Definisi
DIC dapat terjadi pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis, dan 1% dari total
keseluruhan pasien yang dirawat inap. DIC dapat terjadi pada seluruh usia, ras dan jenis
kelamin.
Prognosis
Prognosis DIC tergantung dari beratnya koagulopati serta kondisi yang mendasarinya.
Menentukan secara tepat angka mortalitas dan morbiditas pada pasien DIC sangat sulit.
Sebuah studi yang dilakukan oleh the Japanese Association for Acute Medicine (JAAM)
memperlihatkan DIC pada pasien sepsis memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibanding DIC
pada pasien-pasien trauma (34,7% vs 10,5%). Sepsis akibat aborsi dengan infeksi
clostridium dan syok yang disertai DIC berat memiliki mortalitas 50%. 2,3
Komplikasi
Komplikasi DIC yang mungkin dapat terjadi antara lain: gagal ginjal akut (25%), perubahan
status mental (2%), disfungsi pernafasan (16%), disfungsi hati (19%), perdarahan (64%) dan
trombosis yang mengancam nyawa (pada pasien dengan DIC sedang-berat hingga berat),
tamponade jantung, hemotorak, hematoma intraserebral, gangren pada jari-jari, syok (14%),
kematian.2,5
Etiologi
Etiologi DIC merupakan kondisi yang mendasari munculnya DIC. Beberapa kondisi yang
berkaitan dengan DIC adalah sebagai berikut: 3,6
Sepsis
o Bakterial : stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, meningokokus,
batang
Gram-negatif.
Sepsis merupakan sindroma klinis yang sudah dikenal secara luas dan merupakan
respon sistemik host terhadap infeksi. Kunci dari manifestasi klinis DIC
sesungguhnya bukan disebabkan oleh patogen yang menginvasi namun lebih
diakibatkan dari kondisi hipotensi, koagulopati, serta disfungsi multiorgan yang
disebabkan oleh sepsis berat sehingga berujung pada gangguan regulasi mediator-
mediator inflamasi pada host.8
Gangguan hematologi yang terlihat pada DIC karena sepsis terdiri dari 4 mekanisme
yang terjadi secara bersama-sama yakni : (1) Kerusakan endotel dan pembentukan
trombin yang diperantarai oleh faktor jaringan (tissue factor) ; (2) Gangguan
mekanisme fisiologis antikoagulasi (misal, penekanan sistem anti-trombin dan
protein C sehingga tidak dapat mengimbangi pembentukan trombin) ; (3) gangguan
degradasi fibrin akibat penekanan sistem fibrinolisis. Hal ini terutama disebabkan
oleh tingginya kadar plasminogen activator inhibitor tipe 1 (PAI-1) yang beredar di
sirkulasi, namun pada beberapa bentuk khusus DIC, fungsi fibrinolisis dapat
meningkat sehingga menyebabkan perdarahan ; (4) aktivasi inflamasi (gambar 2).2,8
Gambar 2. Hubungan/korelasi antara koagulasi dan inflamasi pada sepsis yang memiliki ciri khas : aktivasi
koagulasi
inflamasi
gangguan
fibrinolisis
Selanjutnya, pada sepsis, koagulasi yang terjadi sebaliknya dapat memperburuk inflamasi.8
yang diinduksi oleh bersama-sama dengan sistem antikoagulan, serta fungsi endotel.
Gambaran yang khas pada sepsis adalah terjadinya aktivasi dan disfungsi endotel
mikrovaskular. Hal ini diawali oleh inflamasi akibat komponen dari dinding sel bakteri yang
mengandung berbagai lipopolisakarida (LPS) yang menempel pada permukaan endotel.
