Anda di halaman 1dari 12

BAB 9

KRISIS DALAM KOMUNIKASI DIGITAL

 KOMUNIKASI KRISIS DI MEDIA SOSIAL

Sebagai institusi yang mau tidak mau berinteraksi dengan publik, terlebih dengan era
media sosial di mana kebutuhan kehumasan seperti mewajibkan institusi memiliki akun di media
sosial, komunikasi krisis bisa saja terjadi. Komunikasi krisis merupakan kejadian yang pada
akhirnya bisa menyebabkan dan memengaruhi kepercayaan publik kepada institusi; dalam
institusi bisnis sebuah kejadian komunikasi krisis bisa menyebabkan turunnya atau hilangnya
pelanggan dalam membeli produk.
Bisa didefinisikan bahwa krisis adalah setiap kejadian atau situasi, baik nyata, dikabarkan
atau diduga, yang dapat memfokuskan perhatian negatif pada perusahaan atau organisasi secara
internal, di media atau di hadapan khalayak utama (Ruff & Aziz, 2003: 3). Sementara
komunikasi krisis bagi Coombs dan Holladay (2010: 19) bisa dikatakan situasi yang berada
dalam klaster "bencana". Karena itu sebuah komunikasi krisis tidaklah bisa dianggap enteng atau
sambil lalu saja. Institusi perlu mencurahkan dan memaksimalkan setidaknya waktu, perhatian,
dan segala sumber daya untuk menangani komunikasi krisis. Krisis, lebih jauh, bisa
menyebabkan disrupsi terhadap aktivitas bisnis, lingkungan sosial, bahkan kepada institusi
(Jordan-Meier, 2011: 8). Apa pun jenis krisis bisa mengakibatkan kepanikan publik; dalam
konteks media sosial krisis bisa menyebabkan konten yang lebih banyak dan tersebar sampai
menjadi viral.
Karena itu, dalam komunikasi krisis institusi memerlukan perhatian khusus dalam
memproduksi dan mendistribusikan informasi dalam menangani krisis yang terjadi. Komunikasi
krisis juga tidak hanya menargetkan khalayak eksternal semata, institusi juga harus menyediakan
fokus perhatian kepada anggota internal (Ruff & Aziz, 2003: 9). Sebab, kiris yang terjadi dan
sampai di telinga anggota institusi (karyawan) bisa mengakibatkan kurangnya motivasi,
merebaknya kecurigaan, sampai pada berpotensi menambah krisis itu sendiri.
Terkait krisis organisasi, lebih tegas Coombs (2015: 19) menjelaskan bahwa krisis adalah
persepsi tentang peristiwa tak terduga yang mengancam keberadaan pemangku kepentingan
terkait masalah kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan ekonomi, dan dapat berdampak serius
pada kinerja organisasi dan dapat memberikan luaran yang negatif. Krisis memang bukan
sesuatu yang diharapkan institusi, namun sebagai antisipasi setiap institusi dan sumber daya
manusia yang ada di dalamnya harus bersiap menghadapi situasi yang tak terduga ini.
Kemudian mesti dibedakan sebuah pristiwa yang sifatnya insiden (kecelakaan) dengan
krisis. Isiden biasanya bersifat lokal dan hanya memengaruhi satu bagian saja. Misalnya adanya
penghentian pasokan produk karena kecelakaan mobil pengangkut. Insiden ini walau juga tidak
diharapkan hanya terjadi pada unit distribusi saja dan dapat segera dicarikan solusi dengan
pengiriman ulang. Tidak ada insiden yang terjadi mengganggu jenama institusi secara lebih luas
dan viral di media sosial. Sementara krisis memungkinkan adanya efek negatif dan luaran yang
tidak diharapkan.
