Anda di halaman 1dari 12

Untuk transmisi listrik ke rumah-rumah, kenapa arus listrik bolak-balik (AC) lebih menguntungkan

dibanding listrik arus searah (DC)? Bagaimana sejarahnya?

Kalau iseng-iseng cek meteran listrik di rumah, kita akan melihat tulisan, “220V, 50Hz”. Sebenernya
ada banyak tulisan di meteran listrik, tapi di artikel ini kita cuma bahas tulisan tersebut. Oke, apa nih
maksudnya tulisan “220V, 50Hz”? Bagian 220V-nya itu menunjukkan bahwa listrik di rumah kita
mendapatkan tegangan sebesar 220 volt, sementara bagian 50Hz-nya menunjukkan bahwa arus
listrik yang tiba di rumah kita itu adalah listrik bolak-balik dengan frekuensi sebesar 50 Hz (50
gelombang per detik). Jadi dari angka 50 Hz tersebut kita tahu bahwa listrik yang sampai di rumah kita
adalah listrik bolak-balik.
Di Indonesia, sebagian besar listrik yang dipakai di rumah-rumah memiliki standard seperti di atas,
yaitu 220 volt, 50 Hz. Di negara-negara lain, standardnya bisa aja berbeda. Di negara-negara Eropa
seperti Perancis, Jerman, Italia, Yunani, dan lain-lain, standardnya adalah 230 volt, 50 Hz. Di Amerika,
standardnya adalah 120 volt, 60 Hz. Singapura, Australia, dan Malaysia standardnya sama dengan
Eropa. Tiongkok standardnya sama dengan Indonesia. Dan sebagainya. Standard di setiap negara
bisa berbeda, tapi yang jelas, semua negara di seluruh dunia itu menggunakan arus bolak-balik untuk
transmisi listrik ke rumah-rumah.
Seperti yang udah kita tau, arus listrik dibagi menjadi dua, yaitu listrik arus searah dan listrik arus
bolak-balik. Tapi kenapa sih seluruh dunia menggunakan listrik arus bolak-balik? Kenapa nggak
pakai listrik arus searah aja? Nah, di artikel ini, gue mau membahas berbagai keuntungan listrik
bolak-balik dari segi Fisika.
Listrik, memangnya buat apa?
Sebelum kita masuk ke listrik arus bolak-balik, kita inget-inget dulu, memangnya kenapa sih kita
perlu listrik ke rumah-rumah?

Gue inget banget dulu dosen Elektro gue pernah bilang gini, “Kita butuh listrik ke rumah-rumah
karena itu satu-satunya cara yang efektif dan efisien untuk mentransmisikan energi.” Kemudian
beliau melanjutkan lagi, “Kalau ada cara lain yang lebih efektif dan lebih efisien dalam
mentransmisikan energi, kita nggak perlu mengirimkan listrik ke rumah-rumah lagi.”

Seperti yang kita ketahui, hidup kita saat ini menjadi jauh lebih enak karena kemampuan kita
dalam mengendalikan energi yang ada di sekitar kita. Hanya saja masalahnya, sebagian besar energi yang
kita butuhkan itu dibangkitkan di lokasi yang jauh di perumahan. Oleh karena itu, perlu ada cara yang
efektif dan efisien untuk mentransmisikan energi tersebut dari sumbernya ke perumahan.
Solusinya? Ya pakai listrik. Energi apapun yang dibangkitkan oleh pembangkit, tinggal kita ubah
dalam bentuk listrik, kemudian kita kirim listrik tersebut ke rumah-rumah. Ketika energi listrik
tersebut tiba di rumah, kita bisa mengubahnya menjadi energi bentuk lain sesuai kebutuhan kita,
misalnya, menjadi energi cahaya (lampu), energi panas (kompor listrik, pemanas ruangan, pendingin
ruangan, kulkas, dsb), menjadi energi kinetik (kipas angin, alat cukur rambut, dsb), dan sebagainya.
Berhubung tujuan listrik ke perumahan itu adalah untuk transmisi energi, berarti sekarang kita
perlu cari tahu nih, memangnya listrik arus bolak-balik itu lebih efektif dan lebih efisien ya dibanding
listrik arus searah dalam mentransmisikan energi? Nah, sebelum masuk ke sini, kita pelajari lebih
dulu yuk, apa sih yang dimaksud dengan listrik arus bolak-balik.

