2.20. Proses pembentukan pori dan mineral sekunder dari hasil
pelarutan K-feldspar (Yuan et al., 2015)

Pada reaksi tersebut, sebagai contoh, Ca- plagioklas larut oleh air dan membentuk
mineral baru yakni smektit, dan juga hadirnya ion karbonat. Nantinya, ion karbonat ini
bisa saja bergabung membentuk mineral kalsit yang akan hadir sebagai semen. Proses
pelarutan menyebabkan terbentuknya rongga pada batuan. Proses ini dikontrol oleh pH,
temperature, tekanan parsial karbon dioksida, komposisi kimia, dan ion. Pelarutan dari
mineral feldspar berkontribusi dalam menghasilkan porositas serta mineral sekunder
kaolinit, illite, smektit dan lain – lain seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.21 (Ma et
al., 2017):
Pelarutan mineral feldspar berperan
penting pada diagenesis batuan sedimen,
karena akan mempengaruhi properti fisik
dari porositas dan permeabilitas batuan.
Pelarutan lanjut yang terjadi pada feldspar
akan diikuti dengan pembentukan mineral
authigenik sehingga semakin besar proses
pelarutan berlangsung yang diikuti dengan
pembentukan mineral autigenik akan
memodifikasi ruang pori menjadi porositas
Gambar 2.21. Grafik hubungan antara mikrokristalian diantara kristal semen
tingkat pelarutan dengan porositas dan
permeabilitas yang dihasilkan (Ma et sehingga permeabilitasnya menurun.
al., 2017)

2
27
7
Bab II. DIAGENESIS

Pelarutan mineral feldspar dapat menghasilkan mineral baru berupa kuarsa,


kaolinite maupun illite yang terpresipitasi dalam pori. Perhitungan massa menunjukkan
bahwa sebagian besar mineral silika berasal dari pelarutan K-Feldspar yang kemudian
terendapkan sebagai semen kuarsa. Adanya pelarutan feldspar juga menyebabkan
berkurangnya permeabilitas reservoir karena terbentuknya semen autigenik, terutama
selama transformasi dari kaolinit menjadi ilit.

II.3.4. Pembentukan Mineral Sekunder (Sementasi / pergantian)

Sementasi merupakan salah satu tahapan dalam diagenesis yang berdampak pada
kualitas reservoir batupasir. Pada tahapan mesogenesis, sementasi lanjut ditandai oleh
terbentuknya beberapa tipe semen berikut :
a) Mixed Layer ( Illite-Smektit)
Apabila semen lempung illite membentuk struktur yang identik dan sulit
dibedakan dengan smektit maka keduanya akan membentuk kesatuan agregat illite-
smektit yang morfologi kristalnya saling berselingan satu sama lain yakni membentuk
perpaduan dari bentuk pita yang bergelombang (Gambar 2.22).
Adanya kehadiran mineral lempung seperti smektit-ilit menjadi indikator yang
baik untuk menentukan kedalaman penimbunan dari sedimen (kedalaman burial).
Mineral illit terbentuk dari muskovit melalui proses alterasi. Alterasi muskovit menjadi
illit dapat terjadi karena hilangnya sejumlah ion K+ dari struktur kristal yang kemudian
digantikan oleh air (Brigatti et al., 2013). Illit juga bisa terbentuk dari mineral primer
yakni K-feldspar melalui proses penghabluran.

Gambar 2.22. (kiri) Ilustrasi susunan struktur kristal dari mixed-layer Illite-Smectite
(Brigatti et al., 2013), (kanan) foto SEM dari mixed-layer illite-smectite berbentuk seperti
pita bergelombang

2
28
8
Bab II. DIAGENESIS

b) Klorit

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Grigsby (2001), kehadiran semen klorit
dapat terjadi mulai tahap Eogenesis (~20 C) hingga Mesogenesis. Presipitasi dari semen
klorit ini dikontrol oleh mineral asalnya yang kaya akan besi seperti mineral biotit (Huang
et al, 2004). Kehadiran semen klorit dapat meningkatkan porositas mikrokristalin
sehingga membantu dalam meningkatkan kualitas batuan reservoir (Sun et al, 2008).
Kehadiran klorit juga memberikan informasi terkait sejarah diagenesis dan komposisi
kimia dari fluidanya.

A B

Gambar 2.23. A) Pengamatan di bawah mikroskop polarisasi menunjukkan bahwa klorit


hadir sebagai semen pore-lining yang mengelilingi permukaan butir kuarsa, B)
pengamatan dari SEM menunjukkan bahwa pore-lining klorit menghalangi pertumbuhan
dari semen kuarsa.
Semen klorit sering hadir pada reservoir batupasir yang terbentuk pada
lingkungan deltaik dan laut dangkal, terutama lingkungan delta front. Aliran sungai
biasanya membawa suplai ion Fe. Ion-ion Fe inilah yang kemudian teralterasi dan
membentuk klorit. Pada batupasir yang tersementasikan oleh klorit, tipe porositas yang
umumnya ditempati oleh semen klorit adalah porositas intergranular dengan konektivitas
yang baik antara satu dengan lainnya (Gambar 2.23a). Pertumbuhan semen klorit pada
tahap lanjut akan mengurangi volume ruang pori primer. Semen ini juga dapat
menghalangi pertumbuhan dari semen kuarsa (Gambar 2.23b). Kehadiran klorit dari
tahap mesogenesis umumnya dijumpai dengan ssemen besi lainnya seperti siderit dan Fe-
dolomit.

2
29
9
Bab II. DIAGENESIS

II.3.5. Pembentukan Pori Intragranular dan Material Organik (Organic Matter)

Proses penimbunan (burial) lanjut akan menyebabkan sedimen mengalami


diagenesis pada kondisi P dan T yang lebih tinggi daripada proses diagenesis awal.
Peningkatan kondisi P dan T inilah yang mampu menghasilkan pematangan dari material
karbon (carbonaceous material) yang terawetkan pada sedimen berbutir halus. Wujud
nyata dari proses pematangan material karbon ini secara visual tampak dari terbentuknya
porositas intragranular atau intrapartikel (Nugraheni, 2015). Porositas intragranular
merupakan porositas yang terbentuk di dalam butir atau partikel. Pematangan geokimia
juga dapat teramati dari hasil pengukuran tingkat kematangan termal vitrinit (vitrinite
Reflectance – level Ro). Porositas intragranular ini mulai dapat terbentuk jika material
organik memiliki tingkat kematangan Ro sekitar ≥ 0.6 (Dow, 1977). Apabila batuan
memiliki tingkat kematangan yang rendah, maka porositas intragranular ini akan jarang
dijumpai. Pori yang terbentuk ini memiliki bentuk tidak teratur, seperti gelembung,
dengan potongan melintang elips dan panjang pori bukaan berkisar 5 -750 mikrometer
(Gambar 2.24). Secara dua dimensi pori ini tampak terisolasi, tetapi secara tiga dimensi
porositasnya terhubung satu sama lain (Loucks et al., 2009). Porositas intragranular ini
dapat terbentuk sebanyak 50% (Curtis, 2010). Beberapa tipe material organik memiliki
struktur bawaan yang mengontrol pembentukan dan distribusi dari pori.

Gambar 2.24. Porositas intragranular dari material karbon yang terbentuk ketika tingkat
kematangan Ro-nya ≥ 0,6

II.4. Tahap Akhir Diagenesis – Telogenesis

Telogenesis merupakan tahap akhir dalam diagenesis yang terjadi karena adanya
proses uplift / pengangkatan, dimana, lapisan batuan yang awalnya berada di bawah
permukaan dapat tersingkap ke permukaan akibat adanya pengangkatan dan erosi.
Telogenesis juga meliputi proses oksidasi dan reduksi pada mineral pirit, Fe-clay mineral, dan

3
30
0
Bab II. DIAGENESIS

Fe-carbonates, serta disolusi dan alterasi mineral akibat pH air yang rendah, seperti pelarutan dari
mineral karbonat menjadi mineral sulfat.

Gambar 2.25. Ilustrasi tahapan


diagenesis. Zona dimana proses
telogenesis terjadi berkaitan
dengan adanya proses uplift /
pengangkatan batuan ke
permukaan dan berkontak
langsung dengan air meteorik.

Pada awal terjadinya proses pengangkatan (uplift), sebelum batuan sedimen


tersingkap ke permukaan bumi, akan memungkinkan terjadinya penggantian mineral
(Morad et al., 2000) (Gambar 2.25). Sebagai contoh pada kedalamanan tertentu yang
memiliki suhu lebih besar, anhidrit dapat menggantikan gipsum. Ketika pengangkatan
berlangsung yang mengakibatkan sedimen berkontak langsung dengan hidrosfer, akan
menyebabkan gipsum terbentuk kembali menggantikan anhidrit. Hal yang sama
berlangsung terhadap mineral besi, dimaka proses pengangkatan memungkinkan sedimen
mengalami proses oksidasi akibat berkontak dengan oksigen bebas di atmosfer, sehingga
akan dijumpai penggantian oleh mineral hematit.

Gambar 2.26. Ilustrasi kemungkinan


air meteorik dapat hadir pada lapisan
yang memiliki ketidakselarasan
(Morad et al., 2000). Terdapat pola
penyebaran yang beda dari alterasi
telogenesis. Sebagai contoh, pada
daerah C, air meterorik dapat
teralirkan melalui struktur patahan,
sedangkan pada daerah B, air meteorik
masuk melalui lapisan batupasir.

3
31
1
Bab II. DIAGENESIS

Indikator utama dari fase telogenesis ini dapat diketahui dengan kehadiran
mineral kaolinit yang menindih atau menumpuki mineral lempung klorit maupun ilit yang
umum dijumpai pada mesogenesis. Proses pengangkatan mendukung terjadinya pelarutan
dari mineral silikat akibat kontak langsung dengan air meteorik di permukaan sehingga
mineral kaolinit dapat terbentuk. Air meteorik ini diyakini dapat masuk hingga
kedalaman 3 kilometer, namun seringkali mencapai puluhan hingga ratusan meter di
bawah permukaan dan menghasilkan mineral ubahan. Adapun faktor yang
mempengaruhi distribusi spasial dan temporal dari telogenesis bergantung pada tingkat
pengangkatan di atas permukaan air, iklim, porositas dan permeabilitas batuan asal
selama Eogenesis dan Mesogenesis, kehadiran lapisan lempung, sesar maupun komposisi
mineral asalnya (Gambar 2.26).

II.4.1. Pembentukan Mineral Sekunder (Sementasi / penggantian)


a. Kaolinit
Modifikasi yang paling penting terjadi pada telogenesis akibat adanya
pengangkatan dan pengaruh air meteorik pada batuan sedimen silisiklastik yaitu adanya
pelarutan dari butiran / mineral yang tidak stabil, seperti feldspar, mica, fragmen batuan,
dan mineral berat. Masuknya air meteorik ini akan meningkatkan kelembaban batuan dan
melarutkan mineral aluminosilikat (termasuk K-feldspar) yang disertai dengan
pembentukan lempung kaolinit maupun dickite. Berbeda dengan kaolinit yang terbentuk
pada masa eogenetik, kaolinit telogenetik dapat berasosiasi dengan semen karbonatan
yang merupakan hasil dari tahap Eogenesis dan mesogenesis. Karena telogenesis
berkaitan dengan proses pengangkatan yang diikuti dengan erosi, maka tahapan
diagenesis ini dapat digunakan untuk menandai bidang ketidakselarasan, terutama
melalui kehadiran mineral kaolinit yang diperoleh dari hasil pelarutan mineral K-feldspar.
Pelarutan dari K-feldspar dan penghilangan unsur K di dalam lapisan yang tidak selaras
dapat dibuktikan dengan peningkatan rasio Th/K pada gamma-ray log (Gambar 2.27).
Proses pelarutan yang intensif akibat kontak dengan air meteorik akan meningkatkan
porositas sekunder dari batuan reservoar yang berada pada tahapan telogenesis ini.

3
32
2
Bab II. DIAGENESIS

Gambar 2.27. Pola distribusi dari porositas, permeabilitas dan pengaruh


kaolinit pada saat telogenesis terjadi. Terdapat peningkatan dari pelarutan
plagioklas, mica, dan K-feldspar yang terjadi di permukaan.

b. Oksida besi
Penurunan tekanan dan temperatur yang signifikan akibat pengangkatan tentunya
berdampak p da karakteristik batupasir. Kondisi permukaan memiliki ketersediaan
oksigen bebas yang jauh lebih melimpah dibandingkan dengan kondisi di bawah
permukaan. Sehingga ketika mineral tersingkap ke permukaan, mineral ini akan dengan
mudahnya bereaksi dengan oksigen atau mengalami oksidasi. Tipe mineral yang mudah
mengalami oksidasi adalah mineral besi, sehingga kehadiran oksida besi menjadi salah
satu penciri dari tahapan telogenesis. Contoh oksida besi yang dapat terbentuk adalah
hematit (dapat menggantikan mineral siderite maupun pirit). Oksida besi lainnya yang
dapat dijumpai antara lain limonit dan goettit. Oksida besi ini umumnya terbentuk
sepanjang rekahan intergranular di sekitar inti mineral Fe-silikat (seperti biotit dan
piroksen).

II.4.2. Proses Pelarutan


Batupasir yang mengalami perubahan tahap diagenesis dari mesogenesis ke
telogenesis akan memiliki porositas yang semula ketat kemudian memiliki porositas
sekunder berupa pelarutan. Proses pelarutan intensif berlangsung karena batuan sedimen
berada di atas batas muka air tanah dan berkontak langsung dengan air meteorik.
Masuknya air meteorik akan melarutkan komponen sedimen yang tidak stabil dan
menghasilkan porositas pelarutan serta memperbesar permeabilitas batuannya. Pelarutan

3
33
3
Bab II. DIAGENESIS

dapat berlangsung di sepanjang zona rekahan (fracture) jika rekahan tidak terisi oleh
semen kuarsa maupun pirit. Proses pelarutan di dalam rekahan ini dipengaruhi oleh
ukuran dan morfologi rekahan. Beberapa mineral yang terbentuk pada tahap eogenesis
dan mesogenesis seperti kalsit, dolomit, sulfat, dan feldspar overgrowth, selanjutnya juga
akan mengalami pelarutan akibat air meteorik yang masuk atau menginfiltrasi hingga
kedalaman 200 meter dibawah permukaan.

Bahan Bacaan/ Referensi

Ali, S.A., Clark, W.J., Moore, W.R., Dribus, J.R., 2010. Diagenesis and reservoir quality.
Oilfield Review.
Brigatti, M.F., Galán, E., Theng, B.K.G., 2013. Structure and Mineralogy of Clay
Minerals, Developments in Clay Science.
Curtis, M.E., 2010. Structural Characterization of Gas Shales on the Micro- and Nano-
Scales .
Dow, W.G., 1977. 1-S2.0-0375674277900784-Main 7, 79–99.
James R. Boles, Stephen G. Franks, 1979. Clay Diagenesis in Wilcox Sandstones of
Southwest Texas: Implications of Smectite Diagenesis on Sandstone Cementation.
SEPM Journal of Sedimentary Research.
López-Quirós, A., Escutia, C., Sánchez-Navas, A., Nieto, F., Garcia-Casco, A., Martín-
Algarra, A., Evangelinos, D., Salabarnada, A., 2019. Glaucony authigenesis,
maturity and alteration in the Weddell Sea: An indicator of paleoenvironmental
conditions before the onset of Antarctic glaciation. Scientific Reports.
Loucks, R.G., Reed, R.M., Ruppel, S.C., Jarvie, D.M., 2009. Morphology, Genesis, and
Distribution of Nanometer-Scale Pores in Siliceous Mudstones of the Mississippian
Barnett Shale. Journal of Sedimentary Research 79, 848–861.
Ma, B., Cao, Y., Jia, Y., 2017. Feldspar dissolution with implications for reservoir quality
in tight gas sandstones: evidence from the Eocene Es4 interval, Dongying
Depression, Bohai Bay Basin, China. Journal of Petroleum Science and Engineering
150, 74–84.
MacNaughton, R.B., Beauchamp, B., Dewing, K., Smith, R., Wilson, N., Zonneveld, J.P.,
2005. Encyclopedia of sediments and sedimentary rocks. Geoscience Canada.
Morad, S., Ketzer, J.M., De Ros, L.R., 2000. Spatial and temporal distribution of

3
34
4
Bab II. DIAGENESIS

diagenetic alterations in siliciclastic rocks: Implications for mass transfer in


sedimentary basins. Sedimentology 47, 95–120.
Nugraheni, R.D., 2015. Depositional Architecture And Diagenesis of The Clastic
Sedimentary Systems of The Belaga, Balingian And Begrih Formations, Along The
Mukah-Sibu-Selangau Transect, Sarawak. Universiti Teknologi Petronas.
Nugraheni, R.D., Sum, C.W., Hadi, A., Rahman, A., Nuralia, S., Nazor, B.M., 2013.
Burial Diagenesis of Coal-Bearing Mudrock and Its Relationship to The Evolution
of Pore Types and Abundance. In: Fatt, N.T. (Ed.), Proceedings of The National
Geoscience Conference. Geological Society of Malaysia, Ipoh - Tronoh, Perak State,
Malaysia.
Soldati, A.L., Jacob, D.E., Glatzel, P., Swarbrick, J.C., Geck, J., 2016. Element
substitution by living organisms: The case of manganese in mollusc shell aragonite.
Scientific Reports 6.
Stuart D. Burley, R.H.W., 2003. Sandstone Diagenesis, International Association of
Sedimentologists.
Taylor, T.R., Giles, M.R., Hathon, L.A., Diggs, T.N., Braunsdorf, N.R., Birbiglia, G. V.,
Kittridge, M.G., MacAulay, C.I., Espejo, I.S., 2010. Sandstone diagenesis and
reservoir quality prediction: Models, myths, and reality. AAPG Bulletin 94, 1093–
1132.
Wang, X., Bai, H., Jia, Y., Zhi, L., Qu, L., Xu, Y., Li, C., Shi, G., 2012. Synthesis of
CaCO 3/graphene composite crystals for ultra-strong structural materials. RSC
Advances 2, 2154–2160.
Weibel, R., Friis, H., Kazerouni, A.M., Svendsen, J.B., Stokkendal, J., Poulsen, M.L.K.,
2010. Development of early diagenetic silica and quartz morphologies - Examples
from the Siri Canyon, Danish North Sea. Sedimentary Geology.
Worden, R.H., Burley, S.D., 2009. Sandstone Diagenesis: The Evolution of Sand to
Stone. In: Sandstone Diagenesis.
Yuan, G., Cao, Y., Cluyas, J., Li, X., Xi, K., Wang, Y., Jia, Z., Sun, P., Oxtoby, N.H.,
2015. Feldspar dissolution, authigenic clays, and quartz cements in open and closed
sandstone geochemical systems during diagenesis: Typical examples from two sags
in Bohai Bay Basin, East China. AAPG Bulletin 99, 2121–2154.

3
35
5
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK

BAB III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &


PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR

III.1. Identifikasi Morfologi dan Struktur molekul kristal

Sampel batuan yang umumnya digunakan dalam identifikasi karakteristik batuan


reservoar adalah menggunakan conto setangan dari singkapan di lapangan maupun sampel
bawah permukaan yang berupa cutting (pecahan batuan) maupun core sebagai batuan inti
pemboran. Pengamatan terhadap komponen penyusun batuan secara keseluruhan, baik berupa
mineral primer maupun mineral sekunder (sebagai semen yang merupakan produk diagenesis),
dapat dilakukan melalui pengamatan dibawah mikroskop polarisasi, analisa XRD maupun
SEM. Pengamatan sayatan tipis batuan di bawah mikroskop merupakan tipe analisis kualitatif
guna mengetahui variasi sebaran mineral, tekstur dan struktur pengendapan yang terekam serta
kelimpahan relatif dari komposisi penyusun batuan. Analisis XRD fokus pada penentuan jenis
sekaligus kelimpahan absolut dari bulk mineral termasuk mineral lempung yang tidak dapat
dikenali dibawah mikroskop polarisasi. Jika pada analisis XRD memperhitungkan struktur
internal kristal, analisis SEM-EDAX memberikan gambaran morfologi kristal dan karakteristk
kimia mineral.

III.1.1. Mikroskop Polarisasi


Jenis analisis yang dilakukan dengan mengamati sayatan tipis batuan di bawah
mikroskop polarisasi disebut sebagai analisis petrografi. Analisis petrografi diakui sebagai
teknis identifikasi batuan dalam skala mikroskopis yang ideal untuk mengungkap karakteristik
batuan (termasuk tekstur, struktur, komposisi mineralogi dan fosil, sebagai rekaman proses
diagenesis). Sebelum melakukan analisis petrografi perlu dilakukan preparasi dengan membuat
sayatan tipis batuan terlebih dahulu. Identifikasi jenis mineral dilakukan dengan mengamati
sifat optik tertentu dari setiap mineral antara lain berupa belahan, kembaran, gelapan, warna
interferensi, pleokroisme dan lain - lain. Tipe kuarsa sebagai kerangka butiran sedimen, terbagi
atas kuarsa monokristalin, polikristalin dan chert dimana ketiganya memiliki sifat optik yang
mudah dibedakan satu dengan lainnya berdasarkan gelapannya (Gambar 3.1a,b,c). Mineral

36
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
autigenik lainnya seperti glaukonit, memiliki bentuk khas yang membundar serta berwarna
hijau hingga kekuningan pada nikol sejajar (Gambar 3.1d).

Gambar 3.1. a, b, c) Detil karakteristik tipe kuarsa yang dapat diamati di bawah mikroskop
polarisasi; d) Mineral autigenik glaukonit dengan warna khas hijau membundar

Lempung pada batupasir terbagi menjadi 2, yakni detrital lempung alogenik dan
lempung authigenik. Lempung alogenik merupakan lempung yang terbentuk sebelum
diendapkan dan bercampur dengan fraksi berukuran pasir sesaat setelah diendapkan (Ali et al.,
2010). Lempung juga dapat dperoleh dari hasil pencernaan dan ekskresi organisme (Ali et al.,
2010). Lempung ini disebut sebagai Biogenic Clay atau mud pellet. Beberapa jenis mineral
lempung terutama tipe swelling clay tidak dapat teramati pada analisis petrografi. Jenis mineral
lempung yang masih dapat teramati pada mikroskop polarisasi adalah kaolinit yang ditandai
dengan warna interferensi abu – abu putih orde -1 pada nikol bersilang, serta klorit yang
teramati sebagai warna hijau – hijau kekuningan dan berserabut. Kehadiran semen klorit yang
menyelubungi batuan umumnya dapat teramati dengan baik di bawah mikroskop polarisasi jika
perkembangan tumbuhnya semen berlangsung baik. Jika selubung semen cukup tebal akan
tampak berwarna hijau pucat. Namun jika berukuran kecil menjadi sulit untuk diamati karena
memiliki relief dan dwi bias yang rendah. Ilit umumnya diidentifikasi berdasarkan dwi biasnya
yang tinggi, walaupun kehadiran tetap harus dicek dengan menggunakan XRD.
Semen autigenik lainnya seperti zeolite yang umum
teramati adalah tipe laumontite. Mineral ini ditunjukkan
oleh warna interferensi putih kekuningan hingga sedikit
pink dan tampak blocky. Semen pirit di bawah mikroskop
akan menunjukkan warna gelap baik pada nikol sejajar
maupun bersilang sehingga dapat disebut mineral opak
Gambar 3.2. Semen pirit yang
(Gambar 3.2). Umumnya akan memperlihatkan bentuk menutup porositas intergranular
persegi, segitiga maupun granular yang secara berturut –

37
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
turut menyatakan kaitannya dengan morfologi kubik, pyramidal dan framboid/ sukrosik pada
pengamatan SEM. Pada semen karbonat, kalsit dapat dibedakan dengan feroan kalsit, dolomit
dan feroan dolomit dengan memberikan perlakukan preparasi sampel berupa staining. Larutan
staining yang digunakan adalah alizarin red – S dan Potassium Ferry- Cyanide (Tucker, 2001)
(Tabel 3.1). Tahapan sementasi kalsit dengan komposisi yang berubah menjadi ferroan maupun
magnesian kalsit juga dapat diamati dengan analisis lain menggunakan cathodoluminescence.