Terkait dengan medium, munculnya internet dan terlebih lagi media sosial memberikan
situasi yang berbeda di bandingkan media massa tradisional. Sifat media sosial yang memiliki
jaringan dan pengguna yang lebih banyak dan konten tersebar secara global menyebabkan situasi
krisis bisa menyebabkan institusi menjadi lebih rentan terhadap menurunnya kepercayaan publik.
Juga media sosial memiliki khalayak (pengguna) aktif dibandingkan media massa tradisional
yang pasif dan dianggap menerima (konten) informasi.
Pebandingan sekaligus kekuatan media sosial dibandingkan media massa tradisional
memberikan lingkungan yang berbeda; dalam konteks komunikasi krisis bisa memberikan
dampak dan pengaruh terhadap institusi. Ruang dan durasi terbatas yang dimiliki oleh media
massa tradisonal menyebabkan guliran isu terkait krisis yang dialami institusi juga memiliki
kebatasan dan waktu tertentu. Di media sosial, dengan keaktifan dan akses dengan waktu kapan
pun dan lokasi di mana pun, ruang untuk isu menjadi lebih luas dan mengglobal. Juga, karakter
database atau penyimpanan konten menyebabkan media sosial seolah-olah menjadi gudang
terbuka yang bisa diakses kapan pun. Meski sumber pertama konten di akun media sosial
tertentu, misalnya, sudah menghilang, namun akan dapat dengan mudah ditemui duplikasi-
duplikasi konten di akun media sosial lainnya.
Jurnalis media massa juga pada akhirnya menggunakan media sosial dalam aktivitas
jurnalismenya (Jordan-Meier, 2011: 23-24). Beragam perangkat maupun platform di media
sosial yang dapat dimanfaatkan oleh jurnalis maupun perusahaan media; tidak sekadar dalam
pekerjaan mencari berita, namun media sosial menjadi saluran pertama untuk menyebarkan
kutipan peristiwa sebelum akhirnya diolah menjadi berita dan dipublikasikan di saluran media
massa sebagai produk utama.
Hallahan (dalam Heath & O'Hair, 2009: 412-413) menegaskan bahwa komunikasi krisis
yang terjadi di media digital tidak sekadar medium atau saluran baru dalam krisis, melainkan
juga memunculkan bentuk, respons, manajemen, maupun aktivitas evaluasi yang juga berbeda
dalam penanganan krisis. Karena itu, diperlukan sumber daya manusia yang tidak hanya
memahami komunikasi dalam konteks kehumasan, melainkan juga pemahaman terhadap
teknologi, platform, bahkan algoritma untuk mengetahui lingkungan media digital. Juga, berbeda
dengan krisis yang terjadi dan melibatkan media massa tradisional, di media sosial sebagai
contoh penyebaran konten dapat dengan jelas diketahui secara jumlah berapa yang telah
mengakses, waktu saat mengakses, jumlah yang memberikan komentar sampai menyebarkan
konten, dan bagaimana mesin pencarian membuat daftar hasil pencarian konten terkait krisis
yang terjadi.
Terkait dengan media sosial dan media digital pada umumnya, Hua Jiang dan Yi Luo
(Austin & Jin, 2018: 402) menegaskan bahwa karakteristik unik dari media sosial itu sendiri
terhadap situasi krisis yang terjadi bisa memunculkan setidaknya
1) Isu-su yang muncul bisa saling berkontestasi.
2) Berbagai akun media sosial juga bisa terlibat atau melibatkan diri dalam pembingkaian
isu; serta
3) Menuntut adanya keterbukaan dari institusi itu sendiri.

