Anda di halaman 1dari 72

MAKALAH

INTEGRITAS
EGO

Di Susun Oleh

KELOMPOK 9

1. Ati Kurniati 022.01.3972

2. Ermi Murniasih 022.01.3976

PROGRAM STUDI S1
KEPERAWATAN SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES MATARAM
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia serta taufik dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah tentang asuhan
keperawatan pada masalah integritas ego.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai asuhan keperawatan pada masalah system respirasi. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat.

Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami bagi siapapun yang membacanya. Dan
sekiranya dapat berguna bagi kami maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan mohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah ini.
BAB 1

A.INTEGRITAS EGO

1. Definisi Integritas Ego

Menurut Erikson (1982), integritas ego adalah hasil dari resolusi positif pada

kehidupan akhir. Integritas ego dipandang sebagai kunci untuk perkembangan

kepribadian yang harmonis dan individu memandang seluruh hidup mereka dengan

kepuasan. Kualitas ego yang muncul dari resolusi positif adalah kebijaksanaan.

Sebaliknya, putus asa adalah hasil dari resolusi negatif atau kurangnya resolusi pada

kehidupan akhir. Resolusi negatif ini memanifestasikan dirinya sebagai ketakutan akan

kematian, perasaan bahwa hidup ini terlalu singkat, dan depresi. Keputusasaan adalah

elemen dystonic terakhir dalam teori Erikson (1982).

Erikson (dalam Ryff, 1982) mengidentifikasikan beberapa aspek dalam integritas,

yaitu: integritas emosional, penerimaan terhadap suatu siklus kehidupan sebagai sesuatu

yang sudah seharusnya terjadi, bersahabat dengan masa lalu, mampu menyesuaikan diri

pada pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun mengecewakan, mencintai

kehidupan dan orang lain, dan yang terakhir mencapai spiritualitas dalam rangka

menghapuskan ketakutan akan kematian. Selain itu, aspek penting yang terdapat dalam

integritas adalah moralitas yang baik.


2. Proses Integrasi Ego

Maka integrasi ego itu sendiri juga meliputi bagaimana seseorang

menyatukan kembali pengalaman masa lalu, masa sekarang, dan

pandangannya terhadap masa depan.

proses integrasi ego subjek dilihat melalui penelusuran

keberhasilan ataupun krisis pada tahap – tahapan perkembangan

sebelumnya. Hal tersebut didasarkan oleh asumsi Erikson (1963) bahwa

Integrasi Ego merupakan buah dari tahap perkembangan sebelumnya.

Dimana keberhasilan pada suatu tahapan perkembangan mempengaruhi

keberhasilan dalam melalui tahapan perkembangan sebelumnya.

Logan (1986) menyatakan bahwa 8 teori perkembangan Erikson

dapat dilihat sebagai sebuah siklus yang terulang dua kali, yang pertama

dari tahap basic trust vs mistrust hingga identity vs role confusion, yang

kedua dari tahap identity vs role confusion hingga tahap ego integrity vs

despair. Siklus kedua merupakan siklus yang paling menentukan integritas

ego seseorang, karena integritas ego merupakan buah dari tahap identity

vs role confusion, intimacy vs isolation, dan generativity vs stagnation.

Maka dengan berdasarkan asumsi tersebut, peneliti akan melihat proses

integrasi ego subjek dengan melakukan peninjauan yang lebih luas dari

tahap sebelumnya, yaitu dari tahap identity vs role confusion.


3. Tahapan Perkembangan Psikososial Erikson

Menurut Keene (2006), delapan Tahapan Perkembangan yang

diciptakan oleh Erik Erikson telah banyak digunakan dan diterima secara

universal dalam menggambarkan tugas-tugas perkembangan yang terlibat

dalam pengembangan sosial dan emosional mulai dari anak-anak sampai

menjadi dewasa. Jika diibaratkan, teori psikososial Erikson ini seperti

suatu lintasan peluru (Sneed dan Whitbourne, 2003). Sehingga, setiap

individu pasti melaluinya. Keberhasihan dalam melalui tugas-tugas disuatu

tahap perkembangan ini mempengaruhi tahapan selanjutnya. Tahapan ini

berlaku secara universal, artinya tahap perkembangan dan krisis-krisis

yang akan dihadapi pada tahapan perkembangan tersebut akan dilalui oleh

semua orang di seluruh dunia. Tahap perkembangan Erikson ini akan

dilalui oleh semua orang di berbagai variasi kelompok (James and Zarrett,

2005).

Teori ini akan dipakai sebagai konsep kunci untuk menganalisis

data, setiap tahap perkembangan akan dijabarkan untuk menganalisis

proses terbentuknya integritas pada seseorang sebagai berikut (Feist and

Feist, 2008):

a. Basic Trust vs. Basic Mistrust (Percaya vs. Tidak Percaya)

Tahapan ini berlangsung pada awal kehidupan manusia, yaitu

pada bayi sejak lahir hingga kira-kira berusia satu tahun. Pada tahapan

ini anak sangat bergantung pada pengasuhnya sebagai sumber

kehidupannya. Anak membutuhkan pengasuhnya untuk memberikan


rasa aman, kenyamanan, kehangatan, dan yang memberikan makanan

ketika dia merasa lapar. Resolusi yang sukses akan membuat anak

mengembangkan kemampuan untuk mempercayai dan

mengembangkan harapan. Akan tetapi, resolusi yang gaga akan

membuat anak memiliki perasaan tidak aman dan selalu merasa curiga

pada lingkungannya, merasa bahwa dunia tidak dapat dipercaya

(Friedman dan Schustack, 2006:157).

b. Autonomy vs. Shame and Doubt ( Autonomi vs. Malu – Malu dan

Ragu)

Tahapan ini berkembang pada usia 1 hingga 3 tahun. Dalam

tahap perkembangan ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki

kontrol atas tubuhnya, terutama dalam mengontrol otot-ototnya. Peran

orang tua yaitu mengajarkan pada anak untuk mengontrol impuls –

impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Resolusi yang

sukses dalam tahap ini akan mengembangkan keinginan yang kuat dan

rasa bangga pada diri anak, serta anak dapat mengetahui perbedaan

antara benar dan salah, dan cenderung akan memilih yang menurutnya

benar (Friedman dan Schustack, 2006). Resolusi yang gagal akan

membuat anak mengembangkan perasaan selalu bersalah sehingga

anak akan merasa ragu untuk bertindak dan cenderung pemalu.

c. Initiative vs Guilty (Inisiatif vs. Rasa Bersalah)

Tahapan ini berkembang pada usia 4 – 5 tahun. Usia 4-5 tahun

adalah fase pengasuhan dengan memberikan dorongan kepada anak


untuk bereksperimen dengan bebas dalam lingkungannya, sehingga

anak akan memiliki inisiatif atau sebaliknya jika anak tidak

mendapatkan pengasuhan maka akan menjadi pasif dan

perkembangannya mengalami keterlambatan. Tugas orang tua dan

pendidik dalam hal ini adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa,

sehingga memungkinkan perkembangan berjalan sesuai usianya

(Herlina dkk, 2010). Resolusi yang berhasil akan membuat anak

mengembangkan rasa inisiatifnya sehingga memiliki inisiatif untuk

mengamil keputusan serta memiliki maksud dan tujuan dalam

tindakannya. Resolusi yang gagal akan membuat anak memiliki rasa

percaya diri yang rendah, tidak memiliki inisiatif untuk mengambil

keputusan, dan tidak memiliki maksud dan tujuan (Friedman dan

Schustack, 2006).

d. Industry vs. Inferiority (Produktif vs. Inferioritas)

Tahapan ini berkembang pada usia 6 – 11 tahun. Konsep pada

tahap ini serupa dengan konsep tahap laten Freud. Pada masa ini, anak

belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari

menyelesaikan tugas-tugasnya, terutama tugas akademis. Seorang

anak memiliki kepercayaan diri yang bertambah terhadap

kemampuannya sendiri untuk menjadi partisipan yang produktif

didalam lingkungan sosialnya. Resolusi yang berhasil membuat anak

menjadi tekun, rajin, serta memiliki kompetensi atau kecakapan

sehingga anak merasa mampu dan menguasai untuk melakukan


sesuatu. Resolusi yang gagal membuat anak memiliki perasaan

inferior dan merasa tidak mampu.

e. Identity vs Role Confusion (Indentitas vs. Kebingungan Identitas)

Tahapan ini berada pada kisaran usia 12 – 20 tahun. Erikson

melihat tahapan ini sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke

masa dewasa. Tahapan ini merupakan tahapan yang paling penting

dan paling berpengaruh karena remaja mulai bereksperimen dengan

berbagai macam peran yang berbeda, sambil mencoba

mengintegrasikan dengan identitas yang dia dapatkan dari tahapan-

tahapan perkembangan yang telah dilalui sebelumnya. Resolusi yang

berhasil akan membuat remaja memiliki dan mengetahui identitas dan

peran-peran dalam kehidupannya serta mampu menyatukan peran-

peran yang dimiliki menjadi identitas tunggal dirinya. Resolusi yang

gagal akan membuat remaja mengalami krisis identitas yang

menyebabkan remaja tidak yakin dan tidak memiliki gambaran yang

jelas dalam kehidupan, kemampuan, dan keinginan dalam hidupnya.

f. Intimacy vs. Isolation (Keintiman vs. Keterkucilan)

Tahapan ini berlangsung pada usia 20 – 24 tahun. Pada

tahapan ini seseorang memiliki keinginan untuk memiliki relasi

percintaan dengan orang lain dan memiliki komitmen dasar dalam

bekerjasama dan kemudian mampu konsisten dengan komitmennya.


Orang dewasa awal mulai membuka dirinya untuk berinteraksi dengan

orang lain dan membiarkan orang lain mengenal dirinya dalam cara

yang intim. Resolusi yang sukses akan membuat individu dapat

menjalin relasi dengan orang lain serta membentuk ikatan sosial.

Resolusi yang gagal akan membuat individu cenderung menarik diri

dari pergaulan, menghindari hubungan yang dekat, dan

mengembangkan perasaan terkucilkan (Herngenhahn, 1990).

g. Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs. Kemandegan)

Tahap ini berkembang pada usia dewasa yaitu pada kisaran

usia 25 – 64 tahun. Individu mulai memiliki intensi untuk

membagikan diri kepada orang lain. Resolusi yang berhasil akan

membuat individu mengembangkan generatifitas, sehingga dia akan

memiliki perhatian yang lebih besar atau perhatian yang lebih luas

yang diwarnai oleh cinta, kebutuhan, atau kebetulan (Erikson, 1964).

Resolusi yang gagal menyebabkan individu memiliki perasaan bahwa

hidup ini tidak berharga, tidak berguna, atau membosankan. Individu

seperti ini mungkin berhasil memperoleh tujuan-tujuan duniawi, tetapi

dibalik kesuksesan itu hidupnya terasa tidak berarti dan gagal.

h. Ego Integrity vs. Despair (Integritas Ego vs. Keputusasaan)

Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan

hidup manusia dan merupakan fokus dari penelitian ini. Tahap ini

berkembang pada masa dewasa akhir yaitu pada kisaran usia 65 –

kematian. Pada tahap ini, individu melihat dan merefleksikan kembali


keseluruhan hidupnya. Resolusi yang berhasil menyebabkan individu

memiliki Integritas Ego sehingga mereka mampu beradaptasi kepada

kesulitan-kesulitan dan penderitaan hidupnya seperti halnya menang

dari situasi-situasi buruk dan penderitaan yang menimpa hidupnya.

