Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Apoteker (Apt.)
Program Studi Profesi Apoteker
Disusun oleh :
1
LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
Disetujui oleh,
2
KATA PENGANTAR
3
Penulis berharap agar Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan laporan ini. Semoga laporan PKPA ini dapat berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia farmasi pada khususnya untuk
PKPA di Indonesia.
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................v
BAB
I PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
II TINJAUAN PENYAKIT .................................................................................3
2.1 Chronic Kidney Disease (CKD)........................................................3
2.2 Hipertensi...........................................................................................7
III PROFIL PENGOBATAN PASIEN DAN KAJIAN REKAM MEDIS......16
3.1 Data Demografi Pasien.....................................................................16
3.2 Data Klinis Pasien.............................................................................16
3.3 Formulir Wawancara Pasien.............................................................17
3.4 Catatan Integrasi Dokter...................................................................18
IV METODE SOAP DAN PEMBAHASAN.....................................................22
4.1 Metode SOAP dan Pembahasan.......................................................22
4.2 Objektif..............................................................................................22
4.3 Analisis Subjektif..............................................................................24
4.4 Catatan Terapi Pasien.......................................................................25
4.5 Assesment..........................................................................................26
4.6 Plan...................................................................................................34
4.7 Pembahasan......................................................................................34
V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................39
5.1 Kesimpulan.....................................................................................39
5.2 Saran...............................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1. Mekanisme perjalanan penyakit ginjal.........................................................4
2. Algoritma tata laksana hipertensi...............................................................13
3. Algoritma pengobatan hipertensi pada pasien CKD..........................15
6
DAFTAR TABEL
Tabel
1. Klasifikasi CKD...........................................................................................5
2. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003............................................9
3. Data Pasien.................................................................................................16
4. Klinis Pasien...............................................................................................16
5. Formulir Wawancara Pasien......................................................................17
6. Catatan Integrasi Dokter............................................................................18
7. Perkembangan Terapi Pengobatan Pasien.................................................22
8. Objektif (data laboratorium)......................................................................22
9. Rekapitulasi Pemeriksaan Fisik Pasien...............................................24
10. Catatan Terapi Pasien.................................................................................25
11. Kajian Dosis dan Profil Farmakokinetik Obat...........................................26
12. Kajian Interaksi Obat.................................................................................31
13. Drug Related Problems..............................................................................32
7
BAB 1
PENDAHULUAN
8
Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk
merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk
menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan
secara terus menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan
(PMK No.72 tahun 2016).
Mengingat pentingnya tugas dan peran seorang Apoteker serta untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan apoteker dalam menjalankan
peran dan fungsinya di rumah sakit, maka calon apoteker dibekali dengan
praktek kerja.
Program Profesi Apoteker Universitas Garut bekerja sama dengan RSUD
dr.Slamet Garut menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker yang
berlangsung pada tanggal 02 Desember 2019 sampai 31 Januari 2020.
1.2 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rsud dr.slamet
Garut adalah sebagai berikut
1. Mampu memahami peranan, tugas dan tanggung jawab apoteker di Rumah
Sakit sesuai dengan ketentuan dan etika pelayanan farmasi khususnya dan
pelayanan kesehatan umumnya.
2. Memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis
untuk melakukan praktek kefarmasian di Rumah Sakit.
3. Memiliki gambaran nyata tentang permasalahan praktik kefarmasian serta
mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pengembangan praktik kefarmasian di Rumah Sakit.
3
BAB II
TINJAUAN UMUM
4
Menurut Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia No 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan
pengelolaannya.
5
1. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan
dalam:
a. Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang
dan jenis penyakit.
b. Rumah Sakit Khusus.
Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau
satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
2. Berdasarkan pengelolaannya Rumah Sakit dapat di kategorikan menjadi dua,
yaitu:
a. Rumah Sakit Publik
Dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum
yang bersifat nirlaba. Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan
Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan
Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit publik yang
dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi
Rumah Sakit privat.
b. Rumah Sakit Privat
Dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan
Terbatas atau Persero.
28
penyelenggaraan Rumah Sakit Pendidikan dapat dibentuk Jejaring Rumah
Sakit Pendidikan.
29
3) Pelayanan spesialis penunjang medik harus ada masing-masing minimal
3 (tiga) orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang
dokter spesialis sebagai tenaga tetap.
4) Pelayanan medik spesialis lain harus ada masing-masing minimal 3 (tiga)
orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter
spesialis sebagai tenaga tetap.
5) Pelayanan medik spesialis gigi mulut harus ada masing-masing minimal
1 (satu) orang dokter gigi spesialis sebagai tenaga tetap.
