Anda di halaman 1dari 19

BAB 29

PENINGKATAN PERLINDUNGAN
DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan


salah satu prioritas pembangunan bidang sosial terutama
perlindungan terhadap mereka yang termasuk ke dalam kelompok
penduduk miskin dan rentan. Perlindungan dan kesejahteraan sosial
di Indonesia diwujudkan dalam bentuk bantuan sosial dan jaminan
sosial. Dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan para
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), Pemerintah telah
melaksanakan berbagai upaya, antara lain melalui memberikan
bantuan dan jaminan sosial, meningkatkan pemberdayaan sosial,
menyediakan sarana dan prasarana pelayanan dan rehabilitasi sosial,
serta meningkatkan kemampuan dan keberdayaan mereka melalui
pendidikan. Selanjutnya, dalam kaitan pembangunan kesejahteraan
sosial, penanganan dan penyelesaian permasalahan sosial juga
dilakukan melalui skema jaminan sosial berbasis asuransi.
Bantuan sosial (social assistance) merupakan bantuan yang
diberikan secara langsung tanpa adanya kewajiban berkontribusi dari
masyarakat, sedangkan jaminan sosial (social insurance) berbasis
asuransi lebih bersifat sistem yang memanfaatkan iuran setiap
peserta. Sistem ini diharapkan mampu melayani seluruh lapisan
masyarakat dan memberdayakan mereka yang lemah dan tidak
mampu untuk dapat mempertahankan kehidupan yang layak sesuai
dengan martabat kehidupan manusia dalam melewati berbagai
situasi. Pemerintah secara bertahap terus menyempurnakan sistem
jaminan sosial berbasis asuransi, terutama, bagi kelompok
masyarakat miskin. Jaminan sosial ini merupakan sistem yang
mampu melayani seluruh lapisan masyarakat dan memberdayakan
mereka yang tidak mampu sehingga dapat mempertahankan
kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kehidupan manusia.
Pembangunan sistem jaminan sosial nasional dimulai dengan
disahkannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN).
Sesuai dengan amanat Pasal 28H perubahan kedua, Undang-
Undang Dasar 1945, setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat. Negara berkewajiban menyelenggarakan
pelayanan kesejahteraan sosial yang berkualitas dan produktif
sehingga dapat meningkatkan kapabilitas, harkat, martabat dan
kualitas hidup penduduk miskin dan rentan, terutama sebagai PMKS.
Selain itu, dalam menangani masalah kesejahteraan sosial,
Pemerintah mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat,
mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan kesejahteraan
sosial, serta memperkuat ketahanan sosial bagi setiap warga negara
agar mereka memiliki kemampuan individual dan kelembagaan yang
lebih tinggi dalam mengatasi masalah kesejahteraan sosial.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI


Pembangunan sosial yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah
selama ini diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan sosial
seperti kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketuna sosialan,
keterpencilan, dan penanganan korban akibat kejadian bencana alam
serta bencana sosial. Namun, ternyata pembangunan yang
dilaksanakan masih dihadapkan pada sejumlah rintangan dan
permasalahan penting seperti keterbatasan anggaran, kurangnya
efektivitas pelaksanaan bantuan dan pelayanan jaminan sosial,
luasnya cakupan pelayanan, kejadian bencana alam dan sosial atau
perubahan kondisi ekonomi yang sulit diprediksi kejadiannya. Selain
itu, pembangunan yang dilaksanakan menyisakan pula sejumlah
persoalan khususnya pada perseorangan atau kelompok masyarakat
yang terabaikan, kurang beruntung atau miskin, dan tidak dapat ikut
menikmati hasil pembangunan secara layak.
29 - 2
Beberapa permasalahan pokok yang masih dihadapi terletak
pada belum terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar, seperti pangan,
sandang, dan perumahan, serta belum terpenuhinya aksesibilitas
masyarakat terhadap berbagai sumber pelayanan sosial dasar,
terutama mereka yang memiliki keterbatasan kemampuan.
Bayi, anak-anak, dan lanjut usia (lansia) yang telantar atau
tanggung jawab pengasuhannya berada di pihak lain, di luar
keluarganya atau di panti-panti sosial, seringkali kebutuhan hidup
mereka yang paling dasar, baik secara jasmani, rohani maupun sosial
tidak terpenuhi. Pada tahun 2004, Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial menunjukkan
bahwa jumlah bayi dan anak telantar di Indonesia berkisar 4,4 juta
jiwa. Pada tahun 2006 jumlah bayi dan anak telantar turun menjadi
3,4 juta anak, sedangkan pada tahun 2008 jumlah itu turun mencapai
2,7 juta jiwa.
Pada kelompok lanjut usia, sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia, perlu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para
lansia, baik melalui pelayanan sosial maupun jaminan sosial.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), data Statistik Penduduk Lanjut
Usia tahun 2007, persentase lansia berusia di atas 60 tahun ke atas
adalah 8,42 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk. Menurut
Pusdatin Departemen Sosial, dari jumlah lansia tersebut masih
banyak lansia yang telantar, yaitu sebanyak 2,02 juta jiwa pada tahun
2008. Terdapat sejumlah tantangan dalam pemenuhan kebutuhan
para lansia terutama mereka yang telantar dan tidak potensial, yaitu
dalam hal pemberian pelayanan kepada lansia dan penyediaan
jaminan sosialnya. Namun, lansia yang masih potensial dengan
kemampuan fisik yang masih memungkinkan mereka untuk bekerja,
merupakan tantangan tersendiri dalam hal penyediaan lapangan kerja
yang sesuai.
Kecacatan sering menyebabkan gangguan dan kendala bagi
para penyandangnya, apalagi bila dikaitkan dengan masalah sosial
lain, seperti kemiskinan, menjadikan permasalahan ini semakin
mengganggu dan memengaruhi aktivitas fisik, kepercayaan, harga
diri, dan interaksi sosial para penyandang cacat dengan masyarakat
dan lingkungan sekitarnya. Data Pusdatin Departemen Sosial tahun
29 - 3
2004 dan 2008 memperlihatkan masing-masing jumlah penyandang
cacat sebanyak 1,8 juta jiwa dan 1,2 juta jiwa.
Menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, penyandang cacat didefinisikan sebagai orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu dan menjadi rintangan serta hambatan baginya untuk
melakukan aktivitas keseharian secara selayaknya. Para penyandang
cacat juga menghadapi kondisi lain, seperti terbatasnya sarana dan
prasarana pelayanan sosial, minimnya aksesibilitas pelayanan umum
yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat, pendidikan
dan kesehatan, serta pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh
penyandang cacat. Hal itu mengakibatkan hak dasar mereka untuk
tumbuh kembang dan berkreasi sebagaimana manusia yang
sempurna menjadi terkendala. Apalagi penyandang cacat
perempuan, sampai saat ini belum terjangkau oleh program
pemberdayaan perempuan.
Surat Edaran Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
No.3064/M.PPN/05/2006 tanggal 19 Mei 2006 tentang perencanaan
pembangunan yang memberi aksesibilitas bagi penyandang cacat
telah menegaskan bahwa masyarakat dan Pemerintah wajib
menyediakan aksesibilitas sarana dan prasarana umum bagi
penyandang cacat pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan,
pemakaman umum, dan angkutan umum yang dilaksanakan secara
bertahap dengan memperhatikan prioritas aksesibilitas yang
dibutuhkan penyandang cacat. Ketentuan tersebut sampai saat ini
belum kunjung dapat dilaksanakan dengan berbagai keterbatasannya.
Sebelumnya, telah pula ditentukan aturan mengenai dukungan
fasilitas terhadap penyandang cacat dalam Surat Edaran Menteri
Sosial No.A/A164/VIII/2002/MS tanggal 13 Agustus 2002, yaitu
ketentuan perlunya koordinasi yang berkaitan dengan penyediaan
fasilitas bagi para penyandang cacat di gedung-gedung pemerintah
dan sarana umum. Selain itu, pembangunan gedung baru seharusnya
menyediakan aksesibilitas bagi penyandang cacat dengan
memperhitungkan proses rancang bangun sesuai dengan Kepmen PU
No. 468/KPTS/1998 tanggal 1 Desember 1998.

29 - 4
Permasalahan lain yang dihadapi para penyandang cacat
adalah mereka cenderung mengalami kesulitan dalam memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang
dimiliki karena pada umumnya pemilik perusahaan ataupun pemberi
kerja cenderung mempekerjakan orang yang tidak memiliki cacat.
Padahal, menurut Pasal 13 UU No 4/1997, setiap penyandang cacat
mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya dan setiap perusahaan
harus memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di
perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan,
pendidikan, dan kemampuannya, dan jumlahnya disesuaikan dengan
jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan. Saat ini, dengan
terbatasnya jumlah dan jenis lapangan pekerjaan, kedudukan
penyandang cacat dalam mencari pekerjaan menjadi makin sulit
pula.
Ketunasosialan adalah permasalahan sosial yang dapat
menyebabkan seseorang selain sulit memenuhi kebutuhan hidupnya
juga membuat mereka mengalami perasaan terkucil dari kelompok
masyarakat. Populasi tuna sosial berdasarkan Data Pusdatin
Departemen Sosial pada tahun 2008, berjumlah kurang lebih 1,06
juta jiwa, yang terdiri atas 46 ribu tuna susila, 39 ribu pengemis, 40
ribu gelandangan, 132 ribu bekas warga binaan pemasyarakatan, 139
ribu korban penyalahgunaan napza, 7 ribu penyandang HIV/AIDS,
200 ribu anak nakal, 107 ribu anak jalanan, dan 357 ribu keluarga
bermasalah sosial psikologis. Kelompok tuna sosial tersebut perlu
terus mendapatkan perhatian untuk ditangani dengan memperhatikan
hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia.
Kenaikan harga bahan bakar minyak beberapa waktu lalu
memmengaruhi harga barang kebutuhan pokok masyarakat. Hal ini
semakin mempersulit masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
pokoknya, terutama masyarakat miskin dan rentan. Untuk
mengurangi ekses kejadian tersebut dan mengantisipasi penurunan
kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2005, Pemerintah berinisiatif
menyalurkan bantuan yang berbentuk bantuan langsung tunai (BLT)
kepada 19,1 juta rumah tangga sasaran (RTS). Sasaran penerima
bantuan BLT tersebut adalah RTS yang meliputi rumah tangga