Begitu inflamasi dimulai, sejumlah besar mediator-mediator inflamasi langsung dilepas
termasuk sitokin, kemokin dan sistem komplemen. Mediator-mediator ini selanjutnya dapat
berfungsi untuk mengaktivasi sel-sel endotel lainnya. Hal lain yang terjadi adalah pada
sepsis, sel-sel endotel menjadi lebih permeabel sehingga terjadi perpindahan cairan ke
ekstravaskular dan hal ini dapat menyebabkan hipovolemia dan hipotensi. Selain itu, pada
keadaan sepsis, permukaan endotel yang seharusnya memiliki sifat anti-trombotik berubah
menjadi pro-trombotik. Hal ini berkaitan dengan kejadian trombosis dan kegagalan multi
organ (gambar 3).8
Gambar 3. Peran endotel pada kondisi normal dan sepsis. (A) pada kondisi normal. Terdapat lapisan
antikoagulan pada permukaan endotel yang mencegah koagulasi darah melalui ekspresi trombomodulin (TM)
serta reseptor PC endotel (EPCR) yang membantu trombin menghasilkan protein C yang teraktivasi (APC)
melalui tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan anti-trombin (AT) yang menempel di permukaannya dan
mensekresikan tissue-type plasminogen activator (tPA) yng kemudian mendorong terjadinya fibrinolisis. (B) saat
infeksi bakteri masuk dalam aliran darah, aktivasi inflamasi sistemik menyebabkan pelepasan sitokin serta
aktivasi dan disfungsi endotel sehingga terjadi pelepasan mikropartikel-mikropartikel (MPs), apoptosis,
kerusakan endotel (ECs) serta hilangnya fungsi sebagai barier. Proses koagulasi teraktivasi dimulai dari interaksi
antara tissue factor (TF) dengan monosit, MPs dan juga kemungkinan dengan endotelium lainnya serta
pelepasan von Willebrand factor (vWF) yang dapat menyebabkan adhesi platelet pada permukaan subendotelial
serta agregasi trombosit. Produksi glikosaminoglikans (GAGs) mengalami penurunan, sementara protein-protein
antikoagulan seperti TFPI, AT, EPCR dan TM terlepas dari permukaan endotel serta mengalami penurunan
fungsi. Selanjutnya AT dan APC akan terus dikonsumsi. Fungsi fibrinolisis terganggu akibat peningkatan
penghambat utama aktivator plasminogen (PA) yakni PA inhibitor-1 (PAI-1) yang peningkatannya melebihi tPA,
serta peningkatan aktivasi komplemen akibat hilangnya fungsi/aktivitas thrombin-activatable fibrinolysis (TAFI)
yang normalnya mampu menghambat faktor komplemen C3a dan C5a serta bradikinin. Protein-protein
antikoagulan ini selanjutnya akan berperan pada pelepasan sitokin. Tissue factor-factor VIIa (TF-FVIIa), faktor
(F) Xa, serta trombin menimbulkan aktivitas proinflamasi melalui pemotongan PAR-1 dan PAR-2. Pemotongan
PAR-1 oleh APC bergantung pada EPCR dan proses tersebut memodulasi inflamasi dan apoptosis.8
Trombin dapat dideteksi di dalam sirkulasi pada 3-5 jam setelah terjadinya bakteremia
ataupun endotoxemia. Banyak bukti ilmiah yang menunjukkan peran penting dari sistem
faktor jaringan/faktor VIIa dalam menginisiasi pembentukan trombin. 2
Paparan terhadap TF pada sirkulasi terjadi akibat adanya kerusakan endotelial, kerusakan
jaringan, inflamasi maupun sel tumor yang dapat mengekspresikan molekul progoagulan
(termasuk TF). TF mengaktivasi koagulasi lewat jalur ekstrinsik. Kompleks TF- VIIa
mengaktifkan trombin yang selanjutnya dapat memecah fibrinogen menjadi fibrin dan secara
bersamaan dapat menyebabkan agregasi trombosit. Jalur intrinsik dapat pula mengalami
aktivasi pada kondisi DIC ini hal ini malah dapat menyebabkan hemodinamik semakin tidak
stabil hingga hipotensi. Trombin yang dihasilkan oleh jalur TF/faktor VII semakin
memperkuat proses koagulasi dan inflamasi melalui mekanisme-mekanisme berikut:2
dari fibrinogen
intravaskular pada sepsis. Penghambatan jalur faktor VIIa pada sepsis telah
diketahui dapat mencegah progresivitas DIC, dimana penghambatan yang dilakukan
pada jalur alternatif lain tidak terbukti dapat mempengaruhi proses koagulasi. Dalam
suatu studi, ditemukan bahwa penghambatan jalur TF/faktor VII(a) oleh antibodi
monoklonal yang spesifik pada aktivitas TF atau faktor VIIa dapat menghambat
pembentukan trombin secara komplit. Dari studi ini terlihat bahwa jalur ekstrinsik
lebih memainkan peran dalam DIC sedangkan jalur intrinsik tidak terlalu berperan.