Tabel 3.1. Indikator dalam membedakan mineral karbonat dengan staining


Jenis Mineral Reaksi warna yang muncul
Kalsit Pink
Feroan kalsit Biru hingga ungu muda
Solomit Tidak berwarna
Feroan dolomit (ankerit) Biru hijau (turquoise blue)

Dalam melakukan analisa semi- kuantitatif terhadap prosentase komponen penyusun


batupasir, dapat dilakukan melalui analisis point counting. Penerapan teknik point counting di
petrografi, juga dapat dilakukan dilakukan untuk memperkirakan distribusi ukuran butir dari
pengukuran diameter relatif butir pasirnya. Pengamatannya secara sederhana dari foto
petrografi dapat dilakukan dengan membuat grid (kotak – kotak) dengan ukuran yang sama,
kemudian menentukan jenis artikel atau komponen yang ingin diamati.
Perhitungan kehadiran objek yang diamati dilakukan pada setiap radius tertentu dari
titik pusat pengamatan yang berada pada
bagian ujung – ujung grid (Gambar 3.3).
Pengamatan dapat dilakukan secara bertahap
dari beberapa medan pandang pengamatan
mikroskop hingga mencapai sekitar 100 –
300 titik pengamatan. Dari 300 titik
pengamatan, dapat dihitung komposisi batuan
total dan komposisi kerangka butiran sesuai Gambar 3.3. Ilustrasi pengamatan
tabel 3.2. Hal yang sama dilakukan terhadap dengan menggunakan metode point
counting
komponen batupasir yang lain hingga semua
komponen pada batupasir terwakili.

38
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Tabel 3.2. Perhitungan prosentase komponen penyusun batupasir dari 300 titik
pengamatan hasil point counting.
Komposisi batuan total Komposisi kerangka butiran
Komponen Proporsi (%) Komponen Proporsi (%)
Kuarsa 78 Kuarsa 45
Feldspar 60 Feldspar 34
Fragmen batuan 36 Litik 21
Matriks 126
Total 300 Total 100
Total Q, F dan L = 174

III.1.2. X-Ray Diffraction (XRD)


Analisa XRD merupakan tipe analisis kualitatif dan semi kuantitatif yang dapat
dilakukan secara cepat dari seluruh mineral (terutama clay) yang terdapat pada sampel batuan.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan sampel serbuk, dengan berat minimal 5 gram.
Prinsip kerja tabung sinar X adalah terjadinya benturan elektron dengan cepat pada target
kristal yang tersusun atas atom akibat dipancarkan suatu sinar -X. Pancaran elektron yang
membentuk difraksi kuat hanya terdapat pada arah tertentu tanpa adanya jarak tempuh (n = 0)
atau disebut difraksi tingkat 0 serta pada arah dengan jarak tempuh satu panjang gelombang (n
= 1). Hal ini menunjukkan bahwa :
 Hanya susunan atom yang teratur (kristalin) yang dapat menghasilkan sinar elektron
difraksi kuat
 Adanya hubungan antara panjang gelombang sinar X, jarak atom pada kisi kristal dan
sudut difraksi kuat

Metode analisis XRD terbagi menjadi 2 yang dijelaskan sebagai berikut :


1. Analisa Bulk X-Ray
Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi semua mineral yang terdapat pada batuan seperti
kandungan kuarsa, feldspar, karbonat, mineral lempung dan mineral sekunder lainnya. Metode
ini kurang ideal untuk menentukan spesies mineral lempung (kaolinit, illit, klorit dll) namun
dapat digunakan untuk menentukan volume total lempung.
2. Analisa Fraksi Halus (Clay)
Metode ini terutama digunakan untuk menentukan tipe spesies mineral lempung dengan lebih
tepat. Analisis ini menentukan derajat atau tingkat pengembangan dari mineral lempung
(swelling clay). Terdapat 3 perlakuan preparasi yang digunakan sebelum identifikasi, yakni
diangin- anginkan (air-dried), diberi larutan Ethylene Glycol (glycolated) dan dipanaskan
(heated) pada suhu 550oC.

39
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Hasil dari analisis XRD berupa data grafik dari puncak (peak) setiap kristal (Gambar
3.4) serta tabel data dari setiap peak (Tabel 3.3.). Intensitas peak menunjukkan jumlah sinar X
yang terdifraksi, sedangkan lebar peak menunjukkan ukuran kristal (Wicaksono et al., 2017).
Peak grafik hasil difraksi sinar X ini dihasilkan ketika sinar dengan sudut tertentu mampu
diteruskan oleh kristal yang memiliki jarak atom tertentu. Peak difraksi yang berbeda ini terjadi
karena setiap kristal memiliki struktur atom dengan unsur simetri kristal yang berbeda – beda.

Gambar 3.4. Grafik hasil analisis XRD menggunakan tipe difraktometer PANalytical PW
3040/60 dan material anode Cu

Dari data tabel 3.3. diperoleh nilai sudut o2Th (Degrees Two Theta atau sudut difraksi),
d sebagai jarak antar bidang kristal dan I yang merupakan intensitas sinar terdifraksi. Hukum
dasar dalam difraksi sinar X mengacu pada persamaan Bragg untuk mendapatkan nilai d-
spacing yang merupakan jarak bidang. Secara matematis, persamaan Bragg dapat dituliskan
dengan rumus :

𝑛𝜆 = 2𝑑 𝑆𝑖𝑛 𝜃 …………………………………….1)

Dimana : n = jarak tempuh = 1


λ = Panjang gelombang sinar- X
d = jarak bidang
ϴ = sudut datang/ sudut pantul

40
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Hasil scan menggunakan XRD ini dilengkapi dengan software, dimana setiap mineral
dapat langsung teridentifikasi nilai d-nya. Selanjutnya secara manual nilai d tersebut dapat
dicocokkan dengan tabel JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards) untuk
menentukan jenis mineral. Beberapa indikator nilai d-spacing dan intensitas yang mudah
teramati tampak pada kuarsa, dimana peak dengan intensitas tertinggi terdapat pada nilai d-
spacing sekitar 3,343; illit memiliki nilai d sekitar 9,9; kaolinit dengan nilai d sekitar 7,17 dan
lain – lain. Pada tabel 3.3. nilai intensitas diketahui sebagai height.

Tabel 3.3. Data detil setiap peak kristal hasil analisis XRD
Pos. d-spacing [Å] Height [cts] Rel. Int. [%] Backgr.[cts]
[°oo2Thhh.]
6.2541 14.13256 511.59 2.70 1218.17
8.8431 9.99997 825.78 4.36 1118.72
12.3571 7.15710 747.00 3.95 1021.00
12.5127 7.07431 1690.92 8.93 1017.52
13.8851 6.37804 235.96 1.25 988.93
17.7288 5.00295 221.61 1.17 950.55
19.7759 4.48945 409.69 2.16 972.00
20.8650 4.25750 4293.79 22.68 980.00
22.0530 4.03076 485.13 2.56 985.00
23.5848 3.77233 336.46 1.78 991.00
24.2155 3.67245 346.00 1.83 993.00
24.2973 3.66331 366.97 1.94 993.00
24.8695 3.57733 223.00 1.18 994.00

Untuk membedakan mineral lempung menggunakan analisa fraksi halus, identifikasi


dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada variabel o2Th, d-spacing dan
intensitas. Mineral smektit yang merupakan tipe swelling clay, pada ketiga tipe perlakuan
fraksi halus akan menghasilkan perubahan posisi o2Th. Mineral ilit dicirikan dengan adanya
peningkatan nilai d-spacing dan intensitas peak ketika diberi perlakuan pemanasan.
Berkebalikan dengan ilit, mineral kaolinit justru mengalami penurunan intensitas peak atau
peak cenderung menghilang secara berturut – turut dari perlakuan air-dried, glycolated dan
heated (Gambar 3.5).

41
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK

Gambar 3.5. Karakteristik mineral lempung pada analisis XRD dengan perlakuan air-dried,
glycolated dan heated.

III.1.3. Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-


EDS)
Analisis SEM merupakan metode analisis batuan dengan perbesaran mencapai ratusan
hingga ribuan kali. Analisis ini digunakan untuk mengetahui geometri partikel dan semen,
geometri pori, hubungan antar butir batuan, hubungan antar pori dan bentuk leher pori (pore-
throat). Untuk kajian karakterisasi batuan reservoar, sampel SEM yang informatif sebaiknya
diambil dari core plug yang sebelumnya telah dianalisis terkait porositas dan permeabilitasnya,
sehingga hal ini akan dapat dikaitkan dengan pengamatan teksturnya. Sayangnya analisis ini
cenderung mahal dan menghabiskan waktu dalam melakukan observasi, jadi sebisa mungkin
gunakan sampel yang akan banyak memberikan informasi selama pengamatannya.
Selain digunakan untuk pengamatan kondisi tekstur, geometri dan distribusi mineralnya
dapat ditentukan dengan SEM yang dikombinasikan dengan EDS. Pengenalan jenis partikel
penyusun batupasir (termasuk butir mineral primer dan semen) saat pengamatan SEM juga
dapat dilakukan melalui bentuk geometrinya dan dijelaskan sebagai berikut (Ali et al., 2010):
 Kuarsa dan semen Silika
Kuarsa monokristalin yang hadir sebagai mineral primer umumnya memiliki geometri yang
menyudut, membundar maupun oval yang tergantung pada tingkat angularity dan
roundnessnya. Hal ini berbeda dengan bentukan semennya yang memiliki bidang permukaan
kristal lebih halus dan tumbuh ke arah luar dari butir menuju ke pori. Pertumbuhan kristal akan

42
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
tampak sebagai orientasi berbentuk rombohedral maupun bidang prisma dan tumbuh dengan
cepat searah dengan sumbu- c kristalografi. Pertumbuhan ini dapat berlangsung menerus
hingga bidang muka kristalnya berbentuk euhedral dan bersentuhan dengan muka kristal
lainnya (Gambar 3.6.). Pada kuarsa polikristalin yang terdiri atas beberapa kristal kuarsa maka
pertumbuhan semennya akan mengikuti struktur lattice internal dari kristalnya.dan membentuk
orientasi prisma dan rombohedral yang tidak beraturan.

Gambar 3.6. Tahapan pertumbuhan semen silika (quartz overgrowth)

Kuarsa mikrokristalin (chert) memiliki diameter partikel <10μ (Ali et al., 2010). Kuarsa
ini mengalami konsentrasi dari fluida pori yang bersifat alkali dan mengandung ion Na+ dan
Mg2+. Kehadiran kuarsa ini mampu menghambat pertumbuhan semen kalsit dan aragonit.
Tipe kuarsa lainnya yakni opal, dapat hadir sebagai
semen pada beberapa jenis batupasir yang kaya
akan material volkaniknya (vitric sands). Opal
sendiri terbentuk sebagai hasil alterasi dari gelas
volkanik. Contoh jenis opal ada tridimit dan
kristobalit, keduanya dapat dibedakan dari XRD.
Geometri keduanya memiliki bentuk yang pipih
dengan bidang muka kristal saling berhadapan
(Wise, 2007). Umumnya kristal membentuk
Gambar 3.7. Morfologi kristal kluster seperti bunga (rosette) maupun setengah
kristobalit/ tridimit bola (hemisphere) (Gambar 3.7).

43
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR

KLASTIK
Feldspar & Semen Feldspar
K-feldspar dan plagioklas merupakan kerangka butir yang masih dapat dijumpai di batupasir
dengan geometri yang umumnya mudah mengalami pelarutan (leaching). Autigenik K-feldspar
lebih umum dijumpai dibandingkan dengan autigenik plagioklas (Albit) karena lebih resisten.
K-feldspar memiliki geometri berupa bidang prisma, semennya umumnya tumbuh sejajar dan
searah dengan sumbu memanjang kristal, terkadang memiliki tepian yang rombohedral
maupun menyudut. Ciri khas dari tipe semen ini adalah tumbuh secara bertahap dalam dengan
geometri rombik di permukaan butiran feldspar. Ketika semen K-feldspar tumbuh dengan
sempurna akan tampak seperti bentuk rombohedral.
Semen feldspar disebut sebagai feldspar overgrowth
dan umumnya dijumpai pada feldspar (K-feldspar maupun
plagioklas-Albit) yang mengalami pelarutan. Bentuk
morfologi dari semen Albit adalah bidang muka tabular-
triklinik (Gambar 3.8). Kembaran yang dijumpai pada Albit
umumnya tidak memperbesar sementasinya. Asosiasi
semen feldspar dengan zeolite dan mineral lempung
menjadi indikator dari pengendapan pada lingkungan laut
Gambar 3.8. Pertumbuhan semen
maupun darat yang kaya akan gelas volkanik. feldspar berbentuk tabular

 Semen Zeolit
Zeolit merupakan kelompok alumina-silikat-hidrat yang mengandung unsur kimia alkali dan
alkali tanah, dengan komposisi mirip feldspar. Zeolit yang umum dijumpai sebagai semen
maupun material pengganti pada batuan sedimen antara lain : clinoptilolite, erionite, chabazite,
phillipsite, analcime, mordenite, heulandite and laumontite. Zeolit umumnya dijumpai sebagai
material kristalin halus berukuran 1 – 60 μm.

Clinoptilolite
Memiliki morfologi euhedral, monoklinik,
berbentuk seperti bilah lempeng (lath-like)
maupun seperti peti (coffin-shaped) (Gambar
3.9), berukuran 1-2 mikron.

Gambar
Gambar 3.9.
3.9. Morfologi bilah lempeng
lempeng
semen
semen clinoptilolite
clinoptilolite
44
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Erionite
Memiliki bentuk seperti jarum yang tajam, berukuran
panjang 10 – 20 μm, dan tebalnya 1-3 μm (Ballirano
et al., 2009). Umumnya morfologinya mirip dengan
ikatan jarum, dengan panjang setiap ikatan 20 μm dan
tebalnya 10 μm. Satu bentuk ikatan dapat terdiri atas
ratusan jarum (Gambar 3.10).

Gambar 3.10. Morfologi


individu kristal erionite

Chabazite
Umumnya berbentuk kubik-rombohedral yang
bervariasi ukurannya mulai dari kurang
beberapa mikron hingga beberapa mikron
(Langella and Colella’, 1999) (Gambar 3.11).
Kristal yang terpisah dapat mencapai 5 - 10μm.
Gambar 3.11. Morfologi individu
kristal chabazite

Phillipsite
Berbentuk prisma maupun bilah lempeng pendek
dengan ukuran panjang 3-30 μm dan tebal 0,3-3 μm.
Memiliki sistem kristal pseudo- ortorombik dengan
bagian ujung kepingan tampang melengkung
(Hussein et al., 2014) (Gambar 3.12).
Gambar 3.12. Kumpulan bilah
prisma kristal phillipsite

Analcime
Mudah dikenali dengan ciri – cirinya yang kubik-
oktahedral maupun trapezohedral (Gambar 3.13).
Kristal euhedral memiliki diameter berukuran 10 – 30
μm (Tangkawanit and Rangsriwatananon, 2005).
Gambar 3.13. Kristal octahedral
kristal analcime

45
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Mordenite
Morfologi berbentuk seperti serat halus, dengan
diameter beberapa mikron. Mordenite mengandung
unsur K dan Na yang lebih sedikit dibandingkan
proporsi unsur tersebut pada gelas volkanik karena
mineral ini diperoleh sebagai hasil ubahan dari
gelas (Stamatakis et al., 2000). Umumnya hadir
sebagai semen yang menyelubungi butiran (grain-
coating dan menghubungkan antar pori (pore- Gambar 3.14. Morfologi kristal
mordenite
bridging). Serat umumnya menyatu membentuk
struktur jaring yang rapat (Gambar 3.14).

Laumontite
Menunjukkan morfologi prismatik hingga
blocky (Gambar 3.15). Bentuk morfologinya
menyerupai mineral zeolite- heulandite, tetapi
keduanya dapat dibedakan melalui pola grafik
XRD dan petrografi.

Gambar 3.15. Morfologi kristal


laumontite
 Semen Mineral lempung
Lempung autigenik umum sekali dijumpai pada batuan reservoar dari berbagai kondisi
lingkungan pengendapan. Komposisi kimia dari air pori dan komposisi batuan memberikan
pengaruh yang signifikan pada pertumbuhan lempung autigenik ini. Jika semula fluida pori
berkisar dari air tawar hingga air payau, air ini akan melarutkan sedimen (dissolution),
menyebabkan kationnya terlepas dari lattice kristal partikel mineral untuk bertukar dengan
unsur lain (terjadi cation exchange) dan pada kondisi jenuh akan memungkinkan mineral untuk
terpresipitasi (termasuk mineral lempung). Proses pelarutan sendiri paling mudah berlangsung
terhadap komponen yang labil, seperti fragmen batuan, feldspar, mika, mineral ferromagnesian
dan gelas volkanik. Interaksi antara air pori dengan komponen labil tersebut dapat
menghasilkan mineral lempung yang merupakan produk ubahan dari mineral yang tidak stabil
menjadi bentuk yang lebih stabil. Jenis mineral lempung yang dijumpai sebagai hasil
diagenesis dari feldspar memiliki komposisi yang bervariasi mulai dari kaolinit, ilit, smektit

46
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
maupun klorit. Kehadiran kaolinit umumnya melimpah dijumpai pada batupasir tipe Arkose,
sedangkan klorit berasosiasi dengan mineral plagioklas- Albit di batupasir tipe Greywacke.
Lempung autigenik dapat dibedakan menurut kriteria komposisi, morfologi, struktur, tekstur
dan distribusinya. Detil setiap morfologi mineral lempung dapat disajikan sebagai berikut :
Kaolinite - Dickite
Merupakan tipe lempung autigenik yang paling mudah untuk dikenali pada batupasir karena
memiliki ukuran yang lebih besar dan teramati pada analisis petrografi. Kaolinite dan dickite
susah dibedakan dengan SEM tetapi dapat dibedakan pada analisis XRD. Autigenik kaolinit
umumnya memiliki 3 bentuk dasar morfologi (Gambar 3.16.), yakni 1) lempengan yang
bertumpuk seperti buku (stacked plates); 2) berbentuk seperti cacing (vermicular) dan 3)
lempeng yang saling tumpeng tindih (overlapping plates). Bentuk morfologi yang paling
umum dijumpai adalah tumpukan seperti buku dengan susunan bidang muka kristal
pseudoheksagonal yang saling bertemu (berbentuk face-to-face).

Gambar 3.16. Bentuk morfologi utama dari autigenik kaolinit yang dijumpai pada batupasir

Lempung kaolinit memiliki diameter ukuran sekitar 3 – 20 μm. Bentuk kaolinit yang berupa
tumpukan lempeng pseudoheksagonal sangat umum dijumpai mengisi porositas batupasir.
Bentuk yang jarang dijumpai antara lain vermicular,
seperti kipas (fan-shaped cluster) maupun spiral.
Morfologi overlapping pseudohexagonal plates sering
dijumpai mengisi ruang hasil pelarutan dari mineral
yang tidak stabil seperti dijumpai pada feldspar yang
mengalami pelarutan sebagian. Pada bentuk ini lempeng
kaolinit berukuran kurang dari 1 μm tebalnya dan
diameternya berkisar dari 2 – 10 μm. Pembentukan dari
haloisit atau kelompok mineral lempung kaolinit dengan
bentuk meruncing diihasilkan dari proses kaolinitisasi Gambar 3.17. Morfologi kristal
haloisit
mineral feldspar (Ali et al., 2010) (Gambar 3.17).

47
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
Klorit
KLASTIK
Memiliki morfologi pertumbuhan yang lebih bervariasi
meliputi sarang lebah (honeycomb), seperti bunga
(rosette) maupun bunga kol (cabbagehead) (Gambar
3.18). Bentuk bidang muka klorit dengan orientasi yang
saling berhadapan (face-to-edge) satu sama lain akan
menunjukkan susunan yang mirip dengan susunan kartu
(2D cardhouse arrangement) (Gambar 3.18).
Morfologi honeycomb juga terdiri atas lempeng, tetapi
susunannya membentuk pola seperti sarang lebah. Bentuk
semen autigenik klorit yang rosette maupun fan-shaped
cluster umumnya memiliki diameter ukuran 4 – 20 μm
tetapi terkadang mencapai 150 μm. Sedangkan bentuk
cabbagehead memiliki ukuran 8 – 40 μm.
Pada analisis SEM-EDAX (Energy Dispersive X-Ray),
setiap jenis morfologi dari klorit memiliki konsentrasi
kation besi yang berbeda – beda, dimana rosette >
honeycomb > cabbagehead. Individual kristal klorit
berbentuk lempeng yang menempel pada permukaan Gambar 3.18. Variasi morfologi
butiran serta memiliki dimensi berkisar antara 2 – 10 μm. kristal klorit

Illite
Morfologi pada illite berbentuk irregular dan tampak sebagai lath-like projection (Gambar
3.19.). Pertumbuhannya menenpel pada permukaan butiran dan tumbuh memanjang hingga
30 μm ke arah pori yang terbuka. Namun umumnya berukuran sekitar 0,5 – 2 μm.
Pertumbuhan lath-like nya dapat menghubungkan antar butir menyerupai jembatan. Bentuk
morfologi lainnya yang lebih rapuh adalah seperti pita (ribbon-like) maupun seperti rambut
(hair-like). Ukuran lebar dari tipe ini sekitar 0.1 – 0.3 μm dan panjang mencapai 30 μm.

Gambar 3.19. Variasi morfologi dari lempung autigenik illite


48
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
Smektit
KLASTIK
Morfologi berbentuk menyerupai struktur sel hingga honeycomb (Gambar 3.19.).
Kemampuan mengembang dan mengkerutnya lempung tipe ini ditunjukkan oleh bentuk
kerutan (crinkle) yang bergelombang (Gambar. 3.20.).

Gambar 3.20. Variasi morfologi pada smektit

Campuran lempung (Mixed-layer clays)


Identifikasinya dilakukan berdasarkan pengamatan gabungan antara SEM dengan XRD untuk
menghindari kesalahan. Tipe campuran ini terbagi atas Illite- Smektit dan Klorit – Smektit.
Campuran illite – smektit dapat dikenali dari bentuk morfologi lath like yang pendek (jika
dominan illite) serta bentuk kerutan yang tidak terlalu runcing (jika smektit dominan). Pada
campuran klorit – smektit, bentuknya akan tampak sebagai honeycomb dengan kerutan (jika
dominan klorit), maupun kerutan iregular menyerupai struktur cornflake (jika dominan
smektit).

 Semen Karbonat
Kalsit merupakan tipe semen karbonat yang paling umum dijumpai pada batupasir, disamping
tipe dolomit dan siderite. Walaupun demikian terdapat beberapa semen karbonat lainnya
seperti ankerit, ferroan dolomit dan lain – lain. Semen aragonit dan high- Mg kalsit sering
dijumpai pada batupasir Holosen karena bersifat lebih labil dan mudah terubah menjadi kalsit.

Kalsit
Semen kalsit pada batupasir dapat berbentuk mosaik
maupun balok (blocky) (Gambar 3.21). Pada pengamatan
SEM, kalsit tampak dengan belahan rombohedralnya.
Autigenik kalsit dapat menggantikan sebagian maupun
keseluruhan butiran.
Gambar 3.21. Morfologi
blocky dari semen kalsit

49
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Dolomit
Seperti halnya kalsit, dolomit juga memiliki bentuk kristal anhedral blocky, mosaic yang
saling mengunci, disamping bentuk euhedral belah ketupat (rhombic) (Gambar 3.22).
Feroan dolomit dan ankerit memperlihatkan morfologi yang sama dengan dolomit.