6) Pelayanan medik subspesialis harus ada masing-masing minimal 2 (dua)
orang dokter sub spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter
subspesialis sebagai tenaga tetap.
7) Jumlah tempat tidur minimal 250 (dua ratus lima puluh) buah.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar, 4
(empat) pelayanan spesialis penunjang medik, 8 (delapan) pelayanan medik
spesialis lain dan 2 (dua) pelayanan medik sub spesialis dasar.
a. Kriteria fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas B meliputi
Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, PelayananMedik
Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik
Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik
Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang
Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.
b. Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari:
1) Pelayanan medik umum, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dasar
minimal harus ada 12 (dua belas) orang dokter umum dan 3 (tiga) dokter
gigi sebagai tenaga tetap.
2) Pelayananmedik spesialis dasar harus ada masing-masing 3 (tiga) orang
dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter spesialis
sebagai tenaga tetap.
30
3) Pelayanan spesialis penunjang medik harus ada masing-masing minimal 2
(dua) orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter
spesialis sebagai tenaga tetap.
4) Pelayanan medik spesialis lain harus ada masing-masing minimal 1 (satu)
orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 4 (empat) orang dokter
spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.
5) Pelayanan medik spesialis gigi mulut harus ada masing-masing minimal 1
(satu) orang dokter gigi spesialis sebagai tenaga tetap.
6) Pelayanan medik subspesialis harus ada masing-masing minimal 1 (satu)
orang dokter sub spesialis dengan 1 (satu) orang dokter subspesialis
sebagai tenaga tetap.
7) Jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar, dan 4
(empat) pelayanan spesialis penunjang medik.
a. Kriteria fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas C meliputi
Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik
Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik
Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan
Penunjang Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.
b. Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari:
1) Pelayanan medik dasar minimal harus ada 9 (sembilan) orang dokter
umum dan 2 (dua) dokter gigi sebagai tenaga tetap.
2) Pelayanan medik spesialis dasar harus ada masing-masing 2 (dua) orang
dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis
sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.
3) Pelayanan spesialis penunjang medik harus ada masing-masing minimal
1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang
dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.
4) Jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.
31
4. Rumah Sakit Umum Kelas D.
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) pelayanan medik spesialis dasar.
a. Kriteria fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas D meliputi
Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik
Spesialis Dasar, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan
Penunjang Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.
b. Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari:
1) Pelayanan medik dasar minimal harus ada 4 (empat) orang dokter umum
dan 1 (satu) dokter gigi sebagai tenaga tetap.
2) Pelayanan medik spesialis dasar harus ada masing-masing 1 (satu) orang
dokter spesialis dari2 (dua) jenis pelayanan spesialis dasar dengan 1
(satu) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap.
3) Jumlah tempat tidur minimal 50 (lima puluh) buah.
Jenis Rumah Sakit khusus antara lain Rumah Sakit khusus ibu dan anak,
jantung, kanker, orthopedi, paru, jiwa, kusta, mata, ketergantungan obat, stroke,
penyakit infeksi, bersalin, gigi dan mulut, rehabilitasi medik, telinga hidung
tenggorokan, bedah, ginjal, kulit dan kelamin.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Khusus
diklasifikasikan menjadi:
1. Rumah Sakit Khusus Kelas A
2. Rumah Sakit Khusus Kelas B
3. Rumah Sakit Khusus Kelas C
32
obat dan perbekalan kesehatan di rumah sakit untuk penderita yang dirawat di
rumah sakit, baik rawat inap maupun rawat jalan.
1) Pengorganisasian
Pengorganisasian Rumah Sakit harus dapat menggambarkan pembagian
tugas, koordinasi kewenangan, fungsi dan tanggung jawab Rumah
Sakit.Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mencakup
penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan
bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan menjaga mutu.
2) Sumber Daya Manusia (SDM)
Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai
33
sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Ketersediaan jumlah
tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah Sakit dipenuhi
sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit yang
ditetapkan oleh Menteri.
Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi harus ada
dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun
sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
a. Kualifikasi Sumber Daya Manusia
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM Instalasi
Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut:
Pekerjaan Kefarmasiain terdiri dari apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian (TTK).
Pekerjaan Penunjang terdiri dari operator computer/teknisis yang
memahami kefarmasian, tenaga administrasi dan pekarya/pembantu
pelaksana.
b. Persyaratan SDM
Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) diutamakan telah memiliki
pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga)
tahun.Apoteker dan TenagaTeknis Kefarmasian harus memenuhi
persyareatan administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Beban Kerja dan Kebutuhan
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu:
Kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR).
