Anda di halaman 1dari 92

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

DI RSUD dr. SLAMET GARUT

PERIODE 2 DESEMBER 2019 – 31 JANUARI 2020

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Apoteker (Apt.)
Program Studi Profesi Apoteker

Disusun oleh :

MEGA AYURIKA LAMEIDYA, S. Farm 240431119021

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GARUT
2020

1
LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

DI RSUD dr. SLAMET GARUT

PERIODE 2 DESEMBER 2019 – 31 JANUARI 2020

Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan ujian Apoteker


Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Garut

Garut, Januari 2020

Disetujui oleh,

Preseptor PKPA Preseptor PKPA


Internal Eksternal

Farid Perdana, M.Si., Apt Dina Nirwana Suwinda, M.Farm, Apt

2
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa


Ta’ala yang telah memberikan rahmat serta Nikmat-nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit dr. Slamet
Garut selama periode desember 2019-januari 2020 serta penyusunan “ Laporan
Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)”. Laporan ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Apoteker dari Program Studi Profesi Apoteker, Sekolah
Farmasi, Universitas Garut.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yaitu kepada :
1. Febriana Ganjar S.Si., Apt selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
dr. Slamet Garut.
2. Dina Nirwana Suwinda. M.Farm., Apt selaku Divisi Mutu di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit dr. Slamet Garut.
3. Eneng Sumiyati, S.Si., Apt selaku Divisi Perencanaan dan Pengadaan
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dr. Slamet Garut.
4. Farid Perdana, M.Si., Apt selaku preseptor internal di Program Profesi
Apoteker Universitas Garut.
5. Seluruh staf dan karyawan Instalasi Farmasi Rumah Sakit dr.Slamet Garut
atas kerjasamanya.
6. Bapak dan Ibu Dosen dan seluruh staf pengajar Program Studi Profesi
Apoteker Universitas Garut atas ilmu, dukungan dan bantuan yang
diberikan kepada penulis selama menempuh Program Studi Apoteker di
Universitas Garut.
7. Teman- teman Profesi Apoteker Angkatan 02 Universitas Garut atas
dukungan dan kerjasamanya selama ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
turut serta membantu selama penyusunan laporan ini.

3
Penulis berharap agar Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan laporan ini. Semoga laporan PKPA ini dapat berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia farmasi pada khususnya untuk
PKPA di Indonesia.

Garut, Januari 2020

4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................v
BAB
I PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
II TINJAUAN PENYAKIT .................................................................................3
2.1 Chronic Kidney Disease (CKD)........................................................3
2.2 Hipertensi...........................................................................................7
III PROFIL PENGOBATAN PASIEN DAN KAJIAN REKAM MEDIS......16
3.1 Data Demografi Pasien.....................................................................16
3.2 Data Klinis Pasien.............................................................................16
3.3 Formulir Wawancara Pasien.............................................................17
3.4 Catatan Integrasi Dokter...................................................................18
IV METODE SOAP DAN PEMBAHASAN.....................................................22
4.1 Metode SOAP dan Pembahasan.......................................................22
4.2 Objektif..............................................................................................22
4.3 Analisis Subjektif..............................................................................24
4.4 Catatan Terapi Pasien.......................................................................25
4.5 Assesment..........................................................................................26
4.6 Plan...................................................................................................34
4.7 Pembahasan......................................................................................34
V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................39
5.1 Kesimpulan.....................................................................................39
5.2 Saran...............................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar
1. Mekanisme perjalanan penyakit ginjal.........................................................4
2. Algoritma tata laksana hipertensi...............................................................13
3. Algoritma pengobatan hipertensi pada pasien CKD..........................15

6
DAFTAR TABEL

Tabel
1. Klasifikasi CKD...........................................................................................5
2. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003............................................9
3. Data Pasien.................................................................................................16
4. Klinis Pasien...............................................................................................16
5. Formulir Wawancara Pasien......................................................................17
6. Catatan Integrasi Dokter............................................................................18
7. Perkembangan Terapi Pengobatan Pasien.................................................22
8. Objektif (data laboratorium)......................................................................22
9. Rekapitulasi Pemeriksaan Fisik Pasien...............................................24
10. Catatan Terapi Pasien.................................................................................25
11. Kajian Dosis dan Profil Farmakokinetik Obat...........................................26
12. Kajian Interaksi Obat.................................................................................31
13. Drug Related Problems..............................................................................32

7
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dalam bidang kesehatan, pemerintah bertanggung jawab
merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat,
selain itu pemerintah juga bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,
tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (UU No.36 tahun 2009).
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat . Pelayanan kefarmasian adalah suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien (PMK No.72 tahun 2016).
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi pengelolaan perbekalan
farmasi dan pelayanan farmasi klinis. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah
sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua
lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (PMK No.72 tahun 2016).

8
Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk
merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk
menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan
secara terus menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan
(PMK No.72 tahun 2016).
Mengingat pentingnya tugas dan peran seorang Apoteker serta untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan apoteker dalam menjalankan
peran dan fungsinya di rumah sakit, maka calon apoteker dibekali dengan
praktek kerja.
Program Profesi Apoteker Universitas Garut bekerja sama dengan RSUD
dr.Slamet Garut menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker yang
berlangsung pada tanggal 02 Desember 2019 sampai 31 Januari 2020.

1.2 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rsud dr.slamet
Garut adalah sebagai berikut
1. Mampu memahami peranan, tugas dan tanggung jawab apoteker di Rumah
Sakit sesuai dengan ketentuan dan etika pelayanan farmasi khususnya dan
pelayanan kesehatan umumnya.
2. Memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis
untuk melakukan praktek kefarmasian di Rumah Sakit.
3. Memiliki gambaran nyata tentang permasalahan praktik kefarmasian serta
mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pengembangan praktik kefarmasian di Rumah Sakit.

3
BAB II

TINJAUAN UMUM

FARMASI RUMAH SAKIT

2.1 Rumah Sakit


2.1.1 Definisi Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (UU Kesehatan no 44 tahun 2009).

2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


Rumah sakit mempunyai tugas dalam memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas dalam
memberikan pelayanan kesehatan perorangan, Rumah Sakit mempunyai
fungsi :
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.3 Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit

4
Menurut Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia No 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan
pengelolaannya.

5
1. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan
dalam:
a. Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang
dan jenis penyakit.
b. Rumah Sakit Khusus.
Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau
satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
2. Berdasarkan pengelolaannya Rumah Sakit dapat di kategorikan menjadi dua,
yaitu:
a. Rumah Sakit Publik
Dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum
yang bersifat nirlaba. Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan
Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan
Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit publik yang
dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi
Rumah Sakit privat.
b. Rumah Sakit Privat
Dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan
Terbatas atau Persero.

3. Rumah Sakit Pendidikan


Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit pendidikan setelah
memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan. Rumah Sakit
pendidikan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri
yang membidangi urusan pendidikan. Rumah Sakit pendidikan merupakan
Rumah Sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara
terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran
berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Dalam

28
penyelenggaraan Rumah Sakit Pendidikan dapat dibentuk Jejaring Rumah
Sakit Pendidikan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Pengelompokan
kelas Rumah Sakit adalah berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan.
Klasifikasi Rumah Sakit Umum dan Khusus ditetapkan berdasarkan kriteria
berikut:
1. Pelayanan
2. Sumber Daya Manusia
3. Peralatan
4. Sarana dan Prasarana
5. Administrasi dan Manajemen.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Umum
diklasifikasikan menjadi:
1. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar, 5
(lima) pelayanan spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) pelayanan medik
spesialis lain dan 13 (tiga belas) pelayanan medik sub spesialis.
a. Kriteria fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas A meliputi
Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, PelayananMedik
Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan
MedikSpesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan
Medik Subspesialis,Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan
Penunjang Klinik, dan PelayananPenunjang Non Klinik.
b. Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari:
1) Pelayanan medik dasar minimal harus ada 18 (delapan belas) orang
dokter umum dan 4 (empat) dokter gigi sebagai tenaga tetap.
2) Pelayanan medik spesialis dasar harus ada masing-masing 6 (enam)
orang dokter spesialis dengan masing-masing 2 (dua) orang dokter
spesialis sebagai tenaga tetap.

29
3) Pelayanan spesialis penunjang medik harus ada masing-masing minimal
3 (tiga) orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang
dokter spesialis sebagai tenaga tetap.
4) Pelayanan medik spesialis lain harus ada masing-masing minimal 3 (tiga)
orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter
spesialis sebagai tenaga tetap.
5) Pelayanan medik spesialis gigi mulut harus ada masing-masing minimal
1 (satu) orang dokter gigi spesialis sebagai tenaga tetap.
6) Pelayanan medik subspesialis harus ada masing-masing minimal 2 (dua)
orang dokter sub spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter
subspesialis sebagai tenaga tetap.
7) Jumlah tempat tidur minimal 250 (dua ratus lima puluh) buah.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar, 4
(empat) pelayanan spesialis penunjang medik, 8 (delapan) pelayanan medik
spesialis lain dan 2 (dua) pelayanan medik sub spesialis dasar.
a. Kriteria fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas B meliputi
Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, PelayananMedik
Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik
Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik
Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang
Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.
b. Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari:
1) Pelayanan medik umum, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dasar
minimal harus ada 12 (dua belas) orang dokter umum dan 3 (tiga) dokter
gigi sebagai tenaga tetap.
2) Pelayananmedik spesialis dasar harus ada masing-masing 3 (tiga) orang
dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter spesialis
sebagai tenaga tetap.

30
3) Pelayanan spesialis penunjang medik harus ada masing-masing minimal 2
(dua) orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter
spesialis sebagai tenaga tetap.
4) Pelayanan medik spesialis lain harus ada masing-masing minimal 1 (satu)
orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 4 (empat) orang dokter
spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.
5) Pelayanan medik spesialis gigi mulut harus ada masing-masing minimal 1
(satu) orang dokter gigi spesialis sebagai tenaga tetap.
6) Pelayanan medik subspesialis harus ada masing-masing minimal 1 (satu)
orang dokter sub spesialis dengan 1 (satu) orang dokter subspesialis
sebagai tenaga tetap.
7) Jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar, dan 4
(empat) pelayanan spesialis penunjang medik.
a. Kriteria fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas C meliputi
Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik
Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik
Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan
Penunjang Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.
b. Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari:
1) Pelayanan medik dasar minimal harus ada 9 (sembilan) orang dokter
umum dan 2 (dua) dokter gigi sebagai tenaga tetap.
2) Pelayanan medik spesialis dasar harus ada masing-masing 2 (dua) orang
dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis
sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.
3) Pelayanan spesialis penunjang medik harus ada masing-masing minimal
1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang
dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.
4) Jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.