Gambar 3.22. Morfologi rombik yang ditunjukkan oleh dolomit dan Fe- dolomit hasil analisis
SEM-EDAX

Siderit
Pada pengamatan SEM, semen siderit
ditunjukkan oleh variasi bentuk
rombik yang lebih beragam mulai dari
bentuk seperti lembaran dan terdiri
dari agregat kristal rombohedral yang
saling menumpuk (Gambar 3.23).
Orientasi dari semen siderit juga
memperlihatkan orientasi yang saling
menyudut dan membentuk
perpendicular fabric.
Gambar 3.23. Variasi morfologi kristal siderit

 Semen Sulfat
Semen sulfat terdiri atas gipsum, anhidrit dan barit. Anhidrit umumnya terbentuk pada
kedalaman yang lebih besar dengan kondisi P, T dan salinitas yang lebih tinggi
dibandingkan gipsum. Semen anhidrit dapat terbentuk sebagai hasil rekristalisasi anhidrit
sebelumnya. Semen ini umumnya hadir sebagai masa poikilotopik. Semen gypsum
ditunjukkan dengan bentuk morfologinya yang prismatik maupun seperti tongkat (sticky)
(Gambar 3.24). Semen barit memiliki bentuk kumpulan kristal blocky needles yang seolah
memancar dari titik bagian tengah menuju ke arah luar.

50
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK

Gambar 3.24. Variasi morfologi pada semen gipsum

 Semen Sulfida
Autigenik pirit merupakan tipe semen sulfida yang umum dijumpai pada batupasir.
Kehadirannya ditunjukkan oleh morfologi berbentuk kubik, piramidal/ bipiramidal, oktahedral
maupun agregat framboidal dengan bentuk bidang yang membola (Gambar 3.25). Bentuk
butiran framboid yang berukuran kecil seringkali tampak seperti butiran gula pasir sehigga
morfologinya disebut sebagai sucrosic pyrite. Pirit oktahedra hadir sebagai kristal tunggal
maupun berkelompok dengan mengisi pori dan menggantikan kerangka butiran maupun semen
diagenetik lainnya.

Gambar 3.25. Variasi morfologi yang dijumpai dari autigenik pirit

 Semen Oksida Besi


Mineral yang umumnya hadir sebagai oksida besi antara lain limonit, goetit dan hematit,
dimana ketiganya lebih mudah diidentifikasi melalui analisis XRD. Semen oksida besi sering
dijumpai pada batupasir merah (red beds), walaupun warna merah yang teramati masih
kontroversi apakah oksida besi (hematit) yang terbentuk karena umur batuan yang tua sehingga

51
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
terjadi dehidrasi dari mineral asalnya, ataukah karena presipitasi. Hematit sendiri merupakan
pigmen merah utama, sedangkan goetit memiliki pigmen utama berwarna kuning-coklat pada
batupasir.

III.2. Identifikasi Properti Fisik Batuan Reservoar Klastik

Properti fisik dari batuan reservoar meliputi porositas dan permeabilitas. Porositas ini
berkaitan dengan total ruang pori yang tersedia pada batuan untuk dapat ditempati oleh fluida
(air & minyak) maupun gas. Porositas sendiri didefinisikan sebagai hasil perbandingan antara
volume total pori – pori batuan terhadap volume total batuan (Scholle, 2020). Faktor yang
menentukan besarnya porositas batuan reservoar antara lain :
1. Bentuk butir  nilai porositas menurun seiring dengan semakin kecilnya ukuran butir.
2. Keseragaman ukuran butir atau sortasi  batuan sedimen yang memiliki sortasi atau
keseragaman ukuran butir baik akan memiliki porositas dan permeabilitas yang baik.
3. Proses kompaksi selama dan setelah pengendapan  proses kompaksi cenderung menutup
rongga pori batuan dan memaksa fluida batuan di dalamnya rongga keluar.
4. Derajat sementasi  batupasir yang memiliki derajat sementasi tinggi akan memiliki
porositas yang rendah.
5. Kemas (fabric)  batuan dengan kemas tertutup memiliki porositas yang lebih buruk
6. Kehadiran rekahan dan gerowong  adanya retakan atau gerowong akan memperbesar
nilai porositas .
Porositas batuan reservoar terbagi menjadi 2 yakni porositas absolut dan porositas
efektif. Porositas efektif menyatakan perbandingan antara volume pori yang saling
berhubungan terhadap volume total batuan (Koesoemadinata, 1980). Dengan demikian
porositas efektif memiliki nilai lebih kecil daripada rongga pori – pori total yang berkisar 10 –
15%.
Porositas absolut

𝑉𝑝 𝑉𝑝 𝑉𝑏 − 𝑉𝑔𝑟
∅= = = 𝑥 100% … … … … … … . .2)
𝑉𝑏 𝑉𝑔𝑟 + 𝑉𝑝 𝑉𝑏
Dimana :
Ø = Porositas total (porositas absolut), dalam %
Vp = Volume pori (total), dalam cc
Vb = Volume bulk/ volume total batuan, dalam cc
Vgr = Volume butiran, dalam cc

52
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Porositas efektif

𝑉𝑝 yang berhubungan 𝜌𝑔 − 𝜌𝑏
∅𝑒 = = … … … … … … . .3)
𝑉𝑏 𝜌𝑔 − 𝜌𝑓
Dimana :
Øe = Porositas efektif, dalam %
ρg = Densitas butiran, gr/cc
ρb = Densitas total, gr/cc
ρf = Densitas formasi, gr/cc
Berdasarkan waktu pembentukan pori terhadap proses pembentukan batuan, porositas
terbagi menjadi 2, yakni Porositas Primer dan Porositas Sekunder. Porositas primer
berkaitan dengan pori yang terbentuk bersamaan dengan proses pengendapan batuan
(singenetik), contohnya porositas intergranular. Porositas sekunder berkaitan dengan pori yang
terbentuk setelah batuan diendapkan (post genetic), contohnya kekar, channel, vug, moldic dan
lain – lain.
Permeabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu batuan reservoar untuk dapat
meluluskan fluida melalui pori – pori yang berhubungan (porositas efektif), tanpa merusak
partikel atau kerangka butirannya.
Apabila porositas batuan tidak saling berhubungan, maka batuan tersebut tidak
memiliki permeabilitas, sehingga terdapat hubungan antara porositas efektif dengan
permeabilitas. Permeabilitas dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut jumlah fase aliran pada
batuan reservoar, yaitu (Koesoemadinata, 1980):
 Permeabilitas absolut (Kabs), kemampuan batuan untuk melewatkan fluida yang
mengalir melalui media berpori hanya dalam 1 fase kejenuhan fluida ( missal minyak saja atau
gas saja)
 Permeabilitas efektif (Keff), kemampuan batuan untuk melewatkan fluida lebih dari 1
fase, missal minyak dan air, minyak dan gas atau ketiganya. Nilai permeabilitas efektif untuk
masing – masing fase fluida minyak, gas dan air masing – masing dinyatakan sebagai ko, kg
dan kw.
 Permeabilitas relatif (Krel), menyatakan perbandingan antara permeabilitas efektif
terhadap permeabilitas absolut. Nilai permeabilitas ini berkisar antara 0 – 1 darcy.
𝐾𝑒𝑓𝑓
𝐾𝑟𝑒𝑙 = … … … … … … … … … … … … 4)
𝐾𝑎𝑏𝑠

53
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Karena permeabilitas relatif dapat terdiri atas 3 fase fluida, maka persamaan dari masing
– masing permeabilitas relatif minyak (Kro), gas (Krg) dan air (Krw) dapat ditulis sebagai
berikut:
𝐾𝑜
𝐾𝑟𝑜 = … … … … … … … … … … … … 5)
𝐾𝑎𝑏𝑠
𝐾𝑔
𝐾𝑟𝑔 = … … … … … … … … … … … … 6)
𝐾𝑎𝑏𝑠
𝐾𝑤
𝐾𝑟𝑤 = … … … … … … … … … … … … .7)
𝐾𝑎𝑏𝑠
Nilai porositas dan permeabilitas secara kuantitatif umumnya diperoleh melalui analisis
routine core, NMR (Nuclear Magnetic Resonance Spectrometry) dan MICP (Mercury Injection
Capillary Pressure).

III.2.1. Pengamatan visual


Identifikasi pori yang dilakukan melalui pengamatan visual memiliki sifat kualitatif dan
cenderung subjektif dalam penentuannya. Akurasi observasi bergantung pada jam terbang
pengalaman dari laboran yang mengamati. Untuk meminimalisir kesalahan dalam perhitungan
nilai porositas, pendekatan dengan point counting dapat dilakukan. Hasil akhir interpretasi
prosentase nilai porositas ini cenderung bersifat relatif.
a. Mikroskop Polarisasi
Pengamatan jenis dan prosentase pori di bawah
mikroskop polarisasi dilakukan dengan mengamati
ruang diantara butir (intergranular pore), didalam
partikel (intragranular/ intraparticle pore), retakan
maupun rongga yang terbentuk dari hasil pelarutan
(Gambar 3.26). Untuk memperjelas dalam penentuan
ruang pori ini, umumnya sayatan batupasir
diimpregnasi dengan memasukkan cairan blue-dye
Gambar 3.26. Variasi tipe porositas
(ethylene blue) ke dalam porositas batuan bersamaan visual yang teramati di bawah
dengan proses pembuatan campuran resin dan curing mikroskop polarisasi
agent dari epoxy. Selanjutnya porositas akan dapat teramati secara visual sebagai warna biru
dan dapat dicross-check dengan hasil pengukuran dari analisis routine core. Jika sampel batuan
berupa sampel cutting maka penentuan porositas dan permeabilitas relatifnya biasanya
ditentukan melalui hasil analisis petrografi saja. Skala visual pemerian nilai porositas dapat
diklasifikasikan secara semi-kuantitatif menurut (Koesoemadinata, 1980) sebagai berikut
(Tabel 3.4.) :

54
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK Tabel 3.4. Klasifikasi nilai prosentase porositas batuan
Prosentase porositas (%) Skala Visual
0-5 Dapat diabaikan (Negligible)
5 – 10 Buruk (Poor)
10 – 15 Cukup (Fair)
15 – 20 Baik (Good)
20 – 25 Sangat baik (Very good)
>25 Istimewa (Excellent)

Dalam pengamatan secara mikroskopis, jenis porositas dapat ditentukan secara


kualitatif sebagai berikut :
 Intergranular (antar butir), dimana pori- pori batuan berada di antara butir
 Interkristalin (antar kristal), pori – pori berada di antara kristal
 Celah dan rekahan (Fracture), rongga yang terdapat di antara celah
 Porositas antar lempengan lempung dapat berbentuk bintik – bitnik jarum (pint- point
porosity), pori – pori seperti bintik – bitnik yang terpisah dan tidak tampak bersambungan

b. Scanning Electron Microscope (SEM)


Pengamatan properti fisik batuan dengan SEM menghasilkan interpretasi kualitatif dan
semi kuantitatif yang baik dalam menentukan porositas mikro serta setiap geometri porinya.
Properti fisik berupa porositas dan permeabilitas merupakan dua parameter penting dalam
mempertimbangkan diagenesis sedimen dan kemampuan aliran fluida. Integrasi antara data
porositas-permeabilitas dengan data SEM digunakan untuk mempermudah dalam
mengenali tipe porositas efektif dan inefektif. Pengamatan utama terkait properti fisik
berupa porositas dan permeabilitas diamati dari bentuk dan ukuran geometri porinya. Untuk
membantu mengevaluasi porositas menurut ukuran porinya, berikut disajikan klasifikasi
ukuran pori yang dapat teramati pada analisis SEM (Tabel 3.5.) (Gambar 3.26).

Tabel 3.5. Klasifikasi tipe pori menurut ukuran pori yang dimiliki (Ali et al., 2010)
Ukuran pori Tipe pori
4 mm Vugs
1 mm Megapores
0,25 mm Macropores
0,062 mm Mesopores
0,004 mm Micropores
Cryptopores

55
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Tipe pori crypto dan micropore (Gambar 3.27) tergolong sebagai porositas tidak efektif
(ineffective) dan umumnya terisi oleh irreducible water atau fluida yang cenderung lekat pada
permukaan pori dan susah keluar dari lubang pori yang sempit (pore throat). Kedua tipe pori
ini dapat terbentuk diantara beberada bidang muka semen kuarsa (quartz overgrowth), diantara
feldspar maupun fragmen batuan yang larut serta diantara semen autigenik (pirit, siderite,
zeolit) maupun semen yang berupa lempung.

Gambar 3.27. Distribusi pori mikro dan kripto pada tipe semen lempung kaolinit dan pirit

Tipe pembentukan dari lempung autigenik pada batupasir dapat hadir sebagai (Gambar
3.28.) : 1) semen lempung yang menyelubungi butiran dang mengelilingi rongga pori (grain
coating/ pore-lining clay cements); 2) mengisi ruang pori (pore-filling); 3) menggantikan
butiran yang labil (replacement of labile grains); 4) pengisian retakan dan gerowong (fracture
and vug filling) (Tabel 3.6.).

Gambar 3.28. Model pembentukan lempung autigenik pada batupasir. Illustrasi sketsa diambil
dari Wilson dan Pittman, 1977 dalam (Pszonka and Götze, 2018).

56
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Pore- lining
Lempung yang menyelubungi atayu mengelilingi permukaan butiran dan tumbuh keluar ke
arah ruang pori akan membentuk pore lining. Akan tetapi pembentukan semen lempung ini
tidak terjadi pada ujung pertemuan kontak antar butir. Orientasinya cenderung normal atau
sejajar dengan bidang permukaan dari kerangka butiran. Jika pertumbuhannya pada ruang pori
mampu menghubungkan antar butir dapat disebut sebagai pore bridging, dimana tipe ini
umumnya dibentuk oleh tipe lempung smektit. Semen lempung ini dapat menutup dan/ atau
menghalangi dari pertumbuhan semen quartz overgrowth.
Pore- filling
Lempung bersifat menutup sebagian maupun keseluruhan dari ruang pori serta tidak
membentuk orientasi berupa penjajaran mineral. Tipe semen pore lining dan pore filing
merupakan yang paling sering dijumpai sebagai agen sementasi pada banyak reservoar
batupasir.
Replacement clay
Lempung bersifat menggantikan sebagian maupun keseluruhan dari butiran maupun mengisi
ruang hasil pelarutan dari mineral yang tidak stabil tersebut. Umumnya tekstur dari butiran asal
yang digantikan tetap terawetkan.
Fracture and vug-filling
Lempung umumnya mengisi ruang gerowong (vug) maupun retakan (fracture). Retakan ini
umumnya melintang terhadap susunan butiran.
Hubungan antara bentuk morfologi lempung dengan distribusi pembentukan lempung dapat di
rangkum sebagai berikut :
Tabel 3.6. Karakteristik lempung autigenik dan tipe pembentukannya
Morfologi Bentuk agregat Tipe Ketebalan
individu pembentukan selubung/ luas
dimensi sebaran
agregatnya
(mikron)
Kaolinite pseudoheksagonal Stacked plates Pore filling 2 – 2500.
& Dickite (book) Umumnya 2 - 20
pseudoheksagonal vermicular Pore filling 10 – 2500.
Umumnya 20 - 200
pseudoheksagonal Lembaran Pore filling 0.1 – 1
Klorit pseudoheksagonal Lempeng dengan Pore lining 2-10
susunan seperti

57
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Morfologi Bentuk agregat Tipe Ketebalan
individu pembentukan selubung/ luas
dimensi sebaran
agregatnya
(mikron)
kartu (2D
cardhouse)
Melengkung Seperti sarang Pore lining 2 – 10
ekuidimensional lebah
dengan tepian (honeycomb)
membulat
Ekuidimensional Rosette atau fan Pore lining 4 – 150.
dengan tepian dan Pore Umumnya 4 – 20
menyudut filling
maupun
memanjang
Berbentuk kipas/ Seperti bentuk Pore lining 8-40
bundel dari kol dan Pore
serabut (cabbagehead) filling
Ilit Irregular hingga Lembaran Pore lining 0.1 – 10
seperti duri
Smektit Tidak diketahui Lembaran Pore lining 2 – 12
berkerut/
honeycomb
Gabungan Berbentuk duri Susunan Pore lining 2 - 12
smektit- pendek & imbrikasi dari
ilit subequant lembaran atau
honeycomb yang
acak

Berbeda dengan semen lempung, semen karbonat seperti kalsit, dolomit dan siderite
memiliki tipe pore-filling maupun pore-filling yang mengekspansi atau menggantikan partikel
yang tidak stabil. Pembentukan semen sulfat (gipsum, anhidrit dan barit) hadir sebagai massa
poikilotopik yang mengisi pori dan mengelilingi butiran. Tipe semen hematit umumnya
bertindak sebagai semen grain-coating yang titpis dan tersebar pada matriks lempung.
Secara keseluruhan, tipe porositas, geometri pori yang dapat diamati di bawah
mikroskop dan melalui analisis SEM dapat dirangkum pada Gambar 3.29 (Nugraheni et al.,
2013).

58
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK

Gambar 3.29. Tipe porositas


dan geometri yang teramati
melalui hasil pengamatan
mikroskop polarisasi dan
SEM. Gambar modifikasi
dari (Nugraheni et al., 2013)

III.2.2. Perhitungan Nilai Porositas – Permeabilitas


Berbeda dengan pengamatan visual yang menggunakan mikroskop dan SEM,
perhitungan dari nilai petrofisika batuan (termasuk porositas dan permeabilitas) ini dilakukan
secara kuantitatif, sehingga nilai prosentase yang diperoleh akan mewakili dari nilai porositas
total batuan. Walaupun demikian gabungan dari dua tipe analisis pori secara kualitatif dan
kuantitatif akan memberikan gambaran terkait volume, geometri, ukuran, distribusi serta
konektivitas antar pori dari batuan reservoar.

a. Core Analysis
Analisis inti batuan (core) dimaksudkan untuk menentukan sifat petrofisika batuan
reservoar. Analisis inti batuan (core) yang umum dilakukan adalah analisis rutin (Routine Core
Analysis dan analisis khusus (Special Core Analysis). Jenis batuan inti yang dapat digunakan
antara lain : 1) Conventional core plug berbentuk silinder berdiameter 1 atau 1,5 inchi dan
diambil dari batuan yang homogen; 2) Core dengan dimensi utuh berdiameter asli dan panjang
8 inchi dari batuan yang heterogen atau berongga; 3) Whole core untuk batuan heterogen; dan
4) Sidewall core (SWC) yang diambil dari dinding lubang bor. Analisis rutin dilakukan untuk
menentukan sifat fisik umum batuan yang berkaitan dengan kapasitas penyimpanan (storage
capacity) dan kapasitas aliran (flow capacity), antara lain porositas, permeabilitas absolut dan

59
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
saturasi dengan melakukan pengukuran. Selanjutnya dari analisis rutin dapat dibuat plot antara
permeabilitas dengan porositas dan tipe litologi yang dimiliki.
Analisis khusus dimaksudkan untuk menentukan sifat fisik khusus dari batuan reservoar,
antara lain tekanan kapiler, wettability, kompresibilitas, sifat kelistrikan dan lain – lain. Tipe
tes yang dilakukan pada analisis khusus terbagi menjadi 2, yakni tes statik dan tes dinamik. Tes
statik digunakan untuk menentukan tingkat kompresibilitas, tekanan kapiler dan sifat
kelistrikan, sedangkan tes dinamik mencakup permeabilitas relatif, gas residual, thermal
recovery, liquid permeability, dan water flooding. Tujuan utama dilakukan analisis khusus
adalah untuk mengetahui mekanisme kerusakan formasi batuan (formation damage).
Klasifikasi terkait skala permeabilitas terdapat pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7. Klasifikasi nilai permeabilitas batuan
Skala Permeabilitas (mD) Keterangan
<5 Ketat
5 – 10 Cukup
10 – 100 Baik
100 – 1000 Sangat baik

b. Mercury Injection Capillary Pressure (MICP)


MICP merupakan metode pengukuran yang
bagus untuk mengetahui distribusi porositas pada
batuan. Pengukuran volume pori dengan MICP
dilakukan secara langsung dengan memasukkan
merkuri (Hg) ke dalam ruang pori. Sampel yang
dapat digunakan untuk analisis berupa cutting
maupun potongan inti batuan (core). Salah satu
Gambar 3.30. Alat pengukuran MICP
keuntungan dari penggunaan metode analisis ini
adalah tidak memerlukan ukuran sampel yang besar.
Perlakuan awal dilakukan dengan menentukan
densitas sampel terlebih dahulu, kemudian
menempatkan sampel pada ruang instrumen
(chamber) untuk mengosongkan ruang pori sebelum
diinjeksikan merkuri (Gambar 3.30.). Pemberian
kondisi vakum saat pengukuran dimaksudkan untuk
mengontrol ukuran dari pore throat yang akan
Gambar 3.31. Kurva hasil analisis
diintrusi oleh merkuri. Ketika tekanan mencapai MICP berupa distribusi ukuran pori

60
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
60.000 psia, merkuri akan dipaksa masuk melalui pore throat dengan ukuran diameter sekitar
36 Ǻ atau 3,6 nanometer. Volume dari merkuri yang diinjeksikan masuk ke sampel batuan
sebanding dengan volume porositas batuan yang diakses. Kurva yang dihasilkan dari analisis
ini disajikan pada gambar 3.31. Analisis ini ideal dilakukan untuk menentukan besarnya
porositas yang terisi oleh gas (gas storage capacity).

c. Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy (NMR)


Istilah spektroskopi umumnya berkaitan dengan atribut cahaya, suara maupun partikel
yang dipancarkan, diserap atau dipantulkan. Spektroskopi resonansi magnetik nuklir (NMR)
merupakan jenis dari spektroskopi yang mampu melakukan penyerapan gelombang radio oleh
inti – inti atom tertentu (seperti atom hidrogen) yang berada dalam partikel yang sedang
berputar dalam medan magnet yang kuat. Istilah nuklir berkaitan dengan inti atom, sedangkan
resonansi magnetik berkaitan dengan pengaruh magnet pada inti atom yang dimaksud. Medan
magnet dapat dihasilkan oleh inti atom yang memiliki spin, sehingga dapat berputar seperti
batang magnet yang berputar. Suatu inti spin mampu menimbulkan medan magnet kecil yang
ditunjukkan oleh vektor. Spin inti umumnya dimiliki oleh atom yang bernomor massa dan
nomor atom ganjil. Setiap inti memiliki jumlah kedudukan spin tertentu yang ditentukan oleh
bilangan kuantum spin inti I (Gambar 3.32).