29 - 5
sangat miskin/fakir miskin (poorest), rumah tangga miskin (poor)
dan rumah tangga hampir miskin (near poor). Pada tahun 2008,
kenaikan harga minyak mentah dunia yang berimbas kepada
kenaikan harga BBM dalam negeri mengakibatkan naiknya harga
barang-barang kebutuhan pokok masyarakat. Sebagai akibatnya,
masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok
dasarnya. Untuk menjaga daya beli masyarakat terhadap kebutuhan
barang-barang pokok tersebut, Pemerintah kembali menggulirkan
BLT kepada RTS. Selanjutnya, BLT pada tahun 2009 diberikan
kepada RTS dengan mempertimbangkan bahwa kondisi ekonomi
nasional diperkirakan belum membaik dan masyarakat belum
sepenuhnya pulih dari krisis ekonomi.
Bencana alam dan kerusuhan ataupun konflik sosial tetap
perlu mendapatkan perhatian karena kejadian bencana umumnya
menimbulkan korban jiwa, kerugian dan kehilangan harta benda
yang tidak sedikit, yaitu kerusakan rumah, serta sarana dan prasarana
umum lainnya. Kejadian bencana alam seperti banjir bandang, tanah
longsor, gempa, dan angin puting beliung sering terjadi di beberapa
tempat di wilayah Indonesia. Hal itu terjadi karena banyak wilayah
Indonesia yang terletak pada daerah rawan bencana alam. Bencana
alam sering tidak dapat diperkirakan lokasi, waktu, dan besaran
kejadiannya.
Permasalahan yang sering terjadi dalam penanganan bencana
alam adalah keterlambatan dalam pelaporan kejadian bencana alam
dari daerah, khususnya data tentang korban dan kerusakan sarana
prasarana. Selain itu, masalah yang lain adalah keterbatasan
peralatan untuk evakuasi korban, pembenahan lokasi bencana yang
rusak, dan minimnya sarana dan prasarana umum ke lokasi bencana,
serta jumlah sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai
baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Permasalahan itu
menimbulkan kesan bahwa bantuan bagi para korban bencana
berjalan lamban atau korban tidak mendapatkan bantuan
sebagaimana mestinya.
Keterpencilan dan keterisolasian sebagian kelompok
masyarakat, seperti Komunitas Adat Terpencil (KAT), masih banyak
ditemui di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di wilayah yang
belum dapat tersentuh pembangunan infrastruktur atau wilayah yang
29 - 6
secara geografis sulit untuk dijangkau. Menurut Data Pusdatin
Depsos Tahun 2004 dan 2008, masing-masing sebanyak 267 ribu dan
270 ribu rumah tangga termasuk dalam kategori sebagai KAT yang
layak mendapatkan perhatian sehingga mereka dapat terlepas dari
belenggu keterpencilan dan keterisolasian. Selanjutnya, mereka dapat
hidup seperti masyarakat Indonesia pada umumnya.
Permasalahan lain adalah keterbatasan jumlah tenaga lapangan
yang terdidik dan terlatih misalnya dalam penanganan korban
bencana, pemberi pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada PMKS,
serta pelaksana bantuan dan jaminan sosial. Sumber dan potensi para
tenaga lapangan masih ada kendala, yaitu belum tertatanya sistem
dan standar pelayanan minimal bidang kesejahteraan sosial.
Keterbatasan jumlah SDM yang profesional dalam bidang
kesejahteraan sosial, antara lain, disebabkan oleh masih terbatasnya
orang yang berminat dalam pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi
kesejahteraan sosial.
Permasalahan dalam penentuan kriteria dan sasaran penerima
pelayanan atau bantuan (PMKS) masih beragam sehingga
mengakibatkan hambatan pelaksanaan program kesejahteraan sosial.
Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
diperkirakan masih dihadapi dalam beberapa tahun ke depan,
pembangunan kesejahteraan sosial perlu diperkuat dengan
mengikutsertakan peran aktif masyarakat, menggali, dan
mengembangkan nilai-nilai sosial budaya yang ada di masyarakat,
yaitu kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial.
Tantangan dan permasalahan dalam pembangunan SJSN,
terutama, adalah diperlukannya peraturan teknis yang mampu
mengintegrasikan pelaksanaan jaminan sosial berbasis asuransi yang
saat ini pengelolaannya masih bersifat parsial dan pelayanan yang
diberikan masih terbatas. Hal lain yang menjadi tantangan untuk
mewujudkan SJSN adalah peningkatan kualitas pelayanan dan
perluasan cakupan peserta jaminan sosial termasuk bagi kelompok
masyarakat miskin.

