Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PEMBAYARAN PPH BADAN

PENGAJAR
ALDA
DISUSUN OLEH:

 ASRUL
 NURMAYANTI
 ASRIA KARTIKA RAHMAN
 DINI AMINARTI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Saya mengucapkan terima kasih Kak Alda Nurfadillah dengan
Mata Pelajaran Administrasi Pajak yang telah memberikan tugas makalah ini sehingga kami
dapat memahami
Dan kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sengkang, November 2022

Kelompok
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang potensial untuk
membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Penerimaan dari sektor pajak ini
diupayakan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Penerimaan pajak yang mengalami
kenaikan diharapkan dapat membayar pembelanjaan negara demi tercapainya
kemakmuran rakyat. Penerimaan pajak berasal dari pemungutan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat maupun daerah dengan pengenaan terhadap objek pajak.
Pemerintah berusaha meningkatkan penerimaan pajak dengan upaya ekstensifikasi
dan intensifikasi. Hal ini dilakukan agar tercapainya target penerimaan pajak yang juga
terus meningkat setiap tahunnya. Selain tingkat kesadaran, pemerintah mengharapkan
tingkat kepatuhan dari Wajib Pajak. Wajib Pajak yang terdaftar pada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) diharapkan dapat memenuhi kewajibannya sebagai penerima penghasilan.
Indonesia menganut self assessment system atau sistem pemungutan pajak yang
memberi kewenangan Wajib Pajak untuk melakukan sendiri penghitungan, penyetoran,
dan pelaporan terhadap pajak terutang sesuai ketentuan peraturan perpajakan yang
berlaku. Penentuan besarnya pajak terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak melalui
Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan. Tingkat Penerimaan pajak adalah
ukuran seberapa besar pajak yang diterima oleh negara dari pembayaran pajak yang
dilakukan Wajib Pajak terdaftar. Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak sebagai
sumber penerimaan negara, perlu dilakukan reformasi perpajakan yang dilakukan dari
masa ke masa dengan tetap berdasarkan keadilan sosial. Reformasi perpajakan
tersebut dilakukan untuk dapat memperluas dan menambah Wajib Pajak. Penerimaan
Pajak Penghasilan di Indonesia pada umumnya masih didominasi oleh Pajak
Penghasilan badan. Hal tersebut dikarenakan sebagai instansi formal terdaftar, badan
lebih mudah teridentifikasi jati dirinya, terpantau kehadirannya, terdeteksi 2 kegiatannya
dan transparan obyek pajaknya sehingga pemungutan pajak atas badan lebih optimal
daripada orang pribadi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa prosedur menerapakan pembayaran PPh Badan?
2. Dimana tempat dan lokasi pembayaran PPh Badan?
3. Dokumen-dokumen yang harus disiapkan untuk pembayaran PPh Badan?
4. Mekanisme SSP (Surat Setoran Pajak)?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui Penerapan pembayaran PPh Badan
2. Untuk mengetahui Dimana tempat dan lokasi pembayaran PPh Badan
3. Untuk mengetahui Dokumen-dokumen yang harus disiapkan untuk pembayaran PPh Badan
4. Untuk mengetahui Mekanisme SSP (Surat Setoran Pajak)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prosedur Menerapkan Pembayaran PPh Badan
Jadi pajak penghasilan badan atau PPh badan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan dari
badan usaha.Di sini badan usaha menjadi subyek atas pajak penghasilan badan. Contoh dari badan
usaha yang menjadi subjek pajak diantaranya adalah:

 Badan berupa firma


 PT
 CV
 BUMN
 BUMD
 Koperasi
 BUT
 Dana pensiun
 Yayasan
 Ormas
 KIK
 Perkumpulan
 dan masih banyak lagi

Sementara penghasilan dari badan tersebut menjadi objek pajaknya. Adapun yang dimaksud
penghasilan badan diantaranya yaitu seperti:

 Laba usaha
 Royalti
 Hadiah, penghargaan
 Selisih kurs valuta asing
 Penghasilan usaha syariah
 Deviden
 Keuntungan penjualan ataupun pengalihan harta
 Sewa
 Bunga (diskonto, premium, imbalan atas pengembalian utang)
 Penghasilan terkait pemanfaatan aset selain tanah maupun transfer jasa juga bangunan
 Surplus Bank Indonesia
 dan masih banyak lagi lainnya
Jenis-jenis Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan)

Informasi berikut ini amat penting untuk diketahui oleh para pemilik usaha. Sebab membantu Anda
memahami berbagai jenis pajak penghasilan.

