Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

Definisi

Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan suatu sindroma klinikopatologis


yang ditandai adanya aktivasi koagulasi darah sistemik, produksi fibrin intravaskular,
sehingga dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah yang berukuran kecil dan
sedang, bahkan dapat menyebabkan gangguan/kegagalan fungsi organ (gambar 1).1,2,3 DIC
dapat terjadi akibat komplikasi dari infeksi, keganasan solid, keganasan hematologi,
penyakit-penyakit obstetrik, trauma, aneurisma, penyakit hati, dan lain sebagainya.
Gambaran karakteristik DIC yang muncul memiliki kaitan dengan kelainan yang
mendasarinya. Diagnosis dan penanganannya pun harus mempertimbangkan kondisi
etiologi yang mendasarinya. DIC yang terjadi pada sepsis, keganasan hematologi ataupun
kelainan obstetrik lebih mudah ditangani daripada jika terjadi pada kondisi etiologi
keganasan solid.1

Gambar 1. Proses perjalanan DIC 3,4

Epidemiologi dan Prognosis Epidemiologi

DIC dapat terjadi pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis, dan 1% dari total
keseluruhan pasien yang dirawat inap. DIC dapat terjadi pada seluruh usia, ras dan jenis
kelamin.

Prognosis

Prognosis DIC tergantung dari beratnya koagulopati serta kondisi yang mendasarinya.
Menentukan secara tepat angka mortalitas dan morbiditas pada pasien DIC sangat sulit.
Sebuah studi yang dilakukan oleh the Japanese Association for Acute Medicine (JAAM)
memperlihatkan DIC pada pasien sepsis memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibanding DIC
pada pasien-pasien trauma (34,7% vs 10,5%). Sepsis akibat aborsi dengan infeksi
clostridium dan syok yang disertai DIC berat memiliki mortalitas 50%. 2,3
Komplikasi

Komplikasi DIC yang mungkin dapat terjadi antara lain: gagal ginjal akut (25%), perubahan
status mental (2%), disfungsi pernafasan (16%), disfungsi hati (19%), perdarahan (64%) dan
trombosis yang mengancam nyawa (pada pasien dengan DIC sedang-berat hingga berat),
tamponade jantung, hemotorak, hematoma intraserebral, gangren pada jari-jari, syok (14%),
kematian.2,5

Etiologi

Etiologi DIC merupakan kondisi yang mendasari munculnya DIC. Beberapa kondisi yang
berkaitan dengan DIC adalah sebagai berikut: 3,6

   Sepsis
o   Bakterial : stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, meningokokus,
batang

Gram-negatif.

o   Viral : CMV, hepatitis, varicella


o   Mikosis
o   Parasit
o   Rickettsia
   Trauma dan kerusakan jaringan : Cedera kepala, luka bakar luas, emboli lemak,
rhabdomyolisis
   Penyakit pembuluh darah : Sindroma Kassabach-Merritt, aneurisma pembuluh
darah besar (misalnya aorta)
   Komplikasi obstetri : abrupsio plasenta, emboli cairan amnion, sindroma kematian
janin, abortus septik.
   Keganasan : adenokarsinoma (prostat, pankreas, dll), keganasan hematologi
(leukemia promielositik akut)
   Kelainan imunologis : reaksi transfusi hemolitik akut, penolakan transplantasi
organ / jaringan, penyakit graft versus host
   Obat-obatan : fibrinolitik, aprotinin, warfarin (khususnya pada neonatus dengan
defisiensi protein C), prothrombin concentration complex, amfetamin.

   Toksin hewan : ular, serangga


   Penyakit hati : gagal hati fulminan, sirosis, fatty liver pada kehamilan
   Lain-lain: Syok, sindrom distress pernafasan, transfusi masif

Patofisiologi DIC pada sepsis

Infeksi, khususnya septikemia merupakan kondisi klinis yang paing sering


menyebabkan DIC. Walaupun semua mikroorganisme dapat menyebabkan DIC,
bakteri merupakan patogen yang paling sering menyebabkan DIC. DIC yang nyata
dapat terjadi pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis akibat bakteri Gram
negatif. Mekanisme yang terjadi pada proses terjadinya DIC pada pasien sepsis
berbeda dari proses yang terlibat pada leukemia maupun tumor solid.7

Sepsis merupakan sindroma klinis yang sudah dikenal secara luas dan merupakan
respon sistemik host terhadap infeksi. Kunci dari manifestasi klinis DIC
sesungguhnya bukan disebabkan oleh patogen yang menginvasi namun lebih
diakibatkan dari kondisi hipotensi, koagulopati, serta disfungsi multiorgan yang
disebabkan oleh sepsis berat sehingga berujung pada gangguan regulasi mediator-
mediator inflamasi pada host.8
Gangguan hematologi yang terlihat pada DIC karena sepsis terdiri dari 4 mekanisme
yang terjadi secara bersama-sama yakni : (1) Kerusakan endotel dan pembentukan
trombin yang diperantarai oleh faktor jaringan (tissue factor) ; (2) Gangguan
mekanisme fisiologis antikoagulasi (misal, penekanan sistem anti-trombin dan
protein C sehingga tidak dapat mengimbangi pembentukan trombin) ; (3) gangguan
degradasi fibrin akibat penekanan sistem fibrinolisis. Hal ini terutama disebabkan
oleh tingginya kadar plasminogen activator inhibitor tipe 1 (PAI-1) yang beredar di
sirkulasi, namun pada beberapa bentuk khusus DIC, fungsi fibrinolisis dapat
meningkat sehingga menyebabkan perdarahan ; (4) aktivasi inflamasi (gambar 2).2,8

Gambar 2. Hubungan/korelasi antara koagulasi dan inflamasi pada sepsis yang memiliki ciri khas : aktivasi

koagulasi
inflamasi
gangguan
fibrinolisis
Selanjutnya, pada sepsis, koagulasi yang terjadi sebaliknya dapat memperburuk inflamasi.8

yang diinduksi oleh bersama-sama dengan sistem antikoagulan, serta fungsi endotel.