29 - 7
II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-
HASIL YANG DICAPAI
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam
meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat akan terus
dilanjutkan guna menjaga kesinambungan program dan kegiatan
pelayanan sosial kepada masyarakat.
Program Pelayanan dan Perlindungan Kesejahteraan Sosial
Anak pada tahun 2005 sampai tahun 2009 dilaksanakan kepada anak
telantar di 33 provinsi, anak jalanan di 24 provinsi, serta anak nakal
dan anak cacat di 33 provinsi. Program tersebut bertujuan
meningkatkan kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan partisipasi
anak, serta menghindarkan anak dari tindak kekerasan, perlakuan
salah, eksploitasi, dan diskriminasi. Selain itu, pelaksanaan program
bertujuan meningkatkan kepedulian masyarakat dalam menangani
masalah sosial, khususnya permasalahan anak di lingkungannya.
Pelaksanaan program pelayanan dan perlindungan
kesejahteraan sosial bagi para lanjut usia telantar yang dilaksanakan
sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 di 33 provinsi bertujuan
untuk meringankan beban pengeluaran dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan sosial bagi lansia
agar dapat menikmati taraf hidup sewajarnya. Kegiatan yang
dilakukan, antara lain, melalui pemberian bantuan sosial, khususnya
bagi lanjut usia telantar yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu
kepada lansia yang sudah tidak produktif dan tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari lagi, berusia 60 tahun ke atas, menderita sakit,
bukan penyandang cacat fisik, mental dan cacat ganda, belum pernah
mendapatkan perawatan/pelayanan secara permanen dan tidak
sedang menerima bantuan/santunan, baik dari Pemerintah maupun
lembaga sosial, serta tidak memiliki sumber penghasilan dari diri
sendiri maupun orang lain dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Pelaksanaan program yang terkait dengan kecacatan adalah
pemberian pelayanan dan rehabilitasi terhadap penyandang cacat.
Sasaran pelayanan terhadap penyandang cacat di 33 provinsi adalah
38 ribu jiwa di tahun 2005, 29 ribu penyandang cacat pada tahun
2006, dan 56 ribu jiwa pada tahun 2007. Kegiatan yang secara rutin
dilaksanakan adalah rehabilitasi sosial dalam bentuk pelayanan

29 - 8
dalam panti dan pemberian bantuan dana jaminan sosial. Dana
bantuan sosial yang diberikan, khususnya penyandang cacat berat
yang derajat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan sangat
bergantung kepada orang lain, tidak dapat menafkahi dirinya sendiri,
dan terdaftar sebagai penduduk setempat ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimal. Selain itu, beberapa kegiatan untuk
pelayanan dan rehabilitasi sosial dilaksanakan melalui 34 unit
pelaksana teknis (UPT), yang terdiri atas 3 balai besar rehabilitasi
sosial, 30 panti sosial dan 1 balai penerbitan braille.
Kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan dan rehabilitasi
terhadap tuna sosial terdiri atas gelandangan, pengemis, bekas
narapidana, dan pekerja seks komersial, dilaksanakan melalui
fasilitas rehabilitasi, baik melalui panti sosial maupun memberikan
penyuluhan langsung kepada mereka. Sementara itu, pelaksanaan
kegiatan rehabilitasi pecandu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (napza) dilaksanakan di 31 provinsi.
Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan dan
rehabilitasi sosial selama tahun 2004 sampai dengan bulan Juni tahun
2009 dapat dilihat dalam tabel di bawah (Tabel 29.1).
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai
lebih dari 100 persen pada tahun 2005 mengakibatkan harga-harga
kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari naik. Untuk mengurangi
dampak kenaikan biaya hidup pada tahun 2005 tersebut, Pemerintah
menyelenggarakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) bagi
19,1 juta rumah tangga sasaran (RTS). Pemberian BLT itu
dilaksanakan selama kurun waktu 1 tahun dengan pemberian secara
bertahap sebanyak 4 kali, yaitu dari kuartal IV tahun 2005 sampai
dengan kuartal III tahun 2006.
Pada tahun 2008, untuk menjaga daya beli masyarakat
terhadap kebutuhan barang-barang pokok akibat kenaikan harga
BBM, Pemerintah kembali menggulirkan BLT kepada 18,8 juta
RTS. Data untuk BLT tahun 2008 menggunakan data RTS penerima
BLT tahun 2005 yang telah diperbaiki, diperbaharui, dan dilengkapi
dengan mencantumkan informasi nama dan alamat (by name by
address) para penerima bantuan.