31
4. Rumah Sakit Umum Kelas D.
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) pelayanan medik spesialis dasar.
a. Kriteria fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas D meliputi
Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik
Spesialis Dasar, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan
Penunjang Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.
b. Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari:
1) Pelayanan medik dasar minimal harus ada 4 (empat) orang dokter umum
dan 1 (satu) dokter gigi sebagai tenaga tetap.
2) Pelayanan medik spesialis dasar harus ada masing-masing 1 (satu) orang
dokter spesialis dari2 (dua) jenis pelayanan spesialis dasar dengan 1
(satu) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap.
3) Jumlah tempat tidur minimal 50 (lima puluh) buah.
Jenis Rumah Sakit khusus antara lain Rumah Sakit khusus ibu dan anak,
jantung, kanker, orthopedi, paru, jiwa, kusta, mata, ketergantungan obat, stroke,
penyakit infeksi, bersalin, gigi dan mulut, rehabilitasi medik, telinga hidung
tenggorokan, bedah, ginjal, kulit dan kelamin.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Khusus
diklasifikasikan menjadi:
1. Rumah Sakit Khusus Kelas A
2. Rumah Sakit Khusus Kelas B
3. Rumah Sakit Khusus Kelas C

2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit


2.2.1 Definisi IFRS
Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah suatu unit atau bagian rumah
sakit yang melaksanakan pekerjaan kefarmasian yang dipimpin oleh seorang
apoteker yang profesional, kompeten dan berwenang secara hukum dalam
menyelenggarakan fasilitas pelayanan kefarmasian yang antara lain adalah
perencanaan, pengadaan, menyediakan dan mengelola semua aspek mengenai

32
obat dan perbekalan kesehatan di rumah sakit untuk penderita yang dirawat di
rumah sakit, baik rawat inap maupun rawat jalan.

2.2.2 Visi, Misi dan Tujuan IFRS


Visi instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah terselenggaranya
pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat di rumah sakit dengan
pelayanan yang lengkap termasuk pelayanan farmasi klinik.

Misi instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah menyediakan penggunaan


terapi obat yang optimal bagi seluruh penderita dan menjamin mutu yang terbaik
serta pelayanan dengan biaya yang paling efektif, berperan dalam pendidikan dan
peningkatan pengetahuan melalui penelitian di rumah sakit.

Tujuan instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah mengadakan pelayanan


langsung dan bertanggungjawab yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan
atau perbekalan farmasi yang dimaksudkan untuk pencapaian hasil yang pasti
guna meningkatkan mutu kehidupan pederita dan masyarakat.

2.2.3 Pengorganisasian dan SDM Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Pengorganisasian dan sumber daya manusia IFRS berdasakan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
58/MENKES/SK/VIII/2014Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
sebagai berikut :

1) Pengorganisasian
Pengorganisasian Rumah Sakit harus dapat menggambarkan pembagian
tugas, koordinasi kewenangan, fungsi dan tanggung jawab Rumah
Sakit.Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mencakup
penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan
bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan menjaga mutu.
2) Sumber Daya Manusia (SDM)
Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai

33
sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Ketersediaan jumlah
tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah Sakit dipenuhi
sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit yang
ditetapkan oleh Menteri.

Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi harus ada
dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun
sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
a. Kualifikasi Sumber Daya Manusia
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM Instalasi
Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut:
 Pekerjaan Kefarmasiain terdiri dari apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian (TTK).
 Pekerjaan Penunjang terdiri dari operator computer/teknisis yang
memahami kefarmasian, tenaga administrasi dan pekarya/pembantu
pelaksana.
b. Persyaratan SDM
Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) diutamakan telah memiliki
pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga)
tahun.Apoteker dan TenagaTeknis Kefarmasian harus memenuhi
persyareatan administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Beban Kerja dan Kebutuhan
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu:
 Kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR).
 Jumlah dan teknis kegiatan farmasi yang dilakukan (manjemen,
klinik dan produksi).
 Jumlah resep atau formulir permintaan obat (floor stock)
 Volume sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.

34
 Idealnya pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi
pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan
aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsiliasi obat, pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat,
konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker
dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien.
 Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada
Pelayanan Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan
farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian Resep, penyerahan Obat, Pencatatan Penggunaan Obat
(PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan
rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.
 Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian rawat inap
dan rawat jalan, maka kebutuhan tenaga Apoteker juga diperlukan
untuk pelayanan farmasi yang lain seperti di unit logistik
medik/distribusi, unit produksi steril/aseptic dispensing, unit
pelayanan informasi Obat dan lain-lain tergantung pada jenis
aktivitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh
Instalasi Farmasi.
 Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian di rawat
inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang
Apoteker untuk kegiatan Pelayanan Kefarmasian di ruang tertentu,
yaitu:
1. Unit Gawat Darurat;
2. Intensive Care Unit (ICU)/Intensive Cardiac Care Unit
(ICCU)/Neonatus Intensive Care Unit (NICU)/Pediatric
Intensive Care Unit (PICU);
3. Pelayanan Informasi Obat;

Mengingat kekhususan Pelayanan Kefarmasian pada unit rawat


intensif dan unit gawat darurat, maka diperlukan pedoman teknis mengenai

35
Pelayanan Kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit rawat darurat yang
akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jendera
d. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Setiap staf di Rumah sakit harus diberi kesempatan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya. Peran kepala Instalasi Farmasi Rumah
Sakit dalam pengembangan staf dan program pendidikan meliputi:
 Menyususn program orientasi staf baru, pendidikan dan pelatihan
berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi SDM.
 Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi pekerjaan
(tugas dan tanggung jawabnya) untuk meningkatkan kompetensi yang
diperlukan.
 Menentukan staf sebagai narasumber/pelatih/fasilitator sesuai dengan
kompetensinya.
e. Penelitian dan Pengembangan
Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian mandiri atau
berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker yang terlibat dalam penelitian harus
mentaati prinsip dan prosedur yang ditetapkan dan sesuai dengan kaidah-
kaidah penelitian yang berlaku.
Apoteker juga dapat berperan dalam Uji Klinik Obat yang dilakukan di
Rumah Sakit dengan mengelola Obat-Obat yang diteliti sampai dipergunakan
oleh subyek penelitian dan mencatat Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD) yang terjadi selama penelitian.

2.2.4 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Berdasakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72


tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Tugas Instalasi
Farmasi adalah:

a) Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh


kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi;

36
b) Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
c) Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna memaksimalkan efek
terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko;
d) Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
e) Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
f) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan Pelayanan
Kefarmasian;
g) Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium Rumah Sakit.
2.2.5 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Berdasakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai :
a. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
b. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan optimal;
c. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan
yang berlaku;
d. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit;
e. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;
f. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;
g. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit;

37
h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
i. Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah
memungkinkan);
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak dapat digunakan;
m. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
n. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai
2. Pelayanan Farmasi Klinik
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan Obat;
b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. Melaksanakan rekonsiliasi Obat;
d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik berdasarkan
Resep maupun Obat non Resep kepada pasien/keluarga pasien;
e. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain;
g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
h. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
1) Pemantauan efek terapi Obat;
2) Pemantauan efek samping Obat;
3) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
i. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
j. Melaksanakan dispensing sediaan steril
1) Melakukan pencampuran Obat suntik
2) Menyiapkan nutrisi parenteral

38
3) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
4) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil.
k. Melaksanakan pelayanan informasi obat (PIO) kepada tenaga kesehatan
lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit.
l. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)

2.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis
Pakai

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker bertanggung jawab terhadap
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di
Rumah Sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan
yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu
siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan
Kefarmasian.

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis


Pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan
proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Dalam
ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit menyatakan bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi,
dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi
Farmasi sistem satu pintu. Alat Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi
sistem satu pintu berupa alat medis habis pakai/peralatan non elektromedik, antara
lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu jantung, implan, dan stent.

39
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan
formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan
pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dengan demikian semua Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang beredar di Rumah
Sakit merupakan tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak
ada pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi sebagai
satu-satunya penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan
mendapatkan manfaat dalam hal:

a. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi,


Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
b. Standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
c. Penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
d. Pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
e. Pemantauan terapi Obat;
f. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien);
g. Kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang akurat;
h. Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
i. Peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.
Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan Obat untuk
meningkatkan keamanan, khususnya Obat yang perlu diwaspadai (high-alert
medication).High-alert medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena
sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan Obat

40
yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).
Kelompok Obat high-alert diantaranya:
a. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
b. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).
c. Obat-Obat sitostatika.

2.3.1 Kegiatan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan


Medis Habis Pakai
Kegiatan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehtan dan Bahan Medis
Habis Pakai Meliputi:
A. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan.
Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
ini berdasarkan:
 Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
 standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang telah ditetapkan
 Pola penyakit
 Efektifitas dan keamanan
 Pengobatan berbasis bukti
 Mutu
 Harga
 ketersediaan di pasaran
B. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah
dan periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis

41
Habis Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin
terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi,
kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. Anggaran yang tersedia;
b. Penetapan prioritas;
c. Sisa persediaan;
d. Data pemakaian periode yang lalu;
e. Waktu tunggu pemesanan; dan
f. Rencana pengembangan.
C. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan.Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai
standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan
dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian
antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan
pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan
pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka
jika proses pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi
harus melibatkan tenaga kefarmasian. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
antara lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa;
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS)

42
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar; dan
d. Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan
lain-lain).
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan
stok Obat yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat
saat Instalasi Farmasi tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
1) Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan
pengadaan barang dan jasa yang berlaku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
 Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai, yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat.
 Persyaratan pemasok
 Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
 Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
2) Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi sediaan tertentu
apabila :
 Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;
 Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;
 Sediaan Farmasi dengan formula khusus;
 Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
 Sediaan Farmasi untuk penelitian; dan
 Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat
baru (recenter paratus).

43
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu
dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit
tersebut.
3) Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sumbangan/dropping/ hibah.

Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan


Bahan Medis Habis Pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus
disertai dokumen administrasi yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat
membantu pelayanan kesehatan, maka jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan kebutuhan
pasien di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi dapat memberikan rekomendasi
kepada pimpinan Rumah Sakit untuk mengembalikan/menolak
sumbangan/dropping/hibah Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan pasien Rumah
Sakit.
D. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.
E. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian.Penyimpanan harus dapat menjamin
kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian.Persyaratan kefarmasian
yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya,
kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.

44
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi
label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan
dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting.
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan
pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan
yang kurang hati-hati.
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara
benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi
tanda khusus bahan berbahaya
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan
untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan
tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya.
Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi
keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired
First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike
Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus
untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat.

45
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat
emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan.Tempat penyimpanan harus mudah
diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:
a. Jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah
ditetapkan;
b. Tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain;
c. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
d. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
e. Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.
F. Pendistribusian

Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka


menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan
ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat
menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock) :
 Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola
oleh Instalasi Farmasi.
 Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan.
 Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang
mengelola (di atas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan
kepada penanggung jawab ruangan.

46
 Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock
kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
 Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan
interaksi Obat pada setiap jenis Obat yang disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan

Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis


Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap
melalui Instalasi Farmasi.
c. Sistem Unit Dose
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai berdasarkan Resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis
tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit
dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a
+ b atau b + c atau a + c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk
pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian
Obat dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem
floor stock atau Resep individu yang mencapai 18%.
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh
pasien dengan mempertimbangkan:
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada.
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi.
G. Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

47
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai bila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu
b. Telah kadaluwarsa
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan
atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan
d. Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Obat terdiri dari:
a. Membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang akan dimusnahkan
b. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan
c. Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait
d. Menyiapkan tempat pemusnahan
e. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM). Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai dilakukan oleh BPOM atau pabrikan asal. Rumah
Sakit harus mempunyai sistem pencatatan terhadap kegiatan penarikan.
H. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim
Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk:
a. Penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit
b. Penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi

48
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai adalah:
a. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving)
b. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga
bulan berturut-turut (death stock)
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.

I. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu.
Kegiatan administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang meliputi perencanaan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan,
pengembalian, pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang
dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan,
semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang
berlaku.

Pencatatan dilakukan untuk:


 Persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM
 Dasar akreditasi Rumah Sakit
 Dasar audit Rumah Sakit; dan
 Dokumentasi farmasi.

