DISUSUN OLEH:
M. TAUFIQ AMIR, PH.D
Modul
Diterbitkan oleh
Penerbit Universitas Bakrie
Jl. HR Rasuna Said, Kav C-22
Kuningan – Jakarta Selatan 12920
Telp: 526 1448
http://www.bakrie.ac.id
Dilarang menyalin dan memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi Modul ini tanpa izin tertulis
dari penerbit.
iii
Daftar Isi
1. Compassion dalam dunia bisnis ...................................................................................................... 1
Memahami compassion dalam pekerjaan .......................................................................................... 2
Compassion dan kapabilitas bekerjasama .......................................................................................... 4
Compassion dan High Quality Relationship ........................................................................................ 5
2. Compassion sebagai elemen bisnis yang positif ............................................................................. 7
Positive Organizational Scholarship .................................................................................................... 8
Positive Leadership dan Positive business .......................................................................................... 9
Seperti apa positive business? ........................................................................................................... 10
3. Leading with Compassion ............................................................................................................. 13
Dicintai sekaligus efektif ................................................................................................................... 13
Yang hangat lebih disukai ................................................................................................................. 14
Compassion dan efektivitas tim ........................................................................................................ 16
Compassion untuk perberdayaan karyawan .................................................................................... 17
Pemimpin “Level 5 executive” .......................................................................................................... 17
Coaching, compassion & leader ........................................................................................................ 19
Praktek loving kindness ..................................................................................................................... 21
Menggandakan kebajikan ................................................................................................................ 22
Manfaat menggandakan kebajikan.................................................................................................... 23
Melihat kebajikan dari diri kita dan dari orang lain ...................................................................... 24
Kita terbiasa memberikan kebajikan kesetiap orang ..................................................................... 24
Rasa percaya diri akan kekuatan kita untuk mengubah sesuatu.................................................... 24
5. Memengaruhi dengan positivity ................................................................................................... 25
Kecenderungan otak pada ancaman ................................................................................................ 26
Awal mulanya di sistem limbik.......................................................................................................... 27
Respon “mendekat” atau “menjauh” ............................................................................................... 28
Walk toward, Run Away ................................................................................................................... 29
Ketika emosi negatif menyabotase................................................................................................... 29
Model SCARF untuk memengaruhi ................................................................................................... 30
Status ............................................................................................................................................. 31
Certainty........................................................................................................................................ 32
Autonomy ...................................................................................................................................... 32
Relatedness ................................................................................................................................... 34
Friend atau Foe.............................................................................................................................. 35
iv
Dalam organisasi bisnis karyawan selalu dituntut untuk memiliki produktivitas dan
kinerja yang tinggi. Kesuksesan bisnis sangat tergantung pada keunggulan kinerja karyawan ini
dan serta kreativitas mereka mengatasi masalah dalam pekerjaan. Ukuran-ukuran seperti marjin
laba, pangsa pasar, pendapatan dan target yang tinggi dari semuanya menjadi bagian penting
dari semua ini. Bila penuh dengan target, persaingan yang penuh intrik dan drive untuk unggul,
lantas adakah posisi untuk karyawan berperilaku compassion?
Tak bisa disangkal betapa mutlaknya ukuran-ukuran di atas bagi organisasi bisnis.
Namun, kalau kita bicara kelanggengan perusahaan, banyak yang mengatakan ukuran-ukuran
tadi tidak cukup. Necessary but insufficient. Mengelola compassion adalah bagian dari upaya
melengkapi pencapaian pada ukuran-ukuran tadi. Salah satu potensi peran kuat compassion
adalah dalam menciptakan hubungan yang bermutu tinggi (high quality relationship) antar
karyawan. Trust, rasa saling percaya yang menjadi salah satu produk compassion, menjadi
fondasi dalam mutu dan kedalaman hubungan antar karyawan. Ia menjadi perekat dalam
organisasi bisnis, seperti juga pada kehidupan sosial kita sehari-hari.
Compassion sebagai perekat hubungan karyawan konsisten dengan fakta bahwa umat
manusia sekarang hidup dengan saling ketergantungan. Organisasi sangat tergantung dengan
kedekatan sesama karyawan, dan kerjasama serta koordinasi menjadi pencapaian penting baik
organisasi maupun individu (Rynes, Bartunek, Dutton, & Margolis, 2012).
Gagasan compassion sebenarnya bukan hal yang baru dalam pembahasan dalam bidang
sosiologi, filosofi atau keagamaan. Misalnya, kita tahu apapun agama di dunia selalu
menganjurkan bertindak welas asih kepada sesama. Dalam doktrin-doktrin agama, Tuhan selalu
dihadirkan sebagai sosok yang penuh welas asih pada umatnya. Tradisi-tradisi di dalam
masyarakat juga selalu kaya dengan nilai-nilai belas kasih. Ajaran-ajaran orang tua kita selalu
memberi petuah untuk bersikap baik kepada umat manusia, apalagi bila mereka mengalami
sebuah penderitaan.
Pembahasan compassion dalam ilmu manajemen atau organisasi bisa dikatakan relatif
baru. Namun demikian, dengan situasi seperti yang digambarkan di atas, membawa masalah
kepedulian (care) dan compassion (welas asih) kedalam ilmu manajemen, upaya yang harus
kita dukung. Setidaknya, karena sudah banyak riset dalam bidang psikologi industri yang
menemukan bahwa aspek aspek dalam compassion seperti rasa percaya, empati, tindakan penuh
kebajikan (goodness) memberikan efek positif kepada individu, seperti pada kebahagiaan
2
bekerja (well-being) dan kemampuan bangkit dari masalah (resiliensi). Dari segi kelompok
maupun organisasi, compassion juga sering ditemukan sebagai sumber energi dalam upaya
menguatkan hubungan antar karyawan dan meningkatkan modal sosial perusahaan. Di sisi lain,
seperti yang telah disinggung di atas, perilaku negatif juga meningkat dari segi ragam dan
intensitasnya. Kita semakin sering mendengar perilaku kontras yang bersumber dari seperti
ketidak acuhan, perilaku yang kasar, bullying atau sejenisnya.
“Compassion is a mental state endowed with a sense of concern for the suffering of
others and aspiration to see that suffering relieved”.
Menurut rumusan ini ada tiga komponen penting dari compassion. Yang pertama
adalah komponen afektif: “Saya merasakan anda” (I feel for you). Kemudian yang kedua
adalah komponen kognitif: “Saya memahami anda” (I understand you). Sedangkan yang
ketiga adalah komponen komponen motivasi: Saya ingin membantu anda (I want to help you).
Nanti di bab 3, kita akan terapkan rumusan Jinpa ini terkait dengan masalah kepemimpinan.
Lebih fokus untuk urusan keorganisasian, Kanov et al. (2004), merumuskan serupa, tapi
lebih ringkas yakni terdiri dari tiga proses: noticing, feeling dan responding. Jadi kita pertama
3
menyadari bahwa ada yang sedang mengalami penderitaan, kemudian merasakan, seakan-akan
kita turut menderita, seperti berempati atas kesulitan, derita yang mendalam, atau rasa khawatir
yang muncul. Kemudian, kita terlibat dalam tindakan yang penuh compassion, seperti
menolong mengurangi atau meniadakan kesulitan-kesulitan itu.
Bila dalam kehidupan sehari-hari perasaan kita tersentuh dan prihatin atas situasi yang
kurang menguntungkan pada orang lain, itulah awal dari compassion. Misalnya kita rasakan itu
ketika peminta-minta (yang sungguhan!) melintasi mobil kita di lampu merah. Saat kita melihat
dari kejauhan, satu keluarga miskin dengan tempat tinggal apa adanya di kolong jembatan atau
di bantaran sungai. Saat menyaksikan TV yang menyiarkan liputan masyarakat pra sejahtera
yang berebut dalam satu pembagian makanan. Nah, seperti apa compassion dalam dunia kerja?
Tak berbeda jauh. Bukankah ada saja rekan kita yang mengalami berbagai beban
masalah yang membuatnya dirudung sedih. Hal-hal yang tidak menguntungkan,
memprihatinkan, penderitaan, adalah fakta yang selalu dialami karyawan dalam pekerjaan. Ada
yang merasa atasannya terlalu keras atau kasar menyikapi kinerja yang kurang memuaskan.
Atau karena rentetan persoalan dalam pekerjaan, yang membuat stress. Rencana perubahan
strategi perusahaan yang “menganggu” rencana karier seseorang pun berpotensi memberi
tekanan. Misalnya pemindahan jabatan atau lokasi pekerjaan. Atau promosi, tapi bukan pada
bidang yang sedang diminati atau diincar. Bisa juga karena yang perasaannya terhina karena
ada rekan kerja satu tim yang tidak punya rasa hormat bekerjasama. Begitu pula kalau rekan
kerja kita mengalami kecelakaan kerja. Bahkan orang bisa terlihat tertekan, ketika dia tidak
berhasil menemukan makna apa-apa dalam pekerjaannya.
Daftar di atas akan terus bertambah bila masalah pribadi kita sertakan: yang rumahnya
baru saja kebakaran; yang keluarganya mengalami kecelakaan parah; yang anaknya divonis
kanker oleh dokter; yang terpaksa bercerai dengan pasangannya. Semua ini berdampak kuat
pada karyawan lain dan organisasi, ketika ujungnya ketidakhadiran meningkat, karyawan
keluar masuk, produktivitas yang merosot, atau biaya asuransi yang melonjak. Selain biaya
dalam bentuk uang, kondisi ini juga menyebabkan berbagai biaya sosial seperti menurunnya
mutu hidup karyawan. Semua ini bisa diminimalkan, bila tidak menghilangkan sama sekali,
dengan praktik-praktek compassion, baik itu dilevel organisasi maupun individu. Lebih bagus
lagi bila praktek ini juga meluas tidak sekadar pada karyawan saja, tapi juga pada stakeholder
yang lain, seperti pemasok atau pelanggan.
Paling mudah untuk membayangkan proses seperti ini dengan melihat profesional di
dunia medis yang memberikan perhatian pada para pasisen. Praktisi di rumah sakit berperan
menentukan sekali dalam penyembuhan orang yang sakit. Ketika mereka memberi perhatian
4
yang penuh pada para pasien, mereka akan terhubung secara penuh pula dan
memperlakukannya sebagai orang yang utuh. Bukan sebagai pesakitan atau sekadar orang yang
mengalamikecelakaan.
