: Dosen Pengampu
Al-Ustadzah Yusrina Dyah Wulandari, M.Ag
Oleh:
VIDYA FARICHA PRATIWI
NIM. 41.2020.23.31.64
FAKULTAS USHULUDDIN
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
SAMBIREJO MANTINGAN NGAWI JAWA TIMUR
1441 / 2020
A. PENDAHULUAN
Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman bagi siapapun
yang ingin selamat dan sejahtera di dunia dan akhirat. Al-Qur’an adalah
Kalamullah yang diturunkan ke dalam kalbu Rasulullah SAW dengan perantara
wahyu, melalui Ruhul Qudus, yaiut Jibril, turun secara bertahap dalam bentuk
ayat demi ayat, surah demi surah sepanjang periode kenabian Rasulullah 23 tahun,
yang isi Al-Qur’an tersebut ada pembukaan dengan surah Al-Fatihah dan ditutup
dengan surah An-Nas, yang proses perpindahan antargenenerasi umat Islam
adalah dengan cara mutawatir mutlak, berlaku sebagai bukti nyata dan bersifat
mu’jiz (mengalahkan pendapat yang lain) atas kebenaran risalah agama Islam.
Dalam definisi Al-Qur’an yang cukup panjang ini memuat delapan unsur,
pertama sumbernya, yaitu Allah SWT, kedua pembawanya (perantara) yaitu Jibril
(Ruhul Qudus), ketiga yang menerima yaitu Nabi Muhammad SAW, keempat
cara penyampaian yaitu diwahyukan, kelima bentuk wahyu yang diturunkan
berupa ayat-ayat dan surah, keenam periode penurunan wahyu selama 23 tahun,
ketujuh mengenai isi Al-Qur’an yaitu mushaf (kitab) yang ada pada umat Islam
sekarang yang berisi Surah Al-Fatihah hingga Surah An-Nas, kedelapan yaitu
peranan Al-Qur’an sebagai bukti nyata yang bersifat mu’jiz yang proses
penyampaian antargenerasi manusia di alam ini dengan sanad (mata rantai pesan)
yang paling akurat, atau disebut dengan istilah mutawatir mutlak.
B. PEMBAHASAN
SEJARAH DAN PENGERTIAN AL-QUR’AN
Rasulullah tidak mengizinkan para sahabat menulis apapun yang keluar dari
lisan beliau selain Al-Qur’an, karena dikhawatirkan Al-Qur’an bercampur dengan
yang lain. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
ب ِ
َ ب َعيِّن ْ َغْيَر الْ ُق ْرآن َف ْليَ ْم ُحهُ َو َج ِّدثُ ْوا َعيِّن ْ َوالَ َخَر َج َو َم ْن َك َذ
َ َالَ تَكْتُُب ْوا َعيِّن ْ َو َم ْن َكت
َعلَ َّي ُمَت َع ِّم ًدا َف ْليَتََب َّوْأ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر
1
Syaikh Manna’ Al-Qatthan, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an, Cetakan I, Jakarta: Ummul Qura, 2016,
hlm. 20
“Janganlah kalian menulis apapun dariku. Barangsiapa menulis (sesuatu) dariku
selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya. Sampaikanlah hadits dariku dan
hal itu tidak mengapa. Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka tempatilah tempat duduknya di neraka.”
Kemudian, datanglah masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Saat itu muncul
beberapa faktor yang mengharuskan untuk menyatukan kaum muslimin di atas
satu mushaf. Selanjutnya, proyek penyatuan Al-Qur’an ini tercapai, dan mushaf
tersebut dikirim ke sejumlah kota Islam yang kemudian penulisan ini dinamakan
Rasm Utsmani. Langkah ini dianggap sebagai cikal-bakal ilmu penulisan Al-
Qur’an.
Setelah itu datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a selanjutnya, Abu
Aswad Ad-Duali membuat kaidah-kaidah tata bahasa (nahwu) atas perintah
khalifah Ali bin Abi Thalib r.a demi menjaga kebenaran pengucapan dan memberi
harakat Al-Qur’an. Langkah ini juga dianggap sebagai cikal-bakal ilmu i’rab Al-
Qur’an.