49
Pelaporan dilakukan sebagai:
 Komunikasi antara level manajemen
 Penyiapan laporan tahunan yang komprehensif mengenai kegiatan di
Instalasi Farmasi; dan
 Laporan tahunan.
b. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mengelola keuangan maka
perlu menyelenggarakan administrasi keuangan.
Administrasi keuangan merupakan pengaturan anggaran, pengendalian dan
analisa biaya, pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan,
penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan
Kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan, triwulanan,
semesteran atau tahunan.
c. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak
terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan
cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang
berlaku.

2.4 Tim Farmasi dan Terapi (TFT)


Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam
memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan
penggunaan Obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi
Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. TFT harus dapat
membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang
berhubungan/berkaitan dengan penggunaan Obat.

50
Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang Apoteker,
apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah Apoteker, namun apabila
diketuai oleh Apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter.

TFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali
dan untuk Rumah Sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan.Rapat TFT
dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit yang dapat
memberikan masukan bagi pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan khusus,
keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT.

2.4.1 Tugas Tim Farmasi dan Terapi

Farmasi dan Terapi di Rumah Sakit mempunyai tugas sebagai berikut :


1. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit.
2. Melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam
formularium Rumah Sakit.
3. Mengembangkan standar terapi.
4. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat.
5. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang
rasional;
6. Mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;
7. Mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
8. Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di
Rumah Sakit.

51
BAB III

TINJAUN KHUSUS

RUMAH SAKIT UMUM dr. SLAMET GARUT

3.1 Profil Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut


3.1.1 Sejarah Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut
Sampai dengan tahun 1917 kabupaten Garut belum mempunyai rumah sakit,
yang ada pada waktu itu hanya rumah sakit darurat yang didirikan oleh dr. Murder
dan dr.Stiohtor yang letaknya di Jalan Cimanuk. Setelah tidak digunakan sebagai
rumah sakit darurat, bangunan tersebut dipergunakan sebagai kantor “stad
politio”. Setelah Indonesia merdeka digunakan sebagai asrama TNI sampai
sekarang.
Rumah sakit darurat tersebut dr. Murder juga mempunyai gedung untuk
praktek partiklir dan gedung tersebut diberi nama gedung padang bulan yang
sekarang sudah dijadikan gedung Bank Jabar (BJB) yang letaknya di jalan A.
Yani sebelah barat kantor pos Garut.
Pada pertengahan tahun 1942 sudah mulai tercium akan pecahnya perang
dunia II, maka dari itu kota Garut mulai mengikuti sebuah pelatihan khusus
mengenai P3K yang dilaksanakan di Tasikmalaya. Pada waktu itu mulai banyak
berdatangan korban-korban kecelakaan yang harus dirawat akibat sabotase.
Malahan sebelum Jepang menduduki kota, di Garut penuh dengan tentara
Australia korban dari kapal yang di bom oleh tentara jepang di Cilacap.

52
Sejarah berlanjut ketika pada tahun 1979 turun Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 51/Men.Kes./SK/II/79 tahun 1979 tentang penetapan
kelas rumah sakit umum pemerintah, yang mana Rumah Sakit Umum Garut
menjadi Rumah Sakit kelas C.
Pada awalnya para pemimpin Rumah Sakit memikirkan nama untuk Rumah
Sakit dengan 11 nama orang yang paling berjasa terhadap rumah sakit, dan
terpilihlah nama dr. Slamet yang diusulkan pada Bupati Garut waktu itu. Hal ini

53
29

mengingat jasanya sebagai dokter Indonesia yang pertama bekerja di Rumah Sakit
Garut dan beliau meninggal karena penyakit pes sewaktu menangani wabah
penyakit pes di Kabupaten Garut.
Pada tahun 1993 – 1997 direktur Rumah Sakit adalah dr. Suryana, kemudian
diganti oleh dr. H. Edi Budiman, MARS dari tahun 1997. Untuk lebih
meningkatkan rumah sakit khususnya di bidang keuangan maka RSU diusulkan
menjdi unit swadana, pada tahun 1997 pula ditetapkan menjadi rumah sakit unit
swadana daerah.
Pada tahun 1999 dalam meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit, maka
dibuatlah standar pelayanan dalam setiap pelayanan, sehingga rumah sakit umum
swadana daerah Kabupaten Garut terakreditasi lima pokja pelayanan. Sedangkan
dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
otonomi daerah di bidang kesehatan maka dibentuk organisasi dan tata kerja yang
sesuai dengan perkembangan otonomi daerah.
Badan Pengelola RSU dr. Slamet Garut ditetapkan oleh pemerintah kabupaten
Garut nomor 20 tahun 2001 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja rumah
sakit. Setelah dr. H. Edi Budiman, MARS pensiun tahun 2003 maka digantilah
direktur Badan Pengelola Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut oleh seorang
dokter wanita yaitu dr. Hj. Yati Maryati S, MM. Pada tahun 2003 Badan
Pengelola Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut mendapat prestasi dengan
terakreditasinya secara penuh 12 pokja pelayanan dan sebagai juara II Rumah
Sakit Sayang Ibu dan Anak.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2005 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 61 tahun 2007 Rumah Sakit Umum dr. Slamet Kabupaten
Garut mengalami perubahan status dari badan pengelola menjadi BLUD (Badan
Layanan Umum Daerah) dan menjadi kelas B. Dengan status BLUD ini maka
pengelolaan keuangan bersifat mandiri dan organisasi rumah sakit dituntut untuk
meningkatkan akuntabilitasnya. Status BLUD rumah sakit menuntut elemen-
elemen rumah sakit untuk dapat meningkatkan kinerjanya sehingga semua
kegiatan yang berjalan di rumah sakit dapat dipertanggungjawabkan.
30

Pemantauan kinerja dari unit-unit di rumah sakit dilakukan dengan pembuatan


indikator kinerja disertai dengan standar bagi tiap-tiap indikator tersebut. Pada
tahun 2009-2010 direktur Badan Pengelola Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut,
dipegang oleh dr. Hj. Wijayanti, SpM. Kemudian dari tahun 2010 sampai 2019
direktur Badan LayananUmum dr. Slamet Garut dipegang oleh dr. Maskut Farid,
MM. Pada tahun 2020 direktur Badan Layanan Umum dr. Slamet garut dipegang
oleh dr. Husodo D. Adi, Sp.OT .
Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut memiliki 539 tempat tidur dan 27
dokter spesialis, diantaranya 3 Dokter Spesialis Anak, 3 Dokter Spesialis
Kandungan & Kebidanan, 3 Dokter Spesialis Dalam, 2 Dokter Spesialis Bedah
dan 1 Spesialis Orthopedi. 1 Dokter Ahli Anastesi, 1 Ahli THT, 2 Ahli Mata, 2
Ahli Saraf, 1 Dokter Spesialis Kulit & Kelamin, 1 Dokter Spesialis Jantung, 1
Dokter Spesialis Radiologi, 1 Dokter Spesialis Phatologi & Klinik, 1 Dokter
Spesialis Jiwa, 1 Dokter Spesialis Anatomi, 2 Dokter Spesialis Gigi, 3 Dokter
spesialis Anak dan 1 Ahli Forensik.

3.1.2 Visi dan Misi Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut
Dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, permasalahan, tantangan, dan
peluang yang ada maka visi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet Garut adalah :
“ RSUD Dr. Slamet Menjadi Kebanggaan Masyarakat Garut Yang
Dipercaya, Aman, Nyaman dan Terjangkau “.
Penjelasan makna Visi :
1. Rumah Sakit yang menjadi kebanggaan masyarakat Garut berarti dalam
melaksanakan pelayanan selalu didukung dengan sumber daya sesuai dengan
standar dan profesional yang siap untuk berkompetisi dengan lembaga
layanan kesehatan lainnya;
2. Rumah Sakit yang dipercaya berarti rumah sakit selalu membangun
kepercayaan masyarakat atas pelayanan yang dilaksanakan dan merupakan
kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan untuk
meningkatkan kepuasan masyarakat;
31

3. Rumah Sakit yang aman berarti rumah sakit yang bebas dari bahaya atau
resiko medis dan non medis serta bebas dari tindakan pelayanan yang tidak
profesional / kesewenang-wenangan
4. Rumah Sakit yang nyaman berarti rumah sakit yang memiliki suasana yang
tenang, damai dan sejuk, sehingga pelayanan dapat dilaksanakan sesuai
dengan harapan;
5. Rumah Sakit yang terjangkau berarti setiap jenis pelayanan dilakukan secara
cepat, mudah dan dapat diakses oleh setiap pengguna pelayanan.
Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh instansi
pemerintah, sebagai penjabaran visi yang telah ditetapkan.Dengan pernyataan
misi diharapkan seluruh anggota organisasi dan pihak yang berkepentingan dapat
mengetahui dan mengenal keberadaan dan peran instansi pemerintah dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk mencapai Visi tersebut sekaligus mendukung terwujudnya Visi Dinas
Kesehatan dan Visi Pemerintah Kabupaten Garut maka Misi RSUD Dr. Slamet
adalah sebagai berikut :
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat sekunder yang prima dan
terjangkau dengan menjunjung tinggi kode etik serta senantiasa memperhatikan
fungsi sosial;
2. Meningkatkan profesionalisme dan keramahan pegawai RSUD Dr. Slamet
Garut
3. Membangun kemitraan dengan lembaga lainnya dalam rangka peningkatan
pelayanan kesehatandan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan dalam menunjang program pemerintah Kabupaten Garut.
4. Peningkatan dan Optimalisasi sarana dan prasarana rumah sakit ( STRATEGI).
Penjelasan masing-masing misi :
a. Pelayanan kesehatan prima adalah penanganan kasus penyakit secara
menyeluruh dan terpadu baik secara multi disiplin maupun interdisiplin;
b. Pelayanan kesehatan yang terjangkau adalah pelayanan kesehatan yang
akses maupun tarip retribusinya terjangkau oleh seluruh tingkatan
masyarakat;
32

c. Menjungjung tinggi kode etik adalah, para petugas pelayanan kesehatan


dalam melaksanakan setiap pelayanan senantiasa memperhatikan etika baik
etika sosial maupun etika propesional;
d. Memperhatikan fungsi sosial adalah bahwa Rumah Sakit merupakan salah
satu penyelenggara fungsi pemerintahan dalam bidang pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, oleh karena itu lebih mengutamakan fungsi sosialnya;
e. Peningkatan dan Optimalisasi sarana dan prasarana artinya Rumah Sakit
terus menerus meningkatkan dan mengggali potensi yang tersedia.
f. Membangun kemitraan dengan lembaga lainnya adalah melaksanakan kerja
sama yang saling menguntungkan dengan semua lembaga baik lembaga
pemerintah maupun lembaga swasta dalam upaya meningkatkan cakupan
pelayanan.
g. Meningkatkan profesionalisme dan keramahan pegawai berarti pelaksanaan
pelayanan kesehatan dilakukan dengan rendah hati, santun dan pelaksana
yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya.
33