Selain berperan sebagai penyembuh, compassion juga memainkan perannya pada pola
mutu hubungan antara karyawan. Bayangkan kekuatan hubungan antara karyawan sekuat
hubungan yang dibangun oleh praktisi rumah sakit dengan pasiennya. Compassion sudah lama
dikenal sebagai sumber kemampuan menciptakan memperkuat dan mempertahankan hubungan
manusia dengan komunitas. Compassion penting bagi aspek sosial dan hubungan di organisasi.
Ia dapat dilihat juga sebagai sumber menciptakan kondisi dimana organisasi dapat menjadi
powerful force dalam perubahan dan hal yang lebih luas. Bagaimana mekanismenya?
Tindakan kecil compassion dapat bersifat generative – ia menghasilkan sumberdaya
yang penting dan dapat diperbaharui, menghasilkan dan memperkuat nilai-dan keyakinan
penting, juga mengembangkan kecakapan berhubungan. Compassion memperkuat rajutan
sosial yang memperkuat kapabilitas bekerja sama organisasi dengan meningkatkan kompetensi
kolektif sehingga kapasitas organisasi secara keseluruhan juga meningkat dalam menanggung
beban dan masalah perusahaan. Rajutan ini berfungsi sebagai sebuah kapabilitas untuk dapat
saling bekerja sama. Bagian berikut memperjelas hal ini.
Selain karena menghasilkan “resources “ dalam bentuk trust, hubungan bermutu tinggi,
compassion memberikan 2 pilar lain untuk peningkatan kapabilitas bekerja sama. Pilar-pilar itu
adalah: 1) Memperkuat nilai2 dan keyakinan yang dianut organisasi, 2) Mengembangkan
kemampuan dalam berhubungan. Tindakan compassion bisa memperkuat nilai-nilai dan
keyakinan yang karena ia secara simbolik menegaskan nilai-nilai dalam menghargai saling
menghormati martabat karyawan. Juga, compassion menegaskan penerapan kebajikan, bukti
komitmen karyawan merasa memiliki satu sama lain. Ketika ada karyawan yang membantu
meringankan masalah rekan kerjanya, karyawan itu menunjukkan ia berpusat pada “other
interest” bukan melulu pada “self-interest” yang pada gilirannya memperkuat rajutan sosial di
organisasi. Tindakan-tindakan berupa kebajikan yang kecil-kecil pun bisa mendemontrasikan
betapa indahnya compassion. Ini akan mengingatkan para karyawan bahwa mereka pun bisa
mencoba mengandalkan rekan-rekannya bila suatu saat mengalami kesulitan.
Bertindak compassion, atau menyaksikan orang lain yang compassionate, - seperti
sebuah latihan untuk skill (know-how) bagi seseorang. Ia akan membangkitkan dan
memperdalam compassion seseorang. Skill lain yang sekaligus akan terbangun adalah
kemampuan untuk merasakan kondisi emosi orang lain, dan juga kemampuan untuk
menyesuaikan emosi sendiri (masih ingat dengan Emotional intelligent Daniel Goleman ?). Dua
hal ini bisa berujung pada perilaku yang menginginkan orang lain sukses; sebuah kecakapan
yang penting untuk memimpin dan bekerja sama dalam tim. Ia akan membangun kesadaran atas
interest orang lain, yang memampukan orang lain untuk sukses dalam berbagai urusan.
Bayangkan bila setiap orang perhatian seperti ini dalam sebuah tim: kemampuan bekerjasama
yang tinggi dan juga kemampuan memberdayakan sesama. Tak heran kalau Dalai Lama pernah
mengatakan (Tan, 2012):
“A mind committed to compassion is like an overflowing reservoir – constant sources of
energy, determination and kindness”.
Kapasitas bekerja sama yang dihasilkan dari bersikap dan berperilaku compassion, bisa
menjadi sumber terciptanya sebuah hubungan bermutu tinggi dalam perusahaan.
Bahasan tentang kepemimpinan yang penuh dengan welas asih tidak terlepas dari upaya
berbagai kalangan, baik itu para akademisi maupun praktisi bisnis untuk mengembangkan
pemikiran dan praktek bisnis yang positif. Gerakan ini pada dasarnya berkembang dengan
pertumbuhan bidang psikologi positif. Psikologi positif adalah ilmu psikologi yang fokus pada
pengalaman positif manusia (Seligman, 2002). Seligman dan rekan-rekannya menganjurkan
8
bahwa ilmu psikologi sebaiknya tidak hanya memperbaiki yang salah, kelemahan-kelemahan
atau yang buruk pada manusia. Tapi juga fokus pada pengidentifikasian dan pengembangan apa
yang baik, kekuatan-kekuatan dan hal-hal yang baik. Seligman (2002) mengatakan ada tiga
pilar utama dari psikologi positif: pengalaman positif manusia, karakteristik kekuatan dan
kebajikan individu, dan institusi serta masyarakat yang positif. Para akademisi di bidang
keorganisasian menyambut baik gerakan dan mengadopsi pendekatan psikologi dengan
mengembangkan ilmu-ilmu keorganisasian yang sejalan dengan psikologi positif. Salah satu
mazhab yang sangat konsisten dengan psikologi positif adalah para pakar organisasi yang
bergabung dalam gerakan positive organizational scholarship.
- Fokusnya pada kinerja yang positive deviance --- kesuksesan yang dihasilkannya
melampaui norma-norma atau kelaziman yang ada dalam sesuatu organisasi.
- Bias afirmatif atau berorientasi pada kekuatan bukan pada kelemahan; optimisme
ketimbang pesimis; dan komunikasi yang suportif ketimbang komunikasi yang penuh
kritik.
- Berfokus pada kebajikan atau pada kondisi terbaik karyawan karena keyakinan bahwa
pada dasarnya semua orang itu punya kekuatan.
negatif Kita rindu pada pembelajaran, hal-hal yang mengembangkan diri kita, hal-hal yang
baik (Cameron, 2008).
Positivitas yang ada dalam organisasi membuka pintu dan meningkatkan sumberdaya
yang ada pada individu, kelompok dan organisasi. Keterbukaan ini membuat kemampuan yang
ada dikembangkan, kapasitas yang ada dibangun dan diperkuat.
Yang berikutnya positive leadership konsisten dengan asumsi eudemonic. Asumsi ini
menjelaskan bahwa semua sistem kehidupan manusia memiliki kecenderungan untuk menuju
pecapaian pada aspirasi tertinggi dari kemanusian. Organisasi pun sama, ada nilai-nilai
kebajikan dan kondisi terbaik dari manusia yang menjadi aspirasi dan ingin dicapai. Tak perlu
menanti apa hasilnya, memberi perhatian pada kebajikan pada dasarnya memberi manfaat
dengan sendirinya. It is good for its own sake. Meski kebajikan yang dimaksud di sini bisa
diperdebatkan, serta pertanyaan tentang apakah ada kebaikan yang universal bagi segala jenis
perusahaan, masyarakat dan budaya kita punya banyak sifat dasar yang dianggap sebagai baik.
Hal-hal yang merepresentasikan hal-hal baik secara moral dan yang menunjukkan aspirasi
tertinggi atas hakikat umat manusia pada dasarnya sama.
POS dan positive leadership berposisi menyuarakan niat untuk meningkatkan kondisi
karyawan yang berkiprah di semua organisasi. Meski secara tradisionil, hasil positif seperti
meningkatkan nilai organisasi dan mencapai sasaran atau profit sudah sering dikenal tidak
diabaikan, POS dan positive leadership punya bias atas kondisi yang life-giving, generatif, dan
memperbarui kondisi manusia terlepas apakah mereka terkait dengan manfaat politik atau
ekonomis itu.
Bagi mereka POS seperti sebuah pendekatan naif, yang tidak relevan dalam menghadapi
kondisi ekonomi yang penuh dengan ancaman. Bahkan ada yg menganggap ini sebagai sebuah
10
ilusi. Memang faktanya bahwa suara keutamaan (virtue), penuh perhatian (caring), welas asih
(compassion) dan kebajikan (goodness) – hal-hal yang mendatangkan kebaikan – jarang hadir
dalam berita maupun pembicaraan bisnis. Yang lebih sering adalah bias negatif; menang atau
kalah dalam bersaing, menaklukkan pesaing, jauh lebih banyak. Perhatian para pemimpin pun
cenderung ke hal negatif apalagi ditengah-tengah situasi sulit. Tapi penelitian-penelitian di
bidang organisasi, jasa keuangan, dan lain sebagainya oleh peneliti di bidang POS justru
menampik keras anggapan ini. Banyak upaya positive leadership membuktikan bahwa bisnis
yang positif bukan sekadar omong kosong.
Ciri positive business yang menerapkan positive leadership dapat dibedakan dari hasil
akhirnya, dan dari segi cara yang digunakan. Berkaitan dengan hasil, positive business do well
and do good ---(intro POS handbook). PB adalah organisasi yang kinerja dan
kemampulabaannya tinggi (do well), sementara dalam meraih hasil itu mereka menggalakkan
mendorong kesejahteraan karyawannya dan masyarakat (they do good). Upaya mencapai ini
tidak saja menggunakan perangkat/cara yang tersedia/biasa. Mereka mencapai hasil ini dengan
melejitkan sisi terbaik karyawannya untuk membantu mereka bertumbuh, dengan
memanfaatkan kekuatan dan bakat unik mereka. Mereka merancang pekerjaan untuk
memberdayakan karyawan sehingga menjadi generatif – menghagasilan gagasan baru dan lebih
baik, produk, jasa dan proses yg membantu mereka gesti dan adaptif dalam perubahan
lingkungan --- hal yang penting pula untuk selalu terdepan dalam hal inovasi. Dengan cara
seperti ini positive business terhindar dari cara-cara yang hanya menguras sumberdaya manusia,
sosial dan lingkungan. Positive business lebih generatif dan menghasilkan kelanggengan.
Fokus POS dan positive business bukan hanya ada pada sisi kemanusiaan dan sosial
dari bisnis saja. Pada ranah pemasaran misalnya, positive dapat memberi perspektif baru dalam
menciptakan dan mengkomunikasikan penyampaian nilai pada konsumen demi keuntungan
organisasi dan stakeholdernya. POS dan positive business melihat aktivitas pemasaran lebih
dari sekadar untuk keuntungan stakeholder bisnis, tapi juga untuk fokus benar-benar memahami
kebutuhan pelanggan utk menghasilkan pemahaman tinggi atas kebutuhan konsumen guna
menciptakan hubungan bermutu tinggi. Begitupula, lebih dari sekadar aktivitas penjualan,
positive business berupaya memahami dan meningkatkan kehidupan pelanggan demi mutual
benefit berjangka panjang. Yang diciptakan dalam pemasaran atau penjualan yang bernuansa
positive business lebih, dari gagasan yang bersifat “surprise dan delight” untuk menyertakan
11
proses hubungan yang lebih mendasar yang membangun rasa eraya, empati serta saling
memahami perspektif yang diajukan.