Mengutip Alexander (2014), Jing dan Luo menggarisbawahi bahwa media sosial
memiliki fungsi tertentu dalam menghadapi komuniksai krisis pada umumnya. Fungsi tersebut
adalah:

1. Medium untuk mendengarkan suara dari berbagai pihak.


2. Melakukan pengawasan (monitoring) terhadap situasi yang bisamenimbulkan, saat, atau
setelah komunikasi krisis.
3. Mengintegrasikan manajemen krisis dengan media sosial.
4. Melakukan pengumpulan dan pengembangan yang terkait komunikasi krisis. Terutama
dalam hal konten, sentimen, maupun jaringan akun.
5. Menciptakan kohesi (ketertarikan antar unsur) sosial dan efekterapeutik; terutama kepada
berbagai pihak yang terdampak atau akan terdampak dari terjadinya komunikasi krisis.
6. Mempromosikan atau diseminasi informasi yang berdampak sosial dari komunikasi
krisis.
7. Medium untuk melalukan penelitian atau riset terkait komunikasi krisis.

Tujuan manfaat ini pada dasarnya memberikan semacam keuntungan bagi institusi dalam
situasi krisis. Secara sederhana saja, misalnya, media sosial cenderung merupakan saluran yang
bisa tidak berbayar dan tidak ada batasan dalam pengunggahan konten. Berbeda dengan media
massa yang dalam banyak kasus memerlukan anggaran tertentu untuk bisa mendapatkan kolom
atau durasi dalam penyampaian konten sepenuhnya milik institusi. Sementara dalam
pemberitaan, tidak semua peristiwa apalagi klarifikasi dapat tayang di media dan kalaupun
dimuat sudah melalui proses penyuntingan dan penyesuaian, sehingga pesan dari institusi bisa
saja tidak utuh.

Terkait penanganan krisis dan media sosial, berbagai riset menjelaskan bahwa setidaknya ada
tiga kata kunci yang muncul, yakni respons terhadap krisis, penanganan emosi, serta
pembingkaian terhadap (konten) krisis itu sendiri (Austin & Jin, 2018: 403). Secara praktik,
penanganan komunikasi krisis digital akan dijelaskan pada subbagian berikutnya.

 MANAJEMEN KRISIS
Institusi harus memahami bagaimana mengelola komunikasi krisis yang terjadi. Inilah
perlunya manajemen krisis yang salah satunya berfungsi untuk memetakan masalah sampai pada
memaksimalkan potensi yang dimiliki institusi dalam penanganan komunikasi krisis.

Memahami proses manajemen krisis merupakan hal yang sangat penting dalam menangani
komunikasi krisis yang efektif. Kita dapat melebarkan pemahaman akan proses tersebut untuk
menciptakan kerangka penanggulangan dalam manajemen krisis yang melibatkan berbagai
tahapan yang berbeda yang saling memengaruhi satu dengan lainnya (Coombs, 2015: 23).
Manajemen krisis merupakan seperangkat faktor yang didesain untuk menghadapi krisis dan
juga mengantisipasi adanya kerusakan atau sentimen negatif yang mungkin terjadi. Sentimen
negatif dalam media sosial maupun media digital lainnya bermakna adanya konten yang
berkonotasi negatif dan menyebar menjadi viral. Jika perbicangan viral di media sosial dibiarkan,
krisis bisa menyebabkan kurangnya atau menghilangkan kepercayaan sampai pada bencana yang
menimpa institusi, pemangku kepentingan maupun konsumen.

Manajemen krisis kemudian melibatkan aktivitas mulai dari persiapan dan pelibatan atas
faktor-faktor seperti pencegahan, persiapan, respons, dan perbaikan.

Pencegahan

Pencegahan atau bisa juga disebut dengan mitigasi merupakan langkah yang diambil
untuk mencegah atau meminimalisasi terjadinya krisis. Institusi, terutama bagian kehumasan,
mestilah membuat berbagai perencanaan komunikasi untuk mendesain dan mendeteksi tanda-
tanda dari terjadinya krisis. Tindakan pencegahan ini merupakan aktivitas yang tidak perlu
diketahui oleh publik.

Persiapan

Persiapan merupakan faktor penting dari manajemen krisis disebabkan tindakan ini
masuk dalam perencanaan manajemen krisis (PMK). Meskipun PMK merupakan sebuah proses,
akan tetapi pada dasarnya persiapan ini melibatkan upaya mendiagnosis hal-hal yang
menyebabkan krisis, menyeleksi dan melakukan pelatihan terhadap tim manajemen krisis dan
juru bicara, membuat panduan menghadapi krisis, maupun menentukan sistim/alur kerja dalam
melakukan komunikasi krisis.

Respons

Respons merupakan tindakan yang diambil ketika menghadapi krisis. Sebuah krisis tentu
sebaiknya melibatkan semua potensi dan sumber daya yang ada di institusi. Karena itu, PMK
hendaknya dilakukan simulasi walaupun tidak ada krisis yang terjadi. Simulasi ini akan
mengetahui bagaimana institusi dalam menghadapi krisis.

