Globalisasi telah memasuki era baru yang bernama Revolusi Industri 4.0. Klaus
(Shwab, 2016) melalui The Fourth Industrial Revolution menyatakan bahwa dunia telah
mengalami empat tahapan revolusi, yaitu:
1) Revolusi Industri 1.0 terjadi pada abad ke 18 melalui penemuan mesin uap, sehingga
memungkinkan barang dapat diproduksi secara masal,
2) Revolusi Industri 2.0 terjadi pada abad ke 19-20 melalui penggunaan listrik yang membuat
biaya produksi menjadi murah,
3) Revolusi Industri 3.0 terjadi pada sekitar tahun 1970an melalui penggunaan komputerisasi,
dan
4) Revolusi Industri 4.0 sendiri terjadi pada sekitar tahun 2010an melalui rekayasa
intelegensia dan internet of thing sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas
manusia dan mesin.
Melalui kemudahan akses digital, perilaku masyarakat pun bergeser. Aksi politik kini
dapat dihimpun melalui gerakan-gerakan berbasis media sosial dengan mengusung ideologi
politik tertentu. Namun di balik kemudahan yang ditawarkan, Revolusi Industri 4.0
menyimpan berbagai dampak negatif, diantaranya ancaman pengangguran akibat otomatisasi,
kerusakan alam akibat ekspoitasi industri, serta maraknya hoax akibat mudahnya penyebaran
informasi. Oleh karena itu, kunci dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 adalah selain
menyiapkan kemajuan teknologi, di sisi lain perlu dilakukan pengembangan sumber daya
manusia dari sisi humaniora agar dampak negatif dari perkembangan teknologi dapat ditekan.
Pada era globalisasi dan Revolusi Industri 4.0 yang kini sedang berjalan, teknologi
dan informatika berkembang pesat mempengaruhi dunia bisnis bahkan kehidupan personal.
Dimana proses produksi berjalan dengan menggunakan internet sebagai penopang utama.
Semua obyek dilengkapi dengan teknologi yang dibantu sensor sehingga mampu
berkomunikasi sendiri dengan sistem teknologi informasi.Semua organisasi pasti menghadapi
peluang sekaligus tantangan tersebut. Organisasi dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan
diri secara dinamis dengan penuh inovasi.Organisasi juga harus tanggap dan introspeksi diri
sehingga mampu mendeteksi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Organisasi
yang berhasil adalah organisasi yang berdaya saing sehingga mampu meningkatkan efisiensi
dan efektifitas usahanya.
Indonesia telah memasuki era revolusi industri keempat. Hal ini terjadi dengan adanya
teknologi sebagai basis dalam kehidupan manusia. Segala hal menjadi tanpa batas dan tidak
terbatas akibat perkembangan teknologi digital ini. Dalam revolusi industri ini terjadi
lompatan besar terutama dalam bidang industri, yaitu teknologi informasi dan komunikasi
dimanfaatkan sepenuhnya.
Industri 4.0 memberikan pengaruh yang besar dan luas terutama dalam dunia
pekerjaan, di mana robot dan mesin akan menghilangkan banyak lapangan kerja di dunia.
Revolusi industri melalui teknologi digital dan perkembangan internet mampu mengurangi
waktu, biaya produksi, meminimalkan kesalahan kerja, serta mampu meningkatkan kualitas
produk. Namun di sisi lain, revolusi industri ini akan menghilangkan lapangan kerja di
seluruh dunia karena digantikan dengan kehadiran robot. Hal ini menjadi ancaman serta
tantangan bagi Indonesia sebagai negara yang memiliki angkatan kerja dan jumlah
pengangguran yang cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan adanya sinergi antara
masyarakat dan pemerintah terhadap perubahan ini melalui penyusunan strategi yang mampu
meningkatkan daya saing industri nasional dan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih
luas.
Revolusi industri keempat atau 4.0 utamanya merupakan perkembangan dari Internet
of Things (alat yang dapat mengirim data melalui internet), lalu di simpan dalam Big Data
(data yang terhimpun dalam jumlah sangat besar), kemudian diproses oleh Artificial
Intelligence (kecerdasan buatan). Dari tiga proses tersebut, dapat melahirkan “pabrik cerdas”
dan “robot cerdas” yang memaksimalkan fungsi internet. Revolusi industri keempat atau 4.0
memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap aspek kehidupan manusia. Menurut Prof.