Gambar 3.32. Atom – atom dengan atau tanpa spin

Berdasarkan gambar diatas atom hidrogen merupakan inti atom yang dapat diukur oleh
NMR karena memiliki bilangan kuantum spin I = ½, sehingga akan memiliki kedudukan spin
(2 x (½) +1 = 2), dimana intinya = -½ dan +½. Jika medan magnet diterapkan, inti magnet akan
cenderung sejajar dan searah dengan arah medan magnet. Hal ini akan menghasilkan
magnetisasi total atau polarisasi yang sebanding dengan medan magnet yang diberikan (Bo)
(Lelono dan Isnawati, 2006). Kedudukan spin inti dari atom hydrogen +½ (α) memiliki tenaga
61
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
yang rendah karena arah momentum magnetiknya searah dengan medan magnet yang diberikan
dari luar (Bo). Kedudukan spin -½ (β) mempunyai tenaga tinggi karena berlawanan dengan
medan yang digunakan. Perpindahan dari keadaan energi α ke β akan menghasilkan resonansi
magnetik, sebaliknya perpindahan dari energi β ke α akan menghasilkan relaksasi. Energi yang
digunakan dalam pengukuran berada pada kisaran gelombang radio 75-0,5 m atau memiliki
frekuensi 4 – 600MHz tergantung pada jenis inti yang diukur.
Aplikasi NMR pada batuan reservoar didasarkan atas gerakan inti atom hidrogen yang
bertindak sebagai proton dan umumnya dijumpai pada fluida air maupun hidrokarbon.
Parameter terukurnya adalah amplitudo sinyal dan waktu relaksasinya. Nilai amplitudo ini
bergantung pada jumlah inti atom hidrogen yang terdapat pada batuan, dimana semakin banyak
jumlah atom hidrogennya akan memberikan hasil amplitude yang semakin besar. Analisis
NMR dapat digunakan untuk mengukur properti porositas, permeabilitas dan kejenuhan fluida
(ireducible water saturation). Porositas batupasir pada analisis ini diketahui dari distribusi nilai
relaksasi permukaan butir mineral, sedangkan nilai permeabilitas diketahui dari distribusi
ukuran pori batuan. Kejenuhan fluida yang terukur dari analisa NMR berupa Bulk Volume
Irreducible Water (BVI) dan Free fluid Volume (FFI), sehingga keduanya menyatakan
komponen dari porositas efektif. BVI menyatakan perbandingan antara volume fluida formasi
yang tidak bergerak (immobile) terhadap volume fluida bebas (mobile). Fluida yang tidak
bergerak ini disebut sebagai capillary- bound water yakni fluida yang terdapat pada ruang pori
yang sempit. Penentuan BVI merupakan parameter penting dalam perhitungan permeabilitas
batuan.
Tipe alat NMR yang sering digunakan adalah Magnetic Resonance Imager Log (MRIL)
yang merupakan buatan NUMAR Corp. dan Combinable Magnetic Resonance (CMR) oleh
Schlumberger. Pada alat CMR, sensor berbentuk skid diletakkan pada dinding sumur selama
pengukuran, sehingga tidak mempengaruhi salinitas lumpur pemboran. Sensor CMR ini
memiliki 2 magnet permanen dan satu elemen yang berfungsi sebagai pemancar gelombang
elektromagnetik berfrekuensi radio (RF) serta sebagai penerima sinyal. Magnet permanen ini
dapat menghasilkan medan magnet 1000 kali lebih kuat daripada medan magnet bumi (Lelono
and Isnawati, 2006).
Terdapat 4 tahap dari pengukuran alat NMR yang dijelaskan sebagai berikut (Gambar
3.33) (Kenyon et al., 1995):
1. Penjajaran proton (Proton alignment)
Medan magnet dari magnen permanen yang diberikan dari luar (Bo) digunakan untuk
menyejajarkan proton.

62
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
2. Perebahan spin (Spin tipping)
Proton – proton yang telah sejajar selanjutnya direbahkan dengan mengirimkan medan
magnet terisolasi (B1) yang tegak lurus terhadap medan magnet Bo dalam waktu tertentu.
Frekuensi yang diperlukan dalam proses perebahan ditentukan dengan rumus berikut :

F = g Bo ………………………………….8)

dimana f = frekuensi Larmor (B1) dan g = tetapan giromagnetik rasio spin inti
3. Presisi dan defase (Precession and dephasing)
Pada saat perebahan yang tegak lurus terhadap Bo, proton berputar mengitari bidang yang
tegak lurus terhadap Bo (berpresisi) dengan frekuensi yang berbeda, karena medan magnet
Bo tidak lagi homogen. Hal ini menyebabkan proton kehilangan energi dan meluruh. Fase
ini disebut sebagai diphase dan waktu meluruhnya disebut sebagai waktu relaksasi
transversal (T2).
4. Pemfokusan kembali (Refocussing spin echoes)
Pada tahap ini dilakukan pengiriman pulsa 180o yang pada dasarnya sama dengan pulsa
90o tetapi berlangsung dua kali lebih lama (umumnya beberapa ratus kali dalam satu
pengukuran). Akibatnya proton akan berpresisi terbalik, dan karena frekuensinya berbeda,
maka presisi akan kembali dengan kecepatan yang berbeda- beda.

Gambar 3.33. Empat tahap pengukuran NMR (modifikasi dari Kenyon et al., 1995)

63
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Pergerakan molekul air pada rongga pori yang juga memberikan tekanan pada
permukaan butiran akan menyebabkan proton atom hidrogen mengalami relaksasi sehingga
menghasilkan dua parameter waktu relaksasi (Gambar 3.34), yakni T1 dan T2. Pada tahap awal
dari pengukuran NMR, waktu konstan dimana ketika proton hidrogen menumbuki kisi kristal
(crystal lattice), akan melepaskan energi ke kisi kristal dalam bentuk sinyal. Energi yang
dilepaskan ke sekeliling lattice ini akan menyebabkan inti atom membentuk medan magnet
statis atau merecovery ke magnetisasi longitudinal. Waktu yang diperlukan untuk melakukan
recovery magnetisasi longitudinal disebut waktu relaksasi longitudinal (T1) (Kenyon et al.,
1995). Disamping itu atom hidrogen juga mengalami pertukaran energi inti atom dengan atom
lain yang berasal dari kisi kristal, sehingga menyebabkan medan magnet dari tiap inti atom
berinteraksi dengan inti atom lain. Proses interaksi memungkinkan spin inti atom melakukan
relaksasi dan menghasilkan peluruhan atau hilangnya magnetisasi transverse. Waktu relaksasi
yang berlangsung saat 63% magnetisasi transversal menghilang disebut sebagai T2.

Gambar 3.34. Relaksasi permukaan butir terbentuk akibat adanya pergerakan proton hidrogen
(air) dengan arah tidak beraturan sepanjang ruang pori dan secara konstan menumbuki
butiran mineral.

Pada batuan, bsarnya nilai T1 dan T2 ini berkaitan dengan permukaan butiran, karena
butiran memiliki kemampuan untuk menyebabkan proton relaks atau kehilangan orientasi yang
disebut sebagai surface relaxivity (ρ). Surface relaxivity ini dikontrol oleh mineralogi. Sebagai
contoh, batupasir memiliki surface relaxivity yang lebih tinggi dibandingkan dengan
batugamping. Batuan dengan kandungan magnetik mineral tinggi seperti besi akan memiliki
nilai surface relaxivity lebih tinggi dan waktu relaksasi NMR yang lebih pendek.
Ukuran pori merupakan parameter yang penting yang mempengaruhi relaksasi terhadap
permukaan butiran. Kecepatan relaksasi bergantung pada jumlah tumbukan antara proton
dengan permukaan butir. Rongga pori yang besar meminimalkan terjadinya tumbukan proton
dengan permukaan butiran, sehingga waktu relaksasi T2 yang dihasilkan juga panjang.

64
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
Sebaliknya, pori yang sempit menyebabkan proton lebih cepat bertumbukan sehingga waktu
relaksasi T2 nya menjadi pendek (Gambar 3.35.) (Kenyon et al., 1995). Besarnya waktu
frekuensi T1 dan T2 berpengaruh pada sinyal yang akan ditransformasikan sebagai gambar
citra. Batuan memiliki distribusi ukuran pori yang beragam, sehingga jumlah volume pori
sebanding dengan volume fluida yang terdapat pada pori batuan.

Gambar 3.35. Pengaruh ukuran pori terhadap waktu relaksasi T2

Pengukuran permeabilitas pada NMR dapat dilakukan menurut beberapa metode yang
telah terpublikasi seperti model Timur - Coates, non-zero intercept Coates model, model
Coates termodifikasi, customized Coates model maupun model permeabilitas Kenyon.
Persamaan hitungan dari setiap model dijabarkan sebagai berikut :

 Model permeabilitas Timur - Coates


𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = 𝑐(𝑀𝑃𝐻𝐼 4 )((𝐹𝐹𝐼/𝐵𝑉𝐼)2 )
 Non- zero intercept Coates model
1 𝐹𝐹𝐼
(( )𝑥 (log( ))
𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = 𝑀𝑃𝐻𝐼 𝑥 10 0,2983 2,2097𝐵𝑉𝐼

 Model modifikasi Coates


𝐵𝑉𝐼 2
𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = (0,0060𝑀𝑃𝐻𝐼 2,1545 𝑥 ))
𝐹𝐹𝐼
 Customized Coates model
𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = (𝑀𝑃𝐻𝐼 9,43 )2 𝑥 (𝐹𝐹𝐼/𝐵𝑉𝐼))2
 Model permeabilitas Kenyon
𝑀𝑃𝐸𝑅𝑀 = 𝑎(𝑀𝑃𝐻𝐼 4 )(𝑙𝑜𝑔𝑇2𝐺𝑀 )2
Dimana,
MPERM = permeabilitas, dalam mD
MPHI = porositas NMR
c = konstanta empiris sebesar 10000 untuk batupasir
65
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
FFI = free fluid index
BVI = bulk volume irreducible
a = konstanta empiris sebesar 4 untuk batupasir
logT2GM nilai rerata logaritmik untuk distribusi T2, dalam ms

Bahan Bacaan/Referensi

Ali, S.A., Clark, W.J., Moore, W.R., Dribus, J.R., 2010. Diagenesis and reservoir quality.
Oilfield Review.
Ballirano, P., Andreozzi, G.B., Dogan, M., Dogan, A.U., 2009. Crystal structure and iron
topochemistry of erionite-K from Rome, Oregon, U.S.A. American Mineralogist.
Hussein, M.M., Khader, K.M., Musleh, S.M., 2014. Characterization of raw zeolite and
surfactant-modified zeolite and their use in removal of selected organic pollutants from
water. International Journal of Chemical Sciences.
Kenyon, B., Kleinberg, R., Straley, C., Gubelin, G., Morriss, C., 1995. Nuclear magnetic
resonance imaging - technology for the 21st century. Oilfield Review.
Koesoemadinata, R.P., 1980. GEOLOGI MIHYAK- DAN GASBUMI, 2nd ed. ITB Bandung,
Bandung.
Langella, A., Colella’, C., 1999. Hydrothermal conversion of trachytic glass to zeolite. 3.
Monocationic model glasses. Clays and Clay Minerals.
Lelono, E.B., Isnawati, 2006. Peranan Iptek Nuklir Dalam Eksplorasi Hidrokarbon. In:
Seminar Nasional II SDM Teknologi NUklir. Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN,
Yogyakarta, pp. 207–218.
Nugraheni, R.D., Sum, C.W., Hadi, A., Rahman, A., Nuralia, S., Nazor, B.M., 2013. Burial
Diagenesis of Coal-Bearing Mudrock and Its Relationship to The Evolution of Pore Types
and Abundance. In: Fatt, N.T. (Ed.), Proceedings of The National Geoscience Conference.
Geological Society of Malaysia, Ipoh - Tronoh, Perak State, Malaysia.
Pszonka, J., Götze, J., 2018. Quantitative estimate of interstitial clays in sandstones using
Nomarski differential interference contrast (DIC) microscopy and image analysis. Journal
of Petroleum Science and Engineering.
Scholle, P.A., 2020. Porosity. In: A Color Illustrated Guide To Constituents, Textures,
Cements, and Porosities of Sandstones and Associated Rocks.
Stamatakis, M.G., Regueiro, M., Calvo, J.P., Fragoulis, D., Stamatakis, G., 2000. A study of
zeolitic tuffs associated with bentonite deposits from Almeria , Spain and Kimolos Island

66
Bab III. TEKNIK IDENTIFIKASI MINERAL &
PROPERTI FISIK BATUAN RESERVOAR
KLASTIK
, Greece and their industrial potential as pozzolanas in the cement industry. Hellenic
Journal of Geosciences 45, 283–292.
Tangkawanit, S., Rangsriwatananon, K., 2005. Synthesis and Kinetic Study of Zeolite from
Lopburi Perlite. Suranaree J. Sci. Technol.
Tucker, M.E., 2001. Sedimentary petrology. An introduction to the orgin of sedimentary rocks,
Geoscience Texts.
Wicaksono, D.D., Setiawan, N.I., Wilopo, W., Harijoko, A., 2017. Teknik Preparasi Sampel
dalam Analisis Mineralogi dengan XRD di Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada. Proceeding Seminar Nasional Kebumian ke-10.
Wise, S.W., 2007. Lepispheres. In: Sedimentology.

67
BAB IV PERANAN EOGENESIS

BAB IV. PERANAN EOGENESIS

IV.1 Indikator Fasies Pengendapan


Diagenesis awal pada sedimen secara luas dikontrol oleh beberapa faktor seperti faktor
sedimentasi asal maupun faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
kondisi lingkungan pengendapan. Faktor sedimentasi asal meliputi tekstur sedimen, ukuran
partikel, komposisi mineralogi, kandungan organik dan komposisi kimia asli dari air pori (Ali
et al., 2010). Karakteristik pada lingkungan pengendapan ini dapat digunakan untuk memandu
dalam penentuan fasies pengendapan. Fasies diartikan sebagai suatu massa batuan yang
dikelompokkan berdasarkan beberapa parameter seperti litologi, struktur fisik, dan biologinya,
yang menjadikan batuan tersebut berbeda dengan batuan yang ada di sekitarnya baik secara
vertikal maupun lateral (Posamentier and Walker, 2006). Sedangkan, lingkungan pengendapan
merupakan tempat suatu sedimen terendapkan dan memiliki proses serta kondisi pengendapan
fisik, kimiawi, dan biologi tertentu yang kemudian menentukan karakteristik batuan seperti
tekstur, struktur, dan karakteristik stratigrafi dari batuan sedimen (Boggs, 2013).
Lingkungan pengendapan nantinya akan menghasilkan fasies tertentu. Hal ini
dikarenakan lingkungan pengendapan dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti pH, kadar
oksigen, kadar karbondioksida, kadar hidrogen, salinitas, hingga proses pelarutan dan
penyerapan yang terjadi pada lingkungan tersebut. Sedangkan, jika ditinjau dari sisi biologinya,
lingkungan pengendapan juga dipengaruhi oleh aktivitas organisme seperti burrowing, boring,
sedimen ingestion dan juga komposisi skeletal. Oleh karena itu, diagenesis dapat
merekonstruksi keadaan lingkungan pengendapan dimana ia terbentuk seperti yang terdapat
pada gambar 4.1 (Aliyuda et al.,
2018).

Gambar 4.1. Variasi lingkungan


pengendapan sedimen (Aliyuda et
al., 2018).

68
BAB IV PERANAN EOGENESIS

Pola diagenesis awal (Eogenesis) merekam kondisi fasies secara spesifik. Penggunaan
aspek kimia dari mineral diagenesis ini digunakan untuk melengkapi metode penentuan
lingkungan pengendapan secara konvensional. Hal ini didasarkan pada studi kasus yang terjadi
pada pengendapan sedimen di deltaic Wilcox, Formasi Wilcox, Teluk Texas, dimana
perubahan lingkungan pengendapan secara lateral dan vertikal diikuti oleh adanya perbedaan
pola diagenetik pada unit satuan batupasirnya (Stonecipher, 2000). Variasi pola diagenetiknya
dihasilkan dari perpindahan fluida regionalnya yang secara langsung berkaitan dengan kondisi
kimia spesifik sesaat setelah sedimen diendapkan. Kombinasi dari pengaruh transportasi dan
pemilahan (sorting) oleh fluida yang berlangsung selama pengangkutan sedimen akan
menghasilkan karakteristik fasies yang berbeda, dengan kumpulan detrital mineral yang
berbeda pula. Disamping itu, karakteristik tekstur yang merupakan fungsi dari proses
diagenesis, dapat mempengaruhi proses diagenesis dengan mengontrol masuknya fluida.
Sebagai contoh jika sedimen memiliki kemas tertutup maka sirkulasi air tidak memungkinkan
untuk menghasilkan sementasi maupun penggantian mineral, sedangkan pada sedimen dengan
kemas terbuka maka material terlarut dapat dialirkan atau disirkulasikan ke dalam dan luar dari
sistem ruang pori membentuk semen maupun mineral autigenik lainnya. Komposisi kimia
alami dari air pori sesaat setelah sedimen diendapkan akan mengontrol pola diagenetik awal,
contohnya membentuk semen awal.
Variasi distribusi dari lingkungan pengendapan merupakan hasil perpaduan dari proses
fisika, kimia dan biologi (Tabel 4.1.). Aspek fisika penting utama yang perlu diperhatikan
adalah interaksi dinamis dari arus pada muara sungai, ombak, pasang surut dan laut. Sebagai
contoh, aliran air sungai dapat mempengaruhi beberapa hal seperti ukuran dan sortasi dari
sedimen yang dibawa ke delta, migrasi lateral dan limpasan dataran banjir, kecepatan dan pola
pertumbuhan delta. Ombak dan redistribusi sedimen fluvial dapat mempengaruhi bentuk
geometri dari tubuh pasir pantai serta morfologi dari delta front. Arus pasang surut dapat
mempengaruhi distribusi pasir pada pesisir pantai, sedimentasi sungai hingga muara, morfologi
dan perpindahan cabang sungai serta interaksi fauna sedimen pada delta plain. Aktivitas biologi
tertentu dapat mengindikasikan kondisi substrat, suplai sedimen, kandungan organik,
komposisi kimia air dan energi pada lingkungan pengendapan. Proses kimia yang berkaitan
dengan rezim hidrologi merupakan perpaduan antara sumber fluida pori, pola aliran, geometri
tubuh pasir dan hubungan ketiganya.

69
BAB IV PERANAN EOGENESIS

Tabel 4.1. Proses yang terjadi pada lingkungan sedimen dan responnya terhadap fasies yang
dihasilkan (Boggs, 2013).

Lingkungan Pengendapan Sedimen Fasies pengendapan


Proses-proses dinamik yang bekerja : Geometri dari deposit :
Komponen fisik : gelombang dan arus, Blanket, Prism, Shoestring.
gravitasi, tektonik, vulkanisme, ketinggian
muka air laut. Komponen sedimen primer :
Fisika : Perlapisan, komposisi partikel,
Komponen kimiawi : pelarutan, presipitasi, tekstur sedimen.
autigenesis. Kimia : major element dan trace element
Biologi : keberadaan fosil
Komponen biologi : presipitasi biokimia,
reworking sedimen, dan fotosintesis. Komponen sedimen sekunder :
Porositas, permeabilitas, konduktivitas,
Elemen statis : dan radioaktif.
Kedalaman air, suplai sedimen, iklim,
kandungan air.

Kualitas dan komposisi dari air yang menyusun suatu lingkungan pengendapan juga akan
mempengaruhi proses diagenesis awal. Sebagai contoh, jika airnya mengandung polutan maka
aktivitas bioturbasi akan mengalami peningkatan maupun penurunan yang tergantung tipe
logamnya. Jika air pori pada sedimen terkontaminasi oleh logam Mn, Co, Ni maupun Zn maka
intensitas bioturbasi akan meningkat, sedangkan jika air pori terkontaminasi logam Cu maupun
Cr kedua logam tersebut tidak mempengatuhi intensitas dari bioturbasi (Xie et al., 2019)
(Lijklema et al., 1993) (Gambar 4.2). Intensitas bioturbasi akan mempengaruhi struktur internal
sedimen, termasuk orientasi butir dari sedimen dan sortasinya. Lubang galian hasil aktivitas
bioturbasi akan memperburuk orientasi butir dan meninggalkan sedimen halus. Kehadiran
bioturbasi ini terutama penting pada lingkungan pengendapan marin dibandingkan lingkungan
non-marin dan deltaic. Perubahan intensitas bioturbasi ini juga akan mempengaruhi kualitas
batuan reservoir yang meliputi porositas dan permeabilitas.

70
BAB IV PERANAN EOGENESIS

Gambar 4.2. a) Pengaruh air pori sedimen yang terkontaminasi logam terhadap intensitas bioturbasi; b
dan c) Kehadiran bioturbasi memperburuk orientasi butir dan mengurangi permeabilitas batuan.

Penjelasan tentang proses fisika dan kimia utama pada setiap tipe lingkungan
pengendapan dan bagaimana proses tersebut mempengaruhi komponen detritus dan pola
diagenetik dijabarkan sebagai berikut :
IV.1.1 Fasies fluvial
Fasies fluvial dicirikan oleh pengendapan sedimen yang menghalus ke arah atas (fining
upward) dengan bagian bawah terdiri atas sedimen berukuran kasar, serta struktur sedimen
penciri berupa lapisan silangsiur. Karakteristik fisik ini dapat didukung oleh karakteristik
kimiawi dari mineral diagenetik berupa mineral kaolinit. Eogenesis merupakan tahapan dalam
diagenesis yang terjadi dekat dengan permukaan. Pada tahapan ini, sedimen dipengaruhi oleh
proses kimiawi dari air permukaan yang terdapat pada lingkungan pengendapan. Kaolinit dapat
terbentuk sebagai mineral ubahan dari feldspar maupun mika yang dapat berkembang diantara
lembaran tipis mineral mika. Tipe alterasi ini menunjukkan dominan pengaruh dari air
meteorik. Kaolinit sebagai produk utama Eogenesis dideposisikan pada air tawar yang kaya
akan oksigen terlarut (well oxygenated fresh water). Pengaliran air meteorik secara terus
menerus pada mika akan melepaskan kation yang terdapat diantara lembaran mika sehingga
komponen hidroksida mengembangkan lembaran mika dengan membentuk kipas. Unsur silika
(Si) dan aluminium (Al) kemudian terepresipitasi sebagai kaolinit yang berkembang diantara
lembaran mika sisa dengan geometri lempeng kaolinit berukuran kasar.
Pergerakan aliran air sungai menuruni lembah (zona 1 dan 2 dari Gambar 4.3.) (Gellis et
al., 2016) akan menghasilkan detrital material rombakan dan memungkinkan pembentukan
mineral illit. Kehadiran mineral klorit yang berasosiasi dengan kaolinit mengindikasikan

71
BAB IV PERANAN EOGENESIS

bahwa kedudukan lingkungan pengendapan berada dekat dengan zona pengendapan menuju
ke arah muara sungai, dimana air laut yang masuk menyebabkan komposisi kimia fluida
mempresipitasikan klorit. Jika sedimen mengandung kuarsa monokristalin maupun chert maka
semen silika (quartz overgrowth) dapat tumbuh pada permukaan butiran. Bentuk semen silika
yang rombohedral mengindikasikan bahwa tahapan diagenesis yang berlangsung adalah tahap
awal (Eogenesis). Kehadiran semen rombohedral dapat memperkuat butiran dan menahan
terjadinya kompaksi.

Komposisi kimiawi dari fluida


meteorik pada hulu sungai
yang berupa air tawar akan
mempresipitasikan kaolinit
sebagai mineral autigenik pada
batupasir. Menuju ke bagian
hilir sungai, komposisi kimia
fluida mendukung terjadinya
presipitasi dari mineral klorit.

Gambar 4.3. Pola diagenesis mineral lempung menurut


lingkungan pengendapan fluvial (Gellis et al., 2016)

Pada kondisi aliran sungai dengan sirkulasi air yang terbatas (contoh daerah dataran
banjir - floodplain) menyebabkan kadar oksigen menjadi rendah sehingga pH air menjadi lebih
asam dan memungkinkan terjadinya sementasi dari mineral pirit (Gambar 4.4.). Sebaliknya
menuju ke arah muara, semen besi yang terbentuk diwakili oleh mineral siderit. Kedua tipe
mineral sekunder tersebut umum dijumpai sebagai hasil ubahan dari mineral mika.
Fluida yang berada di dalam porositas menekan permukaan butiran dan melarutkan
komposisi kimia mineral ketika bersirkulasi sepanjang ruang pori. Pada kondisi ini, porositas
sekunder dapat meningkat secara signifikan, tergantung kepada proses pelarutan dan
pengurangan material padatan larutan yang bisa saja hadir ketika air meterorik ikut masuk ke
bawah permukaan dan turut melarutkan mineral tidak stabil seperti feldspar. Porositas yang
dihasilkan pada fasies fluvial umumnya baik hingga sangat baik.

72
BAB IV PERANAN EOGENESIS

Gambar 4.4. Presipitasi kaolinit dan pirit umum dijumpai diantara lembaran mika. Semen
pirit dijumpai dengan bentuk geometri sukrosik.