Respons merupakan tindakan yang diambil institusi dan beranah publik. Artinya,
khalayak akan mengetahui, melihat, membaca, dan bisa jadi menyebarkan apa-apa yang
dilakukan institusi dalam menghadapi krisis. Dalam situasi yang benar terjadi, respons yang
dilakukan institusi akan mereduksi hal-hal negatif yang bisa memberikan pengaruh terhadap
pemangku kepentingan maupun institusi itu sendiri.
Institusi hendaknya menekan sebisa mungkin segala bentuk ancaman terhadap keselamat
publik, erosi terhadap reputasi institusi, kehancuran jenama, maupun potensi kehilangan pembeli,
hal ini merupakan salah satu contoh dari hal yang bisa timbul saat komunikasi krisis terjadi.
Karen itu, situasi krisis merupakan momen penting dari institusi untuk mengimprovisas
organisasinya. Improvisasi ini pada akhirnya dapat menguatkan reputasi, jenama yang semakin
baik, dan perubahan yang dilakukan oleh organisasi untuk membuat tempat bekerja menjadi
lebih aman (Coombs, 2015: 22).

Perbaikan

Perbaikan merupakan faktor terakhir dalam menghadapi krisis. Faktor ini melibatkan
evaluasi terhadap bagaimana cara institusi menghadapi simulasi dan situasi krisis sebenarnya,
mengetahui tindakan apa yang benar dan juga yang salah dari aktivitas manajemen krisis selama
krisis berlangsung. Juga, faktor ini menganalisis kembali faktor-faktor sebelumnya yaitu
pencegahan, persiapan, dan respons sebagai antisipasi untuk melakukan yang terbaik dalam
menghadapi krisis di masa yang akan datang.

Dalam konteks tertentu, berbagai simulasi atau situasi krisis yang dihadapi oleh institusi
memberikan pembelajaran berharga untuk menghadapi krisis yang berbeda-beda tersebut.
Berbedaan ini menyebabkan berbedaan perlakuan juga yang bisa disiapkan oleh institusi,
termasuk dalam hal persiapan dan respons.

Sementara menurut Zaremba (2010: 39) dalam melakukan komunikasi krisis hendaknya
langkah awal adalah melakukan identifikasi terhadap penerima pesan baik dari kalangan internal
maupun eksternal selama masa krisis terjadi. Komunikator krisis kemudian menyusun,
mengkreasikan, dan mendiseminasikan pesan terhadap kalangan internal maupun eksternal yang
nantinya juga harus menyiapkan diri ketika menerima balasan atau respons dari penerima pesan.
Secara lebih spesifik, langkah-langkah yang diambil oleh komunikator krisis adalah:

o Persiapan krisis. Ketika situasi normal dan tidak terjadi krisis,pengelola komunikasi
digital dapat menyiapkan dan membangun relasi dengan pihak internal maupun khalayak
sebagai pihak eksternal organisasi, mengantisipasi potensi-potensi krisis, dan
mempertimbangkan, misalnya dari segi waktu, bagaimana mengalokasikan krisis
sehingga dapat diantisipasi.

o Mengidentifikasi khalayak. Pengelola komunikasi digital hendaknya mengenal dan


mengetahui siapa khalayak dari media digital institusi sehingga dapat dengan jelas
memetakan target khalayak yang tepat pada saat krisis terjadi. Khalayak dapat berasal
dari pihak internal maupun eksternal.

o Memahami dan mengonstruk pesan dalam berkomunikasi dengan khalayak. Pada saat
krisis komunikasi terjadi pada dasarnya pengelola komunikasi digital haruslah dapat
mengidentifikasi unit-unit informasi yang tepat sebagaimana dalam mengidentifikasi
target sasaran. Hal ini juga termasuk informasi apa yang akan dipublikasikan dan bagian
mana yang khusus diberikan secara pribadi melalui saluran pribadi pula.

o Menyeleksi medium atau saluran dalam memberikan informasi. Pengelola komunikasi


digital hendaknya dapat melalukan evaluasi untukk memilih saluran apa yang tepat dalam
melakukan komunikasi krisis juga termasuk dalam memilih metode penyampaian
maupun jenis konten apa yang tepat.