3.1.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit

Gambar. 1 Struktur Organisasi Rumah Sakit dr. Slamet Garut


34

3.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut


Instalasi Farmasi RSUD dr. Slamet Garut merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan RSUD dr. Slamet Garut yang mempunyai tugas
menyelenggarakan fungsi kefarmasian melalui pelayanan kefarmasian dan
pengelolaan perbekalan farmasi.
3.2.1 Visi dan Misi IFRS dr. Slamet Garut
A. Visi Instalasi Farmasi
Menjadi instalasi farmasi yang profesional didukung personil yang kompeten
dalam memberikan pelayanan kefarmasian dengan berorientasi pada pasien.
B. Misi Instalasi Farmasi
1. Memberikan pelayanan kefarmasian yang terjamin mutunya
2. Management di Instalasi farmasi yang baik
3. Memberikan pelayanan farmasi klinis yang berorientasi pada pasien
4. Meningkatkan mutu sumber daya manusia.
3.2.2 Struktur Organisasi IFRS dr. Slamet Garut
Instalasi Farmasi RSUD dr. Slamet Garut dipimpin oleh Kepala Instalasi
Farmasi yang membawahi empat divisi. Empat Divisi tersebut yaitu :
1. Divisi Perencanaan dan Pengadaan
2. Divisi Perbekalan Farmasi
a. Distribusi Bahan dan Alat Habis Pakai ke Ruang Perawatan
b. Distribusi Obat, Bahan dan Alat Habis Pakai ke Depo Farmasi.
3. Divisi Pelayanan Kefarmasian
a. Depo Farmasi Rawat Inap
b. Depo Farmasi IBS
c. Depo Farmasi Rawat Jalan
d. Depo Farmasi IGD
4. Divisi Management Mutu
Struktur organisasi Instalasi Farmasi RSUD dr. Slamet Garut dapat dilihat
pada lampiran I.
1. Divisi Perencanaan dan Pengadaan
a. Perencanaan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan
jumlah dan periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk
35

menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan
efisien.
Perencanaan di RSUD dr. Slamet Garut dilakukan dengan
menggunakan metode konsumsi yang dilihat dari data rata-rata pemakaian
per bulannya. Terkadang juga dikombinasi dengan metode epidemiologi,
tergantung jenis pola penyakit yang sedang berkembang.
b. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan dilakukan oleh bagian
UKPBJ (Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa) dengan memperhatikan
hal-hal berikut :
1. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
2. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet
(MSDS).
3. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar.

4. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk


Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu
yang dapat dipertanggung jawabkan.
2. Divisi Perbekalan Farmasi
Divisi Perbekalan Farmasi termasuk di dalamnya adalah Penerimaan,
Penyimpanan dan Pendistribusian.
a. Penerimaan
Alur proses penerimaan Perbekalann Farmasi yang ada di RSUD dr.
Slamet Garut yaitu dari awal barang datang kemudian diterima oleh tim
PPHP (Panitia Penerima Hasil Pekerjaan) yang bertugas unruk memeriksa
apakah barang yang datang sesuai dengan Surat Pesanan, kesesuaian
Faktur dengan item obat, jumlah obat, no batch dan expire date nya. Jika
barang sesuai maka barang bisa masuk ke gudang dengan pencantuman
tanda terima, tetapi apabila barang tidak sesuai seperti ada kerusakan atau
tanggal kadaluarsa obat terlalu dekat maka barang diretur kembali.
b. Penyimpanan
Perbekalan farmasi yang telah sesuai diserahkan ke bagian gudang untuk
disimpan. Peyimpanan dilakukan berdasarkan sistem FIFO (first in first
36

out), FEFO (first expire first out), secara Alfabetis, berdasarkan bentuk
sediaan, penggolongan obat dan kesesuaian suhu.
c. Pendistribusian
Pendistribusian perbekalan farmasi dilakukan ke ruang perawatan dan ke
depo farmasi. Untuk pendistribusian perbekalan farmasi ke ruang
perawatan, pertama harus menyiapkan dulu dokumen permintaan/SBBK
(Surat Bukti Barang Keluar) yang nantinya diserahkan ke pihak gudang.
Pihak gudang kemudian akan menyiapkan perbekalan farmasi sesuai
dengan permintaan di SBBK baik jenis dan jumlahnya. Setelah itu
mencatat pengeluaran perbekalan farmasi di dokumen SBBK. Pihak
gudang selanjutnya memberikan perbekalan farmasi ke ruang perwatan.
Untuk pendistribusian perbekalan farmasi ke depo farmasi dilakukan oleh
setiap depo farmasi menggunakan buku defecta. Buku defecta tersebut
nantinya diserahkan ke gudang untuk disiapkan barangnya oleh pihak
gudang sesuai list obat yang tertera di buku defecta. Setelah itu barang
yang sudah dipersiapkan di serahkan ke depo terkait bersama buku defecta
dengan tanda tangan oleh pihak gudang dan pihak depo terkait untuk bukti
serah terima.
3. Divisi Pelayanan Kefarmasian
a. Depo Farmasi Rawat Inap
Depo farmasi rawat inap ini sebeanrnya adalah depo center dimana depo
farmasi ini melayani pasien rawat inap BPJS, pasien rawat inap umum dan
pasien rawat jalan umum. Alur pelayanan resep di rawat inap dimulai dari
penerimaan resep, setelah itu diinput di komputer untuk entry obat dan
harga, kemudian obat diambil dari lemari penyimpanan dan disiapkan, lalu
obat diberi label, etiket serta kemasan yang sesuai. Terakhir obat diberikan
kepada pasien/keluarga pasien disertai pemberian informasi obat.
b. Depo Farmasi Rawat Jalan
Pasien rawat jalan berasal dari poliklinik-poliklinik yang ada di Rumah
Sakit. Pasien membawa resep untuk diserahkan ke depo farmasi rawat
jalan. Setelah resep masuk, dilakukan penomeran resep yang dilanjutkan
pengambilan dan penyediaan obat. Setelah obat disediakan, obat-obat
tersebut diberi label, etiket dan kemasan yang sesuai. Apoteker kemudian
memeriksa/memverifkasi sebelum akhirnya diserahkan kepada pasien
disertai pemberian informasi obat.
37

c. Depo Farmasi IGD (Instalasai Gawat Darurat)


Alur pelayanan resep di depo farmasi IGD dimuali dari resep masuk yg
dibawa oleh keluarga pasien, kemudian dilakukan input obat atau alkes
sesuai resep ke dalam komputer. Obat atau alkes disediakan oleh petugas
depo, lalu diberi label, etiket dan kemasan yang sesuai kemudian diberikan
kepada keluarga pasien disertai pemberian informasi obat. Untuk pasien
emergency biasanya obat atau alkes dipinta dahulu oleh perawat untuk
tindakan segera dimana resepnya diberikan menyusul terakhir untuk
diinput di komputer.
d. Depo Farmasi IBS (Instalasi Bedah Sentral)
Untuk di depo farmasi IBS obat-obatan dan alat kesehatan sudah disiapkan
terlebih dahulu dalam bentuk paket-paket sesuai untuk jenis operasi yang
akan dilakukan misalnya untuk caessar atau sesuai jenis-jenis anastesi
yang akan diberikan, misalnya anastesi spinal atau narkose umum. Resep
akan diberikan sesudah operasi selesai bersama sisa paket yang tidak
dipakai selama operasi yang kemudian dilakukan input obat dan alkes di
komputer.
3. Divisi Management Mutu
Divisi mutu memiliki tugas terbanyak dibandingkan dengan divisi lain.
Salah satunya yaitu ikut serta dalam pembuatan formularium rumah sakit yang
acuannya dibuat berdasarkan formularium nasional dan dibentuk oleh Tim
Farmasi dan Terapi (TFT). Selain itu tugas dari divisi mutu adalah tata kelola
SDM yang menyangkut jadwal kerja yang disesuaikan dengan SDM yang ada
serta sistem distribusi dari setiap depo, kemudian penerbitan jadwal kerja, monef
pencapaian kerja, penyusunan protap (Prosedur Tetap)/SOP (Standar operational
Procedur) dan membina hubungan kerja dengan tenaga kesehatan lain.

3.3. Instalasi Sanitasi


Pengolahan limbah di RSUD dr. Slamet Garut dilakukan oleh Instalasi
Sanitasi. Limbah di rumah sakit sendiri terdiri dari limbah padat dan limbah cair
yang masing-masing berbeda pengolahannya.
38

3.3.1 Pengolahan Limbah Padat


Untuk limbah padat sendiri terdiri dari limbah medis dan non medis.
Limbah non medis seperti sampah-sampah biasa itu langsung dibuang ke tempat
pembuangan sampah yang ada di dekat rumah sakit. Sementara limbah medis
seperti obat-obat kadaluawarsa dari instalasi farmasi, bahan dan alat yang
infeksius, bekas-bekas sitostatika dan yang lainnya itu terdiri dari beberapa
tahapan, dimulai dari tahap penampungan di ruangan-ruangan atau laboratorium
kemudian ke tahap pengangkutan dari ruangan oleh petugas khusus dari Instalasi
sanitasi. Setelah itu tahap penyimpanan di TPS masing-masing limbah. Di rumah
sakit hanya sampai tahap penyimpanan karena pihak rumah sakit belum
mempunyai inserator sendiri untuk tahap pemusnahan. Jadi untuk tahap
pemusnahan diserahkan ke pihak ke-3 yang sudah bekerja sama dengan pihak
rumah sakit.
3.3.2 Pengolahan Limbah Cair
Untuk pengolahan limbah cair terdiri dari beberapa proses, yaitu:
a. Pre-Treatnent Basin (PTB)
Air limbah dari dapur dan laundry dilakukan pengolahan awal untuk
menghilangkan lemak dan busa dengan fasilitas pre-treatment.
b. Lift Station
Lift Station merupakan tempat penampungan sementara dari influent air
buangan rumah sakit.
c. Buffer Basin
Influent air limbah akan diekualisasi dari beban polutan di buffer basin yang
dipasang mixer dan dilengkapi pompa transfer.
d. FBBR (Fluidized Bed Bio-film Reactor)
Pada FBBR terjadi pertumbuhanmikroba dimana terjadi proses biologis yang
melekat pada media dengan suplai oksigen yang cukup.
e. Setting Basin
Cairan dan lumpur dari FBBR mengalir ke bak pengendap dimana terjadi
proses pemisahan cairan dengan lumpur yang mengendap.
f. Treated Water Basin
Bak ini berfungsi sebagai penyimpanan sementara cairan terolah.
g. Up-Flow Filter
Untuk memisahkan residu padatan tersuspensi dngan metode penyaringan
menggunakan media absorpsi.
39

h. Disinfectan Basin
Fasilitas khlorinasi digunakan untuk desinfektan effluent sebelum dilepaskan
ke badan air.
i. Sludge Storage Basin
Lumpur dari satting basin akan ditampung sementara di bak ini sebelum
ditransfer ke sistem dewatering.
j. Dewatering system
Setelah diflokulasi dan dewatering kandungan air akan berkurang. Sludge
yang sudah diproses diangkut ke luar rumah sakit untuk dimusnahkan oleh
pihak ke 3.