Sedangkan resolusi yang gagal akan menyebabkan individu memiliki

rasa putus asa dan kecewa pada kehidupan dan masa lalunya.

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi Integritas Ego

a. Spiritualitas

Nilai-nilai religius yang diinternalisiasi menjadi sangat

penting terutama dalam mempengaruhi pencapaian integritas ego

seseorang. Hubungan dengan komunitas kekuatan diri, dan

hubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari diri adalah nilai-

nilai yang paling umum yang dikenalkan dalam tradisi spiritualitas.

Pencarian makna hidup adalah hal yang paling penting yang

diajarkan agama yang relevan dengan kesehatan. Frankl (1959) dan

Bown dan Williams (1993) menyatakan bahwa pencarian makna itu

sendiri merupakan bentuk dari identitas dan merupakan sumber

kekuatan dibalik intelektualitas dan emosi. Selain itu, keyakinan

terhadap suatu agama dapat mempengaruhi cara pandang dan sikap

seseorang.
Worthington at all. (1996) memberikan tujuh penjelasan

penting mengenai mengapa kematangan spiritualitas membuat

seseorang memiliki pribadi yang lebih matang dan terkait dengan

psychological well-being dan dapat menjadi akses bagi lanjut usia

untuk mencapai penuaan yang sukses. Tujuh alasan tersebut adalah:

1. Spiritualitas menyediakan serangkaian jawaban bahwa tidak hanya

kehidupan yang berharga, namun kematian juga sesuatu yang

berharga.

2. Spiritualitas menstimulasi perasaan optimis dan memunculkan

harapan hidup yang positif di segala situasi sulit maupun

menakutkan.

3. Pada situasi dimana seseorang kehilangan kontrol diri pada suatu

lingkungan, koneksi spiritual menyediakan perasaan pentingnya

akan kontrol untuk mengatasi hal-hal keduniawian.

4. Jalan spiritual menyarankan gaya hidup yang meningkatkan

kesehatan mental dan fisik yang lebih baik. Misalnya, tidak minum

minuman keras, tidak makan terlalu banyak, menahan diri dari

amarah, mensyukuri hidup, menyayangi sesama dan makhluk

hidup, dan lain-lain.

5. Kebijaksanaan spiritualitas memberikan norma-norma sosial yang

positif dimana hal tersebut dapat meningkatkan penerimaan,

dukungan, dan nurturance satu sama lain.


6. Komunitas spiritual memberikan dukungan ketika seseorang

membutuhkan bantuan dan mempertanyakan sesuatu.

7. Kematangan spiritualitas menjadi akar dari kepercayaan yang

paling dalam atau penting diantara nilai-nilai yang lainnya.

Spritualitas di atas bahwa dapat mendorong memberikan

makna yang positif dalam hidup. Artinya, tidak hanya pada

pengalaman yang menyenangkan saja, namun termasuk juga

pengalaman-pengalaman menyedihkan ataupun menyakitkan dalam

keseluruhan hidup seseorang. Untuk itu, peran nilai-nilai spiritualitas

juga penting untuk dilihat untuk menjelaskan proses integrasi ego

pada lansia. Maka dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

lansia yang mencapai integritas ego cenderung memiliki pemaknaan

yang positif pada serangkaian kisah kehidupannya.

Spiritualitas dibuktikan memiliki peranan yang penting dan

korelasi yang kuat dalam psychological well-being lansia. Aldert dan

Koenig (2007), menyatakan melalui hasil temuannya bahwa lansia

yang memiliki orientasi religious dari dalam dirinya memiliki tingkat

psychological well-being yang lebih tinggi dari pada lansia yang tidak

memiliki orientasi religious. Penelitian Aldert dan Koenig (2007) juga

menunjukan bahwa kematangan spiritualitas membuat lansia lebih


sehat secara psikologis. Hal ini dijelaskan karena spiritualitas

membuat seseorang memiliki orientasi dan tujuan hidup yang lebih

optimis.

Agama yang yang dianut seseorang memiliki potensi yang

besar untuk memperngaruhi cara berpikir dan berperilaku seseorang,

yang memungkinkan untuk mempengaruhi variable psikologis, sosial

dan fisik (Aldert & Koenig, 2007). Hal ini juga didukung oleh

beberapa riset lain. Seperti pada penelitian Tomer & Eliason (2000)

yang menyatakan bahwa ketaatan beragama memiliki korelasi positif

terhadap perasaan kebermaknaan akan hidup pada lansia.

Kebermaknaan hidup menimbulkan kebahagiaan, kepuasan hidup,

psychological well-being, dan pemulihan terhadap kedukaan dan

perasaan kehilangan (Edmonds & Hooker, 1992). Sedangkan Wong

(2000), menyatakan bahwa ciri khas khusus pada lansia yang

mengalami penuaan yang sukses adalah mereka memiliki semangat

hidup dan perasaan yang jelas akan kebermaknaan dan tujuan hidup,

yang mana meliputi sikap positif terhadap kehidupan maupun

kematian.

Integritas ego memiliki memiliki beberapa aspek yang sama

yang ada dalam psychological well-being. Pada pembahasan

sebelumnya, telah dipaparkan bahwa agama memiliki korelasi secara

positif terhadap psychology well-being. Ada beberapa penelitian

penting yang ditujukan untuk menguji pengaruh yang bervariasi dari


kegiatan – kegiatan keagamaan seperti berdoa secara pribadi, pergi ke

gereja, dan studi alkitab terkait dengan depresi, kepuasan hidup,

kesehatan fisik, dan relasi sosial (Ellison, 1991; Koenig, George, &

Titus, 2004). Aktifitas – aktifitas tersebut juga terbukti memiliki

pengaruh agar seseorang dapat mencapai psychological well-being.

Meski aktifitas keagaaman memiliki peranan penting, namun

perlu dipertimbangkan pula mengenai aktifitas lain yang mungkin saja

memiliki pengaruh terhadap integritas ego.

b. Interaksi Sosial

Banyak studi yang menunjukkan bahwa dukungan sosial (sosial

support) sangat berperan pada kesehatan mental. Pada kehidupan lansia

sendiri, dukungan sosial dapat membantu lansia mengatasi berbagai

stress yang muncul pada masa dewasa akhir seperti kematian pasangan

hidup, stress pasca pensiun, penyakit berat, dll. Lansia yang mendapat

dukungan sosial mampu memiliki harapan hidup yang lebih tinggi,

lebih bahagia, dan mengurangi depresi (Shinn, Lehmann, dan Wong,

1984). Kedua hal tersebut merupakan beberapa indikator dari penuaan

yang sukses.

Syarat untuk mendapatakan dukungan sosial adalah melakukan

interaksi sosial. Akan tetapi, interaksi sosial yang tidak tepat bisa

memiliki dampak negatif psychological well-being (Shinn, Lehmann,

dan Wong, 1984). Alih – alih untuk mengatasi stress, terkadang


interaksi sosial dengan teman yang bertujuan untuk mencari dukungan

sosial kadang dapat menciptakan jaringan stress (network stress).

Seseorang terkadang akan merasa seperti mengalami penderitaan yang

sama jika melihat temannya menderita (Eckenrode dan Gore, 1981).

Tidak semua interaksi sosial ternyata mendatangkan dukungan

sosial yang bermanfaat terhadap psychological well-being. Shinn,

Lehmann, dan Wong (1984) menyarankan bahwa interaksi sosial yang

membantu orang untuk mencapai psychological well-being adalah

interaksi sosial yang mendatangkan dukungan sosial. Orang harus

merasa aman, diterima, didukung, dan didengarkan. Selain itu penting

juga untuk menjadi penyedia dukungan sosial bagi orang lain. Artinya

selain mencari dukungan sosial, juga perlu untuk menjadi pribadi yang

hangat, suportif, dan empatik kepada teman yang membutuhkan support

(Eckenrode dan Gore, 1981).

c. Kenangan (Reminiscence)

Banyak studi di barat tengah menyelidiki kenangan

(reminiscence) sebagai salah satu terapi maupun suatu tanda pada

penuaan yang sukses. Jenis – jenis kenangan akan masa lalupun

beragam. Beberapa diantaranya terbukti terasosiasi dengan penuaan

sukses yang juga masih melingkupi integritas ego.

Paul T.P Wong dan Lisa M. Watt (1991), mengklasifikasikan

kenangan (reminiscence) ke dalam 6 tipe, yaitu:


1. Integratif

Fungsi utama dari integrative reminiscence adalah untuk

mencapai perasaan berharga (sense of self-worth), berhubungan

(coherence), dan Rekonsiliasi dengan menghargai masa lalu

seseorang (Wong dan Watt, 1991). Karakteristik dari integrative

reminiscence adalah pernyataan yang mengindikasikan penerimaan

akan masa lalu sebagai sesuatu yang bermanfaat, mendamaikan

ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, dan penerimaan akan

pengalaman hidup yang negatif dan menyelesaikan konflik pada

masa lalu (Butler, 1963).

Teori ini mirip dengan teori Butler (1963) mengenai life

review. Butler (1963) mengemukakan bahwa para lansia melihat

kembali kedalam masa lalunya sebagai persiapan menghadapi

kematian. Pada dasarnya tidak semua lansia yang melihat kembali ke

masa lalunya akan terintegrasi. Beberapa akan merasa bersalah,

gagal, dan depresi (Butler, 1963). Meskipun demikian, untuk

mengatakan bahwa seorang lansia dapat mencapai integritas,

tinjauan kembali akan masa lalu (life-review) harus berkontribusi

kepada penuaan yang sukses (successful aging). Butler (1963),

menyatakan bahwa life review yang mengarah ke penuaan yang

sukses adalah life review yang meningkatkan pemahaman diri,

pemaknaan personal, harga diri (self esteem), dan kepuasan hidup.


2. Instrumental

Instrumental reminiscence meningkatkan persepsi subjektif

terhadap kompetensi dan kontinuitas (Lieberman dan Tobin, 1983).

Karakteristik dari Instrumental reminiscence adalah rekoleksi dari

rencana – rencana masa lalu, aktifitas - aktifitas yang memiliki

tujuan dan pencapaian tujuan – tujuan yang diharapkan, usaha masa

lalu untuk mengatasi kesulitan – keesulitan, dan mengambil hikmah

dari pengalaman masa lalu untuk menyelesaikan masalah masa kini

(Wong dan Watt, 1991). Tipe reminiscence ini melibatkan

penggunaan problem-focused coping. Hal ini membuat seorang

lansia memiliki perasaan akan kontrol diri yang kuat yang memiliki

peranan penting untuk mengatasi distress emosional, meningkatkan

tingkat kepuasan hidup, dan kesehatan yang lebih baik.

3. Transmissive

Transmissive reminiscence diindikasikan melalui budaya,

nilai – nilai tradisi dan kebijaksanaan, dan pembelajaran –

pembelajaran dari masa lalu. Rhudick (dalam Wong dan Watt,

1991), pernah mengobservasi bahwa dengan menceritakan

reminiscence memiliki pengaruh positif pada adaptasi karena hal ini

akan membuat seseorang berfungsi secara sosial.