Jumlah dan teknis kegiatan farmasi yang dilakukan (manjemen,
klinik dan produksi).
Jumlah resep atau formulir permintaan obat (floor stock)
Volume sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
34
Idealnya pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi
pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan
aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsiliasi obat, pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat,
konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker
dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien.
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada
Pelayanan Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan
farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian Resep, penyerahan Obat, Pencatatan Penggunaan Obat
(PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan
rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.
Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian rawat inap
dan rawat jalan, maka kebutuhan tenaga Apoteker juga diperlukan
untuk pelayanan farmasi yang lain seperti di unit logistik
medik/distribusi, unit produksi steril/aseptic dispensing, unit
pelayanan informasi Obat dan lain-lain tergantung pada jenis
aktivitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh
Instalasi Farmasi.
Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian di rawat
inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang
Apoteker untuk kegiatan Pelayanan Kefarmasian di ruang tertentu,
yaitu:
1. Unit Gawat Darurat;
2. Intensive Care Unit (ICU)/Intensive Cardiac Care Unit
(ICCU)/Neonatus Intensive Care Unit (NICU)/Pediatric
Intensive Care Unit (PICU);
3. Pelayanan Informasi Obat;
35
Pelayanan Kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit rawat darurat yang
akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jendera
d. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Setiap staf di Rumah sakit harus diberi kesempatan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya. Peran kepala Instalasi Farmasi Rumah
Sakit dalam pengembangan staf dan program pendidikan meliputi:
Menyususn program orientasi staf baru, pendidikan dan pelatihan
berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi SDM.
Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi pekerjaan
(tugas dan tanggung jawabnya) untuk meningkatkan kompetensi yang
diperlukan.
Menentukan staf sebagai narasumber/pelatih/fasilitator sesuai dengan
kompetensinya.
e. Penelitian dan Pengembangan
Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian mandiri atau
berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker yang terlibat dalam penelitian harus
mentaati prinsip dan prosedur yang ditetapkan dan sesuai dengan kaidah-
kaidah penelitian yang berlaku.
Apoteker juga dapat berperan dalam Uji Klinik Obat yang dilakukan di
Rumah Sakit dengan mengelola Obat-Obat yang diteliti sampai dipergunakan
oleh subyek penelitian dan mencatat Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD) yang terjadi selama penelitian.
36
b) Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
c) Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna memaksimalkan efek
terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko;
d) Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
e) Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
f) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan Pelayanan
Kefarmasian;
g) Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium Rumah Sakit.
2.2.5 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Berdasakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai :
a. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
b. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan optimal;
c. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan
yang berlaku;
d. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit;
e. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;
f. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;
g. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit;
37
h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
i. Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah
memungkinkan);
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak dapat digunakan;
m. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
n. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai
2. Pelayanan Farmasi Klinik
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan Obat;
b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. Melaksanakan rekonsiliasi Obat;
d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik berdasarkan
Resep maupun Obat non Resep kepada pasien/keluarga pasien;
e. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain;
g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
h. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
1) Pemantauan efek terapi Obat;
2) Pemantauan efek samping Obat;
3) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
i. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
j. Melaksanakan dispensing sediaan steril
1) Melakukan pencampuran Obat suntik
2) Menyiapkan nutrisi parenteral
38
3) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
4) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil.
k. Melaksanakan pelayanan informasi obat (PIO) kepada tenaga kesehatan
lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit.
l. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
2.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker bertanggung jawab terhadap
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di
Rumah Sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan
yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu
siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan
Kefarmasian.
39
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan
formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan
pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dengan demikian semua Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang beredar di Rumah
Sakit merupakan tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak
ada pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi sebagai
satu-satunya penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan
mendapatkan manfaat dalam hal:
40
yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).
Kelompok Obat high-alert diantaranya:
a. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
b. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).
c. Obat-Obat sitostatika.
41
Habis Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin
terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi,
kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. Anggaran yang tersedia;
b. Penetapan prioritas;
c. Sisa persediaan;
d. Data pemakaian periode yang lalu;
e. Waktu tunggu pemesanan; dan
f. Rencana pengembangan.
C. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan.Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai
standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan
dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian
antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan
pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan
pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka
jika proses pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi
harus melibatkan tenaga kefarmasian. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
antara lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa;
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS)
42
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar; dan
d. Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan
lain-lain).
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan
stok Obat yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat
saat Instalasi Farmasi tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
1) Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan
pengadaan barang dan jasa yang berlaku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai, yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat.