Klaus Martin Schwab, teknisi dan ekonom Jerman, yang juga pendiri dan Executive
Chairman World Economic Forum, ia menyebutkan bahwa saat ini kita berada pada awal
sebuah revolusi yang secara fundamental mengubah cara hidup, bekerja dan berhubungan
satu sama lain.
Revolusi industri 4.0 ini memiliki dampak lebih besar pada negara di Asia Tenggara
karena mayoritas industri berjalan lebih konvensional dibandingkan bagian negara lain
seperti Eropa dan Amerika. Dampak yang paling terlihat adalah dari segi pekerjaan yang
tersedia. Oleh karena perkembangan robotisasi, maka pekerjaan yang tadinya dikerjakan
manusia yang bersifat rutin dapat digantikan oleh robot. Hal ini menyebabkan berkurangnya
jenis lapangan pekerjaan tersebut. Jika dari pihak pemerintah tidak dapat mempersiapkan
negara Indonesia untuk menghadapi revolusi industri 4.0 ini, maka dapat terjadi peningkatan
angka pengangguran khususnya bagi tenaga kerja yang kurang terampil atau sebagai buruh.
Pemerintah perlu melakukan persiapan agar Indonesia dapat memanfaatkan keuntungan dari
revolusi industri 4.0.
Untuk menghadapi revolusi industri ini, angkatan kerja yang akan menghadapi
revolusi industri harus dipersiapkan dengan matang karena angkatan kerja ini harus bersaing
dengan robot yang telah mengambil lapangan pekerjaan yang bersifat rutin dan fisik. Caranya
dengan meningkatkan keterampilannya untuk memahami penggunaan IoT atau kemampuan
menggabungkan teknologi pada industri nantinya. Hal ini merupakan nilai tambah bagi
tenaga kerja sehingga dapat tetap mengikuti perkembangan di industri 4.0. Oleh karena itu,
pelajaran mengenai teknologi atau pengaplikasian teknologi pada berbagai kegiatan di
sekolah harus lebih digencarkan, begitu pula di universitas.
Selain dari mempersiapkan tenaga kerja, industri-industri yang sudah ada harus mulai
menerapkan teknologi digital. Seperti yang kita ketahui, masih banyak industri kecil dan
menengah (IKM) yang bersifat konvensional dimana memanfaatkan jumlah tenaga kerja atau
buruh yang cukup banyak. Jika tidak mulai menggunakan teknologi yang ada, maka
produksinya akan kalah dari industri lainnya terutama industri dari luar negeri yang telah
menggunakan teknologi. Karena penggunaan teknologi ini akan meningkatkan efisiensi dan
kapasitas produksi sehingga harga jual produk akan lebih murah daripada proses
konvensional.
Disamping mengembangkan industri yang sudah ada, pada revolusi industri 4.0
seperti yang telah disebutkan akan adanya lapangan pekerjaan yang digantikan oleh sistem,
dan robot. Oleh karena itu, perlu diciptakannya lapangan kerja baru. Caranya dengan inovasi
teknologi melalui pengembangan bisnis startup. Bisnis startup berdasarkan definisinya
adalah suatu bisnis yang baru berkembang. Namun, bisnis startup ini lebih identik bisnis yang
berbau teknologi, web, internet dan yang berhubungan dengan ranah tersebut. Dengan peran
pemerintah yang membantu seperti dengan memfasilitasi tempat inkubasi bisnis ataupun
nantinya mengalokasikan dana untuk ide bisnis startup yang berpeluang bagus, lapangan
pekerjaan akan bertambah sesuai dengan mengikuti revolusi industri 4.0
Dalam menghadapi revolusi industri 4.0 ini, butuh peran pemerintah dan masyarakat
Indonesia. Salah satu perlu yang ditekankan dan ditanamkan kepada masyarakat tentang
revolusi industri 4.0 ini bahwa revolusi ini merupakan suatu tahap yang harus dihadapi
bangsa Indonesia sehingga baiknya tidak ada usaha dari masyarakat untuk melakukan protes
atau menyatakan ketidaksetujuan atas perubahan ini. Revolusi industri 4.0 ini sebenarnya
dapat meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas produk barang atau jasa yang dihasilkan.
Hal ini tentu menguntungkan untuk segala pihak karena memaksimalkan dari segi bahan
baku, energi, dan tenaga kerja. Oleh sebab itu, ada baiknya kita sebagai masyarakat dan juga
bersama dengan pemerintah berusaha bersama untuk menghadapi revolusi industri 4.0 dan
tidak semakin tertinggal dibandingkan negara lain.