4. Naratif

Kenangan Naratif ini lebih pada dasarnya merupakan

rekoleksi deskriptif daripada interpretif (Wong dan Watt, 1991).

Kenangan – kenangan ini meliputi kenangan mengenai

aoutobiografi, cerita sederhana mengenai masa lalu tanpa evaluasia

ataupun interpretasi, dan pernyataan – pernyataan yang tidak

termasuk kedalam tipe kenangan lainnya.

5. Escapist

Escapist reminiscence dicirikan dengan adanya tendensi

untuk mengagungkan masa lalu dan mencela masa kini (Rhudick

dalam Watt dan Wong, 1991). Pernyataan – pernyataan yang sering

muncul pada lansia pada tipe reminiscence ini adalah cerita – cerita

yang menyombongkan pencapaian – pencapaian masa lalu,

membesar – besarkan kegembiraan – kegembiraan pada masa lalu,

dan pengungkapan adanya keinginan untuk kembali pada masa lalu

yang menyenangkan tersebut. Hal ini membuat lansia akan memiliki

tingkat kepuasaan hidup yang rendah, karena cenderung menggerutu

akan kondisi saat ini dan membandingkan dengan kondisi masa lalu

yang membanggakan.

6. Obssesive

Obsessive reminiscence adalah tipe yang paling memberikan

dampak negatif dalam pencapaian penuaan yang sukses. Kenangan

yang obsesif pada dasarnya berasal dari perasaan bersalah akan suatu
masa lalu (Wong dan Watr, 1991). Ini adalah sebuah tanda dari

kegagalan untuk mengintegrasikan problematika yang terjadi pada

masa lalu. Tanda – tanda dari kenangan obsessive adalah munculnya

pernyataan mengenai penyesalan, perasaan bersalah, kebencian, dan

keputus-asaan (despair) akan masa lalu.

Meskipun terdapat beberapa jenis kenangan (reminiscence),

namun hanya beberapa saja yang terbukti terasosiasi dengan penuaan

yang sukses (successful aging). Studi yang dilakukan oleh Wong dan

Watt (1991), melaporkan hasil bahwa dari sekian tipe taksonomi dari

kenangan (reminiscence), hanya tipe kenangan yang integratif dan

instrumentalah yang dimiliki oleh lansia yang mencapai penuaan

yang sukses.

B. PSIKOLOGI NARASI DALAM STUDI INTEGRITAS EGO

Psikologi sebagai ilmu yang bertujuan memahami, menjelaskan, dan

meramalkan tingkah laku manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya

yang melingkupi para peneliti dan orang-orang yang diteliti. Smith (2008)

mendefinisikan narasi sebagai interpretasi terorganisir atas sekuensi peristiwa.

Bentuk peristiwa berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga

tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu.

Menurut Prince (dalam Takwin, 2007), psikologi naratif merupakan salah satu

dari banyak ranah penelitian baru yang memperluas kajian naratologikal

tentang bagaimana cerita-cerita membentuk hidup manusia, khususnya dalam


kajian psikologi naratif pada kajian bagaimana cerita-cerita membentuk diri

dan kepribadian seseorang yang pada akhirnya membentuk kehidupannya.

Narasi tidak muncul begitu saja, tetapi didorong dan dibentuk oleh

suatu konteks sosial tertentu. Untuk memahami psikologi naratif lebih jauh,

perlu dipahami apa itu naratif. Naratif adalah menyimak, menyampaikan atau

menyampaikan ulang cerita-cerita tentang orang-orang serta masalah-masalah

kehidupannya. Meskipun sang narator menceritakan kisah, karakter dari kisah

tersebut tergantung kepada siapa kisah tersebut diceritakan, dihubungkan

antara narrator dan audien, serta konteks sosial dan kultural yang lebih luas

(Murray, 1997).

Penelitian ini menggunakan pendekatan naratif dalam menganalisis

dan melihat proses integritas ego. Naratif dapat dideskripsikan sebagai

interpretasi yang terorganisir terhadap serangkaian kejadian (Smith, 2008).

Menurut Smith (2008), analisis naratif tidak seperti analisis kualitatif yang lain,

yang memilah interview ke dalam tema-tema. Tujuan analisis naratif adalah

hendak memperoleh laporan naratif secara penuh, untuk memeriksa struktur

dan hubungannya dengan konteks yang lebih luas.

Melalui konsepsi identitas naratif kita dapat "memahami manusia

sebagai pembentuk kisahnya sendiri dalam interaksinya dengan manusia lain

dalam aliran waktu" (Takwin, 2007). Menurut Bruner (dalam Takwin, 2007),

cerita merupakan dasar dari proses penciptaan makna dan satu-satunya cara

untuk menjelaskan waktu yang dihayati seseorang dalam hidupnya adalah

dengan menggunakan bentuk naratif. Cerita bahkan merupakan unsur-unsur


yang membentuk pikiran. Turner (1998) dalam studinya tentang film

menunjukkan bahwa cerita merupakan mekanisme universal bagi penyebaran

makna. Setiap masyarakat memiliki cerita dan menyampaikannya baik kepada

anggota-anggotanya maupun kepada dunia di luarnya. Pemahaman terhadap

pikiran dan diri manusia sebagai upaya inti dari psikologi membutuhkan naratif

sebagai media dan metode penelitian. Dengan kata lain, naratif merupakan

sebuah pendekatan pemahaman dalam psikologi yang dapat menggambarkan

seseorang dengan jelas.

Ken dan Mary Gergen (dalam Smith, 2008) mendefinisikan bahwa

naratif adalah konstruksi sosial yang dikembangkan dalam interaksi sosial

sehari-hari. Psikologi naratif memiliki tiga struktur (Gergen dan Gergen dalam

Smith, 2008) yaitu progresif, stabil, dan regresif. Struktur yang progresif

cenderung muncul pada narasi yang memiliki perubahan yang positif pada

tujuan sedangkan pada struktur regresif, perubahannya cenderung negatif dan

cenderung tidak memiliki tujuan. Struktur yang stabil cenderung tidak

memiliki perubahan atau perubahan yang sangat sedikit.

Frye (dalam Smith, 2008) juga mengidentifikasikan naratif menjadi 4

struktur cerita: komedi, romansa, tragedi, dan sindiran. Komedi adalah narasi

dimana jalan ceritanya menuju akhir yang bahagia. Romansa juga narasi yang

bahagia dimana tokoh protagonis akhirnya berhasil mengatasi masalah-

masalah yang dimilikinya. Tragedy memiliki narasi yang cenderung

menyedihkan dimana tokoh protagonist menderita kesengsaraan. Sindiran

adalah narasi yang cenderung lebih stabil dan hidup yang kurang berarti.
Dan McAdams (dalam Smith, 2008) mengembangkan sebuah pendekatan

dalam studi naratif yang disebut narrative tone. Narrative tone dapat bersifat optimistik

dan pesimistik. Narrative tone yang bersifat optimistik memiliki karakteristik komedi

dan romansa, sedangkan yang bersifat pesimistik memiliki karakteristik tragedi dan

sindiran. Setelah narrative tone, pendekatan McAdams berikutnya adalah imagery yang

dideskripsikan sebagai gambaran dalam diri atau sering disebut juga citra diri. Citra diri

ini berkembang dari masa kanak-kanak hingga dewasa.

Pendekatan ketiga McAdams adalah theme, yang sering juga diartikan dengan

pola berulang-ulang yang sering dilakukan manusia. Theme juga muncul sebagai

perilaku atau intensi yang paling terdapat dalam diri manusia. Pendekatan terakhir Mc

Adams adalah ideology, yang muncul di dalam nilai- nilai dan kepercayaan-

kepercayaan yang mendasari kisah naratif seseorang.

Smith (2008) mengungkapkan bahwa keempat hal tersebut perlu untuk

dipertimbangkan dalam melakukan investigasi naratif. Dari keempat istilah yang

ditemukan oleh Dan McAdams yaitu narrative tone, imagery, theme, dan ideology, pe

neliti akan menggunakan istilah narrative tone dan imagery untuk membantu proses

analisis.

Studi naratif dapat membantu peneliti untuk melihat gambaran dari integritas ego

seseorang. Ryff (1982), menyatakan bahwa integritas ego meliputi 6 aspek penting.

Aspek – aspek tersebut adalah :

a. penerimaan terhadap suatu siklus kehidupan, b.

b. bersahabat dengan masa lalu,

c. mampu menyesuaikan diri dengan pengalaman menyenangkan dan

mengecewakan
d. Integritas emosiona

e. mencintai kehidupan dan orang lain


f. serta mencapai spiritualitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Harga Diri Rendah
1. Definisi
Harga diri rendah adalah disfungsi psikologis yang meluas dan terlepas dari
spesifiknya. Masalahnya, hampir semua pasien menyatakan bahwa mereka
ingin memiliki harga diri yang lebih baik. Jika kita hanya mengurangi harga
diri rendah, banyak masalah psikologis akan berkurang atau hilang secara
substansial sepenuhnya. Harga diri merupakan komponen psikologis yang
penting bagi kesehatan. Banyak penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
harga diri yang rendah sering kali menyertai gangguan kejiwaan. Harga diri
yang tinggi dikaitkan dengan kecemasan yang rendah, efektif dalam
kelompok dan penerimaan orang lain terhadap dirinya, sedangkan masalah
kesehatan dapat menyebabkan harga diri, sehingga harga diri dikaitkan
dengan hubungan interperonal yang buruk dan beresiko terjadinya
depresisehingga perasaan negatif mendasari hilangnya kepercayaan diri dan
harga diri individu dan menggambarkan gangguan harga diri (Wijayati et
al., 2020).

Harga diri rendah berasal dari pengalaman seseorang seiring dengan


pertumbuhannya, seperti : tidak ada kasi sayang , dorogan dan tantangan,
tidak terdapat cinta dan penerimaan, selalu mengalami kritikan, ejekan,
sarkame, dan sinisme, adanya pemukulan fisik dan pelecehan tidak adanya
pengakuan dan pujian untuk prestasi, terdapat kelebihan dan keunikan yang
selalu di abaikan (Pardede, Hafizudin, & Sirait, 2021). Harga diri rendah
merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri (Keliat dkk, 2011; Pardede, 2019)
Harga diri yang tinggi dikaitkan dengan kecemasan yang rendah, efektif
dalam kelompok dan penerimaan orang lain terhadap dirinya, sedangkan
masalah kesehatan dapat menyebabkan harga diri, sehingga harga diri
dikaitkan dengan hubungan interperonal yang buruk dan beresiko terjadinya
depresisehingga perasaan negatif mendasari hilangnya kepercayaan diri dan
harga diri individu dan menggambarkan gangguan harga diri. Harga diri
rendah dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri
termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat
terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi yang
telah berlangsung lama). Dan dapat di ekspresikan secara langsung atau
tidak langsung (nyata atau tidak nyata)(Samosir, 2020)

Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri rendah


adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal
karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai dengan ideal diri.

