Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN


JANUARI 2022
KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Oleh:
Cindy Pratiwi Paradise

105501100621

PEMBIMBING:
dr. Helena Kandengan, Sp. KK

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW. Karena beliaulah sebagai suritauladan dalam
kehidupan dunia ini. Mudah-mudahan kita yang termasuk umatnya selalu
senantiasa dan setia kepadanya.

Laporan Kasus dengan judul “Dermatitis Kontak Alergi” ini dapat


terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam
kepada dr. Helena Kandengan, Sp. KK selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan
arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna


adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir
kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua
orang.

Makassar, Januari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... I
KATA PENGANTAR .......................................................................................... II
DAFTAR ISI ........................................................................................................ III
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 2
A. DEFINISI ................................................................................................... 2
B. EPIDEMIOLOGI...................................................................................... 2
C. ETIOLOGI ................................................................................................ 2
D. PATOGENESIS ........................................................................................ 2
E. GAMBARAN KLINIS .............................................................................. 4
F. DIAGNOSIS .............................................................................................. 4
G. DIAGNOSIS BANDING .......................................................................... 7
H. TATALAKSANA ...................................................................................... 9
I. PENCEGAHAN ........................................................................................ 9
J. KOMPLIKASI .......................................................................................... 9
K. PROGNOSIS ............................................................................................. 9
III. LAPORAN KASUS ..................................................................................... 10
IV. PEMBAHASAN ........................................................................................... 12
V. KESIMPULAN ............................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai organ terbesar dalam tubuh manusia, kulit adalah organ yang
kompleks dan dinamis yang melayani di antara banyak tujuan lain, fungsi
mempertahankan penghalang fisik dan imunologis terhadap lingkungan. Oleh
karena itu, kulit merupakan garis pertahanan pertama setelah terpapar berbagai
bahan kimia. 1
Dermatitis kontak alergi sebanyak 20% atau lebih dari kasus insiden baru
dalam subkelompok dermatitis kontak (dermatitis kontak iritan sebanyak 80%).
Dermatitis kontak alergi adalah efek samping yang merugikan, infeksi kulit reaksi
yang disebabkan oleh kontak dengan alergen eksogen spesifik yang seseorang telah
terpapar sensitisasi alergi. Lebih dari 3.700 bahan kimia telah terlibat sebagai agen
penyebab dermatitis kontak alergi pada manusia. Setelah kontak dengan alergen,
kulit bereaksi secara imunologis, memberikan ekspresi klinis eksim inflamasi. Pada
dermatitis kontak alergi, tingkat keparahan dermatitis eksim dapat berkisar dari
kondisi ringan dengan durasi singkat hingga penyakit kronis yang parah dan
persisten. Identifikasi alergen yang tepat melalui uji tempel epikutan yang tepat
telah terbukti meningkatkan kualitas hidup yang diukur dengan alat standar, karena
memungkinkan penghindaran yang tepat dari alergen pemicu dan kemungkinan
remisi berkelanjutan dari kondisi yang berpotensi melemahkan ini. Pengenalan
tanda dan gejala yang muncul, dan uji tempel yang tepat sangat penting dalam
evaluasi pasien dengan dugaan dermatitis kontak alergi.1
Gejala dermatitis kontak alergi yang paling umum adalah pruritus, disertai
rasa terbakar dan perih. ACD biasanya muncul secara akut dengan eritematosa,
papula dan plak yang indurasi, vesikulasi, edema dan pembentukan bula pada kasus
yang parah. ACD biasanya muncul dengan distribusi yang jelas, tergantung
paparan, biasanya melibatkan tangan, wajah, atau kelopak mata. Namun, distribusi
yang tidak teratur atau difus dapat terjadi karena transfer alergen sekunder atau
sensitisasi alergen sistemik.2