Revolusi industri saat ini tengah memasuki generasi terbaru, yaitu Industri 4.0. Era
Industri 4.0 ditandai dengan adopsi penggunaan internet yang semakin luas oleh masyarakat,
termasuk dalam bisnis. Hal ini mendorong berbagai pengembangan dan terobosan teknologi
baru untuk mempercepat proses bisnis di berbagai industri.
Di era Industri 4.0 ini, persaingan dalam dunia kerja akan semakin sengit dan ketat.
Industri akan diisi oleh para pekerja dengan berbagai kemampuan khusus di bidang
teknologi, sehingga kita tidak dapat hanya mengandalkan tenaga dan kemampuan dasar saja.
Memahami berbagai perkembangan teknologi dapat menjadi modal untuk menjadi tenaga
profesional yang sukses di masa depan. Oleh karena itu, mempersiapkan diri untuk
menghadapi persaingan di era Industri 4.0 perlu dilakukan sedini mungkin. Revolusi industri
keempat ini bukan sekedar tentang digitalisasi proses dengan bantuan komputer dan robot
seperti pada era Industri 3.0, melainkan juga tentang keterhubungan antara berbagai
perangkat komputer yang ada dengan internet. Lewat kecanggihan internet, segala hal yang
terjadi dalam proses produksi dapat dipantau dan diketahui, tanpa harus datang ke tempat
mesin atau komputernya berada. Oleh karena itu, Internet of Things merupakan salah satu
bagian penting era Industri 4.0.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam laporan The Future of Jobs Report 2020 yang
dirilis oleh World Economic Forum, juga disebutkan bahwa pada tahun 2025 nanti,
kebutuhan akan beberapa bidang pekerjaan akan meningkat, terutama yang berkaitan dengan
teknologi, khususnya di bidang data dan transformasi digital. Sedangkan penurunan
permintaan tenaga di beberapa bidang juga akan terjadi, terutama bagi data entry dan
berbagai pekerjaan yang bersifat administratif.
Teknologi memang merupakan hal utama dalam era Industri 4.0. Namun, untuk
menghadapi persaingan tidak cukup hanya dengan bermodalkan kemampuan teknis saja.
Kemampuan pribadi yang sifatnya soft skill juga perlu dimiliki. Beberapa di antaranya adalah
kepemimpinan dan manajemen, serta kemampuan komunikasi, hingga kepercayaan diri.
Dalam menghadapi revolusi industri 4.0 setidaknya ada tiga hal yang perlu
diperhatikan semua pihak, agar kita dapat mengantisipasi tantangan yang akan timbul.
Pertama adalah kualitas, yakni upaya menghasilkan tenaga pemasaran yang berkualitas agar
sesuai dengan kebutuhan pasar yang berbasis teknologi digital. Kedua adalah masalah
kuantitas, yaitu menghasilkan jumlah tenaga pemasaran yang berkualitas, kompeten dan
sesuai dengan kebutuhan pasar/industri.
Ketiga adalah masalah distribusi tenaga pemasaran berkualitas yang belum merata.
Tantangan yang tidak kalah pentingnya disimak dalam mengatisipasi industri 4.0, yakni; 1.
Daya saing dan keunggulan bersaing dengan sejumlah negara. Persaingan dengan negara lain
tidak bisa dihindari karena sekat bangsa dan negara akan pudar seiiring kamajuan teknologi
digital. Daya saing dan keunggulan bersaing harus dipandang secara utuh, baik dari sisi
kemampuan ekspor produk dan jasa maupun dari sisi kemampuan memenuhi permintaan
dalam negeri. 2. Struktur dasar yang kokoh dan seimbang, pilar kuat dan berdaya saing.
Dibutuhkan lingkungan bisnis yang kondusif dan memberdayakan (empowering). Struktur
dasar yang kokoh dan seimbang dimaksudkan sebagai berkembangnya industri – industri
unggulan yang memperoduksi dan mengembangkan barang dan jasa. 3. Produk olahan
lanjutan dengan pendekatan teknologi digital. Kita harus mengurangi penjualan produk
mentah karena akan menghambat kebangkitan industri nasional.
Tantangan yang mendasar dihadapi dunia usaha, saat ini adalah masih tertinggalnya
dunia usaha Indoensia dalam persaiangan global. Apalagi era MEA menuntut dunia usaha
dan atau pelaku bisnis yang ada harus dapat melakukan efisiensi dalam segala hal. Memang
daya saing Indonesia dikancah Internasional mengalami perbaikan, namun masih jauh bila
dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Worl Economic Forum (WEF) pada
bulan September 2017, mengeluarkan laporan tingkat daya saing negara-negara di dunia
(Global Competitiveness Index) 2017-2018. Ratusan negara di dunia dinilai dan diteliti,
diperingkat indek kualitas dan daya saingnya. Indonesia termasuk salah satu negara yang
dikaji, dan hasilnya pada tahun ini mengalami peningkatan ranking. Global Competitiveness
Index (GCI) merupakakn laporan tahunan yang disusun oleh Executive Chairman WEF,
Profesor Klaus Schwab (1979).