2. Etiologi
Harga diri rendah situasional disebabkan karena adanya ketidakefektifan
koping individu akibat kurangnya umpan balik yang positif. Penyebab
harga diri rendah juga dapat terjadi pada masa kecil sering disalahkan,
jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa
remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak
diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan atau
pergaulan.
Menurut NANDA (2017) faktor yang mempengaruhi harga diri rendah
meliputi faktor Predisposisi dan faktor Presipitasi yaitu :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri
meliputi penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis, kegagalan
yang berulang,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi performa
peran adalah stereo type peran gender,
tuntutan peran kerja, dan harapan peran
budaya.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas
pribadi meliputi ketidakkepercayaan orang
tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan
perubahan struktur sosial.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadi haga diri rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau
produktifitas yang menurun. Secara umum, ganguan konsep diri harga
diri rendah ini dapat terjadi secara stuasional atau kronik. Secara
situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakaan, perkosaan atau dipenjara. Termasuk dirawat
dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena
penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak
nyaman (Yosep, 2016).

3. Perilaku
Pengumpulan data yang dilakukan oleh perawat meliputi perilaku yang
objektif dan dapat diamati serta perasaan subjektif dan dunia dalam diri
klien sendiri. Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah salah
satunya mengkritik diri sendiri, sedangkan keracuan identitasseperti
sifat kepribadian yang bertentangan serta depersonalisasi (Stuart, 2018)

ii. Tanda Dan Gejala


Menurut Saptina, (2020) tanda dan gejala pada harga diri rendah yaitu:
1. Data Subjektif
a. Mengintrospeksi diri sendiri.
b. Perasaan diri yang berlebihan.
c. Perasaan tidak mampu dalam semua hal.
d. Selalu merasa bersalah
e. Sikap selalu negatif pada diri sendiri.
f. Bersikap pesimis dalam kehidupan.
g. Mengeluh sakit fisik.

h. Pandangan hidup yang terpolarisasi.


i. Menentang kemampuan diri sendiri.
j. Menjelek-jelekkan diri sendiri.
k. Merasakan takut dan cemas dalam suatu keadaan.
l. Menolak atau menjauh dari umpan balik positif.
m. Tidak mampu menentukan tujuan.
2. Data Obyektif
1. Produktivitas menjadi menurun.
2. Perilaku distruktif yang terjadi pada diri sendiri.
3. Perilaku distruktif yang terjadi pada orang lain.
4. Penyalahgunaan suatu zat.
5. Tindakan menarik diri dari hubungan sosial.
6. Mengungkapkan perasaan bersalah dan malu.
7. Muncul tanda depresi seperti sukar tidur dan makan.
8. Gampang tersinggung dan mudah marah.

iii. Rentang Respon


Konsep diri merupakan aspek kritikal dan dasar dari perilaku individu.
Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang
terlihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan
penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari
hubungan individu an sosial yang maladaptif.
Gambar Rentang respon konsep - diri ( Stuart G.W, 2018)

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Aktualisasi diri Konsep diri Harga diri kerancuan identitas Depersonalisasi
Positif Rendah

Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa yang
ada pada dirinya meliputi citra dirinya. Ideal dirinya harga dirinya,
penampilan peran serta identitas dirinya secara positif. Hal ini akan
menunjukan bahwa individu itu akan menjadi individu yang sukses.

Harga diri rendah Situasional merupakan perasaan negatif terhadap dirinya


sendiri, termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak, berguna,
pesimis tidak ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku yang
berhubungan dengan harga diri yang rendah yaitu mengkritik diri sendiri
atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan kepada
orang lain, ganguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa
bersalah, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, keluhan fisik,
menarik diri secara sosial, khawatir, serta menarik diri dari realitas.

Keracuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk


mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku yang
berhubungan dengan keracuan identitas yaitu tidak ada kode moral, sifat
kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal eksploitatif,
perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri sendiri, tingkat
ansietas yang tinggi, ketidak mampuan untuk empati terhadaapa orang lain.
Despersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis dimana
klien tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar dirinya.
Individu mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari orang
lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.

iv. Proses Terjadinya HDR Stresor

Stresor

Stresor psikososial : Norepinefrin


Korteks dan system limbic, ↓ Serotonin
kehilangan traumatic, putus
amigdala ↓ Dopamin
hubungan sosial, lingkungan

baru. CR
Radikal bebas Teori rantai
Hipotalamus
silang Kekurangan gizi
Autoimmune teori ACTH
Akumulasi lemak Teori sel
Hipofisis
'usang' dan rusak Genetic
kortisol

Korteks adrenal

Perubahan denyut jantung, fungsi ginjal, sel darah


putih, penurunan mekanisme pertahanan
tubuh

Manifestasi fisik : Manifestasi psikis :


Sakit kepala Mual Sakit pada organ Menyalahkan diri sendiri/orang lain Kehilangan
tubuh tertentu Kesulitan tidur atau minat/anhedonia Perasaan kesepian, merasa sendiri
tidur berlebihan Disfungsi sexua Merasa gagal, kesedihan, merasa tidak berguna
Kesulitan berhubungan dg orang lain

Masalah keperawatan yang terkait :


Harga diri rendah
Menarik diri
Koping tidak efektif
Gangguan konsep diri
v. Karakteristik
a. Mengatakan hal yang negatif tentang diri sendiri dalam waktu lama dan
terus menerus
b. Mengekspresikan sikap malu/ minder/ rasa bersalah
c. Kontak mata kurang/ tidak ada
d. Selalu mengatakan ketidak mampuan/kesulitan untuk mencoba sesuatu
e. Bergantung pada orang lain
f. Tidak asertif
g. Pasif dan hipoaktif
h. Bimbang dan ragu-ragu
i. Menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negatif
mengenai dirinya
Faktor yang berhubungan
a. Sikap keluarga yang tidak mendukung
b. Penolakan
c. Kegagalan
Untuk menegakkan diagnosa ini perlu didapatkan data utama
a. Kontak mata kurang/tidak ada
b. Mengungkapkan secara verbal rasa minder/malu/bersalah
c. Mengatakan hal yang negatif tentang diri sendiri
d. Sering mengatakan ketidakmampuan melakukan sesuatu
vi. Pohon Masalah

Halusinasi

Isolasi sosial

Harga diri rendah

Koping individu tidak efektif

vii. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi Harga Diri Rendah


Menurut (Suryani & Efendi, 2020)fakor predisposisi dan faktor presipitasi
harga diri rendah ialah :
1. Aspek Biologis Sebagian besar pasien memiliki riwayat gangguan jiwa
sebelumnya (75%), Sebagian kecil memiliki riwayat genetik (25%).
Faktor genetik berperan dalam mencetuskan terjadinya gangguan jiwa
pada diri seseorang. Sadock dan Sadock (2007) menyampaikan bahwa
genetik memiliki peran pada pasien skizofrenia. Seseorang beresiko
10% jika salah satu orang tua menderita gangguan dan jika kedua orang
tua memiliki riwayat gangguan maka resiko akan lebih besar, yaitu
menjadi 40%.
2. Aspek Psikologis Pasien HDR kronis yang diberikan terapi kognitif
memiliki riwayat psikologis kurang percaya diri (90%). Menurut Stuart
(2016) bahwa faktor psikologis meliputi konsep diri, intelektualitas,
kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan
komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain.
3. Aspek Sosial Budaya Pasien yang diberikan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga memiliki masalah sosial budaya yang sangat
berpengaruh yaitu tidak memiliki teman (85%), konflik keluarga (80%)
dan status ekonomi rendah (70%). Townsend (2009) menyatakan
bahwa status sosioekonomi yang rendah lebih banyak mengalami
gangguan jiwa dibandingkan tingkat sosio ekonomi tinggi.

viii. Manifestasi Klinis Harga Diri


Rendah Tanda dan gejala harga diri
rendah
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat adanya penyakit atau akibat
tindakan terhadap penyakit.
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Individu merasa tidak mampu dan
tidak berguna dan memandang dirinya lemah.
3. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri dari masyarakat.
Individu merasa tidak berguna sehingga klien merasa lebih suka
meyendiri dan enggan untuk berinteraksi dengan lingkungan
masyarakat.
4. Merendahkan martabat. Individu merasa dirinya lemah merasa bodoh,
merasa tidak mampu dalam melakukan segala hal, dan individu merasa
tidak tahu apa-apa, mengabaikan bahkan menolak kemampuan yang
dimiliki sehingga produktivitas individu menurun.
5. Percaya diri kurang. Individu merasa ragu-ragu dalam mengambil
keputusan, individu tidak memiliki rasa percaya pada dirinya dan
individu selalu memandnag dirinya negatif.
6. Mencederai diri sendiri dan orang lain. Akibat harga diri rendah
individu memandang hidupnya pesimis, tidak berguna sehingga
terdorong untuk merusak atau mengakhiri hidupnya. Bahkan klien
dengan harga diri
rendah timbul perasaan benci dan dapat menimbulkan perilaku
kekerasan terhadap lingkungan sekitar

ix. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah


Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga
diri rendah situasional yang tidak terselesaikan. Atau dapat juga terjadi
karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang
prilaku klien sebelumnya bahkan kecendrungan lingkungan yang selalu
memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya
individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis),
individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak mampu atau merasa
gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap diri
sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi
harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan
positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus
akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis(Samosir,
2020)

2.2 Konsep Asuhan Keparawatan Jiwa


Adapun konsep asuhan keperawatan harga diri rendah menurut (Yusuf, 2015),
adalah sebagai berikut:
2.1.1 Data Pengkajian
1. Faktor Predisposisi
1. Biologi
a. Genetik : riwayat adanya trauma yang menyebabkan lesi pada
daerah frontal, temporal dan limbic, pada anak yang kedua
orangtuanya tidak menderita, kemungkinan terkena penyakit
adalah 1%. Sementara pada anak yang salah satu orangtuanya
menderita kemungkinan terkena adalah 13%. Dan jika kedua
orangtuanya penderita maka resiko terkena adalah 35%, riwayat
janin pada saat prenatal dan perinatal meliputi trauma, penurunan
oksigen pada saat melahirkan, prematur, preeklamsi, malnutrisi,
stres, ibu perokok, alkohol, pemakaian obat-obatan, infeksi,
hipertensi dan agen teratogenik
b. Nutrisi : adanya riwayat gangguan nutrisi ditandai dengan
penurunan BB, rambut rontok, anoreksia, bulimia nervosa,
c. Keadaan kesehatan secara umum : riwayat kesehatan umum,
misalnya kurang gizi, kurang tidur, gangguan irama sirkadian,
kelemahan, infeksi
d. Sensitivitas biologi : riwayat penggunaan obat, riwayat terkena
infeksi dan trauma, radiasi dan riwayat pengobatannya
e. Paparan terhadap racun : paparan virus influenza pada trimester
3 kehamilan, riwayat keracunan CO, asbestos

2. Psikologis
a. Intelegensi : riwayat kerusakan struktur di lobus frontal dimana
lobus tersebut berpengaruh kepada proses kognitif, suplay
oksigen terganggu dan glukosa
b. Ketrampilan verbal :gangguan keterampilan verbal akibat faktor
komunikasi dalam keluarga, seperti : komunikasi peran ganda,
tidak ada komunikasi, komunikasi dengan emosi berlebihan,
komunikasi tertutup, riwayat kerusakan yang mempengaruhi
fungsi bicara, misalnya Stroke, trauma kepala
c. Moral : riwayat tinggal di lingkungan yang dapat mempengaruhi
moral individu, misalnya lingkungan keluarga yang broken
home, konflik, Lapas.
d. Kepribadian : mudah kecewa, kecemasan tinggi, mudah putus
asa, menutup diri
e. Pengalaman masa lalu : orangtua yang otoriter, orangtua yang
selalu membandingkan, konflik orangtua, anak yang dipelihara
oleh ibu yang suka cemas, terlalu melindungi, dingin dan tak
berperasaan, ayah yang mengambil jarak dengan anaknya,
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien,
penilaian negatif yang terus menerus dari orang tua
f. Konsep diri : ideal diri yang tidak realistis, identitas diri tak jelas,
harga diri rendah, krisis peran, gambaran diri negatif
g. Motivasi :riwayat kurangnya penghargaan, riwayat kegagalan

h. Pertahanan psikologi : ambang toleransi terhadap stress rendah,


riwayat gangguan perkembangan
i. Self control : riwayat tidak bisa mengontrol stimulus yang
datang, misalnya suara, rabaan, penglihatan, penciuman,
pengecapan, gerakan.