IV.1.2 Fasies delta


Membahas tentang lingkungan fluvial tentunya tidak terlepas dari pembahasan mengenai
delta. Delta merupakan endapan sedimen yang berasal dari daratan dan terbentuk di muara
sungai yang berbatasan dengan laut atau danau. Lingkungan delta, terutama pada delta plain
memiliki arus pengendapan yang lemah memungkinkan pengendapan sedimen berukuran
halus. Pada lingkungan ini, sedimen sangat mudah dipengaruhi oleh sistem geokimia yang
diakibatkan oleh aliran air permukaan, proses difusi, dan juga evaporasi. Lingkungan delta
plain memiliki kemampuan dalam mengawetkan
material organik karbon serta mendukung dalam
pematangan maseral. Proses diagenesis yang terjadi
bersamaan dengan pematangan maseral berupa
presipitasi dari mineral pirit dan siderit. Kehadiran
mineral pirit dan siderit yang sebagian menempel
pada permukaan material organik maupun tersimpan
dalam flokulasi lempung kaolinit menunjukkan
Gambar 4.5. Morfologi vermicular
bahwa aliran arus hyperpycnal memiliki kondisi
yang menjadi ciri khas kaolinit sebagai
reduksi yang memungkinkan terjadinya presipitasi ubahan dari mika
dari mineral tersebut. Aliran arus hyperpycnal merupakan aliran densitas suspensi yang lebih
besar dari pada arus air. Jika mineral mika terutama muskovit melimpah, maka akan
mendukung dalam pembentukan mineral kaolinit (Gambar 4.5), sedangkan mineral biotit

73
BAB IV PERANAN EOGENESIS

berkontribusi dalam pembentukan mineral sekunder klorit. Beberapa fasies delta ditandai
dengan kehadiran dari mineral autigenik gipsum. Pada lingkungan delta front hingga pro delta,
proses yang dominan terjadi adalah presipitasi dari mineral-mineral karbonatan, yang
diakibatkan oleh pengaruh air laut yang lebih dominan.

IV.1.3. Daerah pasang surut / tidal


Daerah pasang surut termasuk lingkungan pengendapan transisi, dimana pengontrol
utamanya adalah energi gelombang, arus, dan pasang surut. Faktor pengontrol pada daerah
tidal ini cenderung menghasilkan fasies batupasir masif dan batupasir dengan struktur sedimen
wavy-flaserr, yang menunjukkan proses pengendapan dipengaruhi oleh sirkulasi arus air yang
berubah - ubah. Sedangkan struktur lentikuler menunjukkan bahwa proses sedimentasi
berlangsung pada tidal channel. Fasies pada lingkungan pengendapan ini didominasi oleh pasir
berukuran halus hingga kasar, sortasi yang baik hingga buruk, dan komposisi mineral berupa
kuarsa, feldspar, muskovit, mineral lempung, dan fragmen moluska serta foraminifera besar.
Fasies rawa hingga mangrove termasuk dalam lingkungan pasang surut yang juga banyak
dijumpai material karbon hasil pengendapan dari sisa - sisa tanaman. Proses diagenetik
utamanya berupa presipitasi dari mineral pirit dan illite namun kehadiran kaolinit sudah
berkurang dan digantikan oleh kehadiran klorit dengan prosentase yang berimbang terhadap
kaolinit (Gambar 4.6).
Pada lingkungan tidal channel fasies
pengendapan dicirikan oleh pembentukan sempurna
dari mineral klorit yang bertindak sebagai
penggantian mineral maupun semen grain- coating.
Pembentukan semen klorit mengindikasikan bahwa
lingkungan pengendapan sudah mendapat pengaruh
dari masuknya air laut. Sirkulasi air pada
lingkungan ini berlangsung dengan baik sebagai
Gambar 4.6. Sebaran lempung klorit oxygenated water sehingga kehadiran dari semen
mengindikasikan adanya influx air
laut oksida besi jarang dijumpai.

Lingkungan intertidal memiliki arus yang lebih lemah dan anoxic dibandingkan dengan
tidal channel, sehingga mineral autigenik dengan komposisi besi utama yang umum dijumpai

74
BAB IV PERANAN EOGENESIS

adalah mineral siderit. Sedimen yang dijumpai juga memiliki ukuran yang relatif halus (pasir
halus hingga lanau). Komposisi mika biotit maupun material karbon sering digantikan oleh
mineral autigenik siderit.

IV.1.4 Laut / Marin


Sedimen yang terendapkan pada lingkungan pengendapan laut memiliki karakteristik
fluida yang kaya akan kalsium karbonat. Seperti halnya pada lingkungan transisi, lingkungan
laut ini memiliki karakteristik fluida yang kaya oksigen (oxic) maupun miskin oksigen (anoxic)
(Gambar 4.7). Hal ini tergantung pada sirkulasi arus ombak yang berlangsung, pada lingkungan
laut yang terisolir atau memiliki sirkulasi fluida yang rendah akan bersifat anoxic sehingga
banyak diendapkan mineral karbonat yang kaya akan besi (siderite, Fe- dolomit/ ankerit).
Sebaliknya, pada lingkungan laut yang memiliki suplai oksigen tinggi seperti pada laut
dangkal, umumnya jenuh akan kalsium karbonat sehingga banyak dijumpai sementasi dari
mineral kalsit.

Gambar 4.7. Mineral-mineral


yang hadir pada diagenesis di
daerah marin. Copyright :
Burlet et al., 1985; courtesy
Blackwell scientific

Quartzarenites dan subarkoses yang dideposisikan pada lingkungan marin cenderung


mengikuti pola awal dari autigenesis mineral lempung yang berasosiasi dengan semen kuarsa
atau overgrowth dari mineral feldspar, serta diikuti juga dengan presipitasi dari mineral
karbonatan. Mineral lempung dapat terbentuk lebih awal dikarenakan mineral lempung paling
mudah terpresipitasi daripada mineral feldspar. Semen karbonat yang cenderung mengisi
porositas primer dominan menghentikan diagenesis lebih lanjut dari sementasi lempung. Jenis
semen yang umum dijumpai pada setiap tipe lingkungan pengendapan, disajikan pada tabel
4.2.
Tabel 4.2. Variasi tipe semen menurut karakteristik fasies dan lingkungan pengendapan
Lingkungan Fasies Jenis semen
Eolian Dune Overgrowth kuarsa dan mineral lempung
Interdune Anhydrite, dolomite, dan kalsit

75
BAB IV PERANAN EOGENESIS

Lingkungan Fasies Jenis semen


Fluvial Flood plain Kalsit, illite, smektit, mixed-layer mineral lempung
Channel Kalsit, percampuran mineral kalsit dan kuarsa
Nearshore Semua Mineral karbonatan seperti siderite dan illite
marine
Marine shelf Semua Dolomite, illite, klorit, dan kuarsa
Deep marine Semua Kuarsa, klorit, kalsit, illite, dan dolomite

Pada lingkungan pengendapan laut dangkal, pengurangan nilai porositas dapat terjadi
akibat sementasi dari kalsit maupun Mg-calcite, karena proses sementasi ini sangat dominan
terjadi pada shelf-margin reefs, high intertidal zones, dan isolated hardgrounds. Pembentukan
mineral autigenik dolomit yang disebut sebagai proses dedolomitisasi pada lingkungan laut
dangkal berperan dalam menghasilkan porositas interkristalin. Pembentukan porositas
interkristalin yang berukuran mikro ini sedikit meningkatkan volume ruang pori karena
ukurannya yang relatif kecil tetapi memiliki sebaran yang lebih luas. Pada kedalaman yang
lebih besar, semen aragonit dapat terbentuk hingga kedalaman mencapai 60 meter. Pada
lingkungan pengendapan laut dalam, porositas dapat mengalami perubahan yang signifikan
dikarenakan sedimen cenderung memiliki ukuran butir yang lebih halus.

IV.2 Menurunkan kualitas batuan reservoir


Evolusi atau perubahan kondisi dari porositas batuan reservoir (terutama batupasir)
memiliki kaitan yang erat dengan kondisi lingkungan tempat sedimen diendapkan serta proses
diagenesis. Porositas dan permeabilitas ini tergantung pada tekstur asal sedimen, seperti ukuran
butir, sortasi, mineralogi dan struktur sedimen yang dipengaruhi oleh lingkungan
pengendapannya. Pada tahap diagenesis awal, proses diagenesis berupa kompaksi awal akan
menyebabkan terjadinya penurunan volume ruang pori. Kompaksi yang terjadi pada awal
diagenesis juga menyebabkan perubahan susunan butir, displacement, hinga redistribusi dari
komponen batupasir.
Proses kompaksi ini menyebabkan sedimen mengalami diagenesis peninbunan (burial
diagenesis), yang menyebabkan kontak antar butir menjadi lebih rapat atau menurunan volume
porositas intergranularnya. Pada tahapan mesogenesis yang mengalami proses kompaksi dan
sementasi lanjutan, akan memberikan nilai penurunan porositas dan permeabilitas yang lebih

76
BAB IV PERANAN EOGENESIS

besar. Pada tahap ini, porositas dari batupasir biasanya menurun hingga 40% seiring dengan
kedalaman penimbunannya.
IV.2.1 Penurunan nilai porositas primer
Pada diagenesis awal, proses kompaksi mekanik memiliki peranan yang sangat besar
dalam mengurangi nilai porositas primer intergranular dan volume ruang pori. Hal ini terjadi
karena adanya penimbunan sedimen yang memberikan penambahan tekanan secara vertikal
dan menyebabkan kontak antar butir menjadi lebih rapat. Kontak antar butir yang semakin
rapat menyebabkan permukaan butir sedimen menjadi bersentuhan satu sama lain membentuk
kontak memanjang (long contact) dan disertai pelarutan dari air pori yang mengisi ruang pori
intergranular. Ketika air pori yang jenuh ini mengalami presipitasi dan membentuk semen,
maka akan menghasilkan sementasi awal yang mengurangi ruang porinya. Dengan demikian,
proses Eogenesis memiliki peran dalam mengurangi porositas primer melalui kompaksi dan
sementasi. Ketika tahapan diagenesis berlanjut hingga ke mesogenesis, penurunan kualitas
batuan reservoar klastik akan berlangsung signifikan.
Intensitas kompaksi mekanik dan perbedaan
komposisi material penyusun sedimen akan mempengaruhi
besarnya pengurangan nilai porositas. Pada intensitas
kompaksi yang sama, ketika sedimen memiliki lebih
banyak komponen duktil (seperti mika, lempung) yang
terkena tekanan maka komponen tersebut akan
terdeformasi dan mengalami penurunan permeabilitas Gambar 4.8. Deformasi mineral
lempung kaolinit diantara
dengan menutup konektivitas antar ruang pori (Gambar
sementasi kuarsa.
4.8). Sedimen yang memiliki komposisi butiran brittle lebih
banyak, umumnya membentuk retakan yang dapat meningkatkan volume pori. Pada diagenesis
awal (Eogenesis) retakan yang terbentuk ini relatif lebih halus, sehingga tidak signifikan dalam
meningkatkan ruang pori. Berbeda dengan tahapan mesogenesis, dimana pembentukan retakan
(baik oleh pengaruh tektonik maupun penimbunan) akan meningkatkan permeabilitas batuan
yang sudah menurun akibat kompaksi dan sementasi.
Proses diagenesis lainnya yang juga mempengaruhi nilai porositas dan permeabilitas
adalah sementasi. Sementasi dari kuarsa yang membentuk quartz overgrowth, pada tahap awal
diagenesis dapat meningkatkan kekuatan butiran untuk bertahan terhadap proses kompaksi
yang berlangsung atau berperan sebagai kerangka butir yang menahan tekanan dari luar. Hal

77
BAB IV PERANAN EOGENESIS

ini menguntungkan karena volume porositas primer intergranular akan dapat terawetkan dan
tidak berkurang banyak akibat kompaksi.
Namun demikian, jika pertumbuhan semen kuarsa
berlanjut dan membesar, maka akan dapat menutup ruang
pori sepenuhnya (Anovitz et al., 2015). Pertumbuhan semen
ini juga dapat mencegah terbentuknya semen lempung
(Gambar 4.9). Apabila pertumbuhan semen kuarsa
terhalangi, maka pertumbuhannya hanya akan membentuk
rhombohedral dan tidak membentuk blocky semen
berukuran besar (Gambar 4.9). Pembentukan semen
Gambar 4.9. Pengaruh
berukuran mikro yang menempati ruang pori intergranular
pertumbuhan bersama antara
dan membentuk pore-filling cement dapat mengubah semen kuarsa dengan semen
porositas makro menjadi mikro. Porositas mikro ini hanya lempung
dapat teramati menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM).
Meskipun pada Eogenesis proses sementasi dominan terjadi sehingga menyebabkan
penurunan porositas, akan tetapi pada tahap menengah (mesogenesis) cenderung terjadi
pelarutan yang menyebabkan terbentuknya porositas intergranular maupun intragranular.

IV.2.2. Penyumbatan porositas (Pore throat)


Sementasi yang diawali dari pelarutan permukaan butir sedimen dapat bersifat menutup
sebagian ruang pori primer sehingga batupasir masih memiliki kemampuan untuk mengalirkan
fluida atau memiliki permeabilitas. Namun jika tekstur awal sedimen yang diendapkan hanya
memiliki porositas yang rendah, maka kehadiran semen berukuran mikro akan dapat
menyumbat ruang penghubung antar pori (pore throat) (Gambar 4.10).

Gambar 4.10. Ilustrasi konsep dari pore size dan


pore throat. Rongga pori dapat diukur dengan
Scanning Electron Microscope. Ukuran absolut dari
pore throat yakni diukur dari jari-jari lingkaran yang
ditarik tegak lurus terhadap aliran fluida.

78
BAB IV PERANAN EOGENESIS

Hal ini akan menurunkan permeabilitas batuan secara keseluruhan, sehingga diperlukan
teknik recovery yang sesuai untuk bisa meningkatkan permeabilitas batuan. Permeabilitas
batuan merupakan kemampuan suatu batuan reservoir untuk mengalirkan hidrokarbon,
sehingga memiliki peranan yang penting dalam menentukan kualitas reservoir. Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi permeabilitas asal batuan, seperti jenis fasies
batuan, tekanan kapiler, resistivitas formasi, hingga ukuran pore throat.
Kehadiran semen berukuran mikro maupun crypto seperti kaolinit dapat mengisi ruang
penghubung antar pori yang sempit (pore-throat) sehingga dapat menurunkan porositas batuan
reservoir (Baiyegunhi et al., 2020). Tipe pori diantara kristal semen tersebut tergolong sebagai
porositas tidak efektif (ineffective) dan umumnya terisi oleh irreducible water atau fluida yang
cenderung lekat pada permukaan pori sehingga susah keluar dari pore throat. Kualitas batuan
reservoar dengan porositas baik tetapi permeabilitas rendah atau porinya tidak terhubung satu
sama lain hanya akan memiliki kemampuan untuk menyimpan fluida hidrokarbon tanpa dapat
mengalirkannya. Keterdapatan pore throat yang tidak tersumbat dan berukuran besar akan
dapat meningkatkan nilai permeabilitas batupasir.

IV.2.3. Modifikasi porositas intergranular menjadi interkristalin


Modifikasi dari porositas primer menjadi porositas
interkristalin ini berlangsung melalui proses diagenesis yang
berupa sementasi. Eogenesis yang ditandai dengan
sementasi awal membentuk semen yang mengelilingi
permukaan butir (grain-coating) maupun menempati
sebagian ruang pori (pore-filling). Beberapa tipe semen
yang terpresipitasi menjadi kristal berukuran meso maupun
mikro, ketika menempati ruang pori primer intergranular
Gambar 4.11. Transformasi
akan menghasilkan ruang pori yang terbentuk diantara porositas intergranular
kristal semennya. Karena semen tersebut menempati menjadi porositas
porositas primer yang berukuran makro, maka pori yang interkristalin akibat sementasi.

semula besar hanya akan tampak sebagai porositas mikro di antara kristal semen saja. Hal
inilah yang disebut sebagai modifikasi dari porositas intergranular menjadi interkristalin
(Gambar 4.11). Beberapa semen pengisi ruang pori yang dimaksud meliputi semen dolomit,
klorit, kaolinit, klinoptilolit (semen zeolit), siderit maupun pirit.

79
BAB IV PERANAN EOGENESIS

Bahan Bacaan/Referensi

Ali, S. a, Clark, W.J., Moore, W.R., Dribus, J.R., 2010. Diagenesis and Reservoir Quality.
Oilfield Review 22, 14–27.
Aliyuda, K., Howell, J.A., Hartley, A., 2018. Impact of Depositional Environment on Reservoir
Quality and Hydrocarbon Production. AAPG/SEG International Conference and
Exhibition di, 0–1.
Anovitz, L.M., Cole, D.R., Jackson, A.J., Rother, G., Littrell, K.C., Allard, L.F., Pollington,
A.D., Wesolowski, D.J., 2015. Effect of quartz overgrowth precipitation on the multiscale
porosity of sandstone: A (U)SANS and imaging analysis. Geochimica et Cosmochimica
Acta.
Baiyegunhi, T.L., Liu, K., Gwavava, O., Baiyegunhi, C., 2020. Impact of diagenesis on the
reservoir properties of the cretaceous sandstones in the southern bredasdorp basin,
offshore south africa. Minerals 10, 1–33.
Boggs, S., 2013. Principles of sedimentology and stratigraphy 4th edition. Journal of Chemical
Information and Modeling.
Gellis, A.C., Fitzpatrick, F., Schubauer-Berigan, J., 2016. A Manual to Identify Sources of
Fluvial Sediment. U.S. Environmental Protection Agency, Washington, DC,
EPA/600/R1, 106.
Lijklema, L., Koelmans, A.A., Portielje, R., 1993. Water quality impacts of sediment pollution
and the role of early diagenesis. Water Science and Technology 28, 1–12.
Posamentier, H.W., Walker, R.G., 2006. Deep-Water Turbidites and Submarine Fans. Facies
models revisited 399–520.
Stonecipher, S.A., 2000. Applied Sandstone Diagenesis-Practical Petrographic Solutions for a
Variety of Common Exploration, Development, and Production Problems, Applied
Sandstone Diagenesis-Practical Petrographic Solutions for a Variety of Common
Exploration, Development, and Production Problems.
Xie, M., Simpson, S.L., Wang, W.X., 2019. Bioturbation effects on metal release from
contaminated sediments are metal-dependent. Environmental Pollution 250, 87–96.

80
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

BAB V. PERANAN TELOGENESIS

V.1. Indikator Adanya Ketidakselarasan (Disconformity)


Suatu cekungan kompleks yang berumur tua (seperti cekungan yang telah terinversi
ataupun mengalami tektonik pengangkatan) dapat mengalami perubahan rezim hidrologi pasca
pengendapan yang mengakibatkan terjadinya modifikasi signifikan pada pola diagenetiknya.
Batuan sedimen pada tahap Telogenesis akan mengalami pelarutan, penggantian dan
oksidasi. Proses pelarutan akan melarutkan komponen butir yang kurang stabil dan
meningkatkan nilai pori, pelarutan dapat mengubah mineral feldspar menjadi mineral lempung
dan oksidasi akan menghasilkan semen maupun penggantian mineral oksida besi. Modifikasi
tersebut akan tampak pada pola diagenetik awal yang di overprint atau ditindih oleh pola
diagenetik akhir. Beberapa penanda seperti kehadiran mineral autigenik lempung kaolinit dan
mosaik semen kalsit dapat menjadi indikator adanya pengaruh air meteorik dan menunjukkan
bahwa batuan telah tersingkap di permukaan.

V.1.1. Tektonik Pengangkatan/ Uplift

Proses tektonik pengangkatan/ uplift dapat menyebabkan batuan sedimen berada di atas
muka air laut maupun diatas permukaan tanah, sehingga hal ini akan diikuti oleh proses
eksogenik berupa erosi. Setelah fase erosional berakhir, hal ini akan diikuti dengan proses
pengendapan sedimen lain yang menumpang diatas bidang ketidakselarasan, sehingga
terbentuk perlapisan dengan umur pengendapan yang berbeda (Gambar 5.1.). Bidang
ketidakselarasan yang dimaksud berupa disconformity, yakni merupakan bidang
ketidakselarasan yang terbentuk karena terjadinya erosional tanpa berlangsungnya proses
pengendapan. Bidang ketidakselarasan tipe ini tampak sebagai tumpukan lapisan batuan yang
sejajar satu sama lain, tetapi antar lapisan tersebut menunjukkan umur pengendapan yang
berbeda. Dengan demikian, bidang ketidakselarasan ini seharusnya dapat menjadi penanda
adanya perbedaan umur. Akan tetapi bidang disconformity ini terkadang tampak samar pada
singkapan batuan sedimen yang berlapis secara sejajar, sehingga akan sulit menentukan bidang
ketidakselarasan tersebut melalui data geologi konvensional maupun seismik. Identifikasi dari

81
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

tipe diagenesis terutama dari overprint mineral diagenetik akan dapat membantu dalam
mengungkap adanya bidang ketidakselarasan yang samar ini (subtle unconformity).

Gambar 5.1. Proses tektonik pengangkatan yang menghasilkan bidang ketidakselarasan


berupa Disconformity

Pengamatan megaskopis yang dapat dilakukan guna menentukan bidang


ketidakselarasan yang samar ini adalah dengan mengamati struktur sedimen berupa akar, tanah,
maupun kenampakan bidang erosional. Struktur sedimen ini terkadang tidak dapat diamati
karena hilang oleh pengaruh erosi ketika muka air laut naik. Bidang ketidakselarasan pada log
pemboran umumnya tampak sebagai spike dari log resistivitas. Beberapa fase tahapan
diagenesis yang berlangsung untuk dibedakan satu dengan lainnya, disajikan pada Tabel 5.1
modifikasi dari (Nugraheni et al., 2013), (Goldberg et al., 2009).

Secara mikroskopis, salah satu mineral autigenik yang menjadi penanda dari
telogenesis adalah mineral kaolinit. Kaolinit hadir sebagai massa berbentuk seperti cacing
(vermicular) sebagai hasil ubahan dari feldspar maupun mika. Kaolinitisasi dari mika ini
mewakili proses pembentukannya pada lingkungan meteorik (Stonecipher, 2000) karena aliran
air meteorik yang terus menerus akan menyebabkan komponen hidroksida dan kation antar
lapisan mika terpisah satu sama lain membentuk seperti morfologi kipas. Kation silika dan
aluminium selanjutnya akan terpresipitasi
sebagai kaolinit diantara lapisan sisa mika.

Pembentukan hematit yang menumpuki


(mengoverprint) pirit serta presipitasi gipsum
pada porositas retakan maupun morfologi nodul
juga dapat digunakan sebagai indikator dari
tahap Telogenesis (Gambar 5.2). Ketika
sedimen tersingkap di permukaan, jika kondisi Gambar 5.2. Overprinting pirit oleh
lingkungan pengendapan semula reduktif akan hematit sebagai indikator tahap
bersifat lebih oksidatif karena air meteorik Mesogenesis

82
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

jenuh akan oksigen. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya represipitasi dari oksida besi seperti
hematit (indikator Telogenesis) yang menggantikan sucrosic pirit sebagai indikator dari
Mesogenesis.

