Anda di halaman 1dari 4

11 12

Karya: Karina Eka Widiasti (IX E)

Pagi ini aku melihat diriku di cermin sambil bergumam “Huft, hidup yang biasa-biasa saja.” Entahlah tiba-
tiba saja kalimat tersebut menjadi mantra yang muncul begitu saja ketika aku melihat diriku sendiri.

Apa yang kalian rasakan ketika bangun tidur? Apakah perasaan senang? Perasaan sedih? Ataukah
perasaan marah? Kalau aku, ku beritahu ya, setiap kali aku bangun tidur aku selalu merasakan perasaan
lelah dan enggan menjalani hari.

Sepertinya aku masih berada di alam mimpi, namun entah mengapa dadaku terasa sesak. Ketika aku
membuka mata.

“HAAAHHH!!” Ternyata ada Maze, kucing ku yang berusaha membangunkan ku.

Lagi-lagi alarm ku tidak mampu berfungsi dengan baik. Rasanya ingin kembali tidur, namun sayup-sayup
aku mendengar suara ibu ku yang indah memanggilku.

“Kak, kak. Bangun, sudah jam berapa ini?” Hilang sudah rasa ingin rebahan ku. Mengapa ya orang tua
harus sebegitu indahnya membangunkan anaknya. Tentu saja aku tidak ingin dikatakan sebagai anak
yang pemalas karena tidak langsung siap-siap berangkat sekolah.

Kini aku sudah berada di dalam mobil bersama ayah. Seperti biasa, tidak ada banyak obrolan. Namun
berangkat sekolah bersama ayah itu menyenangkan, tidak terkena hujan dan selalu ditemani oleh
alunan musik yang menyenangkan. Terasa menyenangkan sekali, ya?

Pernahkah kalian berasa bersemangat ketika melakukan sesuatu karena suatu hal? Kalau aku, aku
merasa senang hari ini karena kami di pulangkan lebih awal. Andai saja setiap hari seperti ini. Tidak
tidak, aku hanya bercanda tapi boleh kok apabila dianggap serius.

Kegiatan belajar kami seperti biasa, aku sedang berbicara dengan Audra teman sebangku ku. Awalnya
hanya berbincang seperti biasa namun tiba-tiba Audra berceletuk.
“Hidupmu sempurna sekali ya, Agny. Keluarga mu sangat harmonis, banyak orang yang ingin menjadi
teman mu. Hidupmu seakan tidak ada noda sedikitpun. Terkadang aku ingin kita bertukar jiwa, kau tau
semenjak adikku lahir mereka lebih sering memberikan perhatian mereka kepada Nebula.”

Seketika mulutku membeku, aku tidak mampu mengatakan apapun. Satu sisi aku merasa sedih karena
semenjak kelahiran adiknya Audra menjadi merasa bahwa orang tua nya pilih kasih. Tapi di satu sisi lagi,
aku merasa tidak suka dengan persepsinya, seperti hidupku sempurna karena keluargaku harmonis dan
lainnya. Hidupku tidak sesempurna itu.

“Adik mu kan masih kecil Dra jadi wajar saja. Orang tua mu tidak bermaksud seperti itu, kamu juga boleh
membantu untuk mengurus Nebula juga. Tidak perlu bertukar jiwa denganku, menjadi dirimu sendiri itu
lebih bagus.”

“Mungkin, tapi aku tidak terlalu yakin dengan mu Agny. Aku akan jauh lebih baik lagi apabila menjadi
kamu.”

Balas Audra. Aku tidak mampu berkata apa-apa selain diam. Mungkin memang keluarga ku terlihat
harmonis dan teman ku banyak namun bukan berarti hidupku sempurna. Aku punya trauma masa lalu
dengan perlakuan orang tua ku. Temanku hanya mendatangiku ketika mereka membutuhkan ku saja.
Selebihnya? Tidak ada.

Aku jadi kepikiran oleh ucapan Audra ketika di sekolah, apakah hidupku benar-benar sempurna?
Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkannya. Mengapa Audra bilang bahwa dia ingin memiliki
kehidupan seperti ku? Ayolah, hidupku membosankan, datar dan mati. Aku tidak keren seperti remaja
lainnya, aku tidak punya teman, aku hanya mengurung diriku sendiri di rumah. Percayalah, tidak ada
yang menarik di hidupku.

