XIV
Ilyas, S. Pd., M. M.
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu meningkatkan nilai-nilai ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa khususnya dalam Melaksanakan aktifitas kehidupan terutama
yang sesuai dengan profesinya dan punya nilai-nilai pokok ajaran Islam.
2. Mahasiswa mampu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan
tugas berdasarkan agama, moral, dan etika, khususnya dalam menjalakan
tugas pekerjaannya.
3. Mahasiswa dapat memahami tentang kepemimpinan yang betanggung jawab
dan berakhlakul karimah.
~ 129 ~
adalah yang aktivitasnya mengakibatkan terhindarnya mudarat, atau yang
pekerjaannya memberikan manfaat kepada pihak-pihak lain, dan atau
pekerjaannya sesuai dengan petunjukpetunjuk Ilahi, akal sehat, dan adat
istiadat yang baik (Shihab, 1997:480). Kesimpulannya, etos kerja Islami
yang secara bahasa Al-Qur‟an yaitu amal shalih, merupakan karakter
berkaitan dengan kerja dimana pekerjaan itu harus dilakukan dengan
mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, akal sehat, dan adat istiadat yang baik,
serta menghindari segala bentuk kemudaratan.
b. Etos kerja Islami menurut Asifudin (2004) digali dan dirumuskan
berdasarkan konsep iman, ilmu dan amal shalih. Suatu kerja atau
perbuatan meskipun memberikan manfaat keduniaan bagi orang lain,
namun tanpa disertai iman pada pelakunya, kerja itu tidak akan
membuahkan pahala di akhirat.
Sebagaimana tercantum dalam firman Allah Swt sebagai berikut:
ص ِش ْ
ْ ٔان َعArtinya:
َ Demi masa, ً ْ ساٌَ ُخس ٍْشنَ ِف ِ ْ ٌَِّ اsesungguhnya manusia itu benar-benar
َ َْ اَل
dalam ker ugian, صث ِْش ِ ّ ص ْٕا ِت ْان َح
َّ ك ِتان َ ص ِهحٰ ِر َٕ َع ًِهُٕاا َيُُ ْٕ ٰاانَّ ِز ٌَُْا ََِّل َٔذ ََٕا
َ ص ْٕا َٔذ ََٕا ان هkecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al- „Asr: 1-3).
Dan Firman Allah QS. Yunus ayat ِتَجْسٌِْ يٍِْ تَحْتِهِىُ انْاََْهٰسُ فٍِْ انَُّعًُِِْجَُّٰتِ اٌَِّ انَّرٍََِْ اٰيَُىْا وَعًَِهُىا انصّٰهِحٰت
ْ َهْدَِْ ِهىْ بِاًََِْاَِهًِْْۚسَبُّهُىArtinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya,
di bawah mereka mengalir sungai- sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan.
(Q.S. Yunus: 9). Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bahwa iman dan amal shalih
merupakan satu rangkaian yang berk]aitan erat dan tidak terpisahkan. Tidak ada
amal shalih tanpa iman, dan iman akan menjadi mandul bila tidak melahirkan amal
shalih. Ilmu ternyata menjadi landasan sekaligus jembatan yang harus ada bagi iman
dan amal shalih. Ilmu adalah bagian dari kewajiban yang bersifat keagamaan karena
diwajibkan bagi setiap muslim untuk mencarinya. Maka dengan kalimat yang lain,
menurut Kastolani dan Hafidz (2009) iman adalah pondasi akhlak yang mulia,
akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar menjadi
pondasi amal yang shalih. b. Pengertian Istilah Etos kerja Islami dapat didefinisikan
sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan sangat mendalam bahwa
bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya,
melainkan juga sebagai manifestasi dari amal shalih dan oleh karenanya mempunyai
nilai ibadah yang sangat luhur (Tasmara, 2002:27). Asifudin (2004:234) menjabarkan
etos kerja Islami sebagai karakter dan kebiasaan manusia berkenaan dengan kerja,
terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islam yang merupakan sikap hidup
mendasar terhadapnya.
~ 130 ~
Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang
berorientasi bukan hanya sekadar pada hasil materi tetapi lebih dalam dari itu
bekerja merupakan ibadah dalam rangka meraih ridho Allah Swt. Ridho Allah Swt
merupakan tujuan tertinggi bagi seorang yang beretos kerja Islami. Oleh karena itu,
munculnya etos kerja Islami pada diri seseorang bersumber dari keimanan kepada
Allah Swt. Manusia yang beriman maka akan meyakini dengan sepenuh hati dan
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Perintah-
perintah untuk beramal atau bekerja beserta keutamaan-keutamaannya banyak
dimuat dalam Al-Qur‟an dan hadits. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang memuat tentang
perintah dan keutamaan bekerja di antaranya akan diuraikan di bawah ini.
Firman Allah dalam QS. Ar-Ra‘du ayat 11:
~ 131 ~
yang kuat kepada para pemeluknya untuk bekerja giat sehingga membolehkan
bahkan menyuruh mereka untuk berkompetisi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang baik, tentunya dengan cara yang baik dan sehat. Kesimpulannya, pekerjaan
adalah termasuk amanah Allah Swt yang dititipkan kepada manusia, oleh karena itu
manusia harus bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Perintah dan keutamaan-
keutamaan bekerja selain dimuat dalam Al-Qur‟an, juga terdapat dalam hadits
Rasulullah saw, misalnya hadits yang mengajarkan tentang kerja keras berikut ini.