Beberapa jenis pajak penghasilan badan yang wajib dibayar serta dilaporkan oleh wajib pajak badan
yaitu:

Pajak Penghasilan/PPh Pasal 21

Pasal ini mengatur pemotongan penghasilan karyawan tiap bulan secara langsung oleh pihak
perusahaan dan kemudian disetorkan ke negara. Hanya karyawan dengan gaji di atas 4,5 juta yang akan
dikenakan pajak sesuai pasal ini.

Semakin tinggi gaji atau penghasilannya, maka makin tinggi pula nominal pajak penghasilan yang harus
dibayarkan. Jumlah pajak yang dikenakan ialah total 15% dari penghasilan selama setahun.

Pajak Penghasilan/PPh Pasal 22

Pasal ini mengatur pajak yang dikenakan pada badan usaha di bidang ekspor, impor, penjualan barang
mewah dan juga re-impor. Penghitungan dari PPh badan pasal ini cukup rumit karena terdiri dari banyak
ketentuan.

Besarnya nilai pajak yang dikenakan juga beragam. Disesuaikan dengan aktivitas atau operasional dari
badan usaha tersebut.

Pajak Penghasilan/PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 mengatur pajak yang dikenakan atas transaksi antara dua pihak seperti pembagian
keuntungan. Adapun contoh transaksi yang dikenai pajak ini ialah:

1. Pembagian deviden atau keuntungan pada para pemegang saham badan


2. Royalti, hadiah atau penghargaan dan juga bunga
3. Hasil dari sewa dan hasil pemanfaatan aset perusahaan kecuali tanah dan transfer jasa maupun
bangunan

Pajak Penghasilan/PPh Pasal 25

PPh pasal 25 berisi mekanisme angsuran pembayaran pajak penghasilan terutang. Dimana nilainya
diperoleh dari SPT PPh yang sudah dikurangi PPh terbayar maupun PPh terutang di luar negeri karena
boleh dikredit.

Pajak Penghasilan/PPh Pasal 26

Pasal 26 ini berisikan aturan pengenaan pajak atas penghasilan yang didapatkan dari Indonesia, oleh
wajib pajak luar negeri. Dimana penghasilan tersebut adalah selain BUT atau Bentuk Usaha Tetap di
negara Indonesia.
Pajak Penghasilan/PPh Pasal 29

Isinya mengenai pajak terutang suatu badan usaha. Dimana dalam periode satu tahun, nominal atau
jumlah pajak melebihi kredit pajak yang sudah dipotongkan secara langsung oleh pihak lainnya dan telah
disetor.

Oleh sebab itu, nominal lebih dari pajak terutang wajib disetorkan sebelum SPT PPh badan dilaporkan.
Tips menghindari jenis pajak ini ialah dengan menjaga cash flow usaha Anda tetapi stabil.

Pajak Penghasilan/PPh Pasal 4 Ayat 2

PPh Pasal 4 Ayat 2 menjelaskan tentang pajak yang dipotongkan dari penghasilan berupa bunga
deposito/tabungan, bunga surat utang atau obligasi, sekuritas saham, bunga koperasi dan juga hadiah
dari undian.

Pajak Penghasilan/PPh Pasal 15

Menjelaskan aturan pelaporan pajak atas wajib pajak tertentu sesuai Norma perhitungan Khusus.
Contoh wajib pajak tertentu yang dimaksud di atas ialah wajib pajak yang usahanya bergerak di bidang:

 Jasa pelayaran ataupun penerbangan skala internasional


 Asuransi luar negeri
 Pengeboran gas, minyak serta geothermal
 Usaha dagang asing
 dan masih banyak lagi contoh bidang lainnya

Mekanisme Penghitungan PPh Badan

Untuk bisa mengetahui besaran pajak penghasilan yang harus dibayarkan, maka seorang pemilik usaha
wajib mengetahui mekanisme penghitungannya.