Tabel 5.1. Proses diagenesis yang berlangsung pada setiap tahapannya

Pada lingkungan marin, presipitasi dari kalsit sebagai semen maupun mineral autigenik
merupakan sesuatu hal yang umum. Tetapi jika kalsit memiliki bentuk struktur mosaik, hal ini
akan menunjukkan bahwa pembentukannya berada pada fresh - water phreatic zone. Mosaik

83
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

kalsit terbentuk sebagai hasil interaksi antara


air meteorik dengan pecahan fosil
berkomposisi aragonit (Stonecipher, 2000).
Komposisi mineral aragonite dari cangkang
fosil bersifat tidak stabil, sehingga saat
berinteraksi dengan air meteorik akan terlarut
dan terepresipitasi menjadi bentuk yang lebih
stabil seperti low-Mg mosaik kalsit. Jika
pertumbuhan semen kalsit ini diamati
menggunakan cathodoluminescence, akan
tampak memiliki oscillatory zoning, dimana
hal ini menggambarkan kondisi presipitasi
yang relatif tetap di atas batas muka air tanah
(Vuillemin et al., 2011) (Gambar 5.3).
Gambar 5.3. Pembentukan mosaik
kalsit dengan zonasi oscillatory Pembentukan semen kalsit berupa perulangan
(Vuillemin et al., 2011). bentuk pita antara yang tidak berpendar dan
berpendar pada pengamatan
cathodoluminescence, mencerminkan suatu
lensa dari air tawar yang jenuh oksigen
berfluktuasi dengan air pada kondisi reduksi.
Pada sistem akuifer aktif, efek dari
transportasi fluida serta minor turbulensi
menyebabkan terjadinya homogenisasi fluida
dan meminimalkan perubahan selama proses
oksidasi pada skala lokal. Pada fase akhir
Telogenesis, mosaik kalsit akan mengalami
pelarutan yang diikuti dengan presipitasi
semen poikilotopik ferroan- kalsit serta
ferroan- dolomit. Ferroan kalsit umumnya
menggantikan mosaik kalsit pada pori
Gambar 5.4. Pembentukan ferroan
dolomit menggantikan mosaik kalsit intergranular dan intragranular pada fosil.
Ferroan dolomit menggantikan baik mosaik
kalsit maupun ferroan kalsit, dimana mineral ini terbentuk pada fase paling akhir (Gambar 5.4).

84
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

V.1.2. Kaolinite – Illite/ Montmorillonite – Chlorite Plot


Mineral lempung yang dijadikan indikator bahwa tahapan diagenesis sudah memasuki
tipe Telogenesis atau mencerminkan bahwa sedimen telah mengalami proses pengangkatan/
uplift adalah jika dijumpai mineral illite/ montmorillonite, klorit dan kaolinit hadir secara
bersamaan. Kehadiran ketiganya terutama bertindak sebagai penggantian mineral
(replacement). Proses presipitasi dan penggantian mineral lempung umumnya berlangsung
ketika sedimen mengalami penimbunan pada kedalaman besar (deep burial). Hal ini berbeda
dengan proses sementasi yang umum dijumpai pada kedalaman dangkal.
Ketiga komponen mineral lempung dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa
sedimen telah mengalami proses tektonik pengangkatan yang mengakibatkannya dapat
berinteraksi dengan air meteorik membentuk fase Telogenesis. Hubungan ketiganya
digambarkan menggunakan ternary diagram. Ternary plot dari kaolinite – illite/
montmorillonite – chlorite disebut dengan istilah KIC plot yang digunakan untuk menentukan
genetik relatif dari pembentukan lempungnya. Kelimpahan mineral kaolinite, illite dan chlorite
yang akan dimasukkan pada plot diperoleh dari data X-Ray Diffraction (XRD). Pada KIC plot,
hasil plotting sampel yang berada di sekitar puncak kaolinit menunjukkan bahwa diagenesis
dipengaruhi oleh air meteorik dari tahapan telogenesis, sementara yang berada di sekitar
puncak klorit menunjukkan adanya pengaruh marin dan yang berada di sekitar puncak illit +
MLC (Mixed layer clays) + montmorillonite memiliki pengaruh dari material rombakan
(detrital input) (Gambar 5.5a).

Gambar 5.5 a) Plot genesa lempung yang menggambarkan variasi pengaruh asal genetik
terhadap kelimpahan dari mineral lempung. Tipe plot disebut KIC plot dari tiga kelompok tipe
mineral lempung kaolinit - illite+MLC – klorit (Stonecipher, 2010); b) Hasil plot kelimpahan
mineral lempung yang menjadi penanda antara tahapan Eo-mesogenesis dengan Telogenesis
(Nugraheni, 2015)

85
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

Contoh hasil plot kelimpahan dari ketiga tipe mineral lempung pada gambar 5.2b secara
jelas menunjukkan adanya pengaruh air meteorik selama diagenesis sedimen, terutama
ditunjukkan oleh garis batas merah yang menandai batas antara Telogenesis dengan Eo-
Mesogenesis. Hubungan paragenetik dari ketiga tipe lempung menunjukkan bahwa klorit
terbentuk lebih awal (pada tahap Eogenesis) pada kondisi lingkungan marin, kemudian diikuti
dengan illit dan kaolinit pada tahap akhir. Kehadiran kaolinit menandai perkembangan dari
sistem pengisian air tanah oleh air meteorik.

V.2. Meningkatkan Kualitas Batuan Reservoar


Ketika sedimen yang terendapkan dan terlithifikasi pada kedalaman besar ini
mengalami pengangkatan secara tektonik hingga ke permukaan, hal ini akan
mengakibatkannya tersingkap di permukaan dan berkontak langsung dengan air meteorik (baik
berupa air hujan maupun air permukaan lainnya). Interaksi dengan air meteorik ini dapat
meningkatkan nilai porositas dan permeabilitas batuan, karena air akan melarutkan mineral
mika maupun feldspar yang cenderung reaktif. Kondisi peningkatan porositas dan
permeabilitas merupakan hal yang umum dijumpai juga pada proses diagenesis awal, sehingga
untuk membedakannya dengan proses diagenetik awal dapat menggunakan penanda overprint
dari mineral diagenetik.

V.2.1. Peningkatan Nilai Porositas Pelarutan

Ketika sedimen mengalami pengangkatan dan erosi, hal ini akan disertai dengan
periode pelapukan dan pencucian (leaching). Sedimen yang terangkat dan tererosi tersebut
menyebabkan terbentuknya bidang ketidakselarasan. Jarak batuan sedimen terhadap bidang
ketidakselarasan akan mempengaruhi nilai total dari porositas pelarutan, atau dengan kata lain
semakin dekat jarak dengan bidang ketidakselarasan akan memiliki nilai porositas pelarutan
yang semakin besar (Yang et al., 2020) (Gambar 5.6). Kehadiran regional unconformity
memiliki kontrol yang penting pada porositas sekunder dengan mengalirkan air meteorik secara
terus menerus pada batuan, sehingga hal ini akan mempengaruhi kualitas dari batuan reservoar,
yakni peningkatan volume total porositas.
Peningkatan nilai porositas berlangsung melalui proses pelarutan oleh air meteorik.
Pelarutan ini tidak hanya berlaku pada komponen butir yang tidak stabil tetapi juga terhadap
semen yang sebelumnya telah terbentuk (terutama semen karbonat), sehingga porositasnya
menjadi lebih besar daripada batuan sedimen di tempat lain yang tidak mengalami
pengangkatan. Iklim yang lembab (humid) pada daerah tropis, seperti di Indonesia memiliki

86
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

ketersediaan volume air meteorik yang melimpah, sehingga kehadiran dari zona lemah menjadi
jalan masuknya aliran air meteorik untuk melakukan proses pelarutan secara signifikan.

Gambar 5.6. Pengaruh tektonik pengangkatan yang berlangsung selama Telogenesis akan
meningkatkan volume pori total dengan membentuk porositas pelarutan. a) Jarak batupasir
terhadap bidang ketidakselarasan berkorelasi dengan prosentasi dari porositas pelarutan, b)
Selain dikontrol oleh tekstur dan komposisi asal batuan, pembentukan porositas pelarutan
berkaitan dengan semakin dekatnya jarak terhadap ketidakselarasan (Gambar dimodifikasi dari
(Yang et al., 2020).
Suatu batuan sedimen yang berada pada
fase Telogenesis umumnya ditandai dengan
tekstur kemas tertutup dan kehadiran porositas
retakan akibat kompaksi, yang kemudian
retakan tersebut menjadi jalan aliran air
meteorik untuk melakukan perkolasi dan
membentuk porositas pelarutan (Gambar 5.7).
Tipe porositas yang memberikan
kontribusi maksimum dalam peningkatan Gambar 5.7. Retakan yang terbentuk
volume pori adalah porositas pelarutan (Tabel pada Mesogenesis diikuti dengan
5.1.), vuggy dan porositas interkristalin yang pelarutan pada Telogenesis.

terutama terbentuk diantara lempeng kaolinit. Porositas pelarutan tidak hanya berlangsung
terhadap komponen butir yang tidak stabil, melainkan juga dapat memindahkan dan/ atau
melarutkan semen. Akibatnya porositas pelarutan dapat menambah tipe pori mikro hingga

87
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

megapores menurut ukuran porinya. Sebagai contoh, semen sucrosic pirit yang menandai
tahapan Mesogenesis, dapat terpindahkan atau tercuci ketika terkena aliran air meteorik secara
terus menerus (Gambar 5.8). Pada pengukuran MICP, perubahan distribusi pori akan tampak
pada grafik distribusi pori yang menjadi polymodal (terdiri atas berbagai ukuran pori).

Gambar 5.8. Gambar backscatter dari Field Emission-SEM yang menunjukkan porositas
sekunder berupa mold dari pirit akibat migrasi kristal. Jejak pirit tampak pada bentukan
bipiramidal serta jejak dari Fe pada grafik EDX.

V.2.2. Peningkatan Nilai Permeabilitas

Air meteorik yang melarutkan komponen tidak stabil seperti reaktif mika dan feldspar,
juga dapat meningkatkan dan mengawetkan permeabilitas batuan. Peningkatan nilai
permeabilitas yang signifikan diperoleh jika porositas retakan maupun semen yang telah
mengisi porositas intergranularnya mengalami pelarutan. Proses pelarutan tersebut akan dapat
menjadi jalan penghubung bagi aliran air pori, atau membentuk permeabilitas efektif (Gambar
5.9).

Gambar 5.9. Permeabilitas efektif yang terbentuk sebagai hasil pelarutan

88
Bab V. PERANAN TELOGENESIS

Bahan Bacaan/Referensi

Goldberg, K., Morad, S., De Ros, L.F., Al-Aasm, I.S., 2009. Diagenetic processes in sabkha
deposits and exploration potential of the intracratonic Parecis basin, western Brazil.
AAPG Annual Convention and Exhibition ( 2009 June 07-10 : Denver, CO). Abstracts
volume. [Tulsa, OK] : AAPG, 2009.
Nugraheni, R.D., 2015. Depositional Architecture And Diagenesis of The Clastic Sedimentary
Systems of The Belaga, Balingian And Begrih Formations, Along The Mukah-Sibu-
Selangau Transect, Sarawak. Universiti Teknologi Petronas.
Nugraheni, R.D., Sum, C.W., Hadi, A., Rahman, A., Nuralia, S., Nazor, B.M., 2013. Burial
Diagenesis of Coal-Bearing Mudrock and Its Relationship to The Evolution of Pore
Types and Abundance. In: Fatt, N.T. (Ed.), Proceedings of The National Geoscience
Conference. Geological Society of Malaysia, Ipoh - Tronoh, Perak State, Malaysia.
Stonecipher, S.A., 2000. Applied Sandstone Diagenesis-Practical Petrographic Solutions for a
Variety of Common Exploration, Development, and Production Problems, Applied
Sandstone Diagenesis-Practical Petrographic Solutions for a Variety of Common
Exploration, Development, and Production Problems.
Stonecipher, S.A., 2010. Sequence Stratigraphy and Diagenetic Facies the Second Frontier
Formation, Moxa Arch, Wyoming. In: Applied Sandstone Diagenesis-Practical
Petrographic Solutions for a Variety of Common Exploration, Development, and
Production Problems.
Vuillemin, A., Ndiaye, M., Martini, R., Davaud, E., 2011. Cement stratigraphy: Image probes
of cathodoluminescent facies. Swiss Journal of Geosciences.
Yang, S., Wang, Ya, Zhang, S., Wang, Yongchao, Zhang, Y., Zhao, Y., 2020. Controls on
reservoirs quality of the Upper Jurassic Mengyin formation sandstones in Dongying
Depression, Bohai Bay Basin, Eastern China. Energies.

89
Bab VI. OIL RECOVERY

BAB VI. HYDROCARBON RECOVERY

VI.1. Tipe Recovery Minyak dan Gas

Proses perolehan minyak terbagi


menjadi 3, yakni secara primer (primary
recovery), sekunder (secondary recovery)
dan tersier (tertiary recovery) (Gambar 6.1).
Proses perolehan secara primer berkaitan
dengan munculnya hidrokarbon secara alami
melalui rekahan yang disebut sebagai zona
rembesan minyak dan gas alam, maupun
yang melalui proses pengangkatan untuk
dibawa ke permukaan. Perolehan secara
primer ini memerlukan properti fisika dan
kimia tertentu dari hidrokarbon (seperti
densitas, kekentalan, Pressure Volume
Temperature - PVT dan lain – lain) serta
karakteristik tipe formasi batuan reservoar
yang beragam (Vishnyakov et al., 2020). Gambar 6.1. Kondisi batuan reservoar pada
Proses ini melibatkan fase aliran tunggal dari berbagai skala yang harus diperhatikan saat
produksi hidrokarbon.
batuan reservoar ke permukaan, yang
dilakukan dengan membuat sumur pemboran. Pembuatan sumur pemboran ini
mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan yang lebih besar dibandingkan tegangan
hidrostatis dan friksi pada pipa produksi. Ketika penurunan tekanan yang berlangsung di
sekeliling sumur dirasa kurang, maka metode pengangkatan tambahan melalui artificial
lifting (menggunakan pompa, gas lift, Electric Submersible Pump - ESP, dll) dapat digunakan
untuk meningkatkan aliran minyak ke permukaan.
Secondary recovery merupakan suatu teknik untuk meningkatkan perolehan minyak
dan gas bumi yang masih terjebak pada pori batuan. Terjebaknya fluida hidrokarbon pada
pori batuan reservoar batupasir dapat terjadi karena permeabilitas batuan reservoarnya yang
rendah (tight oil reservoirs) akibat proses diagenesis yang kompleks maupun karena

90
Bab VI. OIL RECOVERY

mengandung heavy oil. Faktor lain yang menyebabkan fluida hidrokarbon dapat terjebak
pada pori adalah rasio kekentalan fluida yang kurang mendukung maupun karena adanya
tegangan kapiler dengan nilai yang beragam. Interaksi antara fluida dengan batuan
mengakibatkam fluida (baik air maupun minyak) melekat pada pori – pori batuan membentuk
oil-wet, water-wet ataupun mixed-wet (Gambar 6.1). Dengan demikian, fluida tertinggal pada
pori akibat adanya afinitas fluida pada batuan, sedangkan tegangan kapiler menyebabkannya
susah untuk mengalami mobilisasi atau perpindahan. Penerapan metode perolehan sekunder
umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik dari batuan reservoar agar
tidak terjadi kegagalan yang malah mengakibatkan koagulasi dan penyumbatan porositas
batuan. Proses recovery sekunder perlu dilakukan karena pada recovery primer faktor
perolehan umumnya tidak lebih dari 20%. Recovery sekunder sendiri bergantung pada proses
injeksi air maupun gas dengan kisaran faktor recovery mencapai 15 – 25%. Prosesnya
dilakukan dengan menginjeksikan air maupun gas melalui sumur injeksi ke reservoar.
Waterflooding merupakan metode perolehan minyak tahap lanjut yang dilakukan
dengan menginjeksikan air ke dalam reservoar melalui sumur injeksi untuk mendesak minyak
mengalir ke sumur produksi (Gambar 6.2). Waterflooding menjadi metode perolehan
sekunder yang paling umum digunakan pada proses ekstraksi secara konvensional maupun
pada reservoar yang mengandung fluida minyak berat (heavy oil). Penggunaan air dilakukan
karena faktor ketersediaan air yang melimpah, mudah diinjeksikan dan mampu menyebar ke
seluruh reservoar, lebih efisien dalam mendesak minyak dan keefektifan dari segi biaya.

Gambar 6.2 Mekanisme pendesakan minyak menuju ke sumur produksi dengan


menggunakan waterflooding

Dalam penanganan kasus reservoar dengan heavy oil, umumnya air dikombinasikan
dengan air panas maupun uap panas (metodenya disebut sebagai thermal energy injection).
Hal ini merupakan bagian dari metode perolehan tersier. Seperti halnya pada recovery primer,

91
Bab VI. OIL RECOVERY

efisiensi dari teknik waterflooding ditentukan oleh faktor dari dalam, yakni properti fisik
hidrokarbon, efisiensi dari proses pindahnya minyak dalam skala mikro, properti fluida
maupun batuan serta heterogenitas batuan. Pada akhirnya faktor recovery ini ditentukan oleh
faktor eksternal seperti bentuk arsitektur dari batuan reservoar, jumlah sumur produksi,
termasuk proses perpindahan air setelah injeksi dilakukan. Teknik recovery melalui
waterflooding ini memiliki kisaran faktor recovery mencapai 40 – 55% OIP (oil in place).
Tertiary recovery merupakan suatu metode yang digunakan untuk meningkatkan lebih
jauh volume perolehan minyak (Gambar 6.3). Teknik perolehan ini umum dikenal sebagai
Enhanced Oil Recovery (EOR). Teknik ini lebih mahal penerapannya, tetapi dapat
meningkatkan produksi sumur hingga mencapai 75%. Penerapannya sendiri umumnya
dilakukan pada kondisi reservoar yang mengandung minyak berat (heavy oil) ataupun
memiliki permeabilitas yang buruk. Metode tersier memiliki prinsip kerja dengan mengubah
properti asal (porositas dan permeabilitas) dari batuan reservoar, sedangkan perolehan
sekunder hanya melakukan pendorongan minyak menuju sumur produksi saja. Untuk
menentukan apakah suatu sumur perlu diterapkan EOR, hal ini memerlukan suatu studi detil
dan investigasi pada batuan reservoar, meliputi karakterisasi reservoar, pemodelan reservoar
dan simulasi.

Gambar 6.3. Tahapan perolehan minyak melalui penerapan teknologi ekstraksi

92
Bab VI. OIL RECOVERY

VI.1.1. Improved Oil Recovery (IOR)

Istilah IOR mengacu pada setiap penerapan teknik produksi minyak yang lebih
canggih selama berlangsungnya proses perolehan minyak. Teknik IOR ini meliputi semua
tipe penerapan teknologi yang menyebabkan peningkatan produksi minyak, baik berlangsung
pada tahap perolehan minyak primer, sekunder maupun tersier. Contoh dari aplikasi teknik
IOR adalah hydraulic fracturing atau pembuatan rekahan pada batuan untuk bisa meloloskan
fluida hidrokarbon yang terjebak atau memiliki permeabilitas rendah, acidizing atau
penggunaan larutan kimia asam, pembuatan sumur pemboran tambahan untuk
memperbanyak titik sumur produksi (infill drilling) dan penggunaan sumur horizontal
(Vishnyakov et al., 2020). Teknik IOR ini banyak diterapkan untuk memperoleh hidrokarbon
secara non-konvensional yang terdapat pada tight sand gas, shale gas maupun shale oil
maupun tipe deep reservoir lainnya.

VI.1.2. Enhanced Oil Recovery (EOR)


Untuk meningkatkan kecepatan dan memaksimalkan perolehan minyak, metode
ekstraksi tersier umumnya digunakan, metode ini umum disebut sebagai Enhanced Oil
Recovery (EOR) (Vishnyakov et al., 2020). Teknik ini umumnya dilakukan setelah ekstraksi
primer dan sekunder dilakukan (terutama setelah waterflooding). Teknik EOR dapat
dilakukan melalui 3 hal, yakni 1) dengan meningkatkan efisiensi pengangkutan fluida, 2)
modifikasi tegangan permukaan dari batuan reservoar dan 3) kombinasi dari kedua teknik.
Metode yang digunakan pada teknik EOR terbagi menjadi 4, yakni 1) Metode thermal
(menggunakan uap maupun air panas); 2) Injeksi gas; 3) Chemical dan 4) Lainnya. Metode
yang dilakukan dengan penggunaan bahan kimia antara lain polymer flooding, alkali/
surfactant/ polymer (ASP) flooding dan surfactant flooding. Sedangkan metode injeksi gas
diwakili oleh metode pelarutan atau percampuran gas (miscible or immiscible gasflooding).
Peningkatan efisiensi dalam mengekstrasi fluida hidrokarbon perlu dilakukan karena :
1) untuk mengurangi rasio mobilitas dari fluida yang diinjeksikan terhadap fluida yang dapat
dialirkan, 2) untuk menutup zona permeabel yang jenuh air sambil mengarahkan fluida
injeksi menuju zona jenuh minyak yang berpermeabilitas rendah.

a. Metode Thermal
Metode perolehan secara thermal yang dilakukan dengan menambahkan panas ke
minyak, terutama dimaksudkan untuk menurunkan kekentalannya. Hal ini akan
mengakibatkan rasio mobilitas antara minyak dan fluida yang terpindahkan menjadi lebih

93
Bab VI. OIL RECOVERY

menguntungkan. Metode thermal yang paling umum adalah steamflooding dan steam cycling.
Teknik ini mengalami perkembangan yang cukup pesat pada perolehan minyak melalui EOR,
dan efektif untuk minyak yang memiliki kekentalan antara 100 hingga 100.000 cp. Efisiensi
penyapuan minyak pada batuan reservoar dengan metode steamflooding memiliki
keterbatasan pada proses pemisahan densitasnya, sehingga untuk mengatasi keterbatasan
tersebut dapat didekati dengan metode steam-assisted gravity drainage (SAGD). SAGD
sendiri merupakan suatu metode yang bertujuan untuk meningkatkan efisiendi pemindahan
minyak dan kecepatannya dengan menggunakan pelarut tertentu. Penerapan SAGD sendiri
hanya dapat dilakukan pada kondisi reservoar yang tebal agar memiliki kapasitas ruang yang
cukup untuk menyebarkan uap panas.

b. Metode Kimia
Surfactant flooding merupakan salah satu tipe metode yang digunakan pada metode
non-thermal. Molekul surfaktan yang diletakkan pada bidang batas antara minyak/ air dengan
padatan/ fluida lain berfungsi untuk mengubah kebasahan batuan (wettability) maupun
menurunkan tegangan permukaan dari minyak/ air. Tegangan permukaan (Interfacial tension)
dan tekanan kapiler inilah yang umumnya menjadi penyebab dari terjebaknya minyak pada
ruang pori. Penggunaan molekul surfaktan yang mudah terserap pada permukaan minyak/ air
akan menurunkan nilai tegangan permukaan dan tekanan kapilernya, sehingga
memungkinkan minyak/ air tersebut untuk keluar dari ruang pori. Nilai tegangan permukaan
yang tinggi akan menghambat aliran minyak ke reservoar. Ketika surfaktan ini digunakan
bersamaan dengan alkali, hal ini akan menurunkan nilai tegangan permukaan hingga sangat
rendah hingga mendekati 0. Metode kombinasi ini disebut sebagai alkali/ surfaktan (AS).
Sayangnya keterbatasan dari metode ini adalah memiliki kekentalan larutan yang rendah
sehingga efisiensi penyapuan hidrokarbon pada batuan reservoar juga rendah. Untuk
meningkatkan performanya umumnya ditambahkan polimer dan disebut sebagaii metode
alkali-surfaktan-polimer (ASP) (Nasr-El-Din et al., 1992).
Polymer flooding menjadi metode EOR yang penting karena banyak diterapkan di
Cina. Polimer merupakan suatu molekul dengan rantai ikatan yang panjang. Metode ini
dilakukan untuk meningkatkan nilai perolehan hidrokarbon hingga 12% (Wang et al., 2009).
Sedikit penambahan polimer dapat meningkatkan kekentalan air, sehingga metode ini
berperan dalam meningkatkan rasio mobilitas dan mengakibatkan efisiensi penyapuan
minyak di reservoar menjadi lebih baik, terutama untuk kisaran kekentalan minyak sebesar
10 – 100 cp. Polimer memiliki keterbatasan kisaran temperature karena cenderung

94
Bab VI. OIL RECOVERY

mengalami kerusakan pada suhu tinggi (yakni diatas 200oF untuk tipe polimer
polyacrylamides). Penggunaan polimer lain yang memiliki stabilitas suhu yang tinggi
cenderung sensitif terhadap kandungan garam pada air.

c. Metode Injeksi Gas


Gas flooding merupakan suatu metode yang digunakan dengan menginjeksikan gas
(N2, CO2) pada tekanan tinggi sehingga gas tersebut akan dapat mengembang hingga
melarutkan minyak, menurunkan kekentalan dan meningkatkan aliran. Metode ini memiliki
kemampuan untuk melakukan pemindahan gas untuk mendapatkan residu minyak yang lebih
rendah dibandingkan metode waterflooding, dengan faktor perolehan berkisar 10 – 15%.
Peningkatan perolehan secara
teoritis melebihi 50% - 100%
dari Oil Initially in Place (OIIP).
Namun hal ini susah diperoleh
karena rasio mobilitas antara gas
dengan minyak yang tidak
menguntungkan, sehingga opsi
peningkatan perolehan dapat
dilakukan dengan skema water-
alternating-gas (WAG), yakni Gambar 6.4. Skema gas flooding melalui SAG
(atau foam flooding)
penginjeksian gas yang dibuat
bersamaan dengan air. Metode lainnya yang dapat diterapkan adalah foam flooding yakni
penggunaan larutan surfaktan yang diinjeksikan bersamaan dengan gas (Surfactant-
Alternating-Gas/ SAG) (Farajzadeh et al., 2010) (Gambar 6.4.). Namun untuk memastikan
stabilitas foam yang baik untuk memindahkan minyak perlu diperhatikan karakteristik fisik
dan kimia surfaktan yang digunakan. Modifikasi pada metode foam ini dapat menurunkan
mobilitas gas untuk mendesak minyak agar terakumulasi menuju sumur produksi.

d. Metode Lainnya
Teknik EOR lainnya yang dapat melengkapi metode injeksi uap panas adalah Electrical
resistive (ER) atau pemanasan dengan menggunakan Electromagnetic radiation (EM).
Metode ER ketika dilewatkan pada reservoar akan bertindak sebagai resistor yang
menghasilkan panas secara langsung. Sedangkan pada pemanasan EM, gelombang
elektromagnetik berfrekuensi sangat tinggi akan meluas melalui reservoar dan diserap secara

95
Bab VI. OIL RECOVERY

langsung oleh molekul air. Sayangnya ketika metode ini dicoba untuk diterapkan pada
reservoar panas yang timbul hanya bersifat local dan tidak terdistribusi merata pada batuan
reservoar, sehingga kedua metode ini penerapannya harus dikombinasikan dengan
waterflooding. Ketika ER maupun EM sudah menghasilkan kapasitas panas yang tinggi, air
akan membawa energi panas tersebut lebih jauh ke reservoar. Teknik ini masih dalam tahap
pengembangan awal dan belum dilakukan pengujian di lapangan, tetapi dinilai mampu untuk
dapat mengekstrak medium-heavy hingga extra-heavy oil.