Gambaran yang khas pada sepsis adalah terjadinya aktivasi dan disfungsi endotel
mikrovaskular. Hal ini diawali oleh inflamasi akibat komponen dari dinding sel bakteri yang
mengandung berbagai lipopolisakarida (LPS) yang menempel pada permukaan endotel.
Begitu inflamasi dimulai, sejumlah besar mediator-mediator inflamasi langsung dilepas
termasuk sitokin, kemokin dan sistem komplemen. Mediator-mediator ini selanjutnya dapat
berfungsi untuk mengaktivasi sel-sel endotel lainnya. Hal lain yang terjadi adalah pada
sepsis, sel-sel endotel menjadi lebih permeabel sehingga terjadi perpindahan cairan ke
ekstravaskular dan hal ini dapat menyebabkan hipovolemia dan hipotensi. Selain itu, pada
keadaan sepsis, permukaan endotel yang seharusnya memiliki sifat anti-trombotik berubah
menjadi pro-trombotik. Hal ini berkaitan dengan kejadian trombosis dan kegagalan multi
organ (gambar 3).8

Gambar 3. Peran endotel pada kondisi normal dan sepsis. (A) pada kondisi normal. Terdapat lapisan
antikoagulan pada permukaan endotel yang mencegah koagulasi darah melalui ekspresi trombomodulin (TM)
serta reseptor PC endotel (EPCR) yang membantu trombin menghasilkan protein C yang teraktivasi (APC)
melalui tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan anti-trombin (AT) yang menempel di permukaannya dan
mensekresikan tissue-type plasminogen activator (tPA) yng kemudian mendorong terjadinya fibrinolisis. (B) saat
infeksi bakteri masuk dalam aliran darah, aktivasi inflamasi sistemik menyebabkan pelepasan sitokin serta
aktivasi dan disfungsi endotel sehingga terjadi pelepasan mikropartikel-mikropartikel (MPs), apoptosis,
kerusakan endotel (ECs) serta hilangnya fungsi sebagai barier. Proses koagulasi teraktivasi dimulai dari interaksi
antara tissue factor (TF) dengan monosit, MPs dan juga kemungkinan dengan endotelium lainnya serta
pelepasan von Willebrand factor (vWF) yang dapat menyebabkan adhesi platelet pada permukaan subendotelial
serta agregasi trombosit. Produksi glikosaminoglikans (GAGs) mengalami penurunan, sementara protein-protein
antikoagulan seperti TFPI, AT, EPCR dan TM terlepas dari permukaan endotel serta mengalami penurunan
fungsi. Selanjutnya AT dan APC akan terus dikonsumsi. Fungsi fibrinolisis terganggu akibat peningkatan
penghambat utama aktivator plasminogen (PA) yakni PA inhibitor-1 (PAI-1) yang peningkatannya melebihi tPA,
serta peningkatan aktivasi komplemen akibat hilangnya fungsi/aktivitas thrombin-activatable fibrinolysis (TAFI)
yang normalnya mampu menghambat faktor komplemen C3a dan C5a serta bradikinin. Protein-protein
antikoagulan ini selanjutnya akan berperan pada pelepasan sitokin. Tissue factor-factor VIIa (TF-FVIIa), faktor
(F) Xa, serta trombin menimbulkan aktivitas proinflamasi melalui pemotongan PAR-1 dan PAR-2. Pemotongan
PAR-1 oleh APC bergantung pada EPCR dan proses tersebut memodulasi inflamasi dan apoptosis.8

Faktor jaringan dan pembentukan trombin

Trombin dapat dideteksi di dalam sirkulasi pada 3-5 jam setelah terjadinya bakteremia
ataupun endotoxemia. Banyak bukti ilmiah yang menunjukkan peran penting dari sistem
faktor jaringan/faktor VIIa dalam menginisiasi pembentukan trombin. 2

Paparan terhadap TF pada sirkulasi terjadi akibat adanya kerusakan endotelial, kerusakan
jaringan, inflamasi maupun sel tumor yang dapat mengekspresikan molekul progoagulan
(termasuk TF). TF mengaktivasi koagulasi lewat jalur ekstrinsik. Kompleks TF- VIIa
mengaktifkan trombin yang selanjutnya dapat memecah fibrinogen menjadi fibrin dan secara
bersamaan dapat menyebabkan agregasi trombosit. Jalur intrinsik dapat pula mengalami
aktivasi pada kondisi DIC ini hal ini malah dapat menyebabkan hemodinamik semakin tidak
stabil hingga hipotensi. Trombin yang dihasilkan oleh jalur TF/faktor VII semakin
memperkuat proses koagulasi dan inflamasi melalui mekanisme-mekanisme berikut:2

   Aktivasi platelet : peningkatan agregasi dan fungsi trombosit pada koagulasi


   Aktivasi faktor VIII, V, dan XI sehingga semakin memperbanyak produksi trombin
   Peningkatan aktivasi faktor-faktor proinflamasi melalui reseptor-reseptor yang

teraktivasi oleh protease (PARs/protease-avtivated resceptors)


   Aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa, sehingga memperbanyak produksi klot fibrin

dari fibrinogen

   Aktivasi TAFI (thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor) sehingga menyebabkan

klot tahan terhadap proses fibrinolisis.