Artinya: Dari Al-Miqdam ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda: ―Tidak
seorangpun makan makanan yang lebih baik daripada memakan hasil kerja
tangannya. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud as. makan dari hasil kerja tangannya‖.
(H.R. Bukhari, no. 979). Hadits tersebut menyiratkan pesan bahwa dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya manusia diperintahkan untuk bekerja, karena sesuatu yang
diperoleh atas usaha atau kerja dari tangannya sendiri adalah lebih mulia
kedudukannya dibanding dengan meminta-minta. Oleh karenanya, hamparan
kekayaan alam yang dianugerahkan Allah Swt di bumi harus diolah dengan
sebaikbaiknya sebagai sarana memperoleh bekal akhirat. Bekerja adalah amanah,
maka dianjurkan agar bekerja dengan sungguh-sungguh dan berkompetisi secara
sehat serta menghargai waktu. Nilai-nilai inilah yang di antaranya dapat menjadi
sumber keyakinan umat muslim untuk bersemangat dalam bekerja dengan
menghayati etos kerja Islami.
~ 132 ~
termasuk kategori jihad. Hadits Rasulullah: ―Tidaklah seseorang memperolah
hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang
dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya, kecuali
dihitung sebagai sedekah.”(HR Ibnu Majah). Seseorang yang memerah
keringah dan membanting tulang untuk keluarga dicintai Tuhan dan Rasuln-
Nya. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya
soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari
dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya
bersabda: “Tangan seperti inilah yang dicintai Tuhan dan Rasulnya”.
4. Bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga. Islam mendorong kerja
keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum
beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan
mengancam keras bersiikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis
lingkungan sekitar.
س ْٕ ِنّ َٔا َ َْ ِفمُ ْٕا ِي ًَّا َج َعهَ ُك ْى ُّي ْسرَ ْخهَ ِفٍٍَْ فِ ٍْ ِۗ ِّ فَانَّ ِزٌٍَْ ٰا َيُُ ْٕا ِي ُْ ُك ْى َٔا َ َْفَمُ ْٕا نَ ُٓ ْى َك ِثٍ ٌْشا َ ْج ٌش
ُ اّللِ َٔ َس
ِت ه
ٰا ِيُُ ْٕا
Terjemahan
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai
penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.
Lebih tegas, Tuhan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi
mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta
agama.
٣ ٍُِِِْۗ وَنَا َحُضُّ عَهًٰ طَعَاوِ انْ ًِسْك٢ ََۙ فَرٰنِكَ انَّرٌِْ َدُعُّ انَُْتُِْى-١ ٍَِِِّْۗاَ َزءَ َْتَ انَّرٌِْ َُكَرِّبُ بِاند
1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2) Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,
3) dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
Hal itu karena dalam Islam tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara
mutlak. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu
menyisakan hak kaum lemah.
5. Kerja Didasarkan Prinsip Keseimbangan
Hakikat ajaran Islam melarang sikap dan perilaku keterlaluan dalam
beragama. Nabi Muhammad saw. sendiri dalam kehidupan sehari harinya
selalu memanfaatkan waktu untuk melakukan kerja dan perbuatan mulia,
baik berupa ibadah mahdhah, menunaikan kewajiban untuk diri sendiri dan
keluarga, berbuat baik kepada sesama, dakwah, mengajar, dan lain-lain
(Asifudin, 2004:64). Larangan Rasulullah saw. tentang perilaku berlebihan
dalam beragama ini termuat dalam hadits berikut: Artinya: Dari Anas bin
~ 133 ~
Malik ra., ia berkata: ―Ada tiga orang sahabat yang mendatangi rumah isteri-
isteri Rasulullah saw. untuk bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika
mereka diberitahukan tentang ibadahnya seakan-akan mereka
menganggapnya sedikit, mereka berkata: „Dimana posisi kita dibanding
Rasulullah saw.?. Allah Swt telah mengampuni baginya dosa-dosanya yang
terdahulu dan yang akan datang‟. Salah seorang mereka berkata: ―Adapun
aku akan shalat malam selamanya‟. Orang yang lain berkata: ―Aku akan
puasa sepanjang masa dan tak pernah berhenti puasa‟. Orang yang satunya
lagi berkata: „Aku akan menghindari perempuan dan tidak menikah
selamanya‟. Maka Rasulullah saw. kemudian mendatanginya dan berkata:
„Apakah kalian yang berkata begini dan begini? Demi Allah Swt,
sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah Swt. dan paling
bertakwa kepada-Nya, hanya saja aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan
aku tidur dan aku menikahi wanitawanita. Maka barang siapa yang tidak
senang terhadap sunnahku, maka ia bukanlah golonganku‟.‖ (H.R. Bukhari,
no. 2.039). Prinsip keseimbangan ini apabila dikaikan dengan etos kerja
Islami menurut Asifudin (2004:57) menimbulkan implikasi yang memberikan
dorongan amat kuat agar kerja sebagai ibadah disikapi dan diperlakukan
sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (ibadah mahdhah). Posisi aktivitas
keduniaan yang disukai Allah Swt adalah sama-sama diperintahkannya,
seperti halnya penegasan diperintahkannya shalat, zakat, puasa, dan
sebagainya. Oleh karena itu, etos kerja yang baik di berbagai bidang
kehidupan juga wajib ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
Prinsip keseimbangan dalam etos kerja Islami yaitu manusia dalam hidupnya
di dunia bukan hanya sekadar mementingkan ibadah ritual semata,
melainkan juga harus bekerja dengan penuh kesungguhan, karena bekerja
termasuk ibadah yang samasama diperintahkan oleh Allah Swt.
