Anda di halaman 1dari 22

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

: Ditulis untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah


BAHASA INDONESIA

: Dosen Pengampu
Al-Ustadzah Yusrina Dyah Wulandari, M.Ag

Oleh:
VIDYA FARICHA PRATIWI
NIM. 41.2020.23.31.64

FAKULTAS USHULUDDIN
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
SAMBIREJO MANTINGAN NGAWI JAWA TIMUR
1441 / 2020
A. PENDAHULUAN
Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman bagi siapapun
yang ingin selamat dan sejahtera di dunia dan akhirat. Al-Qur’an adalah
Kalamullah yang diturunkan ke dalam kalbu Rasulullah SAW dengan perantara
wahyu, melalui Ruhul Qudus, yaiut Jibril, turun secara bertahap dalam bentuk
ayat demi ayat, surah demi surah sepanjang periode kenabian Rasulullah 23 tahun,
yang isi Al-Qur’an tersebut ada pembukaan dengan surah Al-Fatihah dan ditutup
dengan surah An-Nas, yang proses perpindahan antargenenerasi umat Islam
adalah dengan cara mutawatir mutlak, berlaku sebagai bukti nyata dan bersifat
mu’jiz (mengalahkan pendapat yang lain) atas kebenaran risalah agama Islam.

Dalam definisi Al-Qur’an yang cukup panjang ini memuat delapan unsur,
pertama sumbernya, yaitu Allah SWT, kedua pembawanya (perantara) yaitu Jibril
(Ruhul Qudus), ketiga yang menerima yaitu Nabi Muhammad SAW, keempat
cara penyampaian yaitu diwahyukan, kelima bentuk wahyu yang diturunkan
berupa ayat-ayat dan surah, keenam periode penurunan wahyu selama 23 tahun,
ketujuh mengenai isi Al-Qur’an yaitu mushaf (kitab) yang ada pada umat Islam
sekarang yang berisi Surah Al-Fatihah hingga Surah An-Nas, kedelapan yaitu
peranan Al-Qur’an sebagai bukti nyata yang bersifat mu’jiz yang proses
penyampaian antargenerasi manusia di alam ini dengan sanad (mata rantai pesan)
yang paling akurat, atau disebut dengan istilah mutawatir mutlak.

Al-Qur’an merupakan kitab terbesar yang kehebatannya tidak tertandingi.


Kandungan makna yang tersembunyi di balik keindahan ayat-ayatnya selalu
memunculkan banyak karya di bidang tafsir dan ilmu tafsir. Berbagai metode dan
cara pandang digunakan untuk mengungkap rahasia besar yang tersembunyi di
dalam Al-Qur’an. Ketika diungkap, kandungannya tidak pernah habis dibahas.
Sehubung drngan itu, karya tafsir yang telah dihasilkan sejak berabad-abad yang
lalu atau bahkan karya tafsir yang akan dihasilkan pada abad-abad mendatang,
hanyalah bagian kecil dari kandungan Al-Qur’an yang berhasil diungkap.

B. PEMBAHASAN
SEJARAH DAN PENGERTIAN AL-QUR’AN

Al-Qur’an Al-Karim adalah mukjizat Islam yang abadi, di mana kemajuan


ilmu pengetahuan (sains) semakin memperkuat sisi mukjizatnya, yang diturunkan
Allah kepada Rasul kita Muhammad SAW untuk mengeluarkan umat manusia
dari segala kegelapan menuju cahaya, dan membimbing mereka menuju jalan
yang lurus. Rasulullah menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat-mereka
adalah orang Arab asli-sehingga mereka dapat memahaminya sesuai tabiat
mereka. Manakala mereka sulit untuk memahami suatu ayat diantara ayat-ayat Al-
Qur’an, maka mereka bertanya langsung kepada Rasulullah.
Para sahabat Nabi sangat bersemangat dalam mempelajari, menghafal,
memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an dan kemudian berhenti pada batasan-
batasannya (larangan) tanpa menerjangnya. Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman
As-Sulami, bahwa ia berkata, “Orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada
kami, seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya bercerita
kepada kami bahwa apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi SAW,
maka mereka tidak menambahnya hingga mengamalkan ilmu dan amal yang
terkandung di dalamnya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari Al-Qur’an,
mrmahaminya, dan mengamalkannya secara bersamaan’”. (HR. Abdurrazaq
dengan lafal serupa dengan hadits ini)1

Rasulullah tidak mengizinkan para sahabat menulis apapun yang keluar dari
lisan beliau selain Al-Qur’an, karena dikhawatirkan Al-Qur’an bercampur dengan
yang lain. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:

‫ب‬ ِ
َ ‫ب َعيِّن ْ َغْيَر الْ ُق ْرآن َف ْليَ ْم ُحهُ َو َج ِّدثُ ْوا َعيِّن ْ َوالَ َخَر َج َو َم ْن َك َذ‬
َ َ‫الَ تَكْتُُب ْوا َعيِّن ْ َو َم ْن َكت‬
‫َعلَ َّي ُمَت َع ِّم ًدا َف ْليَتََب َّوْأ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬

1
Syaikh Manna’ Al-Qatthan, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an, Cetakan I, Jakarta: Ummul Qura, 2016,
hlm. 20
“Janganlah kalian menulis apapun dariku. Barangsiapa menulis (sesuatu) dariku
selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya. Sampaikanlah hadits dariku dan
hal itu tidak mengapa. Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka tempatilah tempat duduknya di neraka.”

AL-QUR’AN DI MASA KHULAFA AR-RASYIDIN

Meskipun setelah itu Rasulullah SAW mengizinkan sebagian sahabat untuk


menulis hadits, tetapi Al-Qur’an tetap bertumpu pada riwayat melalui
penyampaian secara langsung pada masa Rasulullah SAW, juga pada masa
kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab r.a.

Kemudian, datanglah masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Saat itu muncul
beberapa faktor yang mengharuskan untuk menyatukan kaum muslimin di atas
satu mushaf. Selanjutnya, proyek penyatuan Al-Qur’an ini tercapai, dan mushaf
tersebut dikirim ke sejumlah kota Islam yang kemudian penulisan ini dinamakan
Rasm Utsmani. Langkah ini dianggap sebagai cikal-bakal ilmu penulisan Al-
Qur’an.

Setelah itu datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a selanjutnya, Abu
Aswad Ad-Duali membuat kaidah-kaidah tata bahasa (nahwu) atas perintah
khalifah Ali bin Abi Thalib r.a demi menjaga kebenaran pengucapan dan memberi
harakat Al-Qur’an. Langkah ini juga dianggap sebagai cikal-bakal ilmu i’rab Al-
Qur’an.

Para sahabat terus menyampaikan makna-makna Al-Qur’an dan penafsiran


sejumlah ayat meski dengan tingkatan yang berbeda-beda di antara mereka, sesuai
tingkat pemahaman masing-masing dan masa mereka berguru kepada Rasulullah
SAW. Selanjutnya, murid-murid para sahabat dari kalangan tabi’in menukil ilmu
Al-Qur’an dari mereka.

Di antara para mufassir yang paling masyhur di kalangan sahabat adalah:

 Khulafau-r-Rosyidin
 Ibnu Mas’ud
 Ibnu Abbas
 Ubay bin Ka’ab
 Zaid bin Tsabit
 Abu Musa Al-Asy’ari
 Abdullah bin Zubair

Ibnu Taimiyah berkata, “Di bidang Tafsir, orang yang paling mengetahui
bidang ini adalah penduduk Mekah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu
Abbas, seperti Mujahid, Atha’ bin Abu Rabbah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, serta
murid-murid Ibnu Abbas lainnya, seperti Thawus, Abu Sya’tsa’, Sa’id bin Jubair,
dan lain sebagainya. Begitu juga penduduk Kufah dari kalangan murid-murid
Ibnu Mas’ud. Mereka memiliki keistemawaan di bidang ilmu ini jika
dibandingkan yang lain. Ulama Madinah di bidang tafsir seperti Zaid bin Aslam
yang Imam Malik mempelajari disiplin ilmu tafsir darinya, juga anaknya yang
bernama Abdurrahman, dan Abdullah bin Wahab.” 2

Orang-orang yang meriwayatkan ilmu dari mereka ini mencakup disiplin ilmu
tafsir, ilmu gharibul qur’an, ilmu asbabun nuzul, ilmu ayat-ayat Makiyyah dan
Madaniyyah, serta ilmu nasikh dan mansukh. Hanya saja, semua disiplin ilmu ini
masih mengandalkan cara penyampaian secara langsung dalam periwayatannya.

ILMU TAFSIR

Tafsir bersentuhan langsung dengan kalam Allah untuk menjelaskan maksud


yang tersembunyi dalam kalam-Nya. Oleh sebab itu, objek kajian tafsir adalah
upaya untuk merenungkan pesan-pesan Allah di dalam kitab-Nya yang berbahasa
Arab agar dpat dipahami dan dijadikan pedoman hidup yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Dengan demikian, upaya untuk menggali hukum-hukum
yang dijelaskan Allah serta mengetahui tentang halal dan haram sangar bergantuk
kepada tafsir.

Dengan kata lain, tanpa adanya upaya yang dilakukan oleh tafsir, Al-Qur’an
hanya menjadi bacaan yang manfaatnya kurang dirasakan oleh manusia. Hal itu
pada gilirannya akan menguatkan pernyataan Ali bin Abi Thalib, “Al-Qur’an

2
Mukadinah Ibnu Taimiyah dalam Ushulu Tafsir, hlm 15
adalah teks yang tidak berbicara, tetapi yang dapat membuatnya berbicara adala
manusia yang membacanya.3

Tafsir muncul bersamaan dengan kebutuhan umat untuk memahami kitab


Allah sebagai risalah ketuhanan yang membutuhkan pemahaman. Meskipun Al-
Qur’an berbahasa Arab dan umat yang pertama kali menerima adalah orang Arab,
tidak semua mampu memahami seluruh kata yang digunakan, karena banyak pula
istilah baru yang digunakan. Oleh sebab itu, untuk kata-kata yang sulit dicerna,
mereka langsung menanyakan kepada Nabi SAW sebagai manusia penerima
Tuhan. Ketika itulah muncul ilmu tafsir dan dibutuhkan penafsiran.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, proses pengalihbahasaan Al-Qur’an ke


dalam bahasa lain telah dilakukan oleh sebagian sahabat. Ketika para sahabat
berhijrah untuk pertama kali ke negri Ethiopia, mereka bertemu dengan Raja
Najasyi. Pada saat itulah Ja’far ath-Thayyar membacakan ayat-ayat suci Al-
Qur’an dari surah Maryam. Salah satu pejabat kerajaan menerjemahkan ayat-ayat
suci Al-Qur’an ke dalam bahasa Ethiophia.4

Hal senada terjadi pada saat Nabi Muhammad mengirimkan surah ke


Heraklius, Kaisar Romawi, untuk mengajaknya masuk Islam. Nabi menuliskan
beberapa ayat suci Al-Qur’an, di antaranya 64 Surah Ali Imran. Raja Heraklius
memanggil seorang penerjemah untuk menerjemahkan isi surat Nabi. Begitu juga
dilakukan oleh Raja Mukaukis di Mesir ketika mendapatkan surat dari Nabi.

Kisah-kisa tersebut mengisyaratkan bahwa penerjemah Al-Qur’an ke bahasa


selain Arab telah mulai berlangsung, walaupun masih dalam bentuk spontanitas.
Jika penerjemah redaksi ayat suci Al-Qur’an telah berlangsung pada masa Nabi,
demikian juga dengan penafsiran Al-Qur’an. Nabi telah banyak menafsirkan Al-
Qur’an. Namun, masih sangat sederhana, yaitu berupa penjelasan terhadap
beberapa kalimat Al-Qur’an. Pada masa sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan
setelahnya, kegiatan penafsiran Al-Qur’an semakin intensif. Hal itu ditandai
3
M. Nur Kholis, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Cetakan ke I, Tangerang : Logos Wacana Ilmu,
2000, hlm. 89
4
Dr. Ahsin Sakho Muhammad, Membumikan Ulumul Qur’an, Cetakan ke I, Jakarta : PT Qaf Media
Kreativa, 2019, hlm. 155
dengan munculnya komunitas tafsir di beberapa kota seperi Mekah, Madinah,
Kufah, Basrah dan Syam.

SEJARAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Secara garis besar, sejarah penafsiran Al-Qur’an dibagi menjadi empat bagian.
Pertama, masa pertumbuhan (abad I-IV H), yaitu semenjak masa Nabi,
sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan setelahnya. Pada dekade ini, penafsiran
dilakukan secara sederhana. Para ulama masih sangat hati-hati dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Tafsir yang ada masih terbatas, yaitu tentang kosa kata sulit, asbabun
nuzul, dan hadits-hadits yang terkait dengan satu ayat.

Kedua, masa keemasan (IV-VIII H) yaitu setelah tafsir menjadi bagian dari
salah satu cabang ilmu keislaman yang didukung oleh disiplin ilmu lainnya yang
sedang tumbuh pesat. Pada saat itu, tafsir menjadi ensiklopedis. Orisinalitas
penafsiran sangat terasa. Contohnya adalah Tafsir ath-Thabari, Tafsir ar-Razi,
Tafsir Ibn Katsir.

Ketiga, masa kelesuan atau stagnan (VIII-XII H) yaitu setelah penafsiran


terhadap Al-Qur’an tidak mengalami kemajuan yang berarti. Karena hanya
meringkas atau memberikan komentar terhadap karya ulama pendahulu.
Contohnya adalah Tafsir al-Baidhawi, an-Nasafi, Abussu’ud, al-Khazin.

Keempat, masa pencerahan dan kebangkitan (XII-sekarang), yaitu semenjak


Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mencoba menggugah kesadaran umat Islam
dari keterpurukannya melalui penafsiran Al-Qur’an. Tafsir pada periode ini
memiliki corak hida’i (penekanan terhadap hidayah Al-Qur’an), ijtima’i (sosial
kemasyarakatan) dan haraki (pergerakan). Tidak banyak mengurai persoalan
kebahasaan dan pendapat ulama dalam satu bidang keilmuan secara panjang lebar.
Tafsir-tafsir pada periode ini juga menekankan aspek sistimatika penafsiran.

ISTILAH METODE DALAM ILMU TAFSIR

Dalam hasil karya para mufassir, mereka sering berbeda dalam memberikan
istilah untuk tafsir masing-masing. Istilah-istilah tersebut, yaitu al-ittijah, al-
manhaj, al-uslub, dan ath-thariqah. Keempat istilah itu tidak dipakai oleh
mufassir pada awal masa islam. Begitu pula pada masa sekarang, belum ada
kesepakatan mengenai istilah-istilah tersebut sehingga digunakan secara tumpang
tindih, padahal yang dibahas adalah istilah yang sama.5

1. Al-Ittijah
Menurut bahasa, al-ittijah berasal dari kata ittajaha-yattajihu-ittijahan
yang artinya tujuan atau arah. Sementara itu menurut istilah, al-ittijah
ialah tujuan pandangan mufasir yang dijadikan alat bantu dalam
membedah tafsirnya.
2. Al-Manhaj
Menurut bahasa, al-manhaj berasal dari kata nahaja-yanhaju-manhajan
yang artinya jalan yang dilalui untuk sampai ke tujuan yang hendak
dicapai. Sementara itu, menurut istilah, al-manhaj ialah acuan yang
menjadi pegangan dalam menafsirkan sehingga dengan acuan tersebut
mufassir dapat mencapai tujuannya.

3. Al-Uslub
Menurut bahasa, al-uslub berasal dari kata salaba-yaslubu-salaban yang
artinya jalan, metode, teknik, bentuk, atau gaya. Selain itu al-uslub juga
berarti gaya penulisan atau ekspresi. Semantara itu menurut istilah, al-
uslub ialah metode yang digunakan untuk menemukan arti yang
terkandung tanpa keluar dari rel jalur yang telah ditentukan.

4. Ath-Thariqah
Menurut bahasa, ath-thariqah berasal dari kata tharaqa-yathruqu-
thariqatun yang artinya jalan yang harus dilalui oleh mufassir untuk
memahami dan menafsirkan teks. Sementara itu menurut istilah, ath-
thariqah ialah pisau bedah yang digunakan mufassir untuk memahami lalu
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Berdasarkan ath-thariqah yang
digunakan, tafsir dikelompokkan ke dalam dua kategori:

5
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, Cetakan ke I, Jakarta: AMZAH, 2014, hlm. 113
 Merujuk kepada riwayat (tafsir bi al-ma’tsur)
 Menggunakan nalar (tafsir bi ar-ra’y)

Tafsir bi Al-Ma’tsur

Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran dengan berpegang pada penjelasan yang


terdapat di dalam ayat Al-Qur’an itu sendiri yang mencakup penjelasan, perincian
sebagian ayat, serta riwayat yang dikutip Nabi, sahabat, dan tabi’in.6

Langkah kerja tafsir bi al-Ma’tsur adalah:

a) Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain, seperti penafsiran


kata ath-thariq dengan an-najm ats-tsaqib yang artinya bintang yang
cahayanya menembus (kegelapan).
b) Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan keterangan Rasulullah SAW.
Misalnya QS. Al-An’am (6): 82;

ِ
‫اَألم ُن َو ُه ْم ُّم ْهتَ ُد ْو َن‬ َ ‫اَلَّذيْ َن َآمُن ْوا َومَلْ َي ْلبَ ُس ْوا ِإمْيَانَ ُه ْم بِظُْل ٍم اُوِئ‬
ْ ‫ك هَلُ ُم‬

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan


kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”

Rasulullah SAW menafsirkan bahwa kata zhulm (kezaliman) di sini adalah


kemusyrikan, sejalan dengan firman Allah:

‫ِّرك لَظُْل ٌم َع ِظْي ٌم‬


َ ‫ِإ َّن الش‬

“Sesungguhnya syirik atau persekutuan terhadap Allah adalah kezaliman


besar.”,(QS Luqman [31]: 13)

6
Muhammad Naqrasyi As-Sayyid Ali, Manahij Al-Mufassirin min Al-‘Ashr Al-Awwal ila Al-‘Ashr Al-
Hadits, Cetakan ke I, Kairo: Maktabah An-Nahdhah, 1986, hlm. 69
c) Penafsiran ayat al-Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi
SAW. Misalnya, pemahaman sahabat Nabi, Sayyidina Umar atau bin
Abbas r.a tentang makna surah an-Nashr (110), bahwa surah itu adalah
isyarat tentang telah mendekatnya ajal Nabi SAW.

Menurut Az-Zarqani, tafsir bi al-Ma’tsur dikelompokkan menjadi dua:

 Tafsir dengan dalil-dalil pendukung yang sempurna tidak boleh ditolak.


 Tafsir dengan riwayat pendukung yang dha’if harus ditolak.7

Namun metode ini memiliki beberapa kelemahan antara lain:

1. Bercampurnya riwayat yang shahih dengan yang dha’if karena dikutip


tanpa sanad yang jelas
2. Riwayat kadang tercampur dengan riwayat isra^ ’i^ liya^ t yang dipenuhi oleh
khufarat.
3. Orang yang berpegang pada satu mazhab terterntu mengeluarkan pendapat
untuk mendukung mazhabnya tersebut.
4. Orang orang zindik berdusta dan memasukkan pendapat mereka ke dalam
hadits.8
5. Mufassir dapat terpengaruh oleh pendapatmya sendiri. Di sisi lain,
mufassir mencapuradukkan kutipan-kutipan yang diambil sehingga
membuat orang lain tidak mampu membedakan mana yang shahih dan
mana yang dha’if.

Hal yang harus dilakukan agar tafsir bi al-ma’tsur tidak menjadi lemah adalah:

1. Tidak melakukan pemalsuan serta tidak memasukkan riwayat palsu.


2. Tidak memasukkan riwayat isra’iliyat.
3. Sanad tidak dibuang sehingga dapat dibedakan antara yang shahih dan
dha’if.
4. Tidak menafsirkan Al-Qur’an tanpa didukung oleh riwayat.
7
Az-Zarqani, Mana^ hil Al-‘Irfa^ n, juz I, (Mathba’ah Isa Al-Bab Al-Halabi), hlm. 493
8
^ hu^ ts fi^ Ushu^ l At-Tafsi^ r wa Mana^ hijuh, Riyadh: Maktabah At-Taubah, 1988
Fahdi Ar-Rumi, Bu
hlm. 72
Tafsir bi Ar-Ra’yi

Tafsir bi ar-Ra’y merupakan tafsir yang didasari oleh ijtihad. 9 Adapun ijtihad
yang dilakukan harus sesuai dengan kaidan yang benar. Tafsir bi ar-Ra’y sering
disebut dengan tafsir al-‘aqli. Mufassir yang menggunakan cara ini hendaknya
menguasai ilmu bahsa Arab, seperti gaya bahasa, majas, dan mengetahui syair-
syair Arab, asbabu nuzul, dan naskh-mansukh.10

Tafsir bi ar-Ra’y merupakan hasil ijtihad mufassir. Apabila ijtihad yang


dilakukan didukung dengan syarat-syarat yang dibutuhkan, ijtihad tersebut adalah
ijtihad yang baik. Sebaliknya, apabila ijtihad dilakukan tanpa didukung syarat-
syarat yang dibutuhkan, ijtihad tersebut adalah ijtihad yang tidak baik.

Menafsirkan Al-Qur’an merupakan ikhtiar untuk menemukan petunjuk Al-


Qur’an. Dalam berikhtiar, ada ulama yang menggunakan seperangkat ilmu untuk
meng-istinbath-kan petunjuk-Nya. Di sisi lain, ada pula yang mengandalkan
pendapatnya tanpa didukung ilmu. Meskipun demikian, tijuannya sama, yaitu
menemukan pesan-pesan yang dikomunikasikan Allah SWT. Dengan kata lain,
upaya mufassir yang tidak berdasarkan Al-Qur’an, hadits, atau ijma’ tergolong
tafsir bi ar-ra’yi.11

Tafsir bi ar-ra’yi dibedakan menjadi dua:

 Tafsir bi ar-Ra’yi Al-Mahmud.


Tafsir ini merupakan ikhtiar untuk menemukan pemahaman Al-Qur’an
dengan menggunakan berbagai pengetahuan seperti ilmu bahasa Arab atau
konteks ayat tanpa dilandaskan pada riwayat dari generasi sebelumnya.12

 Tafsir bi Ar-Ra’yi Al-Madzmum

9
Muhammad Husain Adz-Dzahibi, Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, Kairo: Maktabah Wahbah, 1978,
hlm. 255
10
Muhammad Husain Adz-Dzahibi, ‘Ilm At-Tafsir, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1980, hlm. 47
11
Muhammad Naqrasyi As-Sayyid Ali, Manahij Al-Mufassirin, hlm. 71
12
Al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz I, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, 1964, hlm. 34
Tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum ialah tafsir yang menggunakan pendapat
semata, mengikuti hawa nafsu, tidak menggunakan ilmu, dn tidak melihat
pendapat ulama lain atau pendapat yang sesuai dengan ketentuan.

Hal yang harus dihindari agar tidak terjerumus kepada kesesatan dalam tafsir
bi ar-ra’yi adalah:

1. Tidak boleh tergesa-gesa menjelaskan maksud firman Allah.


Mufassir tidak diperkenankan menjelaskan maksud Allah sebelum
menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan.
2. Tidak sepantasnya membahas sesuatu yang menjadi hak prerogatif Allah.
Mufassir tidak boleh membahas secara panjang-lebar mengenai hal-hal
yang kepastiannya hanya diketahui oleh Allah, seperti ajal dan hari kiamat.
Apabila harus membahas hal-hal yang demikian, ia harus menggunakan
alat bantu, seperti ayat lain, hadits Nabi, dan pendapat sahabat.

3. Tidak boleh mengikuti hawa nafsu.


Karena karya yang digarapnya berkaitan dengan kitabullah dan tujuan
yang hendak dicapai adalah ridha Allah. Dengan demikian, tidak pantas
menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan hawa nafsu kemudian ditarjih
menurut pertimbangannya sendiri.

4. Tidak mendukung madzhab yang menyimpang.


Mufassir tidak boleh menjadikan tafsirnya sebagai pendukung madzhab
yang menyimpang. Ia juga tidak boleh menjadikan madzhabnya sebagai
tujuan atau memaksakan ayat-ayat yang ditafsirkan agar sesuai dengan
madzhabnya.

5. Memastikan bahwa maksud Allah adalah seperti penafsiran si mufassir.


Mufassir tidak boleh menyatakan bahwa tafsirnya mutlak benar sehingga
menilai tafsir orang lain itu salah.
GAYA DAN SISTEMATIKA TAFSIR (METODE TAFSIR)

Metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti cara atau
jalan.13 Selanjutnya, diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi method. Sementara
itu dalam bahasa Arab, metode diterjemahkan dengan thariqah atau manhaj.
Metode dapat digunakan untuk berbagai objek sehingga metode merupakan salah
satu sarana untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.

Oleh karena itu, studi Al-Qur’an tidak lepas dari metode untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Allah SWT di dalam ayat-
ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.14 Metode tafsir
berisikan seperangkat kaidah yang harus diikuti ketika menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an. Tanpa menggunakan metode tertentu, seseorang bisa saja keliru
menafsirkan.

Sementara itu, dapat dikatakan bahwa metode merupakan penjabaran dari


pendekatan. Pendekatan memberikan gambaran konsep dasar yang mampu
mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode tafsir. Sehubungan
dengan penggunaannya, ada dua istilah yang sering digunakan dalam ilmu tafsir:

1. Metode tafsir, yaitu cara yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an.


2. Metodologi tafsir, yaitu disiplin ilmu yang membahas tentang cara
menafsirkan Al-Qur’an.

Dengan demikian, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang


digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Sementara itu, metodologi
tafsir merupakan pembahasan ilmiah tentang metode-metode tafsir Al-Qur’an dan
berkedudukan sebagai jalan yang harus ditempuh jika ingin sampai kepada tujuan.
Selanjutnya, tujuan disebut corak tafsir sehingga bagaimanapun bentuk tafsir akan
mencapai suatu corak tertentu.

13

14
Nasarudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: Pustakan Pelajar, 1988, hlm. 1-2
Metode tafsir dibagi menjadi empat:

1. Tafsir Al-Ijmali (Metode Global)

Tafsir Al-Ijmali ialah menafsirkan Al-Qur’an dengan cara yang global dan
singkat. Dalam metode ini, bahasa yang digunakan mudah dimengerti dan enak
dibaca, sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat dalam mushaf, serta
penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an. Mufasir menjelaskan
makna umum yang terkandung dalam ayat tanpa menjelaskan makna umum yang
terkandung dalam ayat tanpa menjelaskan perangkat-perangkat pendukungnya
secara detail, seperti i’rab atau balaghah.

Cara kerja tafsir al-ijmali adalah:

 Mengikuti urutan ayat sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf.
 Lebih menyerupai terjemah maknawi sehingga mufassir tidak berpegang
pada makna kosakata.
 Mufassir lebih menekankan pada penjelasan makna umum.
 Apabila dibutuhkan, mufassir mengemukakan alat bantu, seperti asbab
an-nuzul.
 Penafsirannya tidak begitu jauh dengan siyaq Al-Qur’an. Begitu pula
dengan bentuk kosakata dan ujaran yang digunakan.

2. Tafsir At-Tahlili (Metode Analitis)

Menurut bahasa, at-tahlili berasal dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang


artinya melepas, mengurai, keluar, atau menganalisis. Sementara itu, menurut
istilah, tafsir at-tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala aspek yang bersinggungan dengan ayat serta menerangkan
makna yang tercakup sesuai dengan keahlian mufasir.15

Metode ini menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi sesuai
urutan surah dalam mushaf dengan mengedepankan kandungan kosakata,

15
Abdul Hayyi Al-Farmawi, Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i, Kairo: Dar Ma’arif, 1977, hlm. 24
hubungan antarayat, hubungan antarsurah, asbab an-nuzul, hadits-hadits yang
berhubungan, pendapat para ulama salaf, serta pendapatnya sendiri.

Berikut ini ciri-ciri yang melekat pada metode analitis:

 Ayat-ayat ditafsirkan sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.


 Penjelasannya sedikit demi sedikit karena segala segi diteliti, seperti
kosakata, munasabah (hubungan), tata bahsa, atau asbab an-nuzul.
 Menggunakan alat bantu yang efektif berupa disiplin ilmu yang menjadi
keahlian mufassir.
 Menekankan pengertian filologi sebagai acuan awal.
 Ayat atau hadits lain yang memiliki kosakata ynag sama digunakan
sebagai batu loncatan.
 Mengamati konteks naskh untuk menemukan pemahaman ayat.

3. Tafsir Al-Muqaran (Metode Komparatif)

Menurut bahasa, al-muqaran berasal dari kata qarana-yuqarinu-muqaranatan


yang berarti menggandeng, menyatukan, atau membandingkan. Sementara itu
menurut istilah, tafsir al-muqaran ialah tafsir yang membandingkan antara ayat
dan ayat atau ayat dan hadits, baik dari segi isi maupun redaksi.

Definisi lainnya adalah membandingkan antara pendapat ulama tafsir dengan


menonjolkan segi perbedaan. Dengan kata lain, mufassir meneliti ayat-ayat Al-
Qur’an lalu membandingkannya dengan pendapat mufassir lainnya sehingga
ditemukan pemahaman baru. 16

Ciri utama metode ini adalah membandingkan. Adapun yang dibandingkan


adalah ayat dengan ayat lainnya, ayat dengan hadits, atau pendapat mufassir
dengan pendapat mufassir lainnya. Berikut ini ciri-ciri metode komparatif:

16
Abdussatur Fathullah Sa’id, Al-Madkhal ila At-Tafsir Al-Maudhu’I, Kairo: Dar At-Tauzi’ wa An-
Nasyr Al-Islamiyyah, 1997, hlm. 17
 Cakupan pembahasannya sangat luas karena membandingkan tiga hal,
yaitu ayat, hadits, dan pendapat mufassir.
 Ruang lingkup dari masing-masing aspeknya berbeda-beda.
 Ada yang menghubungkan pembahasan dengan konotasi kata atau kalinat.
 Mengomparatifkan antara ayat-ayat yang beredaksi sama, hadits yang
memiliki kemiripan, serta pendapat mufassir mengenai ayat tertentu.

4. Tafsir Al-Maudhu’i

Menurut bahasa, al-maudhu’i berasal dari kata al-wadh’u yang dibentuk dari
wadha’a-yadhi’u-wadhi’un-maudhu’un yang artinya menjadikan, meletakkan,
atau menetapkan sesuatu pada tempatnya. 17
Sementara itu, menurut istilah, tafsir
al-maudhu’i ialah tafsir dengan topik yang memiliki hubungan antara ayat yang
satu dan ayat yang lain mengenai tauhid, kehidupan sosial, atau ilmu pengetahuan.

Dengan kata lain, tafsir al-maudhu’i ialah metode mengumpulkan ayat-ayat


Al-Qur’an yang membahas satu tema tersendiri, menafsirkannya secara global
dengan kaidah-kaidah tertentu, dan menemukan rahasia yang tersembunyi dalam
Al-Qur’an. Selanjutnya, dalam menggunakan tafsir al-maudhu’i, ditempuh
langkah-langkah berikut:

1. Mengumpulkan ayat-ayat yang membahas topik yang sama.


2. Mengkaji asbab an-nuzul dan kosakata secara tuntas dan terperinci.
3. Mencari dalil-dalil pendukung, baik dari Al-Qur’an, hadits, maupun
ijtihad.

Adapun ciri-ciri yang terdapat pada tafsir al-maudhu’i adalah:

 Mufassir tidak memandang urutan ayat dalam mushaf.


 Ayat dikumpulkan sesuai tema yang akan dibahas.
 Pemilihan tema tertentu menjadi sangat menojol.
17
Abbas Iwadhullah Abbas, Muhadharah fi At-Tafsir Al-Maudhu’I, Damaskus: Dar Al-Fikr, 2007,
hlm 19
 Petunjuk yang termuat dalam ayat dijadikan sumber kajian.

KAIDAH DAN ETIKA MUFASSIR

Mengingat Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab yang jelas, seperti disebutkan
dalam firman Allah:18

‫ِإنَّآ َأْنَزلْنَهُ ُق ْرءَنًا َعَربِيًّا لَّ َعاَّ ُك ْم َت ْع ِقلُ ْو َن‬

“Sesungguhnya, Kami menurunkannya sebagai Qur’an yang berbahasa Arab,


agar kamu mengerti.” (Q.S Yusuf: 2)

Maka, kaidah-kaidah yang diperlukan seorang mufassir dalam memahami Al-


Qur’an adalah:

 Bermuara pada kaidah-kaidah bahasa Arab


 Pemahaman tentang asas-asas bahasa
 Daya rasa tentang gaya bahasa
 Mengetahui rahasia-rahasia dibaliknya

Menjadi mufassir juga harus memiliki etika dalam menafsirkan Al-Qur’an.


Ada beberapa etika yang harus dimiliki mufassir dan apabila mufassir tidak
memiliki salah satunya, hendaknya ia diam dan tidak menafsirkan Al-Qur’an
sama sekali. Etika-etika tersebut adalah sebagai berikut:19

1. Memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, baik ibadah maupun


muamalah, agar mufasir dapat menyusun tafsirnya secara sistematis.
2. Mengetahui pendapat-pendapat yang disampaikan oleh ulama salaf dan
ulama khalaf.
3. Berperangai baik dan cerdas.
4. Dapat membedakan antara ilham dari Allah SWT dan bisikan dari setan.
18
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Cetakan ke IV, Tangerang: Lentera Hati, 2019, hlm. 5
19
Khalid Abdurrahman Al-Ak, Ushul Tafsir wa Qawa’idih, Jakarta: AMZAH, 2014, hlm. 188-189
5. Mampu membedakan antara maslahat dan mudharat.
6. Selalu menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT serta selalu
mendekatkan diri kepada Allah.
7. Tidak berbangga diri serta tidak mengandalkan kemampuan akalnya.
Mufassir harus ikhlas dan tawakal kepada Allah.
8. Hendaknya bersikap zuhud serta selalu mencintai akhirat.
9. Harus berjiwa besar sehingga tidak meremehkan permasalahan yang
terlihat rendah serta tidak berbuai dengan kedudukan.
10. Memiliki sifat tawadhu’ dan ringan tangan sehingga manfaat ilmunya
dapat dirasakan dengan mudah.
11. Memiliki niat dan tujuan yang baik. Mufassir harus mampu menjadi
cermin dalam beretika sehingga penjelasan yang disampaikan lebih
berkesan di hati penerima.

Demikian beberapa etika yang harus dimilik mufassir sehingga tafsir yang
disampaikan bersih dari hal-hal yang tidak sesuai dengn ketentian syariat. Di
samping itu, kebenaran hasil tafsirnya juga dapat dipertanggungjawabkan.

NILAI PENTING TAFSIR

Dalam kehidupan diharapkan ada kesinambungan dan keharmonisan. Oleh


sebab itu, untuk mencapai kesempurnaan hidup, kehidupan harus berjalan sesuai
dengan syariat Allah SWT yang ada dalam kitab-Nya. Sehubungan dengan itu,
Allah SWT menurunkan kitab-Nya sebagai bahan renungan untuk diteliti. Dengan
kata lain, Al-Qur’an senantiasa perlu ditafsirkan.

Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa tafsir sangat penting. Dan
nilai penting yang dimiliki tafsir adalah:

 Tafsir merupakan ikhtiar dalam memahami pesan-pesan Allah.


 Dengan tafsir, pengetahuan-pengetahuan baru yang ada dalam Al-Qur’an
dapat terus digali.
 Melalui tafsir, pemahaman Al-Qur’an dapat disesuaikan dengan tuntutan
zaman.
 Tafsir dapat mengungkap ayat-ayat mutasyabihat.
 Tafsir dapat merealisasikan cita-cita Al-Qur’an sebagai kitab autentik
sepanjang masa yang dapat dipahami secara proporsional dan selaras
dengan kebutuhan.

MANFAAT TAFSIR

Untuk menangkap semua kandungan Al-Qur’an tidak cukup hanya


membacanya. Diperlukan kemampuan dalam memahami dan mengungkap isinya.
Kemampuan itu disebut tafsir. Tafsir Al-Qur’an lahir pada awal kemunculan
Islam yang kemudian terus berkembang pada masa generasi ulama salaf dan
khalaf.20

Tafsir berupaya menjelaskan makna ayat Al-Qur’an. Selain itu, tafsir juga
mengadaptasikan ayat Al-Qur’an ke dalam situasi kekinian. Oleh sebab itu, tafsir
memiliki banyak manfaat yaitu:

 Menghasilkan pengetahuan baru.


 Menjawab tantangan zaman.
 Menjelaskan makna yang ambigu.
 Menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang berlaku sepanjang masa karena
tidak dipahami secara sama oleh setiap generasi.

HUKUM MEMPELAJARI TAFSIR

Al-Qur’an diturunkan agar dipelajari dan dipahami kemudian dijadikan


sebagai penuntun jalan hidup. Namun, proses mempelajari dan memahami Al-
Qur’an tanpa tafsir sangat tidak mungkin karena banyak kosakata atau kalimat
yang sulit dimengerti. Oleh sebab itu, bagi seluruh umat mempelajari tafsir wajib
hukumnya.

Berbicara mengenai mempelajari dan memahami Al-Qur’an, Allah SWT


berfirman:

20
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hlm 42
ِ ِِ ِ
‫اب‬ َ ‫اب َأْنَزلْناَهُ ِإلَْي‬
ْ َ‫ك ُمباََر ٌك لِّيَ َّدبَُّر ْوا ءَايَاته َوليَتَ َذ َّكَر ُْأولُْوا اَأللْب‬ ٌ َ‫كت‬

Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka
menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat
pelajaran. (QS. Shad [38]: 29)

Sementara itu, Allah SWT mencela orang-orang yang tidak mau mempelajari
dan memahami Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

ٍ ُ‫َأفَالَ يتَ َدبَّرو َن ال ُقرآ َن َْأم َعلَى ُقل‬


َ‫وب َأْق َفاهُل ا‬ ْ ُْ َ

Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah


terkunci? (QS. Muhammad [47]: 24)

Oleh sebab itu, secara umum dalam suatu umat setidaknya satu orang, wajib
mempelajari tafsir kemudian mengajarkannya kepaada orang lain. Sementara itu,
secara khusus setiap orang wajib mengetahu Al-Qur’an untuk mengenal
Tuhannya dan sebagai bekal untuk mencapai kesempurnaan ibadah.

C. PENUTUP

Ilmu Tafsir sangatlah berpengaruh dalam kehidupan kita baik dalam jangka
waktu pendek maupun jangka waktu yang panjang. Jangka pendeknya adalah
kemaslahatan hidup di dunia, baik individu maupun masyarakat. Dengan petunjuk
Al-Qur’an, kemaslahatan umat dapat diwujudkan. Keharmonisan, toleransi, dan
kerukunan dapat tercipta. Hubungan yang manusiawi, kesetaraan hak, dan
persamaan derajat dapat tercapai karena Al-Qur’an diturunkan untuk
kemaslahatan seluruh umat manusia dan sebagai rahmat untuk semesta alam.

Adapun jangka panjangnya adalah memperoleh kehidupan yang bahagia di


sisi Allah SWT dan memperoleh ridha-Nya. Di sisi lain, dengan mengetahui tafsir
Al-Qur’an, seseorang lebih mampu untuk memosisikan diri sebagai hamba serta
lebih mampu untuk dipersiapkan menjadi saksi bagi Allah pada hari kebangkitan.
Ilmu tafsir sudah seharusnya menjadi perhatian pokok karena untuk
mengeluarkan rahasia-rahasi Qur’ani dan mengetahui makna kalam Allah SWT,
baik berupa larangan maupun perintah. Dengan demikian, Al-Qur’an adalah ruh
kehidupan, kebangkitan, dan kemaslahatan yang harus kita pelajari dan pahami
lebih dalam dengan Ilmu Tafsir.

A. DAFTAR PUSTAKA

Al-Qatthan, Syaikh Manna’, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Ummul


Qura, 2016

Kholis, M. Nur, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Tangerang, Logos Wacana


Ilmu, 2000

Al-Farnawi, Abdul Hayyi, Al Bidayah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i, Kairo, Dar


Ma’arif, 1977

Ali, Muhammad Naqrasyi As-Sayyid, Manahij Al-Mufassirin min Al-‘Ashr


Al-Awwal ila Al-‘Ashr Al-Hadits, Riyadh, Maktabah An-Nahdhah, 1986

Ar-Rumi, Fahdi, Buhuts fi Ushul At-Tafsir wa Manahijuh, Riyadh, Maktabah


At-Taubah, 1988

Adz-Dzahibi, Muhammad Husain, Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo, Maktabah


Wahbah, 1978
Al-Ak, Khalid Abdurrahman, Ushul Tafsir wa Qawaidih, Jakarta, Amzah,
2014

Adz-Dzahibi, Muhammad Husain, ‘Ilm At-Tafsir, Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1980

Abbas, Iwadhullah Abbas, Muhadharah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i, Damaskus,


Al-Fikr, 2007

Al-Qurthubi, Jami’ li Ahkan Al-Qur’an, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah,


1964

Baidan, Nasarudin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka


Pelajar, 1988

Muhammad, Ahsin Sakho, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta, PT. Rehal Publika,


2008

Harun, Salman, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta, Penerbit QAF, 2020

Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta, Amzah, 2014

Muhammad, Ahsin Sakho, Membumikan Ulumul Qur’an, Jakarta, PT. Qaf


Media Kreativa, 2019

Shihab, Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang, Lentera Hati, 2019

Said, Abdussatur Fathullah, Al-Madkhal ila At-Tafsir Al-Maudhu’i, Kairo, Dar


At-Tauzi’ wa An-Nasyr Al-Islamiyyah, 1977

Anda mungkin juga menyukai