3.4 Instalasi Sterilisasi Sentral


Kegiatan Instalasi Sterilisasi Sentral meliputi 5 (lima) pekerjaan utama
diantaranya yaitu Dekontaminasi dan pencucian, Inspeksi dan Pengemasan,
Sterilisasi, Penyimpanan, dan Distribusi. Masing-masing kegiatan mempunyai
area khusus yang mendukung pekerjaan tersebut. Berikut penjelasannya :
a. Area dekontaminasi dan pencucian, merupakan area dimana barang dan
instrumen kotor yang dapat diproses ulang berada. Di area ini barang dan
instrumen tersebut didekontaminasi menggunakan disinfektan yang sesuai
dan dicuci bersih. Sehingga setelah melalui area ini barang dan instrumen
yang kotor dan terkontaminasi dapat diproses secara aman. Bahan deterjen
kimia dan disinfektan mempunyai peranan yang penting di area ini.
b. Area inspeksi dan pengemasan, menjadi tempat selanjutnya untuk barang
dan instrumen yang telah mengalami dekontaminasi dan pencucian.
Instrumen yang telah dicuci dilakukan inspeksi untuk mengetahui adanya
kerusakan. Instrumen yang rusak akan disingkirkan agar tidak digunakan
lagi. Pengemasan menggunakan pengemas sekali pakai maupun
menggunakan pengemas rigid yang digunakan berulang. Pengemasan
linen yang digunakan untuk operasi dilakukan di ruang tersendiri.
Pengemasan linen perlu dipisahkan karena linen mengeluarkan serat-serat
yang dapat menggagalkan proses sterilisasi. Pengemasan kapas dan kasa
juga perlu ditempatkan di tempat tersendiri karena alasan yang sama
dengan linen.
c. Area sterilisasi, tempat mesin sterilisasi berada. Metode sterilisasi yang
tersedia di rumah sakit sebaiknya terdiri dari dua jenis. Metode sterilisasi
40

suhu tinggi dan sterilisasi suhu rendah. Sehingga semua jenis barang dan
instrumen yang perlu disterilkan dapat disterilkan di CSSD. Metode
sterilisasi suhu tinggi yang paling diumumkan adalah sterilisasi uap.
d. Area penyimpanan, merupakan tempat dimana barang dan instrumen
disimpan sebelum dikirimkan untuk digunakan pada pasien. Area
penyimpanan harus mengikuti kaidah clean room, dimana terdapat
beberapa persyaratan yang membutuhkan pengaturan. Pengaturan suhu
dan kelembaban, pembatasan lalu lintas personel, ventilasi agar bertekanan
positif, dan mekanisme lain agar terbebas dari kotoran dan debu. Bila
terdapat inventaris yang mencukupi, maka akan banyak barang dan
instrumen yang berada disini. Dibutuhkan sistem penyimpanan yang baik.
e. Area distribusi, bertanggung jawab pada ketersediaan instrumen dan
barang steril yang dibutuhkan oleh pasien. CSSD harus menjamin
ketersediaan dengan mempertahankan par level. Sistem distribusi harus
dibuat seefisien dan seefektif mungkin. Di area distribusi juga harus
tersedia disinfektan untuk membersihkan kereta dari ruangan perawatan
pasien yang membawa barang atau instrumen steril.
41

BAB IV

TUGAS KHUSUS

4.1 Latar Belakang Chronic Kidney Disease (CKD)

Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden
dan prevalensinya semakin meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan
global.

Kasus gagal ginjal di dunia sekarang ini meningkat lebih dari 50%.
Indonesia sendiri termasuk Negara dengan tingkat penderita gagal ginjal cukup
tinggi. Saat ini, di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal diperkirakan sekitar
150 ribu jiwa. Dari jumlah itu, permasalahan penyakit gagal ginjal yang dihadapi
masyarakat adalah tidak mampu berobat atau cuci darah (hemodialisa) karena
biaya yang sangat mahal yang harus dilakukan 2-3x seminggu. Akibatnya tidak
sedikit penderita yang meninggal dunia. Kecenderungan kenaikan penderita gagal
ginjal itu Antara lain terlihat dari meningkatnya jumlah pasien cuci darah yang
jumlah rata-ratanya sekitar 250 jiwa/tahun (Anonim, 2006).

Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka


pertumbuhan dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade
terakhir terjadi peningkatan prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal
terminal yang memerlukan terapi pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi
CKD stadium awal juga turut mengalami peningkatatan. Diperkirakan satu dari
sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD dan sebagian besar tidak
menyadari hal ini.

Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas


CKD meliputi: identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen
secara paripurna. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas
42

60 tahun, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya


riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal, infeksi saluran kemih yang
berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID, antibiotik, zat kontras)
dan kontak dengan bahan kimia yang berulang. Pada stadium dini CKD dapat
didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan penunjang dan terbukti dengan
pengobatan dini dapat mencegah terjadinya gagal ginjal, penyakit kardiovaskular
dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya.

CKD merupakan penyakit yang kronis, sehingga diperlukan kerjasama tim


medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit
ini.Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi
yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta
diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita.

4.2 Chronic Kidney Disease (CKD)

4.2.1 Definisi

CKD yang juga disebut chronic renal insufficiency, progressive kidney


disease, atau nefropati didefinisikan dengan adanya kerusakan ginjal atau
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) selama tiga bulan atau lebih. Secara
umum, CKD merupakan suatu kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan serta erektrolit akibat destruksi struktur
ginjal yang progresif yang ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme di
dalam tubuh (muttaqin & Sari, 2011)

4.2.2 Etiologi

Etiologi dari CKD dikelompokkan menjadi tiga yaitu (Joy et al., 2008;
Schonder, 2008) :

a. Faktor susceptibility, terkait dengan peningkatan risiko CKD akan tetapi


tidak terbukti secara langsung menjadi penyebab dari CKD, meliputi usia
yang makin bertambah, tingkat pendapatan atau pendidikan yang masih
rendah, ras/etnis, dan riwayat keluarga dengan CKD.
43

b. Faktor inisiasi, dapat secara langsung menyebabkan CKD, meliputi


diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun, polycystic kidney
disease, infeksi sistemik, infeksi saluran urin, batu ginjal, kerusakan
saluran urin, glomerulonefritis, dan toksisitas obat.
c. Faktor progression, dapat mengakibatkan cepatnya penurunan fungsi
ginjal dan memperburuk CKD, meliputi proteinuria, hipertensi, diabetes
mellitus, merokok, hiperlipidemia, dan obesitas.

4.2.3. Patofisiologi

Kunci utama dari jalur perjalanan penyakit ginjal adalah kehilangan massa
ginjal, hipertensi kapiler glomerular, dan proteinuria (Joy dkk, 2008).

Initial pathogenic injury

Glomerular injury

Diabetes mellitus Reduced filtration area Arteriosclerosis

Formation of advanced Adaptive hemodynamic Hyperlipidemia


glycation end-products changes

Increased glomerular Increased glomerular Systemic hypertension


blood flow capillary pressure

Mesangial injury
Glomerular Epithelial injury Endothelial injury
hypertrophy

Focal detachment of Proteinuria Mesangial expansion


epithelial foot processes

Glomerular hyaline Microthrombi occluding


deposition glomerular capillaries

Glomerulosclerosi Microaneurysm formation


s

Progression of renal
disease
Gambar 2.1.3 Mekanisme perjalanan penyakit ginjal (Joy et al., 2008)
44

4.2.4. Klasifikasi CKD

Klasifikasi CKD menurut NKF-DOQI adalah sebagai berikut (Joy et al.,


2008) :

Stage Glomerular Filtration Rate (mL/menit/1,73 m2)

1 Lebih dari atau sama dengan 90a

2 60-89

3 30-59

4 15-29

5 Kurang dari 15 (termasuk pasien dengan dialisis)

Tabel 2.1 Klasifikasi CKD

4.2.5. Komplikasi CKD

Pada pasien chronic kidney disease dapat terjadi berbagai macam


komplikasi yaitu:

(1) Gangguan cairan, elektrolit dan asam-basa yang meliputi homeostasis


natrium dan volume, hiperkalemia, asidosis metabolik, hipokalsemia,
hiperurisemia dan hipermagnesia. Pada pasien chronic kidney disease
yang stabil, kandungan air dan ion Na+ total dalam tubuh sedikit
meningkat meskipun perluasan volume cairan ekstraseluler tidak
terlihat jelas. Hipernatremi relatif tidak sering ditemukan pada chronic
kidney disease (Brenner and Lazarus, 1995). Hipokalsemia dan
hiperfosfatemia akan merangsang peningkatan produksi hormon
paratiroid. Pada pasien chronic kidney disease, keseimbangan kalium
diatur dengan peningkatan sekresi tubulus distal agar konsentrasi
kalium serum normal hingga terjadi hiperkalemia pada pasien chronic
kidney disease stadium lima (Hudson and Chaudhary, 2005). Asidosis
45

metabolik disebabkan oleh menurunnya ekskresi asam oleh ginjal.


Selain itu, dapat terjadi hipokalsemia pada chronic kidney disease yang
disebabkan karena penurunan sintesis 1,25-dihidroksivitamin D yang
merupakan metabolit vitamin D yang aktif. Kadar metabolit yang
rendah ini menyebabkan absorpsi kalsium dalam usus terganggu.
Retensi asam urat adalah ciri umum gambaran chronic kidney disease
tetapi jarang menyebabkan pirai yang simtomatik. Pada chronic kidney
disease , kadar magnesium serum cenderung meningkat.
(2) Kelainan kardiovaskular dan paru, dimana hipertensi merupakan
komplikasi paling umum dari tahap akhir penyakit ginjal. Selain itu,
dapat timbul perikarditis yang disebabkan oleh adanya infeksi virus
pada pasien yang didialisis dengan baik.
(3) Kelainan hematologik ditunjukkan dengan menurunnya eritropoiesis
(anemia) akibat efek toksin pada sumsum tulang yang tertahan maupun
akibat biosintesis eritropoitin yang berkurang dari ginjal atau karena
adanya inhibitor eritropoitin. Selain itu, fungsi leukosit pada pasien
chronic kidney disease terganggu disebabkan oleh asidosis yang terjadi
bersamaan hiperkalemia, malnutrisi kalori-protein, juga
hiperosmolaritas jaringan dan serum (disebabkan karena azotemia).
(4) Kelainan neuromuskuler meliputi cegukan, kejang, fasikulasi serta
kedutan otot. Selain itu, manifestasi sistem saraf pusat pada uremia
meliputi ketidakmampuan berkonsentrasi, mengantuk, insomnia. Jika
pasien tidak diobati maka neuropati perifer dapat menyebabkan restless
legs syndrome.
(5) Kelainan gastrointestinal meliputi anoreksia, cegukan, mual dan
muntah. Kebanyakan gejala gastrointestinal kecuali gejala yang
berhubungan dengan penyakit ulkus peptikum akan membaik dengan
dialisis.
(6) Gangguan endokrin-metabolik meliputi hiperparatiroid, rendahnya
kadar estrogen, amenore, impotensi, oligospermi, juga ketidaknormalan
kadar kortisol, aldosteron dan hormon pertumbuhan.
46

(7) Kelainan dermatologi seperti pucat (akibat anemia), ekimosis dan


hematom (akibat hemostasis yang kurang baik), pruritus dan ekskoriasi
(akibat endapan kalsium dan hiperparatiroidisme sekunder), turgor kulit
yang jelek dan membran mukosa yang kering (akibat dehidrasi)
(Brenner and Lazarus, 1995).

4.3 Hipertensi

4.3.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah tekanan darah tinggi. Batas tekanan
darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau
tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolic. Berdasarkan JNC
(Joint National Comitte) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika
tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolic 90 mmHg atau lebih
(Chobaniam, 2003).

Hipertensi didefininiskan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan


sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolic diatas 90 mmHg. Pada
populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolic 90 mmHg (Sheps, 2005).

4.3.2 Etiologi Hipertensi

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :

1. Hipertensi primer atau esensial


Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar
patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi
essensial. Penyebab hipertensi meliputi factor genetic dan lingkungan .
factor genetic mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan
47

terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor,


resisten insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk factor lingkungan
Antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain
(Nafrialdi, 2009).
Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan
gaya hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam menyebabkan
hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang
berlebih dan penelitian pada berbagai populasi menunjukkan bahwa
kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas) memberikan resiko 65 –
70% untuk terkena hipertensi primer (Guyton, 2008).

2. Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan
menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003).
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan
beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung coroner, diabetes dan kelainan
system saraf pusat (Sunardi, 2000).