Khulafau-r-Rosyidin
Ibnu Mas’ud
Ibnu Abbas
Ubay bin Ka’ab
Zaid bin Tsabit
Abu Musa Al-Asy’ari
Abdullah bin Zubair
Ibnu Taimiyah berkata, “Di bidang Tafsir, orang yang paling mengetahui
bidang ini adalah penduduk Mekah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu
Abbas, seperti Mujahid, Atha’ bin Abu Rabbah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, serta
murid-murid Ibnu Abbas lainnya, seperti Thawus, Abu Sya’tsa’, Sa’id bin Jubair,
dan lain sebagainya. Begitu juga penduduk Kufah dari kalangan murid-murid
Ibnu Mas’ud. Mereka memiliki keistemawaan di bidang ilmu ini jika
dibandingkan yang lain. Ulama Madinah di bidang tafsir seperti Zaid bin Aslam
yang Imam Malik mempelajari disiplin ilmu tafsir darinya, juga anaknya yang
bernama Abdurrahman, dan Abdullah bin Wahab.” 2
Orang-orang yang meriwayatkan ilmu dari mereka ini mencakup disiplin ilmu
tafsir, ilmu gharibul qur’an, ilmu asbabun nuzul, ilmu ayat-ayat Makiyyah dan
Madaniyyah, serta ilmu nasikh dan mansukh. Hanya saja, semua disiplin ilmu ini
masih mengandalkan cara penyampaian secara langsung dalam periwayatannya.
ILMU TAFSIR
Dengan kata lain, tanpa adanya upaya yang dilakukan oleh tafsir, Al-Qur’an
hanya menjadi bacaan yang manfaatnya kurang dirasakan oleh manusia. Hal itu
pada gilirannya akan menguatkan pernyataan Ali bin Abi Thalib, “Al-Qur’an
2
Mukadinah Ibnu Taimiyah dalam Ushulu Tafsir, hlm 15
adalah teks yang tidak berbicara, tetapi yang dapat membuatnya berbicara adala
manusia yang membacanya.3
Secara garis besar, sejarah penafsiran Al-Qur’an dibagi menjadi empat bagian.
Pertama, masa pertumbuhan (abad I-IV H), yaitu semenjak masa Nabi,
sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan setelahnya. Pada dekade ini, penafsiran
dilakukan secara sederhana. Para ulama masih sangat hati-hati dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Tafsir yang ada masih terbatas, yaitu tentang kosa kata sulit, asbabun
nuzul, dan hadits-hadits yang terkait dengan satu ayat.
Kedua, masa keemasan (IV-VIII H) yaitu setelah tafsir menjadi bagian dari
salah satu cabang ilmu keislaman yang didukung oleh disiplin ilmu lainnya yang
sedang tumbuh pesat. Pada saat itu, tafsir menjadi ensiklopedis. Orisinalitas
penafsiran sangat terasa. Contohnya adalah Tafsir ath-Thabari, Tafsir ar-Razi,
Tafsir Ibn Katsir.
Dalam hasil karya para mufassir, mereka sering berbeda dalam memberikan
istilah untuk tafsir masing-masing. Istilah-istilah tersebut, yaitu al-ittijah, al-
manhaj, al-uslub, dan ath-thariqah. Keempat istilah itu tidak dipakai oleh
mufassir pada awal masa islam. Begitu pula pada masa sekarang, belum ada
kesepakatan mengenai istilah-istilah tersebut sehingga digunakan secara tumpang
tindih, padahal yang dibahas adalah istilah yang sama.5
1. Al-Ittijah
Menurut bahasa, al-ittijah berasal dari kata ittajaha-yattajihu-ittijahan
yang artinya tujuan atau arah. Sementara itu menurut istilah, al-ittijah
ialah tujuan pandangan mufasir yang dijadikan alat bantu dalam
membedah tafsirnya.
2. Al-Manhaj
Menurut bahasa, al-manhaj berasal dari kata nahaja-yanhaju-manhajan
yang artinya jalan yang dilalui untuk sampai ke tujuan yang hendak
dicapai. Sementara itu, menurut istilah, al-manhaj ialah acuan yang
menjadi pegangan dalam menafsirkan sehingga dengan acuan tersebut
mufassir dapat mencapai tujuannya.
3. Al-Uslub
Menurut bahasa, al-uslub berasal dari kata salaba-yaslubu-salaban yang
artinya jalan, metode, teknik, bentuk, atau gaya. Selain itu al-uslub juga
berarti gaya penulisan atau ekspresi. Semantara itu menurut istilah, al-
uslub ialah metode yang digunakan untuk menemukan arti yang
terkandung tanpa keluar dari rel jalur yang telah ditentukan.