29 - 9
Tabel 29.1
Data Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial terhadap PMKS (jiwa)
Tahun 2004—2009***)
Jenis PMKS 2004 2005 2006 2007 2008 2009***)
Anak telantar 70.774 65.394 64.894 62.200 67.768 **)
Anak jalanan 55.930 46.800 45.300 21.700 17.500 **)
Anak nakal 11.175 11.080 11.770 8.340 14.583 **)
Anak cacat 5.900 6.065 6.065 6.035 14.550 **)
Lanjut usia 16.590 15.920 15.920 16.000 64.930 70.111
telantar
Penyandang cacat 38.841 37.910 28.670 16.375 80.942 162.592
Tuna sosial *) 5.630 5.330 5.230 3.350 20.882 23.239
Korban 4.990 4.100 4.100 4.100 20.332 19.898
penyalahgunaan
napza
Sumber: Departemen Sosial
Keterangan:
*) Terdiri atas gelandangan, pengemis, bekas narapidana, pekerja
seks komersial.
**) Data bulan Juni 2009 untuk anak telantar, anak jalanan, anak
nakal, dan anak cacat belum tersedia.
***)s.d bulan Juni 2009
Sistem kekeluargaan yang masih erat pada sebagian besar
masyarakat, khususnya di perdesaan, memungkinkan pola
penyaluran melibatkan aspek kekeluargaan pula, seperti aparat
daerah setempat, kepala rukun warga (RW), rukun tetangga (RT),
kepala dusun (kadus), ataupun kepala desa (kades). Oleh karena itu,
pembaruan data BLT tahun 2008 telah melibatkan aparat daerah
setempat.
Selanjutnya, pada tahun 2009, dengan mempertimbangkan
kondisi ekonomi nasional yang diperkirakan belum membaik sebagai
dampak krisis ekonomi global dan masyarakat belum sepenuhnya
pulih dari krisis ekonomi, BLT kembali dialokasikan kepada 18,5
juta RTS dengan jangka waktu pemberian selama 2 bulan. Data yang
29 - 10
digunakan merupakan hasil Program Pendataan Pelayanan Sosial
(PPLS) tahun 2008 yang dilakukan BPS sejak bulan September 2008
dan telah menjadi hasil keputusan rapat Panitia Anggaran Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Khusus untuk pemenuhan kebutuhan pangan, Pemerintah telah
memberikan bantuan dalam bentuk subsidi pangan bagi masyarakat
miskin. Program beras bersubsidi untuk masyarakat miskin (raskin)
pada tahun 2004 mencakup 8,6 juta RTS dengan alokasi beras
sebanyak 2 juta ton, sedangkan pada tahun 2008 mencakup 19,1 juta
RTS dengan alokasi beras sebanyak 3,3 juta ton.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga
RTSM yang memiliki anak balita, atau anak usia sekolah setingkat
SD-SMP, ibu hamil dan menyusui, dan untuk meningkatkan
jangkauan atau aksesibilitas mereka terhadap pelayanan publik
khususnya fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan, mulai tahun
2007 Pemerintah telah mengujicobakan pelaksanaan bantuan tunai
bersyarat dengan nama resmi Program Keluarga Harapan (PKH).
PKH merupakan program pemberian uang tunai kepada RTSM yang
memenuhi persyaratan tertentu. Sasaran PKH adalah RTSM yang
sesuai dengan kriteria PKH (memiliki ibu hamil, ibu menyusui dan
anak usia sekolah setingkat SD-SMP). Program itu merupakan salah
satu upaya Pemerintah dalam mengembangkan sistem perlindungan
sosial di Indonesia.
PKH pertama kali diluncurkan dengan cakupan 7 provinsi
sebagai lokasi uji coba PKH (pilot project), yaitu Provinsi DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Utara,
Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. Lokasi yang dipilih sebagai
uji coba PKH didasarkan pada beberapa kriteria seperti kesediaan
daerah, komitmen pemerintah daerah, kondisi kemiskinan, gizi
buruk, angka putus sekolah dan kesiapan supply side pelayanan
kesehatan dan pendidikan. Tahun 2008 cakupan program ini
diperluas menjadi 13 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Banten, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan
Nusa Tenggara Barat di 70 kabupaten/kota dengan sasaran penerima
manfaat sebanyak 620.000 RTSM.

29 - 11
Guna lebih memantapkan pelaksanaan program, pada tahun
2009 pelaksanaan PKH difokuskan pada perbaikan beberapa
komponen termasuk penyiapan sistem informasi manajemen
(management information system/MIS) serta pelatihan bagi penyedia
layanan pendidikan dan kesehatan. Perluasan dilakukan sebatas pada
penambahan jumlah penerima bantuan menjadi 720.000 RTSM pada
provinsi dan kabupaten yang sama seperti pada pelaksanaan tahun
2008.
PKH diharapkan dapat dikembangkan lebih jauh sebagai
bagian penting dalam pelaksanaan sistem perlindungan sosial.
Program PKH pada tahun 2010 akan difokuskan pada perbaikan
semua komponen PKH, dan secara bertahap direncanakan akan
diperluas.
Dalam hal penanganan korban bencana alam, beberapa hasil
yang telah dilaksanakan, antara lain, adalah (1) pemberian bantuan
fisik dan nonfisik bagi korban bencana alam; (2) pemberian bantuan
peralatan darurat (evacuation kit) yang terdiri atas tenda peleton,
tenda regu, genset, perahu karet bermesin, velbed, rompi pelampung,
alat dapur, mobil dapur umum lapangan (dumlap), dan alat
komunikasi; (3) pemberian bantuan bahan bangunan rumah (BBR)
bagi korban bencana alam diberbagai wilayah di 33 provinsi; dan (4)
pemantapan Taruna Siaga Bencana (Tagana), instruktur, Satuan
Tugas Sosial Penanggulangan Bencana (Satgasos PB), tim reaksi
cepat (TRC), dan penyelenggaraan mobil dapur umum lapangan di
33 provinsi.
Sementara itu, bantuan sosial lain yang telah diberikan kepada
korban bencana sosial akibat konflik sosial yang terjadi di beberapa
daerah, di antaranya adalah (1) pemberian bantuan tanggap darurat
untuk para pengungsi; (2) pemberian bantuan untuk pemulangan
pengungsi/terminasi; dan (3) pemberian bantuan pemulangan pekerja
migran bermasalah.
Dalam memberdayakan masyarakat miskin, dilaksanakan
program bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) yang
diberikan dalam bentuk bantuan modal usaha ekonomi produktif
(UEP). UEP ditujukan untuk memberdayakan masyarakat miskin
yang berkelompok dan membentuk Kelompok Usaha Bersama

