Anda di halaman 1dari 5

NAMA : YESSIKA PUTRI WULANDARI

NIM : 10010222028
KELAS : B

DINAMIKA HUBUNGAN INTERNASIONAL SEBAGAI ILMU

Sejarah Hubungan Internasional sebagai ilmu muncul di Wales, Britania Raya pada abad
ke-20. Kajian tersebut muncul dikarenakan terdapat sekelompok pakar filsafat dan hukum
Internasional yang mempelajari hubungan antar bangsa untuk menciptakan perdamaian
dunia. Perkembangan teori – teori Hubungan Internasional sejak Liberaslisme klasik hingga
Konstruktivisme yang menunjukkan bahwa Hubungan Internasional terpengaruh oleh cabang
ilmu sosial lainnya seperti ilmu ekonomi, sejarah, filsafat, hukum, politik dan sosiologi.
Tampak pada abad ke-16 muncul karya filsuf Nicolo Machiavelli dan ahli hukum
internasional Hugo Grotius yang mendorong HI untuk menjadi bidang studi yang berdiri
sendiri.
Selanjutnya pada abad ke-20 karya Adam Smith, Karl Marx, von Clausewitz, J.J
Rousseau, dan Immanuel Kant ikut mendorong hal tersebut. Maka dari itu dengan presepsi
yang dimunculkan J.S. Mill, Adam Smith, Angus Madison, J.J. Raousseau yang memuat nilai
– nilai Liberalisme yang di dasarkan bahwa manusia memiliki kecenderungan baik dan
kooperatif maka menjadikan suatu negara tersebut merasa optimis akan kerja sama antar
negara tersebut yang menciptakan perdamaian dunia yang tertulis di karya Norman Angell
The Great Illusion (1933) dan Alfred Zimmern League of Nations and the Rule of Law 1918-
1935 (1935). Meskipun demikian optimisme ini hanya bertahan sampai Perang Dunia
Pertama (1914-1918) dan setelah itu muncul Perang Dunia Kedua (1939-1945). Dalam kaitan
ini pakar Hubungan Internasional menyalahkan lemahnya Liga Bangsa – Bangsa (LBB) yang
merupakan usulan guru besar Woodrow Wilson Professor in Internasional Relations pada
tahun 1919 yang dimana LBB ini dibentuk atas dasar proposisi Liberalis tentang organisasi
supra-negara (super-states) dalam mendistribusikan kekuasaan secara berimbang (Balance of
Power) untuk menghindari kecenderungan untuk berperang (preponderance to war), hal itu
yang menuai kritik pedas terkait kegagalan Liberalisme dalam hakikat manusia yang
dianggap sebagai salah satu pecahnya perang dunia pertama dan kedua. Kritikan tersebut
tertuang pada karya E.H. Carr The Twenty Year Crisis, 1919-1939 (1939), kritik tersebut
mematahkan argumen liberalis yang diungkap sebagai berikut :
1. Bahwa manusia pada dasarnya berkecenderungan egosentrik dan destrktif sebagai
digambarkan oleh Nicolo Machiavelli dan Thomas Hobbes, bukannya secara
ensensial bersifat baik dan kooperatif sebagaimana diyakini kaum Liberalis
2. Bahwa moralitas dalam huhubungan antar negara berdasarkan harmoni kepentingan
(harmony of interests) adalah fiksi belaka karena tindakan negara dituntun oleh
kepentingan masing-masing yag sangat egosentrik
3. Bahwa prinsip internasionalisme penting bagi terciptanya perdamaian abadi
merupakan utopia belaka karena setiap negara akan berjuang untuk kekuasaan demi
menjamin keamanan masing-masing.
Perang Dunia dan bubarnya LBB tidak memudarkan pengaruh teori Liberalisme Klasik
yang memicu timbulnya paradigma baru yaitu Realisme Klasik yang mendominasi wacana
studi hubungan internasional pasca Perang Dunia Kedua. Maka terdapat fenomena yang di
kenal sebagai First Great Debate (Debat Besar Pertama) yang seringkali disebut anggap
sebagai kemenangan Realisme atas Liberal-Internasional dalam memberikan contoh yang
logis dan akurat tentang perilaku yang berujung perang berkepanjangan.
Pudarnya Liberal-Internasionalisme kiblat Studi Hubungan Internasional ini