Metode tersebut kemudian dikembangkan pada tahun 2005 oleh Xavier Salai Martin
dan sejak saat itu metode dan berbagai hasil laporan GCI diumumkan. Pada tahun ini,
Indoensia menempati peringkat GCI ke-36 dari 137 negara yang terdaftar dalam daftar WEF.
Pada tahun ini Indoensia berhasil naik lima peringkat dari peringkat ke-41 ke peringkat ke-
36. Menurut annual reprt WEF 2017/2018, peringkat Indonesia dinilai lebih kompetitif secara
ekonomi dibandingkan dengan Negara-negara lain yang telah dikenal sebagai Negara maju
seperti Brazil (peringkat ke-80), Rusia (peringkat ke-38), Itali (peringkat ke-43 ataupun Turki
(peringkat ke-53). Tidak hanya itu, Indonesia juga dinilai sebagai negara yang berada di
peringkat atas dalam hal inovasi di Negara-negara berkembang, namun demikian Indoensia
masih terbilang buruk dalam kesiapan teknologi dan efisiensi dalam pasar tenag kerja.
Pemerintah Indonesia meluncurkan Making Indonesia 4.0, sebuah peta jalan dan
strategi Indonesia dalam menjawab tantangan di era digital. Strategi tersebut ditopang dengan
lima (5) teknologi utama; Artificial Inteligence (AI), Internet of Things (IoT), 3D printing,
Advanced robotics and wearable (augmented reality or virtual reality) . Dalam hal ini ada
beberapa langkah konkrit yang perlu diambil pemerintah yakni;
1. Koordinasi menyeluruh antar kementerian, kementerian perindustrian, Keuangan,
Perdagangan, Komunikasi dan Informasi serta Kemenristekdikti.
2. Menerapkan proyek percontohan, dengan melibatkan perusahaan-perusahaan terpilih
dengan tingkat kesiapan industri 4.0
3. Gelar Forum Group Discussion, kolaborasi rutin antara pemerintah, pelaku industri,
akademisi, penyedia jasa konsultasi manajemen dan teknologi serta penyedia solusi teknologi
dan komunikasi.
4. Kolaborasi dengan konsultan, penyedia jasa konsultan manajemen dan teknologi dapat
menggunakan GFD untuk memaparkan pendekatan efefktif yang dapat dijalankan oleh
pelaku industri dalam melakukan proses evaluasi kematangan perusahaan menuju industri 4.0
5. Adopsi solusi teknologi terbaru, penyedia solusi teknologi dan komunikasi dalam FGD
dapat memaparkan solusi teknologi yang dibutuhkan oleh industri 4.0 termasuk artificial
intelligence (AI), Internal og Things (IoT), 3D printing, advanced robotics and wearanle
6. Perdalam peran penelitian dan pengembangan, pemerintah dan pihak yang terkait dapat
mengevaluasi menyeluruh terkait relevansi industri 4.0 dengan kegiatan penelitian dan
pengembangan.
7. Model bisnis yang lebih adaftif, pelaku industri dapat membahas terkait model bisnis yang
mendukung inovasi dan industri 4.0 , investasi untuk teknologi baru yang diperlukan.
Untuk langkah antisipasi revolusi industri 4.0 terlebih dalam mengantispasi
perkembangan pasar Revolusi industri 4.0 memfokuskan beberapa hal berikut ini;
1. Digital preneurship. Fokus pada usaha menumbuh kembangkan kewirausahaan
berbasis digital melalui penyelerasan kurikulum. Pemberdayaan digital co-working space,
menghubungkan dengan sumber-sumber pendanaan dan pasar berbasis digital, menyediakan
digital market place untuk memasarkan hasil inovasi dan produk sivitas akademika mereka.
2. Distance Learning. Strategi pemberdayaan siistem dan infrastruktur pembelajaran jarak
jauh, termasuk didalamnya perbaikan infrastruktur IT untuk penguatan distance learning
3. IT Infrastructure/E-services/Smart Campus. Strategi penguatan sistem informasi layanan
berbasis digital dan paperless untuk perbaikan layanan kepada masyarakat
4. Lifelong Learning. Penyediaan pembelajaran seumur hidup yang memungkin pengutan
akademik dan kompentensi yang lebih fleksibel, dengan menggalakkan kegiatan pelatihan,
magang, agar tercipta suatu keterampilan.