29 - 12
(Kube), melalui mekanisme perbankan. Sasaran langkah kebijakan
ini, antara lain, adalah (1) memberikan bantuan modal UEP bagi KK
miskin di 33 provinsi; (2) menentukan lokasi penerima bantuan
berdasarkan syarat dan pertimbangan keberadaan dinas/instansi
sosial, ketersediaan pendamping sosial, tingkat produktivitas
Kube/UMKM, dan kesanggupan melakukan pendampingan sosial,
serta pelaksanaan kegiatan dan evaluasi terhadap bantuan. Selain itu,
beberapa kegiatan seperti program kemitraan usaha antara kelompok
usaha bersama fakir miskin (Kube FM) dengan pihak swasta,
pemberian modal usaha ekonomi produktif (UEP), dan modal usaha
bergulir untuk Kube fakir miskin telah diberikan kepada lembaga
keuangan mikro (LKM) dengan pendekatan bagi hasil (syari’ah).
Dalam pelaksanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil (KAT), hasil yang dilaksanakan pada tahun 2005 dan
tahun 2006 mencapai 13.177 rumah tangga, sedangkan di tahun 2007
mencakup 12.300 kepala keluarga. Kegiatan-kegiatan pokok yang
dilaksanakan meliputi (1) persiapan kegiatan pemberdayaan yang
meliputi pemetaan, penjajagan, studi kelayakan dan pemantapan
kesiapan masyarakat; (2) pelaksanaan kegiatan pemberdayaan yang
berkaitan dengan permukiman dan penempatan warga serta
pemberian stimulus; dan (3) pelaksanaan pemantapan kegiatan
terkait dengan lingkungan sosial, sumber daya manusia, dan kerja
sama pemberdayaan.
Kegiatan penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial
ditujukan untuk (1) meningkatkan kualitas manajemen dan
profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial dilaksanakan
berdasarkan bukti-bukti hasil penelitian empiris atau evidence-based
social policy; (2) peningkatan kualitas sarana dan prasana pelayanan
kesejahteraan sosial; (3) penetapan standardisasi dan akreditasi
pelayanan kesejahteraan sosial; (4) pengembangan sistem informasi
penanganan masalah kesejahteraan sosial; (5) penataan sistem
peraturan dan perundang-undangan kesejahteraan sosial yang
merespons perkembangan masalah kesejahteraan sosial.
Kegiatan yang dilaksanakan, antara lain, adalah (1)
meningkatkan keterampilan para perencana program dalam
mengembangkan mekanisme perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi pelayanan kesejahteraan sosial; (2)
29 - 13
mengkaji dan meneliti upaya peningkatan kualitas pelayanan
kesejahteraan sosial, termasuk manajemen, sarana dan prasarana; (3)
melaksanakan sosialisasi pengarusutamaan gender bidang sosial pada
tingkat akar rumput (grass root level) di 33 provinsi; dan (4)
melaksanakan kegiatan keterampilan dan pengembangan kapasitas
berwawasan gender bagi warga binaan sosial.
Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan
pengembangan kesejahteraan sosial adalah terlaksananya pelatihan
dan pendidikan kedinasan bagi pelaksana pembangunan
kesejahteraan sosial melalui program yang diselenggarakan Sekolah
Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), yaitu pendidikan dengan gelar
D-4 dan pendidikan Spesialis 1 (Sp 1) yang setara dengan S-2 .
Mahasiswa yang melaksanakan pendidikan kedinasan saat ini
mengikuti pendidikan dengan jurusan rehabilitasi sosial dan
pengembangan sosial masyarakat. Semewntara itu, bagi dosen-
dosennya melaksanakan tugas belajar S-3 melalui kerja sama dengan
Universitas Sains Malaysia, yaitu sebanyak 15 orang.
Hasil kegiatan lainnya adalah (a) dimanfaatkannya 21 paket
hasil penelitian, pengkajian, dan studi banding, penataan manajemen
pelayanan kesejahteraan sosial; (b) tersusunnya sistem dan
mekanisme kelembagaan, termasuk standar dan akreditasi pelayanan
kesejahteraan sosial; (c) terlaksananya sosialisasi pengarusutamaan
gender bidang sosial pada tingkat akar rumput (grass root level) di
33 provinsi; (d) terlaksananya pelatihan keterampilan bidang
kewirausahaan yang dikhususkan bagi kelompok miskin perempuan;
(e) terwujudnya sistem informasi pelayanan kesejahteraan sosial; dan
(f) terintegrasinya data dan informasi PMKS ke dalam survei dan
sensus nasional.
Dalam pelaksanaan pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan
sosial, dilaksanakan beberapa kegiatan, antara lain (1) meningkatkan
peran aktif masyarakat dalam mendukung upaya penyelenggaraan
pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS; (2) meningkatkan
kualitas SDM bidang kesejahteraan sosial dan masyarakat
(TKSM/relawan sosial, Karang Taruna, organisasi sosial, termasuk
kelembagaan sosial di tingkat lokal); (3) meningkatkan kerja sama
pelaku usaha kesejahteraan sosial (UKS), masyarakat dan dunia
usaha, termasuk organisasi sosial tingkat lokal; dan (4)
29 - 14
meningkatkan pelestarian dan pendayagunaan nilai kepahlawanan,
keperintisan, kejuangan dan kesetiakawanan sosial (K4S); (5)
Pemeliharaan, pemugaran dan rehabilitasi Taman Makam
Pahlawan/Makam Pahlawan Nasional (TMP/MPN).
Beberapa hasil yang telah dicapai, antara lain (1) terbentuknya
kelompok wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat melalui
pertemuan-pertemuan lembaga sosial komunitas lokal di berbagai
desa; (2) terberdayakannya organisasi sosial masyarakat dan pekerja
sosial masyarakat; (3) terjalinnya kerj asama kemitraan dengan dunia
usaha di beberapa lokasi industri, termasuk pengembangan usahanya;
(4) terlaksananya pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan,
dan kejuangan, dan (5) terpugar serta terpeliharanya Taman Makam
Pahlawan (TMP), Makam Pahlawan Nasional (MPN), pemberian
bantuan bagi perintis kemerdekaan dan janda perintis kemerdekaan,
dan penelitian kesejarahan terhadap Pahlawan Nasional.
Tabel berikut menunjukkan pelaksanaan kegiatan yang
berkaitan dengan pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial
selama tahun 2004 sampai tahun 2009 (Tabel 29.2).
Selama tahun 2005 sampai tahun 2009, telah dilaksanakan
penyuluhan kesejahteraan sosial dengan cara yaitu (1) meningkatkan
penyuluhan kesejahteraan sosial, terutama pada daerah-daerah
terpencil, rawan/paska konflik, rawan bencana dan gugus pulau; (2)
meningkatkan kualitas penyuluh kesejahteraan sosial melalui
pelatihan bimbingan tenaga penyuluh; (3) penyuluhan sosial melalui
film, media massa cetak (majalah, koran, pamplet), dan media
elektronik (televisi dan radio), (5) kegiatan penyuluhan sosial dan
penyuluhan sosial keliling di gugus pulau dan perdesaan di daerah
perbatasan.
Dalam pengembangan dan keserasian kebijakan kesejahteraan
rakyat untuk kepentingan masyarakat, kegiatan yang dilaksanakan
antara lain adalah (1) melaksanakan koordinasi dengan instansi
terkait untuk menyinergikan pendanaan dalam upaya
penanggulangan kemiskinan; (2) melaksanakan koordinasi
pelaksanaan kebijakan pemenuhan kebutuhan dasar dan pangan yang
ditujukan bagi keluarga miskin; (3) mendukung koordinasi
pelaksanaan kegiatan yang menyangkut tanggap cepat kesejahteraan