   Meningkatnya ekspresi molekul-molekul adhesi (misal, selektin) sehingga

memicu efek inflamasi leukosit


Faktor VIIa telah diketahui berperan penting sebagai mediator terjadinya koagulasi

intravaskular pada sepsis. Penghambatan jalur faktor VIIa pada sepsis telah
diketahui dapat mencegah progresivitas DIC, dimana penghambatan yang dilakukan
pada jalur alternatif lain tidak terbukti dapat mempengaruhi proses koagulasi. Dalam
suatu studi, ditemukan bahwa penghambatan jalur TF/faktor VII(a) oleh antibodi
monoklonal yang spesifik pada aktivitas TF atau faktor VIIa dapat menghambat
pembentukan trombin secara komplit. Dari studi ini terlihat bahwa jalur ekstrinsik
lebih memainkan peran dalam DIC sedangkan jalur intrinsik tidak terlalu berperan.
TF sendiri hingga saat ini belum diketahui dengan pasti darimana sumbernya.
Kemungkinan, TF yang bersirkulasi bersumber dari sel-sel mononuklear (monosit)
ataupun mungkin pula bersumber dari sel-sel endotel yang mengalami injuri. Namun,
peran TF yang diekspresikan oleh sel-sel endotel dalam patogenesis DIC masih
dalam penyelidikan. 2

Gangguan sistem antikoagulan

Pembentukan trombin semestinya diatur sedemikian rupa melalui berbagai mekanisme


hemostasis. Namun, begitu proses koagulasi intravaskular dimulai, mekanisme tersebut
tidak sanggup untuk melakukan kompensasi yang diperlukan. Gangguan fungsi ini
menyebabkan pembentukan trombin semakin besar serta berperan dalam pembentukan
fibrin. Kadar anti-trombin juga berkurang pada keadaan DIC. Hal ini disebabkan oleh:2

   Anti trombin terpakai secara terus menerus akibat proses koagulasi yang terus
berlangsung
   Estalase yang dihasilkan oleh neutrofil yang teraktivasi mendegradasi anti- trombin
dan protein-protein lainnya.
   Kehilangan anti-trombin akibat kebocoran kapiler
   Terganggunya produksi anti-trombin terkait kerusakan hati akibat kurangnya

perfusi dan koagulasi mikrovaskular


Rendahnya kadar anti-trombin pada DIC memiliki korelasi dengan peningkatan

mortalitas, khususnya pada pasien dengan sepsis. Kadar anti-trombin yang rendah
mengawali munculnya manifestasi klinis sepsis. Hal ini kemungkinan menunjukkan
bahwa anti-trombin memang terlibat dalam patogenesis DIC dan memiliki kaitan pula
dengan disfungsi organ.2

Selain dari menurunnya jumlah anti-trombin, sistem protein-C juga ternyata


mengalami penekanan yang signifikan. Protein-C bersama dengan protein-S juga
termasuk dalam mekanisme utama kompensasi antikoagulan. Dalam kondisi normal,
protein-C diaktifkan oleh trombin melalui trombomodulin pada permukaan se-sel
endotel. Protein-C yang teraktivasi menghalangi proses koagulasi dengan
melakukan pemecahan (proteolitik) pada faktor Va dan VIIIa serta PAR1 melalui
ikatan dengan reseptor protein-C pada sel endotelial (EPCR/endothelial cell protei-C
receptor). Gangguan fungsi protein-C ini terjadi akibat adanya berkurangnya ekspresi
trombomodulin ataupun terjadinya proses inaktivasi akibat spesies oksigen reaktif
(ROC/reactive oxygen species) pada sel-sel endotelial melalui sitokin-sitokin
proinflamatori seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin (IL)- 1b.
Hal ini telah diketahui dalam suatu pengamatan pada pasien-pasien sepsis akibat
meningokokus. Selain itu, terdapat pula penurunan jumlah zimogen/pro-enzim
protein-C (mekanismenya sama dengan apa yang terjadi pada antitrombin) sehingga
semakin meningkatkan status pro-koagulasi. Lebih lanjut lagi protein-C semakin
berkurang akibat konsumsi yang terus-menerus, kebocoran ekstravaskular,
kehilangan lewat ginjal, berkurangnya produksi protein-C oleh hati serta
berkurangnya protein-S bebas yang bersirkulasi. Penelitian yang dilakukan pada
hewan pecobaan yang mengalami koagulasi akibat inflamasi berat menunjukkan
bahwa gangguan terhadap sistem protein-C

meningkatkan mortalitas dan morbiditas, sementara hal sebaliknya terjadi dimana angka
keselamatan meningkat, kegagalan organ berkurang dengan perbaikan terhadap sistem
protein-C.2

TFPI (TF pathway inhibitor) merupakan mekanisme antikoagulan lain yang mengalami
penekanan pada DIC. TFPI dapat menghambat faktor Xa secara reversibel dan trombin
secara ireversibel serta memiliki kemampuan untuk menghambat kompleks TF-VIIa.
Meskipun ternyata kadar TFPI normal pada kondisi sepsis, ternyata pada keadaan DIC
terdapat suatu kondisi insufusiensi relatif. Namun peran TFPI dalam patogenesis DIC masih
belum sepenuhnya dimengerti. Studi eksperimental pada manusia menunjukkan bahwa
pemberian rekombinan TFPI dapat mem-blok pembentukan trombin akibat inflamasi. 2.8
Gangguan sistem fibrinolisis