TF sendiri hingga saat ini belum diketahui dengan pasti darimana sumbernya.
Kemungkinan, TF yang bersirkulasi bersumber dari sel-sel mononuklear (monosit)
ataupun mungkin pula bersumber dari sel-sel endotel yang mengalami injuri. Namun,
peran TF yang diekspresikan oleh sel-sel endotel dalam patogenesis DIC masih
dalam penyelidikan. 2
Anti trombin terpakai secara terus menerus akibat proses koagulasi yang terus
berlangsung
Estalase yang dihasilkan oleh neutrofil yang teraktivasi mendegradasi anti- trombin
dan protein-protein lainnya.
Kehilangan anti-trombin akibat kebocoran kapiler
Terganggunya produksi anti-trombin terkait kerusakan hati akibat kurangnya
mortalitas, khususnya pada pasien dengan sepsis. Kadar anti-trombin yang rendah
mengawali munculnya manifestasi klinis sepsis. Hal ini kemungkinan menunjukkan
bahwa anti-trombin memang terlibat dalam patogenesis DIC dan memiliki kaitan pula
dengan disfungsi organ.2
meningkatkan mortalitas dan morbiditas, sementara hal sebaliknya terjadi dimana angka
keselamatan meningkat, kegagalan organ berkurang dengan perbaikan terhadap sistem
protein-C.2
TFPI (TF pathway inhibitor) merupakan mekanisme antikoagulan lain yang mengalami
penekanan pada DIC. TFPI dapat menghambat faktor Xa secara reversibel dan trombin
secara ireversibel serta memiliki kemampuan untuk menghambat kompleks TF-VIIa.
Meskipun ternyata kadar TFPI normal pada kondisi sepsis, ternyata pada keadaan DIC
terdapat suatu kondisi insufusiensi relatif. Namun peran TFPI dalam patogenesis DIC masih
belum sepenuhnya dimengerti. Studi eksperimental pada manusia menunjukkan bahwa
pemberian rekombinan TFPI dapat mem-blok pembentukan trombin akibat inflamasi. 2.8
Gangguan sistem fibrinolisis
Fibrin intravaskular yang dihasilkan oleh trombin normalnya dieliminasi oleh proses
fibrinolisis. dalam sebuah model eksperimental terlihat bahwa, disaat proses koagulasi
berlangsung pada titik maksimal, maka sistem fibrinolisis justru terhenti. Hal ini dikarenakan
adanya peningkatan kadar PAI-1 plasma secara terus-menerus. Proses ini dimediasi oleh
TNF-2 dan IL-1. Peningkatan kadar PAI-1 muncul sebelum DIC dan hal ini merupakan
pertanda buruknya prognosis. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa pada pasien DIC
dengan kegagalan multi organ terdapat peningkatan kadar antigen tissue plasminogen
activator (t-PA) dan PAI-1 disertai berkurangnya kadar α 2-antiplasmin dibandingkan dengan
pasien DIC tanpa kegagalan multi-organ. Temuan ini mendukung kesimpulan bahwa
fibrinolisis merupakan mekanisme yang penting untuk mencegah kegagalan multi-organ.2
Namun pada beberapa kondisi yang jarang, DIC dapat muncul dengan karakteristik
hiperfibrinolisis yang berat dimana pada saat yang sama aktivitas sistem koagulasi juga
sedang berada pada titik puncak. Hal ini dapat dijumpai sebagai komplikasi dari leukemia
mieloid akut (M-3 menurut klasifikasi FAB/French-American-British) atau pada beberapa
keganasan berupa adenokarsinoma. Pada keadaan ini, meskipun kondisi hiperfibrinolisis
lebih dominan, namun trombosis yang luas juga tetap muncul secara signifikan. Namun
secara klinis biasanya hal yang menonjol pada pasien ini adalah perdarahan. Secara umum,
terapi anti-fibrinolitik pada pasien DIC tidak direkomendasikan oleh karena hal ini dapat
meningkatkan defisit fibrinolisis dan meningkatkan trombosis.2
Aktivasi inflamasi
Terdapat keterkaitan penting (komunikasi silang) antara jalur inflamasi dan koagulasi.
