Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/305401808

Pancasila di Era Native Demokrasi

Conference Paper · October 2015

CITATIONS READS

0 3,049

1 author:

Wibowo Heru Prasetiyo


Universitas Muhammadiyah Surakarta
9 PUBLICATIONS   9 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Fostering Environmental Virtue for Children : A Learning Strategy in Bandung View project

How to Build Political Knowledge in School? A Learning Effort through Civic Education View project

All content following this page was uploaded by Wibowo Heru Prasetiyo on 19 July 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pancasila di Era Native Demokrasi:
Sebuah Tantangan Pendidikan Menuju Bangsa Besar
Oleh :
Wibowo Heru P.
(Mahasiswa SPs UPI Program Magister PKn 2014)

Abstrak

Semenjak proklamasi kemerdekaan, Pancasila telah menjadi dasar negara


sekaligus cara pandang dalam melihat diri dan masa depan Bangsa Indonesia.
Pergolakan implementasi Pancasila di antara ekstrem kanan dan kiri telah
menghasilkan suatu phobia bagi Bangsa Indonesia terhadap ideologinya sendiri.
Padahal di era native democracy yang sedang mengeliat diperlukan basis ideologi yang
kuat sebagai sumber internalisasi nilai dalam pendidikan. Dengan merumuskan
pendidikan karakter yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila akan menghasilkan
generasi emas 2045 sebagai momentum puncak seadab perayaan kemerdekaan
Indonesia. Rejuvikasi atau penyegaran cara pandang terhadap Pancasila mutlak
diperlukan dengan mengembalikan kepada dasar filosofis dan historis perumusan dasar
negara itu sendiri. Dengan demikian, Pancasila akan benar-benar menjadi sumber nilai
esensial dan fundamental bagi pembangunan bangsa, negara dan karakter manusia
Indonesia seutuhnya.

Kata kunci : Pancasila, native democracy, pendidikan

Pendahuluan

Bangsa kita mengalami fase yang amat membanggakan di awal pendirian


republik. Generasi pelopor kemerdekaan secara brilian dan berbudi luhur
menghadirkan gagasan tentang dasar negara yang visioner. Pancasila yang mulai
dibahas pada tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 oleh tokoh utama Muhammad
Yamin, Soepomo, hingga di hari terakhir oleh Soekarno memperlihatkan kedalaman
intuisi dan pengenalan terhadap jati diri bangsa. Pada akhirnya, Pancasila yang
dirumuskan dalam BPUPKI, meskipun mengalami perubahan tujuh kata dari
“Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” ditetapkan PPKI tanpa melalui
perdebatan panjang. Semua pendiri bangsa (founding fathers) bersepakat bahwa sila
pertama dengan perubahan tersebut lebih mengakomodir kemajemukan di Indonesia
(Sekneg RI, 1998, hlm. 537).

Dalam perkembangannya, Pancasila sebagai dasar negara semenjak ditetapkan


justru menjadi alat eksekutif dalam mempertahankan kekuasaan. Pada Orde Lama,
Presiden Soekarno memaksakan doktrin Manipol/USDEK sebagai tafsir tunggal atas
Pancasila. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Pancasila kembali ditafsirkan menurut
tafsir tunggal yang sekuler guna mendukung visi deideologisasi. Program P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang digalakkan oleh pemerintah dianggap
sebagai upaya sakralisasi Pancasila. Sakralisasi Pancasila sudah sedemikian parah
hingga lahirlah istilah-istilah Pancasilais, seperti: Kabinet Pancasila, Pembangunan
Pancasila, Ekonomi Pancasila, Pejabat Pancasila, bahkan PSSI pun dinamai Sepakbola
Pancasila. Di masa ini, Pancasila menjadi mitos yang sakral yang seakan tidak boleh
dikritisi sama sekali (Rizieq, 2013, hlm. 9).