Perbedaan listrik arus searah (DC) dan


listrik arus bolak-balik (AC)
Arus listrik dibagi menjadi 2, yang pertama ada listrik arus searah (DC - dirrect current) yang mana
arus listriknya bergerak searah dari kutub positif ke negatif. Kalo arusnya bergerak dari kutub positif
ke negatif, maka elektronnya bergerak dari kutub negatif ke positif, seperti yang bisa lo lihat di
animasi di bawah. Listrik DC biasanya dihasilkan oleh baterai.
Lalu yang kedua ada listrik arus bolak balik (AC - alternating current) yang mana arah arusnya nggak
bergerak dari kutub positif ke negatif, tapi arusnya bolak balik doank. Emang arusnya bener-bener
bolak-balik ya? Yup, arusnya beneran bolak-balik seperti yang bisa lo lihat dalam animasi di bawah
ini. Arus listrik AC ini dihasilkan oleh generator AC.

Udah kebayang kan bedanya?

Pada listrik DC, arus listriknya selalu bergerak pada arah yang sama, dan biasanya nilainya tetap.
Kalau kita bikin grafiknya, jadinya seperti ini:
Sementara pada listrik AC, arus listriknya terkadang bergerak searah jarum jam, terkadang bergerak
berlawanan arah dengan jarum jam. Biasanya, perubahannya itu berupa sinusoidal seperti grafik di
bawah ini:

Bisa lo lihat pada grafik di atas bahwa pada t=0 tegangannya nol, kemudian pada t = 0,005 detik
tegangannya +220 volt, pada t = 0,01 detik tegangannya nol lagi, dan pada t = 0,015 detik
tegangannya -220 volt, dan seterusnya. Ini adalah contoh listrik AC dengan frekuensi 50 Hz (berarti
periode = T = 1/50 detik = 0,02 detik). Tegangan yang kadang postif dan kadang negatif ini membuat
arusnya terkadang bergerak searah jarum jam, terkadang sebaliknya.
Hmm... tunggu deh, jadi pada arus bolak-balik, kadang-kadang
tegangannya bisa nol juga? Kalau gitu, lampu yang dilalui arus AC itu harusnya nyala-redup-nyala-redup gitu
dong? Kok kalau gue lihat lampu di rumah gue nggak gitu, tapi nyala aja terus?
Nah, sebenernya lampu di rumah kita itu nyala-redup-nyala-redup. Tapi, mata kita nggak sensitif
terhadap perubahannya karena itu berlangsung dengan sangat cepat. Masih inget kan kalau
frekuensi listrik AC di rumah kita itu adalah 50 Hz (umumnya di Indonesia 50 Hz). Itu berarti, dalam 1
detik, terdapat 50 gelombang. Jadi dalam 1 detik, listrik AC tersebut bergerak bolak-balik sebanyak
50 kali. Mata kita tidak bisa mendeteksi nyala-redup yang secepat itu.

Beneran ga nih? Jangan-jangan bohong lagi. Gue ga mau dibohongi (pakai) teori fisika!
Beneran. Kalo dideteksi pake mata emang susah, tapi kalo pake kamera, bisa. Ada yang iseng
merekam lampu bohlam dengan menggunakan kamera 1200 frames per second. Setelah ditangkap
kamera, videonya diplay secara slow motion, hasilnya menjadi seperti di bawah ini:
Sekarang kelihatan kan kalau lampu tersebut benar-benar nyala-redup?

Okay, sekarang jelas lah ya bedanya listrik AC dengan listrik DC. Pada listrik DC, arusnya searah dan
biasanya nilainya tidak berubah-ubah (bisa dibilang frekuensinya nol). Sementara pada listrik AC,
arusnya bolak-balik, kecepatan bolak-baliknya itu bergantung pada frekuensinya. Untuk listrik AC di
Indonesia, biasanya menggunakan frekuensi 50 Hz.

Nah, gara-gara ada FREKUENSI ini, sebenernya listrik AC itu bisa menimbulkan hambatan yang
biasanya nggak ada pada listrik DC, yaitu hambatan yang muncul akibat reaktansi induktif pada
kabel. Penasaran kenapa? Baca terus yah.