berpindah ke Amerika Serikat. Dikarenakan pada saat itu terjadi eksodus oara intelektual dari
Eropa yang tengah dilanda peperangan Amerika Serikat banyak para imigran menjadi tenaga
pengajar di Amerika Serikat. Sejak 1940 pemikiran Realisme sebagai paradigma baru
semakin berkembang pesat, munculnya karya H.J Morgenthau The Politics Among Nations:
the Struggle for Power and Peace (1948) yang melengkapi tulisan E.H Carr dengan konsep,
asumsi, proposisi yang lenih rinci dari Realisme Klasik. Pada dekade 1950 muncul
gelombang baru yaitu “Revolusi Behavor” dengan masuknya sistem ke dalam ilmu sosial
yang berawal dari tulisan seorang ahli biologi, Ludwig von Bertalanffy yang berjudul
General System Theory: an Approach to Unity of Science (1951) yang menyatakan bahwa
seluruh ilmu pengerahuan dapat dipersatukan. Beberapa tokoh lainnya akhirnya menggagas
sebuah konsep dibidangnya masing-masing, contohnya David Easton mengembangkan
gagasan politik yang mejalankan fungsi agregasi kepentingan,artikulasi kepentingan,
rekrutmen, dan pendidikan politik.
Pada masa pasca-Perang Dingin, pakar HI kebungungan karena kebingungan akan
teori arus utama HI terutama Realisme Klasik dan Neo-Realisme yang gagal menjelaskan
secara logis diberbagai fenomena baru seperti meningkat yang signifikan aktor non-negara.
Kerena tidak semua fenomena Hubungan Internasioanl dapat dijelaskan dari Realis,
Liberalis/Strukturlis, fenomena tersebut sangat luas yang tidak bisa di definisikan dari aspek
fakta meterial saja seperti senjata, pesawat tempur, kapal perang, atau peluru kendali, tetapi
juga mencakup seperti konsep power, kepentingan (interest), pengaruh (influence), ide
(ideas), norma (norms), kedaulatan (sovereignty), anarki (anarchy), perdamaian (peace), atau
kerja sama (cooperation).
Andrew Linklater menghidupkan Teori Krisis (Criyical Theory) di awal dekade 1990-
an menggunakan konsep Marxis. Dalam buku Beyond Marxim and Leninism; Critical Theory
in Internasional Relation (1989) menyatan bahwa antara Marxisme dan studi hubingan
internasional membuka lebar pengembangan teori hubungan internasional untuk membahas
tema di luar tradisi arus utama, terutama Realisme yang mebahas tentang perdamaian dunia.
Akan tetapi Realisme dan Marxisme menjadi perdabatan dianatar kedua perspektif ini.
Argumen dasar dari Realisme diringkas oleh Robert Gilpin sebagai berikut:
“The first is the essentially conflictual nature of international affairs.… The second …
is that the essence of social reality is the group … in a world of scarce resources and
conflict over the distribution of those resources, human beings confront one another
ultimately as members of groups, and not as isolated individuals. Homo sapiens for
most of us ranks above all loyalties other than that of the family. In the modern world,
we have given the name ‘nation-state’ to these competing tribes and the name
‘nationalism’ to this form of loyalty. True, the name, size, and organization of the
competing groups into which our species subdivides itself do alter over time – tribes,
city-states, kingdoms, empires, and nation states – due to economic, demographic and
technological changes. Regrettably, however, the essential nature of intergroup
conflict does not. The third assumption that I believe characterizes realist thinking is
the primacy in all political life of power and security in human motivation
(Davenport, 2011, hal. 36).”
Stephen Krasner, dalam diskusinya mengenai Neorealisme, menuliskan:
“... the ontological given for realism is that sovereign states are the constitutive