Di era reformasi muncul tuntutan publik atas kebebasan berpendapat dan


berserikat yang mendapatkan akomodasi melalui amandemen UUD 1945. Segala hal
yang berbau Pancasila kemudian diidentikkan dengan rezim Orde Baru yang diktator,
korup, dan eksklusif. Di negerinya sendiri, Pancasila menjadi ketakutan (phobia) bagi
beberapa kalangan yang mengusung reformasi. Kaelan (2013, hlm. 653)
mengungkapkan bahwa amandemen UUD 1945 pada dasarnya sebagai pengaruh
globalisasi yang ditumpangi oleh kapitalime dan neoliberalisme global. Hal ini
dibuktikan dengan tidak efektifnya mekanisme kekuasaan dan sistem pemerintahan.
Sistem hukum dan politik tidak mampu membendung money politic yang berujung
semakin mewabahnya korupsi di berbagai lini pemerintahan. Banyak anggota legislatif
merupakan tokoh utama atau perwakilan para korporasi besar, baik asing maupun
dalam negeri, untuk menancapkan dominasinya di sektor ekonomi dengan menguasai
politik dan hukum. Hasilnya, pengelolaan ekonomi kita sangat identik dengan ekonomi
liberal yang tunduk pada kepentingan pasar. Proteksi ekonomi nasional yang
semestinya dilakukan lewat saluran politik dan hukum telah lebih dulu tumpul. Maka
tak heran jika dimulainya pasar ekonomi dunia hanya akan menjadi jalan bagi semakin
tergerusnya bangsa ini kepada kapitalisme modern.
Pembahasan

Alvin Toffler (dalam Gulo, 2012) membagi perkembangan peradaban manusia


modern menjadi tiga tahapan. Pertama, penerapan teknologi yang masih erat dengan
pertanian dan tenaga alam menjadi inspirasi bagi hadirnya gelombang pertama
peradaban manusia dalam kurun waktu 800 Sebelum Masehi (SM) hingga 1500 Masehi
(M). Kedua, di gelombang kedua ialah masyarakat industri hasil dari renaissance Eropa
yang berlanjut dengan kolonialisme di semua benua (1500 M-1970 M). Lalu pada tahap
ketiga, peradaban yang bercirikan masyarakat sebagai hasil produk pendidikan massa,
komunikasi massa dan media massa yang dilatarbelakangi kemajuan iptek. Anis Matta
dalam bukunya Gelombang Ketiga mencoba menarik teori Alvin Toffler ke dalam
kondisi Indonesia sebagai negara bangsa yang telah melampaui beberapa fase sejarah.
Pertama, gelombang “menjadi Indonesia” yang berlangsung sejak abad ke-17 hingga
pertengahan abad ke-20. Kedua, gelombang “menjadi negara modern” yang berlangsung
semenjak merdeka hingga era reformasi. Dan ketiga, gelombang “sejarah baru” yang
akan dimulai setelah 2014 sampai waktu yang akan ditentukan oleh sikap Bangsa
Indonesia sendiri. Gelombang ketiga atau yang terakhir ini dimotori oleh faktor
demografis Indonesia.
Anis Matta menguraikan perubahan utama demografi Indonesia dengan proporsi
orang di bawah usia 45 tahun akan mencapai lebih dari 60 persen dari total populasi.
Kelompok tersebut dinamakan “the new majority”, atau kelompok mayoritas baru yang
ada di Indonesia. Kelompok ini memiliki pendidikan lebih baik, berpenghasilan baik,
terkoneksi secara luas ke seluruh dunia, dan native democracy atau warga negara asli
demokrasi. Masyarakat native democracy ini hanya mengenal demokrasi sebagai satu-
satunya sistem politik. Mereka bukan generasi yang pernah mengalami pasang-surut
ideologi dalam perebutan antara blok Barat dan blok Timur semasa Perang Dingin. Lima
ciri masyarakat native democracy akan membawa Indonesia ke depan memiliki
identitas baru yaitu; lebih religius, lebih berpengetahuan, dan lebih sejahtera. Agama
akan menjadi orientasi dan sumber moralnya. Pengetahuan menjadi sumber
kompetensi dan produktivitasnya. Kesejahteraan akan menjadi out put-nya. Modal
untuk mencapai tahapan itu ialah persatuan dan kesatuan yang pertama dan utama.
Modal itu diwujudkan pertama kali dengan adanya kesamaan perspektif tentang cara
pandang Bangsa Indonesia sendiri. Jika negeri ini ingin segera terbang landas maka
pertentangan dasar negara terutama terkait hubungan negara dan agama sudah tidak
perlu dipersoalkan lagi.
Bonus Demografi yang Harus Dioptimalkan