Reaktansi Induktif pada listrik AC


Perhatikan dua rangkaian di bawah ini:
Kedua rangkaian di atas sama-sama terdiri atas resistor atau hambatan (simbolnya R)
dan induktor (simbolnya L). Induktor terdiri dari lilitan kawat pada sebuah coker atau inti logam.
Nah, pada saat arus listrik melewati lilitan kawat tersebut, maka akan timbul medan magnet. Trus
ada ga nih bedanya peran induktor pada rangkaian yang kiri yang dialiri arus AC, dan yang
rangkaian kanan yang dialiri arus DC? Gue udah bikin video penjelasannya di bawah ini. Coba tonton
ya.
Jadi intinya pada arus AC, induktor itu selain menghasilkan medan magnet, juga menghasilkan
hambatan berupa reaktansi induktif yang simbolnya XL.
Hmmm... emangnya kenapa sih bisa muncul reaktansi induktif pada induktor?
Singkatnya begini. Pertama, arus listrik yang melewati lilitan kawat itu menimbulkan medan magnet.

Tetapi hal sebaliknya tidak berlaku ya. Medan


magnet TIDAK menimbulkan arus listrik.

Yang bener adalah perubahan medan magnet


mengakibatkan arus listrik.
Nah, ketika induktor dialiri arus DC, yang
mana nilai i tetap, maka medan magnetnya juga tetap atau tidak berubah-ubah. Sehingga tidak ada
arus induksi yang muncul. Sementara ketika induktor dialiri arus AC, yang mana nilai i nya berubah-
ubah, maka medan magnet di dalam induktor tersebut berubah-ubah. Perubahan medan magnet
pada induktor tersebut yang akhirnya memunculkan i atau arus induksi yang melawan arus
sebelumnya. Itulah sebabnya induktor memiliki reaktansi induktif ketika dialiri arus AC.
Okay, terus apa urusannya reaktansi induktif ini dengan transmisi listrik ke rumah-rumah? Memangnya ada
induktornya?
Nah, kabel listrik yang dikirim ke rumah-rumah itu sebenarnya tidak ada induktornya. Tapi karena
kabelnya puaaanjang sekali, maka kabel yang panjang tersebut berlaku bagaikan induktor. Jadi,
kalau kita menggunakan arus AC untuk transmisi listrik, maka listrik tersebut akan mengalami
hambatan berupa reaktansi induktif itu tadi.

Wah, kalau gitu, rugi dong kalau pakai listrik AC! Kan kalau kita pakai listrik AC, jadi muncul reaktansi induktif
tuh. Jadi loss-nya akan lebih banyak. Lebih efisien pakai listrik DC kalau gitu. Kenapa kita nggak pakai listrik DC
aja?
Tunggu dulu. Ceritanya belum selesai. Jadi di sini kita udah tahu nih bahwa listrik AC itu memiliki
kekurangan, yaitu munculnya reaktansi induktif tadi. Tapi ini sebenernya energy loss gara-gara ini
nggak terlalu signifikan, karena listrik AC punya teknik yang hebat juga untuk mengatasi energy loss
gara-gara transmisi ini. Mau tahu apa tekniknya? Nah, coba lanjut baca terus ya.

Penggunaan Tegangan Tinggi


Kalau kita mau mentransmisikan listrik secara efisien, di mana tidak ada daya yang hilang selama
proses transmisi, maka kita harus menggunakan arus listrik yang sekecil mungkin. Kenapa? Karena
dengan arus listrik yang kecil, maka elektron yang berpindah juga sedikit (ingat, arus itu adalah
perubahan muatan per satuan waktu). Kalau elektron yang perpindah sedikit, total energi yang
hilang dari elektron-elektron tersebut akan menjadi lebih kecil. Nah, gimana caranya supaya arus
listrik yang kita transmisikan itu kecil? Kuncinya ada di persamaan berikut ini:

P itu adalah daya listrik, V adalah tegangan, dan I adalah kuat arus. Dalam
proses transmisi energi, daya listrik itu selalu konstan (ingat bahwa daya itu adalah energi per
satuan waktu. Karena energi itu kekal, maka dayanya juga harus kekal selama tidak berubah
menjadi energi bentuk lain). Nah, karena daya itu konstan, berarti kalau kita ingin nilai I turun, kita
tinggal naikkan nilai V.
Oleh karena itu, pada transmisi jarak jauh, biasanya listrik yang digunakan itu adalah listrik dengan
tegangan yang sangat tinggi seperti gambar di bawah.

Dengan menggunakan tegangan tinggi, maka arus listriknya menjadi kecil. Karena arus listriknya
kecil, maka daya yang hilang pada proses transmisi juga kecil. Hal ini membuat proses transmisi
menjadi lebih efisien.

Bagaimana cara menaik-turunkan tegangan?