4. Ath-Thariqah
Menurut bahasa, ath-thariqah berasal dari kata tharaqa-yathruqu-
thariqatun yang artinya jalan yang harus dilalui oleh mufassir untuk
memahami dan menafsirkan teks. Sementara itu menurut istilah, ath-
thariqah ialah pisau bedah yang digunakan mufassir untuk memahami lalu
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Berdasarkan ath-thariqah yang
digunakan, tafsir dikelompokkan ke dalam dua kategori:
5
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, Cetakan ke I, Jakarta: AMZAH, 2014, hlm. 113
Merujuk kepada riwayat (tafsir bi al-ma’tsur)
Menggunakan nalar (tafsir bi ar-ra’y)
Tafsir bi Al-Ma’tsur
ِ
اَألم ُن َو ُه ْم ُّم ْهتَ ُد ْو َن َ اَلَّذيْ َن َآمُن ْوا َومَلْ َي ْلبَ ُس ْوا ِإمْيَانَ ُه ْم بِظُْل ٍم اُوِئ
ْ ك هَلُ ُم
6
Muhammad Naqrasyi As-Sayyid Ali, Manahij Al-Mufassirin min Al-‘Ashr Al-Awwal ila Al-‘Ashr Al-
Hadits, Cetakan ke I, Kairo: Maktabah An-Nahdhah, 1986, hlm. 69
c) Penafsiran ayat al-Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi
SAW. Misalnya, pemahaman sahabat Nabi, Sayyidina Umar atau bin
Abbas r.a tentang makna surah an-Nashr (110), bahwa surah itu adalah
isyarat tentang telah mendekatnya ajal Nabi SAW.
Hal yang harus dilakukan agar tafsir bi al-ma’tsur tidak menjadi lemah adalah:
Tafsir bi ar-Ra’y merupakan tafsir yang didasari oleh ijtihad. 9 Adapun ijtihad
yang dilakukan harus sesuai dengan kaidan yang benar. Tafsir bi ar-Ra’y sering
disebut dengan tafsir al-‘aqli. Mufassir yang menggunakan cara ini hendaknya
menguasai ilmu bahsa Arab, seperti gaya bahasa, majas, dan mengetahui syair-
syair Arab, asbabu nuzul, dan naskh-mansukh.10
9
Muhammad Husain Adz-Dzahibi, Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, Kairo: Maktabah Wahbah, 1978,
hlm. 255
10
Muhammad Husain Adz-Dzahibi, ‘Ilm At-Tafsir, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1980, hlm. 47
11
Muhammad Naqrasyi As-Sayyid Ali, Manahij Al-Mufassirin, hlm. 71
12
Al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz I, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, 1964, hlm. 34
Tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum ialah tafsir yang menggunakan pendapat
semata, mengikuti hawa nafsu, tidak menggunakan ilmu, dn tidak melihat
pendapat ulama lain atau pendapat yang sesuai dengan ketentuan.
Hal yang harus dihindari agar tidak terjerumus kepada kesesatan dalam tafsir
bi ar-ra’yi adalah:
Metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti cara atau
jalan.13 Selanjutnya, diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi method. Sementara
itu dalam bahasa Arab, metode diterjemahkan dengan thariqah atau manhaj.
Metode dapat digunakan untuk berbagai objek sehingga metode merupakan salah
satu sarana untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Oleh karena itu, studi Al-Qur’an tidak lepas dari metode untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Allah SWT di dalam ayat-
ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.14 Metode tafsir
berisikan seperangkat kaidah yang harus diikuti ketika menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an. Tanpa menggunakan metode tertentu, seseorang bisa saja keliru
menafsirkan.
13
14
Nasarudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: Pustakan Pelajar, 1988, hlm. 1-2
Metode tafsir dibagi menjadi empat:
Tafsir Al-Ijmali ialah menafsirkan Al-Qur’an dengan cara yang global dan
singkat. Dalam metode ini, bahasa yang digunakan mudah dimengerti dan enak
dibaca, sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat dalam mushaf, serta
penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an. Mufasir menjelaskan
makna umum yang terkandung dalam ayat tanpa menjelaskan makna umum yang
terkandung dalam ayat tanpa menjelaskan perangkat-perangkat pendukungnya
secara detail, seperti i’rab atau balaghah.
Mengikuti urutan ayat sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf.