o Respon sebagai upaya umpan balik terhadap pihak internal maupun khalayak eksternal
selama krisis. Pengelola komunikasi digital hendaknya mengetahui dan dapat
memperkirakan bagaimana khalayak akan bereaksi maupun memberikan pertanyaan.
Karena itu, diperlukan persiapan panduan jawaban yang tepat untuk menyiapkan umpan
balik.

o Melakukan evaluasi terhadap upaya penanganan krisis komunikasi. Setelah manajemen


penanganan komunikasi krisis telah dilakukan dengan baik hendaknya pengelola
komunikasi digital melakukan evaluasi terhadap semua proses tersebut. Juga,
mendokumentasikan perencanaan maupun aktivitas sebagai bahan atau pertimbangan di
situasi komunikasi krisis yang akan datang.

 SUMBER KRISIS KOMUNIKASI

Secara sederhana sumber komunikasi krisis selain dari pemberitaan media massa, namun
komunikasi krisis juga bisa berasal dari internal maupun eksternal. Internal menjelaskan
bagaimana kejadian yang menyebabkan komunikasi krisis berasal dari institusi itu sendiri,
misalnya unggahan di Instagram yang melanggar norma-norma atau nilai yang dianut
masyarakat tertentu. Beberapa contoh sumber komunikasi krisis dari internal antara lain:

(1) Kesalahan dalam menyampaikan informasi.


(2) Program kerja yang berhenti di tengah jalan karena situasi khusus.
(3) Perilaku sumber daya manusia atau anggota institusi saat berinteraksi dengan publik
maupun media massa.
(4) Kesalahan juru bicara institusi saat berinteraksi dengan media massa; sampai pada
(5) Informasi terbatas untuk kalangan internal yang bocor; atau bisa juga
(6) Komentar dari berbagai pihak internal institusi terhadap suatu kasus, namun komentar
tersebut saling bertentangan.
Secara eksternal komunikasi krisis terjadi akibat adanya keluhan atau di era media sosial ini
konten yang viral yang bersentimen tertentu kepada institusi. Meskipun krisis tidak hanya dalam
konteks negatif saja, dalam beberapa kasus komunikasi krisis bisa menjadi positif (Coombs &
Holladay, 2010: 18). Bisa juga karena adanya laporan atau pengaduan publik baik melalui jalur
resmi maupun media massa, pendapat dan opini yang muncul di media sosial, maupun
pengalaman publik saat mengakses atau mengikuti proses-proses
(administrasi/pembelian/pengalaman memakai produk) dengan institusi yang pada akhirnya
mengemuka.

Komunikasi krisis itu sendiri dapat didefinisikan sebagai "kejadian besar dengan hasil yang
berpotensi negatif yang memengaruhi organisasi, perusahaan, atau industri, serta publik, produk,
layanan, atau nama baik. Ini mengganggu transaksi bisnis normal dan terkadang dapat
mengancam keberadaan organisasi (Fearn-Banks 1996: 1 dalam Coombs & Holladay, 2010: 18)

Mengutip model dalam penanganan krisis,setidaknya ada beberapa langkah yang bisa
diperhatikan, yakni:

1. Signal detection, melakukan deteksi dini terhadap segala kemungkinan dan potensi yang
bisa menimbulkan krisis dan melakukan pencegahan.
2. Probing and prevention, aktif melakukan penyelidikan dan pencarian serta juga
mereduksi faktor-faktor yang bisa muncul karena adanya komunikasi krisis.
3. Damage containment, mengambil tindakan dan solusi sebagai respons atas terjadinya
komunikasi krisis, sehingga krisis tidak menyebar kemana-mana.
4. Recovery, melakukan segala daya upaya untuk menangani komunikasi krisis, sehingga
menjadi normal kembali.
5. Learning, setiap anggota institusi hendaknya mengambil pembelajaran dari situasi
komunikasi krisis yang terjadi.