Fibrin intravaskular yang dihasilkan oleh trombin normalnya dieliminasi oleh proses
fibrinolisis. dalam sebuah model eksperimental terlihat bahwa, disaat proses koagulasi
berlangsung pada titik maksimal, maka sistem fibrinolisis justru terhenti. Hal ini dikarenakan
adanya peningkatan kadar PAI-1 plasma secara terus-menerus. Proses ini dimediasi oleh
TNF-2 dan IL-1. Peningkatan kadar PAI-1 muncul sebelum DIC dan hal ini merupakan
pertanda buruknya prognosis. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa pada pasien DIC
dengan kegagalan multi organ terdapat peningkatan kadar antigen tissue plasminogen
activator (t-PA) dan PAI-1 disertai berkurangnya kadar α 2-antiplasmin dibandingkan dengan
pasien DIC tanpa kegagalan multi-organ. Temuan ini mendukung kesimpulan bahwa
fibrinolisis merupakan mekanisme yang penting untuk mencegah kegagalan multi-organ.2

Namun pada beberapa kondisi yang jarang, DIC dapat muncul dengan karakteristik
hiperfibrinolisis yang berat dimana pada saat yang sama aktivitas sistem koagulasi juga
sedang berada pada titik puncak. Hal ini dapat dijumpai sebagai komplikasi dari leukemia
mieloid akut (M-3 menurut klasifikasi FAB/French-American-British) atau pada beberapa
keganasan berupa adenokarsinoma. Pada keadaan ini, meskipun kondisi hiperfibrinolisis
lebih dominan, namun trombosis yang luas juga tetap muncul secara signifikan. Namun
secara klinis biasanya hal yang menonjol pada pasien ini adalah perdarahan. Secara umum,
terapi anti-fibrinolitik pada pasien DIC tidak direkomendasikan oleh karena hal ini dapat
meningkatkan defisit fibrinolisis dan meningkatkan trombosis.2
Aktivasi inflamasi

Terdapat keterkaitan penting (komunikasi silang) antara jalur inflamasi dan koagulasi.
Kondisi inflamasi dapat meningkatkan aktifitas kaskade pembekuan darah, sebaliknya
peningkatan proses koagulasi dapat meningkatkan kondisi inflamasi itu sendiri. Selain itu,
terdapat pula beberapa faktor lain yang memperberat gangguan keseimbangan hemostasis
sehingga menyebabkan kecenderungan pasien berada dalam status hiperkoagulasi. Banyak
faktor-faktor koagulasi yang mengalami aktivasi pada DIC memiliki

peranan dalam perburukan inflamasi melalui rangsangan pelepasan sitokin-sitokin


proinflamasi oleh sel-sel endotel. Faktor X, trombin, serta kompleks TF-VIIa telah terbukti
dapat menngkatkan proses inflamasi.2

Klasifikasi dan Gambaran Klinis Klasifkasi

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi hemostasis, DIC dapat diibagi


menjadi 3 yakni : fase kompensasi, hiperkompensasi dan fase dekompensasi dengan
gambaran laboratorium seperti terlihat pada tabel 1.5

5
Tabel 1. Pembagian DIC berdasarkan nilai laboratorium
Pemeriksaan Kompensasi

Hiperkompensasi Dekompensasi
Trombosit Normal

Normal Menurun

PTT Normal aPTT Normal Fibrinogen Normal D-Dimer +/meningkat


Gejala klinis

Normal/meningkat Normal/meningkat Normal/meningkat +/meningkat

Meningkat Meningkat
Menurun
++/sangat meningkat

Gejala DIC yang muncul bergantung pada kondisi penyakit yang mendasarinya. Kondisi-
kondisi tersebut antara lain : sepsis atau infeksi berat, trauma (politrauma, neurotrauma,
emboli lemak), destruksi organ (pankreatitis berat), keganasan (tumor proliferatif, keganasan
mieloproliferatif/limfiproliferatif), m asalah obstetri (emboli cairan amnion, abrupsio plasenta),
gangguan vaskular (sindroma Kasabach-Merrit, aneurisma pembuluh darah besar), gagal
hati berat, reaksi toksik/imunologik berat (gigitan ular, obat- obat rekreasional, reaksi
transfusi, penolakan transplantasi).2

Gambaran klinis umum meliputi : demam, hipotensi, asidosis, hipoksia dan proteinuria. Pada
sebuah studi yang melibatkan 118 pasien didapatkan gambaran utama yang terjadi pada
pasien-pasien DIC antara lain: (1) perdarahan (64%), dapat berasal dari gusi, saluran cerna,
luka bekas operasi maupun rongga serosa paska operasi, petechiae, ekimosis, epistaksis,
hematoma, purpura, perdarahan dari kateter intra vena maupun kateter urin (hematuri); (2)
gangguan fungsi ginjal (25%) ; (3) gangguan fungsi hati (19%) ; (4) gangguan pernafasan
(16%) ; (5) Syok (14%) ; (6) gangguan susunan saraf pusat (2%). Selain itu, perlu juga
diperhatikan berbagai gejala dan tanda terkait trombosis pembuluh darah besar (misal deep
vein thrombosis [DVT]) dan trombosis mikrovaskular (misal, gagal ginjal). Perdarahan yang
bersumber dari 3 tempat yang tidak saling berhubungan

merupakan suatu tanda DIC. Pada DIC yang melibatkan paru, gejalanya dapat berupa
sesak nafas, batuk darah, serta batuk. 2
Pemeriksaan fisik