Semua terasa seperti di neraka. Teman ku hanyalah diriku sendiri, itu menyedihkan. Seharusnya aku
bersosialisasi seperti teman ku yang lain, bukan malah mengurung diri. Ibu ku selalu bilang bahwa aku
bukanlah seseorang pengambil resiko, aku memilih main aman makanya hidupku terasa terlalu
mengikuti arus.

Padahal, kehidupan Audra jauh lebih baik bila dibandingkan denganku. Audra mengikuti club musik,
memiliki banyak teman dimanapun kami berada pasti ada setidaknya 1 orang menyapa Audra, ia
memiliki pacar yang keren. Ia memiliki semua impian anak-anak remaja.
“Seandainya aku menjadi dia, seorang yang berbakat dan memilki banyak teman. Dimana mimpi remaja
ku? Mengapa aku tidak bisa seperti nya? Mereka selalu memberitahu ku nikmatilah masa muda mu
rasanya aku ingin teriak. Aku tidak bisa, aku payah, aku selalu merasa cemas. Setiap harinya aku merasa
gugup dan tidak ada seorang pun yang membantu. Aku membenci diriku, aku benci tulisan yang ku buat.
Aku benci segala hal yang berkaitan dengan ku.”

Teriakku frustasi, aku tidak peduli apakah nanti orang tua ku mendengarkan. Aku hanya ingin
mengeluarkan isi hatiku.

Sudah cukup semuanya, aku terlihat berantakan padahal hanya karena memikirkan perkataan Audra aku
jadi frustasai begini. Aku menertawai diriku sendiri. “Pantas saja kamu payah.”

Aku terbangun setelah 12 jam tertidur, tidak heran orang-orang menjuluki ku ‘Koala’. Seperti yang sudah
ku katakan penampilanku berantakan, entah apa yang telah terjadi, kadang memang hal seperti ini
sering terjadi.

Aku menjalani aktifitas dengan mood yang tidak baik, terkesan berlebihan ya? Obrolan seperti itu
memang sedikit sensitive bagi sebagain orang.

“Agny, kenapa? Kamu tidak seperti biasanya. Ada masalah?”

Tanya Zhavia, kami tidak begitu dekat makanya aku kaget ia menanyakan itu kepada ku.

“Tidak apa-apa kok Zha, terima kasih ya sudah menanyakan.”

Jawabku, tidak ada salahnya kan berbohong sedikit?

“Gapapa kok kalau kamu mau cerita, Audra cerita pada ku kemarin. Aku mengerti perasaan mu.”

“Audra cerita ke kamu? Tapi kenapa?”

“Kita memang sudah dekat sejak dulu, maaf aku terkesan ikut campur. Tapi aku ingin membantu mu,
Audra bilang pada ku dia menyesal mengatakan itu pada mu.”

“Terima kasih sudah mau membantu Zha, aku akan percaya apabila Audra mengatakannya lagi padaku.”
Kata ku mengakhiri, aku tidak suka begini. Aku tidak suka Audra mengatakannya pada orang lain,
padahal masalah ini hanya aku dan Audra saja, tidak perlu membawa orang lain dalam masalah ini.
Apakah aku salah?

Aku kembali ke tempat duduk ku, tidak mempedulikan Zhavia yang berusaha menjelaskan kepadaku.
Aku tetap pada pendirianku, aku hanya percaya apabila Audra sendiri yang mengatakannya.

Hari ini Audra tidak biasanya telat, ia menyapa ku dan aku menyapanya balik. Seakan tidak pernah ada
masalah apa-apa. Barulah ketika istirahat Audra menjelaskan semuanya.

“Maafkan soal perkataanku kemarin ya, aku tahu tidak seharusnya aku mengatakan hal itu kepadamu.
Seharusnya kita tidak membicarakan hal itu. Maaf sudah menceritakannya pada Zhavia, karena ku pikir
kamu benar-benar marah pada ku.”

Kata nya, aku hargai permintaan maafnya.

“Aku juga minta maaf soal ini, aku terlalu sensitive. Seharusnya tidak seperti ini akhirnya. Tapi tidak apa-
apa, aku sudah melupakannya”

Balasku.

Setelah semua suka dan duka kami lewati bersama akhirnya kami mampu melewatinya bersama. Kita
tidak pernah tahu apa yang dialami setiap orang, bahkan yang menurut kita dia orang yang paling
sempurna pun pasti ada suatu hal yang menjadi beban pikiran mereka. Bukankah menjadi diri sendiri,
mencintai dan menerima diri sendiri jauh lebih baik?

~ Selesai ~

Anda mungkin juga menyukai