Lebih jelas Coombs (Coombs & Holladay, 2010: 20) menggarisbawahi bahwa komunikasi
krisis dapat didefinisikan secara tegas sebagai satu set koleksi, proses, maupun diseminasi
informasi yang dibutuhkan dalam menangani situasi krisis. Pada permulaan krisis (pre-crisis)
diperlukan upaya untuk mengoleksi berbagai informasi terkait apa saja yang terjadi, di era media
sosial "diperbincangkan" secara virtual, pada fase ini institusi hendaknya mengetahui apa risiko
yang bisa muncul dari krisis yang terjadi, membuat sebuah keputusan yang tepat tentang
bagaimana mengelola potensi-potensi krisis, dan juga perlu memberikan kesiapan (pelatihan)
kepada sumber daya manusia yang akan dilibatkan dalam proses manajemen krisis. Kesiapan
sumber daya manusia ini bisa melibatkan para anggota tim komunikasi krisis, juru bicara yang
akan ditunjuk sebagai perwakilan institusi, dan siapa pun yang memiliki kemampuan dalam
merespons krisis yang terjadi.

Dalam situasi komunikasi krisis diperlukan juga upaya mengkoleksi dan mengolah informasi
yang pada akhirnya akan menjadi sumber bagi organisasi komunikasi krisis yang dibentuk oleh
institusi dalam menghadapi krisis yang terjadi. Sumber tersebut kemudian akan dikelola dan
dijadikan bahan diseminasi informasi yang akan disampaikan kepada siapa pun di luar tim atau
organisasi komunikasi krisis; yang pada akhirnya informasi tersebut akan disampaikan kepada
publik.

Pada fase setelah krisis (post-crisis) melibatkan aktivitas "pembedahan" terhadap tindakan
manajemen krisis yang dilakukan. Juga, institusi perlu menekankan serta memberi perhatian
terhadap perubahan yang terjadi kepada seluruh sumber daya manusia yang ada di institusi.
Terakhir, fase setelah terjadinya komunikasi krisis perlu adanya tindak lanjut yang berdasarkan
kejadian komunikasi krisis; bisa dalam bentuk pencegahan sumber-sumber, mengevaluasi kinerja
tim atau organisasi krisis, atau menyebarkan pesan untuk mendapat perhatian dari seluruh
anggota institusi.

 ORGANISASI KOMUNIKASI KRISIS

Organisasi komunikasi krisis merupakan tim yang dibentuk oleh institusi dalam menangani
situasi krisis yang terjadi. Dalam banyak kasus, institusi tidak bisa serta-merta menyerahkan
orang-orang kehumasan untuk menangani krisis yang terjadi, melainkan juga diperlukan
keterlibatan orang lain di luar organisasi kehumasan institusi, dengan memerhatikan kemampuan
dan kepakaran yang terkait, untuk menangani komunikasi krisis.

Secara sederhana, organisasi komunikasi krisis itu bisa terdiri dari ketua pelaksana,
sekretaris, dan anggota. Namun, dalam situasi dan kejadian tertentu diperlukan juga bendahara
dan pakar/konsultan ahli yang terlibat.

Penjelasan tugas serta tanggung jawab dari organisasi komunikasi krisis institusi
sebagaimana berikut ini:
1) Ketua Tim
1) Mengoordinasikan tata kelola organisasi atau tim komunikasi krisis.
2) Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk mengumpulkan beragam
informasi maupun data yang diperlukan dalam menangani komunikasi krisis.
3) Menghadiri pertemuan atau rapat, baik di internal institusi maupun lintas lembaga
terkait dengan pembahasan peristiwa penyebab munculnya komunikasi krisis.
4) Menjadi juru bicara dalam memberikan informasi, terutama kepada media massa,
terhadap langkah-langkah atau kebijakan dalam penanganan peristiwa atau krisis
yang terjadi.
5) Jika dalam situasi tertentu ketua tim tidak bisa hadir sebagai juru bicara dalam
sebuah pertemuan khususnya saat konferensi pers dengan awak media, maka
dapat menunjuk seseorang berdasarkan kompetensinya sebagai juru bicara
temporer yang mewakili.
6) Memberikan rekomendasi secara tertulis terkait langkah-langkah strategis
terhadap berbagai pihak di internal kementerian untuk menangani krisis yang
terjadi serta menekan munculnya krisis baru atau efek lanjutan dari peristiwa
terdahulu.
7) Memberikan laporan kepada pihak-pihak terkait terkait pelaksanaan penanganan
komunikasi krisis.