Pada DIC akut, pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan biasanya merupakan bagian dari
kondisi yang menyebabkan/mendasarinya serta sistem/organ yang terlibat. Pada kondisi
DIC kronis ataupun subakut, manifestasi utamanya adalah trombosis sebagai akibat
berlebihnya produksi trombin, tanda-tanda trombo-emboli vena dapat muncul dalam kondisi
seperti ini. Tanda-tanda yang berhubungan dengan sirkulasi adalah sebagai berikut: (1)
tanda-tanda perdarahan spontan dan mengancam jiwa ; (2) tanda-tanda perdarahan
subakut ; (3) tanda-tanda trombosis yang diffus dan terlokalisasi ; (4) perdarahan pada
rongga serosa. Sementara tanda-tanda keterlibatan saraf pusat antara lain: (1) penurunan
kesadaran ataupun sopor dengan penyebab yang tidak spesifik ; (2) defisit neurologis fokal
yang berlangsung sementara. Tanda-tanda keterlibatan sistem kardovaskular antara lain :
(1) hipotensi ; (2) takikardi ; serta (3) kegagalan sirkulasi. Tanda-tanda keterlibatan sistem
pernafasan antara lain : (1) friction rub pleura ; (2) tanda-tanda acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Tanda-tanda keterlibatan gastrointestinal antara lain : (1) hematemesis;
(2) hematochezia. Tanda-tanda keterlibatan genitourinaria antara lain: (1) tanda-tanda
azotemia dan gagal ginjal; (2) asidosis; (3) hematuria; (4) oliguria; (5) metrorrhagia: (6)
perdarahan uterus. Tanda-tanda dermatologis antara lain: (1) petechiae; (2) bullae
hemoragik; (3) sianosis akral; (4) nekrosis kulit ekstremitas bawah (purpura fulminan); (5)
infark lokal dan gangrene; (6) perdarahan luka dan hematom di area subkutaneus; (6)
trombosis.2

Diagnosa Banding

Diagnosa banding yang perlu dipikirrkan pada keadaan DIC antara lain: 2

1. Disfibrinogenemia
2. Sindroma hemolitik-uremik
3. Trombositopenia imbas heparin
4. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
5. Thrombotic thrombocytopenic purpura

Diagnosis & Penjajakan Diagnosis DIC

Diagnosis DIC bisa saja sulit ditegakkan, apalagi pada kasus DIC yang kronis dan kurang
nyata, dimana kelainan klinis dan laboratorium yang dijumpai agak kabur. Tidak ada satupun
pemeriksaan laboratorium rutin ataupun prosedur diagnostik yang telah ditetapkan yang
cukup sensitif sekaligus spesifik dalam mendiagnosis DIC oleh karena itu, diagnosis

DIC harus berdasarkan gabungan dari data klinis dan laboratorium (Grade C, Level IV).2,3
Namun demikian beberapa nilai laboratorium yang sering dijumpai abnormal pada keadaan
DIC antara lain, waktu pembekuan yang memanjang (PT dan aPTT), tingginya kadar
produk-produk degradasi fibrin, peningkatan nilai D-dimer, trombositopenia ringan hingga
berat (98% dari seluruh pasien DIC dan 50% dengan jumlah trombosit <50 x 10 9/L).
Ditemukannya schistocytes (gambar 3) pada pemeriksaan hapus darah tepi sebagai
pertanda patologis untuk mikroangiopati (10%). Selain itu, pada pemeriksaan darah tepi
dapat pula dijumpai burr cell (gambar 4). Nilai laboratorium yang didapat merupakan nilai
sesaat dan sangat cepat berubah, oleh karena ini pemeriksaan ulangan mesti dilakukan
(Grade B, Level III).2,3

Gambar 4. Sel darah merah yang terfragmentasi/skistosit (Kiri) dan burr cell (Kanan)

Hitung jumlah trombosit

Trombositopenia merupakan suatu pemeriksaan yang sensitif namun tidak spesifik untuk
DIC, pemeriksaan ulangan perlu dilakukan untuk melihat apakah hasil yang didapatkan
merupakan rentang nilai normal trombosit pasien atau memang suatu trombositopenia yang
khas untuk DIC jika didapatkan adanya penurunan dari nilai awal. 2,3 Waktu pembekuan
darah serta pemeriksaan faktor-faktor koagulasi

Pemeriksaan waktu pembekuan darah (misalnya, aPTT dan PT) biasanya memperlihatkan
adanya pemanjangan pada 50% pasien DIC sebagai akibat berkurangnya faktor-faktor
koagulasi karena konsumsi yang terus menerus. Namun nilai yang normal atau bahkan
memendek dapat pula dijumpai. Keadaan ini dapat terjadi sebagai akibat dari aktifasi faktor-
faktor koagulasi pada sirkulasi seperti thrombin (Xa). Oleh karena itu, pemeriksaan ini tidak
dapat dilakukan untuk menyingkirkan DIC bila hasilnya normal. Dalam hal monitoring, nilai
PT lah yang digunakan untuk memantau DIC, bukan nilai INR. Nilai INR digunakan untuk
pemantauan terapi antikoagulan oral.2,3

10

Protein C dan antithrombin merupakan 2 antikoagulan alami yang sering dijumpai menurun
jumlahnya pada kondisi DIC. Terdapat beberapa bukti ilmiah yang menganjurkan untuk
menggunakan kedua hal diatas sebagai indikator prognostik. Namun secara umum
pemeriksaannya masih belum tersedia di kebanyakan sentra pelayanan kesehatan,
sehingga aplikasinya masih relatif jarang.2
Pemeriksaan fibrinogen, D-dimer, dan produk degradasi fibrin