29 - 15
rakyat, seperti kejadian luar biasa (merebaknya penyakit, korban
bencana alam dan konflik sosial); (4) melaksanakan koordinasi
dalam rangka Program Keluarga Harapan (PKH).
Tabel 29.2
Data Kegiatan Pemberdayaan Kelembagaan
Kesejahteraan Sosial
Tahun 2004—2009*)
Uraian Satuan 2004 2005 2006 2007 2008 2009*)
Pemberdayaan Karang Taruna KT 2.595 2.407 2.325 2.368 2.365 515
Pemberdayaan Organisasi Orsos 1.821 1.747 1.146 1.218 4.975 1.039
Sosial/Lembaga Swadaya
Masyarakat
Pemberdayaan Pekerja Sosial PSM 5.890 5.412 5.462 5.462 5.436 1.680
Masyarakat
Wahana Kesejahteraan Sosial WKSBM 300 122 122 330 320 154
Berbasis Masyarakat
Kerjasama Kelembagaan Kegiatan -- -- -- 273 192 28
Sosial Masyarakat
Perbaikan Taman Makam TMP 45 54 54 36 35 33
Pahlawan
Pemugaran Taman Makam TMP -- 11 8 -- -- 1
Pahlawan
Pemeliharaan Makam MPN 6 36 78 -- 78 83
Pahlawan Nasional
Pemeliharaan Rumah Perintis Rumah -- 36 78 -- 108 106
Kemerdekaan/Janda
Bantuan Keluarga KK -- 68 68 -- 74 74
Pahlawan/Warakawuri