Sumber : Selasar.com

Tantangan bagi generasi baru Indonesia di era native democracy bukan lagi
persoalan cadangan Sumber Daya Alam (SDA), melainkan penyiapan Sumber Daya
Manusia (SDM) berkualitas. Pengetahuan sebagai sumber kompetensi dan produktivitas
masyarakat di era native democracy harus bisa direbut lewat pendidikan. Untuk
mewujudkan kualitas manusia unggul di era native democracy, maka negara harus
menyiapkan serangkaian tools dalam politik pendidikan nasional. Jamak diketahui
bahwa kualitas SDM yang bermutu seperti di Amerika Serikat, Jepang, dan negara maju
lainnya menjadi keunggulan dibandingkan negara-negara berkembang yang lebih
dikaruniai SDA melimpah. Penyiapan tools yang sistematis, holistik, dan dalam jangka
panjang harus didukung oleh stabilitas ekonomi dan politik. Indonesia berada di antara
negara-negara berkembang yang mempunyai tantangan berupa pergantian
kepemimpinan diikuti perubahan kebijakan secara keseluruhan. Negeri ini seperti
kehilangan road mapping pembangunan untuk masa yang panjang. Pembangunan SDM
menjadi salah satu yang fundamental namun diabaikan dari ketiadaan road mapping
tersebut.
Salah Satu Ekspresi Masyarakat Native Democracy

Sumber : merdeka.com

Kualitas sumber daya manusia Indonesia memang masih belum bisa dianggap
siap untuk menantang era baru native democracy. Indeks pembangunan manusia
Indonesia berdasar data UNDP (2013, hlm. 144-145) hanya memperoleh rangking 121
dari 187 negara. Peringkat Indonesia masih kalah dengan negara tetangga seperti
Filipina (114), Thailand (103), Malaysia (64) dan Singapura (18). Meskipun laporan
PISA (2010, hlm. 78) menunjukkan kuantitas pendidikan kita naik 7% dan performa
mengalami pertumbuhan 30% tetapi jumlah anak putus sekolah di usia pendidikan
dasar 7-12 tahun masih tinggi di angka 182.773 siswa. Faktor besarnya angka anak
putus sekolah tidak semata persoalan anggaran pendidikan, melainkan juga akses dan
distribusi kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang masih mengalami
ketidakadilan antara Jawa dan luar Jawa. Jumlah pengangguran terdidik di negeri ini
dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga tidak bisa dikatakan baik dengan angka 7%
(tamatan SD), 14,9% (tamatan SMP), 20,8% (tamatan SMA), 21% (tamatan SMK), dan
15,8% (tamatan sarjana). Pengangguran yang begitu besar amat disayangkan terjadi di
usia-usia produktif yang semestinya nanti menjadi penopang sektor-sektor penting di
negeri ini dalam persaingan global.
Distribusi Angka Putus Sekolah Tahun 2011:
Penduduk Usia 7-12 Tahun