Aktifasi fibrin merupakan suatu proses/komponen utama dalam DIC, oleh karenanya logis
jika ditemukan adanya peningkatan nilai fibrin terlarut, maka diagnosis DIC dapat lebih yakin
untuk ditegakkan. Namun pemeriksaan fibrin terlarut juga masih belum tersedia secara luas
bagi para klinisi.2,3

Konsumsi fibrin secara masif pada DIC secara logika akan menyebabkan penurunan kadar
fibrinogen. Hal ini menyebabkan pemeriksaan fibrinogen digunakan secara luas untuk
diagnosis DIC, namun pada kenyataannya, nilai fibrinogen pada keadaan inflamasi justru
meningkat, dan meskipun nilainya akan menurun sejalan dengan progresifitas penyakit,
nilainya jarang mencapai batas bawah nilai normal. Pada sebuah studi, diperlihatkan bahwa
nilai fibrinogen tetap dalam rentang normal pada 57% pasien DIC. Selain itu, dalam studi
lain diperlihatkan bahwa sensitifitas nilai fibrinogen yang rendah dalam mendiagnosis DIC
hanya 28%. Namun pemeriksaan serial fibrinogen memberikan nilai yang lebih bermakna
sebagai petunjuk diagnosis.2,3

Fibrinolisis merupakan salah satu proses yang penting pada DIC, oleh karenanya
seharusnya terdapat bukti dari proses degradasi fibrin yakni berupa peningkatan nilai D-
dimer dan produk-produk degradasi fibrin lainnya. Proses proteolisis terhadap tautan silang
fibrin yang tidak terlarut menghasilkan sebuah neo-epitop unik yang memiliki ciri ikatan D-D
(D-dimer). Pemeriksaan D-Dimer ini memberikan hasil yang lebih bernilai untuk DIC. Selain
itu, pemeriksaan D-diimer berguna untuk membedakan DIC dari kondisi-kondisi yang
memberikan gambaran yang sama berupa penurunan jumlah trombosit, pemanjangan waktu
koagulasi seperti misalnya pada penyakit hati kronis. 2
Sistem skoring DIC

Diagnosis DIC didasarkan pada berbagai gambaran klinis serta laboratorium. The
International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) mengembangkan sebuah
sistem skoring sederhana untuk mendiagnosis DIC yang jelas/nyata dan DIC yang
kurang/tidak nyata dengan menggunakan parameter laboratorium yang tersedia di hampir
seluruh laboratorium rumah sakit (Grade C, Level IV) seperti terlihat pada gambar 5 dan
gambar 6.2,3

11

Gambar 5. Sistem skoring untuk DIC yang nyata/overt.9

Gambar 6. Sistem skoring untuk DIC yang tidak nyata/non-overt.9

Skor 5 atau lebih mengindikasikan suatu DIC yang nyata, namun skor kurang dari 5 tidak
mengeksklusikan DIC namun dapat berupa suatu DIC yang tidak nyata. Sensitifitas sistem
skoring ini adalah 91-93% dan spesifisitasnya 97-98%. Suatu sudi yang lain memperlihatkan
bahwa skoring ini dapat pula digunakan sebagai indikator prognostik di ruang rawat intensif,
dimana mortalitas sepsis yang disertai DIC ditemukan >40% sedangkan sepsis tanpa DIC
<25%. Setiap poin dalam skor ini memiliki odds ratio 1,29.2
12

Selain ISTH, terdapat pula sistem skoring lainnya, antara lain yang diberikan oleh The
Japanese Associaton for Acute Medicine (JAAM) seperti terlihat pada gambar 7, Dimana
skoring yang digunakan khusus didesain untuk pasien-pasien dengan kondisi kritis. Sistem
ini telah divalidasi oleh studi-studi prospektif lainnya, dan dapat mendiagnosa DIC lebih dini
dari metode-metode sebelumnya. Penangan yang agresif terhadap DIC dan kondisi/penyakit
yang mendasarinya terbukti mampu meningkatkan keberhasilan dalam outcome dan
mengurangi mortalitas pasien.2

Gambar 7. Sistem skoring DIC berdasarkan Japanese Association for Acute Medicine (JAAM).10
13

Diagnosis Sepsis

Diagnosis sepsis dapat ditegakkan berdasarkan adanya temuan/sangkaan infeksi desertai


dengan sistemic inflammatory respons syndrome (SIRS) yang ditandai dengan dua atau
lebih kondisi-kondisi berikut : (1) demam (temperatur oral >38 oC) atau hipotermia (<36oC);
(2) takipnea (>24 kali/menit); (3) takikardia (heart reate >90 kali/menit); (4) leukositosis
(>12.000/μL), leukopenia (<4.000/μL),atau > 10% bands. Disebut sepsis berat/sindroma
sepsis jika sepsis bersama-sama dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ (gambar
8).11 Sementara itu, syok sepsis merupakan sepsis disertai hipotensi (tekanan darah sistolik
arterial <90 mmHg, atau lebih rendah 40 mmHg dari tekanan darah rata-rata pasien
biasanya) selama satu jam meski telah dilakukan pemberian cairan yang adekuat. Atau jika
pasien membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg
atau mean arterial pressure > 70 mmHg.11

Gambar 8. Kriteria diagnosis sepsis berat.12

Manajemen DIC pada Sepsis Pertimbangan umum

Penanganan DIC utamanya ditujukan pada kondisi/kelainan yang mendasarinya (Grade C,


Level IV) sesuai dengan etiologi yang telah disampaikan sebelumnya. Biasanya kondisi DIC
akan menghilang jika kelainan primer/etiologinya berhasil ditangani dengan baik. Prinsip
penanganan DIC antara lain: (1) Suportif, antara lain : resusitasi, stabilisasi hemodinamik
dan tanda vital serta monitoring, bebaskan jalan nafas, nilai dan catat berat dan luasnya
perdarahan serta trombosis, koreksi hipovolemia, koreksi kadar gula darah, gangguan asam
basa dan elektrolit (2) Mengobati penyakit primer/mengatasi infeksi, serta (3) Menghambat
proses patologis DIC.2,5,12

Penanganan DIC harus dilakukan pada rumah sakit yang memiliki fasilitas perawatan kritis
yang memadai serta tenaga subspesialis yang berpengalaman seperti

14

hematologi, bank darah, ahli bedah. Pasien yang masuk ke rumah sakit tanpa kapabilitas
seperti yang telah disebut diatas, harus segera ditransfer jika keadaan pasien cukup stabil.1,2
Mengahambat proses patologis DIC
Transfusi trombosit

Transfusi trombosit dan faktor-faktor koagulasi jangan semata-mata hanya untuk tujuan
mengkoreksi nilai laboratorium namun lebih ditujukan pada kondisi klinis seperti perdarahan
ataupun persiapan untuk tindakan/prosedur invasif tertentu untuk meminimalisasi resiko
perdarahan (Grade C, Level IV). Nilai ambang batas nilai trombosit yang perlu ditransfusi
cukup beragam, namun kebanyakan klinisi memberikan transfusi trombosit jika nilai
trombosit <20 x 109/L meski tanpa perdarahan. Pada kasus DIC dengan perdarahan aktif,
nilai trombosit trombosit 20x 109/L s/d 50 x 109/L merupakan batas dimana transfusi
trombosit dapat diberikan (dosis 1-2 U/kg/hari) (Grade C, Level IV).1,2,3
Koreksi faktor koagulasi

Pemberian faktor-faktor koagulasi sebelumnya dianggap memperburuk kondisi karena hal


ini dianggap sama dengan “menyiram minyak ke dalam api”. Namun hal ini tidak terbukti
dalam studi-studi ilmiah. Namun secara umum pemberian kriopresipitat dan faktor koagulasi
konsentrat jangan diberikan secara rutin sebagai terapi pengganti pada kasus DIC.
Pemberian FFP bermanfaat dan dapat diberikan pada kondisi perdarahan pada DIC disertai
adanya PT dan aPTT yang memanjang ataupun pada kondisi direncanakan untuk dilakukan
prosedur invasif (Grade C, Level IV).1,2,3 Defisiensi fibrinogen berat (<1 g/l) dapat dikoreksi
dengan pemberian kriopresipitat ataupun fibrinogen konsentrat murni bersama- sama
dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP). Faktor-faktor koagulasi yang mengalami
defisiensi akibat konsumsi dapat dikoreksi dengan pemberian FFP, khususnya jika nilai INR
>2.0, aPTT meningkat dua kali lipat, atau jika fibrinogen <100 mg/dL. Dosis FFP yang
dianjurkan adalah 15 mg/kg. Pemeriksaan ulangan terhadap waktu pembekuan darah (aPTT
dan PT) perlu dilakukan untuk memantau defek koagulasi (jika perlu dapat dilakukan tiap 8
jam). Pada keadaan terdapat defisiensi vitamin K akibat konsumsi, pemberian vitamin K
dapat pula diberikan.1,2

Pemberian kompleks protrombin konsentrat (PCC) memberikan manfaat dimana hanya


diperlukan sedikit volume sehingga pada keadaan pasien yang mengalami overvolume,
pemberian PCC lebih menguntungkan (Grade C, Level IV). Namun terdapat hal yang
merugikan yakni pada PCC terdapat kekurangan faktor koagulasi yang cukup penting yakni
faktor V sementara pada DIC terdapat defisiensi global dari faktor-faktor koagulasi. Selain itu
beberapa literatur menyebutkan pemakaian PCC bisa saja merugikan karena adanya
aktivasi dari faktor-faktor koagulasi yang terdapat dalam PCC tersebut.1,2

15

Antikoagulan

Heparin harus diberikan pada keadaan yang menunjukkan adanya deposisi fibrin yang luas
namun tanpa adanya perdarahan yang signifikan (4-5 U/kg). Pemberian heparin bertujuan
untuk mencegah trombosis pada keadaan DIC. Pemberian heparin pada dosis terapeutik
diindikasikan jika dijumpai adanya trombo-emboli yang nyata seperti purpura fulminan, atau
iskemik akral. Pada kondisi sepsis berat, pemberian low molecular weight heparin (LMWH)
terbukti lebih superior dalam sebuah uji klinik acak. 2 Pada kondisi DIC dengan adanya resiko
tinggi perdarahan, lebih baik diberikan infus heparin kontinu dengan dosis 10 μ/kg/jam tanpa
perlu mencapai target rasio aPTT 1,5-2,5 kali kontrol. Monitoring sebaiknya hanya dilakukan
pada tanda-tanda klinis perdarahan(Grade C, Level IV).3 Pada kondisi penyakit kritis, pasien
DIC yang tidak mengalami perdarahan, direkomendasikan profilaksis trombo-emboli vena
dengan heparin dosis profilaksis atau LMWH (Grade A, Level IB).1,3
Pemberian protein C yang teraktivasi terbukti bermanfaat untuk kasus DIC yang disebabkan
oleh sepsis oleh karena efek antikoagulasinya. Namun belakangan peredarannya ditarik dari
pasaran karena pada sebuah trial (PROW ESS -SHOCK), pemberian protein C (drotrecogin
alfa) tidak menunjukkan adanya manfaat pada angka keselamatan pasien dengan sepsis
berat dan syok sepsis. Demikian pula halnya dengan pemberian anti-trombin, dimana
sebuah studi acak dalam skala besar tidak dapat menunjukkan manfaat pemberian anti-
trombin dalam menurunkan mortalitas pada DIC (Grade A, Level IB).1,2

Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) belakangan ini banyak mendapat perhatian sebagai
terapi yang cukup potensial untuk DIC terkait sepsis. Percobaan yang dilakukan pada
hewan telah memperlihatkan hasil yang cukup menjanjikan untuk menahan laju DIC dan
mencegah kematian serta kerusakan organ. Namun sayangnya, uji fase III terhadap TFPI
pada manusia dengan DIC ternyata tidak menunjukkan manfaat yang signifikan terhadap
penurunan mortalitas.1,2

Trombomodulin rekombinan (rTM) dapat digunakan pada DIC dengan etiologi sepsis berat
dan keganasan hematopoetik. Trombomodulin dapat berikatan dengan trombin dan
memungkinkan aktivasi protein C. Selain itu trombomodulin juga memiliki manfaat untuk
menghambat proses inflamasi melalui ikatannya dengan high-mobility group B (HBGM-1).
Dalam sebuah studi acak terbukti bahwa rTM memberi hasil yang lebih baik dalam
mengendalikan DIC dibandingkan dengan heparin unfractionated, khususnya dalam
mengontrol diathesis perdarahan yang persisten.1,2
Antifibrinolitik

Pemberian antifibrinolitik pada kasus-kasus perdarahan memang terbukti efektif, namun


khusus untuk perdarahan pada DIC, secara umum pemberian antifibrinolitik tidak

16

direkomendasikan (Grade C, Level IV) kecuali pada perdarahan dalam kasus-kasus jarang
dimana terdapat kondisi hiperfibrinolisis misalnya pada koagulopati yang disebabkan oleh
leukemia promielositik akut (AML-M3), trauma, serta beberapa kasus DIC akibat keganasan
(misal, karsinoma prostat) dengan dosis 1 g tiap 8 jam (Grade C, Level IV).1,2

Kesimpulan



Penyebab tersering DIC adalah sepsis.


Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, terdapat ciri khas yakni, proses koagulasi diawali
oleh kerusakan endotel sebagai penghasil TF
Diagnosis DIC harus dibuat berdasarkan gabungan data klinis dan laboratorium. Pada DIC
oleh karena sepsis, harus terdapat bukti/sangkaan adanya infeksi Manajemen DIC akibat
sepsis mencakup 3 hal yakni: (1) terapi suportif (2) mengatasi infeksi dan (3) menghentikan
proses patologis DIC.
Pemberian terapi yang ditujukan pada penghentian proses patologis DIC ataupun
pemberian faktor-faktor koreksi harus didasarkan pada kondisi klinis, bukan laboratorium
semata
Antikoagulan harus segera diberikan jika terdapat indikasi baik untuk profilaksis maupun
terapeutik

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Wada H, Thachil J, Di Nisio, M, Mathew P, Kurosawa S, Gando S, Kim HK, Nielsen


JD, Dempfle C-E, Levi M, Toh CH. Guidance for diagnosis and treatment of
disseminated intravascular coagulation from harmonization of the recommendations
from three guidelines. J Thromb Haemost 2013; 11: 761–7.
2. Levi M. Disseminated intravascular coagulation. Medscape medical reference. 2014
3. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guideline for the diagnosis and management
of disseminated intravascular coagulation. 2009. Blackwell Publishing Ltd, British
Journal of

Haematology, 145, 24–33.

4. Levi M, Hate HT. Disseminated intravascular coagulation. 1999. Massachusetts


Medical

Society. Volume 341 Number 8.

5. Koagulasi intravaskular disseminata. Dalam Rani AA, Soegondo S, Nazir AUZ,


Wijaya

IP, Nafrialdi, Mansjoer A, ed. Panduan Pelayanan Medik – PAPDI. 2009. Interna

Publishing. Hal 201-202.

6. Arruda VR, High KA. Coagulation disorders. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine, ed. 18th
ed. McGraw Hill. New York ; Vol 1, p973-982.
7. Dalainas I. Pathogenesis diagnosis and management of disseminated intravascular
coagulation : a literature review. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences. 2008;12: 19-31.
8. Schouten M, Wiersinga WJ, Levi M, Van der Pol T. Inflammation endothelium and
coagulation in sepsis. 2008. Journal of Leucocyte Biology. Volume 83. p536-545.
DOI : 10.1189/jlb.0607373.
9. Toh CH, Hoots WK, on behalf of the SSC on Disseminated Intravascular Coagulation
of the ISTH. The scoring system of the Scientific and Standardisation Committee on
Disseminated Intravascular Coagulation of the International Society on Thrombosis
and Haemostasis: a 5-year overview. J Thromb Haemost 2007; 5: 604–6.
10. Gando S, Saoitoh D, Ogura H, Mayumi T, Koseki K, Ikeda T et al. Natural history of
disseminated intravascular coagulaton diagnosed based on the newly established
diagnostic criteria for critically ill patients: Result of a multicenter, prospective survey.
Crit Care Med 2008 Vol. 36, No. 1. DOI: 10.1097/01.CCM.0000295317.97245.2D
11. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. Dalam: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, ed. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 18th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. Vol 1, Chapter 271. p2223-31
12. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving
sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock: 2013. Critical Care Medicine. Volume 41. p580-637
18

Anda mungkin juga menyukai