3. Sosiokultural
a. Usia : riwayat tugas perkembangan yang tidak selesai
b. Gender : riwayat ketidakjelasan identitas, riwayat kegagalan
peran gender,
c. Pendidikan : pendidikan yang rendah, riwayat putus dan gagal
sekolah,
d. Pendapatan : penghasilan rendah
e. Pekerjaan : pekerjaan stresful, Pekerjaan beresiko tinggi
f. Status sosial : tuna wisma, Kehidupan terisolasi
g. Latar belakang Budaya : tuntutan sosial budaya seperti
paternalistik, stigma masyarakat
h. Agama dan keyakinan : riwayat tidak bisa menjalankan aktivitas
keagamaan secara rutin, rutin, kesalahan persepsi terhadap ajaran
agama tertentu
i. Keikutsertaan dalam politik : riwayat kegagalan dalam politik
j. Pengalaman sosial : perubahan dalam kehidupan, mis bencana,
perang, kerusuhan, dll, tekanan dalam pekerjaan, kesulitan
mendapatkan pekerjaan,
k. Peran social : isolasi sosial khususnya untuk usia lanjut, stigma
yang negatif dari masyarakat, diskriminasi, stereotype, praduga
negatif

2. Faktor Presipitasi
1. Biologi : genetic, nutrisi, keadaan kesehatan secara umum, sensitivitas
biologi, paparan terhadap racun.
2. Psikologis : intelegensi, ketrampilan verbal, moral, kepribadian,
pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologi, self
control.
3. Sosiokultural : usia, gender, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, status
social, latar belakang Budaya, agama dan keyakinan, keikutsertaan
dalam politik, pengalaman sosial, peran sosial
4. Penilaian terhadap stresor
Penilaian terhadap stresor dapat dikaji dari berbagai sisi, dimulai dari
segi kognitif yaitu apa yang dipikirkan klien tentang stresor yang
dialaminya, dari segi afekti yaitu bagaimana perasaannya, dari segi
fisiologis yaitu bagaimana perubahan fisik yang terjadi akibat stresor,
dari segi perilaku yaitu bagaimana perilaku yang ditampilkan terkait
stresor dan dari sesi sosial yaitu bagaimana hubungan klien dengan
orang lain terkait stresor yang dialaminya.

5. Sumber Koping
Kondisi status ekonomi, kemampuan menyelesaikan masalah,
dukungan sosial, dan keyakinan budaya.
6. Mekanisme Koping
Menurut Stuart (2018) mekanisme kopng termasuk pertahanan koping
jangka pendek atau jangka panjang serta penggunaan mekanisme
pertahanan ego untuk melindungi diri sendiri dalam menghadapi
persepsi diri yang menyakitkan. Pertahanan tersebut mencakup berikut
ini:
1) Aktivitas yang memberikan pelarian sementara dari krisis
identitas diri (misalnya, konser musik, bekerja keras, menonton
televise secara obsesif)
2) Aktivitas yang memberikan identitas pengganti sementara
(misalnya dalam club sosial, agama, politik, kelompok, gerakan
atau geng).
3) Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan
perasaan diri yang tidak menentu (misalnya, olahraga yang
kompetitif, prestasi akademik, kontes untuk mendapatakan
popularitas).
Pertahanan jangka panjang mencakup berikut ini:
1) Penutupan identitas: adopsi identitas premature yang diinginkan
oleh orang terdekat tanpa memerhatikan keinginan, aspirasi, atau
potensi diri individu.
2) Identitas negatif: asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai
dan harapan yang diterima masyarkat.

2.1.2 Diagnosis Keperawatan Jiwa


Perawat kesehatan jiwa menganalisis data pengkajian dalam menentukan
diagnosis. Landasan untuk memberikan asuhan keperawatan kesehatan
jiwa adalah pengenalan dan mengidentifikasi pola respons terhadap
masalah kesehatan jiwa atau penyakit psikiatri yang actual dan pontensial
2.1.3 Perencanaan
Perawat kesehatan jiwa mengembangkan rencana asuhan yang
menggambarkan intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Rencana asuhan digunakan untuk memandu intervensi terapeutik secara
sistematis dan mencapai hasil pasien yang diharapkan.
2.1.4 Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keperawatan pada pasien:
1) Tujuan:
a) Pasien dapat mengindentifikasi kemampuan dan aspek
positif yang di miliki.
b) Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat di gunakan.
c) Pasien dapat menetaptan/memilih kegiatan yang sesuai
kemampuan.
d) Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai
kemampuan.
e) Pasien dapat menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan yang
sudah dilatih.

2. Tindakan Keperawatan
1) Mengindentifikasi kemampuan dan aspek positif yang yang masih
di miliki pasien. Untuk membantu pasien dapat mengungkapkan
kemempiuan dan aspek positif yang masih dimilikinya, perawat
dapat:
a. Mendiskusikan bahwa sejumlah kemampuan dan aspek
positif yang dimiliki pasien seperti kegiatan pasien di rumah
sakit, dalam keluarga dan lingkungan adanuya keluarga dan
lingkungan terdekat pasien
b. Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali
bertemu dengan pasien penilaian yang negative

2) Membantu pasien menilain kemampuan yang dapat digunakan.


Untuk tindakan tersebut saudara dapat :

a. Mendiskusikan dengan pasien kemempuan yang masih


dapatb digunakan saat ini.
b. Bantu pasien menyebutkanya dan memberi penguatan
terhadap kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
c. Perlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar
yang aktif.

3) Membantu pasien memilih atau menetapkan kemampuan yang


akan dilatih Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
adalah:
a. Mendiskusikan dengan pasien beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien
lakukan sehari-hari
b. Bantu pasien menentukan kegiatan mana yang dapat pasien
lakukan secara mandiri, mana kegiatan yang memerlukan
bantuan minimal dari keluraga atau lingkungan terdekat
pasien berikan contoh pelaksanakan kegiatan yang dilakukan
pasien. Susun bersama pasien dan buat daftar kegitan sehari-
hari pasien.

4) Melatih kemampuan yang dimiliki pasien.


Tindakan keperawatan tersebut saudara dapat melakukan:
a. Mendiskusikan dengan pasien untuk melatih kemampuan
yang dipilih
b. Bersama pasien memperagakan kegiatan yang ditetapkan
c. Berika dukungan dan pujian pada setiap kegiatan
yang dapat dilakukan pasien.

5) Membantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang


dilatih
Untuk mencapai tujuan tindakan keperawatan tersebut saudara
dapat melakukan hal-hal berikut:
a. Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan
yang telah dilatihkan.
b. Beri pujian atas kegiatan - kegiatan yang dapat dilakukan
pasien setiap hari
c. Susun jadwal untuk melaksanakan kegiatan yang telah dilatih.
d. Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah
pelaksanaanya kegiatan.

3. Konseling
Perawat kesehatan jiwa menggunakan intervensi konseling untuk
membantu pasien meningkatkan atau memperoleh kembali
kemampuan koping, memelihara kesehatan mental, dan mencegah
penyakit atau ketidak mampuan menta (Yusuf et. al, 2015).

4. Terapi Lingkungan
Perawat kesehatan jiwa memberikan, membentuk, serta
mempertahankan suatu lingkungan yang terapeutik dalam
kolaborasinya dengan pasiendan pemberian pelayanan kesehatan
lain.

5. Aktivitas Asuhan Mandiri


Perawat kesehatan jiwa membentuk intervensi sekitar aktivitas
kehidupan sehari-hari pasien untuk memelihara asuhan mandiri dan
kesejhteraan jiwa dan fisik

6. Intervensi psikobiologis
Perawat kesehatan jiwa menggunakan pengetahuan intervensi
psikobiologis dan menerapkan keterampilan klinis untuk
memulihkan kesehatan pasien dan mencegah ketidakmapuan lebih
lanjut
7. Penyuluhan kesehatan
Perawat kesehatan jiwa, melalui penyuluhan kesehatan, serta
membantu pasien dalam mencapai pola kehidupanyang memuaskan
produktif dan sehat.

8. Manajemen kasus
Perawat kesehatan jiwa menyajikan manejemen kasus untuk
mengkordinasi kesehatan yang komprehensif serta memastikan
kesenambungan asuhan.

9. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan


Perawat kesehatan jiwa menerapkan strategi dan intervensi untuk
meningkatkan, memelihara kesehatan jiwa, serta mencegah
penyakit jiwa.

10. Psikoterapi
Spesialis yang bersetifikasi dalam keperawatan kesehatan jiwa
menggunakan psikoterapi individu, psikoterapi kelompok, psikoterapi
keluarga, psikoterapi anak, serta pengobatan terapeutik lain untuk
membantu pasien untuk memelihara kesehatan jiwa, mencegah
penyakit jiwa dan ketidakmampuan, serta memperbaiki atau mencapai
kembali status kesehatan dan kemampuan fungsional pasien.

11. Preskripsi Agen Farmakologis


Spesialis yang bersertifikasi memberikan konsultasi kepada pemberi
pelayanan kesehatan dan lainnya untuk memengaruhi rencana
asuhan kepada pasien, dan memperkuat kemampuan yang lain
untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa dan psikiatri serta
membawa perubahan dalam setiap pelayanan kesehatan jiwa dan
psikiatri
2.1.5 Evaluasi
Perawat kesehatan jiwa mengevaluasi perkembangan pasien dalam
mencapai hasil yang diharapkan. Asuhan keperawatan adalah proses
dinamik yang melibatkan perusahaan dalam status kesehatan pasien
sepanjang waktu, pemicu kebutuhan terhadap data baru, berbagai
diagnosis, dan modifikisi rencana asuhan. Oleh karena itu, evaluasi
merupakan suatu proses penilaian berkesinambungan tentang pengaruh
intervensi keperawatan dan regimen pengobatan terhadap status
kesehatan pasien dan hasil kesehatan yang diharapkan.
BAB 3
TINJAUAN
3.1 Identitas KASUS
1. Klien Inisial : Tn. A
2. Jenis kelamin : Laki-Laki
3. Umur : 13 Tahun
4. Agama : islam
5. Status : belum menikah
6. Tanggal pengkajian : 2 November 22
7 . RM No : 04-62-03
8. Informent :Status klien dan komunikasi dengan klien

3.2 Alasan Masuk Rumah Sakit

Kurang lebih 7 bulan yang lalu klien berbica sendiri, berkelakukan aneh, melukai
diri sendiri, tidak bisa tidur, gelisah, bingung, klien merasa malu karena tidak
memiliki pekerja, ditinggal tunangannya, dan menyesal dengan perbuatannya
yang telah merugikannya.