iv
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Dermatitis kontak alergi adalah penyakit kulit yang sangat gatal yang
disebabkan oleh paparan berulang terhadap haptens, yang menembus penghalang
kulit untuk menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe IV, dan tidak merespom
antihistamin.3
B. EPIDEMIOLOGI
Mencakup 7% penyakit terkait pekerjaan di Amerika Serikat, tetapi data
menunjukkan bahwa tingkat kejadian sebenarnya adalah 10-50 kali lebih besar
daripada yang dilaporkan dalam data Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat.
Dermatitis kontak alergi non-pekerjaan diperkirakan tiga kali lebih besar dari
Dermatitis kontak alergi pekerjaan. Semua usia tetapi jarang pada anak kecil dan
yang lebih tua dari 70 tahun.4
C. ETIOLOGI
Penyebab dermatitis kontak alergi ialah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul rendah (< 1000 dalton), disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat
reaktif, dan dapat menembus stratum komeum sehingga mencapai sel epidermis.
Berbagai faktor berpengaruh terhadap kejadian dermatitis kontak alergi, misalnya
potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama
pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, dan pH. Faktor individu,
misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum komeum, ketebalan
epidermis), status imun (misalnya sedang mengalami sakit, atau terpajan sinar
matahari secara intens).5
D. PATOGENESIS
Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
yang diperantarai oleh sel klasik (tipe IV). Ada dua fase dermatitis kontak alergi
yaitu :

v
1. Fase Sensitisasi
Kebanyakan alergen lingkungan berukuran kecil, molekul lipofilik dengan
berat molekul rendah (<500 Dalton). Alergen yang tidak diproses lebih tepat
disebut sebagai hapten. Setelah hapten menembus kulit, ia mengikat protein
pembawa epidermal untuk membentuk kompleks protein hapten, yang
menghasilkan antigen lengkap. Selanjutnya, Antigen Presenting Cells (APC) (sel
Langerhans dan/atau sel dendritik dermal), mengambil kompleks hapten-protein
dan mengekspresikannya pada permukaannya sebagai molekul HLA-DR. APC
kemudian bermigrasi melalui limfatik ke kelenjar getah bening regional di mana ia
menyajikan kompleks antigen-HLA-DR ke sel T spesifik antigen-nave yang
mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR dan lebih khusus lagi
kompleks reseptor sel T yang mengenali sel CD3. antigen yang diproses. Antigen
juga dapat disajikan dalam konteks molekul MHC kelas I, dalam hal ini mereka
akan dikenali oleh sel CD8. Selanjutnya, sel T naif disiapkan dan berdiferensiasi
menjadi memori (juga disebut sebagai sel T efektor) yang mengalami ekspansi
klonal, memperoleh antigen homing spesifik kulit, dan bermigrasi keluar dari
kelenjar getah bening ke dalam sirkulasi. Klon sel T sitotoksik CD4+ Th1 dan
CD8+ ini kemudian dapat bertindak sebagai efektor pada sel target penyaji antigen
di masa depan. Fase sensitisasi umumnya berlangsung 10-15 hari dan seringkali
tanpa gejala. Paparan antigen berikutnya, atau reset tantangan, mengarah ke fase

vi
elisitasi. Tantangan ulang tersebut dapat terjadi melalui beberapa rute, termasuk
transepidermal, subkutan, intravena, intramuskular, inhalasi, dan konsumsi oral.
2. Fase Elisitasi
Selama fase ini, baik APC dan keratinosit dapat mempresentasikan antigen dan
menyebabkan perekrutan sel T spesifik hapten berikutnya. Sebagai tanggapan, sel
T melepaskan sitokin, termasuk IFN-g dan TNF-a, yang, mengambil sel inflamasi
lain sambil merangsang makrofag dan keratinosit untuk melepaskan lebih banyak
sitokin. Respon inflamasi terjadi ketika monosit bermigrasi ke daerah yang terkena,
matang menjadi makrofag, dan dengan demikian menarik lebih banyak sel T.
Keadaan proinflamasi lokal ini menghasilkan gambaran klinis klasik spongiosis
inflamasi (kemerahan, edema, papula dan vesikel, dan kehangatan). Kemajuan
terbaru dalam pengetahuan tentang patofisiologi dermatitis kontak alergi telah
menunjukkan peran penting dari imunitas bawaan kulit dalam proses sensitisasi;
telah meninjau dogma bahwa sel langerhans untuk dermatitis kontak alergi dan
telah membahas sifat, cara, dan tempat kerja sel T regulator yang mengontrol
peradangan kulit. Pemahaman baru ini dapat memfasilitasi pengembangan strategi
untuk toleransi yang diinduksi, serta identifikasi target baru. Untuk agen ini,
farmakologi untuk pengobatan dermatitis kontak alergi.1
E. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis dermatitis kontak alergi adalah gatal, dermatitis eksim


awalnya terlokalisasi utama oleh paparan alergen. Lesi dermatitis kontak alergi
akan bervariasi secara morfologis tergantung pada stadium penyakit. 1

Pada stadium akut dimulai dengan bercak eritematosa berbatas tegas


kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat
pecah menyebabkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu,
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, lebih didominasi oleh eritema dan edema.
Pada DKA kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin
juga fisura, berbatas tidak tegas. DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya
dengan cara autosensitisasi. Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap
DKA.5
vii
Gambar 1: Lesi dermatitis kontak alergi

viii
Predileksi dermatitis kontak alergi

1. Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di
tangan, mungkin karena tangan merupakan tubuh yang paling sering digunakan
untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit akibat kerja, sepertiga
atau lebih mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada pasien.
Pada pekerjaan yang basah ('wet work') , misalnya memasak makanan, mencuci
pakaian, pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi.
Etiologi dermatitis tangan sangat kompleks karena banyak faktor yang berperan
di samping atopi. Contoh bahan yang dapat menyebabkan dermatitis tangan,
misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen, dan pestisida.
2. Lengan. Alergen penyebab umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh
jam tangan (nikel}, sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. DKA di
ketiak dapat disebabkan oleh deodoran, antiperspiran , formaldehid yang ada di
pakaian.
3. Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca
mata). Semua alergen yang berkontak dengan tangan dapat mengenai wajah ,
kelopak mata dan leher, misalnya pada waktu menyeka keringat. Bila terjadi di
bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, dan getah
buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat
rambut, maskara, eye shadow, obat tetes mata dan salap mata .
4. Telinga. Anting atau jepit telinga yang terbuat dari nikel, dapat menjadi
penyebab dermatitis kontak pada telinga . Penyebab lain , misalnya obat topikal,
tangkai kaca mata, cat rambut, hearing- aids, dan gagang telepon.
5. Leher. Sebagai penyebab antara lain kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal
dari ujung jari), parfum, alergen di udara, dan zat pewarna pakaian.
6. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebab- kan oleh tekstil, zat pewama,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian.

ix
7. Genitalia. Penyebab antara lain antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen .
Bila mengenai daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid.
8. Tungkai atas dan bawah. Dennatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil,
dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, maupun
sepatu/sandal. Pada kaki dapat disebabkan oleh deterjen, dan bahan pembersih
lantai.
9. Dermatitis kontak sistemik. Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi
secara topikal oleh suatu alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik, oleh
alergen yang sama atau serupa (reaksi silang) kemudian timbul reaksi yang
bervariasi, mulai terbatas pada tempat tersebut, bahkan dapat meluas sampai
menjadi eritroderma. Penyebab misalnya nikel, formaldehid, dan balsam Peru .5

F. DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
teliti. Pertanyaan mengenai kontak yang dicurigai berdasarkan pada kelainan kulit
yang ditemukan. Misalnya, pada kelainan kulit berukuran numular di sekitar
umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, perlu
ditanyakan apakah pasien memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang
terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat
pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika,
berbagai bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah
dialami, riwayat atopi , baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.5
Pemeriksaan fisik. Dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit sering kali
dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di
pergelangan tangan oleh jam tangan, di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan
hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh permukaan kulit
untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena berbagai sebab endogen. 5
Studi diagnostik untuk dermatitis kontak alergi meliputi
1. Preparat kalium hidroksida dan/atau kultur jamur: Untuk menyingkirkan tinea.
Tes ini sering diindikasikan untuk dermatitis ditangan dan kaki.
x
2. Ulangi uji aplikasi terbuka (ROAT): Untuk menentukan apakah suatu reaksi
signifikan pada individu yang mengembangkan reaksi lemah atau 1+ positif
terhadap suatu bahan kimia
3. Tes dimethylglossim: Untuk menentukan apakah suatu benda logam
mengandung cukup nikel untuk memicu dermatitis alergi
4. Biopsi kulit: Dapat membantu menyingkirkan kelainan lain, terutama tinea,
psoriasis, dan limfoma kulit.
5. Uji tempel: Untuk mengidentifikasi bahan kimia eksternal yang membuat orang
tersebut alergi.6
Alat skrining uji tempel yang tersedia secara komersial dengan persetujuan
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) adalah Uji Epikutan Thin-Layer
Test (T.R.U.E.) Rapid Use (T.R.U.E.) Ada 28 (ditambah 1 kontrol negatif)
Pengujian alergen diatur dalam tiga panel (panel 1.1, 2.1, dan 3.1). Panel uji:
bacitracin, methyldibromoglutaronitrile, bronopol, aldehida sinamat, propilen
glikol, DMDM hidantoin, iodopropinil butilkarbamat, etilenurea/melamin
formaldehida, dispersi biru 106, dan amidoamina. Dinamakan Allergen of the
Year pada tahun 2003 oleh American Contact Dermatitis Society, bacitracin
sekarang berada di urutan ketujuh.1

xi
Setelah 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30
menit setelah dilepas, agar efek tekanan menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat
seperti berikut:
+1 = reaksi lemah (non-vesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
+2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
+3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
± = meragukan: hanya makula eritematosa (?)
IR = iritasi: seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
- = reaksi negatif (-)
NT = tidak dites (NT=not tested)5

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Kontak Iritan
Biasanya ditandai dengan eritema, lepuh, pustula, perdarahan, krusta, sisik
dan erosi, dan juga disertai pruritus atau bahkan nyeri. Lesi kulit pada
dermatitis kontak iritan akut sebagian besar berbatas tegas di area kontak dan
biasanya asimetris. Penyebab dermatitis ini yaitu bahan pelarut, deterjen,
minyak pelumas, asam alkali, dan serbuk kayu. Lesi dapat terjadi di mana saja
tetapi biasanya muncul di tangan.7

xii
Gejala DKI Akut. Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan
asam sulfat dan asam hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium
hidroksida. Biasanya terjadi karena kecelakaan di tempat kerja, dan reaksi
segera timbul. lntensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lama kontak,
serta reaksi terbatas hanya pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa
terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga
nekrosis. Tepi kelainan berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris. DKI
akut lambat. Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru
terjadi 8 sampai 24 jam setelah berkontak. Bahan iritan yang dapat
menyebabkan DKI akut lambat, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen
oksida, benzalkonium klorida, asam hidrofluorat. Sebagai contoh ialah
dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga (dermatitis venenata); Keluhan
dirasakan pedih keesokan harinya, sebagai gejala awal terlihat eritema
kemudian terjadi vesikel atau bahkan nekrosis. DKI kronik kumulatif.
Sebagai penyebab ialah kontak berulang dengan iritan lemah (misalnya
deterjen, sabun, pelarut, tanah, air. Kelainan baru terlihat nyata, setelah kontak
berlangsung beberapa minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun
kemudian. Gejala klasik berupa kulit kering, disertai eritema, skuama, yang
lambat laun kulit menjadi tebal (hiperkeratosis) dengan likenifikasi, yang
difus. Bila kontak terus berlangsung bisa fisura, misalnya pada kulit tumit
seorang pencuci yang mengalami kontak secara terus menerus dengan deterjen.
Keluhan pasien umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit fisura. Lebih
banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh. Contoh
pekerjaan yang berisiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu: pencuci, kuli
bangunan, montir di bengkel,juru masak,tukang kebun, penata rambut. Reaksi
iritan. Seseorang yang terpajan dengan pekerjaan basah misalnya penata
rambut dan pekerja logam. Kelainan kulit bersifat monomorf dapat berupa
skuama , eritema, vesikel , pustul dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri,
atau berlanjut menimbulkan penebalan kulit (skin hardening), dan menjadi
DKI kumulatif. DKI traumatik Kelainan kulit berkembang lambat setelah
trauma panas atau laserasi. Gejala klinis menyerupai dermatitis numularis,
xiii
penyembuhan berlangsung lambat, paling cepat 6 minggu. Lokasi tersering di
tangan. DKI non-eritematosa. Ditandai dengan perubahan fungsi sawar
(stratum korneum) tanpa disertai kelainan klinis. DKI subyektif kelainan kulit
tidak terlihat , namun pasien merasa pedih dan panas, setelah berkontak dengan
bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.5

2. Liken Simpleks Kronik


Liken Simpleks Kronik adalah peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskrip di
tandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi)
menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang
karena berbagai rangsangan pruritogenik. Penderita mengeluh gatal sekali, bila
timbul malam hari dapat mengganggu tidur. Rasa gatal memang tidak terus
menerus, biasanya pada waktu tidak sibuk, bila muncul sulit ditahan untuk tidak
digaruk. Penderita merasa enak bila digaruk, setelah Iukabaru hilang rasa
gatalnya untuk sementara (karena diganti dengan rasa nyeri). Lesi biasanya
tunggal, pada awalnya berupa plak eritematosa, sedikit edematosa, lambat laun
edema dan eritema menghilang, bagian tengah berskuama dan menebal,
likenifikasi dan ekskoriasi, sekitarnya hiperpigmentasi, batas dengan kulit
normal tidak jelas. Letak lesi dapat timbul di mana saja, tetapi yang biasa
ditemukan ialah di skalp, tengkuk, samping leher, lengan bagian ekstensor,
pubis, vulva, skrotum, perianal, medial tungkai atas, lutut, lateral tungkai bawah,
pergelangan kaki bagian depan, dan telapak kaki.5

xiv
3. Tinea Pedis
Dermatofita merupakan agen utama infeksi tinea pedis. Mereka
menyebabkan infeksi kulit dan kuku dengan menginfeksi keratin lapisan atas
epidermis. Agen penyebab utama Tinea pedis interdigital adalah spesies
antropofilik, Trichophyton rubrum dengan agen lain seperti T. mentagrophytes,
Epidermophyton floccosum, dan T. tonsurans yang jarang terjadi pada kasus
dewasa.8

Tinea pedis (Athlete's foot, ringworm ofthe foot, kutu air) ialah dermatofitosis
pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki. Tinea pedis yang
tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis. Di antara jari IV dan V terlihat
fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah
jari. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari
yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek
klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bentuk lain ialah yang disebut
moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki
terlihat kulit menebal (hyperkeratosis) dan berskuama, eritema biasanya
ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Besifat kronik dan sering
resisten pada pengobatan. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan
kadang-kadang vesikel. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan
kadang-kadang bula . Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian
meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. lsi vesikel berupa cairan jernih
yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang
berbentuk lingkaran yang disebut koleret. 5
xv
H. TATALAKSANA

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah


upaya pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya kelainan
kulit akan mereda dalam beberapa hari. Kortikosteroid dapat diberikan dalam
jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut
yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif (madidans),
misalnya pemberian prednison 30 mg/hari. Untuk topikal cukup dikompres dengan
larutan garam faal atau larutan asam salisilat 1:1000. atau pemberian kortikosteroid
atau makrolaktam topikal (krim betametason valerat 0,1%) dan inhibitor
kalsineurin topikal (krim pimekrolimus 1%, Tacrolimus 0,03%).5

I. PENCEGAHAN
Dalam upaya pencegahan, perlu diberikan emolien yang bebas pewangi
untuk menghindari risiko sensitisasi lebih lanjut. Disarankan untuk menghindari
pekerjaan basah, mencuci tangan secara berlebihan, air panas, penggunaan sabun,
bahan kimia dan berkeringat. Alat pelindung diri sangat penting dalam dalam
pekerjaan yang menyebabkan dermatitis kontak alergi.9
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terkait dengan dermatitis kontak alergi melibatkan respon
inflamasi. Peradangan mereda dengan menghilangkan alergen. Jika alergen diambil
secara sistemik, dermatitis difus mungkin terjadi, tetapi kondisi ini tidak dianggap
sebagai keadaan darurat dermatologis.10
K. PROGNOSIS
Penyakit ini tetap ada pada individu yang terkena sepanjang hidup mereka.
Penghindaran alergen yang ketat harus menjadi strategi yang diterapkan.
Manajemen respon inflamasi merupakan tujuan penting dalam pengobatan.10

xvi
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. AS, Sudah Menikah
Umur : 25 Tahun
B. Anamnesis :
1. Keluhan Utama:
Gatal pada kedua kaki
2. Riwayat Penyakit
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RS. Syekh Yusuf Sungguminasa
dengan keluhan gatal pada kedua kaki sejak 2 minggu yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit seperti ini : tidak ada
Riwayat alergi : udang
Riwayat pengobatan : tidak ada
4. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga tidak ada mengalami penyakit yang sama
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien setiap hari mencuci baju menggunakan deterjen dan pewangi baju
C. Pemeriksaan Fisik
Status Dermatologis

xvii
Lokasi : Lokalisata
Effloresensi : Plak eritema, batas tidak tegas, skuama kasar, Likenifikasi,
eksoriasi, krusta dan tersebar secara bilateral
D. Diagnosis
Dermatitis Kontak Alergi
E. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Kontak Iritan
2. Liken Simpleks Kronik
3. Tinea Pedis
F. Penatalaksanaan
Amoxicillin 500mg 3x1
Cetrizine 10mg 1X1
desoximetasone 30 g
Funilex 5g
Lanolin 10gr
Vaselin gel 60gr

xviii
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari status dermatologi sesuai teori bahwa lesi didaerah kedua kaki, lesi
ditandai dengan edema, eritema, dan pembentukan vesikel. Saat vesikel pecah,
keluar cairan dan papula serta plak muncul. Hal ini sesuai untuk diagnosis
dermatitis kontak alergi berdasarkan teori dikatakan bahwa predileksi terjadinya
pada daerah dengan stratum korneum yang tipis.
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan
obat oral dan topikal yaitu Amoxicillin 500mg 3x1, Cetrizine 10mg 1X1,
desoximetasone 30 g, Funilex 5g, Lanolin 10gr, dan Vaselin gel 60gr.
Prognosis dari sdermatitis kontak alergi yang diderita pasien pada umumnya
baik bila diobati dengan benar dan juga menghindari faktor pencetus dan
predisposisi. Upaya preventif lain yang dapat dilakukan yaitu menggunakan alat
pelindung diri agar tidak kontak langsung dengan bahan allergen.

xix
BAB V
PENUTUP
Dermatitis kontak alergi adalah penyakit kulit yang sangat gatal yang
disebabkan oleh paparan berulang terhadap haptens, yang menembus penghalang
kulit untuk menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe IV, dan tidak merespom
antihistamin. Mencakup 7% penyakit terkait pekerjaan di Amerika Serikat, tetapi
data menunjukkan bahwa tingkat kejadian sebenarnya adalah 10-50 kali lebih besar
daripada yang dilaporkan dalam data Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat.
Penyebab dermatitis kontak alergi ialah bahan kimia sederhana disebut
sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai sel epidermis. Berbagai faktor berpengaruh terhadap
kejadian dermatitis kontak alergi, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per
unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban
lingkungan, dan pH. Faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak
(keadaan stratum komeum, ketebalan epidermis), status imun (misalnya sedang
mengalami sakit, atau terpajan sinar matahari secara intens). Gejala klinis akut, lesi
ditandai dengan edema, eritema, dan pembentukan vesikel. Saat vesikel pecah,
keluar cairan dan papula serta plak muncul.

xx
DAFTAR PUSTAKA
1. Goldsmith, L. A. et al. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine.
Eighth Ed. New York: McGraw Hill Companies. 2012.
2. Owen, Joshua et al. The Role and Diagnosis of Allergic Contact Dermatitis
in Patients with Atopic Dermatitis. Am J Clin Dermatol. manuscript. Vol
19(3): 293–302. 2018.
3. Roy, Saptarshi, et al. Multifaceted MRGPRX2: New insight into the role of
mast cells in health and disease . Department of Basic and Translational
Sciences, University of Pennsylvania, School of Dental Medicine,
Philadelphia. Journal allergi clinical immunolgi. 2021.
4. Wolff, K., Johnson, R. A. & Saavedra, A. P. Fitzpatrick's Color Atlas And
Synopsis Of Clinical Dermatology. 7 Ed. New York: McGraw Hill.2013
5. Menaldi, S. L., Bramono, K. & Indriatmi, W. Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2018.
6. Helm, Thomas and William D James. Allergic Contact Dermatitis .
Journal Medscape. 2020.
7. Bilic, Gaby Novak et al. Irritant And Allergic Contact Dermatitis Skin
Lesin Characteristics. University Hospital Center, Vinogradska. Zagreb,
Croatia. Vol. 57, No. 4. 2018.
8. Julien, Gyamfi Agyemang et al. Dermatophytic Diseases A Review of Tinea
Pedis. Journal medxiv. Vol 10. 2021.
9. Stacy Nassau and Luz Fonacier. Allergic Contact Dermatitis. Department
of Internal Medicine, Section of Allergy and Immunology. Vol 104. 61–76.
2020.
10. Murphy, Patrick, Amber Atwater, and Matthew Mueller. Allergic Contact
Dermatitis. NCBI Bookshelf. National Institutes of Health. 2021.

xxi

Anda mungkin juga menyukai