6. Kerja Dilandasi Ilmu
Sumber ilmu yang mendasari etos kerja Islami adalah wahyu dan keteraturan
hukum alam yang merupakan hasil penelitian akal. Ilmu sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya yaitu sebagai landasan atau jembatan iman dan aman
shalih, maka ilmu aqly dipandang amat penting dalam Islam. Akal
menjangkau daya yang dapat dipakai untuk memahami realitas konkrit dan
ghaib. Realitas konkrit dipahami oleh pikiran, sedangkan realitas ghaib atau
spiritual oleh qalbu. Pengertian seperti ini penting untuk dipahami supaya
orang tidak lagi mempertentangkan akal dengan iman, karena pemahaman
dengan akal dapat mencakup pemberdayaan iman terhadap objek yang
memang harus diimani. Akal melakukan penalaran sehingga sampailah pada
kesimpulan bahwa alam ini diatur oleh Tuhan dengan hukum alam yang
diciptakanNya. Hukum alam ini dalam bahasa Islam disebut sebagai
~ 134 ~
sunnatullah (Asifudin, 2004:114). Keilmuan sehubungan dengan sunnatullah
ini secara langsung atau tidak langsung menuntut serta medidik orang Islam
agar bekerja rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek,
menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan profesional,
serta menghindari sikap-sikap yang merupakan lawan atau kebalikan dari
sikap-sikap tersebut.
7. Kerja dengan Meneladani Sifat-sifat Ilahi serta Mengikuti Petunjuk-petunjuk-
Nya
Manusia sebagai khalifatullah fil ardhi dibekali dengan potensi-potensi atau
fitrah. Fitrah pada manusia tidak lain adalah sifat-sifat Allah Swt yang
ditiupkannya kepada manusia sebelum lahir (Langgulung, 2004:50). Sifat-
sifat Allah itu disebut dalam Al-Qur‟an sebagai nama-nama yang indah atau
Asmaul Husna. Sifat-sifat Allah harus diteladani manusia supaya potensi-
potensi dirinya mewujud dalam perbuatan nyata yang serupa dengan sifat-
sifat Allah dalam porsi kemanusiaannya. Sifat al-Khaliq (Maha Pencipta)
pada Allah misalnya, dapat dijabarkan oleh manusia dalam bentuk sifat
kreatif. Gabungan sifat ar-Rabb, al-Mudabbir, al-Musawwir, al-Muqaddir dan
al-Khaliq pada Allah Swt menunjukkan Dia memiliki sifat Maha Sempuna
dalam bekerja. Manusia mempunyai potensi untuk mengembangkan
karakteristik etos kerja tinggi dengan meneladani sifat Maha Sempurna Allah
Swt tersebut dalam bekerja, seperti aktif, berencana, efisien, efektif, disiplin,
profesional, ilmiah, kritis, konstruktif, dan sebagainya. Allah Maha Kuasa (al-
Malik) dengan kekuasaan tidak terbatas dan Allah Maha Pengatur
(alMudabbir), manusia juga mempunyai potensi untuk memimpin dan
mengembangkan manajemen di bidang usaha, politik, sosial dan lain-lain
(Asifudin, 2004:123). Keistimewaan orang yang beretos kerja Islami
aktivitasnya dijiwai oleh dinamika aqidah dan motivasi ibadah. Bekerja
dengan niat mencari ridho Allah Swt amat erat kaitannya dengan ihsan,
sedangkan makna ihsan sangat luas, antara lain sehubungan dengan kerja
artinya bekerja harus optimal atau sebaik mungkin. Ihsan di sini amat
mendukung pengembangan sikap percaya diri, kemandirian sekaligus
mendorong suka bekerjasama dengan orang lain dengan pengawasan
malaikat. Orang yang beretos kerja Islami juga memiliki ciri-ciri yang
tercakup dalam konsep amanah. Amanah menjadi salah satu prinsip akhlak
yang utama dalam Islam. Konsep amanah ini mewujud kepada sikap moral
seperti: menjaga mutu kerja, menepati janji, jujur, dan lain sebagainya
(Asifudin, 2004:124-125). Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa etos kerja Islami harus dilandasi prinsip-prinsip: kerja
merupakan ibadah, kerja memiliki kedudukan yang sama dengan ibadah-
ibadah mahdhah, kerja harus dilandasi ilmu, kerja dijiwai dengan semangat
~ 135 ~
jihad dan tanpa takut terhadap apapun kecuali Allah Swt, serta kerja dengan
meneladani sifat-sifat Allah Swt sesuai kadar kemanusiaan dan mengikuti
petunjuk-petunjuk-Nya.
8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Islami:
a. Faktor Pendorong, hal-hal yang dapat mendorong seorang muslim untuk
menghayati dan mempraktikkan etos kerja Islami selain karena faktor
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan seperti pengakuan dan aktualisasi diri,
faktor lingkungan kerja, serta berbagai faktor yang bersifat keduniaan
yang lainnya, juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat transenden.
