Anda di halaman 1dari 8

Profesionalisme Bidan dalam Meningkatkan

Kualitas Layanan
Ditulis oleh : Anis

Tanggal : 2011-04-01

Istilah profesionalisme mengandung makna dua istilah, yaitu profesional


dan profesi. Profesional adalah keahlian dalam suatu bidang. Dengan
demikian,  seseorang dikatakan profesional bila ia memiliki keahlian dalam
suatu bidang yang ditandai dengan kemampuannya dalam menawarkan
suatu jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang
yang dijalaninya serta mendapatkan gaji dari jasa yang telah diberikannya.
Selain itu, dia juga merupakan anggota dari suatu entitas atau organisasi yang
didirikan sesuai dengan hukum di sebuah negara atau wilayahnya. Meskipun
demikian, tidak semua orang yang ahli dalam suatu bidang bisa dikatakan
profesional, karena profesional memiliki karakteristik yang harus dipenuhi,
yaitu: memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dihasilkan melalui
pendidikan formal dan non formal yang cukup untuk memenuhi kompetensi
profesionalnya.

    
Sedangkan yang disebut dengan profesi adalah pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan
khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi/perkumpulan profesi, kode
etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi
tersebut. Meskipun profesi merupakan sebuah pekerjaan, namun tidak
semua pekerjaan adalah profesi. Profesi memiliki beberapa karakteristik
yang membedakannya dengan pekerjaan yang lain, yaitu: keterampilan yang
berdasarkan pada pengetahuan teoretis; asosiasi profesional; pendidikan
yang ekstensif; menempuh ujian kompetensi; mengikuti pelatihan
institutional; lisensi; otonomi kerja; memiliki kode etik; mampu mengatur
diri; layanan publik dan altruisme; meraih status dan imbalan yang tinggi.

    
Bidan Sebagai Tenaga Kesehatan

Definisi bidan terakhir disusun melalui konggres ICM ke 27, pada bulan Juli
tahun 2005 di Brisbane Australia ditetapkan sebagai berikut: Bidan adalah
seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di
negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi
untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk
melakukan praktik bidan. ( 50 Tahun IBI, 2006: 15)
    
Sedangkan kebidanan sendiri merupakan ilmu sintesa berbagai disiplin ilmu
(multidisiplin) yang terkait dengan pelayanan kebidanan, meliputi ilmu
kedokteran, ilmu keperawatan, ilmu sosial, ilmu perilaku, ilmu budaya, ilmu
kesehatan masyarakat, dan ilmu manajemen untuk dapat memberikan
pelayanan kepada ibu dalam masa prakonsespsi masa hamil, ibu bersalin,
post partum, bayi baru lahir. Pelayanan tersebut meliputi pendeteksian
keadaan abnormal pada ibu dan anak, melaksanakan konseling dan
pendidikan kesehatan terhadap individu, keluarga, dan masyarakat (50
Tahun IBI, 2006: 125).

Dari paparan diatas maka jelas bahwa bidan merupakan suatu profesi yang
profesional, dimana seorang bidan bisa menjalankan pekerjaanya jika telah
menyelesaikan program pendidikan kebidanan, yang diakui Negara
tempatnya berada, dan memenuhi kualifikasi yang diperlukan untuk dapat
terdaftar dan / atau izin resmi untuk melakukan praktik kebidanan.

Dengan mengikuti pendidikan kebidanan maka seorang bidan terus dilatih


dan dituntut untuk mampu serta menguasai kompetensi yang dibutuhkan
dalam bidang pekerjaannya. Dari situlah maka ilmu yang diperoleh akan
diaplikasikan secara terus-menerus, terutama ketika terjun langsung di
masyarakat. Hal inilah yang menjadikan bidan semakin ahli dalam
bidangnya. Bermula dari anggapan masyarakat yang mengakui keahlian
bidan, maka seorang bidan disebut professional.  