Positive business juga bisa diterapkan dalam fungsi keuangan. Manajemen keuangan yg
biasanya dianggap sebagai aktivitas yang menyeimbangkan risiko dan profitabilitas, sementara
berusaha meningkatkan kesejahteraan kekayaan dan nilai saham perusahaan. Positive finance
misalnya termasuk kebijakan terbuka “open book” dan memberikan fasilias pinjaman
keuangan. Open book ini terkait dengan upaya sedapat mungkin untuk terbuka pada karyawan
atas informai yang relevan mereka ketahui tentang perusahaan. Misalnya soal pendapatan,
profit, harga pokok, cash flow, dan biaya sehingga bisa mengambil keputusan dengan baik.
Transparansi diupayakan agar ada rasa memiliki yang pada gilirannya memberikan rasa
memiliki atas keberhasilan organisasi. Kalau microfinance, memberikan jasa provisi keuangan,
khususnya mereka yang yang menjawab mereka dua dan tidak dapat menjadi mereka tidak
microcredit bisa membantu entrepreneurial activities yang bisa membantu individu.
Sedangkan untuk yang operasional, positive bisnis bisa terkait dengan merancang proses
bisnis untuk produksi barang atau jasa. Efisiensi menjadi tujuan dalam fungsi operasi. Tapi
selain efisiensi, ia juga bisa tumbuh dan mengembangkan. Misalnya di industri perbankan yang
banyak anjuran untuk menggunakan ATM agar operasi hemat, PB bisa mengupayakan teller
terberdayakan agar bisa menciptakan loyalitas dan produk/jasa baru untuk mengantisipasi
perubahan pada konsumen.
Kim Cameron menawarkan 4 strategi, yaitu iklim organisasi yang positif (positive
climate), hubungan-hubungan yang positif (positive relationship) dan komunikasi yang positif
(positive communication), dan pemaknaan yang positif (positive meaning).
Compassion bisa berperan dalam setidaknya pada 4 strategi ini. Ia akan memudahkan
upaya manajer menciptakan iklim yang positif. Iklim positif adalah kondisi dimana emosi
positif mendominasi suasana kerja, mengalahkan emosi-emosi negatif. Karyawan cenderung
memiliki sikap optimis dan cerita ketimbang karaywan yang penuh stres, cemas atau saling
curiga. Seperti yang dibahas di bab 5, energi negatif lewat kejadian-kedjadian buruk, seperti
umpan balik yang bersifat menjegal lebih berpengaruh dan bertahan lebih lama ketimbang
kejadian-kejadian yang positif, encorouging, dan ceria. Sebuah umpan balik negatif yang hadir
ditengah pujian-pujian, kejadian yang merugikan ditengah keuntungan, insiden
penyalahgunaan dibanding dengan kejadian memupuk/nurturing, kejadian traumatik ditengah
kejadian yang menyenangkan bisa berdampak secara tidak seimbang pada individu dan
12
organisasi. Compassion bisa saling melengkapi dengan upaya organisasi menciptakan suasana
yang kondusif untuk saling memaafkan (forgiveness) dan sekaligus menggalakkan sikap penuh
syukur (gratitude).
mengherankan bisa seorang pemimpin bisa dicintai sekaligus menjadi efektif di saat yang
bersamaan.
Pembahasan kita di atas bukan untuk mengatakan bahwa compassion hanya menjadi
menjadi urusan pemimpin. Seperti juga kaidah-kaidah kepemimpinan lainnya, juga perlu
diterapkan oleh karyawan dalam tingkatan manapun. Namun kita tidak bisa menafikan bahwa
pengaruh – sesuatu yang mutlak dari seorang pemimpin –, dan kekuatan seorang pemimpin
akan berlipat ganda dengan keterampilan dan pendekatan yang penuh compassion. Orang akan
menjadi penurut dengan arahan pemimpin, ketika pemimpinnya menawarkan pendekatan yang
penuh kasih. Di bawah saya akan tunjukkan bahwa ini bukan sekadar “common sense” atau
“logic” saja. Tidak sedikit riset yang membuktikan keampuhan compassion demi keefektifan
kepemimpinan.
yang cukup menentukan. dapat membedakan pemimpin yang sukses dan mana yang kurang
sukses.
Hasil-hasil penelitian ini menarik karena ternyata tak sejalan atau berbeda dengan
anggapan umum yang ada selama ini. Untuk menjadi seorang atasan yang efektif, atasan perlu
bersikap dingin, tidak ramah, kaku dan terkesan penuh analisis. Begitupula, yang namanya
pemimpin dianggap harus sangat tegar, tidak butuh rasa cinta, dan tidak boleh cengeng! Bagi
sudut pandang ini, atasan hanya perlu dihormati dan yang penting bagi mereka hanyalah posisi
kepemimpinannya. Mereka harus menunjukkan bahwa mereka tegas, tidak tergoda atau tidak
“lembek” dengan rengekan bawahannya. Terlalu peduli dengan perasaan orang lain justru tidak
baik bagi kepemimpinan mereka. Hasil penelitian di atas memutar balikkan anggapan ini dan
menunjukkan bahwa kehangatan dan keintiman justru hadir sebagai karakter yang diapreasiasi
lebih baik. Dengan kehangatan ini pemimpin bisa lebih dekat dengan karyawannya dan juga
lebih terbuka untuk berbagi pemikiran dan perasaan.
Pemimpin yang baik baru dapat menjalankan tugasnya ketika ia disukai oleh orang. Bila
anda ingin efektif, carilah cara agar disukai dan compassion adalah salah satu jalur cepatnya.
Dengan sukai anda akan semakin terbuka dan mendapatkan keterbukaan pula dari orang lain.
Berperilaku tidak peduli atas perasaan dan pikiran orang atas apa yang kita kerjakan
merupakan sikap para pecundang, mereka yang mementingkan diri sendiri dan arogan. Perilaku
semacam ini hanya akan menjauhkan anda dari tujuan anda dan organisasi.
Kalau kehangatan dan penuh kasih dianggap penting oleh karyawan, maka sebagai
pemimpin sering-seringlah anda mengekspresikan hal itu. Tunjukkan dengan penuh ketulusan
dan hargai pula orang yang menunjukkan kehangatan dan rasa kasih. Tunjukkan pula bahwa
organisasi anda membutuhkan cara pandang, sikap dan perilaku seperti itu. Janganlah anda
membayangkan menunjukkan affection berarti menunjukkan kelemahan, ketidaktegasan dan
menunjukkan kelembekan. Jangan gengsi menunjukkan rasa cinta dan afeksi karena anda pikir
kedua hal itu bukan istilah dan urusan yang tepat untuk bisnis. Padahal chemistry yang
terbangun antara pemimpin hebat (great leader) dan mereka yang mengikutinya ditentukan
oleh perasaan yang terlibat. Orang hanya mau kerja keras dan lebih efektif demi orang yang
disukatinya, dan sebaliknya ketika kita disukai kita berupaya bekerja secara baik pula. Jangan
heran penelitian-penelitian tentang ganjaran non keuangan juga mendukung temuan ini.
Sebagai contoh, salah satu yang paling dihargai karyawan diluar ganjaran bersifat keuangan
adalah “ucapan tanda terima kasih”. Atasan-atasan di perusahaan-perusahaan yang inovatif juga
ditemukan lebih sering menggunakan kata terima kasih.
16
Sekali lagi, bersikap penuh kasih dan cinta bukan semata-mata dominansi atasan.
Siapapun dalam jenjang organisasi bisa dan perlu melakukannya. Bukan hanya penting agar
orang bisa anda pengaruhi dan mengikuti yang anda mau, tapi juga bisa berperan dalam
pengembangan karier anda. Semakin anda mencintai lebih besar peluang anda dicintai dan
semakin ingin anda bekerja dengan baik. Semakin efektif anda bekerja, semakin terbuka pintu-
pintu baru untuk pengembangan karier anda.
Tim yang efektif sangat menentukan pula kesuksesan kepemimpinan, karena bila
perpaduan kekuatan dalam tim dapat menjadi sinergi, maka arahan yang diberikan oleh
pemimpin dengan sendirinya dapat diharapkan efektif pula. Dalam membicarakan tim, lagi-lagi
aspek hubungan dalam compassion menjadi kunci. Affection yang terlibat dalam dinamika tim
menentukan sukses tim itu. Salah satu yang paling yang relevan adalah saat kita membicarakan
“trust”, sebagai wujud dari compassion. Rasa percaya muncul sebagai dasar dari keefektifan,
seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Lencioni (2006).
Kata Lencionni (2006) ada lima disfunction dalam tim (pyramid). Justru yang paling
mendasar dalam masalah-masalah di tim adalah the absence of trust. Ini masalah yang paling
besar karena dia bisa membuat atau memperburuk sumber-sumber ketidakefektifan tim lainnya.
Sumber lain itu adalah fear of conflict, lack of commitment, avoidance of accountability dan
inattention to results. Diagram berikut menggambarkan model disfungsi tim dari Lencioni.
Model dari Lencioni ini menunjukkan bahwa “Trust” menjadi fondasi bagi keefektifan
sebuah tim. Tim yang baik para anggotanya saling empercayai satu sama lain bahkan dalam
tatanan emosionil. Artinya, tidak ada lagi batasan psikologis yang mencegah mereka untuk
saling terbuka menyampaikan kelemahan-kelemahan, kesalahan atau rasa takut. Tim tidak lagi
rentan terhadap isu-isu yang melibatkan hal-hal seperti ini. Kegagalan seorang pemimpin dalam
membina kepercayaan antara sesama anggota tim bisa berdampak pada para anggota.
Tanpa kepercayaan, orang akan cenderung khawatir dan menghindar terlibat dalam
dialog atau isu yang penting bagi organisasi (fear of conflict). Orang jadi ragu untuk saling
disagree antara satu sama lain, karena semuanya berada di bawah semangat mencari solusi dan
17
jawaban terbaik atas masalah-masalah organisasi. Begitupula, tidak adanya rasa percaya
membuat orang malas memberikan komitmennya.