components of the international system. Sovereignty is a political order based on
territorial control. The international system is anarchical. It is a self-help system.
There is no authority that can constrain or channel the behaviour of states. Sovereign
states are rational self-seeking actors resolutely if not exclusively concerned with
relative gains because they must function in an anarchical environment in which their
security and well-being ultimately rest on their ability to mobilise their own resources
against external threats (Krasner, 1992, hal. 39).”
Dari kedua kutipan diatas menggambarkan Realisme hubungan internasional sebagai
lingkungan konfliktual yang dimana manusia mengelo pok dalan bentuk negara-bangsa.
Sementara itu, Marxisme didasari asumsi yang cukup berbeda. Gills menuliskan bahwa:
“The fundamental premise in Marx’s methodology is that historical, material forces,
embodied in the economic structure of society (as constituted by the forces of
production and the relations of production) are the foundation upon which class
struggle and the movement of history rest, and upon which a critical analysis must
concentrate (Gills, 1987, hal. 39).”
Halliday meringkas empat aspek argumen Marxisme. Pertama, bahwa masyarakat
tidak bisa terlepas dari suatu aktivitas yaitu aktivitas ekonomi, karena perilaku manusia tidak
bisa terlepas dari konteks sosi-ekonomi tempat mereka hidup. Kedua, sejarah membentuk
perilaku manusia hari ini. Ketiga, kelas sosial politik penting dalam kehidupan politik.
Keempat, Marxisme beranggap bahwa pentingnya konflik karena sebagai bentuk revolusi.
Sebagaimana sebelumnya dengan Reaslisme dan Marxisme formulasi tersebut
merupakan bentuk yang dapat mengakomodasi peran negara. Disaat itu formulasi tersebut
tidak boleh melakukan reifikasi terhadap sistem negara-bangsa. Maka dari itu muncul teori
imperialisme baru yang menjawab atas perdebapat kedua teori ini.
Teori imperialisme baru ini sering dipakai oleh sejumlah nama besar studi hubungan
internasional yaitu David Harvey, Alex Callinicos, hingga Pete Gowan. Teori ini berbeda
dengan teori imperialisme lainnya, perbedaan ini dimana terletak pada kecenderungannya
untuk mengakui keberadaan “significant conflicts of interest exist among them [leading
capitalist states] ... [and] are likely ... to give rise to geopolitical struggles.”
Pandangan terhadap teori ini terhadap politik internasional bahwa masih diwarnai
dengan kontestasi di antara negara-negara. Berbagai teori bersandar pada pemisahan antara
“logika kapitalisme” dan “logika teritorial”; “ranah privat” dan “ranah publik”; “economic
power” dan “extra-economic power”; atau “economic reason” dan “geopolitical reason”.
Semua subdivisi ini pada akhirnya memiliki fungsi yang berbeda sama, yaitu memungkinkan
analisis fenomena politik internasional tanpa logika sistem negara-bangsa harus direduksi
menjadi logika cara produksi dan logika cara produksi dan sebaliknya; mengakui bahwa
kedua logika ini identik yang sama- sama berperan dalam menentukan perilaku pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

DARI BUKU :
Hadiwinata, Bob Sugeng, Agustus 2017. Studi dan teori Hubungan Internasional
(Arus utama, Alternatif, dan Relflektivis). Jakarta.
Soetjipto, Ani Widyani, Desember 2018. Transnasionalisme: Peran Aktor Non
Negara dalam Hubungan Internasional. Jakarta.

DARI JURNAL :
Rizky Alif Alvian, May 2016. Teori Imperialisme Baru dan Debat Marxisme-
Realisme dalam Ilmu Hubungan Internasional.

Anda mungkin juga menyukai