Dari sejarah perkembangan kebidanan di dunia, bidan merupakan wanita


yang dipercaya untuk mendampingi ibu-ibu ketika dalam proses persalinan
sampai sang ibu dapat merawat bayinya dengan baik. Hal ini yang
menjadikan bidan sebagai suatu profesi yang diakui dan dihormati oleh
masyarakat karena tugasnya yang mulia. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak
beberapa abad yang lalu. Yang ditandai dengan dimulainya pendidikan
formal untuk bidan di amerika serikat pada tahun 1765, dibukanya
pendidikan bidan pertama kali di Australia pada tahun 1862, serta terbitnya
buku tentang praktik kebidanan di inggris pada tahun 1902. (Dwana
Estiwidani, dkk., 2000: 30-48)

Di Indonesia sendiri perkembangan pendidikan bidan mengalami


peningkatan dari tahun ke tahun. Perkembangan pendidikan kebidanan di
Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda, yaitu sejak tahun 1851 oleh
dokter W.Bosch. Dengan berbagai proses yang panjang, pada tahun 1981
berhasil dibuka program D1 kebidanan, namun program ini tidak bertahan
lama. Sampai pada akhirnya diadakan berbagai progam pendidikan bidan
seperti PPB, PPB-A, PPB-B, dan PPB-C. Pada 1996 dibuka Program D-III
Kebidanan atau Akademi Kebidanan dikota – kota besar di Indonesia.
Awalnya program ini hanya menerima peserta didik dari lulusan  bidan yang
disebut dengan program khusus, dengan lama pendidikan 5 semester.
Program inilah yang masih berkembang dan diakui hingga saat ini.
Pendidikan bidan pun berkembang pesat dengan  dibukanya Pendidikan D-IV
Bidan pendidik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yaitu pada tahun 2000
dan Pendidikan S-2 Kebidanan di Universitas Padjadjaran Bandung dengan
peserta didik dari lulusan D-IV Bidan Pendidik dan lama pendidikan selama 2
Tahun pada tahun 2006.  Dan dengan dibukanya Pendidikan S-1 Kebidanan
pada tahun 2009 semakin menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan
Kebanan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. ( Dwana
Estiwidani, dkk., 2000: 24-30)

Perkembangan pendidikan Kebidanan yang sedemikian rupa menunjukkan


profesionalisme bidan sebagai tenaga kesehatan. Meskipun dalam prosesnya
sering mengalami pasang surut, namun pada akhirnya pembentukan jenjang
pendidikan yang lebih tinggi pun dapat terealisasi.

Pelayanan Kebidanan

Pelayanan kebidanan merupakan penerapan ilmu kebidanan melaui asuhan


kebidanan kepada klien yang menjadi tanggung jawab bidan, mulai dari
kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, keluarga berencana termasuk
kesehatan reproduksi wanita dan pelayanan kesehatan masyarakat. Namun
agar seorang bidan diakui keberadaanya dan dapat menjalankan praktiknya
maka bidan harus mampu untuk memenuhi tahap legislasi. Legislasi adalah
proses pembuatan undang-undang atau penyempurnaan perangkat hukum
melalui serangkaian kegiatan sertifikasi (pengaturan kompetensi), registrasi
(pengaturan kewenangan), dan lisensi (pengaturan penyelenggaraan
kewenangan). Peran legislasi ini, diantaranya: menjamin perlindungan pada
masyarakat pengguna jasa
profesi dan profesi sendiri. Legislasi sangat berperan dalam pemberian
pelayanan professional.

Pada tahap sertifikasi, ditempuh calon bidan melalui proses pendidikan


formal dan non formal untuk memperoleh dua bentuk pengakuan kelulusan
yang berupa ijazah dan sertifikat. Dari tahap sertifikasi ini kemudian
berlanjut ke tahap registrasi.
Tahap registrasi

Tahap registrasi ditempuh bidan guna memperoleh SIB (Surat Izin Bidan). SIB
berlaku selama 5 tahun dan dapat diperbaharui. SIB tidak berlaku lagi
karena: dicabut atas dasar ketentuan Perundang-undangan yang berlaku,
habis masa berlakunya, tidak mendaftar ulang, dan atas permintaan sendiri.
SIB sendiri merupakan dasar untuk penerbitan lisensi praktik kebidanan
atau SIPB (Surat Ijin Praktik Bidan). Dan menurut Kepmenkes
No.900/Menkes/SK/VII/2002, SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa
berlakunya dan dapat diperbaharui kembali.