Sumber: Diolah dari data BPS 2013


Respon terhadap tantangan di era percepatan teknologi dan informasi dalam
bidang penyiapan SDM berkualitas dilakukan pemerintah dengan mewacanakan
generasi emas 2045. Generasi emas 2045 atau generasi pada momentum kemerdekaan
Indonesia yang tepat mencapai usia 100 tahun. Pada 2045, Indonesia diharapkan
menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita
mencapai $ 47.000 dollar. Untuk mencapai impian tersebut, pendidikan menjadi kunci
dan pemerintah mulai melakukan perubahan pada arah pendidikan nasional.
Terobosan yang dilakukan pemerintah diataranya dengan mengkampanyekan
perubahan kurikulum nasional (KTSP menjadi Kurikulum 2013), memecah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi Kementerian
Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi, mengelontorkan biaya pendidikan lewat beasiswa LPDP,
mengadakan sertifikasi guru, dan mencanangkan pendidikan karakter sebagai basis
moral pendidikan nasional. Meskipun secara teoritik berbagai kebijakan pemerintah
memang tepat, namun dalam praktek di lapangan masih banyak ketidaksuaian antara
das sollen (semestinya) dengan das sein (realitasnya).
Jika kita menilik Pembukaan UUD 1945 alinea IV, maka akan kita temukan
kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa,” menjadi satu diantara empat tujuan nasional
Bangsa Indonesia. Jika kita renungkan lebih dalam, pendidikan semestinya menjadi
saluran pertama mewujudkan tujuan nasional secara keseluruhan. Fakta empiriknya,
pendidikan nasional dirasakan belum bisa menyiapkan generasi yang mampu
membayar hutang proklamasi yang belum terbayarkan. Kalimat “mencerdaskan” bukan
semata dimaknai cerdas secara kognitif-matematis, melainkan cerdas menjalani
kehidupan sebagai bangsa. Artinya, setiap diri Bangsa Indonesia harus mengenali siapa
dirinya, bangsanya, dan cita-cita pendirian bangsa dan negara. Untuk sampai ke arah
itu, maka pendidikan karakter menjadi terminologi yang sejak era Soekarno dicetuskan
sebagai nation and character building. Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam
konteks penyiapan generasi emas 2045 ialah pembangunan karakter manusia
Indonesia secara individu dan menyeluruh tumpah darah Indonesia tanpa terkecuali.
Lantas pertanyaannya, nilai karakter apa yang hendak dibangun?
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) Pasal 3 menunjukkan dengan jelas tujuan pendidikan nasional kita, yaitu
“mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dari UU
Sisdiknas ini dapat kita gali nilai-nilai karakter yang hendak dibangun dalam rangka
nation and character building yaitu manusia Indonesia. Jika kita cari korelasikan dengan
identitas pada masyarakat native democracy Indonesia di masa depan yaitu lebih
religius, lebih berpengetahuan, dan lebih sejahtera, maka kiranya tepat jika karakter-
karakter di atas menjadi pilar pendidikan moral di Indonesia. Namun, nilai-nilai
karakter di atas sejatinya tidak lengkap tanpa sebuah dasar filosofis yang kuat. Dengan
mengutip tesis Samuel Huntington dalam the clash of civilizations (Benturan Antar
Peradaban, terjemah Indonesia) bahwa bangsa dengan kejayaan peradaban besar hanya
dimiliki oleh bangsa dengan basis nilai ideologi kuat. Ideologi tersebut harus memuat
nilai-nilai absolut, yaitu nilai-nilai keyakinan yang bersumber dari agama atau
keyakinan religius. Pancasila sebagai dasar negara sudah seharusnya menjadi basis
dasar bagi penerapan pendidikan moral. Jika bukan Pancasila, dengan ideologi apa yang
bisa kita tawarkan?

Kanteks Makro Pengembangan Karakter

Agama, Pancasila,
UUD 1945, UU No.
20/2003 Sisdiknas
INTERVENSI

Teori Masyarakat
Pendidikan Keluarga Perilaku
Nilai-nilai Satuan
, Psikologi,
Nilai,
Pendidikan Berkatakter
Luhur
Sosial
Budaya

HABITUASI
Pengalaman terbaik
(best practices) dan
praktik nyata
Sumber : Budimansyah, 2010, hlm. 56

Belajar dari sejarah, untuk menjadi basis dasar bagi pembangunan negara dan
karakter (nation and character building) semestinya Bangsa Indonesia melakukan
rejuvikasi (penyegaran) terhadap cara pandang kepada Pancasila. Latar belakang
historitas dalam implementasi Pancasila di bagian awal tulisan ini mengambarkan
bahwa beragam tafsir yang justru menjadikan Pancasila semakin sakit disebabkan oleh
sikap apatis di satu sisi dan phobia di sisi yang lain. Kaelan (2013) menyebutkan bahwa
Pancasila bagi Bangsa Indonesia memiliki kedudukan yang primer sebagai suatu
weltanscahuung (pandangan hidup). Pancasila sebagai pandangan hidup bukanlah
seperti pemaknaan kita terhadap agama yang kita yakini. Sebab Pancasila bukanlah
agama dan tidak mungkin untuk meng-agama-kan Pancasila. Buah pikir para pendiri
republik bahwa Indonesia tidak dibangun sebagai negara berdasar satu agama tertentu,
tetapi negara yang dihidupi oleh keyakinan kepada Tuhan dan melindungi kebebasan
beragama bagi warganya. Jika hal ini dihayati dengan sepenuhnya maka akan diperoleh
keinsyafan bahwa Pancasila akan dapat menjadi solusi persoalan-persoalan individu
maupun kenegaraan. Dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hukum bagi semua
peraturan perundang-undangan, yang jika dilaksanakan secara konsekuen akan
membawa bangsa ini menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan makmur.