Di bawah ini, akan kami jelaskan beberapa mekanisme penghitungan terkait pajak penghasilan badan.

 Penghasilan kena pajak, diperoleh dari hasil pengurangan penghasilan neto fiskal oleh kompensasi
dari kerugian fiskal. Adapun penghasilan neto fiskal ialah penghasilan WP dalam negeri baik dari
usaha ataupun bukan. Sedangkan kompensasi kerugian fiskal, yaitu kerugian yang ditanggung oleh
badan usaha. Dimana menurut pembukuan, kompensasi kerugian dapat diberikan dalam periode
lima tahun berturut-turut.
 PPh yang terutang, didapatkan dari hasil perkalian penghasilan kena pajak dengan tarif pajak yang
berlaku. Berdasarkan Undang-Undang perpajakan yang berlaku sejak 2010, tarif pajak sebesar 25%.
Bisa lebih rendah 5% jika WP dalam negeri berbentuk PT, memiliki minimal 40% saham yang
diperdagangkan di BEI. Tahun 2020-2021, tarif pajak penghasilan badan turun menjadi 22% dari
penghasilan kena pajak. Untuk tahun 2022 rencananya akan turun lagi menjadi 20% dan bagi PT
akan lebih rendah 3% dari tarif normal.
2.2 Tempat dan Lokasi Pembayaran PPh Badan

1. Online Banking

Wajib pajak perlu mendaftar untuk fas ilitas online banking pada bank persepsi yang
ditunjuk Menteri Keuangan. Bank tersebut kemudian akan menyediakan aplikasi khusus
pembayaran pajak online. Saat melakukan pembayaran, wajib pajak harus mengisi terlebih
dahulu data yang diperlukan pada aplikasi dari bank tersebut.

Saat pembayaran sudah dilakukan, wajib pajak akan menerima nomor referensi sebagai
tanda bukti pembayaran. Setelah itu data yang sudah diisi beserta nomor referensi perlu
dikirim kepada bank yang bersangkutan, agar wajib pajak dapat menerima Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN) dari bank, untuk dipergunakan pada laporan pajak yang akan
dikirimkan kepada kantor pajak.

2. Menyetor Lewat Teller Bank/Kantor Pos

Selain bank, kantor pos juga merupakan salah satu kanal yang ditunjuk oleh pemerintah
untuk melaksanakan sistem penerimaan negara secara elektronik melalui sistem modul
penerimaan negara ‘billing’ generasi kedua (MPN G2).

Dengan adanya pola penerimaan sistem MPN G2, wajib pajak cukup menunjukkan ID
Billing berupa 15 digit yang dibaca oleh sistem MPN G2. Kode tersebut dapat diakses wajib
pajak dengan terlebih dahulu mendaftar secara online melalui alamat www.pajak.go.id. Atau,
wajib pajak bisa juga mendapatkan ID Billing pada salah satu kanal yang ditunjuk oleh
pemerintah, misalnya aplikasi OnlinePajak.

Sebelumnya, sistem penerimaan pajak menggunakan lembar Surat Setoran Pajak (SSP).
Sayangnya, sistem tersebut merepotkan wajib pajak maupun petugas kantor pos/bank
persepsi.Kini, melalui sistem yang sudah terintegrasi, wajib pajak hanya perlu menunjukan
ID Billing kepada petugas kantor pos dan kemudian petugas akan memasukan kode billing
tanpa harus memasukan lagi identitas wajib pajak, NPWP, Kode MAP, nominal besar uang,
serta masa pajak.