Pemberdayaan orang lain ini, menurut George, sangat bergantung dengan kemampuan
pemimpin untuk mengubah “I” menjadi “We”. Dari hanya mementingkan diri sendiri menjadi
pemimpin yang mementingkan kesuksesan orang lain di perusahaannya. Bagi George,
memimpin bukanlah sekadar menyadari bahwa para bawahan kita mengikuti berbagai arahan
kita. Justru yang terutama adalah soal pemberdayaan itu. Proses “I” menjadi “We” adalah
tahapan kritikal bila kita ingin menjadi authentic leader. Untuk dapat mengeluarkan segenap
potensi organisasi, pemimpin harus membuat karyawannya mengerahkan seluruh potensinya.
Seorang leader baru bisa diikuti ketika para bawahannya merasa egonya diperhatikan.
Perhatian ini membuat bawahan kolekga menjadi lebih terbuka untuk menerima saran dan
arahan. Juga membantu mereka mengambil keputusan dengan baik. Saat mereka rela
memberikan seluruh potensinya demi tujuan bersama yang lebih besar.
Tidak mungkin leader bisa seperti ini kalau tidak penuh afeksi. Penuh rasa perhatian
dan kasih. Dalam menjalankan compassion, pemimpin pada dasarnya menjalankan prinsip dari
“I” ke “We” ini.
Collins, ada lima kategori kepemimpinan yang membuat perusahaan hebat (great), dan yang
paling tinggi adalah yang disebut “Level 5 executive” (Collins, 2001).
Lebih dari sekadar pemimpin yang efektif, kehebatan pemimpin kategori “level 5
executive” ini ada pada paduan personal humility dan professional will. Mereka berkemampuan
dan berambisi besar untuk pencapaian kinerja unggul perusahaan, tapi di saat yang sama mereka
humble: mereka juga punya ambisi untuk sesuatu yang lebih luas dari itu; untuk greater good,
kemaslahatan orang banyak. Jadi yang mereka urus bukan saja diri sendiri atau perusahaan, tapi
juga orang lain, dan tentu saja itu termasuk bawahan atau tim kerjanya.
Level 5 executive lebih hebat ketimbang sekadar level “effective leader”, yang hanya
memfasilitasi hadirnya komitmen dan disiplin, atau sangat aktif dan gigih meraih sebuah visi
serta menstimulasikan standar kinerja yang lebih tinggi. Mereka juga lebih dari sekadar manajer
yang kompeten, yang mengelola karyawan dan sumberdaya lain agar meraih sasaran dengan
efektif dan efisien. Pemimpin yang “level 5 executive” leader bukan tidak memiliki hasrat dan
ambisi pribadi, mereka pada dasarnya juga punya ambisi yang kuat. Namun umumnya
ambisinya lebih dulu disalurkan untuk kepetingan organisasi, bukan diri mereka.
Seperti kita lihat di diagram ….., hubungan antara keduanya ini memang sangat masuk
akal. Meng mengatakan bahwa elemen afektif dan kognitif relevan dengan keinginan untuk
tetap humble dan memperhatikan kondisi orang lain. Pemimpin yang seperti ini tidak ingin
bawahannya “stuck” dalam kariernya. Ia sangat perhatian untuk mendorong orang di organisasi
untuk maju. Tidak ada ilmu yang disembunyikannya, tidak ada peluang untuk tumbuh yang di
tutup-tutupinya. Di sisi lain, leader yang compassion juga berambisi kuat agar keberhasilan
perusahaan tidak berdampak buruk pada masyarakat luas atau pada lingkungan.
Motivational
Melihat hubungan antara elemen compassion dan karakter level 5 executive di atas sulit
menolak anggapan pemimpin yang compassion berpotensi besar untuk menjadi pemimpin yang
efektif. Kalau seorang pemimpin sangat mendorong kemajuan karyawannya, karyawan mana
yang tidak ingin mendukung program dan arahan si pemimpin? Juga, karyawan mana yang
tidak ingin mendukung upaya memberikan greater good?
19
Kepemimpinan dan berbagai teori yang terkait dengan pengembangan sosok pemimpin
merupakan aspek yang sering dibicarakan dalam dunia kerja. Berbagai cara dikemukakan orang
untuk mengembangkan kepemimpinan seseorng, apapun bentuk organisasinya. Namun
pertanyaan riset dan teori yang disodorkan oleh Boyatzis, Smith dan Blaize (2006) cukup unik.
Seperti apa pengaruh melakukan coaching dengan compassion (belas asih) dapat menciptakan
sosok pemimpin yang tahan uji? Sehingga mereka kuat menghadapi berbagai tantangan dan
tekanan yang terkait dengan pekerjaannya?
Yang diteliti oleh mereka adalah respon syaraf atas berbagai gaya coaching yang
bertujuan meningkatkan keefektifan belajar seseorang. Dengan teknologi tinggi, bagian-bagian
otak yang menjelaskan kerja emosi dipelajari. Ditemukan, melakukan coaching dengan penuh
compassion bisa membangkitkan bagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan emosi
positif. Berbagai mekanisme sistem syaraf yang membuat orang menaklukkan emosi negatifnya
berlangsung di bagian ini.
Coaching dengan compassion ini digambarkan sebagai hubungan yang penuh perhatian
dimana antara pemimpin yang bertindak sebagai coach dan bawahannya punya “gelombang”
emosi yang sama. Keduanya saling berempati, memahami perasaan masing-masing, memiliki
keterikatan yang kuat dan punya keinginan memperhatikan perasaan dalam bertindak.
Pendeknya, mutu hubungan diantara keduanya diwarnai trust, rasa hormat, dan kejujuran.
Sebuah mutu hubungan yang tinggi.
Boyatzis dan rekan-rekannya menemukan bahwa hal di atas tersebut bisa mendorong
sikap terbuka melihat berbagai kemungkinan. Meskipun para pemimpin dihadang berbagai
tantangan dalam pekerjaannya, coaching pada bawahannya itu memfasilitasi mereka untuk
belajar juga. Dalam hal ini, berbagai tantangan yang mereka hadapi juga dilihat sebagai satu
peluang untuk belajar.
20
Jadi, kalau anda seorang pemimpin, dan tidak ingin rentan dihinggapi penyakit terutama
yang berkaitan dengan stress, praktek coaching dengan compassion ini terlalu berharga untuk
tidak dijalankan.
Berperilaku compassion membutuhkan skill tertentu sehingga, seperti juga skill lainnya,
ia harus dilatih. Kabar baiknya, untuk melatih compassion tersedia berbagai cara., compassion
juga bisa dilatih. Salah satu melatih compassion adalah dengan multiplying goodness.
ini bukan sesuatu yang berat. Bahkan dari satu sisi ia akan memberikan rasa nyaman pada kita.
Kita menjadi terbiasa membangun kemampuan pikiran kita untuk menyerap dan meningkatkan
sifat-sifat kebaikan kita.
Berikut ini adalah dua praktek sederhana untuk melatih ketrampilan compassion kita;
loving kindness practice dan menggandakan kebajikan (multiplying goodness). Keduanya saya
sadur dari buku Meng Tan (2012).
Bayangkanlah orang-orang yang biasa bekerja sama dengan anda (misalnya rekan-rekan
di kantor), atau mereka yang ada disekitar ruang kerja anda.
Panjatkan harapan dan doa untuk mereka dalam hati anda seperti sbb:
Karena orang ini adalah manusia biasa, sama juga seperti ku, (jeda sejenak ...)
Latihlah praktek ini setidaknya satu kali atau dua kali sehari. Misalnya saat memulai
bekerja di pagi hari. Kemudian, satu kali lagi sejenak ketika anda ingin mulai bekerja lagi
setelah istirahat di siang hari.
Kalau anda seperti kebanyakan orang, maka anda akan merasa lega, tenang dan merasa
positif saat melakukannya. Sebagian besar mengatakan bahwa mereka menemukan bahwa
menghantarkan kebajikan itu sebuah pengalaman yang menenangkan dan membuat bahagia.
Hampir tidak berbeda ketika anda menerima atau mendengar yang baik-baik dari orang lain
untuk anda.
22
Adalah masuk akal ini semua terjadi. Seperti yang pernah kita bahas, otak kita pada
dasarnya, dari sononya, memang tercipta untuk saling terhubung dengan orang lain. Berharap
sesuatu yang baik akan terjadi pada orang lain membuat perasaan terhubung semakin kuat. Ada
penelitian bahkan menunjukkan mekanisme ini merupakan bagian penting dari pola umat
manusia bersosialisasi sebagai upaya survive menghadapi masalah hidupnya. Melakukan hal
yang baik pada orang lain ternyata secara intrinsik memberi ganjaran serupa untuk diri kita
sendiri. Berharap orang lain bahagia dan berkeinginan membahagiakannya ternyata membuat
diri kita sendiri bahagia! Apalagi yang anda tunggu?
Kalau praktek ini kita latih dari waktu ke waktu secara kontinu, otak kita yang memang
sudah pre-wired untuk berperilaku sosial akan meningkatkan kecenderungannya untuk
merespon hal-hal yang compassionate. Dan seperti kecakapan lain yang kita bangun dengan
latihan, semakin mudah pula anda untuk bersikap dan berperilaku welas asih.
Menggandakan kebajikan
Dalam praktek ini, kita menggunakan kekuatan diri yang lain, yaitu visualisasi.
Bersyukur kita dianugerahi karunia otak yang memiliki kemampuan persepsi visual untuk
semua pekerjaan mental kita. Kalau kita berlatih menggunakannya, kemampuan otak ini untuk
memberikan pikiran yang luas– otak menghasilkan sumberdaya untuk keperluan
mengkalkulasi. Dengan visualisasi kita juga bisa meningkatkan kemampuan mengingat kita.
Visualisasi kita gunakan untuk meningkatkan keefektifan kita menciptakan kebiasaan mental
untuk menjadi lebih compassionate.
Praktek yang diajarkan Meng Tan (Tan, 2012) ini sederhana. Waktu menghela nafas,
cobalah kita bayangkan bahwa kita menghirup seluruh kebajikan yang ada pada diri kita, dan
kita coba kumpulkan kebajikan itu lalu kemudian menggandakan kebajikan itu sepuluh kali
lipat. Kemudian waktu melepaskan nafas kita, bayangkan kita memberikan kebajikan tadi ke
orang lain. Berikutnya, lakukan hal yang sama untuk kebajikan-kebajikan yang ada pada orang
lain. Kita hirup dalam-dalam, dan kemudian kita lepaskan untuk kebajikan semua orang.