2) Sekretaris
1) Melakukan pencatatan secara rutin terhadap proses yang dilakukan oleh
organisasi komunikasi krisis.
2) Berkoordinasi dangan anggota tim yang ditunjuk khusus untuk melakukan
dokumentasi terhadap materi publikasi, baik yang belum tayang, sudah tayang,
maupun kliping berita di media dan juga di media sosial.
3) Menjadi notulen dalam rapat-rapat yang diselenggarakan.
4) Membuat laporan selama penanganan krisis yang dilakukan oleh organisasi
komunikasi krisis.
5) Mendistribusikan laporan penanganan krisis kepada pihak- pihak terkait.

3) Bendahara
1) Bendahara diperlukan dalam organisasi komunikasi krisis apabila dalam proses
dan pembentukannya terdapat anggaran yang dikelola scara langsung atau
swakelola.
2) Mengorganisasi keluar-masuk keuangan selama proses penanganan krisis yang
dilakukan oleh tim.
3) Membuat laporan keuangan dan melaporkannya kepada ketua tim.
4) Mendistribusikan laporan baik topik atau konten komunikasi krisis maupun solusi
serta pencegahan terhadap manajemen atau pihak-pihak terkait di institusi.

4) Anggota
1) Tugas utama anggota adalah membantu, menyiapkan, dan mendistribusikan
konten atau informasi terkait dengan penanganan krisis yang dilakukan.
2) Anggota organisasi komunikasi krisis sesuai dengan fungsinya bisa terdiri dari
namun tidak terbatas pada
(1) Copywriter yang akan menyiapkan materi informasi publikasi.
(2) Fotografer yang mendokumentasikan kegiatan secara visual.
(3) Periset yang bertugas mengumpulkan data-data maupun informasi
lainnya seperti berita atau percakapan di media sosial.
(4) Tenaga dokumentasi yang akan melakukan dokumentasi terhadap semua
dokumen-dokumen penting, liputan berita, maupun materi publikasi.
(5) Admin media sosial yang bertanggung jawab penuh untuk mengelola
konten publikasi di akun-akun media sosial kementerian
(6) Desainer grafis yang mengelola visual konten untuk bahan penyebaran
di media sosial
3) Tugas utama dari anggota organisasi komunikasi krisis adalah menjadi
pendamping ketua tim untuk mendukung proses penanganan krisis sesuai dengan
keahlian dan tugas-tugas yang diberikan.

5) Pakar/konsultan ahli
1) Pakar adalah sumber daya manusia milik institusi yang memiliki kepakaran baik
pengetahuan dan praktik terhadap situasi krisis yang terjadi.
2) Pakar bisa saja berasal dari pihak manajemen maupun staf biasa, namun topik
komunikasi krisis yang terjadi memiliki keterkaitan dan kemampuan atau
keahliannya diperlukan untuk menangani komunikasi krisis. Dalam konteks ini
pakar atau ahli bisa dijadikan anggota dalam organisasi komunikasi krisis.
3) Pakar atau konsultan ahli bisa juga dari dari pihak eksternal institusi dengan
catatan
(1) Keahliannya tidak dimiliki oleh sumber daya manusia institusi.
(2) Keahliannya diperlukan untuk memberikan pendapat pendamping atau
second opinion terhadap peristiwa atau langkah strategis dalam
komunikasi krisis.
(3) Mendapat persetujuan dari supervisos atau pejabat penanggung jawab
langsung dari tim komunikasi krisis.
(4) Bersifat temporer.
(5) Terbukti kredibilitasnya serta bertanggung jawab untuk menjaga
kerahasiaan segala informasi.

