Anda di halaman 1dari 7

Trending

Hukum Mengalihfungsikan Masjid dari Wakaf



 Oktober 12, 2022

 Struktur Pimpinan
 Kantor Layanan
 AMAL USAHA
 Download
 ORTOM

1. Home
2. Artikel
3. Muhammadiyah dan Politik

Muhammadiyah dan Politik


 Artikel Berita Featured Ortom

 Admin
 Maret 7, 2022
 0
 60







Kajian maupun studi mengenai Muhammadiyah dan politik menjadi pembahasan yang sangat
menarik dan melibatkan banyak disiplin ilmu maupun pendekatan. Apalagi, banyak
masyarakat mengira, bahwa ketika Muhammadiyah membahas urusan politik, terlebih politik
praktis, anggapan yang muncul akan cenderung negatif. Meskipun kajian dalam penelitian ini
erat kaitannya dengan disiplin ilmu politik, tidak ada salahnya ketika kemudian penulis
sedikit mengaitkan dengan disiplin ilmu yang lain.

Ahmad Syafii Maarif, misalnya, menulis tentang teologi politik Muhammadiyah. Bagi
Maarif, memahami politik dengan pendekatan teologi erat kaitannya perihal relasi antara
agama dengan politik kenegaraan dalam perspektif Muhammadiyah. Meskipun
pengartikulasian akan teologi politik Muhammadiyah belum begitu mendapat porsi lebih
untuk dikaji, Maarif pun berpendapat, bahwa pandangan Muhammadiyah akan politik
kenegaraan itu sendiri menjadi persoalan penting. Teologi yang secara jelas tidak bisa
dilepaskan dari unsur agama, mau tidak mau harus dijadikan rujukan dasar oleh
Muhammadiyah, kaitannya dengan politik, (Maarif, 2015).

Kemudian, dalam (Nashir, 2014) juga dijelaskan maksud dan tujuan Muhammadiyah itu
sendiri, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam yang sebenar-benarnya
hingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Melalui prinsip dasar tersebut,
klaim bahwa Islam merupakan agama yang memiliki misi rahmat bagi seluruh alam perlu
diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Konkretisasi perwujudan itu, yakni beragama
dengan baik dan benar, ketika diletakkan dalam konteks rahmat bagi seluruh alam,
cakupannya ternyata sangatlah luas. Maka kemudian, K.H. Ahmad Dahlan mengelaborasikan
banyak hal dalam perumusan maksud dan tujuan tersebut, termasuk di dalamnya, pendidikan,
kesehatan, sosial, kebudayaan, hingga urusan politik, (Effendy, 2015).

Bahkan, ketika pada saat itu agenda politik nasional mulai diperlukan, para tokoh-tokoh
Muhammadiyah tampil di dalamnya. Nama-nama seperti K.H. Mas Mansyur, tokoh
Muhammadiyah yang mendirikan Partai Islam Indonesia, kemudian Ki Bagus Hadikusumo
yang berperan aktif di dalam BPUPKI, hingga Kasman Singodimedjo tidak lain tidak bukan
merupakan tokoh-tokoh pionir dan elite Muhammadiyah dalam berpolitik. Meskipun,
keterlibatan mereka dalam panggung perpolitikan berangkat dari kapasitas secara individu,
(Effendy, 2015).

Meskipun demikian, posisi Muhammadiyah sebagai organisasi, termasuk ketika masih


menjadi anggota istimewa pada Partai Masyumi, tidak pernah menjadikan urusan politik
menjadi titik tekan amal usahanya. Bahkan, seorang Bachtiar Effendy dalam bukunya
“Keharusan Tajdid Politik Muhammadiyah” tersebut mengaku, bahwa organisasi sebesar
Muhammadiyah ini sepertinya tidak memiliki kegairahan dan semangat yang sungguh-
sungguh dalam bidang dan urusan politik, (Effendy, 2015).

Bachtiar Effendy juga menganggap, bahwa hal yang harus diselesaikan Muhammadiyah
sebelum jauh merumuskan perihal substansi keterlibatan Muhammadiyah dengan politik
adalah membangun kesadaran kolektif, bahwa politik itu sama mulianya dengan amal-amal
usaha Muhammadiyah yang lain, seperti pendidikan, sosial, dan kesehatan, yang selama ini
menjadi inti gerakan dalam amal usaha. Berangkat dari pernyataan tersebut, dapat dipahami
bahwa perhatian Muhammadiyah akan urusan politik memang atau masih belum menjadi
titik prioritas, ketimbang urusan-urusan pendidikan, kesehatan, maupun sosial dan ekonomi,
(Effendy, 2015).
Kompleksitas persoalan politik di Muhammadiyah ini memang terjadi bukan tanpa sebab.
Budaya politik Muhammadiyah yang masih bias, perilaku politik warga Muhammadiyah
yang majemuk dan dinamis, sampai kepada dilematis yang dihadapi oleh politisi
Muhammadiyah menjadi alasan, bagaimana budaya politik Muhammadiyah ini dapat menjadi
pembahasan yang menarik untuk diperdalam. Achmad Jainuri, misalnya, dalam pembahasan
budaya politik, menganggap bahwa persoalan budaya politik tidak akan bisa lepas dari tiga
hal, (Jainuri, 2015).

Pertama, sikap politik warga Muhammadiyah. Dalam hal ini, Muhammadiyah telah lama
menganut politik adiluhung, atau sering disebut high politics. Bagaimana dalam proses dan
cara yang dilakukan untuk menegakkan sebuah sistem berdasarkan nilai-nilai agama. Namun,
lain daripada itu, banyak dari warga Muhammadiyah yang aktif dalam pola-pola politik
kepartaian, atau sering disebut low politics. Tradisi-tradisi politik demikianlah yang lebih
condong akan pemaknaan-pemaknaan yang bersifat praktis, jangka pendek, dan
transaksional, (Jainuri, 2015).

Kedua, etika politik politisi Muhammadiyah. Persoalan yang dihadapi politisi


Muhammadiyah dewasa ini tidaklah mudah. Dalam membaca situasi politik kontemporer
misalnya, politisi Muhammadiyah dihadapkan dengan persoalan imoralitas perilaku dalam
berpolitik. Achmad Jainuri menganggap, bahwa persoalan demikian tentu sangat bertolak
belakang dengan pandangan etika politik yang dipahami oleh para politisi Muhammadiyah.
Namun, yang menjadi tantangan adalah, mampukah politisi Muhammadiyah terjun dalam
rangka nahi munkar−mencegah kemungkaran−praktik-praktik politik yang tidak bermoral,
atau membiarkan imoralitas politik terjadi begitu saja? (Jainuri, 2015).

Ketiga, adalah mengenai tradisi politik Muhammadiyah. Semenjak kelahirannya,


Muhammadiyah memang tidak rupawan dengan wajah politik. Sebab itulah, orang di luar
Muhammadiyah cukup kesulitan dalam memahami tradisi politik Muhammadiyah. Namun,
dalam hal ini, ada tiga hal yang dapat membantu memahami tradisi politik Muhammadiyah.
Pertama, Muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan partai politik. Artinya, dalam
menghadapi kondisi situasi politik praktis, Muhammadiyah selalu hadir dengan wajah politik
adiluhung, tidak memiliki kecenderungan dengan partai politik tertentu, (Jainuri, 2015).

Kedua, menjaga kedekatan yang sama. Wacana ini disampaikan oleh Dahlan Rais dalam
Tanwir Muhammadiyah di Samarinda pada tahun 2014. Namun, manakala hal tersebut
dicermati lebih dalam, makna tersebut sarat akan perdebatan. Achmad Jainuri menilai, bahwa
makna kedekatan dan bentuk kedekatan masih belum begitu jelas. Yang menjadi bahaya,
adalah ketika kemudian persoalan ini menjadi berakibat pada tarik ulur di antara politisi
Muhammadiyah. Konflik politik yang berpengaruh pada kondisi internal, bukan tidak
mungkin akan terjadi, (Jainuri, 2015).

Ketiga, yakni mendirikan amal usaha politik. Meskipun ini masih menjadi wacana, paling
tidak perlu diambil pertimbangan yang cukup dalam. Mengingat, bahwa warna dan
karakteristik politik beda dengan amal usaha yang lain. Bagi Jainuri, amal usaha politik ini,
manakala yang akan terjadi adalah politik transaksional, praktis, dan uang, hanyalah akan
bersifat kontradiktif dengan budaya amar ma’ruf nahi munkar, sedikit bicara banyak bekerja,
dan hidup-hidupilah Muhammadiyah yang selama ini menjadi karakter yang begitu melekat
di dalam Muhammadiyah, (Jainuri, 2015).
Berbeda dengan beberapa pernyataan di atas, Haedar Nashir, dalam tulisannya “Kompleksitas
Relasi Muhammadiyah dan Politik” justru menganggap bahwa Muhammadiyah sudah
memahami betul mengenai persoalan politik. Maka, ketika Prof. Amien Rais
mengkategorikan urusan politik ini menjadi low politics dan high politics, Muhammadiyah
membagi persoalan politik menjadi dua, yakni politik yang bersifat umum, yakni urusan
politik kebangsaan dan kenegaraan. Kemudian, politik secara khusus, yakni urusan politik
yang bersifat praktis dan berorientasi pada kekuasaan, (Nashir, 2015).

Dalam urusan politik, Muhammadiyah sebagaimana Khittah Denpasar, justru memandang


perjuangan politik praktis itu penting dan mulia. Namun, medium, wadah, yang digunakan
pun harus pas dan proporsional, sebagaimana melalui jalan partai politik. Untuk mengetahui
lebih jelas kandungan isi dari Khittah Denpasar, yaitu “Khittah Muhammadiyah dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” sebagaimana dalam buku (Nashir, 2014), berikut
kutipan isi lengkapnya:

“Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dengan maksud
dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam
menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi: aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah
duniawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam
kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut
Muhamadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan agama Islam menjadi rahmatan lil
‘alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

Bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi
dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada
perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh
partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara.
Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau
pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics)
yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk
mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana
dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).

Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara


merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da’wah amar ma’ruf
nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan
hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan
negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian,
keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai
wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa
Rabbun Ghafur”.

Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan


bernegara dengan berdasarkan pada khittah perjuangan sebagai berikut:

1. Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara


merupakan salah satu aspek ajaran Islam dalam urusan keduniawian yang harus selalu
dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama.
Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga
Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan
berbangsa dan bernegara;
2. Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui
pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak
diperlukan untuk membangun dimana nilai-nilai Ilahiyah melandasi dan tumbuh
subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kebersamaan, keadilan, perdamaian,
ketertiban, keadaban untuk terwujudnya “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”;
3. Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya
masyarakat madani yang kuat sebagaimana tujuan muhammadiyah untuk
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang
berkaitan dengan kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik
pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan
bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam
kehidupan negara yang demokratis;
4. Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis
dan berorientasi pada kekuasaan untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan
lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya
sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa
dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan
politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya
nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya
NKRI yang diproklamasikan tahun 1945;
5. Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari dakwah
amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara
agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.
Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai
wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan
berkeadaban;
6. Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris
dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah
senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan
menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi
tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban;
7. Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan untuk
menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai dengan hati nurani
masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus sesuai dengan tanggung jawab
sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan
misi dan kepentingan Muhammadiayah, demi kemaslahatan bangsa dan negara;
8. Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk
benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan
mengedepankan tanggung jawab, akhlak mulia, keteladanan, dan perdamaian.
Aktivitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi
persyarikatan dalam melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar;
9. Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun
berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan
bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih
baik, maju, demokratis, dan berkeadaban”
Dengan demikian, penulis dapat memahami bahwa hubungan antara Muhammadiyah dengan
politik merupakan kajian pembahasan yang begitu kompleks, rumit, dan tidak sederhana.
Banyak terjadi dinamika perspektif di dalamnya, yang lahir dari pemikiran antar elite
pimpinan Muhammadiyah itu sendiri. Meskipun demikian, setidaknya, berangkat dari
pelbagai rumusan dan gagasan mengenai hubungan Muhammadiyah dengan politik, daripada
tokoh cendekiawan Muhammadiyah di atas, dapat menjadi rujuk-pandang bagaimana
hubungan Muhammadiyah dengan politik dan bagaimana seharusnya kita (kader) dalam
berpolitik

Daftar Pustaka:

Effendy, B. (2015). Keharusan Tajdid Politik Muhammadiyah. In Ijtihad Politik


Muhammadiyah (pp. 11–28). Pustaka Pelajar.

Jainuri, A. (2015). Budaya Politik Muhammadiyah. In Ijtihad Politik Muhammadiyah (pp.


73–84). Pustaka Pelajar.

Maarif, A. S. (2015). Teologi Politik Muhammadiyah. In Ijtihad Politik Muhammadiyah (pp.


1–9). Pustaka Pelajar.

Nashir, H. (2014). Memahami Ideologi Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah.

Nashir, H. (2015). Kompleksitas Relasi Muhammadiyah dan Politik. In Ijtihad Politik


Muhammadiyah (pp. 105–149). Pustaka Pelajar.

Admin

https://muhammadiyahponorogo.or.id

Related post

 Jl. Jawa No. 38 Mangkujayan Ponorogo


 (0352) 481 680
 sekretariat@muhammadiyahponorogo.or.id




Service Hour

 Monday 08.00-14.00
 Tuesday 08.00-14.00
 Wednesday 08.00-14.00
 Thursday 08.00-14.00
 Friday 08.00-14.00
 Saturday 08.00-12.00

© 2019 - Pimpinan Daerah Muhammadiyah Ponorogo

Anda mungkin juga menyukai