Persyaratan pemasok
Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
2) Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi sediaan tertentu
apabila :
Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;
Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;
Sediaan Farmasi dengan formula khusus;
Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
Sediaan Farmasi untuk penelitian; dan
Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat
baru (recenter paratus).
43
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu
dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit
tersebut.
3) Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sumbangan/dropping/ hibah.
44
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi
label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan
dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting.
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan
pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan
yang kurang hati-hati.
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara
benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi
tanda khusus bahan berbahaya
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan
untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan
tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya.
Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi
keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired
First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike
Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus
untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
45
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat
emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan.Tempat penyimpanan harus mudah
diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:
a. Jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah
ditetapkan;
b. Tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain;
c. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
d. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
e. Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.
F. Pendistribusian
46
Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock
kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan
interaksi Obat pada setiap jenis Obat yang disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan
47
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai bila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu
b. Telah kadaluwarsa
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan
atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan
d. Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Obat terdiri dari:
a. Membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang akan dimusnahkan
b. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan
c. Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait
d. Menyiapkan tempat pemusnahan
e. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM). Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai dilakukan oleh BPOM atau pabrikan asal. Rumah
Sakit harus mempunyai sistem pencatatan terhadap kegiatan penarikan.
H. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim
Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk:
a. Penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit
b. Penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi
48
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai adalah:
a. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving)
b. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga
bulan berturut-turut (death stock)
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
I. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu.
Kegiatan administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang meliputi perencanaan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan,
pengembalian, pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang
dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan,
semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang
berlaku.
49
Pelaporan dilakukan sebagai:
Komunikasi antara level manajemen
Penyiapan laporan tahunan yang komprehensif mengenai kegiatan di
Instalasi Farmasi; dan
Laporan tahunan.
b. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mengelola keuangan maka
perlu menyelenggarakan administrasi keuangan.
Administrasi keuangan merupakan pengaturan anggaran, pengendalian dan
analisa biaya, pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan,
penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan
Kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan, triwulanan,
semesteran atau tahunan.
c. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak
terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan
cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang
berlaku.
50
Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang Apoteker,
apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah Apoteker, namun apabila
diketuai oleh Apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter.
TFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali
dan untuk Rumah Sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan.Rapat TFT
dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit yang dapat
memberikan masukan bagi pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan khusus,
keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT.
51
BAB III
TINJAUN KHUSUS
52
Sejarah berlanjut ketika pada tahun 1979 turun Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 51/Men.Kes./SK/II/79 tahun 1979 tentang penetapan
kelas rumah sakit umum pemerintah, yang mana Rumah Sakit Umum Garut
menjadi Rumah Sakit kelas C.
Pada awalnya para pemimpin Rumah Sakit memikirkan nama untuk Rumah
Sakit dengan 11 nama orang yang paling berjasa terhadap rumah sakit, dan
terpilihlah nama dr. Slamet yang diusulkan pada Bupati Garut waktu itu. Hal ini
53
29
mengingat jasanya sebagai dokter Indonesia yang pertama bekerja di Rumah Sakit
Garut dan beliau meninggal karena penyakit pes sewaktu menangani wabah
penyakit pes di Kabupaten Garut.
Pada tahun 1993 – 1997 direktur Rumah Sakit adalah dr. Suryana, kemudian
diganti oleh dr. H. Edi Budiman, MARS dari tahun 1997. Untuk lebih
meningkatkan rumah sakit khususnya di bidang keuangan maka RSU diusulkan
menjdi unit swadana, pada tahun 1997 pula ditetapkan menjadi rumah sakit unit
swadana daerah.
Pada tahun 1999 dalam meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit, maka
dibuatlah standar pelayanan dalam setiap pelayanan, sehingga rumah sakit umum
swadana daerah Kabupaten Garut terakreditasi lima pokja pelayanan. Sedangkan
dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
otonomi daerah di bidang kesehatan maka dibentuk organisasi dan tata kerja yang
sesuai dengan perkembangan otonomi daerah.
