Pancasila Di Era Native Demokrasi
Pancasila Di Era Native Demokrasi
net/publication/305401808
CITATIONS READS
0 3,049
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Fostering Environmental Virtue for Children : A Learning Strategy in Bandung View project
How to Build Political Knowledge in School? A Learning Effort through Civic Education View project
All content following this page was uploaded by Wibowo Heru Prasetiyo on 19 July 2016.
Abstrak
Pendahuluan
Sumber : Selasar.com
Tantangan bagi generasi baru Indonesia di era native democracy bukan lagi
persoalan cadangan Sumber Daya Alam (SDA), melainkan penyiapan Sumber Daya
Manusia (SDM) berkualitas. Pengetahuan sebagai sumber kompetensi dan produktivitas
masyarakat di era native democracy harus bisa direbut lewat pendidikan. Untuk
mewujudkan kualitas manusia unggul di era native democracy, maka negara harus
menyiapkan serangkaian tools dalam politik pendidikan nasional. Jamak diketahui
bahwa kualitas SDM yang bermutu seperti di Amerika Serikat, Jepang, dan negara maju
lainnya menjadi keunggulan dibandingkan negara-negara berkembang yang lebih
dikaruniai SDA melimpah. Penyiapan tools yang sistematis, holistik, dan dalam jangka
panjang harus didukung oleh stabilitas ekonomi dan politik. Indonesia berada di antara
negara-negara berkembang yang mempunyai tantangan berupa pergantian
kepemimpinan diikuti perubahan kebijakan secara keseluruhan. Negeri ini seperti
kehilangan road mapping pembangunan untuk masa yang panjang. Pembangunan SDM
menjadi salah satu yang fundamental namun diabaikan dari ketiadaan road mapping
tersebut.
Salah Satu Ekspresi Masyarakat Native Democracy
Sumber : merdeka.com
Kualitas sumber daya manusia Indonesia memang masih belum bisa dianggap
siap untuk menantang era baru native democracy. Indeks pembangunan manusia
Indonesia berdasar data UNDP (2013, hlm. 144-145) hanya memperoleh rangking 121
dari 187 negara. Peringkat Indonesia masih kalah dengan negara tetangga seperti
Filipina (114), Thailand (103), Malaysia (64) dan Singapura (18). Meskipun laporan
PISA (2010, hlm. 78) menunjukkan kuantitas pendidikan kita naik 7% dan performa
mengalami pertumbuhan 30% tetapi jumlah anak putus sekolah di usia pendidikan
dasar 7-12 tahun masih tinggi di angka 182.773 siswa. Faktor besarnya angka anak
putus sekolah tidak semata persoalan anggaran pendidikan, melainkan juga akses dan
distribusi kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang masih mengalami
ketidakadilan antara Jawa dan luar Jawa. Jumlah pengangguran terdidik di negeri ini
dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga tidak bisa dikatakan baik dengan angka 7%
(tamatan SD), 14,9% (tamatan SMP), 20,8% (tamatan SMA), 21% (tamatan SMK), dan
15,8% (tamatan sarjana). Pengangguran yang begitu besar amat disayangkan terjadi di
usia-usia produktif yang semestinya nanti menjadi penopang sektor-sektor penting di
negeri ini dalam persaingan global.
Distribusi Angka Putus Sekolah Tahun 2011:
Penduduk Usia 7-12 Tahun
Agama, Pancasila,
UUD 1945, UU No.
20/2003 Sisdiknas
INTERVENSI
Teori Masyarakat
Pendidikan Keluarga Perilaku
Nilai-nilai Satuan
, Psikologi,
Nilai,
Pendidikan Berkatakter
Luhur
Sosial
Budaya
HABITUASI
Pengalaman terbaik
(best practices) dan
praktik nyata
Sumber : Budimansyah, 2010, hlm. 56
Belajar dari sejarah, untuk menjadi basis dasar bagi pembangunan negara dan
karakter (nation and character building) semestinya Bangsa Indonesia melakukan
rejuvikasi (penyegaran) terhadap cara pandang kepada Pancasila. Latar belakang
historitas dalam implementasi Pancasila di bagian awal tulisan ini mengambarkan
bahwa beragam tafsir yang justru menjadikan Pancasila semakin sakit disebabkan oleh
sikap apatis di satu sisi dan phobia di sisi yang lain. Kaelan (2013) menyebutkan bahwa
Pancasila bagi Bangsa Indonesia memiliki kedudukan yang primer sebagai suatu
weltanscahuung (pandangan hidup). Pancasila sebagai pandangan hidup bukanlah
seperti pemaknaan kita terhadap agama yang kita yakini. Sebab Pancasila bukanlah
agama dan tidak mungkin untuk meng-agama-kan Pancasila. Buah pikir para pendiri
republik bahwa Indonesia tidak dibangun sebagai negara berdasar satu agama tertentu,
tetapi negara yang dihidupi oleh keyakinan kepada Tuhan dan melindungi kebebasan
beragama bagi warganya. Jika hal ini dihayati dengan sepenuhnya maka akan diperoleh
keinsyafan bahwa Pancasila akan dapat menjadi solusi persoalan-persoalan individu
maupun kenegaraan. Dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hukum bagi semua
peraturan perundang-undangan, yang jika dilaksanakan secara konsekuen akan
membawa bangsa ini menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan makmur.
Realita di masa sekarang Pancasila seperti hanya utopia bagi Bangsa Indonesia
sendiri. Semenjak diikrarkan oleh Soekarno pada 1945 sebagai nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang, yang diambil dari bumi pertiwi sebagai asa moral dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara, Pancasila kehilangan makna dalam prakteknya. Di era
reformasi, tak banyak perubahan berarti. Justru semakin bertambah parahnya
degradasi moral seperti konflik politik, korupsi, pembunuhan, pengangguran, pencurian
sumber daya alam, hukum yang berat sebelah, pengrusakan lingkungan, pelanggaran
HAM, narkoba, seks bebas di kalangan remaja, tawuran pelajar, gerakan separatis,
kacau balaunya sistem pendidikan adalah gambaran kondisi Indonesia saat ini.
Simpulan
Persaingan global dengan tuntutan atas kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia unggul tidak dapat lagi ditawar. Indonesia dengan bonus demografinya di
masa yang akan datang membutuhkan solusi jangka panjang yang harus secepatnya
dimulai guna memenangkan persaingan di era native democracy. Sumber daya manusia
unggulan yang dipersyaratkan di era native democracy bukan hanya unggul secara
kognitif-intelektual, melainkan juga memiliki basis karakter yang kuat. Pancasila
sebagai ideologi Bangsa Indonesia memberikan basis kekuatan karakter tersebut lewat
nilai-nilainya yang dapat teraktualisasikan melalui pendidikan karakter.
Negara Indonesia tidak boleh lagi larut dalam pertentangan ideologi di antara
ekstrem kanan dan kiri. Pengalaman sejarah telah membelajarkan kepada kita bahwa
Pancasila masih layak dan harus terus dipertahankan sebagai sumber nilai bagi
pembangunan bangsa dan negara. Di era native democracy, karakter manusia Pancasila
harus diteladankan dan bukan sekedar dibelajarkan. Pancasila jangan hanya menjadi
wacana kampanye atau diskursus lewat mimbar-mimbar seminar. Pancasila harus
dekat, hidup dan dihidupkan dalam setiap aktivitas kehidupan rakyat Indonesia.
Daftar Rujukan
Sumber Buku
Latif, Y. (2014). Air Mata Keteladanan : Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan.
Huntington, S. P. (2012). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia.
Jakarta: Qolam.
Rizieq, H. (2013). Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah. Jakarta: Suara Islam
Press.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1998). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Jakarta: Sekretarian Negara RI.
Sumber Laporan/Jurnal
OECD. (2010). PISA 2009 Results: Learning Trends: Changes in Student Performance Since
2000 (Volume V). Paris: OECD.
Badan Pusat Statistik (BPS). Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis
Kelamin, Kelompok Umur Sekolah, dan Partisipasi Sekolah 1, 2002-2014. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Sumber Internet
Gulo, M. R. (2012, 28 Oktober). Jelaskan, Menurut Alvin Toffler, Ada Tiga Gelombang
Peradaban Manusia. [Online]. Diakses dari
https://ahlikomunikasi.wordpress.com/2012/10/28/menurut-alvin-toffler-tiga-
gelombang-peradaban-manusia-lihat/ pada 15 Oktober 2015.
Pratomo, A. Y. (2014, 25 September). Puluhan Bupati dan Wali Kota Demo Tolak
Pengesahan RUU Pilkada. [Online]. Dikses dari
http://m.merdeka.com/peristiwa/puluhan-bupati-dan-wali-kota-demo-tolak-
pengesahan-ruu-pilkada.html pada 15 Oktober 2015.