Faktor tersebut ialah janji-janji yang Allah Swt kabarkan dalam firman-
Nya. Allah Swt menjanjikan pahala bagi umatnya yang beriman kepada-
Nya dan mengamalkan dalam perbuatan yang nyata. Allah Swt juga
berjanji akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang
bekerja dengan disertai iman. Janji Allah Swt tersebut dimuat dalam
firman Allah Swt dalam Surah An-Nahl ayat 97 berikut ini. Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan. (Q.S. An-Nahl: 97).
b. Faktor Penghambat Etos kerja Islami merupakan karakter berkaitan dengan
kerja yang bersumber dari keyakinan Islam, tepatnya keyakinan Islam
tentang kerja. Keyakinan Islam sebagai sumber etos kerja Islami ternyata
tidak cukup membuat etos kerja Islami ini dimiliki oleh semua umat
muslim. Ada beberapa sebab yang menghambat dihayatinya etos kerja
Islami oleh umat muslim, di antaranya sebagi berikut:
1) Pandangan dikotomis antara ibadah dan kerja
Salah satu penyebab keterpurukan dunia Islam adalah
menguatnya tradisionalisme, yakni cara pandang dikotomis terhadap
ibadah dan kerja. Tradisionalisme secara sederhana dapat dijelaskan
sebagai lahirnya semacam pandangan umum di kalangan masyarakat
bahwa ibadah adalah persoalan ukhrawi dan pekerjaan sehari-hari
adalah urusan duniawi (atau setidaknya kurang bernilai ibadah), yang
masing-masing memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda. Pendeknya,
karena keduanya diyakini memiliki dimensi atau nilai yang berbeda,
maka prioritas terhadap keduanya juga harus dibedakan (Irkhami,
2014:171).
2) Pandangan keliru tentang makna zuhud.
Zuhud adalah perilaku terpuji, tapi maknu zuhud sering
dikelirukan dan disalahtafsirkan sebagai sikap menolak segala hal
~ 136 ~
duniawi. Mereka menolak segala hal yang enak dan menyenangkan,
tidak mempedulikan makan dan minum, berpakaian seadanya, dan
tidak memikirkan harta kekayaan. Mereka takut terperdaya oleh
pesona dunia (Syahyuti, 2011:166). Kehidupan dunia memang
berpotensi besar melalaikan atau melengahkan manusia. Dalam Surah
Al-Hadid ayat 20 disebutkan bahwa kehidupan dunia itu semata-mata
permainan dan hiburan yang melalaikan, hanyalah kesenangan bagi
orang yang terperdaya, dan seterusnya. Namun hakikatnya, ayat ini
bukan kecaman terhadap dunia yang menjadikan seseorang harus
mengutuk dan mengabaikannya, melainkan gambaran kehidupan
duniawi orang-orang hedonis yang melalaikan agama (Syahyuti,
2011:166-167). Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah
kepuasan hati dengan apa yang diberikan Allah Swt. Tak ada ikatan
hati kepada harta dan hal-hal yang bersifat material lainnya. Harta
hanya sampai di ―tangan‖, tidak sampai di ―hati‖ (Syahyuti, 2011:167).
Artinya sekaya apapun seseorang itu, ia tidak akan terperdaya atau
menjadi budak dari hartanya. Ia tidak takut hartanya berkurang
dengan berbagi kepada orang yang tidak mampu dan anak yatim. Ia
justru gemar bersedekah, karena ia meyakini harta hanyalah titipan
dan di dalam harta tersebut ada bagian untuk orang-orang yang
berhak menerimanya. Oleh karena itu, orang kaya sangat bisa
melakukan zuhud.
Etos kerja Islami berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
dalam praktik-praktik kehidupan umat Islam keyakinan tentang kerja dalam
pandangan Islam yang bersumber dari janji-janji Allah Swt di dalam firman-
Nya dapat menjadi pendorong umat Islam untuk menghayati etos kerja
Islami. Penghayatan etos kerja Islami juga mengalami beberapa hambatan, di
antaranya disebabkan oleh:
1) pandangan bahwa ibadah berorientasi ukhrawi sedangkan kerja
berorientasi duniawi;
2) pandangan yang keliru mengenai makna zuhud sebagai sikap menolak
kesenangan dunia, harta, dan hal-hal yang bersifat materi lainnya;
3) pandangan yang negatif tentang takdir, yaitu takdir dipahami sebagai
kehendak Allah Swt yang membuatnya merasa tidak punya daya dan
upaya sehingga berdampak pada sikap pasrah sebelum berusaha.
~ 137 ~
dan bertingkahlaku yang berdasarkan nilai-nilai sikap terbaik yaitu akhlakul
karimah. Dengan berpegang pada pedoman sikap dalam bekerja, seorang pekerja
akan memberikan penampilan terbaiknya.