3. Cara Pembayaran Pajak Penghasilan dengan OnlinePajak

Selain menggunakan fasilitas online banking atau menyetor langsung, wajib pajak kini
memiliki alternatif lain yang kian memudahkan wajib pajak untuk melakukan pembayaran
pajak. Alternatif yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan layanan yang disediakan oleh
OnlinePajak. Fitur bayar pajak online dapat membantu Anda dalam melakukan setor pajak
Tata Cara Pembayaran Pajak Penghasilan Menurut Metode Pembayaran

Dilihat dari metode pembayarannya, tata cara pembayaran Pajak Penghasilan (PPh)
terbagi dua, yakni pembayaran melalui online banking atau menyetor langsung melalui
kantor pos atau bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Secara umum, tata cara pembayaran Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

1. Online Banking

Wajib pajak perlu mendaftar untuk fasilitas online banking pada bank persepsi yang
ditunjuk Menteri Keuangan. Bank tersebut kemudian akan menyediakan aplikasi khusus
pembayaran pajak online. Saat melakukan pembayaran, wajib pajak harus mengisi terlebih
dahulu data yang diperlukan pada aplikasi dari bank tersebut.

Saat pembayaran sudah dilakukan, wajib pajak akan menerima nomor referensi sebagai
tanda bukti pembayaran. Setelah itu data yang sudah diisi beserta nomor referensi perlu
dikirim kepada bank yang bersangkutan, agar wajib pajak dapat menerima Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN) dari bank, untuk dipergunakan pada laporan pajak yang akan
dikirimkan kepada kantor pajak.

2. Menyetor Lewat Teller Bank/Kantor Pos

Selain bank, kantor pos juga merupakan salah satu kanal yang ditunjuk oleh pemerintah
untuk melaksanakan sistem penerimaan negara secara elektronik melalui sistem modul
penerimaan negara ‘billing’ generasi kedua (MPN G2).

Dengan adanya pola penerimaan sistem MPN G2, wajib pajak cukup menunjukkan ID
Billing berupa 15 digit yang dibaca oleh sistem MPN G2. Kode tersebut dapat diakses wajib
pajak dengan terlebih dahulu mendaftar secara online melalui alamat www.pajak.go.id. Atau,
wajib pajak bisa juga mendapatkan ID Billing pada salah satu kanal yang ditunjuk oleh
pemerintah, misalnya aplikasi OnlinePajak.

Sebelumnya, sistem penerimaan pajak menggunakan lembar Surat Setoran Pajak (SSP).


Sayangnya, sistem tersebut merepotkan wajib pajak maupun petugas kantor pos/bank
persepsi.

Kini, melalui sistem yang sudah terintegrasi, wajib pajak hanya perlu menunjukan ID Billing
kepada petugas kantor pos dan kemudian petugas akan memasukan kode billing tanpa
harus memasukan lagi identitas wajib pajak, NPWP, Kode MAP, nominal besar uang, serta
masa pajak.
3. Cara Pembayaran Pajak Penghasilan dengan OnlinePajak

Selain menggunakan fasilitas online banking atau menyetor langsung, wajib pajak kini
memiliki alternatif lain yang kian memudahkan wajib pajak untuk melakukan pembayaran
pajak. Alternatif yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan layanan yang disediakan oleh
OnlinePajak. Fitur bayar pajak online dapat membantu Anda dalam melakukan setor pajak.

2.3 Dokumen yang Diperlukan untuk Pelaporan SPT Tahunan Badan

Dalam melakukan pelaporan SPT Tahunan Badan, Anda tentu harus menyiapkan serangkaian
dokumen sebagai syarat pelaporan. Berikut ini adalah beberapa dokumen yang perlu Anda siapkan
sebelum melakukan lapor pajak tahunan PPh Badan:

1. Formulir SPT Tahunan Badan 1771. 


2. SP Masa PPh Pasal 21 (Periode pajak Januari – Desember). 
3. Bukti pemotongan PPh Pasal 23 (Periode pajak Januari – Desember). 
4. Bukti potong PPh Pasal 4 ayat 2 (Periode Pajak Januari – Desember). Untuk wajib pajak badan
yang mau melapor kewajiban pajak PPh Final 0,5%, lampirkan bukti pembayaran PPh Pasal 4
ayat 2 masa pajak Januari – Desember. 
5. SPT Masa PPN (termasuk semua faktur pajak yang masuk (Pajak Masukan) dan faktur pajak
keluar (Pajak Keluaran) periode Januari – Desember). 
6. Bukti potong PPh Pasal 22 dan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25 Impor (Periode pajak
Januari – Desember). 
7. Bukti pembayaran untuk Surat Tagihan Pajak (STP) PPh Pasal 25 (Periode pajak Januari –
Desember) 
8.  Bukti pembayaran PPh Pasal 25 (Periode Pajak Januari – Desember). 
9. Laporan keuangan (neraca dan rugi laba), termasuk laporan hasil audit akuntan publik. 

Selain dokumen di atas, Anda juga harus melengkapi data-data pendukung, seperti: 

 Rekening koran/tabungan perusahaan. 


 Akta pendirian perusahaan (badan) atau akta perubahannya. 
 SPT badan yang memuat informasi biaya promosi, biaya hiburan, daftar penyusutan,
penghitungan kompensasi kerugian, dan lainnya. 
 Bukti penerimaan dan pengeluaran, mulai dari kwitansi, nota, bon, dan lainnya. 
 Buku besar pendukung laporan keuangan.
 Buku besar pembantu pendukung laporan keuangan. 

Belum selesai, masih ada dokumen tambahan yang perlu Anda siapkan. Seperti berikut ini:

1. Daftar nominatif pengeluaran biaya promosi. 


2. Daftar nominatif, biaya entertain, dan sejenisnya. 
3. Ikhtisar dokumen induk dan dokumen lokal (ikhtisar master file (MF) dan local file (LF)). 
4. Penghitungan besar perbandingan antara utang dan modal. 
5. Laporan utang swasta luar negeri. 
Seperti yang Anda ketahui bahwa peraturan terbaru, yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja mengatur pula ketentuan sanksi pajak terbaru. Sanksi berdasarkan UU Cipta Kerja berlaku tarif
bunga sanksi administrasi pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang penghitungannya mengacu
pada suku bunga Bank Indonesia (BI).

Apa itu SSP Pajak dan Kaitannya dengan SSE serta e-Billing?
Surat Setoran Pajak atau SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui
tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Pengertian lain juga menyebutkan bahwa SSP merupakan suatu surat yang digunakan oleh Wajib
Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara.

Lalu, apa kaitannya SSP dengan SSE atau e-Billing?


Sejatinya ketiganya merupakan hal serupa, yakni sebutan yang digunakan untuk melakukan proses
pembayaran pajak dan bukti menyetorkan kewajiban pajak ke kas negara.

Hanya saja, sebutan Surat Setoran Elektronik (SSE) ini lebih kepada bentuk Surat Setoran Pajak
secara elektronik. Hal serupa juga disebut dengan e-Billing.

Namun untuk sebutan SSP lebih digunakan secara umum untuk pembayaran atau penyetoran
pajak.

Jadi, antara SSP dan SSE maupun e-Billing adalah suatu hal yang sama saja, yakni sama-sama
merupakan surat atau formulir yang digunakan untuk membayar pajak.

Akan tetapi, memang SSP identik dengan proses pembayaran pajak secara manual.

Sebab setidaknya mulai 2016, DJP memperkenalkan SSE Pajak atau e-Billing pajak.

Pada era Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN G2) saat ini, SSP pajak sudah tidak lagi
digunakan sebagai alat pembayaran pajak karena diganti dengan menggunakan SSE sebagai hasil
perkembangan teknologi informasi.

Sistem billing pajak online ini di administrasikan oleh Biller Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan


menerapkan atau menerbitkan billing system.

Dengan prosedur seperti ini, idealnya kesalahan yang terjadi bisa diminimalisir dengan bantuan
sistem yang lebih teratur.

SSE pajak online atau aplikasi surat setoran elektronik ini akan menerbitkan kode billing atau ID
billing pajak untuk berbagai kode akun pajak dan kode jenis setoran, sehingga dapat digunakan wajib
pajak badan usaha maupun orang pribadi untuk membayar pajak secara online maupun melalui
bank.