Contoh pelibatan sumber daya manusia dalam penangan yang baik dari kasus #EIGER yang
viral di awal tahun 2021 oleh organisasi komunikasi krisis dicontohkan oleh Ronny Lukito
sebagai pemilik dari produsen alat-alat aktivitas luar ruang (outdoor). Kasus #EIGER yang viral
pada akhirnya memunculkan pemilik dan CEO Eiger ini untuk memberikan klarifikasi melalui
akun resmi media sosial milik Eiger itu sendiri.
Terlepas apakah surat "teguran" yang menjadi viral dikirimkan oleh CEO itu sendiri atau
oleh stafnya kepada Youtuber terkait ulasan produk melalui video, namun penanganan berupa
produksi video permohonan maaf dan teks yang disampaikan menunjukkan betapa pengelolaan
krisis dilakukan dengan manajemen yang cukup baik. Situasi ini menunjukkan perlunya kerja
tim dalam mengelola komunikasi krisis, terlebih lagi di media sosial yang sepertinya mudah satu
kasus menjadi viral, sehingga tidak melebar dan menurunkan kepercayaan terhadap jenama
institusi.

 FASE DALAM PENANGANAN KOMUNIKASI KRISIS

Penanganan komunikasi krisis hendaknya memenuhi prinsip-prinsip tertentu, setidaknya ada


berbagai prinsip sebagaimana berikut ini:

1. Regret yaitu menyampaikan penyesalan atau memohon maaf atas sumber peristiwa
komunikasi krisis yang terjadi sekaligus menyatakan dengan lugas bahwa situasi
komunikasi krisis yang terjadi bukanlah keinginan.
2. Responsibility yaitu memberikan penegasan dan jaminan bahwa institusi sepenuhnya
bertanggung jawab atas terjadinya komunikasi krisis dan dampak yang timbul dari
peristiwa tersebut.
3. Reform yaitu bahwa institusi telah menyusun program, mengambil keputusan, dan atau
sejumlah langkah untuk memperbaik komunikasi krisis serta memastikan bahwa
dikemudian hari tidak akan terjadi kembali situasi yang serupa.
4. Restitution yaitu upaya ganti rugi baik berupa materi, perhatian, dukungan moril, sampai
pada penyediaan tenaga ahli/profesi terhadap kerugian yang muncul karena peristiwa
penyebab komunikasi krisis.

Lebih lanjut, Coombs (Coombs & Holladay, 2010: 28-45) menjelaskan secara detail
bagaimana fase-fase dalam penanganan krisis. Secara praktis, langkah-langkah dalam menangani
komunikasi krisis yang terjadi di media sosial sebagai berikut:

1. Menemukan dan mendefinisikan masalah komunikasi krisis yang sebenarnya.


2. Mengumpulkan beragam konten sebagai bahan informasi terkait dengan masalah
komunikasi krisis yang terjadi.
3. Membuat kategori dan pengklasteran terhadap konten maupun akun-akun media sosial
untuk melihat apa/siapa yang memiliki pengaruh dan memetakan penyebaran yang
terjadi.
4. Melibatkan berbagai beragam sumber daya untuk membahas masalah komunikasi krisis.
Di beberapa institusi hendaknya melibatkan bagian legal atau yang terkait dengan hukum.
5. Memastikan berbagai potensi maupun memprediksi efek dari krisis yang terjadi dan
memastikan masalah atau kondisi tidak semakin memperparah.
6. Menyiapkan, memproduksi, dan memublikasi bahan-bahan konten sebagai respons
terhadap komunikasi krisis.
7. Jika diperlukan, menunjuk juru bicara yang berkompeten dalam menyampaikan
(klarifikasi) informasi.
8. Menggunakan berbagai jenis media sosial, jika memungkinkan melakukan iklan dan
menggunakan influencer, untuk mendapatkan perhatian terutama di mesin pencarian.
9. Menyiapkan saluran resmi untuk berinteraksi dengan khalayak agar komunikasi krisis
tidak bertambah besar, berlarut-larut, dan mengundang kesalahan persepsi terutama di
media sosial.
10. Melakukan monitoring, evaluasi, dan umpan balik terhadap program komunikasi krisis
yang dilakukan.
11. Mengantisipasi gejala-gejala atau faktor lainnya yang bisa memunculkan masalah
komunikasi krisis baru.

Anda mungkin juga menyukai