Pada listrik AC, teknik untuk menaik-turunkan tegangan itu mudah sekali, tinggal pakai alat yang
namanya transformator. Familiar dengan transformator? Sering juga disebut sebagai Travo.
Gambarnya kira-kira begini:
Transformator ini hanya bisa bekerja kalau diberikan listrik AC. Karena prinsip kerjanya adalah
demikian:

 Arus bolak-balik mengaliri kabel primer (warna merah pada gambar)


 Arus bolak-balik tersebut menimbulkan flux magnet bolak-balik pada Inti travo (warna hijau pada gambar)
 Flux magnet yang bolak-balik ini menimbulkan arus bolak-balik pada kabel sekunder (warna biru pada
gambar) – inget ya, yang bisa menimbulkan arus itu hanyalah perubahan flux magnet. Kalau flux magnetnya
tetap, maka tidak akan muncul arus. Itulah sebabnya travo ini tidak bisa bekerja pada listrik DC.
Oh, jadi listrik DC itu nggak kepake karena tegangannya tidak bisa dinaik-turunkan seperti listrik AC?
Iya. Kira-kira begitu. Kalau kita ingin menaikan atau menurunkan tegangan DC, rangkaian yang
diperlukan itu jauh lebih ribet dibandingkan dengan listrik AC. Bahkan sering kali teknik untuk
menaik-turunkan tegangan DC adalah dengan cara mengubahnya dulu menjadi listrik AC, pasang
travo untuk menaik-turunkan tegangannya, kemudian diubah lagi menjadi listrik DC. Ribet kan?
Makanya, mending langsung pakai listrik AC aja sekalian, karena lebih mudah untuk menaik-
turunkan tegangannya.

The War of Current – sejarah adopsi listrik AC


Kalau kita melihat ke sejarahnya, proses adopsi listrik AC sebagai alat untuk mentransmisikan energi
ini bukan terjadi tanpa hambatan. Ketika listrik baru saja ditemukan (untuk transmisi energi), ada
dua perusahaan yang menjadi pemain utama dalam bisnis ini. Perusahaan yang pertama adalah
Edison Electric Light Company (sekarang menjadi General Electric), perusahaan milik Thomas Alva
Edison (pernah dengar namanya? Dia biasa dikenal sebagai penemu lampu). Perusahaan yang satu
lagi adalah Wistinghouse Electric Company, perusahaan milik George Westinghouse yang saat itu
dibantu oleh Nikola Tesla. Edison Electric Light Company saat itu mengusung listrik DC,
sedangkan Wistinghouse Electric Company mengusung listrik AC. Persaingan bisnis antara keduanya
terjadi sangat sengit sehingga ahli sejarah menyebut ini sebagai “The War of Current”. Wikipedia
punya satu artikel sendiri untuk membahas The War of Current ini, bisa dilihat di sini.
Pada akhir tahun 1870an, setelah lampu ditemukan, permintaan masyarakat terhadap listrik ke
rumah-rumah dan ke lokasi bisnis jadi meningkat tajam. Beberapa diantaranya dipasang dengan
listrik AC. Kemudian pada tahun 1882, Edison memperkenalkan listrik DC bertegangan rendah yang
didesain untuk tempat-tempat usaha dan perumahan. Pada tahun 1886, Westinghouse mulai
membuat sistem listrik AC yang menggunakan transformator untuk menaik-turunkan tegangan
untuk transmisi jarak jauh.

Sistemnya Westinghouse ini mirip dengan yang gue jelaskan di atas. Untuk melakukan transmisi
jarak jauh, tegangan dinaikan terlebih dahulu dengan menggunakan transformator (sehingga
arusnya kecil dan energy loss-nya juga kecil), kemudian ketika sampai di perumahan, tegangannya
bisa diturunkan kembali. Karena sistem ini sangat efisien, beberapa perusahaan mulai mengadopsi
sistem yang diperkenalkan oleh Westinghouse ini. Berbatai proyek pemasangan listrik akhirnya
lebih memilih sistem listrik AC ini karena lebih efisien.

Kubu listrik DC tentu tidak mau kalah dengan “peperangan” ini, sehingga mereka mulai menyerukan
propaganda bahwa listrik AC ini berbahaya. Alasannya adalah karena pada proses transmisinya,
listrik AC ini menggunakan tegangan yang sangat tinggi. Kubu listrik DC mengatakan bahwa
meskipun sistemnya kurang efisien, tapi ini jauh lebih aman karena tidak menggunakan tegangan
tinggi. Argumen ini ada benarnya sebenarnya, tapi cara mereka melakukan propaganda kadang
kelewatan juga. Salah satu propaganda yang dilakukan adalah dengan menyetrum hewan-hewan
seperti anjing dan kuda dengan menggunakan listrik AC sampai hewan tersebut mati.

Meskipun sebenarnya propaganda-propaganda ini lumayan berhasil membuat orang percaya


bahwa listrik AC itu berbahaya, tapi ini tidak berhasil menggagalkan proyek-proyek instalasi listrik
AC. Pada akhirnya, listrik AC ini tetap dipakai di mana-mana, namun dengan sistem keamanan yang
diperketat untuk menghindari kecelakaan. Perusahaan milik Edison pun akhirnya mengalah dan
mulai mengadopsi listrik AC. Semenjak saat itulah sistem kelistrikan yang dipasang di mana-mana
menggunakan sistem listrik AC.

Ketika sistem listrik AC dipakai di mana-mana, perusahaan pembuat piranti elektronik pun akhirnya
menggunakan sistem listrik AC untuk menyalakannya. Coba aja lihat piranti elektronik di sekitar kita,
mulai dari TV, komputer, charger HP, laptop, kulkas, dispenser, dan sebagainya, semua
menggunakan colokan listrik AC kan? Karena semua menggunakan sistem listrik AC, akhirnya ketika
ada daerah yang baru dipasang listrik, udah nggak mungkin lagi di sana dipasang sistem listrik DC.
Karena itu akan membuat berbagai piranti elektronik yang biasa dipakai jadi nggak bisa dipakai.

Bagaimana nasib listrik DC sekarang?


(untuk transmisi energi)
Melihat penjelasan di atas, sepertinya sulit sekali ya bagi sistem listrik DC untuk masuk ke arena
permainan. Tapi, apakah sistem listrik DC ini benar-benar mati? Enggak juga. Ternyata, masih ada
beberapa transmisi energi yang menggunakan listrik DC, nama sistemnya adalah High-Voltage
Direct Current (HVDC). Sistem HVDC ini hanya digunakan untuk transmisi bertegangan sangat tinggi
(> 500.000 volt) dan untuk jarak yang sangaaaaat jauh (> 500 km, kira-kira sejauh Jakarta-Surabaya).

Kenapa untuk jarak yang sangat jauh sistem HVDC ini bisa lebih efisien? Salah satunya adalah
karena keunggulan yang gue sebutin di atas: tidak ada hambatan yang muncul karena reaktansi
induktif. (note: nggak ada hambatan akibat reaktansi kapasitif dan skin effect juga, tapi ini belum gue jelasin di
artikel). Hambatan akibat reaktansi ini bisa diabaikan untuk transmisi jarak pendek. Tapi semakin
jauh transmisinya, semakin signifikan dampaknya. Sehingga ketika transmisinya menggunakan jarak
yang sangaaat jauh, biaya untuk memasang sistem listrik AC malah jadi lebih mahal dibandingkan
biaya untuk memasang sistem listrik DC.

Kesimpulan
Jadi, kalau kita lihat kenapa listrik AC menjuarai sistem kelistrikan dunia, singkatnya adalah karena
sistem listrik AC biasanya lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem listrik DC. Kalau melihat dari
cerita ini, sebenarnya ada hal menarik yang bisa kita simpulkan, terutama elu-elu yang tertarik
masuk ke dunia engineering: Jadi anak teknik itu jangan cuma tahu soal bagian sainsnya aja, tapi
harus bisa mengerti juga pertimbangan bisnisnya supaya bisa mengerti teknologi macam aja yang
layak untuk kita push, yang mana yang kurang relevan. Dengan begitu, lo bisa mendesain suatu alat
yang beneran kepakai di dunia industri.
By the way, di artikel ini kita mempelajari bahwa penemuan transformator adalah salah satu
penemuan terpenting yang membuat sistem listrik AC unggul jauh dibandingkan sistem listrik DC.
Tanpa penemuan transformator, bisa jadi sistem kelistrikan yang kita gunakan sekarang adalah
sistem listrik DC. Nah, ngomong-ngomong soal transformator, ada soal menarik nih dari SBMPTN
2015 Fisika. Berikut ini soalnya:

Kalau lo mengerti konsep tranformator yang gue ceritakan di artikel ini, lo pasti bisa menjawab soal
di atas. Gampang kok. Bisa? Tulis jawabannya di komentar di bawah ya

Anda mungkin juga menyukai