Nantinya wajib pajak hanya perlu melakukan serangkaian prosedur sederhana, dan mendapat
kode billing pembayaran pajak.

Kode ini yang digunakan sebagai identitas utama pembayaran pajak yang akan dilakukan.
Dasar Hukum dan Perubahan Peraturan SSP Terbaru
Dalam beleid teranyar ini disebutkan, alasan perubahan aturan SSP adalah :

Untuk mewujudkan tertib administrasi dalam pembayaran dan penyetoran pajak. Sehingga
diperlukan kode akun pajak dan kode jenis setoran pajak yang sesuai dengan perkembangan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Mengenai bentuk, isi, dan tata cara pengisian SSP ini seperti diketahui telah mengalami beberapa
kali perubahan. Berdasarkan Pasal 6 aturan terbaru ini, perubahan ketentuan SSP Perdirjen Pajak
No. PER-38/PJ/2009 ini telah dilakukan sebanyak tujuh kali, di antaranya:

 Tahun 2010

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 tentang Perubahan atas Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak

 Tahun 2013

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009

 Tahun 2015

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2015 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran
Pajak

 Tahun 2015

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2015 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran
Pajak

 Tahun 2016

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2016 tentang Perubahan Kelima atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran
Pajak

 Tahun 2017

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2017 tentang Perubahan Keenam atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran
Pajak

 Tahun 2020

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2020 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara
Pengisian Surat Setoran Pajak.
 Tahun 2021

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2021 tentang Perubahan atas


PER-09/PJ/2020 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Setoran Elektronik.

Dengan adanya ketentuan terbaru tentang SSP tersebut dalam Perdirjen Pajak No.
PER-22/PJ/2021, maka peraturan sebelumnya dinyatakan diubah.

Fungsi Dokumen SSP dan Jenis Surat Setoran Pajak


Dokumen SSP berperan sangat penting dalam pembayaran atau penyetoran pajak.

Oleh karena itu, SSP berfungsi sebagai sebuah bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan
oleh pejabat kantor penerimaan pembayaran yang berwenang, atau apabila telah mendapatkan
validasi dari pihak lain yang berwenang.

Setidaknya jenis SSP sebagai sarana administrasi untuk melakukan pembayaran pajak
sebelumnya terdiri dari:

a. Surat Setoran Pajak Standar

SSP Standar merupakan surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran
atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Penerima Pembayaran.

Surat ini digunakan sebagai bukti pembayaran dengan bentuk, ukuran, dan isi yang telah
ditetapkan.

SSP Standar dibuat sebanyak rangkap 5 dengan peruntukan sebagai berikut:

 Lembar ke-1 untuk arsip Wajib Pajak


 Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN)
 Lembar ke-3 digunakan Wajib Pajak untuk lapor ke KPP
 Lembar ke-4 untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran
 Lembar ke-5 untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan perundangan
perpajakan yang berlaku

b. Surat Setoran Pajak Khusus

Surat Setoran Pajak Khusus ini mempunyai fungsi yang sama dengan SSP Standar dalam
administrasi perpajakannya.

SSP Khusus merupakan bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima
Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran menggunakan mesin transaksi
dan/atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang telah ditetapkan.

SSP Khusus hanya dicetak pada saat transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebanyak 2
lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-1 dan lembar ke-3 SSP Standar.

Atau dicetak terpisah sebanyak 1 lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-2 SSP Standar
untuk diteruskan ke KPPN sebagai lampiran Daftar Nominatif Penerimaan (DNP).
c. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor

Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) merupakan SSP yang
digunakan oleh Importir atau Wajib Bayar dalam rangka impor.

SSPCP ini dibuat dalam rangkap 6 dengan peruntukan sebagai berikut:

 Lembar ke-1a untuk KPPBC (Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai) melalui
Penyetor/Wajib Pajak
 Lembar ke-1b Untuk Penyetor/Wajib Pajak
 Lembar ke-2a untuk KPBC melalui KPPN
 Lembar ke-2b dan ke-2c untuk KPP melalui KPPN
 Lembar ke-3a dan ke-3b untuk KPP melalui Penyetor/Wajib Pajak atau KPBC
 Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Pos Indonesia.

d. Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan dalam
Negeri (SSCP)

SSCP ini merupakan SSP yang digunakan oleh Pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai
dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.