Badan Pengelola RSU dr. Slamet Garut ditetapkan oleh pemerintah kabupaten
Garut nomor 20 tahun 2001 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja rumah
sakit. Setelah dr. H. Edi Budiman, MARS pensiun tahun 2003 maka digantilah
direktur Badan Pengelola Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut oleh seorang
dokter wanita yaitu dr. Hj. Yati Maryati S, MM. Pada tahun 2003 Badan
Pengelola Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut mendapat prestasi dengan
terakreditasinya secara penuh 12 pokja pelayanan dan sebagai juara II Rumah
Sakit Sayang Ibu dan Anak.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2005 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 61 tahun 2007 Rumah Sakit Umum dr. Slamet Kabupaten
Garut mengalami perubahan status dari badan pengelola menjadi BLUD (Badan
Layanan Umum Daerah) dan menjadi kelas B. Dengan status BLUD ini maka
pengelolaan keuangan bersifat mandiri dan organisasi rumah sakit dituntut untuk
meningkatkan akuntabilitasnya. Status BLUD rumah sakit menuntut elemen-
elemen rumah sakit untuk dapat meningkatkan kinerjanya sehingga semua
kegiatan yang berjalan di rumah sakit dapat dipertanggungjawabkan.
30
3.1.2 Visi dan Misi Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut
Dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, permasalahan, tantangan, dan
peluang yang ada maka visi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet Garut adalah :
“ RSUD Dr. Slamet Menjadi Kebanggaan Masyarakat Garut Yang
Dipercaya, Aman, Nyaman dan Terjangkau “.
Penjelasan makna Visi :
1. Rumah Sakit yang menjadi kebanggaan masyarakat Garut berarti dalam
melaksanakan pelayanan selalu didukung dengan sumber daya sesuai dengan
standar dan profesional yang siap untuk berkompetisi dengan lembaga
layanan kesehatan lainnya;
2. Rumah Sakit yang dipercaya berarti rumah sakit selalu membangun
kepercayaan masyarakat atas pelayanan yang dilaksanakan dan merupakan
kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan untuk
meningkatkan kepuasan masyarakat;
31
3. Rumah Sakit yang aman berarti rumah sakit yang bebas dari bahaya atau
resiko medis dan non medis serta bebas dari tindakan pelayanan yang tidak
profesional / kesewenang-wenangan
4. Rumah Sakit yang nyaman berarti rumah sakit yang memiliki suasana yang
tenang, damai dan sejuk, sehingga pelayanan dapat dilaksanakan sesuai
dengan harapan;
5. Rumah Sakit yang terjangkau berarti setiap jenis pelayanan dilakukan secara
cepat, mudah dan dapat diakses oleh setiap pengguna pelayanan.
Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh instansi
pemerintah, sebagai penjabaran visi yang telah ditetapkan.Dengan pernyataan
misi diharapkan seluruh anggota organisasi dan pihak yang berkepentingan dapat
mengetahui dan mengenal keberadaan dan peran instansi pemerintah dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk mencapai Visi tersebut sekaligus mendukung terwujudnya Visi Dinas
Kesehatan dan Visi Pemerintah Kabupaten Garut maka Misi RSUD Dr. Slamet
adalah sebagai berikut :
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat sekunder yang prima dan
terjangkau dengan menjunjung tinggi kode etik serta senantiasa memperhatikan
fungsi sosial;
2. Meningkatkan profesionalisme dan keramahan pegawai RSUD Dr. Slamet
Garut
3. Membangun kemitraan dengan lembaga lainnya dalam rangka peningkatan
pelayanan kesehatandan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan dalam menunjang program pemerintah Kabupaten Garut.
4. Peningkatan dan Optimalisasi sarana dan prasarana rumah sakit ( STRATEGI).
Penjelasan masing-masing misi :
a. Pelayanan kesehatan prima adalah penanganan kasus penyakit secara
menyeluruh dan terpadu baik secara multi disiplin maupun interdisiplin;
b. Pelayanan kesehatan yang terjangkau adalah pelayanan kesehatan yang
akses maupun tarip retribusinya terjangkau oleh seluruh tingkatan
masyarakat;
32
menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan
efisien.
Perencanaan di RSUD dr. Slamet Garut dilakukan dengan
menggunakan metode konsumsi yang dilihat dari data rata-rata pemakaian
per bulannya. Terkadang juga dikombinasi dengan metode epidemiologi,
tergantung jenis pola penyakit yang sedang berkembang.
b. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan dilakukan oleh bagian
UKPBJ (Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa) dengan memperhatikan
hal-hal berikut :
1. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
2. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet
(MSDS).
3. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar.
out), FEFO (first expire first out), secara Alfabetis, berdasarkan bentuk
sediaan, penggolongan obat dan kesesuaian suhu.
c. Pendistribusian
Pendistribusian perbekalan farmasi dilakukan ke ruang perawatan dan ke
depo farmasi. Untuk pendistribusian perbekalan farmasi ke ruang
perawatan, pertama harus menyiapkan dulu dokumen permintaan/SBBK
(Surat Bukti Barang Keluar) yang nantinya diserahkan ke pihak gudang.