VI.2. Diagenesis vs IOR


Semua tahap diagenesis pada reservoar batupasir penting untuk menentukan tahapan
well treatment dan completion termasuk di dalamnya penerapan teknik IOR. Hal ini terjadi
karena variasi karakteristik batuan reservoar akan menentukan kualitas reservoar, terutama
terkait properti porositas dan permeabilitas. Mineral lempung autigenik maupun kehadiran
dari oksida besi yang umum dijumpai sebagai semen dari batupasir dapat menyebabkan
masalah pada proses komplesi fluida.
Mineral lempung memiliki luasan permukaan serta kapasitas tukar kation yang tinggi
(CEC- cation exchange capacity) (tabel 6.1) yang akan menentukan sifat dari lempung dalam
membentuk koloidal dan kemampuannya untuk mengembang (swelling) (Suryani, 2014).
Semakin besar kapasitas tukar kation dan luas permukaan yang dimiliki akan menyebabkan
mineral lempung memiliki sifat koloidal yang tinggi atau akan memiliki sifat keliatan.
Mineral lempung memiliki struktur internal dengan atom oksigen berada di antara lembar
tetrahedra Silika (Si) dan lembar oktahedra Alumina (Al) (Gambar 6.5). Struktur internal
kristal ini akan menentukan kemampuan mengembang dari mineral lempung. Apabila ikatan
antar lembar tersebut lemah, maka kontak dengan air akan menyebabkan meregangnya ikatan
antar lembaran akibat desakan air yang mengisi ruang antar lapisan kristal. Hal ini akan
mengakibatkan mineral lempung menjadi lebih mudah untuk mengembang (swelling).

Tabel 6.1. Luas permukaan/ 1 gr kuarsa dan kapasitas tukar kation dari beberapa mineral
lempung (S. a Ali et al., 2010)

Nama Mineral Luas permukaan (m2/gr) Kapasitas Tukar Kation


Kaolinite 22 3 – 15
Haloisit 2H2O 5 – 10
Haloisit 4H2O 40 – 50
Smektit 82 80 – 150

96
Bab VI. OIL RECOVERY

Nama Mineral Luas permukaan (m2/gr) Kapasitas Tukar Kation


Illit 113 10 – 40
Vermikulit 100 – 150
Klorit 10 - 40

Gambar 6.5. Struktur internal kristal lempung

Adapun pengaruh dari kehadiran mineral autigenik terhadap penerapan dari setiap
tahapan perolehan migas (hydrocarbon recovery) dapat dijelaskan sebagai berikut :

 Kelompok Kaolinit
Kaolinit bersifat sangat stabil dan mudah bereaksi dengan larutan asam (hidroklorik,
formic, acetic) seperti halnya kuarsa. Kemampuan melekat semen kaolinit pada permukaan
host mineralnya sangat lemah serta memiliki ukuran individu partikel yang besar. Adanya
turbulensi fluida pada pori akan sedikit melekatkan kaolinit pada dinding substrat pori.
Kaolinit yang lebar dan longgar cenderung mudah termigrasi dan tersangkut pada rongga
antar pori (pore throat) sehingga dapat merusak permeabilitas batupasir.

 Kelompok Smektit
Permasalahan produksi yang berkaitan dengan semen smektit 3xlipat lebih rumit
dibandingkan dengan semen kaolinit. Tipe lempung ini sangat sensitif terhadap air cenderung
mudah terpindahkan selama swelling dan jenuh air. Struktur interna; kristal dengan ikatan

97
Bab VI. OIL RECOVERY

yang lemah menyebabkan


ruang antar lapisannya mudah
dimasuki oleh molekul air
maupun organik sehingga kisi
kristalnya akan mengembang.
Banyaknya air yang bisa
mengisi kisi kristalya
tergantung tipe kation yang
ditukar, apabila Ca2+ maka air
yang terserap lebih sedikit
Gambar 6.6. Proses hidrasi air atau penambahan air
karena jarak antar lapisan pada lempung smektit dengan kation Ca2+ dan Na+
pada kristalnya pendek, tetapi (Bbm and Moa, 2016).

apabila pertukaran kation adalah Na+ maka penyerapan air akan berlangsung tanpa batas dan
menyebabkannya lebih mudah mengembang karena jarak antar lapisan pada kristalnya lebar
(Bbm and Moa, 2016) (Gambar 6.6). Identifikasi tipe smektit dengan Ca2+ atau Na+ dapat
dilakukan dengan menggunakan analisis SEM-EDS. Lempung dengan kandungan sodium
tinggi dapat mengembang dari 600 hingga 1000% dari volume asalnya (S. a Ali et al., 2010).
Sifat swelling ini dapat memperburuk sistem pori dan permeabilitas batuan.

 Kelompok Illit
Ion K+ pada illit mudah mengalami pencucian (leaching) sehingga memungkinkan air masuk
pada lapisan kisi kristalnya dan menyebabkan lempung mengembang. Illit memiliki porositas
mikro dengan volume yang besar, dimana hal ini menjadi permasalahan keteknikan utama
karena pori tersebut dapat melekatkan air ke host mineral dan menghasilkan irreducible
water saturation (Swirr). Swiir merupakan saturasi air yang tertahan pada batuan akibat
pengaruh tekanan kapiler.

 Mixed-layer Clay
Mixed layer clay menunjukkan bahwa mineral lempung membentuk campuran dari dua tipe
lempung. Kelompok ini terbagi atas 2 tipe berbeda : a) struktur mixed-layer pada umumnya,
b) struktur mixed-layer acak. Perbedaan struktur kristal ini akan menghasilkan beda
karakteristik dan nama spesifik mineralnya. Sebagai contoh, mixed-layer dari lempung klorit
dan smektit disebut sebagai mineral corrensite.

98
Bab VI. OIL RECOVERY

 Kelompok Klorit
Komposisi kimia mineral klorit mengandung banyak unsur besi sehingga membuatnya
menjadi sangat sensitif terhadap larutan asam dan air pori yang kaya akan oksigen
(oxygenated water). Apabila batuan reservoar yang mengandung banyak klorit diinjeksikan
asam HCl, maka unsur besi akan terlepas dari ikatan kimia kristal, terlarut kemudian
terpresipitasi menjadi koloid hidroksida besi (Fe(OH)3). Koloid hidroksida tersebut tidak
akan bisa melalui pore throat yang sempit, sehingga pemberian tipe injeksi untuk recovery
perlu memperhatikan komposisi batuan reservoar dan atau mineral autigenik yang terbentuk
dari diagenesis. Rangkuman permasalahan reservoir akibat kehadiran mineral lempung dapat
dirangkum sebagai berikut:

Tabel 6.2. Karakteristik mineral lempung yang dapat menyebabkan permasalahan reservoar

Kelompok Komposisi Nama Mineral Masalah Reservoar


Mineral Utama
Kaolinit Al4[Si4O10] (OH)8 Kaolinit, Dickite, Migrasi partikel halus
Nacrite, Halloysite
Smektit (1/2 Ca, Na)0,7 (Al, Monmorilonit, Membentuk microporosity
Mg, Fe)4 [(Si, Al)8 Beidellite, Nontronite, dan sensitif terhadap air
O20] (OH)4 . nH2O Hectorite, Saponite
Illit K1-1,5Al4 [Si7-6,5Al1- Illit Membentuk microporosity
1,5O20] (OH)4 dan migrasi partikel halus
Mixed- Illit-Smektit, Klorit- Sensitif terhadap air,
layer Clay Smektit, Klorit- membentuk microporosity
Vermikulit dan sensitif terhadap
larutan asam
Klorit (Mg, Fe, Al)12 [(Si, Klorit, Amesite, Sensitif terhadap larutan
Al)8O20] (OH)16 Greenalite, Chamosite, asam
Clinochlore, Penninite

VI.2.1. Acid Stimulation Design

Desain stimulasi asam ini digunakan untuk menghilangkan kerusakan formasi akibat
drilling, komplesi maupun scaling untuk meningkatkan produktivitas sumur. Pengetahuan
tentang tipe semen dan komposisinya sebagai produk diagenesis menjadi penting untuk
menentukan perencanaan stimulasi asam. Tipe dari fluida stimulasi yang digunakan (acid
maupun freshwater) perlu menyesuaikan jenis mineral lempung yang hadir mengisi pori dari
batuan reservoar. Baik tipe grain-coating maupun pore-filling semen lempung akan
berinteraksi dan mengumpulkan fluida stimulasi dengan lebih banyak dibandingkan detrital

99
Bab VI. OIL RECOVERY

lempung. Perencanaan fluida ini berdasar pada hasil analisis X-ray diffraction (XRD).
Kegagalan dalam melakukan stimulasi fluida akibat adanya presipitasi hidroksida besi pada
ruang pori dapat terjadi karena reaksi antara lempung klorit yang larut dalam asam sambil
melepaskan kation besi. Walaupun demikian beberapa mineral lempung juga relatif sensitif
terhadap asam. Sensitifitas tersebut tampak dari kemampuan larutnya (Tabel. 6.3).

Tabel 6.3. Kelarutan relatif mineral lempung terhadap pemberian beberapa asam (HCl dan HF)
Mineral Lempung HCl HF
Kaolinit Pelarutan lemah Pelarutan lemah
Illit Pelarutan lemah Pelarutan lemah hingga sedang
Smektit Pelarutan lemah Pelarutan sedang
Klorit* Pelarutan tinggi Pelarutan tinggi
Mixed-layer Pelarutan bervariasi Pelarutan bervariasi
Catatan : * pelarutan disertai lepasnya unsur besi

Pada tipe mineral klorit di atas, proses pelarutan akan disertai dengan lepasnya ion
logam, sehingga diperlukan bahan kimia tambahan untuk menstabilkan logam besinya
(sequestering agent). Sequestering agent ini memiliki tipe yang bervariasi dan perlu
diperhatikan dampak ikutannya, seperti terdapat pada table 6.4.

Tabel 6.4. Perbandingan keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari penerapan berbagai
macam jenis sequestering agent
Sequestering Keuntungan Kerugian
agent
Citric acid Efektif pada temperature di atas Akan terpresipitasi sebagai
200oF kalsium sitrat ketika
penggunaannya berlebih
Campuran Citric Sangat efektif pada temperatur Efisiensi menurun dengan cepat
acid – Acetic rendah pada temperatur di atas 150oF
acid
Lactic acid Hanya terjadi sedikit perubahan pada Tidak efektif di atas 100oF
pengendapan kalsium laktat jika
penggunaan asam berlebih
Acetic acid Tidak bermasalah terhadap Efektif pada suhu sekitar 160oF
pengendapan dari kalsium laktat
Glauconic acid Hanya terjadi sedikit perubahan pada Efektif pada suhu sekitar 150oF.
pengendapan kalsium glukonat Penerapannya relative mahal
Tetrasodium salt Penggunaan asam berlebih tidak Lebih mahal penggunaannya
of EDTA mengendapkan garam kalsium.

100
Bab VI. OIL RECOVERY

Sequestering Keuntungan Kerugian


agent
Efektif pada suhu di atas 200oF.
Trisodium Salt Pada penggunaan yang agak berlebih Lebih murah daripada EDTA
of NTA tidak mengendapkan garam kalsium. tetapi lebih mahal daripada citric
Efektif pada suhu di atas 200oF. acid
Prosedur stimulasi menggunakan asam yang diperlukan untuk memperbaiki terjadinya
kerusakan formasi (formation damage) dapat dirangkum sebagai berikut :

Tabel 6.5. Tahapan stimulasi untuk memperbaiki kerusakan formasi

Permasalahan
Padatan Clay Perpindahan Presipitasi Perubahan
lumpur swelling partikel halus tingkat
pemboran keterbasahan
(wettability)
Pelarut asam V V V V X
(Acidization) Perlu Perlu
pertimba pertimbangan
ngan kelarutan
kelarutan
Pelarut X X V V X
Tipe Stimulasi

(Solvent) Perlu Perlu


pertimbangan pertimbangan
kelarutan kelarutan
Hydraulic V V V V X
Fracturing
(IOR)
Surfaktan V Umumnya Umumnya X V
Mengguna mengguna menggunakan
kan asam kan asam asam
Catatan : Tanda V – dapat dilakukan untuk mengatasi masalah, X – jangan dilakukan
Wettability menyatakan salah satu parameter petrofisika yang menunjukkan
kecenderungan dari suatu fluida untuk tidak saling bercampur, sehingga apabila terdapat dua
fluida yang bersinggungan dengan permukaan butir partikel sedimen maka salah satu fluida
akan bersifat membasahi permukaan butir tersebut. Hal ini akan menyebabkan timbulnya
tegangan adhesi dimana lempung atau partikel semen halus cenderung terikat pada
permukaan butiran. Penentuan wettabilitas ini penting karena dapat menyebabkan tekanan
kapiler batuan mampu memberikan dorongan sehingga fluida hidrokarbon dapat bergerak.
Besarnya wettabilitas ini tergantung pada :

101
Bab VI. OIL RECOVERY

a. Jenis mineral pada batuan reservoar


b. Ukuran butir sedimen penyusun batuan reservoar klastik (semakin halus ukuran butir akan
menghasilkan tegangan adhesi yang semakin besar)
c. Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak mentah

VI.2.2. Hydraulic Fracturing

Hydraulic fracturing pada stimulasi sumur dimaksudkan untuk meningkatkan


produktivitas sumur dengan memperbesar permeabilitas batuan reservoar. Pelaksanaannya
dilakukan dengan memompakan fluida ke batuan reservoar dengan kecepatan tertentu untuk
menghasilkan rekahan pada batuan. Secara konvensional, upaya mempertahankan
permeabilitas ini bergantung pada metode sand propping untuk menahan rekahan agar tetap
terbuka.
Faktor yang penting dalam pelaksanaan teknik ini adalah pemilihan fluida yang
digunakan untuk membuat rekahan, dimana fluida yang digunakan harus sesuai dengan jenis
komponen diagenesisnya. Pada beberapa sumur, penerapan frakturasi ini dilakukan dengan
menggunakan crude oil sebagai base fluid, terutama untuk menghindari swelling clay.
Beberapa mineral diagenetik yang berpotensi menyebabkan kerusakan formasi dan upaya
perbaikannya dapat dirangkum sebagai berikut (S. a Ali et al., 2010):

Tabel 6.6. Pengaruh mineral diagenetik dalam menyebabkan kerusakan formasi (formation
damage) dan prosedur perlakuan remedial yang sesuai untuk recovery hidrokarbon.
Photo SEM Potensi Hal yang Hal yang Upaya
Masalah harus harus mengurangi
dihindari dilakukan permasalahan
Silika Presipitasi Stimulasi HF Stimulasi HF Injeksi asam
silika dengan dengan dengan HCl/HF;
konsentrasi konsentrasi memompakan
tinggi rendah asam dengan
konsentrasi
Mineral

rendah (preflush
dan afterflush)
Kaolinit Migrasi Fluida Kecepatan Penggunaan
partikel dengan aliran rendah stabilizer
halus kecepatan lempung yang
aliran tinggi sesuai

102
Bab VI. OIL RECOVERY

Photo SEM Potensi Hal yang Hal yang Upaya


Masalah harus harus mengurangi
dihindari dilakukan permasalahan
Illit Mikro-
porositi

Injeksi asam
Smektit dengan HCl/HF;
Montmoril KCl atau memompakan
onit Fresh-water sistem asam yang sesuai
system hidrokarbon dengan
Mixed- Swelling konsentrasi
layer Illit- rendah (preflush
Smektit dan afterflush)

Klorit Presipitasi Injeksi fluida Sistem asam, Injeksi asam


hidroksida kaya oksigen, reagen kimia dengan HCl/HF;
besi pH>3,5 yang pengikatan
mengikat dengan asam
Chamosite
oksigen organik yang
terlarut di sesuai
fluida

Mixed- Swelling, Fresh-water KCl atau Injeksi asam


layer Presipitasi system, sistem dengan HCl/HF;
Klorit- hidroksida Injeksi fluida hidrokarbon pengikatan
Smektit besi kaya oksigen, dengan asam
pH>3,5 organik yang
sesuai
Pseudo- Mobilitas Fluida Kecepatan Injeksi asam
matrix partikel dengan aliran rendah dengan HCl/HF;
dari halus kecepatan pemompaan asam
kuarsa, aliran tinggi IIBF4
chert,
feldspar
Kalsit

Presipitasi Kontak asam Pengaturan


kalsium HF dengan HCl atau bertahap dalam
Dolomit florida ion kalsium CH3COOH injeksi HF

103
Bab VI. OIL RECOVERY

Photo SEM Potensi Hal yang Hal yang Upaya


Masalah harus harus mengurangi
dihindari dilakukan permasalahan
Siderit

Presipitasi Injeksi fluida


Hematit hidroksida kaya oksigen Sistem asam, Injeksi asam
besi reagen kimia dengan HCl/HF;
yang pengikatan
mengikat dengan asam
Pirit Presipitasi Injeksi fluida
oksigen organik yang
hidroksida kaya oksigen,
terlarut di sesuai
besi, fluida
fluida
produksi mengandung
sulfat Ba2+, Sr2+,
Ca2+
Kalsium Scaling Penggunaan
(Gipsum – pelarut yang
CaSO4. sesuai
2H2O)
Barium Scaling Fluida Fluida non Tanpa pemberian
(Barit – mengandung sulfat, pelarut
BaSO4) sulfate, penghambat
Injeksi fluida scaling
Fluida

Stronsium Scaling kaya oksigen, Tanpa pemberian


(Celestite) pelarut

Sulfat Scaling Fluida Penghambat Penggunaan


mengandung scaling, pelarut yang
barium, fluida tanpa sesuai
stronsium unsur alkali
dan kalsium tanah

VI.3. Diagenesis vs Secondary Recovery

Kondisi lingkungan pengendapan diyakini sebagai faktor pengontrol karakteristik


internal dan eksternal reservoar batupasir, tetapi perubahan yang berlangsung paska
pengendapan (seperti kompaksi, sementasi dan pelarutan) juga memberikan pengaruh yang
signifikan pada properti porositas dan permeabilitas. Presipitasi dari mineral diagenetic akan
dapat mengubah kapasitas penyimpanan dan kondisi pengaliran fluida. Bahkan permeabilitas

104
Bab VI. OIL RECOVERY

lebih mudah terubah daripada kondisi porositasnya. Diantara berbagai mineral diagenetik,
mineral lempung memiliki efek yang lebih besar dalam mempengaruhi kualitas reservoar.
Hal ini terjadi karena sifat reaktifnya yang lebih tinggi dan luas permukaan yang dimiliki.
Dengan demikian keberhasilan metode recovery bergantung pada jumlah dan jenis dari
lempung autigenik yang menempati ruang pori.

VI.3.1. Pengaruh Semen Lempung terhadap Waterflooding

Injeksi air tawar ke dalam formasi batuan yang mengandung minyak dilakukan untuk
meningkatkan perolehan hidrokarbon. Permasalahan yang umum dijumpai Ketika injeksi
dilakukan adalah menutupnya sebagian maupun keseluruhan dari zona porous yang berada di
dekat lubang sumur. Akibatnya tekanan injeksi perlu ditingkatkan dan/ atau kecepatan
injeksinya perlu diturunkan. Penutupan atau kerusakan permeabilitas ini dihasilkan oleh
adanya kontaminan (seperti bakteri, detritus organik seperti diatom, lempeng coccolith) pada
air injeksi maupun koloid lanau dan lempung akibat lempung yang mudah mengembang dan
mengkerut. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian filter maupun penambahan bahan kimia
kalsium klorida (CaCl).
Reservoar batupasir yang mengandung mineral lempung sensitif (smektit dan mixed-
layer clays) zona porous akan mudah tertutup jika air injeksi lebih kecil salinitasnya
dibandingkan dengan salinitas formasi batuan. Sebaliknya pada batupasir yang mengandung
lempung non-sensitif (illit dan kaolinit), perubahan pH dari air injeksi akan menyebabkan
penutupan dari zona porous. Oleh karena itu penyesuaian air injeksi terhadap tipe lempung
autigenik perlu dilakukan.
Pada pemboran lepas pantai, injeksi umumnya dilakukan dengan menginjeksikan air
laut. Walaupun demikian, komposisi kimia dari air laut ini harus ditentukan terlebih dahulu.
Disamping itu air laut yang akan diinjeksikan perlu disaring dan disterilisasi dahulu untuk
menghindari penyumbatan oleh partikel halus.

VI.4. Diagenesis vs Tertiary Recovery

Sebelum menerapkan teknik EOR, beberapa pertimbangan terkait aspek


sedimentologi termasuk jenis batupasir, kerangka butir sedimen dan kualitas reservoar
penting dilakukan untuk mengetahui distribusi ruang pori dan penghalang yang
mempengaruhi aliran fluida. Aliran fluida pada batupasir tergantung pada kombinasi dari
proses primer dan sekunder. Proses primer tersebut tercermin pada orientasi kerangka butir,

105
Bab VI. OIL RECOVERY

struktur sedimen dan tipe lapisan, sedangkan proses sekunder berkaitan dengan produk
diagenesis.