Kondisi inflamasi dapat meningkatkan aktifitas kaskade pembekuan darah, sebaliknya
peningkatan proses koagulasi dapat meningkatkan kondisi inflamasi itu sendiri. Selain itu,
terdapat pula beberapa faktor lain yang memperberat gangguan keseimbangan hemostasis
sehingga menyebabkan kecenderungan pasien berada dalam status hiperkoagulasi. Banyak
faktor-faktor koagulasi yang mengalami aktivasi pada DIC memiliki
5
Tabel 1. Pembagian DIC berdasarkan nilai laboratorium
Pemeriksaan Kompensasi
Hiperkompensasi Dekompensasi
Trombosit Normal
Normal Menurun
Meningkat Meningkat
Menurun
++/sangat meningkat
Gejala DIC yang muncul bergantung pada kondisi penyakit yang mendasarinya. Kondisi-
kondisi tersebut antara lain : sepsis atau infeksi berat, trauma (politrauma, neurotrauma,
emboli lemak), destruksi organ (pankreatitis berat), keganasan (tumor proliferatif, keganasan
mieloproliferatif/limfiproliferatif), m asalah obstetri (emboli cairan amnion, abrupsio plasenta),
gangguan vaskular (sindroma Kasabach-Merrit, aneurisma pembuluh darah besar), gagal
hati berat, reaksi toksik/imunologik berat (gigitan ular, obat- obat rekreasional, reaksi
transfusi, penolakan transplantasi).2
Gambaran klinis umum meliputi : demam, hipotensi, asidosis, hipoksia dan proteinuria. Pada
sebuah studi yang melibatkan 118 pasien didapatkan gambaran utama yang terjadi pada
pasien-pasien DIC antara lain: (1) perdarahan (64%), dapat berasal dari gusi, saluran cerna,
luka bekas operasi maupun rongga serosa paska operasi, petechiae, ekimosis, epistaksis,
hematoma, purpura, perdarahan dari kateter intra vena maupun kateter urin (hematuri); (2)
gangguan fungsi ginjal (25%) ; (3) gangguan fungsi hati (19%) ; (4) gangguan pernafasan
(16%) ; (5) Syok (14%) ; (6) gangguan susunan saraf pusat (2%). Selain itu, perlu juga
diperhatikan berbagai gejala dan tanda terkait trombosis pembuluh darah besar (misal deep
vein thrombosis [DVT]) dan trombosis mikrovaskular (misal, gagal ginjal). Perdarahan yang
bersumber dari 3 tempat yang tidak saling berhubungan
merupakan suatu tanda DIC. Pada DIC yang melibatkan paru, gejalanya dapat berupa
sesak nafas, batuk darah, serta batuk. 2
Pemeriksaan fisik
Pada DIC akut, pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan biasanya merupakan bagian dari
kondisi yang menyebabkan/mendasarinya serta sistem/organ yang terlibat. Pada kondisi
DIC kronis ataupun subakut, manifestasi utamanya adalah trombosis sebagai akibat