3.3 Faktor Predisposisi


Pasien sebelumnya tidak pernah ada riwayat gangguan jiwa. Pertama kali pasien
mengalami gangguan jiwa ketika pasien mengalami peristiwa hilangnya alat
kelamin pasien. Pasien juga mengatakan sering mendengar suara-suara yang
menyuruh nya untuk memotong alat kelaminya demi keselamatan keluarga.
pasien juga sempat menolak diajak berbicara dan berintraksi. Pasien juga sempat
dibawa berobat kampung (dukun) tetapi tidak ada perubahan pada pasien
tersebut, dan akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke rumah
sakit jiwa. Ketika pasien dirawat di rumah sakit jiwa selama 3 hari pasien ingin
meminta pulang kerumah.
3.4 Fisik
Klien tidak memiliki keluhan fisik saat dilakukan tanda-tanda vital, didapatkan
hasil TD : 113/74 mmHg; N : 88 x/i; S : 36.5 oC; P : 20 x/i; klien memiliki
tinggi 160 cm dan berat badan 67 Kg

3.5 Psikososial
1. Genogram
Klien merupakan anak ke 2 dari 3 saudarah, 2 laki-laki dan 1 perempuan
serta klien mengatakan orang tua kalian masih hidup

Tn.A

Klien mempunyai ayah satu dan ibu satu, serta mempunyai kakak satu,
abang satu, klien adalah anak ke dua dari tiga bersaudara, klien mengalami
gangguan jiwa dan keluarga dalam keadaan sehat fisik dan psikologis serta
tidak mengalami gangguan jiwa (sehat jiwa).

Keterangan:

: perempuan

: laki-laki

: Tn. A

: garis keturunan

: garis perkawinan

: tinggal serumah dengan klien


X : meningga
3.6 Konsep Diri
a. Gambaran diri : Klien tidak menyukai tubuhnya karena memiliki cacat
b. Identitas : Klien anak ke 2 dari 3 bersaudara
c. Peran : Klien berperan sebagai anak
d. Ideal diri : Klien ingin cepat sembuh
e. Harga diri : Klien merasa tidak berarti

3.7 Hubungan Sosial


1. Orang yang berarti : orang yang berarti dalam kehidupan pasien adalah
keluarganya
2. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat: Pasien tidak pernah
mengikuti kegiatan kelompok lingkungan rumah
3. Hambatan dalam berbuhungan dengan orang Lain : klien tidak mudah akrab/
berhubungan dengan orang lain yang dia tidak kenal

3.8 Spiritual
1. Nilai dan Keyakinan : Klien beragama muslim
2. Kegiatan Ibadah : Klien jarang ibadah

3.9 Status Mental


1) Penampilan Klien
tampak kurang rapi dalam berpakaian
2) Pembicaraan
Klien masih mampu menjawab pertanyaan perawat dengan lambat dan jelas
namun dapat dipahami
3) Aktivitas Motorik
Klien mengatakan bisa melakukan aktivitas sehari – hari.
4) Suasana perasaan
Klien mengatakan merasa dibuang oleh keluarganya dan merasa minder
dengan orang lain, klien mengatakan merasa malu karena tidak memiliki
perkerjaan tetap Klien mengatakan tidak percaya dengan diri sendiri, Klien
merasa tidak berguna karena tidak dapat membantu keluarga, klien tampak
tidak percaya diri saat wawancara
Masalah keperawatan : Harga Diri Rendah
5) Afek
Afek wajah sesuai dengan topic pembicaraan
6) Interaksi
Selama wawancara Klien kooperatif saat wawancara
7) Persepsi
Klien mengatakan bahwa ia tidak dapat memproses cepat setiap orang
berbicara atau bertanya padanya
8) Proses Pikir
Klien mampu menjawab apa yang ditanya dengan baik.
9) Isi pikir
Klien dapat mengontrol isi pikirnya,klien tidak mengalami gangguan isi pikir
dan tidak ada waham. Klien tidak mengalami fobia, obsesi ataupun
depersonalisasi.
10) Tingkat kesadaran
Klien tidak mengalami gangguan orientasi, klien mengenali waktu, orang dan
tempat.
11) Memori
Klien mampu menceritakan kejadian di masa lalu dan yang pernah klien alami
12) Tingkat konsentrasi berhitung
Klien kurang berkonsentrasi dalam perhitungan sederhana dan tanpa harus di
bantu orang lain.
13) Kemampuan penilaian
Klien dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk (mampu melakukan
penilaian).
14) Daya tilik diri
Klien tidak mengingkari penyakit yang diderita, klien mengetahui bahwa dia
sedang sakit

3.10 Mekanisme Koping


Klien mengalami mekanisme koping adaptif yaitu klien dapat berbicara cukup
baik dengan orang lain.

3.11 Masalah Psikososial dan Lingkungan


Klien mengatakan sulit berteman dengan orang lain karena klien dan tidak
sempat untuk melakukan kumpul-kumpul bersama masyarakat sekitar.

3.12 Pengetahuan Kurang Tentang Gangguan Jiwa


Klien tidak mengetahui tentang penyakit gangguan jiwa dan klien tidak tahu obat
apa yang harus diminum untuk mengatasi gangguan jiwanya.

3.13 Analisis Data

Data Masalah
 DS :
- Klien mengatakan tidak percaya dengan
kemampuan diri sendiri
Gangguan Konsep diri : Harga
- Klien merasa tidak berguna karena tidak
Diri Rendah
dapat membantu keluarga.
- Klien merasa minder karena keadaannya
yang sekarang
 DO :
- Klien tampak murung
- Klien tampak banyak diam
- Klien jelas dalam berbicara dan terkadang
tidak nyambung saat ditanyak
- kontak mata kurang
- klien tampak tidak percaya diri saat
wawancara

DS:
- Klien mengatakan jarang berkomunikasi
dengan keluarga
- Klien mengatakan lebih sering menyendiri.
- Klien mengatakan jarang berbicara dengan
teman yang ada di ruangan

Isolasi sosial: Menarik diri


DO
- Klien sering menghindari pembicaraan
- Cara bicara klien lemah dan dengan nada
rendah
- Klien lebih sering menyendiri
- Klien tampak sedih dan lesu
- Saat wawancara klien lebih banyak diam
 DS : Halusinasi Pendengaran
- Pasien mengatakan sering mendengar
bisikan suara saat ingin tidur
- Klien mengatakan mendengar suara-suara
menyuruhnya untuk menyakiti diri sendiri
dan berkata bahwa dia tidak berguna.

- Klien merasa gelisah dan takut jika


mendengar suara tersebut

- Klien mengatakan bila suara- suara muncul


secara tiba- tiba klien merasa takut

 DO:
- Klien tampak berbicara sendiri
- Klien terlihat senyum sendiri dan marah-
marah saat sendirian.

- klien kurang konsentrasi

- klien tampak gelisah

- klien tampak sulit tidur

3.14 Masalah Keperawatan


 Isoalasi sosial : Menarik Diri
 Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
 Gangguan Persepsi dan Sensori : Halusinasi Pendengaran
3.15 Pohon Masalah

Isoalasi sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri


Rendah

Halusinasi pendengaran

3.16 Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
2. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi pendengaran
3. Isolasi Sosial

3.17 Intervensi
Diagnosa Intervensi
Harga Diri Rendah Sp 1 :
Mengindentifikasi kemampuan dan
aspek positif yang dimiliki pasien.

Sp 2 :
o Menilai kemampuan yang dapat
di gunakan.
o Menetapkan/ memilih
kegiatan sesuai kemampuan.
o Melatih kegiatan sesuai
kemampuan yang dipilih 1.

Sp 3 :
Melatih kegiatan sesuai kemampuan
yang dipilih 2

Sp 4 :
Melatih kegiatan sesuai kemampuan
yang dipilih 3
Gangguan persepsi sensori : SP 1
halusinasi pendengaran 1. Identifikasi halusinasi : isi,
frekuensi, waktu terjadi, situasi,
pencetus, perasaan, respon
2. Jelaskan cara mengontrol
halusinasi minum meghardik,

Sp 2
Mongontrol halusinasi dengan minum
obat secara teratur

Sp 3
Mongontrol halusinasi dengan
bercakap-cakap dengan orang
lain

Sp 4
Mongontrol halusinasi dengan
kegiatan terjadwal
Isolasi Sosial : Menarik Diri SP 1
Menjelaskan keutungan dan kerugian
memiliki teman

Sp 2
Melatih klien berkenalan dengan 2
orang atau lebih

Sp 3
Melatih bercapak – cakap sambil
melakukan kegiata harian

Sp 4
Melatih berbicara sosial : memintah
sesuatu, berbelanja dan sebagainya
3.18 Implementasi
Hari/ Implementasi Evaluasi
tanggal

Rabu 1. Data S:
2 Tanda dan gejala: Klien merasa senang dan antusias
Nove - Menilai diri negative/
mber mengkritik diri O:
2022 - Merasa malu karena masuk Klien mampu Mengidentifikasi aspek positif yang dimiliki
rumah sakit jiwa pasien yaitu bernyanyi dan berdoa secara mandiri
- Merasa tidak mampu menjadi
ibu yang baik karena takut A : Harga Diri Rendah (+)
anaknya diejek anak orang gila.
- Kontak mata kurang P:
- Berbicara pelan dan lirih - Latih klien merapikan tempat tidur 1x1 hari

2. Diagnosa Keperawatan - Latih klien menyapu bawah tempat tidur 1x1 hari
Gangguan Konsep Diri :
Harga Diri Rendah

3. Tindakan Keperawatan
Sp 1: Mengidentifikasi
kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki pasien

4. RTL:
SP 2
a. Menilai kemampuan yang
dapat digunakan
b. Menetapkan atau memilih
kegiatan sesuai kemampuan
c. Melatih kegiatan sesuai
kemampuan yang dipilih
1

Kami 1. Data S:
s3 Tanda dan gejala: Klien merasa senang dan antusias
Nove - Menilai diri negative/
mber mengkritik diri O:
2022 - Merasa malu karena masuk Klien mampu memilih dan melatih kegiatan sesuai
rumah sakit jiwa kemampuan yaitu membersihkan tempat tidur dengan mandiri
- Merasa tidak mampu menjadi
ibu yang baik karena takut A : Harga Diri Rendah (+)
anaknya diejek anak orang
gila. P:
- Kontak mata kurang  Latihan membersikan tempat tidur 2x1 hari
- Berbicara pelan dan lirih

2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Konsep Diri :
Harga Diri Rendah

3. Tindakan Keperawatan
SP 2
 Menilai kemampuan yang
dapat digunakan
 Menetapkan atau memilih
kegiatan sesuai kemampuan
 Melatih kegiatan sesuai
kemampuan yang dipilih 1
4. RTL:
Sp 3 : Melatih kegiatan sesuai
kemampuan yang dipilih 2
jum,at 1. Data S:
4 Tanda dan gejala: Klien merasa senang dan antusias
Nove - Menilai diri negative/
mber mengkritik diri O : Klien mampu melatih kegiatan sesuai kemampuan yaitu
2022 - Merasa malu karena masuk menyapu rumah dan membersikan tempat tidur dengan mandiri
rumah sakit jiwa
- Merasa tidak mampu menjadi A : Harga Diri Rendah (+)
ibu yang baik karena takut
anaknya diejek anak orang gila. P:
- Kontak mata kurang  membersikan tempat tidur 2x1 hari
- Berbicara pelan dan lirih  Membantu menyapu 1x1 hari