4.3.3 Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa


berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada
dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah
mencakup 4 kategori, dengan nilai normal tekanan darah sistolik
(TDS) < 120 mmHg dan tekanan darah diastolic (TDD) <80 mmHg.
Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
48

mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung


meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua
tingkat (stage) hipertensi dan semua pasien pada kategori ini harus
diterapi obat (JNC VII, 2003).

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003

Kategori Tekanan sistolik Tekanan diastolic


(mmHg) (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120 - 139 80 – 89

Hipertensi stage I 140 - 159 90 – 99

Hipertensi stage II ≥160 ≥100

Table 2.2 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh


tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat
menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya
ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg, dikategorikan sebagai
hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi (American Diabetes
Association, 2003).

2.
3.
4.
4.2
49

4.3
4.3.4 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh


darah terletak di pusat vasomotor pada medulla di otak. Dari pusat
vasomotor ini bermula saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf
pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah (Brunner,
2002).
Berbagai factor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bias terjadi (Corwin, 2005).
Perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi
pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah yang menyebabkan penurunan distensi dan daya
regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar
mengalami penurunan kemampuan dan mengakomodasi volume darah
yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer (Corwin, 2005).

4.3.5 Tanda dan Gejala Hipertensi


50

Pada pemerikasaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain


tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada
retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah dan
pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus
optikus). Menurut Price, gejala hipertensi Antara lain sakit kepala
bagian belakang, kaku duduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada
berdebar-dedbar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price,
2005).
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita
hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal
hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan
hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk
terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat
komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan
penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak)
yang mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak yang
mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma
(Cahyono, 2008).
Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-yahun adalah nyeri kepala saat
terjaga, kadang kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan
peningkatan darah intracranial (Corwin, 2005).

4.3.6 Komplikasi Hipertensi


Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari
stroke, infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan
pregnancy-included hypertention (PIH) (Corwin, 2005).
1. Stroke
Adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,
lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah otak
51

dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah. Stroke


dengan deficit neurologic yang terjadi tiba-tiba dapat
disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik
disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian
otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003).
Stroke dapat ditimbulkan akibat perdarahan tekanan tinggi di
otak atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak
yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahi berkurang, arteri-arteri otak
yang mengalami aterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin,
2005).

2. Infark Miokard
Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri coroner yang
aterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk thrombus yang menyumbat
aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi
kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi
iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga,
hipertrofi dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu
hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia,
hipoksia jantung dan peningkatan resiko pembentukan bekuan
(Corwin, 2005).

3. Gagal ginjal
52

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal


yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab, salah
satunya pada bagian yang menuju ke kardiovaskular.
Mekanisme terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh
karena penimbunan garam dan air atau system renin
angiotensin aldosterone (RAA) (Chung, 1995).
Menurut Arief Mansjoer (2001) hipertensi beeresiko 4 kali
lebih besar terhadap kejadian gagal ginjal bila dibandingkan
dengan orang yang tidak mengalami hipertensi (Mansjoer,
2011).

4. Ensefalopati (kerusakan otak)


Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada
hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan
yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang intersitium
diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya
kolaps yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak
jarang juga koma serta kematian mendadak. Keterikatan antara
kerusakan otak dengan hipertensi, bahwa hipertensi beresiko 4
kali terhadap kerusakan otak dibandingkan dengan orang yang
tidak menderita hipertensi (Corwin, 2005).
53

Gambar 2.1 Algoritma tata laksana hipertensi

1. Hipertensi tanpa compelling indication


a. Hipertensi stage 1 dapat diberikan diuretic (HCT 12,5 – 50 mg/hari)
atau pemberian penghambat ACE inhibitor (captopril 3 x 12,5 – 50
mg/hari) atau nifedipin long action 30 – 60 mg/hari atau kombinasi.
b. Hipertensi stage II bila target terapi tidak tercapai setelah observasi
selama 2 minggu, dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya
golongan diuretic, tiazid dan penghambat ACE atau penyekat reseptor
beta atau penghambat kalsium.
c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya kontraindikasi dari
masing-masing antihipertensi diatas. Sebaiknya pilih obat hipertensi
yang diminum sekali sehari atau maksimum 2x sehari.
54

Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau


ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai.

Gambar 2.2 algoritma pengobatan hipertensi pada pasien CKD (Dipiro


et al, 2005)
55

5.1 PROFIL PENGOBATAN PASIEN DAN KAJIAN REKAM MEDIS

5.1.1 Data Demografi Pasien

Identitas Penderita : Ruang rawat : Intan sartika

Nama : Ny. E Kelas : VIP

Usia : 62 tahun Sub bagian : SMF Dalam

Jenis Kelamin : P No rekam medik : 0118xxxx

Alamat : Bentar Girang Tgl masuk : 27 desember 2019

Status : BPJS Tgl keluar : 31 desember 2019

Status pulang : -

Dokter : dr. Y

Tabel 5.1 Data Pasien

5.1.2 Data Klinis Pasien

Data Klinis Awal Pasien Data Riwayat Pengobatan atau Penyakit

Keadaan umum : sesak nafas, lemas Riwayat Konsumsi Obat : -

Kesadaran : CM Alergi : -

Tekanan darah : 130/80 mmHg Riwayat Penyakit : -

Nadi : 68x/menit

Respirasi : 24x/menit
56

Suhu : 36,70 C

Gizi : -

Tinggi badan :

Berat badan : 54

Alasan Masuk RS atau Keluhan Utama :

Sesak nafas, bengkak pada kedua kaki sejak 4 hari lalu, mual, muntah, nyeri ulu hati

Anamnesis :

Pola nafas tidak efektif

Riwayat Penyakit Terdahulu : -

Riwayat Penyakit Keluarga/Kerabat : -

Diagnosis Kerja :

CKD on HD

Pengobatan :

Atur posisi tidur

Beri O2 bila sesak

Tabel 5.2 Klinis Pasien

5.1.3 Formulir Wawancara Pasien


57

Identitas Pasien : Ruang rawat : Intan sartika

Nama : Ny. E Kelas : VIP

Usia : 62 tahun Sub bagian : SMF Dalam

Jenis Kelamin : P No rekam medik : 0118xxxx

Alamat : Bentar Girang Tgl masuk : 27 desember 2019

Status : BPJS Tgl keluar : 31 desember 2019

Tgl wawancara : 29 desember 2019 Status pulang : -

Dokter : dr. Y

Lembar Pertanyaan

No. Pertanyaan Keterangan

1. Apakah pasien dalam 3 bulan terakhir Ya


mengkonsumsi obat resep dokter ?

2. Apakah pasien dalam 3 bulan terakhir Pasien tidak mengkonsumsi


mengkonsumsi obat bebas terbatas dan obat-obatan
jamu ?

3. Apakah pasien pernah mengalami kejadian Pasien tidak pernah


efek samping obat ? mengalami efek samping
obat

Tabel 5.3 Formulir Wawancara Pasien


58

5.1.4 Catatan Integrasi Dokter

Tanggal Subjektif dan Objektif Assesment dan Planning

27 des 2019 S : mengeluh sesak A : gangguan kebutuhan O2,

O : infus terpasang, P : Lanjutkan intervensi

TD 136/80 mmHg Ondansetron inj 3x8mg

Nadi 90 x/menit Farsix inj 2x2 amp

Respirasi 28 x/menit Ranitidin inj 2x1 amp

KSR tab 1x1

Amlodipin 5mg 1x1

Nonemi 1x1

Betahistin 3x1

Candesartan 8mg 1x1

CaCO3 1x1

I : mengobservasi tanda-tanda
vital (TTV), memberikan
terapi sesuai advis

E : masalah belum teratasi

28 des 2019 S : pasien mengeluh sesak, A : pola nafas tidak efektif


mual
P : lanjutkan intervensi
59

O : Infus terpasang, Ondansetron inj 3x8mg

TD 140/80 mmHg Farsix inj 2x2amp

Nadi 91 x/menit Ranitidin inj 2x1 amp

Respirasi 26 x/menit KSR tab 1x1

Amlodipin 5mg 1x1

Nonemi 1x1

Betahistin 3x1

Candesartan 8mg 1x1

CaCO3 1x1

I : mengobservasi tanda-tanda
vital (TTV), memberikan terapi
sesuai advis

E : masalah teratasi sebagian

29 des 2019 S : pasien mengeluh sesak, A : intoleransi aktivitas


lemas
Pola nafas tidak efektif
O : infus terpasang
P : Lanjutkan intervensi
mual (+)
Ondansetron inj 3x8mg
Muntah (+)
Farsix inj 2x2amp
Udem (+)
Ranitidin inj 2x1 amp
Pola ADL dibantu
KSR tab 1x1
60

Anemis (+) Amlodipin 5mg 1x1

TD 130/90 mmHg Nonemi 1x1

Nadi 85 x/menit Betahistin 3x1

Respirasi 22 x/menit Candesartan 8mg 1x1

CaCO3 1x1

I : mengobservasi tanda-tanda
vital (TTV), membantu pola
ADL, mendekatkan barang
keperluan pasien, melanjutkan
terapi sesuai advis

E : masalah teratasi sebagian

30 des 2019 S : pasien mengeluh sesak A : pola nafas tidak efektif


berulang
P : lanjutkan intervensi
O : pasien lemas
Ondansetron inj 3x8mg
Kesadaran CM (compos
Farsix inj 2x2amp
mentis)
Ranitidin inj 2x1 amp
Infus terpasang
KSR tab 1x1
O2 (+)
Amlodipin 5mg 1x1
TD 140/90
Nonemi 1x1
Nadi 90 x/menit
Betahistin 3x1
Respirasi 29 x/menit
Candesartan 8mg 1x1
61

CaCO3 1x1

I : mengobservasi keluhan klien,


mengobservasi tanda-tanda vital
(TTV), memonitor infus,
memberikan terapi sesuai advis

E : masalah teratasi sebagian

31 des 2019 S : pasien mengeluh sesak, A : pola nafas tidak efektif


lemas
P : lanjutkan intervensi
O : infus terpasang
Ondansetron inj 3x8mg
Keluhan lemas
Farsix inj 2x2amp
TD 157/80 mmHg
Ranitidin inj 2x1 amp
Nadi 80 x/menit
KSR tab 1x1
Respirasi 22 x/menit
Amlodipin 5mg 1x1

Nonemi 1x1

Betahistin 3x1

Candesartan 8mg 1x1

CaCO3 1x1

I : mengobservasi keluhan
pasien, mengobservasi tanda-
tanda vital (TTV), mengecek
pasien setiap waktu,
memberikan terapi sesuai advis,
menginfus ulang pasien.
62

E : masalah teratasi sebagian

Tabel 5.4 Catatan Integrasi Dokter

METODE SOAP DAN PEMBAHASAN

4.1 Subjektif dan Objektif

Objektif
Tanggal Subjektif
TD Nadi Respirasi Suhu

(mmHg) (x/menit) (x/menit)