5. Global Nerwork for Academic, Reaserch and innovation. Penguatan program akademik
dan riset serta inovasi dengan menumbuhkan iklimkolaborasi dengan lembaga nasional dan
internasional melalui degree program, joint research dan peningkatan mobilitas tenaga
akademik.
6. IOT/Big Data/Intelligence Machine. Mengarahkan sumberdaya riset dan inovasi untuk
mendukung pengembangan IOT, mendukung bidang riset strategis yakni energi-otomotif,
sainsmaterial dan nano teknologi, industri kreatif, manjemen bencana dan perubahan iklim.
7. Character Building 4.0. Membangun karakter melalui uapaya peningkatan aspek 5 C,
yakni; creative, cognetive, collaborative, compotence and cohesiveness.
8. Taching Industry. Penguatan kegiatan hilirisasi untuk mendukung arah pengembangan
protetipe skala industri, kerjasama dengan industri, paten, inkubasi serta pembinaan UMKM.
9. Alignment To Industry and Public Needs. Penyelarasan kurikulum, riset dan inovasi
untukmemenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia industri
10. Adaptive Environment. Perubahan lingkungan akademik harus didukung infrastruktur
dengan antisipasi perubahan yang cepat agar output akademik menjadi kompetitif dan
berkarakter. Kemudian bagi dunia usaha skala kecil (UMKM), harus mereformasi diri dalam
rangka menghadapi revolusi industri 4.0 tersebut, jika selama ini pemasaran yang dilakukan
dengan menunggu, saatnya gencar melakukan promosi melalui sosial media, dan jika selama
ini produk yang dihasilkan statis, maka saatnya sudah meng-up-grade produk sesuai dengan
kehendak pasar.
Revolusi Industri 4.0 dan Tantangan Perubahan sosial telah menunjukkan bahwa
globalisasi tidak hanya fenomena yang berdampak pada bidang teknologi saja, namun telah
mendisrupsi berbagai bidang lain seperti sosial, hukum, dan ekonomi. Akibat yang
ditimbulkan dari disrupsi ini membuat tatanan dunia berubah drastis. Masalah-masalah yang
terjadi pada hari ini, tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara sama seperti dalam konsep
yang lampau. Revolusi Indsutri 4.0 tidak mungkin hanya dihadapi dengan pengembangan
teknologi tanpa melibatkan dinamika sosial di dalamnya. Selain menyiapkan daya saing yang
unggul, perlu dibangun kesadaran dan kedewasaan masyarakat dalam menyikapi
perkembangan dunia saat ini, terutama di zaman post truth, ketika informasi yang mengalir
deras tanpa kejelasan kebenarannya.
Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi dari sebuah industri.
Paradigma bisnis pun bergeser dari penekanan owning menjadi sharing (kolaborasi). Contoh
nyata dapat dilihat pada perpindahan bisnis retail (toko fisik) ke dalam e commerce yang
menawarkan kemudahan dalam berbelanja, ditambah merebaknya taksi online kemudian
mengancam eksistensi bisnis taksi konvensional. Fenomena disrupsi tidak hanya terjadi
dalam dunia bisnis saja.Namun telah meluas dalam bidang lainnya seperti pendidikan,
pemerintahan, budaya, politik, dan hukum. Pada bidang politik misalnya, gerakan-gerakan
politis untuk mengumpulkan masa melalui konsentrasi masa telah digantikan dengan gerakan
berbasis media sosial. Bidang pemerintahan pun kini juga ditantang untuk melaksanakan
birokrasi secara efektif efisien berbasis e governance. Sektor budaya pun juga ikut
terdisrupsi. Perkembangan media sosial yang masif, telah merekonstruksi struktur budaya
masyarakat. Relasi sosial hubungan masyarakat kini lebih erat terbangun dalam dunia maya,
sehingga hubungan dalam dunia nyata justru menjadi relatif. Terakhir, bidang hukum pun
sekarang pun juga terdisrupsi. Peraturan-peraturan hukum pun harus mengikuti
Apapun bentuk perubahan, termasuk revolusi industri 4.0 ini, tiada lain, semua pihak
harus kreatif, inovatif, dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sesuai dengan profesi dan
aktivtas yang kita lakukan, terlebih bagi mereka yang bergerak dalam dunia usaha.