2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Konsep Diri :
Harga Diri Rendah

3. Tindakan Keperawatan
Sp 3: Melatih kegiatan sesuai
kemampuan yang dipilih 2
4. RTL:
Sp 4 : Melatih kegiatan sesuai
kemampuan yang dipilih 3
Sabt 1. Data S : Senang dan Antusias
u5 Tanda dan gejala:
Novem - Menilai diri negative/ O : Melatih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih yaitu
ber mengkritik diri menyapu rumah dengan mandiri
2022 - Merasa malu karena masuk
rumah sakit jiwa A : Harga diri rendah (-)
- Merasa tidak mampu menjadi
ibu yang baik karena takut P:
anaknya diejek anak orang gila.  membersihkan tempat tidur 2x1 hari
- Kontak mata kurang  Menyapu dibawah tempat tidur 2x1 hari
- Berbicara pelan dan lirih

2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Konsep Diri :
Harga Diri Rendah

3. Tindakan Keperawatan
Sp 4 : Melatih kegiatan sesuai
kemampuan yang dipilih 3

4. RTL :
Follow up dan evaluasi SP 1-4
Senin 1. Data S : Senang dan Antusius
6
Tanda dan gejala :
Novem O:
- Menarik diri
ber - Menolak melakukan interaksi
2022
- Tidak bergairah dan lesu  Pasien belum mampu mengenali masalah isolasi sosial
- Merasa tidak diterima
dengan mandiri.
 Mengidentifikasi isolasi sosialnya ; tanda dan gejala,
2. Diagnosa Keperawatan
penyebab dan akibat dari isolasi sosial
Isolasi Sosial
 Pasien belum mampu menjelaskan keuntungan memiliki
3. Tindakan Keperawatan
teman dan kerugian memiliki teman dengan mandiri.
Sp1 : Menjelaskan keuntungan
dan kerugian mempunyai teman
A : Isolasi Sosial (+)
4. RTL:
Sp 2 : Melatih klien berkenalan P:
dengan 2 orang atau lebih  Melatih klien bercakap –cakap dengan orang lain 3x1 hari
 Membersihkan tempat tidur 1x1 hari

Selasa,7 1. Data S : Senang dan Antusias


Novembe
Tanda dan gejala :
r 2022
- Menarik diri
O:
- Menolak melakukan interaksi
- Tidak bergairah dan lesu  Klien mampu menjelaskan cara berkenalan dengan bantuan
- Merasa tidak diterima
 Klien mampu mendemostrasikan cara berkenalan dengan
2. Diagnosa Keperawatan dimotivasi oleh perawat.
Isolasi Sosial
3. Tindakan Keperawatan  Klien mampu mempratekkan dan melakukan cara berkenalan
Sp 2 : Melatih klien berkenalan kepada perawat, teman dan orang lain dengan cara bantuan.
dengan 2 orang atau lebih teman
A:
4. RTL: Isolasi Sosial (+).
Sp 3 : Melatih bercakap-cakap sambil
melakukan kegiatan harian P:
 Latihan cara berkenalan 1x1 hari
 Mendemostrasikan cara berkenalan 1x1 hari
 Latih klien berkenalan dengan satu orang, dua orang, tiga
orang atau lebih 3x1 hari
Rabu,8 1. Data S : Senang dan Antusias
Novemb
Tanda dan gejala :
er 2022
- Menarik diri
O:
- Menolak melakukan interaksi
- Tidak bergairah dan lesu  Klien mampu menjelaskan cara berkenalan dengan bantuan.
- Merasa tidak diterima
 Klien mampu Mendemostrasikan cara

2. Diagnosa Keperawatan  berkenalan dengan dimotivasi oleh perawat.

Isolasi Sosial  Klien mampu mempratekkan dan melakukan cara


berkenalan kepada perawat, teman dan orang
lain.
3. Tindakan Keperawatan A:
Sp 3 : Melatih bercakap-cakap Isolasi Sosial (+).
sambil melakukan kegiatan harian
4. RTL: P:
Sp 4 :  Latihan cara berkenalan 1x1 hari
Melatih berbicara sosial :  Mendemostrasikan cara berkenalan 2x1 hari
meminta sesuatu belanja dan
sebagainya
Kamis,9 1. Data S : Senang dan Antusius
Novemb
Tanda dan gejala : O:
er
- Menarik diri
2022
- Menolak melakukan interaksi
 Klien mampu mempraktekkan cara bercakap-cakap dengan
- Tidak bergairah dan lesu
- Merasa tidak diterima orang lain saat melakukan kegiatan dengan mandiri.
 Klien mampu bersosialisasi meminta sesuatu dengan
2. Diagnosa Keperawatan
mandiri.
Isolasi Sosial

A:
3. Tindakan Keperawatan Sp 4 :
Isolasi Sosial (-)
Melatih berbicara sosial :

P:
meminta sesuatu belanja dan  Latihan bercakap-cakap sambil melakukan kegiatan harian
sebagainya 3x1 hari
4. RTL:  Latihan berbicara sosial
Isolasi Sosial : Follow up dan  Latihan meminta sesuatu 3x1 hari
evaluasi Sp 1-4 Isolasi sosial  Latihan bercakap-cakap dengan orang lain 3x1 hari
Jum,at, 1. Data S:
10 Senang
Tanda dan gejala :
Nove
- Mendengar suara-suara
mber O:
mengatakan “memanggil
2022 klien masih mendengar suara – suara biskan tampak mengerti
namanya dan mengatakan nak
tentang minum obat secara teratur
lagi ngapain” suara mirip
suara ibunya
A: Halusinasi pendengara (+)
- Tertawa sendiri
- Berbicara sendiri
P:
 Latihan menghardik halusinasi 3x1 hari
2. Diagnosa Keperawatan  Latihan klien merapikan tempat tidur 1x1 hari
Husinasi pendengaran

3. Tindakan Keperawatan
Sp1 halusinasi
1. Melatih pasien
mengidentifikasi
halusinasinya; isi, frekuensi,
watu terjadi, sruasi pencetus,
perasaan dan respon
halusinasi
2. Mengontrol halusinasi dengan
cara menghardik

4. RTL
Sp2; mengontrol halusinasi
dengan cara minum obat
Sp3; mengontrol halusinasi
dengan cara bercakap - cakap
Sabtu,1 1. Data S:
1 Senang dan Antusias
Tanda dan gejala :
Novem
- Mendengar suara-suara
ber O:
mengatakan “memanggil
2022 1. klien mampu mengontrol halusinasi dengan minum obat
namanya dan mengatakan nak
secara teratur dengan bantuan pengawas yayasan.
lagi ngapain” suara mirip
2. Klien mampu melakukan komunikasi secara verbal :
suara ibunya
asertif/bicara baik-baik dengan motivasi.
- Tertawa sendiri
A:
- Berbicara sendiri
Halusinasi pendengara (+)
2. Diagnosa keperawatan
Halusinasi pendengaran
P:
 Latihan menghardik halusinasi 3x1 hari
3. Tindakan keperawatan  Latihan minum obat dengan prinsip 6 benar 2x1 hari

Sp2 :
Memberikan informasi tentang
cara pengunaan obat minum
obat
Sp3 :
memberikan informasi dampak
positif mengontol halusinasi
dengan cara bercakap – cakap

4. RTL :
Sp4 :
Mengontrol halusinasi dengan
cara melakukan aktivitas
Senin, 2. Data S:
12, Tanda dan gejala : Senang dan antusias
Novem - Mendengar suara-suara
ber mengatakan “memanggil O :
2022
namanya dan mengatakan nak Klien mempraktekkan cara bercakap-cakap dengan orang lain
lagi ngapain” suara mirip
suara ibunya A:
- Tertawa sendiri Halusinasi pendengaran (-)
- Berbicara sendiri

2. Diagnosa keperawatan
P:
Halusinasi pendengaran
 Latihan menghardik halusinasi 3x1 hari
3. Tindakan keperawatan  Latihan minum obat dengan prinsip 6 benar 2x1 hari
Sp4 : Halusinasi  Latihan bercakap-cakap dengan orang lain 3x1 hari
Mengontrol halusinasi dengan  Anjurkan klien berdoa 2x1 hari

melakukan kegiatan terjadwal


4. RTL :
Halusinasi : Follow up dan
evaluasi Sp 1-4 Halusinasi
BAB 4
PEMBAHASAN

Setelah penulis melaksanakan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. A Dengan Harga
Diri Rendah di Rumah Sakit Prof. Dr. M. Ildrem maka penulis pada BAB ini akan
membahasan kesenjangan antara teoritis dengan tinjauan kasus. Pembahasan dimulai
melalui tahapan proses keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
4.1 Tahap Pengkajian
Selama pengkajian dilakukan pengumpulan data dari beberapa sumber, yaitu dari
pasien dan tenaga kesehatan di rumah sakit jiwa. Penulis mendapat sedikit
kesulitan dalam menyimpulkan data karena keluarga pasien tidak pernah
mengunjungi pasien di rumah sakit jiwa. Maka penulis melakukan pendekatan
kepada pasien melalui komunikasi teraupetik yang lebih terbuka membantu klien
untuk memecahkan perasaannya dan juga melakukan observasi kepada pasien.
Adapun upaya tersebut yaitu:
1. Melakukan pendekatan dan membina hubungan saling percaya diri pada
klien agar klien lebih terbuka dan lebih percaya dengan menggunakan
perasaan.
2. Mengadakan pengkajian klien dengan wawancara
3. Mengadakan pengkajian bertanya kepada pegawai rumah sakit jiwa yang
ada di ruangan.
Dalam pengkajian ini, penulis tidak menemukan kesenjangan karena ditemukan
hal sama seperti diteori: Mengkritik diri sendiri, perasaan tidak mampu,
pandangan hidup yang pesimis, penurunan produktivitas, penolakan terhadap
kemampuan diri, malu terhadap diri sendiri, bicara ngawur, suka menyendiri,
kontak mata kurang (Pardede, 2019).
4.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan ialah identifikasi atau penilaian terhadap pola respons
klien baik actual maupun potensial dan merupakan dasar pemilihan intervensi
dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan oleh perawat yang bertanggung
jawab. Data-data yang mendukung analisa data menurut (Keliat, 2015):
1. Harga Diri Rendah
2. Isolasi Sosail
3. Halusinasi Pendengara

4.3 Tahap Perencanaan


Perencanaan dalam proses keperawatan lebih dikenal dengan rencana asuhan
keperawatan yang merupakan tahap selanjutnya setelah pangkajian dan
penentuan diagnosa keperawatan. Pada tahap perencanaan penulis hanya
menyusun rencana tindakan keperawatan sesuai dengan pohon masalah
keperawatan yaitu: Gangguan Konsep Diri: Harga diri rendah