Sumber : Departemen Sosial


Keterangan : *) Data hingga bulan Juni 2009

Hasil-hasil yang telah dicapai selama tahun 2005 sampai tahun


2009, antara lain, adalah (1) tersusunnya kesepakatan mengenai
kebijakan dan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan
berbagai instansi; (2) tertanganinya masalah strategis yang

29 - 16
menyangkut tanggap cepat kesejahteraan rakyat, seperti kejadian luar
biasa (merebaknya penyakit, korban bencana alam dan konflik
sosial); (3) terlaksananya koordinasi pemberian bantuan bencana
yang selama ini terjadi di berbagai wilayah; (4) terserasikannya
penanganan masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan
rakyat, terutama fakir miskin dan orang tidak mampu; dan (5)
terbentuknya lembaga Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang
diharapkan dapat mengharmonisasikan dan mempercepat
pelaksanaan SJSN.

III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN


Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang masih akan
dihadapi, tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pembangunan
perlindungan dan kesejahteraan sosial, antara lain, menyempurnakan
sistem jaminan dan bantuan kesejahteraan sosial bagi penduduk
miskin, rentan, dan PMKS lainnya.
Selanjutnya, dalam meningkatkan kualitas hidup para PMKS,
maka perlu untuk meningkatkan pembinaan, pelayanan dan
perlindungan sosial dan hukum bagi korban eksploitasi, perdagangan
perempuan dan anak, dan korban kekerasan, serta meningkatkan
kualitas pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak
telantar, termasuk di dalamnya adalah anak jalanan, anak nakal, dan
anak cacat.
Dalam rangka pemberian bantuan dasar kesejahteraan sosial
bagi korban bencana alam dan sosial, perlu menjamin ketersediaan
bantuan darurat sebagai buffer stock kesiapsiagaan menghadapi
bencana, seperti beras, lauk-pauk, sandang dan peralatan dapur
keluarga, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, terutama
daerah-daerah yang rawan bencana alam.
Guna mengantisipasi dampak dari gejolak sosial ekonomi,
pada tahun 2010, Pemerintah berencana akan tetap menyalurkan
bantuan pemenuhan kebutuhan pangan dalam bentuk subsidi beras
(Raskin) bagi 17,5 juta RTS dengan alokasi sebanyak 15
kg/RTS/bulan.

29 - 17
Dalam rangka meningkatkan jangkauan pemberdayaan sosial
dan arah pemberdayaan sosial yang ditetapkan, kondisi sasaran
program perlu diperhatikan. Selain itu, diperlukan usaha untuk lebih
memantapkan dan meningkatkan kinerja program dan percepatan
pemberdayaan sosial, antara lain dengan menyesuaikan program-
program pemberdayaan sosial ke dalam payung Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM dalam
penanggulangan bencana dan mendukung pelayanan kesejahteraan
sosial bagi PMKS, perlu meningkatkan kemampuan tenaga
pelaksana pelayanan kesejahteraan sosial, misalnya melalui
pendidikan dan pelatihan kepada Taruna Siaga Bencana (Tagana),
Tim Reaksi Cepat (TRC), petugas posko Penanggulangan bencana,
dan Satuan Tugas Logistik.
Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan kesejahteraan
sosial yang lebih efektif dan tepat sasaran, perlu ditingkatkan kualitas
penyuluhan khususnya di daerah perbatasan, gugus pulau, rawan
konflik dan kumuh yang dilaksanakan melalui media, masa baik
cetak maupun elektronik. Selain itu, perlu pula ditingkatkan kualitas
sistem pendataan dan pelaporan, baik di tingkat pusat maupun
daerah.
Dalam rangka mewujudkan suatu sistem perlindungan sosial
yang lebih efektif dan tepat sasaran, pemberian bantuan langsung
tunai melalui pelaksanaan PKH kepada rumah tangga sangat miskin
yang memenuhi persyaratan tertentu diharapkan menjadi suatu
rintisan yang akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
terutama melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Pelaksanaan
PKH pada tahun 2010, akan difokuskan pada perbaikan-perbaikan
beberapa komponen pelaksanaannya, seperti sistem informasi
manajemen (MIS) dan sistem verifikasi. Pertimbangan lainnya
adalah untuk perluasan secara nasional, masih diperlukan survei
tambahan oleh BPS untuk menentukan RTSM yang sesuai dengan
kriteria PKH, yaitu RTSM yang memiliki ibu hamil, ibu menyusui,
anak balita, atau anak usia sekolah SD-SMP.
Dalam mewujudkan SJSN, DJSN secara bertahap akan
bertugas merumuskan kebijakan penyelenggaraan jaminan sosial

29 - 18
secara menyeluruh. Agenda regulasi yang sedang disusun dan
menjadi prioritas adalah ketentuan mengenai bantuan iuran bagi
penduduk miskin dalam keikutsertaan program jaminan kesehatan
bagi seluruh masyarakat. Selain agenda tersebut, regulasi mengenai
kedudukan dan keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) juga senantiasa akan diselaraskan dengan agenda
pembangunan SJSN.

29 - 19

Anda mungkin juga menyukai