berlebihnya produksi trombin, tanda-tanda trombo-emboli vena dapat muncul dalam kondisi
seperti ini. Tanda-tanda yang berhubungan dengan sirkulasi adalah sebagai berikut: (1)
tanda-tanda perdarahan spontan dan mengancam jiwa ; (2) tanda-tanda perdarahan
subakut ; (3) tanda-tanda trombosis yang diffus dan terlokalisasi ; (4) perdarahan pada
rongga serosa. Sementara tanda-tanda keterlibatan saraf pusat antara lain: (1) penurunan
kesadaran ataupun sopor dengan penyebab yang tidak spesifik ; (2) defisit neurologis fokal
yang berlangsung sementara. Tanda-tanda keterlibatan sistem kardovaskular antara lain :
(1) hipotensi ; (2) takikardi ; serta (3) kegagalan sirkulasi. Tanda-tanda keterlibatan sistem
pernafasan antara lain : (1) friction rub pleura ; (2) tanda-tanda acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Tanda-tanda keterlibatan gastrointestinal antara lain : (1) hematemesis;
(2) hematochezia. Tanda-tanda keterlibatan genitourinaria antara lain: (1) tanda-tanda
azotemia dan gagal ginjal; (2) asidosis; (3) hematuria; (4) oliguria; (5) metrorrhagia: (6)
perdarahan uterus. Tanda-tanda dermatologis antara lain: (1) petechiae; (2) bullae
hemoragik; (3) sianosis akral; (4) nekrosis kulit ekstremitas bawah (purpura fulminan); (5)
infark lokal dan gangrene; (6) perdarahan luka dan hematom di area subkutaneus; (6)
trombosis.2
Diagnosa Banding
Diagnosa banding yang perlu dipikirrkan pada keadaan DIC antara lain: 2
1. Disfibrinogenemia
2. Sindroma hemolitik-uremik
3. Trombositopenia imbas heparin
4. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
5. Thrombotic thrombocytopenic purpura
Diagnosis DIC bisa saja sulit ditegakkan, apalagi pada kasus DIC yang kronis dan kurang
nyata, dimana kelainan klinis dan laboratorium yang dijumpai agak kabur. Tidak ada satupun
pemeriksaan laboratorium rutin ataupun prosedur diagnostik yang telah ditetapkan yang
cukup sensitif sekaligus spesifik dalam mendiagnosis DIC oleh karena itu, diagnosis
DIC harus berdasarkan gabungan dari data klinis dan laboratorium (Grade C, Level IV).2,3
Namun demikian beberapa nilai laboratorium yang sering dijumpai abnormal pada keadaan
DIC antara lain, waktu pembekuan yang memanjang (PT dan aPTT), tingginya kadar
produk-produk degradasi fibrin, peningkatan nilai D-dimer, trombositopenia ringan hingga
berat (98% dari seluruh pasien DIC dan 50% dengan jumlah trombosit <50 x 10 9/L).