Tenangkan pikiran.
Kaitkan semua kebajikan yang ada pada diri kita: rasa cinta, compassion, rasa peduli
kita pada orang lain, dan kesenangan dan rasa riang yang kita miliki. Bila perlu, untuk
lebih menenangkan lagi pikiran anda, bayangkan pula kebajikan kita itu memancarkan
cahaya putih di seluruh tubuh kita.
Hening sejenak.
Saat kita menghela nafas, hirup dalam-dalam kebajikan itu ke dalam hati anda. Dalam
hati, kita coba menggandakan semua kebajikan itu berlipat-lipat. Sepuluh kali lipat
kalau boleh. Saat kita melepaskan nafas kita, sebarkan semua kebajikan itu untuk semua
orang. Bayangkan pula kebajikan itu sebagai cahaya putih yang memancar dari dalam
tubuh kita menebarkan kebajikan-kebajikan itu.
Hubungkan diri anda dengan berbagai kebajikan yang ada pada diri orang lain yang
anda kenal. Setiap orang pada dasarnya memiliki sisi baiknya, memiliki sifat-sifat
kebajikan pada dirinya. Bayangkan pula mereka kebajikan ini memancarkan cahaya
putih pada dirinya. Waktu anda menghela nafas, sekali lagi kita hirupsemua
kebaikannya itu. Hirup dalam-dalam masuk ke dalam tubuh kita. Sebarkan lagi
kebajikan itu pada pada seluruh orang.
Kita lakukan lagi untuk yang ketiga kali. Kali ini kita hubungkan diri kita pada orang-
orang di seluruh dunia. Mereka juga sama memiliki kebajikan pada diri mereka. Kita
hirup, kita gandakan dan kita sebarkan ke seluruh dunia.
Bila ketiga hal ini kita latih dan bangun terus menerus, tidak sulit membayangkan diri
kita menjadi seseorang yang menginspirasi.
25
Di bab 2 kita sudah menyinggung bahwa dalam banyak aspek kehidupan, termasuk
dalam hubungan sesama karyawan dalam pekerjaan, kita harus menjaga dan memperbanyak
hal-hal yang positif ketimbang yang negatif. Fredrickson (2009) meneliti setidak-tidaknya rasio
positivity ini harus 3:1. Satu kejadian negatif dalam berhubungan, harus diperbaiki dengan 3
26
kejadian positif. Atau sebaliknya, tiga kejadian positif yang kita buat akan habis tidak berarti
bila ada satu kejadian negatif.
Merujuk ke penelitian sosial lainnya yang juga dikenal luas seperti misalnya penelitian
Gottman atas hubungan suami istri, rasionya harus 5:1. David Rock, pakar neuroleadership
lulusan University of Middlesex University, New York, mendalami ilmu neuroscience untuk
mencari tahu apa yang ada dibalik ini semua positivity ratio ini ditinjau dari mekanis otak kita.
Saya coba sarikan apa yang ditulis Rock dalam bukunya “Your brain at work” (Rock, 2009),
dan kemudian akan kita kaitkan dengan upaya kita membangun keterampilan memimpin
dengan compassion.
Seperti yang terlihat pada gambar, perhatian otak manusia pada kejadian-kejadian yang
sedang dan akan dialaminya tidak proporsionil. Manusia begitu perhatian untuk merespon
pengalaman negatif dan kurang begitu awas atas pengalaman positif. Contoh sederhananya bisa
terjadi di kantor. Misalkan tidak sengaja anda berada satu lift dengan atasan anda. Saat saling
tatap, bos anda terlihat ceria dan memberikan senyumannya. Waktu anda senyum, dia juga
27
membalas dengan senyum. Pengalaman positif ini dilihat sebagai hal yang biasa, pengalaman
minor saja (ordinary and minor). Dan anda tidak menganggap ini sebagai suatu yang berarti
sehingga luput dari perhatian kita. Sebaliknya coba bayangkan di kesempatan yang sama, si bos
tidak senyum lagi. Dia hanya “nyengir” sekilas dan kemudian sibuk dengan smartphone nya.
Bagaimana anda menyikapinya? Bagaimana pikiran anda merespon kejadian ini?
Secara objektif, sebenarnya “magnitude” dua kejadian itu pada dasarnya sebanding,
hanya kali ini arahnya lebih negatif. Tetapi reaksi kita mungkin berbeda. Kita barangkali
langsung jengkel. “Sombong banget”. “Ada apa ya?” “Apa yang salah ya?” “Tumben. Cuek.”
dan serentetan pertanyaan lain yang membuat kita semakin penasaran dan lama
memikirkannya. Dari berbagai temuan riset, memang sering disimpulkan pengalaman negatif
lebih kuat pengaruhnya dari pengalaman positif (lihat bab 2). Otak manusia cenderung lebih
responsif atas hal-hal yang bersifat ancaman. Di tingkat otak, rupanya fenomena ini ada
hubungannya dengan peranan sistem limbik. Mari kita bahas lebih dalam apa yang terjadi.
Peran sistem limbik menentukan kecenderungan otak kita merespon satu hal terkait
dengan perannya dalam memandang pola dari berbagai kejadian yang kita alami, dan juga
berbagai hubungan yang terjadi antara emosi, pikiran, objek atau orang. Karena manusia selalu
dihadapkan banyak sekali pilihan keputusan, dan otak kita ingin hemat dalam menggunakan
energi, maka sistem limbik berperan memutuskan hal-hal kecil dan sederhana berdasarkan
value judgement, bukan sekadar proses rasional. Jadi ia bekerja begitu cepat sehingga sebagian
besar prosesnya tidak kita sadari. Misalnya, keputusan segera yang kita ambil saat memilih satu
menu makan siang atau malam di tempat kerja. Atau apakah kita akan bergerak pulang setelah
tepat ketika jam kerja berakhir atau menundanya untuk menyelesaikan satu pekerjaan tertentu.
Kita seringkali tidak sadar, bahwa sebenarnya ada dua kategori besar saja keputusan yang akan
diambil sistem limbik; menuju/mendekat (toward) atau menjauh (away). Seperti apa
sesungguhnya dua kategori ini bekerja?
28
Sistem limbik kita bekerja memindai semua kejadian di sekitar kita dan mengarahkan
kita mana yang harus kita berikan perhatian serta menghitung bagaimana caranya. Apa-apa saja
yang dianggap bahaya, atau mana yang dianggap sebagai hal-hal yang ganjaran. Respon kita
yang melibatkan tipe emosi seperti rasa ingin tahu, bahagia, dan rasa suka disebut toward
response, bila. Sementara untuk emosi-emosi seperti kecemasan, kesedihan, dan rasa takut itu
disebut dengan away responses.
Kalau otak mendeteksi bahwa ada “bahaya” kita menyebut itu sebagai “primary threat”.
Contohnya termasuk saat kita lihat ada binatang yang berbahaya seperti ular, atau saat kita
merasa lapar atau dahaga. Sebaliknya, kalau kita mendeteksi hal-hal yang bisa dapat membuat
kita bertahan hidup, kita menyebutnya primary reward. Misalnya adalah uang (kalau belum
gajian), makanan (kalau sudah lapar), atau kalau keluar kota sudah lama ketemu pasangan (lihat
HUS sebagai primary threat !).
Keputusan terkait dengan primary threat dan reward ini berlangsung dengan otomatis
– tanpa kita sadari – dimana ada dua bagian otak yang paling berperan yaitu, hippocampus dan
amygdala. Saat kita merasakan satu emosi tertentu, sistem limbik kita terangsang. Dalam
prosesnya, ini melibatkan lalu lintas miliaran syaraf di kedua bagian otak itu. Hippocampus
bertugas mengatur dan mengindeks lalu lintas ini, seperti sebuah map/peta elektronik. Ia bukan
saja ingat petanya tapi juga perasaan yang terkait dengan kejadian tertentu itu. Semakin kuat
rasanya, maka semakin mudah untuk mengingatkan di kemudian hari (walaupun ada yang
kompleks jadi tidak mudah diingat). Makannya kita bisa punya ingatan tentang guru kita dulu
di sekolah, perasaan kita dengan dia, dan berbagai moment terkait.
Hippocampus lebih fokus pada soal bahaya atau tidak sebuah kejadian dan
menghubungkannya dengan kejadian terdahulu yang ada dalam memori. Sementara amygdala,
prinsipnya juga sama, tapi lebih ke soal emosinya. Ibarat termometer, amygdala mendata
29
indikasi perasaan dan emosi pada otak. Ia akan arousal baik karena emosi toward atau away,
walaupun caranya berbeda-beda.
Kerja sistem saraf seseorang juga bisa terpicu atau terangsang ketika orang itu
mengganggap situasi yang mereka alami, kira-kira sama buruk dengan situasi serupa yang
pernah mereka alami sebelumnya. Coba ingat lagi pengalaman anda ketika didesak tenggat
waktu untuk menyerahkan sesuatu, saat menunggu keputusan yang menentukan dari atasan atau
klien. Ketika hal yang tidak diharapkan seperti misalnya penolakan lebih duluan hadir dan
membuat kita risau. Masing-masing orang memiliki semacam tombol yang bisa memicu
bangkitnya sistem limbik kita. David Rock memberi istilah “hot spot”, dimana fungsinya
memicu pola pengalaman yang kita simpan dalam sistem limbik, seakan-akan ada label
“bahaya” pada setiap pengalaman yang buruk itu. Ketika otak kita secara berlebihan
menganggap ada sesuatu yang berbahaya, baik itu bahaya yang nyata atau pun yang bersifat
khayalan, maka sistem limbik dapat melemahkan fungsi normal dari otak. Proses ini jelas punya
pengaruh atas keputusan atau perkiraan yang kita buat dimana berkurangnya keefektifan fungsi
prefrontal cortex kita.
anda ingin bertemu klien yang ingin dapat penjelasan karena cemas yang berlebihan. Seperti
ada yang menganggu pikiran dan anda seakan tidak berpikir jernih. Kalau anda tidak mampu
mengatur perasaan rada panik atau penuh rasa khawatir ini, di saat yang sama kita akan sulit
untuk mengingat, berkonsentrasi untuk memahami, atau memutuskan dengan baik. Kejadian
serupa adalah ketika mahasiswa yang khawatir tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
ujian, sehingga apa yang ia pelajari malah cenderung “lenyap” tidak berbekas.