Pedoman bersikap tersebut menurut Shalih (2009:157-163) antara lain sebagai
berikut:
1) Bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kejujuran. Menghayati
sepenuhnya bahwa kejujuran merupakan jati diri yang akan menghantarkan
kepada kedudukan terpuji;
2) Meyakini sepenuhnya bahwa setiap kebohongan, pemalsuan dan penipuan
merupakan bentuk pengkhianatan. Sikap tersebut dapat merendahkan
martabat dirinya sebagai hamba Allah Swt dan merusak perusahaan atau
instansi;
3) Mampu menghadirkan Allah Swt dalam dunia kerja. Selalu merasa dilihat
dan dinilai oleh Allah Swt sehingga tumbuh kesadaran bahwa Allah Swt
hanya akan menerima pekerjaan yang dilakukan secara bersih dan sungguh-
sungguh;
4) Selalu memegang teguh tanggung jawab tugas yang telah diamanahkan pada
dirinya. Menjauhkan diri dari segala bentuk penyelewengan dan
pengkhianatan terhadap kontrak kerja, sumpah jabatan, dan/atau
kesepakatan yang telah dibuat dalam setiap rangkaian kerja;
5) Memiliki etika yang tinggi, menghargai semangat kerja kelompok, dan ikut
aktif dalam membina kualitas kelompoknya;
6) Memelihara semangat dan gairah yang sangat tinggi untuk memberikan
pelayanan prima;
7) Tidak pernah mengomersilkan jabatannya, memanipulasi, dan
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, karena hal itu merupakan
pengkhianatan terhadap amanah Allah Swt;
8) Memiliki semangat pengorbanan, senantiasa mencintai, serta mendahulukan
kepentingan perusahaan atau instansi dan orang lain di atas kepentingan
pribadi;
9) Mampu membangun hubungan baik dengan setiap rekan kerja, karyawan,
dan pimpinan;
10) Berusaha untuk dapat berempati kepada setiap orang, yaitu dengan menjadi
pendengar yang baik, selalu tampil dengan wajah berseri, serta penuh
senyuman;
11) Mempunyai jiwa kepemimpinan yang unggul. Menunjukkan keteladanan
sehingga dirinya menjadi panutan, baik di lingkungan kerja maupun dalam
pergaulan di masyarakat;
12) Menjadikan semangat musyawarah sebagai ciri kepribadian dalam
menyelesaikan berbagai persoalan kerja;
~ 138 ~
13) Proaktif, harmonis, dan turut serta dalam memberikan kontribusi untuk
meningkatkan kualitas sumber insani, baik individual maupun kolektif;
14) Memelihara kualitas lingkungan kerja yang kondusif, menghindari segala
bentuk pergunjingan, situasi konflik, serta perbuatan yang mengganggu
organisasi dan wibawa perusahaan atau instansi;
15) Merasakan misi sebagai duta perusahaan atau instansi dalam pergaulan di
masyarakat. Dengan misi tersebut tumbuhlah citra positif masyarat terhadap
perusahaan atau instansi;
16) Mempertimbangkan dengan segala kebijaksanaan dalam ketenangan hati dan
kebersihan pikiran akan setiap pengambilan keputusan;
17) Menyadari sepenuhnya bahwa berdisiplin tinggi dan memenuhi peraturan
perusahaan merupakan bagian hakiki dari sikap dan cara kerja profesinal;
18) Melaksanakan setiap tugas dengan standar kualitas tinggi sesuai visi dan misi
perusahaan atau instansi;
19) Bekerja secara inovatif, mampu menyesuaikan diri dengan
perubahanperubahan untuk mencapai peningkatan kualitas diri, terbuka
dengan gagasan baru, dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan
berbagai persoalan secara cepat, tepat, dan akurat;
20) Berupaya sekuat tenaga dan dengan segala kemampuan untuk
mengembangkan diri dalam mendukung upaya pengembangan dan
keberhasilan kerja.
~ 139 ~
terkontaminasi), sebagai antonim dari syirik (tercampur). Ibarat ikatan kimia air
(H2O), dia menjadi murni karena tidak tercampur apapun, dan bila sudah
tercampur sesuatu (misalnya CO2) komposisinya sudah berubah dan dia bukan
lagi murni H2O. Kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa Latin
sincer: pure) yang berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar yang
keluar dari hati nuraninya yang paling dalam (based on what is truly and deeply
felt, free from dissimulation). Mereka yang disebut mukhlis melaksanakan
tugasnya secara profesional tanpa motivasi lain kecuali bahwa pekerjaan itu
merupakan amanat yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya (Tasmara,
2002:78-79).
3) Memiliki Kejujuran Seorang yang jujur di dalam jiwanya terdapat komponen
nilai ruhani yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran
dan sikap moral yang terpuji (morally upright). Perilaku jujur adalah perilaku
yang diikuti oleh sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Kejujuran
dan integritas adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Seorang yang
jujur harus siap menghadapi resiko dan segala akibat dengan gagah berani
(Tasmara, 2002:80-81).
4) Memiliki Komitmen. Komitmen berasal dari bahasa Latin committere, to connect,
entrustthe state of being obligated or emotionally impelled, artinya berkomitmen,
untuk menghubungkan, mempercayakan keadaan berkewajiban atau terdorong
secara emosional
~ 140 ~
a. Menurut Stoner -> Kepemimpinan adalah Sebuah proses dalam
mengarahkan atau memengaruhi kegiatan terkait sebuah organisasi atau
kelompok demi mencapai tujuan tertentu.
b. Menurut Wahjosumidjo -> Kepemimpinan merupakan kemampuan dalam
diri seseorang dan mencakup sifat-sifat, seperti kepribadian, kemampuan,
dan kesanggupan. Kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari gaya,
perilaku, dan kedudukan pemimpin bersangkutan dan interaksinya
dengan para pengikut serta situasi.
c. Menurut Sondang P. Siagian -> Kepemimpinan dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang saat menjabat sebagai pimpinan organisasi tertentu
dalam memengaruhi orang lain, khususnya bawahannya. Ini dilakukan
supaya mereka mampu bertindak dan berpikir sesuai dengan arahan
tertentu supaya tujuan dapat tercapai dengan mudah.
d. Menurut Hemhiel dan Coons -> Kepemimpinan adalah perilaku individu
ketika memimpin aktivitas dalam kelompok atau organisasi untuk
mencapai tujuan bersama atau shared goal.