Ditemukannya schistocytes (gambar 3) pada pemeriksaan hapus darah tepi sebagai
pertanda patologis untuk mikroangiopati (10%). Selain itu, pada pemeriksaan darah tepi
dapat pula dijumpai burr cell (gambar 4). Nilai laboratorium yang didapat merupakan nilai
sesaat dan sangat cepat berubah, oleh karena ini pemeriksaan ulangan mesti dilakukan
(Grade B, Level III).2,3
Gambar 4. Sel darah merah yang terfragmentasi/skistosit (Kiri) dan burr cell (Kanan)
Trombositopenia merupakan suatu pemeriksaan yang sensitif namun tidak spesifik untuk
DIC, pemeriksaan ulangan perlu dilakukan untuk melihat apakah hasil yang didapatkan
merupakan rentang nilai normal trombosit pasien atau memang suatu trombositopenia yang
khas untuk DIC jika didapatkan adanya penurunan dari nilai awal. 2,3 Waktu pembekuan
darah serta pemeriksaan faktor-faktor koagulasi
Pemeriksaan waktu pembekuan darah (misalnya, aPTT dan PT) biasanya memperlihatkan
adanya pemanjangan pada 50% pasien DIC sebagai akibat berkurangnya faktor-faktor
koagulasi karena konsumsi yang terus menerus. Namun nilai yang normal atau bahkan
memendek dapat pula dijumpai. Keadaan ini dapat terjadi sebagai akibat dari aktifasi faktor-
faktor koagulasi pada sirkulasi seperti thrombin (Xa). Oleh karena itu, pemeriksaan ini tidak
dapat dilakukan untuk menyingkirkan DIC bila hasilnya normal. Dalam hal monitoring, nilai
PT lah yang digunakan untuk memantau DIC, bukan nilai INR. Nilai INR digunakan untuk
pemantauan terapi antikoagulan oral.2,3
10
Protein C dan antithrombin merupakan 2 antikoagulan alami yang sering dijumpai menurun
jumlahnya pada kondisi DIC. Terdapat beberapa bukti ilmiah yang menganjurkan untuk
menggunakan kedua hal diatas sebagai indikator prognostik. Namun secara umum
pemeriksaannya masih belum tersedia di kebanyakan sentra pelayanan kesehatan,
sehingga aplikasinya masih relatif jarang.2
Pemeriksaan fibrinogen, D-dimer, dan produk degradasi fibrin
Aktifasi fibrin merupakan suatu proses/komponen utama dalam DIC, oleh karenanya logis
jika ditemukan adanya peningkatan nilai fibrin terlarut, maka diagnosis DIC dapat lebih yakin
untuk ditegakkan. Namun pemeriksaan fibrin terlarut juga masih belum tersedia secara luas
bagi para klinisi.2,3
Konsumsi fibrin secara masif pada DIC secara logika akan menyebabkan penurunan kadar
fibrinogen. Hal ini menyebabkan pemeriksaan fibrinogen digunakan secara luas untuk
diagnosis DIC, namun pada kenyataannya, nilai fibrinogen pada keadaan inflamasi justru
meningkat, dan meskipun nilainya akan menurun sejalan dengan progresifitas penyakit,
nilainya jarang mencapai batas bawah nilai normal. Pada sebuah studi, diperlihatkan bahwa
nilai fibrinogen tetap dalam rentang normal pada 57% pasien DIC. Selain itu, dalam studi
lain diperlihatkan bahwa sensitifitas nilai fibrinogen yang rendah dalam mendiagnosis DIC
hanya 28%. Namun pemeriksaan serial fibrinogen memberikan nilai yang lebih bermakna
sebagai petunjuk diagnosis.2,3
Fibrinolisis merupakan salah satu proses yang penting pada DIC, oleh karenanya
seharusnya terdapat bukti dari proses degradasi fibrin yakni berupa peningkatan nilai D-
dimer dan produk-produk degradasi fibrin lainnya. Proses proteolisis terhadap tautan silang
fibrin yang tidak terlarut menghasilkan sebuah neo-epitop unik yang memiliki ciri ikatan D-D
(D-dimer). Pemeriksaan D-Dimer ini memberikan hasil yang lebih bernilai untuk DIC. Selain
itu, pemeriksaan D-diimer berguna untuk membedakan DIC dari kondisi-kondisi yang
memberikan gambaran yang sama berupa penurunan jumlah trombosit, pemanjangan waktu
koagulasi seperti misalnya pada penyakit hati kronis. 2
Sistem skoring DIC
Diagnosis DIC didasarkan pada berbagai gambaran klinis serta laboratorium. The