Dalam kondisi sistem limbik yang sarat dengan rangsangan emosi negatif, seseorang
akan cenderung merespon secara negatif pula. Kita jadi mudah melihat sisi buruk dari situasi
yang dihadapi, dan enggan mengambil risiko. Orang juga sulit mengingat wawasan yang
dimilikinya untuk membantu mereka menjelaskan sesuatu. Sistem limbik, yang pada dasarnya
peka dengan hal-hal bersifat negatif menjadi makin sensitif dengan rangsangan yang bersifat
ancaman. Parahnya, seringkali otak kita terhubung pada hal-hal yang tidak ada kaitannya
(seperti membesar-besarkan) dan salah dalam menafsirkan informasi yang diterima. Perhatian
kita melenceng ke hal-hal yang tidak perlu!
Kabar buruk lain ketika emosi negatif mensabotase pikiran kita, dan kita pasrah
dikuasainya berlama-lama, tingkat cortisol dan adrenalin kita meningkat di dalam darah. Kita
akan terus-terusan merasakan adanya ancaman dan kemudian ambang batas untuk menerima
tambahan ancaman baru menjadi sangat kecil. Artinya, satu ancaman kecil saja sudah cukup
bagi kita untuk dirasakan sebagai ancaman besar. Ini bisa mematikan syaraf otak dan
menghentikan pertumbuhan syaraf baru di hippocampus, hal yang penting untuk membentuk
suatu ingatan. Kini kita tahu, mengapa orang yang pemarah (seperti nenek-nenek bawel )
cenderung pelupa!
Status
Status, adalah satu posisi seseorang dalam jenjang satu kelompok, atau secara garis besar
anggapan seseorang secara relatif betapa pentingnya dia dalam kelompoknya. Berdasarkan
karya seminal Sir Michael Marmot, professor Epidemiology and public health di University
College London, status punya peran hebat sekali dalam kehidupan sosial seseorang
(Marmot, 2004). Dalam pergaulan sosial sehari-hari, meningkatnya status seseorang dapat
memberikan perasaan nyaman atau enak pada orang yang bersangkutan. Sebaliknya, orang
juga sangat waspada dan antisipatif atas “ancaman” yang mungkin bisa menganggu
statusnya. Karyawan di kantor, kalau mendadak dipanggil atasannya saat pekerjaan yang
dilakukannya kurang sukses, akan bertanya-tanya apakah ini ada hubungannya dengan
ancaman statusnya dalam bekerja. Komentar atau umpan balik dari rekan kerja juga bisa
memberikan efek serupa; bisa memicu perasaan ancaman terhadap status.
Dalam kehidupan sehari-hari juga begitu. Status diketahui terkait dengan panjangnya
usia seseorang, suksesnya pendidikan dan juga pendapatan. Kapanpun kita merasa status
kita meningkat kita akan merasa enak. Pujian-pujian kecil seperti “nah gitu dong kerjanya
..” atau “Wah hebat ...” bisa memberikan perasaan status yang meningkat. Punya harapan
saja bahwa status kita sudah cukup untuk memberikan perasaan nyaman.
Lagi-lagi mekanisme di dalam otak dapat menjelaskan hal ini. Saat orang mengalami
atau berpersepsi mengalami, kadar hormon dopamine dan serotonin nya akan meningkat.
Kedua hormon ini bertanggung jawab dengan perasaan senang. Di sisi lain, tingkat cortisol
yang merupakan tanda tentang tinggi rendahnya stress kita juga akan berkurang.
Testosterone yang membuat orang untuk fokus, percaya diri akan bertambah. Sama dengan
perasaan penuh dengan emosi positif lainnya, kondisi ini akan membuat peningkatan
koneksi pada otak. Pada saat-saat seperti ini, prefrontal cortex seseorang orang lebih banyak
memiliki energi dan dapat memproses lebih banyak informasi dengan upaya yang lebih
sedikit.
Salah satu cara kita membantu orang lain untuk merasa statusnya meningkat adalah
memberikan umpan balik positif. Menunjukkan bahwa mereka melakukan pekerjaannya
32
dengan baik akan memberikan peningkatan status. Banyak organisasi yang didalamnya
masih sarat dengan model defisit, dimana orang lebih suka menunjukkan kesalahan,
masalah, kesenjangan kinerja, ketimbang pencapaian-pencapaian, bukan hal-hal yang
menunjukkan kekuatan karyawan.
Di sisi lain, saat berhubungan, bila perlu kita harus menurunkan sedikit status kita agar
tidak menjadi ancaman dari rekan-rekan kerja kita. Status kita yang meninggi dapat
dipersepsikan orang lain sebagai ancaman. Kemampuan yang baik dalam membaca kondisi
dan suasana hati seseorang penting dalam hal ini.
Certainty
Setiap manusia lebih suka akan kepastian. Mekanisme dalam otak kita juga menganggap
bahwa ketidakpastian adalah sesuatu yang tidak seharusnya. Respon otak kita atas
ketidakpastian adalah “error response”, karena otak kita mendambakan kepastian. Sampai
sesuatu menjadi pasti, otak kita akan menguras energinya memikirkan sesuatu yang tidak
pasti. Kalau proposal yang anda sampaikan pada klien atau untuk atasan anda tidak jelas
nasibnya, maka ini akan menyita dan menganggu pikiran anda dan juga kelancaran
pekerjaan yang lain.
Dunia kerja penuh dengan ketidakpastian dan mereka yang ada di dalamnya diharapkan
punya pertimbangan yang matang sebelum memutuskan apapun. Prediksi-prediksi yang
dilakukan mau tidak mau mengandalkan memori yang ada serta fakta yang sedang dialami.
Sebuah kepastian seakan-akan memberikan sensasi ganjaran pada kita dan prediksi akan
memberikan kenyamanan tersendiri bagi kita. Bila prediksi kita dilengkapi dengan data-
data maka rasa nyaman itu lebih terasa dan menghasilkan toward response. Sebaliknya,
ketidakmampuan memprediksi menghasilkan ambiguitas dan ketidaknyamanan karena
orang tidak punya gambaran apa yang akan terjadi. Bila kita menyadari ada rekan kita
mengalamai situasi ini, kita perlu memberikan bantuan agar yang bersangkutan bisa
mengelola emosinya.
Autonomy
Sama seperti ketidakpastian, otonomi memberikan tekanan juga pada manusia ketika kita
menyadari bahwa tingkat kontrol atas apa yang dilakukannya rendah. Dalam dunia kerja,
semakin baik kita mengontrol sesuatu, termasuk keinginan untuk bekerjasama membuat diri
kita nyaman. Sebaliknya, bila ada yang membuat perasaan kontrol ini rendah atau berkurang
maka perasaan kita menentukan masa depan atau memperkirakan sesuatu juga berkurang.
33
Karena itu sense of control sangat berkaitan dengan aspek kepastian dan ketidakpastian.
Walaupun begitu, pengaruh yang dihasilkannya tidak sama. Orang yang memiliki otonomi
bisa saja tetap tertekan ketika ketidakpastiannya sangat tinggi. Sebaliknya, dalam situasi
penuh kepastian, orang bisa senewen ketika otonomi dan sense of control nya menurun.
Efek reward atau threat yang ditentukan oleh tinggi rendahnya otonomi atau sense of
control seseorang menentukan pergaulan sosial seseorang. Dalam tingkat yang tinggi,
ketika ada penyebab stress yang tidak bisa kita kontrol dapat bersifat destruktif pada kita.
Bagi karyawan di level manajerial bawah, masalah kesehatan sering muncul karena persepsi
kontrol mereka yang rendah. Sebaliknya, meskipun sering ditemukan seseorang di jenjang
hirarki yang tinggi rentan atas penyakit seperti stress, tapi sense of control mereka yang
besar sering bisa menangkal ini. Penelitian di bidang kewirausahaan dan usaha kecil juga
menemukan hal serupa. Banyak yang memilih berkarier sebagai wirausahawan mengelola
usaha kecil menengah karena mereka punya sense of control yang lebih banyak ketimbang
saat mereka jadi karyawan di perusahaan besar.
Melemahnya fungsi prefrontal cortex, menurut banyak penelitian neuroscience juga sering
berkaitan dengan soal persepsi kontrol. Penting bagi kita untuk memahami ini karena efek
yang ditimbulkanya berimbas pada perilaku-perilaku kita yang lain.
Memfasilitasi otonomi pada dasarnya memberikan orang lain berbagai pilihan. Semakin
banyak pilihan orang maka semakin ia merasa sesuatu dapat dikelola. Dengan demikian ini
juga dapat mengurangi ancaman dari segi otonomi sekaligus juga ketidakpastian. Bagi otak
kita, yang penting adalah “persepsi” bahwa kita memiliki pilihan, terlepas dari bagaimana
kecilnya rentang pilihan yang ada. Memberikan alternatif pada rekan-rekan kerja kita akan
mengubah “respon menjauh” menjadi “respon menuju”.
Menginterpretasikan ulang
Menginterpretasikan ulang (reappraisal), atau reframing adalah salah satu acara untuk
memberikan alternatif pada diri kita atas satu situasi. Emosi kita merespon atas penilaian
kita atas lingkungan kita, kalau kita bisa mengubah appraisal itu kita bisa juga mengubah
response emosi kita.
Penelitian Ochsner dan Gross (Ochsner & Gross, 2005) tentang kemampuan orang
mengatur emosinya menujukkan orang yang mereappraisal secara positif akan
meningkatkan aktivitas pada prefrontal cortex bagian kanan dan kiri. Ini berkaitan dengan
pengurangan aktivitasi dan rangsangan dari sistem limbik kita. Upaya pengontrolan kita
34
dengan menginterpteasikan ulang ini bukan berarti mengabaikan emosi yang hadir (seperti
misalnya emosi negatif), tapi hanya mencoba mengubah interpretasi sehingga
menghasilkan perasaan yang lebih baik.
Bentuk lain dari pengintepretasian ulang adalah normalising. Contohnya seperti berikut:
Misalnya kita di berada dalam pekerjaan yang baru dan belum memiliki gambaran yang
utuh tentang situasi dan lokasi dalam kantor. Situasi-situasi penuh kebaruan (katakanlah
kita tidak tahu lokasi WC), bisa membuat emosi negatif meningkat. Kita bisa melakukan
strategi normalising dengan dengan menganggap hal-hal tertentu sebagai normal sehingga
dapat mengurangi respon ancaman. Hal yang sama bisa kita lakukan kalau kita dalam
situasi marah.