Ada berbagai macam definisi kepemimpinan, tetapi secara umum, semuanya
merujuk pada tindakan untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang.
3. Teori Kepemimpinan
Ada beberapa teori yang harus dipahami terkait kepemimpinan. Teori-teori
tersebut adalah sebagai berikut
a. Teori Karakter
Teori karakter merupakan sebuah teori yang menitikberatkan karakter-
karakter tertentu yang mampu menyukseskan kepemimpinan. Contohnya,
seperti karakter fisik, inteligensi, ketegasan, dan sebagainya.
Teori ini dipercaya oleh banyak orang, tetapi tak jarang dihampiri kritik, salah
satunya terkait karakteristik fisik. Dalam teori karakter, fisik yang terlihat tegap
dan kuat dianggap sebagai karakter pemimpin terbaik.
Tentu Anda tahu betul bahwa hal ini tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya, belum
tentu orang yang terlihat kuat punya jiwa kepemimpinan yang tinggi.
b. Teori Perilaku
Dalam teori perilaku, dijelaskan mengenai beberapa perilaku yang
mencerminkan karakter pemimpin. Perilaku tersebut terbagi menjadi dua. Yang
pertama adalah job centered dan yang kedua adalah employee centered.
Job centered adalah sifat kepemimpinan yang berfokus pada pekerjaan.
Sementara itu, employee centered berfokus pada kondisi para karyawan atau
bawahan di sebuah proyek.
c. Teori Kepemimpinan Situasional
Teori yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard ini memiliki titik berat
pada kematangan para pengikut atau bawahan.
~ 141 ~
Kesuksesan suatu tujuan bergantung pada matang-tidaknya para bawahan,
maka dari itu pemimpin diharapkan mampu menganalisis apakah para
bawahannya sudah cukup matang atau belum.
Dapat disimpulkan bahwa ada berbagai perbedaan pendapat terkait teori
kepemimpinan. Namun, yang jelas, kepemimpinan yang sukses tidak hanya
berlandaskan pada faktor pemimpin saja, tetapi juga para bawahan.
4. Fungsi Kepemimpinan
Hamdani Nawawi dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan yang
Efektif menjelaskan berbagai macam fungsi kepemimpinan sebagai berikut.
a. Fungsi Instruktif
Fungsi ini menempatkan pemimpin sebagai pengambil keputusan dan
pemberi tugas terhadap para bawahannya. Sementara itu, para bawahan bertugas
untuk menjalankan segala instruksi yang diperintahkan oleh para pemimpin.
b. Fungsi Konsultatif
Berbeda dengan fungsi instruktif, fungsi konsultatif sifatnya dua arah.
Bawahan dapat berkonsultasi pada pemimpin untuk mencari jalan terbaik dalam
mencapai tujuan bersama.
Pemimpin diharapkan cukup bijak dan punya pengetahuan terkait hal yang
sedang dikerjakan supaya bisa mengarahkan bawahannya dengan baik.
c. Fungsi Partisipasi
Dalam fungsi ini, pemimpin mampu mengaktifkan partisipasi para
pesertanya sehingga mereka juga turut berpartisipasi dan berinisiatif dalam suatu
proyek. Para bawahan tidak hanya sekadar menjalankan perintah saja.
d. Fungsi Delegasi
Dalam fungsi delegasi, pemimpin mampu untuk mendelegasikan suatu
wewenang kepada orang lain yang memang sesuai dengan tugas tersebut.
Bukan hanya mampu memerintah, ia juga harus mampu untuk mengetahui
tugas-tugas yang cocok didelegasikan kepada bawahannya.
e. Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian berarti pemimpin mampu untuk mengendalikan segala
aktivitas bawahannya agar efektif bertugas untuk mencapai tujuan dan tidak
keluar jalur.
Dalam menjalankan fungsi ini, dibutuhkan pemimpin yang tegas dan juga
pemimpin yang teliti dalam mengamati bawahannya.
5. Tujuan Kepemimpinan
Apa tujuan dari kepemimpinan di sebuah bawahan atau organisasi? Berikut
tujuan-tujuan yang harus dipahami untuk menyukseskan proses ini.
a. Mencapai Tujuan
~ 142 ~
Kepemimpinan merupakan sebuah hal yang dibutuhkan dalam
perusahaan/kelompok supaya tujuan dapat tercapai.
Tanpa adanya satu pun pihak yang berjiwa pemimpin, tujuan sulit untuk
dicapai karena tidak ada sosok yang bisa dijadikan pegangan.
b. Memotivasi Orang Lain
Tujuan lain dari kepemimpinan adalah untuk memotivasi orang lain agar bisa
melakukan sebuah hal dengan baik dan memaksimalkan kemampuan.
Bila tidak ada sosok pemimpin, banyak orang yang akan mengalami
demotivasi karena mereka tidak terpacu akan sesuatu atau tidak merasa memiliki
kewajiban untuk melakukan hal tertentu.
6. Sifat Pemimpin
Ada beberapa sifat yang mampu menjadikan seseorang sebagai pemimpin
yang baik. Nah, apa sajakah sifat-sifat tersebut? Ini dia jawabannya.
a. Punya Pendirian
Sebagai seorang pemimpin, Anda wajib untuk punya pendirian yang teguh.
Pendirian kuat tidak akan membuat Anda mudah goyah dan juga membuat
Anda konsisten dalam menjalankan sesuatu.