VI.4.1. Pengaruh Mineral Autigenik terhadap Metode Thermal

Minyak berat, kental dan memiliki gaya berat yang rendah pada kondisi temperatur
reservoar akan susah dalam memindahkan fluida minyak, tetapi tetapi proses pemanasan akan
dapat meningkatkan mobilitas dan efektifitas dari perolehan minyak. Penerapan panas
dilakukan dengan menginjeksikan fluida panas seperti uap panas maupun air panas atau
dengan membakar minyak mentah secara in situ di reservoar (disebut sebagai in situ
combustion atau fire flooding). Uap panas yang diinjeksikan ini akan meningkatkan
temperatur reservoar dan mendukung mobilitas dari minyak berat.
Permasalahan yang timbul dari penerapan metode thermal ini adalah menyebabkan
autigenik lempung cenderung menyebar dan bermigrasi, menyebabkan penutupan dari ruang
pori sehingga mengurangi permeabilitas batuan. Ketika mineral monmorilonit terkena uap
yang sangat panas, maka akan mengalami dehidrasi tetapi permeabilitas batuan menurun
ketika sampel terkena air.
Pada temperatur sangat tinggi, kelarutan silika akan meningkat. Kecepatan pelarutan
silika ini akan memberikan informasi jika pelarutan berlangsung dekat sumur injeksi atau
pada beberapa radius dari sumur injeksi.pH larutan sama pentingnya dengan factor yang
mempengaruhi keterdapatan dan kecepatan pelarutan silika. Pelarutan silika ini relatif
konstan pada pH 9, tetapi pelarutan dari kuarsa dan silika amorf berlangsung pada pH 9,5 (S.
A. Ali et al., 2010). Uap yang diinjeksikan ke sumur memiliki temperatur sekitar 260oC dan
bersifat alkalin, sehingga dapat melarutkan kuarsa dan mineral silika lainnya. Untuk
menentukan suhu uap, pengamatan dilakukan terhadap terjadinya trasfromasi dari beberapa
mineral indikator sebelum dan sesudah dilakukan injeksi uap panas (Tabel 6.4).

Tabel 6.7. Suhu Transformasi Mineral Sebagai Indikator Suhu Maksimum Uap Panas
Suhu (oC) Mineral Transformasi
177 Glaukonit Perubahan warna dari hijau terang menjadi hijau kelabu
204 Glaukonit Perubahan warna dari hijau terang menjadi kelabu atau
kelabu coklat
249 Illit Peak XRD meruncing dari 10Ǻ dan mixed-layer menghilang
260-371 Klorit Dekomposisi, peak 7,2Ǻ dan 3,55Ǻ menurun dan intensitas
14,5Ǻ meningkat
371-427 Klorit Dekomposisi dan menjadi amorf
400-450 Klorit Brucite Dehydroxylation

106
Bab VI. OIL RECOVERY

Suhu (oC) Mineral Transformasi


500-600 Kaolinit Metakaolin
550-600 Dolomit Kalsit + MgO
600-700 Klorit Dekomposisi
>700 Monmorilonit Dekomposisi
>700 Illit Dekomposisi

VI.4.2. Pengaruh Mineral Autigenik terhadap Chemical flooding

a. Surfactant Flooding

Teknik ini digunakan


untuk menurunkan tegangan
permukaan dan memindahkan
minyak yang tertinggal oleh
proses waterflooding maupun

metode secondary recovery Gambar 6.7. Mekanisme surfaktan dalam memindahkan


lainnya (Lin et al., 2020) (Gambar minyak yang terikat pada permukaan butir silika (Lin et
6.7). Yang mempengaruhi al., 2020)

efisiensi dari surfaktan adalah hilangnya surfaktan saat berinteraksi dengan batuan reservoar.
Jika hilangnya surfaktan berlebih, maka surfaktan akan menurun dengan cepat dari slug ke
reservoar, akibatnya akan kehilangan kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan
antara minyak dengan air. Terdapat 3 mekanisme penurunan surfaktan, yakni a) teradsorpsi
pada permukaan mineral, b) reaksi surfaktan dengan ion pada reservoar brine maupun
pelarutan mineral dari batuan reservoar, dan c) reaksi dengan komponen tertentu dari minyak
mentah.
Lempung autigenik pada reservoar batupasir mempengaruhi kinerja injeksi surfaktan
melalui 3 cara. Lempung tertentu dapat berinteraksi dengan surfaktan dan fluida terkait untuk
menurunkan permeabilitas. Pertukaran ion pada lempung mengakibatkan lepasnya ion
divalen ke dalam surfactant slug sehingga menghalangi kemampuan surfaktan dalam
memindahkan minyak. Surfaktan sangat mudah teradsorpsi pada permukaan lempung
daripada silika. Banyak mineral lempung yang mengandung ion divalen Ca2+ dan Mg2+ dari
hasil pertukaran kation lempung dengan surfaktan, sehingga hal ini akan menghasilkan
presipitasi untuk memindahkan surfaktan keluar dari fluida minyak. Jika divalent ion ini
sangat banyak maka akan merugikan proses surfaktan. Dengan demikian penyerapan
surfaktan pada lempung akan menurunkan efektifitas dari surfactant flooding. Tipe surfaktan

107
Bab VI. OIL RECOVERY

ionic dan nonionik mudah teradsorpsi pada permukaan lempung montmorillonite. Muatan
positif dari kationik surfaktan dapat tertarik ke muatan negatif dari permukaan monmorillonit
dan tertahan akibat gaya elektrostatik.
Reservoar batupasir dengan lempung smektit yang membentuk pore-lining cement,
saat diinjeksikan surfaktan maka semen smektit akan mengadsorpsi surfaktan,
mengikatkannya pada butir pasir, termigrasi dan kemudian menutup pore throat. Akibatnya
permeabilitas akan menurun. Sebaliknya pore-lining cement dari kaolinit dapat menghalangi
penurunan permeabilitas saat bereaksi dengan surfaktan.
b. Polymer Flooding
Polymer flooding dilakukan dengan menambahkan polimer dengan konsentrasi 250
hingga 1500 ppm ke dalam air injeksi. Larutan polimer ini akan meningkatkan rasio mobilitas
air-minyak. Untuk meningkatkan kekentalan, polimer mengubah permeabilitas batuan
reservoar dan menurunkan
mobilitas efektif dari air
injeksi. Ketika permeabilitas
batuan reservoar menurun,
polimer dengan konsentrasi
yang rendah dapat digunakan
untuk mendapatkan mobilitas
yang setimbang. Konsentrasi
polimer ini memegang
peranan penting dalam
Gambar 6.8. Mekanisme terjebaknya polimer pada ruang
menentukan efektifitas larutan
pori (la Cruz Vivanco and Alberto., 2017)
polimer. Dua tipe polimer
yang digunakan adalah sintetik polimer (polyacrylamide) dan polimer biologik
(polysaccharide) (S. a Ali et al., 2010). Tipe polimer sintetik kurang sensitif terhadap salinitas
air pori tetapi lebih mahal dan harus difilter untuk menghilangkan sel bakteri yang dapat
menutup formasi batuan reservoar.
Adsorpsi polimer terbesar sering dijumpai pada mineral lempung (monmorilonit, illit
dan kaolinit. Adsorpsi ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas air injeksi.
Beberapa polimer juga dapat menyebabkan swelling dari Na-monmorillonit. Jika autigenik
lempung pada batupasir sensitif terhadap air, serta injeksi polimer mengandung air yang
kurang salin dibandingkan air formasi, maka hal ini akan mengakibatkan penutupan pori dari
swelling dan/ atau migrasi lempung. Investigasi terhadap geometri dan ukuran pori juga

108
Bab VI. OIL RECOVERY

diperlukan untuk menentukan banyaknya polimer yang diinjeksikan, hal ini karena polimer
akan mengisi dan terjebak pada ruang pori (la Cruz Vivanco and Alberto., 2017).
c. Alkaline Flooding

Penambahan larutan alkalin (Alkaline flooding) merupakan bagian dari tahap


perolehan tersier. Metode ini relatif paling murah diantara metode EOR lainnya. Asam
organik (HA) yang terbentuk alami pada minyak mentah akan berekasi dengan larutan alkalin
(seperti sodium hidroksida, sodium silikat maupun sodium karbonat) untuk menghasilkan
bahan menyerupai deterjen (pada bidang batas minyak terhadap air (Mahdavi and Zebarjad,
2018). Nilai perolehan dari penerapan teknik ini jauh lebih besar dari teknik waterflooding
pada secondary recovery karena dapat menurunkan tegangan permukaan, mengubah tingkat
keterbasahan dan mengubah bidang batas minyak- air maupun cairan-padatan. Keberhasilan
penerapan teknik ini tergantung pada keterbasahan formasi batuan asal, geometri pori
batupasir, dan keterdapatan komponen mineralogi batuan reservoar yang bereaksi dengan
kimia alkalin (terutama mineral lempung) (Lyons, 2010).
Gas CO2 dan H2S yang umumnya hadir di minyak dapat bereaksi dengan NaOH
membentuk Na2S dan Na2CO3. Jika gas tersebut terkonsentrasi berlebih maka ion Ca2+ dan
Mg2+ di air pori akan menurunkan alkali dan membentuk presipitasi hidroksida.
Mineral anhidrit (CaSO4) ataupun gipsum (CaSO4 .2H2O) ketika bereaksi dengan
larutan alkalin akan membentuk Ca(OH)2 yang tidak mudah larut, sehingga hal ini akan
merusak proses penambahan alkalin.

Bahan Bacaan/Referensi

Ali, S. a, Clark, W.J., Moore, W.R., Dribus, J.R., 2010. Diagenesis and Reservoir Quality.
Oilfield Review 22, 14–27.
Bbm, D., Moa, O., 2016. Comparative Analysis of the Effect of Cation Exchange Capacity
(CEC) on Raw and Treated Nigerian Bentonitic Clay Samples. Journal of Scientific and
Engineering Research 3, 177–182.
Farajzadeh, R., Andrianov, A., Zitha, P.L.J., 2010. Investigation of immiscible and miscible
foam for enhancing oil recovery. Industrial and Engineering Chemistry Research 49,
1910–1919.
la Cruz Vivanco, D., Alberto., C., 2017. Surfactant and polymer retention in chemical
enhanced oil recovery processes.

109
Bab VI. OIL RECOVERY

Lin, Y., Genzer, J., Dickey, M.D., 2020. Attributes, Fabrication, and Applications of
Gallium-Based Liquid Metal Particles. Advanced Science 7.
Lyons, W.C., 2010. Chapter 5 - Enhanced Oil Recovery Methods. In: Lyons, W.C.B.T.-W.G.
to R.E. (Ed.), . Gulf Professional Publishing, Boston, pp. 279–310.
Mahdavi, E., Zebarjad, F.S., 2018. Chapter Two - Screening Criteria of Enhanced Oil
Recovery Methods. In: Bahadori, A.B.T.-F. of E.O. and G.R. from C. and U.R. (Ed.), .
Gulf Professional Publishing, pp. 41–59.
Nasr-El-Din, H.A., Hawkins, B.F., Green, K.A., 1992. Recovery of residual oil using the
alkali/surfactant/polymer process: effect of alkali concentration. Journal of Petroleum
Science and Engineering 6, 381–401.
Suryani, I., 2014. Kapasitas Tukar Kation (Ktk) Berbagai Kedalaman Tanah Pada Areal
Konversi Lahan Hutan Cation Exchange Capacity (Cec) Soil Depth in Various Areas of
Forest Land Conversion. Jurnal Agrisistem, Desember 10, 99–106.
Vishnyakov, V., Suleimanov, B., Salmanov, A., Zeynalov, E., 2020. Oil recovery stages and
methods. Primer on Enhanced Oil Recovery 53–63.
Wang, C., Li, G., Reynolds, A.C., 2009. Production Optimization in Closed-Loop Reservoir
Management. SPE Journal 14, 506–523.

110
Glosarium

Air meteorik Air yang terbentuk dari proses kondensasi di atmoster dan turun
sebagai hujan maupun salju serta menggenang sebagai air
permukaan (termasuk air danau dan sungai)
Aluminosilikat Mineral-mineral yang memiliki komposisi kimia unsur aluminium,
silikon, dan oksigen
Argillaceous Batuan sedimen yang mengandung mineral lempung
Artificial lifting Metode pengangkatan tambahan untuk meningkatkan aliran minyak
ke permukaan
Autochton Material yang terbentuk pada lingkungan pengendapan tertentu
Bioturbasi Struktur sedimen berupa jejak aktivitas organisme berupa
penerobosan untuk mencari makan maupun berlindung dari arus
Burial Penimbunan atau penumpukan sedimen oleh material sedimen baru
yang diendapkan diatasnya
Capillary bound fluida yang terdapat pada ruang pori yang sempit
Water
Cathodoluminiscence Tipe analisis kualitatif yang memanfaatkan pendaran sinar yang
dikeluarkan oleh sampel sayatan batuan dan diamati menggunakan
mikroskop elektron
Core Sampel atau contoh inti batuan yang diambil dari bawah permukaan
melalui pengeboran
Concavo-convex Kontak antar butir sedimen yang bersentuhan membentuk cembung
contact dan cekung
Deposisi Proses pengendapan dari material rombakan hasil pelapukan pada
suatu lingkungan tertentu
Diagenesis Perubahan fisika dan kimia yang berlangsung setelah material
sedimen diendapkan dan sebelum mengalami metamorfisme.
Difraksi Kecenderungan gelombang yang dipancarkan dari sumber melewati
celah yang terbatas untuk menyebarkan ketika merambat
Disconformity Ketidakselarasan yang terbentuk karena terjadinya erosional tanpa
berlangsungnya proses pengendapan

111
Ductile Sifat suatu material yang mudah berubah bentuk atau mengalami
deformasi ketika diberikan tekanan
Enhanced Oil Metode ekstraksi hidrokarbon yang digunakan untuk memaksimal
Recovery kan perolehan minyak setelah recovery primer dan sekunder
dilakukan
Eogenesis Tahap awal diagenesis yang berlangsung sesaat setelah sedimen
diendapkan
Fasies suatu massa batuan yang dikelompokkan berdasarkan parameter,
litologi, struktur fisik, dan biologinya menjadikan batuan tersebut
berda dengan batuan disekitarnya, baik secara vertikal maupun
lateral
Filit Batuan metamorf berfoliasi yang mengandung mineral kuarsa,
lempung serisit dan klorit serta mika putih berbutir halus dengan
orientasi tertentu
Floodplain Dataran yang berbatasan langsung dengan sungai, dan merupakan
endapan sungai yang tertinggal setelah sungai meluap dan terjadi
banjir
Framboid Morfologi dari kristal yang menyerupai bola, umumnya menyatakan
bentuk mineral pirit
Formation damage Kerusakan formasi di sekitar lubang sumur yang menyebabkan
pengurangan kemampuan aliran dari fluida reservoar di bawah
kemampuan asalnya.
Glaukonit Mineral ubahan yang terbentuk secara insitu pada lingkungan laut
dangkal pada kondisi sub-oxic
Grain-coating Semen yang tumbuh mengelilingi atau melingkupi permukaan luar
butir
Heavy oil Minyak yang memiliki tingkat kekentalan tinggi sehingga tidak
mudah mengalir menuju sumur produksi pada kondisi reservoar
normal
Hidrokarbon senyawa kimia yang tersusun atas atom karbon (C) dan atom
hidrogen (H), contoh minyak dan gas alam
Hyperpycnal Aliran densitas suspensi yang lebih besar dari arus air
Illit Mineral lempung hasil ubahan mineral mika muskovit

112
Irreducible water Saturasi atau kejenuhan air dimana seluruh cairan tertahan di pori
akibat cenderung lekat pada permukaan pori
saturation batuan karena pengaruh tekanan kapiler
Kaolinit Mineral lempung berwarna putih yang terbentuk dari proses hidrasi
mineral feldspar, memiliki rumus kimia [Al4(Si4O10)(OH)2]
Kompaksi Proses pemadatan yang disebabkan oleh adanya tekanan maupun
pembebanan yang menyebabkan orientasi antarbutir semakin rapat
Litifikasi Proses konsolidasi material lepasan menjadi satu kesatuan yang lebih
solid berupa batu
Long contact Kontak antar butir sedimen yang bersentuhan memanjang
Mesogenesis Tahap diagenesis lanjut akibat penambahan tekanan pada kedalaman
besar
MICP Metode pengukuran untuk mengetahui ukuran dan distribusi
porositas pada batuan yang dilakukan dengan menginjeksikan gas
merkuri (Hg) ke dalam ruang pori
Moldic Tipe porositas berbentuk cetakan butiran sedimen maupun fosil yang
telah terlarutkan
Oil/ water wet Kondisi dimana suatu batuan memiliki sudut kontak fluida minyak
maupun air terhadap batuan dengan nilai > 90o.
Oscillatory zoning Bentuk lingkaran konsentris yang ditunjukkan oleh warna
interferensi maupun variasi perubahan sudut pemadaman dari bagian
pusat kristal ke tepi ketika mineral diamati menggunakan analisis
cathodoluminiscence
Overprint Keadaan dimana pola diagenetik awal ditindih oleh pola diagenetik
akhir
Oxygenated water Tipe air yang memiliki kadar oksigen lebih tinggi
Permeabilitas Kemampuan suatu batuan untuk mengalirkan fluida formasi
Porositas Ruang antar butir pada batuan yang dapat terisi oleh fluida, seperti
air tawar/ air asin, minyak maupun gas alam.
Pore throat Saluran sempit yang menghubungkan ruang antar pori
Pseudomatriks Material remukan atau hancuran dari fragmen batuan argillaceous
Paraautochthonous Sedimen yang memperlihatkan karakter antara hasil perpindahan
dari tempat lain maupun asli terbentuk pada lingkungan tersebut
Pore-filling Semen yang mengisi ruang pori antar butir

113
Point contact Kontak antar butir sedimen yang saling menyudut
Quartzarenite Klasifikasi tipe batupasir yang mengandung >95% kuarsa
Quartz Overgrowth Pertumbuhan semen silika dari permukaan terluar butir akibat
presipitasi dari larutan jenuh silika
Rekristalisasi Keadaan dimana struktur kristal baru terbentuk tanpa mengubah
komposisi kimia awal
Sabak (slate) Batuan kaya akan lempung berbutir halus yang mengalami
metamorfisme regional derajat rendah sehingga membentuk
lembaran foliasi
Secondary recovery Teknik untuk meningkatkan perolehan minyak dan gas bumi yang
masih terjebak pada pori batuan
SEM Tipe analisis kualitatif dan semi kuantitatif menggunakan mikroskop
electron untuk mengetahui informasi terkait morfologi atau bentuk
dan ukuran mineral, topografi atau tekstur permukaannya
Sementasi Presipitasi larutan kimia jenuh yang membentuk mineral sekunder
dan menempati ruang antar butir maupun mengelilingi butir
Serpih (shale) Batuan sedimen klastik berbutir halus dengan ciri terdapat laminasi
tipis atau perlapisan sejajar dengan ketebalan <1cm (struktur disebut
bedding fissility)
Sikuen stratigrafi Studi stratigrafi yang berkaitan dengan kerangka urutan waktu
pengendapan dari lapisan yang relatif selaras dan berhubungan
secara genetik, dibatasi oleh bidang ketidakselarasan atau bidang
keselarasan yang setara dengannya.
Smektit Mineral lempung yang bersifat mudah mengembang dan mengkerut
Sortasi Derajat keseragaman ukuran butiran pada suatu batuan. Jika ukuran
butir cenderung sama, maka dikatakan memiliki sortasi yang baik.
Namun, jika ukurannya bervariasi dikatakan memiliki sortasi yang
buruk
Sphericity Derajat kebolaan dari butir sedimen klastik akibat interaksi dengan
permukaan selama tertransportasi
Sucrosic Bentuk morfologi mineral yang menyerupai butiran gula, umumnya
digunakan untuk menyatakan bentuk morfologi pirit
Suture contact Kontak antar butir yang menghasilkan bidang batas tidak teratur

114
Surface relaxivity Kemampuan permukaan butiran untuk menyebabkan proton relaks
atau kehilangan orientasi
Tekstur Kenampakan yang berkaitan dengan ukuran, bentuk butir serta
susunan antar butir
Telogenesis Tahap akhir diagenesis yang berlangsung karena adanya
pengangkatan batuan sedimen pada kedalaman besar ke permukaan
Uplift Proses pengangkatan lapisan batuan akibat pengaruh tektonik
Vermicular Bentuk menyerupai cacing yang merupakan salah satu kumpulan
morfologi mineral kaolinit pada pengamatan SEM
Waterflooding Metode perolehan minyak tahap lanjut yang dilakukan dengan
menginjeksikan air ke reservoar untuk mendesak minyak menuju
sumur produksi
Well-completion Tahapan yang dilakukan setelah pekerjaan pemboran, logging dan
pemasangan casing pada sumur pemboran dilakukan
Well log Pencatatan rinci data sumur pemboran untuk merekan karakteristik
formasi batuan yang ditembus oleh lubang bor
XRD Identifikasi dan analisis fasa dari suatu material yang berupa serbuk
material anorganik berupa polikristalin maupun amorf berdasarkan
difraksi sinar-X

115
Profil Penulis

Rosmalia Dita Nugraheni lahir di kota Jombang, Jawa Timur, 11


Januari 1986 merupakan dosen tetap Prodi Teknik Geologi, Fakultas
Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti sejak tahun 2017.
Mata kuliah yang diampu meliputi Mineralogi, Petrologi, Petrografi,
Geokimia Mineral dan Non Konvensional Energi. Saat ini menjabat
sebagai Kepala Praktikum Geokimia Anorganik pada Lab. Geokimia.
Penulis memiliki pengalaman bekerja sebagai peneliti pada Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi – LEMIGAS dari tahun
2009 hingga 2011, yang mengkaji karakterisasi formasi dan penilaian kualitas batuan
reservoar. Selama bekerja penulis aktif terlibat pada proyek strategis terkait Tight Sand
Gas, Deep Reservoir, Coal Bed Methane bersama perusahaan migas besar. Penulis telah
menyelesaikan studi S-2 di Geoscience Department, Faculty of Engineering, Universiti
Teknologi Petronas (UTP), Malaysia pada tahun 2015, melalui jalur beasiswa universitas.
Pada tahun 2013 mendapatkan Research Award dari AAPG Foundation – Alexander &
Geraldine Wanek Memorial Grant dan Student Travel Grant pada 75th EAGE Conference
and Exhibition incorporating SPE EUROPEC di UK. Pendidikan S-1 diperoleh dari
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun
2009 dengan predikat Cumlaude. Sejak tahun 2011 aktif menulis dan telah menghasilkan
7 publikasi terindeks SCOPUS, 11 artikel dan poster pada konferens Internasional dan
Nasional serta 1 jurnal terindeks SINTA 2. Tahun 2020 mendapat predikat Best Presenter
pada 3rd International Conference on Earth Science, Mineral and Energy. Aktif terlibat
dalam kegiatan organisasi professional untuk mengembangkan pengalaman dan jejaring
komunikasi dengan menjadi pengurus pada Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), IAGI
Pengurus Daerah DKI Jakarta, Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) dan
Indonesian Society of Petroleum Geologists (ISPG). Dipercaya menjadi ketua acara CEO
Forum dan Indonesia’s Explorer-Developer Collegium (IEDC) 2021. Menjadi editor dan
reviewer dari IAGI Journal dan Indonesian Journal of Economic Geology (IJEG) dan
Journal of Geochemical Exploration (SCOPUS Q1) dari Elsevier.

Naily Salsabila Setiawan lahir di Boyolali, 28 Mei 2000, merupakan


mahasiswi program studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian
dan Energi, Universitas Trisakti Angkatan 2019. Saat ini menempuh
perkuliahan di semester 5 dan menjadi awardee beasiswa penuh dari OSC
Medcom Metro TV dan menjadi Runner Up Duta Kampus Universitas
Trisakti periode 2020/2021. Penulis saat ini aktif di organisasi kampus,
yakni American Association of Petroleum Geologist (AAPG-SC Trisakti) sebagai deputy
of research. Kegiatan lain yang diikuti adalah menjadi relawan mengajar Kimia untuk
siswa-siswi SMA di Indonesia melalui komunitas “Belajar Bareng”.

116
117

Anda mungkin juga menyukai