Tahap lisensi.
Bidan yang praktik harus memiliki SIPB, dan untuk memperoleh SIPB
seorang bidan harus mendapatkan Rekomendasi dari organisasi profesi
setelah terlebih dahulu dilakukan penilaian kemampuan keilmuan dan
keterampilan, kepatuhan terhadap kode etik serta kesanggupan melakukan
praktik bidan. Bentuk penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan
inilah yang diaplikasikan dengan rencana diselenggarakannya Uji
Kompetensi bagi bidan yang mengurus SIPB atau lisensi. Meskipun Uji
Kompetensi sekarang ini baru pada tahap uji coba di beberapa wilayah,
namun terdapat beberapa propinsi yang menerapkan kebijaksanaan daerah
untuk penyelenggaraan Uji Kompetensi dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan kebidanan, misalnya propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan
beberapa propinsi lainnya, dengan menempatkan Uji Kompetensi pada tahap
pengajuan SIB. Uji Kompetensi masih dalam pembahasan termasuk mengenai
bagaimana dasar hukumnya. Dengan diselenggarakannya Uji Kompetensi
diharapkan bahwa bidan yang menyelenggarakan praktik bidan adalah
bidan yang benar-benar kompeten. Upaya ini dilakukan dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan, mengurangi Medical Error atau
malpraktik dalam tujuan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu dan Anak.

Dalam rancangan Uji Kompetensi apabila bidan tidak lulus Uji Kompetensi,
maka bidan tersebut menjadi binaan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) setempat.
Materi Uji Kompetensi sesuai 9 area kompetensi dalam standar profesi bidan
Indonesia. Namun demikian Uji Kompetensi belum dibakukan dengan suatu
dasar hukum, sehingga baru pada tahap draft atau rancangan. (Heni Puji
Wahyuningsih, 2008: 41-47).

Dalam menjalankan praktiknya, bidan memiliki beberapa area dalam


memberikan pelayanan kebidanan, area tersebut didasari pada standar
pelayanan kebidanan serta kewenangan bidan dalam memberikan
pelayanan. Bertitik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada
tahun 1994 yang menekankan pada reproduktive health (kesehatan
reproduksi), memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut
meliputi: safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus;
family planning; penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat
reproduksi; kesehatan reproduksi remaja; kesehatan reproduksi pada orang
tua. (http://bidanshop.blogspot.com).
Adapun sasaran pelayanan kebidanan ditujukan kepada individu, keluarga,
dan masyarakat yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan,
penyembuhan dan pemulihan. Pelayanan kebidanan dapat dibedakan
menjadi :

1. Layanan Primer yaitu layanan bidan yang sepenuhnya menjadi anggung


jawab bidan.
2. Layanan Kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai
anggota timyang kegiatannya dilakukan secara bersamaan atau sebagai
salah satu dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan.
3. Layanan Rujukan yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan dalam
rangka rujukan ke system layanan yang lebih tinggi atau sebaliknya
yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam menerima rujukan
dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan yang dilakukan oleh
bidan ke tempat/ fasilitas pelayanan kesehatan lain secara horizontal
maupun vertical atau meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu
serta bayinya.(http://bidanshop.blogspot.com)

Pelayanan kebidanan ini akan terlaksana pada saat bidan melakukan suatu
asuhan kebidanan. Asuhan kebidanan ini dilaksanakan berdasarkan
pedoman menejemen kebidanan (pendekatan dan kerangka pikir yang
digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara
sistematis) yang disebut dengan 7 langkah Varney, yaitu: pengkajian data;
merumuskan, menganalisa, menginterpretasikan, mengidentifikasi diagnosa
dan masalah bedasarkan pengkajian data; merumuskan diagnosa dan
masalah potensial; menetapkan kebutuhan tindakan segera; menyusun
rencana asuhan secara menyeluruh; implementasi; dan evaluasi. (Hellen
Varney, dkk. 2006: 26-27)

Untuk memberikan suatu pelayanan kebidanan yang profesional, bidan harus


memahami serta mengimplementasikan standar pelayanan kebidanan yang
telah ditetapkan oleh profesi, yaitu:

STANDAR I : FALSAFAH DAN TUJUAN

Pelayanan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan filosofi bidan

STANDAR II : ADMINISTRASI DAN PENGELOLAAN


Pengelola pelayanan kebidanan memiliki pedoman pengelolaan, standar
pelayanan dan prosedur tetap. Pengelolaan pelayanan yang kondusif,
menjamin praktik pelayanan kebidanan yang akurat.