Bayangkan apabila pendirian Anda mudah goyah. Sudah pasti Anda akan
mudah untuk dipengaruhi orang lain dan tak dapat mendelegasikan tugas-tugas
kepada bawahan dengan baik.
b. Proaktif
Pemimpin harus proaktif. Pemimpin tidak boleh pasif, karena apabila seorang
pemimpin bersifat pasif, tujuan tidak akan kunjung tercapai, bahkan ini akan
membuat bawahan tidak memiliki rasa hormat kepadanya.
Seorang pemimpin yang baik punya inisiatif kuat akan berbagai hal sehingga
bawahan pun dapat mengandalkannya dalam berbagai macam situasi.
c. Jujur
Kejujuran mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Sosok yang jujur
adalah sosok yang dapat diandalkan dalam berbagai hal dan tidak akan
menggagalkan suatu tujuan hanya untuk kepentingan pribadinya.
Sosok pemimpin yang jujur tidak hanya dapat dipercaya. Dia juga dapat
menjerumuskan bawahannya dan mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak
sesuai dengan kenyataan.
d. Komunikatif
Komunikatif artinya pemimpin mampu menyampaikan berbagai hal dengan
jelas dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Untuk bisa memiliki sifat ini,
pemimpin harus tahu bagaimana metode komunikasi yang baik.
Metode komunikasi yang baik artinya adalah komunikasi yang persuasif,
yang mampu menarik orang untuk melakukan sesuatu tanpa paksaan. Selain itu,
~ 143 ~
pemimpin yang baik juga semestinya terhindar dari kesalahan penyampaian
pesan.
e. Terbuka terhadap Pendapat
Seseorang boleh menjadi cerdas, tetapi percuma apabila mereka tidak terbuka
terhadap ilmu dan juga pendapat baru. Seorang pemimpin wajib terbuka
terhadap setiap pendapat yang ada dan tidak boleh menutup diri.
Apabila seorang pemimpin menutup diri dari pendapat dan wawasan,
mereka tidak akan dapat menjadi orang yang lebih baik dan juga membuat
tujuan tak kunjung tercapai.
Pemimpin yang tertutup dengan pendapat atau wawasan juga tak akan
mampu untuk menganalisa kelebihan dan potensi bawahannya.
f. Tidak Mudah Iri
Pada dasarnya, pemimpin memang seseorang yang lebih unggul daripada
bawahan. Namun, bukan berarti pemimpin iri apabila bawahannya unggul
dalam suatu hal dan justru berusaha untuk terlihat lebih baik.
Pemimpin yang baik harus bisa mengarahkan bawahannya, tetapi juga tetap
mampu mengapresiasi bawahannya atas sesuatu yang sukses mereka lakukan.
g. Visioner
Tentu kita tahu bahwa seorang pemimpin yang baik tak mungkin bisa
meramal, tetapi setidaknya mereka punya kemampuan analisis kuat dan bisa
merencanakan berbagai hal serta membuat perkiraan tentang apa yang terjadi
berdasarkan data-data yang ada.
h. Sabar
Akan ada banyak cobaan yang didapatkan oleh seorang pemimpin. Kunci
dari hal ini tentu adalah kesabaran yang besar. Tanpa adanya kesabaran,
bagaimana mungkin pemimpin bisa menyelesaikan suatu masalah dengan kepala
dingin?
Pemimpin yang kurang sabar akan mudah menyerah bahkan sebelum ia
mencapai tujuannya.
7. Kepemimpinan Rasulullah
Alquran menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah teladan dalam
seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan ٌَحسََُةٌ نًٍَِّْ كَا َ ٌسىَة
ْ سىْلِ انهّٰهِ ُا
ُ َز
ٍِْكَاٌَ نَكُىْ ف. ْ― َسْجُىا انهّٰهَ وَانْ َُىْوَ انْاٰخِسَ وَذَكَسَ كَثُِْسًاِۗانهّٰهَ نَقَدSesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.‖ (QS
al-Ahzab [33]: 21).
Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pemimpin yang paling berpengaruh
sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Hal ini diakui oleh Michael Hart
seorang penulis Barat dalam bukunya ―The 100, a Rangking of The Most Influential
~ 144 ~
Persons in History‖. Dengan sangat obyektif ia menempatkan Nabi SAW sebagai
orang paling berpengaruh dalam sejarah.
Hal itu menunjukkan bahwa Nabi SAW memiliki kecerdasan manajerial yang
tinggi dalam mengelola, mengatur, dan menempatkan anggota masyarakatnya
dalam berbagai posisi sesuai kemampuannya, sehingga dapat mencapai tujuan
utama, yaitu membangun masyarakat madani yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, Nabi SAW selalu mengedepankan akhlak
mulia. Hal ini diakui oleh Husain bin Ali sebagai cucu Nabi SAW. Bahwa Nabi
adalah pribadi yang menyenangkan, santai dan terbuka, mudah berkomunikasi
dengan siapa pun, lemah lembut dan sopan, tidak keras dan tidak terlalu lunak,
tidak pernah mencela, tidak pernah menuntut dan menggerutu, tidak mengulur
waktu dan tidak tergesa-gesa.