Realita di masa sekarang Pancasila seperti hanya utopia bagi Bangsa Indonesia
sendiri. Semenjak diikrarkan oleh Soekarno pada 1945 sebagai nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang, yang diambil dari bumi pertiwi sebagai asa moral dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara, Pancasila kehilangan makna dalam prakteknya. Di era
reformasi, tak banyak perubahan berarti. Justru semakin bertambah parahnya
degradasi moral seperti konflik politik, korupsi, pembunuhan, pengangguran, pencurian
sumber daya alam, hukum yang berat sebelah, pengrusakan lingkungan, pelanggaran
HAM, narkoba, seks bebas di kalangan remaja, tawuran pelajar, gerakan separatis,
kacau balaunya sistem pendidikan adalah gambaran kondisi Indonesia saat ini.

Pancasila tidak lagi membutuhkan konsep-konsep yang panjang dan berbelit di


ruang wacana namun hanya berada di menara gading. Tak tersentuh dalam kehidupan
nyata. Pancasila kita saat ini membutuhkan orang-orang yang mau menghidupkan
kembali nilai-nilainya. Yudi Latif menggambarkan masih adanya sosok-sosok yang
mencerminkan nilai-nilai Pancasila dalam bukunya Air Mata Keteladanan. Yudi Latif
mengungkapkan kerisauannya bahwa pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-
butir hafalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menumbuhkan nurani.
Pancasila semestinya menemukan suri teladan yang dapat dikisahkan. Maka dalam
buku tersebut Yudi Latif menceritakan model manusia Indonesia seperti Buya Hamka,
Agus Salim, Romo Mangun, sampai B. R. Agus Indra Udayanan yang merefleksikan
semangat ketuhanan. Kemudian dihadirkan pula tokoh-tokoh semisal R. M.
Serjopranoto, Tan Malaka, Hoegeng, sampai Baharuddin Lopa yang menunjukkan
perjuangan HAM dan keadilan di Indonesia. Juga keteladanan dari Soetomo, Soedirman
hingga Mak Eroh yang giat mempererat jiwa gotong-royong untuk menjaga kesatuan
dan persatuan. Adapula Ki Hajar Dewantara, Habibie, Ki Bagoes Hadikusumo, Muh.
Hatta yang getol memperjuangkan asas permusyawaratan, keterbukaan, dan keadilan
sosial. Yudi Latif menampilkan tokoh-tokoh di atas sebagai keteladanan dalam
implementasi Pancasila. Bahwa Pancasila bukan pedoman berperilaku yang hanya
dapat digunakan oleh barisan malaikat, tetapi Pancasila sebenarnya telah menemukan
sosok panutan sebagaimana Muhammad dan Isa Al-Masih pada agama Islam dan
Kristen.

Diagram Hierarkis Piramidal Pancasila

Sumber : Bakry, 2010, hlm. 95

Pendidikan karakter yang di dalamnya diisi nilai-nilai Pancasila semestinya


diintroduksikan ke dalam kehidupan baik secara formal maupun non formal melalui
contoh-contoh keteladanan. Hal ini sesuai dengan ungkapan “Moral is not thought but
caught.” Implementasi Pancasila melalui keteladanan ini harus merujuk bahwa
Pancasila dengan kelima sila-nya memiliki esensi atau core value. Dan core value dari
kelima sila dalam Pancasila ialah nilai Ketuhanan. Hal ini diutarakan oleh Notonagoro
(1975:44) bahwa Pancasila sebagai sistem nilai yang berbentuk piramida dengan sila
pertama sebagai dasar keempat sila lainnya. Dalam penjelasannya, sila kedua dijiwai
sila pertama dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kelima; sila ketiga dijiwai sila
pertama dan sila kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima; sila keempat dijiwai
sila pertama, sila kedua, dan sila ketida serta menjiwai sila kelima. Sila kelima dalam
sistem piramida tersebut berada di puncak atau sebagai tujuan akhir untuk
menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Simpulan

Persaingan global dengan tuntutan atas kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia unggul tidak dapat lagi ditawar. Indonesia dengan bonus demografinya di
masa yang akan datang membutuhkan solusi jangka panjang yang harus secepatnya
dimulai guna memenangkan persaingan di era native democracy. Sumber daya manusia
unggulan yang dipersyaratkan di era native democracy bukan hanya unggul secara
kognitif-intelektual, melainkan juga memiliki basis karakter yang kuat. Pancasila
sebagai ideologi Bangsa Indonesia memberikan basis kekuatan karakter tersebut lewat
nilai-nilainya yang dapat teraktualisasikan melalui pendidikan karakter.