STANDAR III : STAF DAN PIMPINAN


Pengelola pelayanan kebidanan mempunyai program pengeloaan sumber
daya manusia, agar pelayanan kebidanan berjalan efektif dan efisien.

STANDAR IV : FASILITAS DAN PERALATAN


Tersedia sarana dan peralatan untuk mendukung pencapaian tujuan
pelayanan kebidanan sesuai dengan beban tugasnya dan fungsi institusi
pelayanan.

STANDAR V : KEBIJAKAN DAN PROSEDUR


Pengelola pelayanan kebidanan memiliki kebijakan penyelenggaraan
pelayanan dan pembinaan personil menuju pelayanan yang berkualitas.

STANDAR VI : PENGEMBANGAN STAF DAN PROGRAM PENDIDIKAN


Pengelola pelayanan kebidanan memiliki program pengembangan staf dan
perencanaan pendidikan, sesuai dengan kebutuhan pelayanan.

STANDAR VII : STANDAR ASUHAN


Pengelola pelayanan kebidanan memiliki standar asuhan/manajemen
kebidanan yang diterapkan sebagai pedoman dalam memberikan pelayanan
kepada pasien.

STANDAR VIII : EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU

Pengelola pelayanan kebidanan memiliki program dan pelaksanaan dalam


evaluasi dan pengendalian mutu pelayanan kebidanan yang dilaksanakan
secara berkesinambungan.
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
369/MENKES/SK/III/2007)
Dengan adanya standar pelayanan kebidanan ini, diharapkan dapat
meningkatkan mutu pelayanan kebidanan di Indonesia. Peningkatan
pelayanan kebidanan sendiri dapat dimulai dari aspek pendidikan. Dari
pendidikan formal, bidan memperoleh standar kompetensi kebidanan, yang
di dalamnya mengandung sembilan kompetensi yang harus dipenuhi oleh
bidan, yaitu:

Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan keterampilan dari


ilmu-ilmu sosial, kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk dasar
dari asuhan yang bermutu tinggi sesuai dengan budaya, untuk wanita,
bayi baru lahir dan keluarganya;
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, pendidikan kesehatan
yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh
dimasyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kehidupan keluarga
yang sehat, perencanaan kehamilan dan kesiapan menjadi orang tua;
Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi untuk
mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang meliputi: deteksi
dini, pengobatan atau rujukan dari komplikasi tertentu;
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap terhadap
kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan
yang bersih dan aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu
untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir;
Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan mneyusui yang bermutu
tinggi dan tanggap terhadap budaya setempat;
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komprehensif pada
bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan;
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada
bayi dan balita sehat (1 bulan – 5 tahun);
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan komperhensif pada
keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat;
Melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan
sistem reproduksi.
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
369/MENKES/SK/III/2007)

Tidak hanya dari pendidikan formal bidan dapat mengembangkan pelayanan


kebidanan, tetapi juga dari pendidikan non formal yang berupa pelatihan-
pelatihan  yang berkesinambungan yang diselanggarakan oleh profesi.
Dengan adanya pelatihan-pelatihan ini diharapkan bidan dapat
mengembangkan diri dan kemampuannya, sehingga bidan dapat
memberikan pelayanan yang berkualitas.(Editor : A.Zani Pitoyo)

Daftar Pustaka

1. Estiwidani, Dwana, dkk. 2008. Konsep Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya


2. Febrina. Sejaraqh Perkembangan Pelayanan Kebidanan. (Online:
http://bidanshop.blogspot.com/2010/01/sejarah-kebidanan-di-
indonesia.html, diakses tanggal 10 Februari 2011)
3. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA No.
369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan
4. Kurnia, S. Nova. 2009. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Panji
Pustaka
5. Sofyan, Mustika dkk. 2006. 50 Tahun IBI. Jakarta: PP IBI Indonesia
6. Wahyuningsih, Heni Puji. 2008. Etika Profesi Kebidanan. Jogyakarta:
Fitramaya
7. Varney, Hellen, dkk. 2006. Asuhan Kebidanan Volume 1. Jakarta: EGC

    

XPF

Anda mungkin juga menyukai