Humor juga salah satu cara mengintepretasikan ulang. Orang bisa dengan mudah melihat
berbagai pilihan ketika suasana penuh tawa dan riang hadir ketimbang suasana sendu dan
haru waktu menghadapi situasi yang sulit. Humor akan mempermudah upaya pikiran kita
melihat berbagai perspektif dan muncul dengan perspektif baru yang menghubungkan kita
dengan tujuan yang berbeda.
Penginterpretasian ulang di atas membutuhkan kapasitas pikiran yang fleksibel untuk dapat
melihat sesuatu dari bayak sudut. Orang optimis biasanya memiliki kemampuan reppraisal
yang tinggi. Mereka menyegerakan interpretasi ulang sebelum emosi negatifnya seperti
keraguan ata khawatir menguasai otak dengan fokus pada sisi-sisi baik dari satu masalah.
Tidak melakukan personalisasi juga penting. Maksudnya, kita melihat berbagai situasi itu
mempengaruhi otak dan pikiran kita, bukan diri kita sendiri. Bahwa perasaan atau pikiran
kita lah yang membuat situasi seperti itu, bukan “diri” kita.
Relatedness
Relatedness adalah adalah perasaan terkait dan terhubung dengan orang disekitar kita.
Perasaan ini hadir ketika kita merasa menjadi bagian dari satu kelompok, terutama ketika
kelompok itu kedekatannya cukup tinggi. Semakin kuat perasaan relatedness kita semakin
besar primary reward nya. Sebaliknya, semakin lemah perasaan relatedness semakin ia
menghasilkan primary threat.
Sebuah mekanisme dalam otak yang disebut “mirror in the brain” memberikan wawasan
mengapa orang punya perasaan terhubung antara satu sama lainnya. Mirror neuron adalah
bagian yang aktif di otak ketika kita melihat orang lain melakukan apa yang disebut
“intentional action.” Syaraf ini hanya aktif kalau kita melihat seseorang yang melakukan
35
Otak kita mengeluarkan oxytocin, hormon yang menentukan rasa senang pada pikiran dan
emosi kita. Hormon ini hadir ketika manusia mengalami rasa senang dengan orang-orang
terdekatnya dan mengerjakan hal-hal yang menyenangkan. Kalau anda bahagia saat
kesempatan outing dengan acara-acara menarik yang dijalankan bersama-sama, hormon
inilah yang bekerja. Oxytocin merupakan hormon yang akrab dengan hubungan yang
dirasakan “aman”. Kalau membicarakan sesuatu sambil makan (ketika sebagian orang akan
cenderung “happy”), maka bukan saja satu gagasan yang muncul tapi berkembang ke
wilayah-wilayah ingatan kita yang lain. Berbagai koneksi jadi terhubungkan. Dalam banyak
riset psikologi positif relatedness terbukti menentukan lebih lamanya kebahagiaan
seseorang. Penerima hadiah nobel Daniel Kahneman membuktikan bahwa teman
menghadirkan rasa bahagia yang lebih lama dalam kehidupan manusia ketimbang
kesehatan, perkawinan atau memiliki anak ( ).
Mengombinasikan SCARF
Kita bisa meningkatkan elemen SCARF diri sendiri dan juga diri orang lain, bukan saja
untuk meningkatkan kinerja tapi juga bisa membuat orang lebih baik. Meningkatkan SCARF
akan membuat kita lebih menguasai kemampuan kita mengelola pikiran. Kita memiliki bahasa
yang dapat kita gunakan saat mengalami sesuatu yang meningkat emosi positif atau kejadian
tidak diinginkan lainnya. Cobalah bayangkan orang lain mengatakan sesuatu yang baik untuk
36
anda (meningkatkan status), yang juga jelas dengan perkiraannya (meningkatkan kepastian),
sekaligus dapat memfasilitasi kita membuat keputusan (meningkatkan otonomi), yang
berhubungan dengan anda sebagai teman (relatedness), dan yang memperlakukan kita dengan
fair.
Menjalankan ini semua berarti kita mencoba menjaga tingkat oxytocin, dan menurunkan tingkat
cortisol. Kita berfokus pada upaya untuk meningkatkan ketenangan.
Kita tahu bagaimana orang bisa terancam statusnya, dan mencoba merancang hal yang
menjaga atau meningkatkan status.
37
Penelitian otak lainnya terkait hal ini adalah, bahwa syaraf di bagian tertentu dalam otak
juga aktif ketika menyaksikan atau merasakan kesulitan orang lain. Ada bagian tertentu yang
memang terlihat aktif dan menyala ketika kita mendapatkan stimulus yang bersifat
menyakitkan. Begitu juga, ketika kita melihat atau merasakan rasa sakit orang lain, bagian
syaraf yang sama juga aktif (Singer, 2009). Ingat-ingatlah lagi ketika kita mendengar atau
mengetahui orang-orang dekat yang kita sayangi mengalami penderitan tertentu. Kita bisa
merasakan hal yang sama atas penderitaan orang lain karena soal ini. Jadi tanpa mengalami
input rangsangan yang samapun, kita juga bisa merasakannya pengalaman afektif yang sama
dengan orang yang mengalami. Bila kita kembali kepada rumusan compassion di bagian
38
sebelumnya, bahwa compassion adalah “menderita bersama” maka tidak berlebihan kedua
mekanisme otak yang kita bahas ini dapat menjadi penjelasan mengapa orang bisa terdorong
untuk bersikap dan berperilaku compassion. Otak kita tampaknya, pre-installed, memang
diciptakan untuk berpotensi empati dan compassion, setidaknya untuk orang yang kita kasihi.
Fenomena empati serupa sebelumnya juga ditunjukkan Daniel Goleman, sebagai bagian
dari self-awareness yang ia sebut sebagai fenomena “Entranment” (Goleman, 1998). Empati
ternyata sangat berhubungan erat dengan self-awareness karena kelihatannya otak
menggunakan perangkat yang sama waktu berfungsi dalam self-awareness dan empati. Orang
yang kecakapan self-awareness nya kecil, kemungkinan besar akan kecil pula rasa empatinya.
Dapat juga kita simpulkan, bila kita ingin membangun rasa empati kita, maka itu dapat
dilakukan dengan mengembangkan kecakapan self-awareness. Dengan latihan-latihan body
39
scan misalnya bisa memperkuat insulae sehingga bisa meningkatkan self-awareness dan empati
kita pada saat yang sama. Ibarat belajanja, ini bentu promosi “beli satu dapat dua!”
Fakta ini dapat menjadi acuan ketika kita membuat keputusan sulit yang mungkin bisa
mengecewakan orang lain. Banyak yang menganggap, dalam urusan bisnis, kita dianjurkan
untuk mengabaikan perasaan kalau kita mau ambil keputusan yang sulit, agar keputusan kita
objektif, hal-hal yang penting dan mendesak namun sulit. Tapi bila keputusan ini kita jalankan
tanpa adanya pengertian dari orang lain yang terdampak oleh keputusan itu, kita memiliki risiko
atas hubungan jangka panjang. Sebaliknya, jika kita terbiasa memperlakukan orang dengan
penuh kebaikan dan empati, kita bisa menciptakan rasa percaya dan pemahaman. Kita bisa
terampil bernegosiasi dan mengelola situasi. Dengan rasa percaya dan pemahaman yang cukup
kita barangkali dapat menemukan cara kreatif yang bisa menyelesaikan masalah dan paling
tidak mengurangi beberapa dampak buruk yang mungkin akan muncul.
Walaupun kadang-kadang ada persoalan yang melibatkan kita pada keputusan berat,
bila rasa percaya, dan anda terlihat mengambil keputusan itu karena benar dan terpaksa demi
tujuan yang lebih besar, maka kemungkinan anda masih bisa dimengerti.
Mekanisme ini membawa para ilmuwan pada satu kesimpulan, barangkali orang lebih
sensitif ketika dia melihat orang tertentu yang dipersepsikan sama dengan dirinya. Eksperimen
eksperimen dilanjutkan dan kesimpulan yang diampil tentang stimuli yang sama ini memiliki
dukungan yang kuat. Meng Tan ( ) menyebut strategi ini sebagai strategi “just like me”. Kita
bisa membangun kebiasaan mental untuk menganggap orang itu pada dasarya sama dengan
kita.
Sikap mental untuk bersikap dan berperilaku empatik sekaligus compassionate adalah
landasan untuk terbiasa dan secara instingtif bertindak welas asih. Sama seperti dijelasan di bab
2, praktek loving kindness meditation dapat kita lakukan untuk tujuan ini. Saya ulangi
bagaimana prakteknya seperti berikut:
Bayangkanlah orang-orang yang biasa bekerja sama dengan anda (misalnya rekan-rekan
di kantor), atau mereka yang ada disekitaran anda.
Mudah2an orang(orang) ini memiliki kekuatan, daya, dukungan emosi dan sosial untuk
mengarungi kesulitan yang dialaminya.
Mudah2an orang(orang) ini terbebas dari rasa sulit dan derita.
Mudah2an orang ini memperoleh suka cita dan bahagia
Karena orang ini adalah manusia biasa, sama juga seperti ku, (jeda sejenak ...)
Mudah2an setiap orang yang saya kenal selalu berbahagi ...
Latihlah praktek ini setidaknya satu kali atau dua kali sehari. Misalnya saat memulai
bekerja di pagi hari. Kemudian, satu kali lagi sejenak ketika anda ingin mulai bekerja lagi
setelah istirahat di siang hari.
Referensi tambahan
Di bagian-bagian sebelumnya kita membahas bagaimana sikap dan praktek welas asih
kepada orang di sekeliling kita; pada rekan kerja, pada atasan pada anggota keluarga pada dapat
meningkatkan kualitas hubungan, melatih jiwa dan pikiran kita untuk berlomba dalam
kebaikan. Tapi apakah kita sudah cukup baik dan hangat pada diri kita sendiri? bukankah kita,
sebagai manusia biasa juga mengalami situasi penuh tekanan, menghadapi keadaan sulit?
Pendeknya diri kitapun membutuhkan welas asih itu! Kalau kita dianjurkan dan dapat
memberikan welas asih pada orang lain, mengapa tidak untuk diri sendiri saat kita
memerlukannya?