Negara Indonesia tidak boleh lagi larut dalam pertentangan ideologi di antara
ekstrem kanan dan kiri. Pengalaman sejarah telah membelajarkan kepada kita bahwa
Pancasila masih layak dan harus terus dipertahankan sebagai sumber nilai bagi
pembangunan bangsa dan negara. Di era native democracy, karakter manusia Pancasila
harus diteladankan dan bukan sekedar dibelajarkan. Pancasila jangan hanya menjadi
wacana kampanye atau diskursus lewat mimbar-mimbar seminar. Pancasila harus
dekat, hidup dan dihidupkan dalam setiap aktivitas kehidupan rakyat Indonesia.

Rejuvikasi atau penyegaran nilai-nilai Pancasila dapat dijalankan untuk


pendidikan karakter di Indonesia. Tujuan pendidikan nasional dan identitas masyarakat
native democracy mempersyaratkan nilai religius sebagai basis moral tertinggi dalam
mengatur pola sikap dan tata laku (moral order). Pancasila yang dijiwai oleh semangat
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menjunjung tinggi kebebasan
beragama dan menjalankan agama menjadi sintesa terbaik bahwa di masa depan setiap
pribadi Indonesia dapat menjadi warga global yang lebih religius, lebih berpengetahuan
dan lebih sejahtera. Dengan kembali kepada nilai-nilai agama, maka setiap diri Bangsa
Indonesia akan menemukan cara pandang yang teduh, jernih dan merdeka dalam
mengaplikasikan Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka
kiranya tepat bahwa manusia Indonesia yang Pancasilais ialah manusia Indonesia yang
beriman dan bertakwa, yang dengan iman dan takwanya tersebut menjadi karakter
guna memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa dan negerinya.

Daftar Rujukan

Sumber Buku

Bakry, N. M. (2010). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budimansyah, D. (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaran Untuk Membangun


Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Latif, Y. (2014). Air Mata Keteladanan : Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan.

Huntington, S. P. (2012). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia.
Jakarta: Qolam.

Matta, A. (2014). Gelombang Ketiga Indonesia. Jakarta: The Future Institute.

Notonagoro. (1975). Pancasila : Secara Ilmiah Populer. Djakarta: Pantjuran Tudjuh.

Rizieq, H. (2013). Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah. Jakarta: Suara Islam
Press.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1998). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Jakarta: Sekretarian Negara RI.

Sumber Laporan/Jurnal

United Nations Development Programme (UNDP). (2013). Human Development Report


2013: The Rise of the South: Human Progress in a Diverse World. New York: UNDP.

OECD. (2010). PISA 2009 Results: Learning Trends: Changes in Student Performance Since
2000 (Volume V). Paris: OECD.
Badan Pusat Statistik (BPS). Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis
Kelamin, Kelompok Umur Sekolah, dan Partisipasi Sekolah 1, 2002-2014. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.

Sumber Internet

Gulo, M. R. (2012, 28 Oktober). Jelaskan, Menurut Alvin Toffler, Ada Tiga Gelombang
Peradaban Manusia. [Online]. Diakses dari
https://ahlikomunikasi.wordpress.com/2012/10/28/menurut-alvin-toffler-tiga-
gelombang-peradaban-manusia-lihat/ pada 15 Oktober 2015.

Pratomo, A. Y. (2014, 25 September). Puluhan Bupati dan Wali Kota Demo Tolak
Pengesahan RUU Pilkada. [Online]. Dikses dari
http://m.merdeka.com/peristiwa/puluhan-bupati-dan-wali-kota-demo-tolak-
pengesahan-ruu-pilkada.html pada 15 Oktober 2015.

Selasar. (2015, 16 Maret). Bonus Demografi Indonesia. [Online]. Diakses dari


https://www.selasar.com/khas-selasar/bonus-demografi-indonesia pada 15
Oktober 2015.

Sumber dari perundang-undangan

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) UU Nomor 20 Tahun 2003.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai