Anda di halaman 1dari 5

ULKUS KORNEA

1. Definisi

Ulkus Kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat supuratif
disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat terjadi dari epitel sampai
stroma. Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea.

2. Epidemiologi

Insiden ulkus kornea di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 5,5% dengan prevalensi
tertinggi 11% di Bali, 10,2% di DIY dan 9,4% di Sulawesi Selatan. Prevalensi kekeruhan kornea
terendah sebesar 2% dilaporkan di Papua Barat dan 3,1% di DKI Jakarta.

3. Etiologi
a. Ulkus Kornea Bakterialis
Lebih dari 90% peradangan pada kornea disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang umumnya
dapat menyebabkan keratitis adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Streptococcus pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, dan Moraxella. Patogen lain yang
dapat menyebabkan ulkus kornea diantaranya adalah Neisseria Gonore, Corynebacterium
difteri, dan Neisseria Meningitidis
b. Ulkus Kornea Fungi
Jamur yang dapat menyebabkan infeksi pada kornea (keratitis ulseratif) diantaranya adalah
golongan filamentous fungi (Aspergillus, Fusarium, Alternaria, Cephalosporium, Curvularia
dan Penicillium) dan golongan yeast (seperti: Candida and Cryptococcus). Jamur yang
umumnya menyebabkan ulkus kornea adalah Aspergillus (paling sering), Candida dan
Fusarium.
c. Ulkus Kornea Virus
Infeksi virus umum yang dapat menyebabkan ulkus kornea adalah keratitis herpes simpleks,
herpes zoster optalmikus, dan keratitis adenovirus. Penyebab lain yang jarang ditemukan
meliputi infeksi cytomegalovirus, virus measles, atau virus rubella.
d. Ulkus kornea protozoa
Keratitis protozoa paling sering disebabkan oleh infeksi acanthamoeba. Infeksi
acanthamoeba ini dapat disebabkan oleh penggunaan lensa kontak yang dicuci dengan
normal saline yang terkontaminasi, saat menyelam, atau infeksi oportunistik pada pasien
keratitis herpes, keratitis bakterialis, atau keratitis neuroleptik.

4. Patofisiologi

Koloni bakteri patologi pada lapisan kornea bersifat antigen dan akan melepaskan enzim dan
toksin. Hal ini akan mengaktifkan reaksi antigen antibodi yang mengawali proses inflamasi. Sel-
sel PMN pada kornea akan membentuk infiltrat. PMN berfungsi memfagosit bakteri. kemudian
disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi di
perikornea. Proses selanjutnya adalah terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma,
leukosit polimorfonuklear, yang mengakibatkan timbulnya infiltrat yang tampak sebagai bercak
berwarna kelabu, keruh dengan batas tak jelas dan permukaan tidak licin. Kemudian dapat
terjadi kerusakan epitel, infiltrasi, peradangan dan terjadilah ulkus kornea. Ulkus kornea dapat
menyebar ke permukaan atau masuk ke dalam stroma. Kalau terjadi peradangan yang hebat,
tetapi belum ada perforasi ulkus, maka toksin dari peradangan kornea dapat sampai ke iris dan
badan siliar dengan melalui membrana Descemet, endotel kornea dan akhirnya ke camera oculi
anterior (COA). Dengan demikian iris dan badan siliar meradang dan timbullah kekeruhan di
cairan COA disusul dengan terbentuknya hipopion (pus di dalam COA). Peningkatan TIO akan
menyebabkan nyeri pada mata.

5. Manifestasi Klinis
a. Mata merah, berair, nyeri, sensasi benda asing, fotofobia, penurunan visus, pembengkakan
kelopak mata, dapat disertai sekret.
b. Defek epitel dengan dasar jaringan nekrotik, infiltrat, edema stroma.
c. Dapat ditemukan hipopion
d. Dapat terjadi peningkatan TIO akibat inflamasi

6. Alur Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering ditemukan adanya riwayat trauma,
benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis
akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh. Ditanyakan pula riwayat pemakaian
obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit
bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes simplek.
b. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi
Pada area wajah dan sekitar mata, untuk melihat apakah ditemukan lesi berupa vesikel
pada area wajah dan sekitar mata yang merupakan tanda infeksi virus herpes zoster
atau herpes simpleks. Perhatikan juga apakah ada tanda Bell’s palsy yang menyebabkan
pasien mengalami lagoftalmus sehingga konjungtiva dan kornea terpapar secara
berlebih.
- Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan gejala berupa adanya injeksi siliar, kornea
edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai adanya jaringan nekrotik.
Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.
- Pemeriksaan tajam penglihatan dan pemeriksaan mata eksterna juga diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
- Tes pewarnaan fluorescein, yang kemudian dilihat menggunakan slit-lamp untuk melihat
defek pada kornea. Pada pemeriksaan slit-lamp, yang perlu diperhatikan adalah lapisan
air mata prekornea, konjungtiva, kornea, bilik mata depan, iris, lensa, dan vitreous
anterior. Reaksi pada konjungtiva biasanya tidak terlalu spesifik tetapi pada beberapa
kasus dapat membantu menegakkan diagnosis.
- Respon reflek pupil
c. Pemeriksaan Penunjang
Sampel kerokan kornea yang bisa dilakukan pemeriksaan Gram/KOH ataupun kultur