Banyak ahli psikologi yang sepakat bahwa self-compassion sangat bermanfaat bagi kita,
terutama saat-saat menghadapi masa sulit. Self-compassion adalah rasa hangat dan pemahaman
yang kita berikan pada diri kita sendiri ketika kita menderita, gagal, atau merasa tidak pantas
atas satu hal tertentu. Seperti kita berusaha memperlakukan orang lain; dengan penuh perhatian
dan pengertian, dukungan, sikap memaafkan, begitupula seharusnya kita lakukan pada diri kita
sendiri. Salah satu ahli yang mengusung self-compassion adalah Kristin Neff, peneliti dan dosen
dari University of Austin at Texas. Bagi Kristin sebenarnya sederhana; masa kita berusaha
mengasihi orang lain tapi tega memberikan harsh, cruel judgement untuk diri kita sendiri?
Ada tiga elemen self-compassion yang ditunjukkan oleh Ness, yakni self-kindness,
common human, dan mindfullness (Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007). Bila kita menyadari dan
memanfaatkan ketiga elemen self-compassioni ini untuk diri kita dapat memberikan manfaat
terutama saat kita menghadapi masa sulit. Hal yang sama juga bisa gunakan untuk dan
membangun kesadaran rekan2 kerja kita saat mereka mengalami hal sulit serupa.
Self-kindness
Elemen self-kindness dari self-compassion menyarankan bahwa kita perlu santai pada
diri kita sendiri dan secara aktif menenangkan diri kita. Elemen self-kindness memungkinkan
kita mencegah self-criticism pada diri kita sendiri kita mengalami saat sulit. Banyak dari kita
yang ternyata sangat keras dan tidak ramah pada diri sendiri. Kita mencoba mengabaikan rasa
sakit/pain atau berusaha terlalu keras melecut diri kita sendiri atas satu kegagalan. Orang yang
42
self-criticsm juga mencoba untuk melupakan rasa “sakit” akibat masalah yang mereka. Padahal,
seringkali cara ini tidak menguntungkan karena kita cenderung menjadi jengkel dan kesal.
Dengan self-compassion, kita mengakui bahwa kita tidak sempurna, sekali-sekali bisa
gagal juga, dan dapat menerima bahwa kesulitan hidup kadang sesuatu yang tidak bisa kita
hindari. Orang yang self-compassionate mencoba untuk lembut degan dirinya saat mengalami
sesuatu yang menyakitkan karena itu tidak sesuai dengan harapan. Bahwa, kadang-kadang
keinginan kita atas banyak hal itu sesuatu yang terlalu ideal dan belum tentu bisa kita raih.
Justru kita ketika kita terlalu mengkritik diri kita dengan menolak atau menentang satu
kegagalan, rasa sakitnya malah meningkat dalam bentuk stress, dan frustrasi. Bila kita ingin
menjadi tenang, kita perlu menerima dengan simpati dan rasa “kindness” dengan realitas-
realitas yang terjadi.
Common humanity
Self-compassion memberikan pandangan bahwa kegagalan dan masalah adalah hal yang
lumrah sebagai manusia. Sesuatu yang manusiawi. Rasa frustrasi yang hadir ketika kita tidak
memperoleh yang kita inginkan seringkali diikuti dengan rasa terisolasi yang tinggi. Seolah-
olah hanya kita lah orang yang menderita, yang gagal, yang kurang atau yang berbuat salah.
Padahal semua orang juga pernah mengalami hal serupa: masa-masa sulit, apapun bentuknya
itu. Siapa pun dari kita pada dasarnya tidak sempurna dan rapuh atas masalah. (seakan-akan
orang lain bahagia, sempurna dan tidak ada masalah). Judulnya
Mindfulness
Self-compassion memberi kita kesadaran yang memamputkan kita menyeimbangkan
emosi negatif: sehingga yang kita tak perlu menolak atau mengabaikan, tapi juga tidak begitu
memikirkannya sehingga membuat kita tertekan. Mindfulness memberikan keseimbangan yang
kita perlukan sehingga masalah yang kita hadapi tak perlu membuat kita merasa tenggelam atau
meratapi nasib berlama-lama. Kita dapat lakukan ini dengan proses menghubungkan derita kita
dengan pengalaman buruk orang lain, dan melihat situasi kita dalam perspektif yang lebih luas.
Bisa menggiring kita pada respon yang lebih menenangkan, seperti “Ya memang ini kenyataan
sulit yang harus saya hadapi. Tapi tidak sedikit juga orang lain mengalami hal yang sama.
Bahkan mungkin lebih berat atau lebih banyak.”
Perasaan yang terlalu menyalahkan diri sendiri hanya membuat kita menarik diri dan
seakan-akan terbungkus dengan masalah kita sendiri. bayak orang yang seperti ini dan
kemudian berat untuk kemabli ke situasi normal dan kehilangan kemampuan untuk
menggunakan perspektif yang lebih objektif. Mindfulness sebagai bagian dari self-compassion
dapat membebaskan kita dari perasaan terisolasi dengan lingkungan kita seperti ini.
Mindfulness, karena merupakan kondisi pikiran yang bersifat menerima keadaan dan tidak
menyalahkan, membantu kita secara terbuka mengamati dengan jelas pikiran dan emosi kita.
Di saat yang sama pula ia mencegah kita untuk “over-identified” dengan pikiran dan perasaan
tertentu sehingga kita tidak terperangkap dan terbawa hanyut oleh perasaan negatif. Pikiran kita
bisa menyikapi kejadian sulit dengan mengatakan, “Walaupun ini sulit, tapi tidak ada gunanya
berlarut-larut dengan kesedihan.”
Dengan begini, kita dapat meyadari apa yang dialami oleh pikiran dan perasaan kita
tanpa mencoba mengabaikan atau menolaknya. Tak mudah bila kita mengabaikan rasa sakit
dan sekaligus merasa compassion di saat yang saat yang sama.
kesalahan yang kita buat atau kegagalan atas hal tertentu nyatanya lebih sering berujung pada
rasa frustrasi dan depresi. Ada baiknya self-critical dengan niat tidak mengulangi kesalahan
yang sama. Kita tidak ingin perilaku salah atau kejadian yang tidak enak terulang lagi pada kita.
Dan self-critical kita andalkan agar diri kita dapat berubah. Kata orang, siapa yang mau
terjerembab di lobang yang sama? Tapi kalau berujung pada depresi, siapa yang mau?
Penelitian-penelitian terkait menunjukkan self-critical lebih sering berujung pada rasa frustrasi
dan depresi. Bagaimana ini bisa terjadi?
Self-compassion vs Self-esttem
bagus, saat kita sukses, ada berita bagus, sementara self-compassion sebaliknya. Keadaanyang
sulit, kegagalan dan sejenisnya. Meskipun demikian self-compassion tidak mengatakan diri
saya “tidak berguna”.
Referensi
Bachman, W. (1988). Nice guys finish first: A SYMLOG analysis of US Naval commands.
The SYMLOG practitioner: Applications of small group research, 133-153.
Boyatzis, R. E., Smith, M. L., & Blaize, N. (2006). Developing Sustainable Leaders Through
Coaching and Compassion. Academy of Management Learning & Education, 5(1), 8-
24.
Cameron, K. (2008). Positive leadership: Strategies for extraordinary performance. San
Francisco, CA: Berrett-Koehler Publisher.
Collins, J. (2001). Good to great: Why some companies make the leap... and others don't:
Random House Business Book.
Dutton, J. E. (2006). Energize your workplace: How to create and sustain high-quality
connections at work: Wiley. com.
Dutton, J. E., Lilius, J., & Kanov, J. (2007). The transformative potential of compassion at
work. In S. K. Piderit, R. E. Fry & D. L. Cooperrider (Eds.), Handbook of
Transformative cooperation: New designs and dynamics (pp. 107-126). Stanford, CA:
Stanford Business Books.
Fredrickson, B. (2009). Positivity: Groundbreaking research reveals how toe Embrace the
hidden strength of positive emotions, overcome negativity. New York: Crown
Publishers.
Goleman, D. (1998). Working with emotional intelligence: Random House Digital, Inc.
Goleman, D. (2006). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ: Random House
Jinpa, T. (2006). Mind training: The treat collection. Boston: Wisdom Publications.
Kanov, J. M., Maitlis, S., Worline, M. C., Dutton, J. E., Frost, P. J., & Lilius, J. M. (2004).
Compassion in organizational life. American Behavioral Scientist, 47(6), 808-827.
Kouzes, J. M., & Posner, B. Z. (1999). Encouraging the heart: A leader's guide to rewarding
and recognizing others. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Lencioni, P. (2006). The five dysfunctions of a team: A leadership fable. Jossey Bass.
Losada, M., & Heaphy, E. (2004). The role of positivity and connectivity in the performance
of business teams a nonlinear dynamics model. American Behavioral Scientist, 47(6),
740-765.
Marmot, M. (2004). Status syndrome. Significance, 1(4), 150-154.
Neff, K. D., Kirkpatrick, K. L., & Rude, S. S. (2007). Self-compassion and adaptive
psychological functioning. Journal of research in personality, 41(1), 139-154.
Ochsner, K. N., & Gross, J. J. (2005). The cognitive control of emotion. Trends in Cognitive
Sciences, 9(5), 242-249.
Rizzolatti, G., & Fabbri-Destro, M. (2010). Mirror neurons: from discovery to autism.
Experimental Brain Research, 200(3-4), 223-237.
Rock, D. (2009). Your brain at Work: Strategies for overcoming distraction, regaining focus,
and working smarter all day long: Harper Collins.
Rynes, S. L., Bartunek, J. M., Dutton, J. E., & Margolis, J. D. (2012). Care and compassion
through an organizational lens: Opening up new possibilities. Academy of
Management Review, 37(4), 503-523.
Seligman, M. E. P. (2002). Positive psychology, positive prevention, and positive therapy. In
C. R. Snyder & S. J. Lopez (Eds.), Handbook of positive psychology. New York:
Oxford University Press.
Serino, A., Giovagnoli, G., & Làdavas, E. (2009). I feel what you feel if you are similar to
me. PloS one, 4(3), e4930.
47
Singer, T. (2009). Understanding others: Brain mechanisms of theory of mind and empathy.
Neuroeconomics: Decision making and the brain, 251-268.
Sprecher, S., & Fehr, B. (2005). Compassionate love for close others and humanity. Journal
of Social and Personal Relationships, 22(5), 629-651.
Tan, C. M. (2012). Search Inside Yourself: The Unexpected Path to Achieving Success,
Happiness (and World Peace): HarperCollins.