Surat Setoran ini dibuat dalam rangkap 6 dengan peruntukan sebagai berikut:

 Lembar ke-1a untuk KPBC melalui Penyetor atau Wajib Pajak


 Lembar ke-1b untuk Penyetor atau Wajib Pajak
 Lembar ke-2a diperuntukkan bagi KPBC melalui KPPN
 Lembar ke-2b untuk KPP melalui KPPN
 Lembar ke-3 untuk KPP melalui Penyetor/Wajib Pajak
 Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau PT Pos Indonesia.

SSP digunakan untuk pembayaran atas semua jenis pajak, sedangkan pengadministrasian setiap
jenis pajak secara terpisah dalam kas negara (APBN/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),
maka perlu ada Mata Anggaran Penerimaan (MAP) untuk setiap jenis pembayaran pajak.

Merujuk Pasal 3 ayat 1 PER-09/PJ/2020, SSP digunakan untuk melakukan pembayaran atau
penyetoran atas:

 1 jenis pajak
 1 Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak
 1 surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan PBB, Surat Tagihan PBB, atau
surat keputusan atau putusan atas upaya hukum yang mengakibatkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah, dalam hal pembayaran atas ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak,
dengan menggunakan 1 kode akun pajak dan 1 kode jenis setoran.

Jadi, satu formulir SSP hanya untuk pembayaran satu jenis pajak dan atau satu masa pajak/satu
tahun pajak/surat ketetapan pajak/surat tagihan pajak dengan menggunakan satu kode akun pajak
dan satu kode jenis setoran.
Aturan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak

Sementara itu, ketentuan mengenai Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP) dalam Pasal
1 ayat (1) PER-09/PJ/2020 disebutkan;

“SSPCP adalah surat setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk,
denda administrasi, penerimaan pabean lainnya, cukai, penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan,
bunga dan PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, serta PPnBM Impor”.

Penyetoran penerimaan pajak dalam rangka impor, termasuk penyetoran kekurangan pembayaran
pajak atas impor selain yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak atau surat ketetapan pajak ini
menggunakan formulir SSPCP.

Ketentuan ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan dan Cukai.

Contoh Surat Setoran Pajak atau Formulir SSP

Pembuatan SSP dalam PER-09/PJ/2020 disebutkan lampiran surat setoran pajak hanya perlu
dibuat rangkap dua saja, yakni:

 Lembar ke-1 untuk disampaikan kepada bank/pos persepsi atau Lembaga persepsi lainnya
 Lembar ke-2 untuk arsip wajib pajak

Namun jika diperlukan, SSP bisa dibuat lebih dari dua rangkap sesuai dengan kebutuhan.

Dalam pembuatan SSP di e-Billing pajak, Anda juga dapat mengunduh atau download formulir SSP
tersebut.
Berikut adalah contoh surat setoran setoran pajak atau bentuk formulir SSP:

Format Dokumen dan Contoh Cara Pengisian Formulir SSP


Dalam Lampiran PER-22/2021, tata cara pengisian SSP dilakukan sesuai petunjuk pada aplikasi
Billing DJP atau layanan, produk, aplikasi, atau sistem penerbitan Kode Billing (ID Billing) yang
terhubung dengan sistem Billing DJP.
Berikut format atau tata cara pengisian formulir SSP pajak eBiling DJP:

1. Kotak Lembar : Diisi dengan angka 1, 2, atau angka yang menunjukkan jumlah rangkap SSP.

2. Untuk : Diisi dengan tujuan peruntukan formulir SSP.

2. Contoh:

 Lembar ke-1 : Untuk disampaikan kepada Bank/Pos Persepsi atau Lembaga Persepsi Lainnya.
 Lembar ke-2 : Untuk arsip Wajib Pajak.