27 des 2019 Sesak 136/80 90 28

28 des 2019 Sesak, lemas, mual 140/80 91 26

29 des 2019 Sesak, lemas, mual, muntah, 130/90 85 22 normal


udeem, anemis, pola ADL
dibantu

30 des 2019 Sesak berulang, lemas 140/90 85 21

31 des 2019 Sesak, lemah, lemas 157/80 80 22

Tabel 4.1 Perkembangan Terapi Pengobatan Harian Pasien

4.2 Objektif (Data Laboratorium)

Pemeriksaan Pasien
Parameter Nilai Normal
26 des 27 des 28 des 29 des 30 31 des
63

des

1.Hematologi
Hb 12 – 16 g/DI 9,0 - - - - -

Het 36 – 47 % 26 % - - - - -

Eritrosit 3,6 – 5,8 juta/uL 2,76 - - - - -

Leukosit 4400 – 11300/mm 7,150 - - - - -

Trombosit 150000 – 29000 - - - - -


400000/mm3 0

MCV 26 – 34 pg - - - - - -

MCHC 32 – 36 % - - - - - -

Basofil 0,1 – 1 % - - - - - -

Eosinofil 1–6% - - - - - -

Batang 3–5% - - - - - -

Segmen 40 – 70 % - - - - - -

Limfosit 30 – 45 % - - - - - -

Monosit 2 – 10 % - - - - - -

2. Kimia Klinik

GDS <140 mg/dL - - - - - -

GD 2 Jam PP <130 mg/dL 305 - - - - -

Ureum 6 – 20 mg/dL 229 - - - - -

Kreatinin 0,5 – 1,3mg/dL 7,5 - - - - -


64

Natrium 135 – 145 mEq - - - - - -

Kalium 3,5 – 5,5 mmol/L - - - - - -

Kalsium 4,7 – 5,2 mEq - - - - - -

Magnesium 1,70 – 2,55 - - - - - -

Kolesterol <200 mg/dL - - - - - -


total

Kolesterol >45 mg/dL - - - - - -


HDL

Kolesterol <155 mg/dL - - - - - -


LDL

Trigliserida <135 mg/dL - - - - - -

Tabel 4.2 Objektif (Data Laboratorium)

Perhitungan GFR dan Clcr Metode Cokroft – Gault

Perhitungan GFR dan Clcr = (140 – usia) x BB x 0,85 (untuk wanita)

Clcr (ml/menit) 72 x Scr

= (140 - 62) x 54 x 0,85

72 x 7,5

= 6,63 ml/menit
65

Hasil Perhitungan GFR dan Clcr

Tanggal 26 desember 2019

Serum kreatinin (mg/dL) 7,5

eGFR (ml/menit) 6,63

4.3 Analisis Subjektif

DATA KLINIK NILAI Pemeriksaan Pasien (tanggal)


NORMAL
27 des 28 des 29 des 30 des 31 des

Tekanan Darah Pasien <140/90 136/80 140/80 130/90 140/90 157/80


mmHg

Nadi 80 – 100 90 91 85 90 80
x/menit

Respirasi (RR) 18 – 22 28 26 22 29 22
x/menit

Suhu 0C 36 – 37 36,7 37 37 36,5 37

Tabel 4.3 Rekapitulasi Pemeriksaan Fisik Pasien

Keterangan :

Nilai Normal Tekanan Darah : 140/90 mmHg

Nilai Normal Nadi : 80 – 100 x/menit

Nilai Normal Respirasi : 18 – 22 x/menit

Nilai Normal Suhu Tubuh : 36 – 37 0


66

4.4 Catatan Terapi Pasien

Tanggal
Nama Obat Dosis Rute
27 des 28 des 29 des 30 des 31 des

Ondansetron inj 3 x 8 gr Iv √ √ √ √ √

Furosemide 2 x 2 amp Iv √ √ √ √ √

Ranitidin 2 x 1 amp Iv √ √ √ √ √

Ksr 1x1 p.o √ √ √ √ √

Amlodipin 5mg 1x1 p.o √ √ √ √ √

Nonemi 1x1 p.o √ √ √ √ √

Betahistin 3x1 p.o √ √ √ √ √

Candesartan 8mg 1x1 p.o √ √ √ √ √

CaCO3 3x1 p.o √ √ √ √ √

Allopurinol 100mg 1x1 p.o - - - √ √

Ketorolac inj 2x1 Iv - - - √ √

Tabel 4.4 Catatan Terapi Pasien


67

4.5 Assesment (Analisis Farmasi Klinik)

a. Kajian Dosis dan Profil Farmakokinetik Obat (AHFS, 2011 &Medscape,


Drug.com)

Nama Obat Dosis Literatur Dosis Indikasi ESO Keterangan


yang
diberik
an

Ondansetron 4 mg dosis 3 x 8 Mual dan Diare atau Sesuai


tunggal dengan mg muntah sembelit.
injeksi iv Merasa lelah
atau capek,
demam, sakit
kepala, pusing

Furosemide Edema : 40-80 Awal iv Edema Hipokalemia, Sesuai


mg per hari pada 2 x 2 disebabkan hiperurisemia
pagi hari sebagai ampul kegagalan
dosis tunggal jantung
68

disuntikkan iv sirosis hati


atau im . dan
penyakit
Pasien gagal
ginjal
jantung dengan
gangguan ginjal
awal 1,25 mg/hari
dosis dapat
ditingkatkan
hingga 2x sehari
sampai dosis
maksimum
(tergantung pada
respon klinis
pasien)

Ranitidin im : 50 mg (2ml) 2 x 1 Hipersekre Konstipasi, Sesuai


tiap 6-8 jam ampul si sakit kepala
patologis
iv : 50mg
diencerkan
sampai 20ml dan
diberikan selama
tidak kurang dari
2 menit dapat
diulang 6-8jam

KSR 1 x 1 Untuk Ruam, gatal- Sesuai


tab mencegah gatal, bengkak,
atau melepuh sesak
mengobati di dada atau di
kadar tenggorokan
kalium
69

dalam
darah yang
rendah
(hipokalem
ia)

Amlodipin Hipertensi 1 x 1 Untuk Edema, Sesuai


tab menurunka gangguan tidur
Awal 1 x 5 mg/
n tekanan
hari dosis
darah
maksimal 10
mg/hari

Nonemi 1 tablet diberikan 1 x 1 Pencegaha Mual, nyeri Sesuai


1 – 3x sehari tab n dan epigastrum,
pengobata konstipasi,
n anemia perubahan
dan warna tinja
defisiensi
besi

Betahistin 1 – 2 tab (6 – 12 3 x 1 Vertigo Gangguan Sesuai


mg) diberikan 3x tab dan pusing gastrointestinal,
sehari pada ruam kulit,
penyakit gatal
meniere,
sindrom
meniere
dan vertigo
perifer

Candesartan Hipertensi 1 x 1 ARB Hipotensi, Sesuai


tab sebagai hiperkalemia,
Awal : 1 x 8 mg,
70

gangguan fungsi alternatif dapat terjadi


ginjal 1 x 4 dari ACEi pada keadaan
mg/hari, dosis dalam tertentu seperti
penunjang lazim tatalaksana insifusiensi
1 x 8 mg/hari gagal ginjal
jantung
Gagal jantung
atau
Awal 1 x 4 nefropati
mg/hari, akibat
tingkatkan diabetes
sedikitnya
interval 2 minggu
sampai target 32
mg sekali sehari
atau dosis
maksimal yang
masih dapat
ditoleransi

CaCO3 1 tablet per hari 3 x 1 Suplemen Hiperkalsemia, Sesuai


tab untuk bradikardia,
hipokalse aritmia,
mia atau anoreksia,
kondisi lemas, mual,
dimana muntah,
kebutuhan polidipsia,
kalsium poliuria
meningkat
misalnya
pada
kehamilan
71

dan laktasi

Allopurinol Dosis minimum 1 x 1 Dapat Mual, muntah, Sesuai


100 – 200 tablet menurunka ruam
mg/hari n kadar
asam urat,
Dosis maksimum
800 mg/hari

Ketorolak Iv : 30 mg untuk 2 x 1 Sebagai Sakit kepala, Sesuai


dosis tunggal atau amp analgetik dispepsia, mual
30 mg per 6 jam . dan anti
tidak melebihi inflamasi
batas 120 mg/hari

Im : 60 mg untuk
dosis tunggal atau
30 mg per 6 jam .
tidak melebihi
batas 120 mg/hari

p.o : 20 mg
setelah
pemakaian iv
atau im terapi,
kemudian 10 mg
per 4 – 6 jam,
tidak melebihi
batas 40 mg/hari

4.5 Kajian Dosis dan Profil Farmakokinetik Obat (AHFS, 2011 & Medscape,
drug.com)
Ketorolak
Allopurinol
72

CaCO3
Candesartan
Betahistin
Nonemi
Amlodipin 5mg
KSR
Ranitidin
Furosemide

b. Kajian Interaksi Obat


Ondansetron

Amlodipin 5mg
Nama obat

Ondansetron

Furosemide

Betahistin
Ranitidin

Nonemi
KSR
73

Candesartan

CaCO3

Allopurinol

ketorolak

Tabel 4.6 Kajian Interaksi Obat (AHFS, 2011 & Medscape, drug.com)

Keterangan

Interaksi obat yang terjadi :

1. Interkasi KSR dengan amlodipine mengurangi efek amlodipine


2. Interaksi candesartan dengan furosemide mengurangi kadar kalium dan
candesartan meningkat
3. Interaksi furosemide dengan CaCO3 menurunkan kadar CaCO3
4. Interaksi CaCO3 dengan amlodipine mengurangi efek amlodipine
5. Interaksi allopurinol dengan CaCO3 menurunkan kadar allopurinol
6. Interaksi ketorolak dengan furosemide mengurangi efek furosemide
7. Interaksi ketorolak dengan candesartan keduanya meningkatkan kalium
serum
d. Analisis DRp’s
No Jenis DRP’s Penyebab DRP’s Tindak Lanjut DRP’s

1. Obat tanpa indikasi Ada obat yang diberikan Konsultasikan kepada


kepada pasien tetapi tidak dokter sehingga dokter
ada indikasi penyakitnya menghentikan obat
yaitu pemberian obat tersebut atau mengganti
Allopurinol obat tersebut dengan obat
yang lebih aman dan
sesuai indikasi penyakit
74

pasien

2. Indikasi tanpa obat Tidak ada indikasi yang


tidak terobati

3. Obat tidak sesuai Obat sesuai

4. Dosis kurang Tidak ada kasus kurang


dosis

5. Dosis berlebih Tidak ada kasus dosis


berlebih

6. Reaksi yang tidak Tidak ada reaksi yang tidak


diinginkan diinginkan pada si pasien

7. Interaksi obat  Interaksi furosemide  Pemantauan kadar


dengan KSR kalium
menurunkan kadar  Pemantauan
KSR tekanan darah
 Interaksi KSR
dengan amlodipine
mengurangi efek
amlodipine
 Interaksi candesartan
dengan furosemide
mengurangi kadar
kalium dan
candesartan
meningkat
 Interaksi furosemide
dengan CaCO3
menurunkan kadar
75

CaCO3
 Interaksi CaCO3
dengan amlodipine
mengurangi efek
amlodipine
 Interaksi allopurinol
dengan CaCO3
menurunkan kadar
allopurinol
 Interaksi ketorolak
dengan furosemide
mengurangi efek
furosemide
 Interaksi ketorolak
dengan candesartan
keduanya
meningkatkan
kalium serum

Tabel 4.7 Drug Related Problems

4.6 PLAN
1. Pengaturan waktu pemberian obat yang digunakan secara bersamaan
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya interaksi obat .
2. Penggunaan obat diuretik sebaiknya diminum pagi hari karena efek
sampingnya hiperurisemia agar tidak mengganggu aktivitas pasien .
3. Pengontrolan kadar elektrolit (Na, Ca dan Mg) akibat dari penggunaan
obat diuretik .
76