Pihak gudang kemudian akan menyiapkan perbekalan farmasi sesuai
dengan permintaan di SBBK baik jenis dan jumlahnya. Setelah itu
mencatat pengeluaran perbekalan farmasi di dokumen SBBK. Pihak
gudang selanjutnya memberikan perbekalan farmasi ke ruang perwatan.
Untuk pendistribusian perbekalan farmasi ke depo farmasi dilakukan oleh
setiap depo farmasi menggunakan buku defecta. Buku defecta tersebut
nantinya diserahkan ke gudang untuk disiapkan barangnya oleh pihak
gudang sesuai list obat yang tertera di buku defecta. Setelah itu barang
yang sudah dipersiapkan di serahkan ke depo terkait bersama buku defecta
dengan tanda tangan oleh pihak gudang dan pihak depo terkait untuk bukti
serah terima.
3. Divisi Pelayanan Kefarmasian
a. Depo Farmasi Rawat Inap
Depo farmasi rawat inap ini sebeanrnya adalah depo center dimana depo
farmasi ini melayani pasien rawat inap BPJS, pasien rawat inap umum dan
pasien rawat jalan umum. Alur pelayanan resep di rawat inap dimulai dari
penerimaan resep, setelah itu diinput di komputer untuk entry obat dan
harga, kemudian obat diambil dari lemari penyimpanan dan disiapkan, lalu
obat diberi label, etiket serta kemasan yang sesuai. Terakhir obat diberikan
kepada pasien/keluarga pasien disertai pemberian informasi obat.
b. Depo Farmasi Rawat Jalan
Pasien rawat jalan berasal dari poliklinik-poliklinik yang ada di Rumah
Sakit. Pasien membawa resep untuk diserahkan ke depo farmasi rawat
jalan. Setelah resep masuk, dilakukan penomeran resep yang dilanjutkan
pengambilan dan penyediaan obat. Setelah obat disediakan, obat-obat
tersebut diberi label, etiket dan kemasan yang sesuai. Apoteker kemudian
memeriksa/memverifkasi sebelum akhirnya diserahkan kepada pasien
disertai pemberian informasi obat.
37
h. Disinfectan Basin
Fasilitas khlorinasi digunakan untuk desinfektan effluent sebelum dilepaskan
ke badan air.
i. Sludge Storage Basin
Lumpur dari satting basin akan ditampung sementara di bak ini sebelum
ditransfer ke sistem dewatering.
j. Dewatering system
Setelah diflokulasi dan dewatering kandungan air akan berkurang. Sludge
yang sudah diproses diangkut ke luar rumah sakit untuk dimusnahkan oleh
pihak ke 3.
suhu tinggi dan sterilisasi suhu rendah. Sehingga semua jenis barang dan
instrumen yang perlu disterilkan dapat disterilkan di CSSD. Metode
sterilisasi suhu tinggi yang paling diumumkan adalah sterilisasi uap.
d. Area penyimpanan, merupakan tempat dimana barang dan instrumen
disimpan sebelum dikirimkan untuk digunakan pada pasien. Area
penyimpanan harus mengikuti kaidah clean room, dimana terdapat
beberapa persyaratan yang membutuhkan pengaturan. Pengaturan suhu
dan kelembaban, pembatasan lalu lintas personel, ventilasi agar bertekanan
positif, dan mekanisme lain agar terbebas dari kotoran dan debu. Bila
terdapat inventaris yang mencukupi, maka akan banyak barang dan
instrumen yang berada disini. Dibutuhkan sistem penyimpanan yang baik.
e. Area distribusi, bertanggung jawab pada ketersediaan instrumen dan
barang steril yang dibutuhkan oleh pasien. CSSD harus menjamin
ketersediaan dengan mempertahankan par level. Sistem distribusi harus
dibuat seefisien dan seefektif mungkin. Di area distribusi juga harus
tersedia disinfektan untuk membersihkan kereta dari ruangan perawatan
pasien yang membawa barang atau instrumen steril.
41
BAB IV
TUGAS KHUSUS
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden
dan prevalensinya semakin meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan
global.
Kasus gagal ginjal di dunia sekarang ini meningkat lebih dari 50%.
Indonesia sendiri termasuk Negara dengan tingkat penderita gagal ginjal cukup
tinggi. Saat ini, di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal diperkirakan sekitar
150 ribu jiwa. Dari jumlah itu, permasalahan penyakit gagal ginjal yang dihadapi
masyarakat adalah tidak mampu berobat atau cuci darah (hemodialisa) karena
biaya yang sangat mahal yang harus dilakukan 2-3x seminggu. Akibatnya tidak
sedikit penderita yang meninggal dunia. Kecenderungan kenaikan penderita gagal
ginjal itu Antara lain terlihat dari meningkatnya jumlah pasien cuci darah yang
jumlah rata-ratanya sekitar 250 jiwa/tahun (Anonim, 2006).
4.2.1 Definisi
4.2.2 Etiologi
Etiologi dari CKD dikelompokkan menjadi tiga yaitu (Joy et al., 2008;
Schonder, 2008) :
4.2.3. Patofisiologi
Kunci utama dari jalur perjalanan penyakit ginjal adalah kehilangan massa
ginjal, hipertensi kapiler glomerular, dan proteinuria (Joy dkk, 2008).
Glomerular injury
Mesangial injury
Glomerular Epithelial injury Endothelial injury
hypertrophy
Progression of renal
disease
Gambar 2.1.3 Mekanisme perjalanan penyakit ginjal (Joy et al., 2008)
44
2 60-89
3 30-59
4 15-29
4.3 Hipertensi
Hipertensi lebih dikenal dengan istilah tekanan darah tinggi. Batas tekanan
darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau
tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolic. Berdasarkan JNC
(Joint National Comitte) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika
tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolic 90 mmHg atau lebih
(Chobaniam, 2003).
2. Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan
menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003).
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan
beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung coroner, diabetes dan kelainan
system saraf pusat (Sunardi, 2000).
2.
3.
4.
4.2
49
4.3
4.3.4 Patofisiologi Hipertensi
2. Infark Miokard
Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri coroner yang
aterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk thrombus yang menyumbat
aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi
kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi
iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga,
hipertrofi dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu
hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia,
hipoksia jantung dan peningkatan resiko pembentukan bekuan
(Corwin, 2005).
3. Gagal ginjal
52
Status pulang : -
Dokter : dr. Y
Kesadaran : CM Alergi : -
Nadi : 68x/menit
Respirasi : 24x/menit
56
Suhu : 36,70 C
Gizi : -
Tinggi badan :
Berat badan : 54
Sesak nafas, bengkak pada kedua kaki sejak 4 hari lalu, mual, muntah, nyeri ulu hati
Anamnesis :
Diagnosis Kerja :
CKD on HD
Pengobatan :
Dokter : dr. Y
Lembar Pertanyaan
Nonemi 1x1
Betahistin 3x1
CaCO3 1x1
I : mengobservasi tanda-tanda
vital (TTV), memberikan
terapi sesuai advis
Nonemi 1x1
Betahistin 3x1
CaCO3 1x1
I : mengobservasi tanda-tanda
vital (TTV), memberikan terapi
sesuai advis
CaCO3 1x1
I : mengobservasi tanda-tanda
vital (TTV), membantu pola
ADL, mendekatkan barang
keperluan pasien, melanjutkan
terapi sesuai advis
CaCO3 1x1
Nonemi 1x1
Betahistin 3x1
CaCO3 1x1
I : mengobservasi keluhan
pasien, mengobservasi tanda-
tanda vital (TTV), mengecek
pasien setiap waktu,
memberikan terapi sesuai advis,
menginfus ulang pasien.
62
Objektif
Tanggal Subjektif
TD Nadi Respirasi Suhu
Pemeriksaan Pasien
Parameter Nilai Normal
26 des 27 des 28 des 29 des 30 31 des
63
des
1.Hematologi
Hb 12 – 16 g/DI 9,0 - - - - -
Het 36 – 47 % 26 % - - - - -
MCV 26 – 34 pg - - - - - -
MCHC 32 – 36 % - - - - - -
Basofil 0,1 – 1 % - - - - - -
Eosinofil 1–6% - - - - - -
Batang 3–5% - - - - - -
Segmen 40 – 70 % - - - - - -
Limfosit 30 – 45 % - - - - - -
Monosit 2 – 10 % - - - - - -
2. Kimia Klinik
72 x 7,5
= 6,63 ml/menit
65
Nadi 80 – 100 90 91 85 90 80
x/menit
Respirasi (RR) 18 – 22 28 26 22 29 22
x/menit
Keterangan :
Tanggal
Nama Obat Dosis Rute
27 des 28 des 29 des 30 des 31 des
Ondansetron inj 3 x 8 gr Iv √ √ √ √ √
Furosemide 2 x 2 amp Iv √ √ √ √ √
Ranitidin 2 x 1 amp Iv √ √ √ √ √
dalam
darah yang
rendah
(hipokalem
ia)
dan laktasi
Im : 60 mg untuk
dosis tunggal atau
30 mg per 6 jam .
tidak melebihi
batas 120 mg/hari
p.o : 20 mg
setelah
pemakaian iv
atau im terapi,
kemudian 10 mg
per 4 – 6 jam,
tidak melebihi
batas 40 mg/hari
4.5 Kajian Dosis dan Profil Farmakokinetik Obat (AHFS, 2011 & Medscape,
drug.com)
Ketorolak
Allopurinol
72
CaCO3
Candesartan
Betahistin
Nonemi
Amlodipin 5mg
KSR
Ranitidin
Furosemide
Amlodipin 5mg
Nama obat
Ondansetron
Furosemide
Betahistin
Ranitidin
Nonemi
KSR
73
Candesartan
CaCO3
Allopurinol
ketorolak
Tabel 4.6 Kajian Interaksi Obat (AHFS, 2011 & Medscape, drug.com)
Keterangan
pasien
CaCO3
Interaksi CaCO3
dengan amlodipine
mengurangi efek
amlodipine
Interaksi allopurinol
dengan CaCO3
menurunkan kadar
allopurinol
Interaksi ketorolak
dengan furosemide
mengurangi efek
furosemide
Interaksi ketorolak
dengan candesartan
keduanya
meningkatkan
kalium serum
4.6 PLAN
1. Pengaturan waktu pemberian obat yang digunakan secara bersamaan
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya interaksi obat .
2. Penggunaan obat diuretik sebaiknya diminum pagi hari karena efek
sampingnya hiperurisemia agar tidak mengganggu aktivitas pasien .
3. Pengontrolan kadar elektrolit (Na, Ca dan Mg) akibat dari penggunaan
obat diuretik .
76
4.7 PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien seorang wanita usia 62 tahun, BB 54 kg
datang diantar oleh keluarganya pada tanggal 27 desember 2019 dengan
keluhan sesak nafas, bengkak pada kedua kaki sejak 4 hari lalu, mual,
muntah dan nyeri ulu hati .
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit,
sesak nafas, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg,
frekuensi nadi 68x/menit, respirasi 24x/menit, shu 36,70C dengan berat
badan 54 kg. Berdasarkan klasifikasi hipertensi menurut JNC 8 pasien
tersebut masuk kedalam kategori prehipertensi dimana tekanan darahnya
130/80 mmHg .
Pada pasien CKD terjadi anemia (penurunan Hb, RBC dan Hct)
dikarenakan berkurangnya produksi hormon eritropoietin oleh medula
ginjal yang penting dalam eritropoiesis di sumsum tulang (Ineck dkk,
2008). Anemia pada penderita CKD ditunjukkan dengan keluhan berupa
lemah, letih, lesu dan temuan hasil cek laboratorium berupa penurunan Hb
yaitu 7-10 g/dL dimana nilai tersebut masih dikatakan anemia pada pasien
CKD. Untuk mengatasi anemia, terapi yang diterima pasien adalah
nonemi. Selain itu pasien tersebut diberi obat anti emetik yaitu
ondansetron untuk mengurangi rasa mual, muntah dan pasien diberi
ranitidin yang merupakan obat golongan antihistamin H2 dimana obat
golongan ini bekerja dengan cara memblok reseptor H2 histamin yang
berperan dalam merangsang dan melepaskan zat asam pada lambung.
Dengan dihambatnya H2 histamin, kadar asam di lambung dapat
diturunkan sehingga dapat mengurangi rasa nyeri pada ulu hati.
Antihipertensi yang diberikan kepada pasien adalah amlodipin dan
candesartan . amlodipin merupakan obat antihipertensi golongan Calcium
Channel Blocker (CCB) yang bekerja secara langasung pada otot polos
pembuluh darah sehingga terjadi vasodilatasi arterial perifer yang dapat
77
BAB V
5.1 KESIMPULAN
5.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan terkait pemantauan terapi obat untuk pasien
yaitu :
9. Suzuki, H., Saruta, T., 2004. Kidney and Blood Pressure Regulation.
Tokyo: Karger.
10. www.Drugs.com diakses pada tanggal 2 januari 2020 pukul 09.32 wib
11. www.Medscape.com diakses pada tanggal 2 januari pukul 13.05 wib
12. Healthy hemodialysis patients : A Randomized Trial.Clin J Am Soc
Nephrol.2009;4: 726-33.
13. Prodjosudjadi, W. Suhardjono, A. End- Stage Renal Disease in Indonesia:
Treatment
14. Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(terjemahan, volume II). Jakarta: EGC;2001.
15. Thomas, N. Renal Nursing (2nd edition). London United Kingdom:
Elsevier Science ;2002.