Lebih menyerupai terjemah maknawi sehingga mufassir tidak berpegang
pada makna kosakata.
Mufassir lebih menekankan pada penjelasan makna umum.
Apabila dibutuhkan, mufassir mengemukakan alat bantu, seperti asbab
an-nuzul.
Penafsirannya tidak begitu jauh dengan siyaq Al-Qur’an. Begitu pula
dengan bentuk kosakata dan ujaran yang digunakan.
Metode ini menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi sesuai
urutan surah dalam mushaf dengan mengedepankan kandungan kosakata,
15
Abdul Hayyi Al-Farmawi, Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i, Kairo: Dar Ma’arif, 1977, hlm. 24
hubungan antarayat, hubungan antarsurah, asbab an-nuzul, hadits-hadits yang
berhubungan, pendapat para ulama salaf, serta pendapatnya sendiri.
16
Abdussatur Fathullah Sa’id, Al-Madkhal ila At-Tafsir Al-Maudhu’I, Kairo: Dar At-Tauzi’ wa An-
Nasyr Al-Islamiyyah, 1997, hlm. 17
Cakupan pembahasannya sangat luas karena membandingkan tiga hal,
yaitu ayat, hadits, dan pendapat mufassir.
Ruang lingkup dari masing-masing aspeknya berbeda-beda.
Ada yang menghubungkan pembahasan dengan konotasi kata atau kalinat.
Mengomparatifkan antara ayat-ayat yang beredaksi sama, hadits yang
memiliki kemiripan, serta pendapat mufassir mengenai ayat tertentu.
4. Tafsir Al-Maudhu’i
Menurut bahasa, al-maudhu’i berasal dari kata al-wadh’u yang dibentuk dari
wadha’a-yadhi’u-wadhi’un-maudhu’un yang artinya menjadikan, meletakkan,
atau menetapkan sesuatu pada tempatnya. 17
Sementara itu, menurut istilah, tafsir
al-maudhu’i ialah tafsir dengan topik yang memiliki hubungan antara ayat yang
satu dan ayat yang lain mengenai tauhid, kehidupan sosial, atau ilmu pengetahuan.
Mengingat Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab yang jelas, seperti disebutkan
dalam firman Allah:18
Demikian beberapa etika yang harus dimilik mufassir sehingga tafsir yang
disampaikan bersih dari hal-hal yang tidak sesuai dengn ketentian syariat. Di
samping itu, kebenaran hasil tafsirnya juga dapat dipertanggungjawabkan.
Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa tafsir sangat penting. Dan
nilai penting yang dimiliki tafsir adalah:
MANFAAT TAFSIR
Tafsir berupaya menjelaskan makna ayat Al-Qur’an. Selain itu, tafsir juga
mengadaptasikan ayat Al-Qur’an ke dalam situasi kekinian. Oleh sebab itu, tafsir
memiliki banyak manfaat yaitu:
20
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hlm 42
ِ ِِ ِ
اب َ اب َأْنَزلْناَهُ ِإلَْي
ْ َك ُمباََر ٌك لِّيَ َّدبَُّر ْوا ءَايَاته َوليَتَ َذ َّكَر ُْأولُْوا اَأللْب ٌ َكت
Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka
menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat
pelajaran. (QS. Shad [38]: 29)
Sementara itu, Allah SWT mencela orang-orang yang tidak mau mempelajari
dan memahami Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
Oleh sebab itu, secara umum dalam suatu umat setidaknya satu orang, wajib
mempelajari tafsir kemudian mengajarkannya kepaada orang lain. Sementara itu,
secara khusus setiap orang wajib mengetahu Al-Qur’an untuk mengenal
Tuhannya dan sebagai bekal untuk mencapai kesempurnaan ibadah.
C. PENUTUP
Ilmu Tafsir sangatlah berpengaruh dalam kehidupan kita baik dalam jangka
waktu pendek maupun jangka waktu yang panjang. Jangka pendeknya adalah
kemaslahatan hidup di dunia, baik individu maupun masyarakat. Dengan petunjuk
Al-Qur’an, kemaslahatan umat dapat diwujudkan. Keharmonisan, toleransi, dan
kerukunan dapat tercipta. Hubungan yang manusiawi, kesetaraan hak, dan
persamaan derajat dapat tercapai karena Al-Qur’an diturunkan untuk
kemaslahatan seluruh umat manusia dan sebagai rahmat untuk semesta alam.
A. DAFTAR PUSTAKA