International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) mengembangkan sebuah
sistem skoring sederhana untuk mendiagnosis DIC yang jelas/nyata dan DIC yang
kurang/tidak nyata dengan menggunakan parameter laboratorium yang tersedia di hampir
seluruh laboratorium rumah sakit (Grade C, Level IV) seperti terlihat pada gambar 5 dan
gambar 6.2,3
11
Skor 5 atau lebih mengindikasikan suatu DIC yang nyata, namun skor kurang dari 5 tidak
mengeksklusikan DIC namun dapat berupa suatu DIC yang tidak nyata. Sensitifitas sistem
skoring ini adalah 91-93% dan spesifisitasnya 97-98%. Suatu sudi yang lain memperlihatkan
bahwa skoring ini dapat pula digunakan sebagai indikator prognostik di ruang rawat intensif,
dimana mortalitas sepsis yang disertai DIC ditemukan >40% sedangkan sepsis tanpa DIC
<25%. Setiap poin dalam skor ini memiliki odds ratio 1,29.2
12
Selain ISTH, terdapat pula sistem skoring lainnya, antara lain yang diberikan oleh The
Japanese Associaton for Acute Medicine (JAAM) seperti terlihat pada gambar 7, Dimana
skoring yang digunakan khusus didesain untuk pasien-pasien dengan kondisi kritis. Sistem
ini telah divalidasi oleh studi-studi prospektif lainnya, dan dapat mendiagnosa DIC lebih dini
dari metode-metode sebelumnya. Penangan yang agresif terhadap DIC dan kondisi/penyakit
yang mendasarinya terbukti mampu meningkatkan keberhasilan dalam outcome dan
mengurangi mortalitas pasien.2
Gambar 7. Sistem skoring DIC berdasarkan Japanese Association for Acute Medicine (JAAM).10
13
Diagnosis Sepsis
Penanganan DIC harus dilakukan pada rumah sakit yang memiliki fasilitas perawatan kritis
yang memadai serta tenaga subspesialis yang berpengalaman seperti
14
hematologi, bank darah, ahli bedah. Pasien yang masuk ke rumah sakit tanpa kapabilitas
seperti yang telah disebut diatas, harus segera ditransfer jika keadaan pasien cukup stabil.1,2
Mengahambat proses patologis DIC
Transfusi trombosit
Transfusi trombosit dan faktor-faktor koagulasi jangan semata-mata hanya untuk tujuan
mengkoreksi nilai laboratorium namun lebih ditujukan pada kondisi klinis seperti perdarahan
ataupun persiapan untuk tindakan/prosedur invasif tertentu untuk meminimalisasi resiko
perdarahan (Grade C, Level IV). Nilai ambang batas nilai trombosit yang perlu ditransfusi
cukup beragam, namun kebanyakan klinisi memberikan transfusi trombosit jika nilai
trombosit <20 x 109/L meski tanpa perdarahan. Pada kasus DIC dengan perdarahan aktif,
nilai trombosit trombosit 20x 109/L s/d 50 x 109/L merupakan batas dimana transfusi
trombosit dapat diberikan (dosis 1-2 U/kg/hari) (Grade C, Level IV).1,2,3
Koreksi faktor koagulasi
15
Antikoagulan
Heparin harus diberikan pada keadaan yang menunjukkan adanya deposisi fibrin yang luas
namun tanpa adanya perdarahan yang signifikan (4-5 U/kg). Pemberian heparin bertujuan
untuk mencegah trombosis pada keadaan DIC. Pemberian heparin pada dosis terapeutik
diindikasikan jika dijumpai adanya trombo-emboli yang nyata seperti purpura fulminan, atau
iskemik akral. Pada kondisi sepsis berat, pemberian low molecular weight heparin (LMWH)
terbukti lebih superior dalam sebuah uji klinik acak. 2 Pada kondisi DIC dengan adanya resiko
tinggi perdarahan, lebih baik diberikan infus heparin kontinu dengan dosis 10 μ/kg/jam tanpa
perlu mencapai target rasio aPTT 1,5-2,5 kali kontrol. Monitoring sebaiknya hanya dilakukan
pada tanda-tanda klinis perdarahan(Grade C, Level IV).3 Pada kondisi penyakit kritis, pasien
DIC yang tidak mengalami perdarahan, direkomendasikan profilaksis trombo-emboli vena
dengan heparin dosis profilaksis atau LMWH (Grade A, Level IB).1,3