7. Tatalaksana
a. Farmakologis
- Infeksi bakteri : fluorokuinolon topikal (levofloxacin 0,5% tetes mata)
- Infeksi fungi : natamyci 5% tetes mata/amfoterisin B 0,15% salep mata
- Infeksi virus : asiklovir 3% salep mata (Herpes simplex), asiklovir oral (Herpes zoster)
b. Non-Farmakologis
- Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya
- Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang
- Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan
mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih
- Menghindari asap rokok, karena dengan asap rokok dapat memperpanjang proses
penyembuhan luka
- Pentalaksanaan bedah antara lain flap konjungtiva dan tindakan definitif berupa
keratoplasti. Keratoplasti merupakan jalan terakhir bila tindakan bedah yang lain tidak
berhasil.

8. Komplikasi, prognosis, dan tindakan preventif


a. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dengan adanya ulkus kornea yang tidak mendapat
tatalaksana dengan tepat dan cepat antara lain perforasi kornea, skleritis, uveitis,
endoftalmitis, penoftalmitis.
b. Prognosis
Prognosis kesembuhan ulkus kornea bakteri ditentukan oleh terapi lebih dini, tingkat
keparahan ulkus dan ketepatan serta kecepatan terapi yang diberikan. Selain itu prognosis
dapat juga dipengaruhi oleh ocular surface disorder dan faktor sistemik dari pasien.
Prognosis buruk pada infeksi kornea akibat Streptococcus pneumoniae kecuali pengobatan
dimulai dengan cepat. Dengan bertambahnya usia dan kerentanan, prognosisnya tidak baik.
c. Tindakan Preventif
Memberikan edukasi menjaga kebersihan lensa kontak dengan perawatan yang baik dan
benar, tidak menggunakan lensa kontak selama tidur, serta menghindari penggunaan cairan
lensa kontak berbahan dasar chlorin atau menggunakan air keran yang dapat meningkatkan
risiko infeksi acanthamoeba.

Referensi :

1. Jetton, J.A., Ding, K., Stone, DU. Effects of tobacco smoking on human corneal wound healing
Cornea
2. Perdami. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ulkus Kornea Bakteri.
3. Ilyas, S. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi). Jakarta: Balai penerbit FK UI. 2010.
4. Ilyas, S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi keempat. Jakarta: Balai. Penerbit FK UI
Bola mata memiliki 2 kelompok otot, yaitu otot intrinsik dan otot ekstrinsik. Otot ekstrinsik bersifat
volunter, terdiri dari otot-otot ekstraokular yang berperan dalam mengatur gerakan bola mata. Otot
ekstraokular terdiri dari 7 otot, yaitu 4 otot rektus, 2 otot oblik dan 1 otot levator palpebra. Secara
umum otot ekstraokular berperan dalam menggerakkan bola mata, tetapi otot levator palpebral
memiliki fungsi yang berbeda. Otot ini berfungsi untuk elevasi palpebra superior

Gerak binokular : Gerak kedua bola mata secara bersamaan, Gerakan mata ke arah yang sama
disebut versi. Dekstroversi adalah gerakan kedua mata ke kanan pasien (lateral kanan dan medial
kiri. Levoversi adalah gerakan kedua mata ke kiri pasien (lateral kiri dan medial kanan).

oblik inferior : ke atas, lateral (N.III inferior : rektus medial, rektus inferior, oblik inferior ; N.III
superior : rektus superior)

oblik superior : bawah, lateral (N.IV)

N.VI : rektus lateral
a. Sel batang

Sel-sel ini sangat peka terhadap cahaya, yang berespon terhadap sebuah cahaya dan
memungkinkan sensasi penglihatan bahkan dengan tingkat pencahayaan yang rendah, seperti
saat senja atau larut malam.
b. Sel kerucut

Sel ini kurang banyak dan kurang sensitif terhadap cahaya. sel kerucut di retina manusia
menghasilkan penglihatan warna pada cahaya terang

Anda mungkin juga menyukai