4. Monitoring tekanan darah pasien .

4.7 PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien seorang wanita usia 62 tahun, BB 54 kg
datang diantar oleh keluarganya pada tanggal 27 desember 2019 dengan
keluhan sesak nafas, bengkak pada kedua kaki sejak 4 hari lalu, mual,
muntah dan nyeri ulu hati .
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit,
sesak nafas, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg,
frekuensi nadi 68x/menit, respirasi 24x/menit, shu 36,70C dengan berat
badan 54 kg. Berdasarkan klasifikasi hipertensi menurut JNC 8 pasien
tersebut masuk kedalam kategori prehipertensi dimana tekanan darahnya
130/80 mmHg .
Pada pasien CKD terjadi anemia (penurunan Hb, RBC dan Hct)
dikarenakan berkurangnya produksi hormon eritropoietin oleh medula
ginjal yang penting dalam eritropoiesis di sumsum tulang (Ineck dkk,
2008). Anemia pada penderita CKD ditunjukkan dengan keluhan berupa
lemah, letih, lesu dan temuan hasil cek laboratorium berupa penurunan Hb
yaitu 7-10 g/dL dimana nilai tersebut masih dikatakan anemia pada pasien
CKD. Untuk mengatasi anemia, terapi yang diterima pasien adalah
nonemi. Selain itu pasien tersebut diberi obat anti emetik yaitu
ondansetron untuk mengurangi rasa mual, muntah dan pasien diberi
ranitidin yang merupakan obat golongan antihistamin H2 dimana obat
golongan ini bekerja dengan cara memblok reseptor H2 histamin yang
berperan dalam merangsang dan melepaskan zat asam pada lambung.
Dengan dihambatnya H2 histamin, kadar asam di lambung dapat
diturunkan sehingga dapat mengurangi rasa nyeri pada ulu hati.
Antihipertensi yang diberikan kepada pasien adalah amlodipin dan
candesartan . amlodipin merupakan obat antihipertensi golongan Calcium
Channel Blocker (CCB) yang bekerja secara langasung pada otot polos
pembuluh darah sehingga terjadi vasodilatasi arterial perifer yang dapat
77

menurunkan resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah (Lacy et


al., 2009). Penggunaan Calcium Channel Blocker golongan dihidropirin
aman bila digunakan bersama ACE inhibitor atau ARB (Angiotensin
Receptor Blocker) (NKF-KDOQI, 2007). Calcium Channel Blocker
mampu menghambat secara selektif pemasukan ion kalsium luar sel
kedalam membran sel miokardial, melalui saluran membran. Ion kalsium
memiliki peranan penting dalam memelihara fungsi jantung dan jaringan
otot polos vaskular. Pengurangan kadar kalsium dalam sel jantung dan sel
otot polos vaskular koroner akan menyebabkan vasodilatasi jaringan
tersebut. Akibatnya terjadi penurunan kecepatan denyut jantung,
penurunan kontraksi miokardial dan melambatnya konduksi
antriventrikular (Siswandono, 2000).
Selain itu diberikan juga obat candesartan yang merupakan obat
antihipertensi golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dimana obat
tersebut bersifat antagonis terhadap angiotensin II sehingga memiliki
mekanisme kerja yakni menduduki reseptor angiotensin II yang memiliki
sifat vasokontriksi. Oleh karena itu, tekanan darah dapat diturunkan
(Nafrialdi, 2011).
Kemudian juga diberikan furosemide untuk mengontrol tekanan
darah serta untuk mengatasi udeem pada pasien. Furosemide termasuk
kedalam golongan loop diuretik yang bekerja dengan cara menghambat
reabsorpsi elektrolit Na+,K+, Cl- di ansa henle asendens bagian epitel tebal,
dimana tempat kerjanya berada di permukaan sel epitel bagian luminal.
Perubahan hemodinamik ini akan menyebabkan turunnya reabsorpsi
cairan dan elektrolit di tubuli proksimal dan meningkatkan efek awal
diuresis sebagai tekanan darah menurun. Efek diuretiknya lebih kuat
daripada golongan tiazid. Oleh karena itu, diuretik kuat jarang digunakan
sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin > 2,5 mg/dL) (Nafradi, 2011).
Pada pasien dilakukan restriksi intake makanan yaitu dengan diet
tinggi karbohidrat, rendah protein, rendah garam. Pada nefropati, protein
78

dapat memperburuk kerusakan ginjal. Sedangkan natrium akan dapat


meningkatkan tekanan darah pasien dengan resistensi natrium dan air,
padahal tekanan darah pada nefropati harus terkontrol untuk mengurangi
penurunan laju GFR (Suzuki and Saruta,2004).
Selama dirawat di RSUD dr Slamet Garut pasien mengeluh sesak
nafas. Sesak nafas pada pasien dicurigai karena terjadinya peningkatan
ureum plasma pada pasien. Dari hasil laboratorium yang dilakukan di
RSUD dr Slamet Garut menunjukkan kadar ureum dan kreatinin yang
tinggi. Dari data tersebut menunjukkan pasien mengalami uremia,
tingginya kadar uremias dapat menimbulkan sesak nafas. Sesak nafas
adalah salah satu manifestasi yang muncul dari asidosis metabolik.
Penurunan kadar CO2 menyebabkan tubuh melakukan kompensasi dengan
pernafasan cepat untuk mengeluarkan CO2 (Palevsky, 2002).
Adanya akumulasi toksin-toksin yang diakibatkan karena
penurunan klirens kreatinin merupakan salah satu kriteria yang mendasari
dilakukannya tindakan hemodialisa (Sigh, 2000). Hemodialisa dilakukan
pada pasien CKD dengan klirens kreatinin yang menurun hingga antara 5-
10 ml/menit atau pada pasien yang tidak memberikan respon yang baik
terhadap terapi konservatif yang diberikan (Greene, 2008). Hemodialisa
merupakan salah satu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme
melalui membran semi permeabel atau yang disebut dialyzer. Sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peeredaran darah manusia itu dapat
berupa Natrium, Kalium, Hidrogen, Urea, Kreatinin, asam urat dan zat-zat
lain. Pada pasien ini setelah dilakukan perhitungan GFR dan clearance
didapatkan hasil klirens kreatinin 6,63 ml/menit yang menunjukkan bahwa
pasien tersebut memerlukan terapi pengganti ginjal atau hemodialisis rutin
. Pada tanggal 27 desember 2019 pasien menjalani hemodialisa rutin.
79

4.8 Komunikasi, Informasi dan Edukasi KIE (Konseling, Informasi


dan edukasi)

KIE pada pasien


1. Memberikan informasi mengenai penggunaan obat yang benar
2. Memberikan informasi mengenai penyakit untuk meningkatkan
kepatuhan
3. Memberikan informasi agar pasien selalu mengontrol kadar tekanan
darahnya
4. Memberitahukan kepada dokter jika mengalami keluhan setelah
menggunakan obat
5. Menjaga kondisi pasien dengan pemberian nutrisi yang cukup
6. Memberikan informasi kepada pasien bahwa penggunaan furosemide
dapat menyebabkan seringnya urinasi
7. Memberikan informasi pada pasien untuk menggunakan obat sesuai
dengan yang telah ditentukan oleh dokter, tidak boleh memberhentikan
pengobatan secara mendadak.

KIE pada Dokter

1. Memberikan informasi mengenai efek samping obat, interaksi antara


obat obat yang digunakan dalam terapi
2. Efek samping dari furosemide berupa hiperurisemia, hipokalemia,
sakit kepala
3. Memantau hasil laboratorium untuk mengetahui terapi yang diberikan
sehingga pemilihannya tepat

KIE pada perawat


80

1. Memantau penggunaan obat dan memastikan obatnya diminum tepat


waktu
2. Memantau reaksi yang ditimbulkan setelah penggunaan obat
3. Memberikan informasi adanya efek samping obat
4. Memberikan informasi adanya interaksi pada penggunaan obat secara
bersamaan
5. Monitoring tekanan darah, pernafasan, nadi dan suhu pasien serta
perkembangan kesehatan pasien.
81

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis DRP’s yang telah dilakukan pada seorang


pasien penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) di ruang rawat inap intan sartika
Rumah Sakir dr. Slamet Garut dapat disimpulkan bahwa telah terjadi DRP’s pada
kasus ini yaitu obat tanpa indikasi dengan diberikannya Allopurinol pada pasien
tersebut. Berdasarkan analisis interaksi obat dapat ditarik kesimpulan bahwa telah
terjadi interaksi furosemide dengan KSR menurunkan kadar KSR dengan
meningkatkan pembersihan ginjal, interaksi KSR dengan amlodipine mengurangi
efek amlodipine, interaksi candesartan dengan furosemide mengurangi kadar
kalium dan candesartan meningkat, interaksi furosemide dengan CaCO3
menurunkan kadar CaCO3, interaksi CaCO3 dengan amlodipine mengurangi efek
amlodipine , interaksi allopurinol dengan CaCO3 menurunkan kadar allopurinol,
interaksi ketorolak dengan furosemide mengurangi efek furosemide, interaksi
ketorolak dengan candesartan keduanya meningkatkan kalium serum.

5.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan terkait pemantauan terapi obat untuk pasien
yaitu :

1. Dapat dianjurkan diet karbohidrat, rendah protein dan rendah


garam . Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kalori
pasien, namun tidak memperburuk kondisi CKD dan hipokalemia
pasien.
82

2. Memberitahukan kepada perawat, dokter, apoteker dan para medis


lain jika mengalami kelemahan otot, denyut jantung melambat atau
kejang otot, otot berkedut, rasa tidak enak seperti pusing, keringat
dingin, jantung berdebar, demam, menggigil atau gatal – gatal
setelah mendapat obat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Joy, M. S., Kshirsagar, A., Franceschini, N. 2005. Chronic Kidney


Disease. Dipiro, J.T., Talbert, L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G.,
Posey, L.M. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 6th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Brenner, B.M., and Lazarus, J.M., 1995. Gagal Ginjal Kronik. In: Asdie,
A.H., Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Ed. 13th, Jakarta:EGC, p.
1437-1442
3. Palevsky, P.M., Matzke, G.R. 2002. Acid Base Disorder. In: Dipiro, J.T.,
(Eds.). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 5th Edition, St
Louise: McGraw-Hill Companies.
4. Chobanian, A.V., et al., 2004. The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure, US.: Department of Health and Human Services, pp. 37-
38.
5. Price, S. A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Edisi 6 Volume 2, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
6. Greene, Russel J.2008. Pathology and Therapeutics for Pharmacist Third
edition. UK: Pharmaceutical Press. Hal 939-942
7. Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., dan Lance, L.L., 2009-2010.
Drug Information Handbook, edisi ke 18, Lexi-Comp. Inc.
8. Siswandono dan Bambang Soekardjo. 2000. Kimia Medisinal Jilid 2.
Surabaya: Airlangga University Press. Hal 337-338.
83

9. Suzuki, H., Saruta, T., 2004. Kidney and Blood Pressure Regulation.
Tokyo: Karger.
10. www.Drugs.com diakses pada tanggal 2 januari 2020 pukul 09.32 wib
11. www.Medscape.com diakses pada tanggal 2 januari pukul 13.05 wib
12. Healthy hemodialysis patients : A Randomized Trial.Clin J Am Soc
Nephrol.2009;4: 726-33.
13. Prodjosudjadi, W. Suhardjono, A. End- Stage Renal Disease in Indonesia:
Treatment
14. Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(terjemahan, volume II). Jakarta: EGC;2001.
15. Thomas, N. Renal Nursing (2nd edition). London United Kingdom:
Elsevier Science ;2002.

Anda mungkin juga menyukai