Pemberian protein C yang teraktivasi terbukti bermanfaat untuk kasus DIC yang disebabkan
oleh sepsis oleh karena efek antikoagulasinya. Namun belakangan peredarannya ditarik dari
pasaran karena pada sebuah trial (PROW ESS -SHOCK), pemberian protein C (drotrecogin
alfa) tidak menunjukkan adanya manfaat pada angka keselamatan pasien dengan sepsis
berat dan syok sepsis. Demikian pula halnya dengan pemberian anti-trombin, dimana
sebuah studi acak dalam skala besar tidak dapat menunjukkan manfaat pemberian anti-
trombin dalam menurunkan mortalitas pada DIC (Grade A, Level IB).1,2
Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) belakangan ini banyak mendapat perhatian sebagai
terapi yang cukup potensial untuk DIC terkait sepsis. Percobaan yang dilakukan pada
hewan telah memperlihatkan hasil yang cukup menjanjikan untuk menahan laju DIC dan
mencegah kematian serta kerusakan organ. Namun sayangnya, uji fase III terhadap TFPI
pada manusia dengan DIC ternyata tidak menunjukkan manfaat yang signifikan terhadap
penurunan mortalitas.1,2
Trombomodulin rekombinan (rTM) dapat digunakan pada DIC dengan etiologi sepsis berat
dan keganasan hematopoetik. Trombomodulin dapat berikatan dengan trombin dan
memungkinkan aktivasi protein C. Selain itu trombomodulin juga memiliki manfaat untuk
menghambat proses inflamasi melalui ikatannya dengan high-mobility group B (HBGM-1).
Dalam sebuah studi acak terbukti bahwa rTM memberi hasil yang lebih baik dalam
mengendalikan DIC dibandingkan dengan heparin unfractionated, khususnya dalam
mengontrol diathesis perdarahan yang persisten.1,2
Antifibrinolitik
16
direkomendasikan (Grade C, Level IV) kecuali pada perdarahan dalam kasus-kasus jarang
dimana terdapat kondisi hiperfibrinolisis misalnya pada koagulopati yang disebabkan oleh
leukemia promielositik akut (AML-M3), trauma, serta beberapa kasus DIC akibat keganasan
(misal, karsinoma prostat) dengan dosis 1 g tiap 8 jam (Grade C, Level IV).1,2
Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
IP, Nafrialdi, Mansjoer A, ed. Panduan Pelayanan Medik – PAPDI. 2009. Interna
6. Arruda VR, High KA. Coagulation disorders. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine, ed. 18th
ed. McGraw Hill. New York ; Vol 1, p973-982.
7. Dalainas I. Pathogenesis diagnosis and management of disseminated intravascular
coagulation : a literature review. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences. 2008;12: 19-31.
8. Schouten M, Wiersinga WJ, Levi M, Van der Pol T. Inflammation endothelium and
coagulation in sepsis. 2008. Journal of Leucocyte Biology. Volume 83. p536-545.
DOI : 10.1189/jlb.0607373.
9. Toh CH, Hoots WK, on behalf of the SSC on Disseminated Intravascular Coagulation
of the ISTH. The scoring system of the Scientific and Standardisation Committee on
Disseminated Intravascular Coagulation of the International Society on Thrombosis
and Haemostasis: a 5-year overview. J Thromb Haemost 2007; 5: 604–6.
10. Gando S, Saoitoh D, Ogura H, Mayumi T, Koseki K, Ikeda T et al. Natural history of
disseminated intravascular coagulaton diagnosed based on the newly established
diagnostic criteria for critically ill patients: Result of a multicenter, prospective survey.
Crit Care Med 2008 Vol. 36, No. 1. DOI: 10.1097/01.CCM.0000295317.97245.2D
11. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. Dalam: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, ed. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 18th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. Vol 1, Chapter 271. p2223-31
12. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving
sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock: 2013. Critical Care Medicine. Volume 41. p580-637
18