3. NPWP : Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dimiliki Wajib Pajak (WP).

4. Nama WP : Diisi dengan Nama WP.

5. Alamat WP : Diisi sesuai dengan alamat WP.

Catatan: bagi WP yang belum memiliki NPWP.

1. NPWP diisi dengan 00.000.000.0-XXX.000


2. XXX diisi dengan Nomor Kode KPP tempat transaksi atau objek pajak diadministrasikan
3. Nama dan alamat diisi lengkap sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lain
yang sah

6. NOP : Diisi sesuai dengan Nomor Objek Pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

7. Alamat Objek Pajak : Diisi sesuai dengan alamat tempat Objek Pajak berada berdasarkan SPPT
PBB.

Catatan: diisi hanya apabila terdapat transaksi yang terkait dengan tanah dan/atau bangunan yaitu
PBB Pertambangan, Perhutanan, Perkebunan, dan PBB Sektor Lainnya, transaksi pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan, sewa tanah dan/atau bangunan, dan kegiatan membangun sendiri.

8. Kode Akun Pajak : Diisi dengan angka Kode Akun Pajak sebagaimana tercantum dalam
Lampiran B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

9. Kode Jenis Setoran : Diisi dengan angka dalam kolom “Kode Jenis Setoran” sebagaimana
tercantum dalam Lampiran B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, untuk setiap jenis setoran pajak
yang akan dibayar atau disetor.

Catatan: kedua kode tersebut harus diisi dengan benar dan lengkap agar kewajiban perpajakan yang
telah dibayar dapat diadministrasikan dengan tepat

10. Uraian Pembayaran : Diisi dengan tambahan informasi pembayaran yang tidak terdapat pada
kolom yang tersedia.
Contohnya diisi dengan:

1. Nama pembeli untuk pembayaran PPh Final pasal 4 ayat (2) atas transaksi pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan atau nama penyewa untuk pembayaran PPh Final pasal 4 ayat (2) atas
sewa tanah dan/atau bangunan.
2. Nomor Faktur Pajak atas transaksi yang terutang PPN yang dilakukan oleh Pemungut

11. Masa Pajak : Diisi dengan memberi tanda silang pada salah satu kolom Masa Pajak untuk Masa
Pajak yang dibayar atau disetor.

Pembayaran atau penyetoran untuk lebih dari satu Masa Pajak dilakukan dengan menggunakan 1
(satu) SSP untuk setiap Masa Pajak Tahun Pajak Diisi dengan Tahun Pajak yang sesuai.

12. Nomor Ketetapan : Diisi dengan nomor ketetapan yang tercantum pada surat ketetapan
(SKPKB, SKPKBT) atau Surat Tagihan Pajak (STP) hanya apabila SSP digunakan untuk membayar
atau menyetor pajak yang kurang dibayar/disetor berdasarkan surat ketetapan pajak, STP, atau
putusan lain.

13. Jumlah Pembayaran : Diisi dengan angka jumlah pajak yang dibayar atau disetor dalam rupiah
penuh.

Pembayaran pajak dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat (bagi WP yang
diwajibkan melakukan pembayaran pajak dalam mata uang Dollar Amerika Serikat), diisi secara
lengkap dampai dengan sen.

14. Terbilang : Diisi dengan jumlah pajak yang dibayar atau disetor dengan huruf latin dan
menggunakan Bahasa Indonesia.

15. Diterima oleh Kantor Penerima Pembayaran : Diisi tanggal penerimaan pembayaran atau
setoran oleh Kantor Penerima Pembayaran, tanda tangan, dan nama jelas petugas penerima
pembayaran atau setoran, serta cap/stempel Kantor Penerima Pembayaran.

16. Wajib Pajak/Penyetor : Diisi tempat dan tanggal pembayaran atau penyetoran, tanda tangan,
NPWP, dan nama jelas WP/Penyetor serta stempel usaha (jika ada)

17. Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran : Diisi dengan Nomor Transaksi Penerimaan
Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB), atau NTPN dan Nomor Transaksi Pos (NTP),
atau NTPN dan Nomor Transaksi Lainnya (NTL).

Anda mungkin juga menyukai