Pada tahap ini antara tinjauan teoritis dan tinjauan kasus tidak ada kesenjangan
sehingga penulis dapat melaksanakan tindakan seoptimal mungkin dan didukung
dengan tersedianya sarana ruangan perawat yang baik dan adanya bimbingan dan
petunjuk dari petugas kesehatan dari rumah sakit jiwa yang diberikan kepada
penulis. Secara teoritis digunakan cara strategi pertemuan sesuai dengan
diagnosa keperawatan yang muncul saat pengkajian. Adapun upaya yang
dilakukan penulis yaitu:
Gangguan Konsep Diri: Harga diri rendah
1. Harga diri rendah
Sp1: indentifikasi kemampuan dan aspek positif yang di miliki
Sp2 :
- Menilai dan menetapkan kemampuan yang dapat digunakan
- Menetapkan atau memilih kemapuan yang dapat digunakan
- Melatih kempuan yang dapat digunakan 1
Sp 3 : melatih kegiatan yang dapat digunakan
2 Sp 4 : melatih kegiatan yang dapat
digunakan 3
2. Isolasi Sosial
SP 1 : Menjelaskan keutungan dan kerugian memiliki
teman Sp 2 : Melatih klien berkenalan dengan 2 orang atau
lebih
Sp 3 : Melatih bercapak – cakap sambil melakukan kegiata harian
Sp 4 : Melatih berbicara sosial : memintah sesuatu, berbelanja dan sebagainya

3. Halusinasi
Pendengaran Sp1:
- Indentifikasiisi, waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan dan
respon halusinasi
- Mengontrol halusinasi dengan menghardik
Sp2 :mongontrol halusinasi dengan minum obat secara teratus
Sp3:komunikasi secara verbal: asertif / bicara baik-baik
Sp4 : spiritual

4. Tahap Implementasi
Pada tahap implementas penulis hanya mengatasi masalah keperawatan dengan
diagnosa keperawatan Gangguan Konsep Diri : Harga diri rendah . Pada
diagnosa keperawatan Gangguan Konsep Diri : Harga diri rendah dilakukan
strategi pertemuan yaitu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki pasien, menilai kemampuan yang dapat digunakan menetapkan/ memilih
kegiatan sesuai kemampuan “melatih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih
1”, melatih kegiatan sesuai kemampuan yang dpilih 2, dan melatih kegiatan
sesuai kemampuan yang di pilih 3. (Pardede, Keliat, & Yulia, 2015).

5. Tahap Evaluasi
Setelah tindakan keperawatan, segera lakukan evaluasi. Evaluasi terhadap
masalah keperawatan harga diri rendah meliputi kemampuan pasien harga diri
rendah dan
keluarganya dan kemampuan perawat dalam merawat pasien harga diri rendah
(Tobing, Keliat & Wardhani, 2015). Pada tinajauan teoritis evaluasi yang
diharapkan adalah: Pasien mempercayai perawat sebagai terapi, pasien menyadari
bahwa pasien memiliki kemampuan dan aspek yang dimiliki. Klien mampu
mengindentifikasi kemampuan yang dimiliki, Klien mampu menilai, menetapkan
dan melatih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih :
1. Strategi pertemuan selanjutnya yaitu Strategi pertemuan selanjutnya yaitu
melatih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih.
2. Klien mampu melaksanakan jadwal yang telah dibuat bersama, Klien mampu
melatih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih.
3. Selain itu, dapat dilihat dari setiap evalusi yang dilakukan pada asuhan
keperawatan, dimana terjadi penurunan gejala yang dialami oleh Tn. A dari
hari kehari selama proses interaksi
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpul
an

Berdasarkan konsep asuhan keperawatan yang telah disusun dan dilaksanakan


kepada Tn.A dimiliki dari pengkajian, rumusan masalah, perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi didapat hasil bahwa Tn.A dengan keluhan utama
klien berbicara sendiri, berkelakukan aneh, melukai diri sendiri, tidak bisa tidur,
merasa malu dan menyesal dengan keadaan nya sekarang. Objektif yaitu klien
tampak berdiam diri, bingung dan terkadang menunduk. Dari masalah masalah
diatas maka diperoleh prioritas masalah yang diangkat adalah tentang Harga
Diri Rendah. Kemudian diberikan intervensi secara konsep yaitu melatih
kegiatan yang dipilih. Dari hasil implementasi ada beberapa intervensi yang
berhasil teratasi seperti klien sudah mulai mau untuk megatakan penyakitnya
yang sebenarnya, klien mampu membuka diri pada keluarga, Tetapi kelien
masih sedikit malu.

.
5.2 Saran
Diharapkan bagi perawat selalu berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lainnya
dalam memberikan asuhan keperawatan agar lebih maksimal terkusus pada
klien dengan Harga Diri Rendah pada pasien Skinzofrenia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes. (2019). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis, Edisi 2.
Jakarta.

2. Elvidiana, H., & Fitriani, D. R. (2019). Analisis Praktik Klinik Keperawatan


pada Ibu R dengan Harga Diri Rendah dengan Intervensi Inovasi Logoterapi
Terhadap Gangguan Harga Diri Rendah di Ruang Punai RSJD Atma Husada
Mahakam Samarinda..

3. Pardede, J. A., Keliat, B. A., & Wardani, I. Y. (2020). The Symptoms of Low
Self-Esteem Decline after Being Given Acceptance and Commitment
Therapy. Adv Practice Nurs, 5, 170.

4. Pardede, J. A., Damanik, R. K., Simanullang, R. H., & Sitanggang, R. (2020).


The Effect Of Cognitive Therapy On Changes In Self-Esteem On
Schizophrenia Patients. European Journal of Molecular & Clinical
Medicine, 7(11),

5. Pardede, J. A. (2020). Decreasing Hallucination Response Through


Perception Stimulation Group Activity Therapy In Schizophrenia Patients. Iar
Journal of Medical Sciences, 1(6), 304-309.

6. Kenedyanti, E., & Sulistyorini, L. (2017). Analisis Mycobacterium


Tuberkulosis Dan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru.
Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(2), 152–162.
https://doi.org/10.20473/jbe.v5i2.2017.152-162

7. Kemenkes RI. (2018). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta:


Kemenkes RI.

8. Kemenkes RI. (2020). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta:


Kemenkes RI.

9. Kholifah, Nurul, S.,& Indreswari, S.A. (2015). Faktor Terjadinya


Tuberkulosis Paru pada Anak Berdasarkan Riwayat Kontak Serumah Vol 14,
Nomor 2. Semarang: Jurnal Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan
Universitas Dian Nuswantoro. Di akses dari
https://publikasi.dinus.ac.id/index.ph p/visikes/article/view/1203.

10. Noviyani, E., Fatimah, S., Nurhidayah, I., & Adistie, F. (2015). Upaya
Pencegahan Penularan TB dari Dewasa terhadap Anak, Vol 3 Nomor 2.
Bandung:Jurnal Keperawatan Padjajaran Fakultas Keperawatan Universitas
Padjadjaran. Di Akses dari jkp.fkep.unpad.ac.id.

11. Pardede, J. A., Keliat, B. A., & Yulia, I. (2015). Kepatuhan Dan Komitmen
Klien Skizofrenia Meningkat Setelah Diberikan Acceptance And
Commitment Therapy Dan Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat.
Jurnal Keperawatan Indonesia, 18(3), 157-166.
Http://Jki.Ui.Ac.Id/Index.Php/Jki/Article/View/419

12. Pardede, J. A., Hafizuddin, H., & Sirait, A. (2021). Coping Strategies Related
to Self-Esteem on PLWHA in Medan Plus Foundation. Jurnal Ilmu
Keperawatan Jiwa, 4(2), 255-262.

13. Pardede, J. A., Harjuliska, H., & Ramadia, A. (2021). Self-Efficacy dan Peran
Keluarga Berhubungan dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia.
Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 4(1), 57-66.
http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v4i1.846

14. Pardede, J. A., Hutajulu, J., & Pasaribu, P. E. (2020). Harga Diri dengan
Depresi Pasien Hiv/aids. Jurnal Media Keperawatan: Politeknik Kesehatan
Makassar, 11(01). https://doi.org/10.32382/jmk.v11i1.1538

15. Pardede, J. A., Huda, A., Saragih, M., & Simamora, M. (2021). Verbals
Bullying Related To Self-Esteem On Adolescents. Jendela Nursing Journal
(JNJ), 5(1), 16-22. https://doi.org/10.31983/jnj.v5i1.6903

16. Pardede, J. A. (2017). The Implementation of Family Tasks with The


Frequency of Recurrence of Social Isolation Patients. Mental Health, 4(2).

17. Pardede, J. A., Simamora, M., & Simanjuntak, G. V. (2020). Family Support
and Self-Esteem of Patient with Breast Cancer Education, 25(6), 73-
5.https://www.easpubliher.com/easjnm

18. Rahayu, S., Mustikasari, M., & Daulima, N. H. (2019). Perubahan Tanda
Gejala dan Kemampuan Pasien Harga Diri Rendah Kronis Setelah Latihan
Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga. JOURNAL EDUCATIONAL OF
NURSING (JEN), 2(1), 39-51. https://doi.org/10.37430/jen.v2i1.10

19. Samosir, E. F. (2020). Penerapan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada An . A


Dengan Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah Di Lingk . XVI Lorong
Jaya. 1–41.

20. Suprapto, S. (2018). Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Dalam Upaya


Pencegahan Tuberkulosis Di Wilayah Kerja Puskesmas Batua Kota Makassar.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 1114–1124.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v6i1.10

21. Suryani, U., & Efendi, Z. (2020). Dukungan Keluarga Berhubungan


dengan Harga Diri pada Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Ilmu
Keperawatan Jiwa, 3(1), 53. https://doi.org/10.32584/jikj.v3i1.474

22. Lete, G. R., Kusuma, F. H. D., & Rosdiana, Y. (2019). Hubungan Antara
Harga Diri Dengan Resiliensi Remaja Di Panti Asuhan Bakti Luhur
Malang. Nursing News: Jurnal Ilmiah
Keperawatan, 4(1).
Https://Publikasi.Unitri.Ac.Id/Index.Php/Fikes/Article/View/1436

23. Wandono, W. A., & Arum Pratiwi, S. (2017). Upaya peningkatan harga
diri rendah pada pasien depresi (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta). http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/52383

24. Widhaswari, D. O. (2017). Asuhan keperawatan psikososial harga diri


rendah situasional pada klien dengan diabetes mellitus dan luka gangren di
Ruang Antasena RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor

25. Wilkinson, J.M., & Ahern, N. R. (2009). Buku saku diagnosis


keperawatan. Edisi 9. Jakarta: EGC.

26. Wijayati, F., Nasir, T., Hadi, I., & Akhmad, A. (2020). Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Harga Diri Rendah Pasien Gangguan
Jiwa. Health Information: Jurnal Penelitian, 12(2), 224-235
https://doi.org/10.36990/hijp.v12i2.234

27. Yusuf, A Dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta
Salemba Medika.
Stukrur naratif dapat digunakan untuk melihat kedua aspek pertama yaitu

penerimaan terhadap suatu siklus kehidupan dan bersahabat dengan masa lalu.

Sedangkan narrative tone dapat digunakan untuk melihat bagaimana seseorang

mampu menyesuaikan diri dengan pengalaman menyenangkan dan mengecewakan

serta melihat status integritas emosional seseorang.

Anda mungkin juga menyukai