Orang-orang yang bersikap obyektif dari kalangan non-muslim pun
mengakuinya. Washington Irfing, seorang orientalis dan salah seorang penulis besar
Amerika yang menjadi kebanggaan Amerika Serikat dan negara lain di abad
sembilan belas Masehi, lahir tahun 1832 M di kota Washington dan meninggal tahun
1892 M. Dia berkata, ‖Muhammad adalah penutup para nabi, rasul paling agung
yang diutus oleh Allah SWT untuk menyeru manusia kepada penyembahan kepada
Allah.‖
George Bernard Shaw, seorang Filosof Inggris dan penulis alur cerita film di Inggris
yang terkenal, lahir di Irlandia, meraih Nobel di bidang sastra tahun 1920 M. Dia
berkata, ‖Aku telah membaca kehidupan Rasul Islam dengan baik, berkali-kali dan
berkali-kali, dan aku tidak menemukan kecuali akhlak-akhlak luhur yang
semestinya, dan aku sangat berharap Islam menjadi jalan bagi dunia.‖ Dan masih
banyak pengakuan non-Muslim terkait keluhuran akhlak Nabi SAW (lihat dalam
Pesona Akhlak dan Kekuatan Pribadi Manusia Teragung Sepanjang Masa, karya
Hisyam Muhammad Sa‘id Barghisy, alih bahasa Izzudin Karimi).
Nabi SAW memiliki rasa empati dalam memimpin. Nabi tidak pernah
mencaci seseorang dan menegur karena kesalahannya, tidak mencari kesalahan
orang lain, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat. Kalau Nabi berbicara, yang lain
diam menunduk seperti ada burung di atas kepalanya, tidak pernah disela atau
dipotong pembicaraannya, membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya,
tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan
sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa yang
diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, tidak menerima pujian kecuali dari yang
pernah dipuji olehnya (HR Tirmidzi).
Nabi SAW mengedepankan keteladanan (uswah hasanah) dalam memimpin.
Dikisahkan dari Al Barra‘ bin Adzib, ia berkata: ―Kulihat beliau mengangkuti tanah
galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perutnya. Sempat pula
kudengar beliau bersabda, ―Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami
~ 145 ~
tidak akan mendapat petunjuk, tidak bershadaqah dan tidak shalat. Turunkanlah
ketenteraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang.
Sesungguhnya para kerabat banyak yang sewenang-wenang kepada kami. Jika
mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya.‖
Nabi SAW adalah sosok pemimpin yang mengedepankan kebersamaan. Nabi
mengusulkan sebuah ide win-win solution dalam penyelesaian masalah peletakkan
hajar aswad. Direntangkannya sebuah kain besar, kemudian hajar aswad diletakkan
di bagian tengahnya, lalu beliau meminta kepada setiap pemimpin kabilah untuk
memegang ujung kain tersebut. Setelah itu, hajar aswad disimpan ke tempat semula
di Ka‘bah. Dengan cara seperti itu, tidak ada satupun kabilah yang merasa
dirugikan, bahkan mereka sepakat untuk menggelari beliau sebagai al-Amin (orang
yang terpercaya).
Jadi, kekuatan akhlak inilah yang menjadi pondasi dalam kepemimpinan
Nabi SAW. Dan, Akhlak Nabi adalah Alquran. Allah SWT menegaskan, ‖Dan
sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.‖ (QS al-Qalam [68]:
4). Ketika Aisyah RA ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab bahwa akhlak
Nabi adalah Alquran (HR Muslim).
~ 146 ~
Beberapa bulan kemudian, perempuan Ghamidiyyah itu melahirkan anak
yang dikandungnya, lalu dia menghadap Nabi. Sambil membawa serta si jabang
bayi dalam gendongannya dia berkata, ‖Rasulullah, aku telah melahirkan.‖ Nabi
menjawab dengan ramah, ‖Pergilah kamu menyusui anakmu hingga kamu
menyapihnya.‖
Setelah masa menyusui anaknya berakhir, ia kembali menghadap Nabi.
‖Wahai Nabi Allah, ini aku. Sekarang anakku telah kusapih dan dia sudah bisa
makan.‖ Berikutnya si anak yang masih kecil tersebut diserahkan kepada seseorang
dari kaum Muslimin dan akhirnya Nabi memutuskan agar wanita tersebut dirajam,
sebagai hukuman atas perbuatan zina yang dilakukannya.
Demikian sebagian kunci sukses dalam kepemimpinan Nabi SAW. Masih
banyak lagi kunci sukses kepemimpinan Nabi lainnya yang tidak akan pernah habis
untuk dikaji, yang seharusnya terus digali, diperkenalkan, dan diimplementasikan di
tengah bangsa yang sedang dilanda krisis dalam kepemimpinan.
Semoga Allah menganugerahkan negeri ini pemimpin yang mau mempelajari
dan meneladani kepemimpinan Nabi SAW agar dapat mengantarkan kepada
kehidupan yang lebih baik. Amin.
G. DAFTAR PUSTAKA
Tsmara, Toto, 2002, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta: Gema Insani Press
Thohir Luth, 2011, Antara Perut dan Etos Kerja dalam Prespektif Islam, Jakarta:
Gema Insani
Edy Sutrisno. (2009). Manajemen Sumber Daya mansuia. Jakarta: Kencana.
Malaka,M. (2013). Etos Kerja dalam Islam. Al-Munzir, 6, 61.
Wasmin, T. R. dan. (2008). Etos Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas.
Jakarta: Intimedia
Fahmi, I. (2013). Manajemen Kepemimpinan Teori dan Aplikasi. Bandung:
Alfabeta.
Fahmi, I. (2014). Manajemen Teori Kasus dan Solusi. Bandung: Alfabeta.
Karman, dkk (2019). Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi: Hillana
Press
~ 147 ~