Anda di halaman 1dari 189

Sejarah dan Teori SASTRA

0
Sejarah dan Teori SASTRA

Sejarah & Teori


SASTRA

1
Sejarah dan Teori SASTRA

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)
dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling sedikit satu bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 atau pidana paling lama tujuh tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2
Sejarah dan Teori SASTRA

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd

Sejarah & Teori


SASTRA

Desna Life Ministry


3
Sejarah dan Teori SASTRA

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Sejarah dan Teori Sastra


Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd
Copyright © 2016 pada penulis

ISBN: 978-602-6487-01-8

Editor & Penyunting:


Gloria Kasih Narwastu Calunggun

Desain Sampul & Tata Letak:


Hosiana Gracia Inthe

Penerbit:
Desna Life Ministry
Jln. Bakti Karya 20 B, Kecamatan Oebobo, Kupang – NTT
Telp. 081-333-343-222
Email: desnapenerbit@yahoo.com
Website: desnapublishing.blogspot.co.id

Cetakan pertama, Oktober 2016


187 hlm; 14 x 21 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak isi buku ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun, tanpa ijin tertulis
dari penulis dan penerbit

4
Sejarah dan Teori SASTRA

Prakata Awal

Jika suatu ketika, kita bertemu dengan seseorang, lalu


kita mencoba mengajukan sebuah pertanyaan pada orang
tersebut dengan pertanyaan yang berbunyi: apakah Anda
pernah membaca sebuah karya sastra? Jawabannya
pasti hanya dua: ―sudah‖ atau ―belum‖. Dalam artian,
‗sudah‘ jika memang pernah membacanya, dan ‗belum‘
jika memang belum pernah membacanya. Atau, misalnya
kita bertanya lagi pada seseorang dengan pertanyaan lain
yang berbunyi: apakah Anda menyukai sastra? Maka
sudah dapat dipastikan pula bahwa jawaban dari orang
tersebut adalah: ―ya‖ atau ―tidak‖. Tentu kedua jawaban
ini sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya yang
bergaul dengan sastra.
Dari uraian diatas, secara sepintas mungkin kita
bisa memberikan pemahaman sederhana mengenai istilah
sastra ini. Mungkin saja, kita berasumsi bahwa sastra
adalah sesuatu yang mudah dipahami dan selalu dekat
dengan kehidupan setiap insan manusia. Sayang sekali,
bahwa anggapan seperti ini sangat keliru! Sebab perlu
dipahami bahwa, pemahaman karya sastra, tidak semuda-
mudahnya seperti yang kita kira. Jika sebuah pertanyaan
dilontarkan dengan bunyi, apakah Sastra itu? Maka,
pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Mengapa?

5
Sejarah dan Teori SASTRA

Karena setiap jawaban yang nantinya akan diberikan,


tidak akan bisa menimbulkan kepuasan bagi siapa saja
yang bertanya. Tentunya hal ini menegaskan bahwa,
secara konseptual, siapapun yang menjadi orang yang
ditanya tentang pertanyaan itu, maka ia tidak mungkin
dapat menjelaskan tentang ―apa itu sastra‖—meskipun
dalam keseharian ia mengenal ―sastra‖ sebagai suatu
objek yang sering dihadapinya.
Pada umumnya dalam alam realitas ini, sebagian
orang memang getol terhadap sastra. Sebagai misalnya,
dengan mendengar dan membaca kalimat-kalimat indah,
kata-kata mutiara, juga ungkapan-ungkapan persuasif
yang memiliki beragam keindahan bahasa dan sastra
dalam melakukan komunikasi antar manusia—semua ini,
bisa menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang
untuk bersastra.
Namun, pemahaman akan setiap kenikmatan karya
sastra ini, perlu di dalami sedalam-dalamnya berdasarkan
teori-teori sastra yang ada. Teori sastra akan memberikan
gambaran konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu
humaniora yang dapat membimbing ke arah dan aras
pemahaman akan segala fenomena yang terkandung di
dalamnya. Dengan mempelajari teori sastra, maka kita
akan bisa memahami fenomena-fenomena kehidupan
manusia yang tertuang di dalam teori sastra tersebut.
Sebaliknya, dengan memahami juga fenomena kehidupan
manusia yang ada dalam teori sastra, maka otomatis kita
akan memahami dan lebih mengerti teori-teori sastra.
Inilah urgensi pembelajaran sastra!

6
Sejarah dan Teori SASTRA

Tetapi sebelum memahami sastra dengan segala


macam teori-teorinya, maka historisitas sastra, menjadi
hal yang penting untuk diuraikan pula. Pemahaman akan
syajarat atau sejarah sastra ini penting, mengingat ciri
khas sastra dari setiap periode atau angkatan sastra,
adalah merupakan cerminan dari masyarakatnya—sastra
merupakan temuan dari masyarakat dalam periode
peradaban kehidupan. Jika masyarakat menjadi berubah,
maka sastranya pun akan berubah. Penggolongan setiap
karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentunya
didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Itu sebabnya, setiap
periode ataupun angkatan sastra, mempunyai ciri yang
berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Melalui buku ini, pemahaman mendalam tentang
syajarat atau sejarah sastra beserta hakikat terdalam dari
teori-teori sastra dan ruang lingkupnya, dapat dipelajari
untuk membekali siapa saja yang berkepentingan dalam
mempelajari apresiasi dan kajian sastra ini.
Akhirulkalam, salam kasih apa adanya, Wassalam,
Hormat di bri. Tuhan Yesus memberkati. Amin

Pijar-pijar dalam rindu,


Di sudut Sikumana, Kota Kupang
Oktober, 2016

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd

7
Sejarah dan Teori SASTRA

8
Sejarah dan Teori SASTRA

Tentang Penulis

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd, adalah Dosen, Teknolog


Pembelajaran dan Aktivis Pendidikan. Dia dilahirkan di
desa Seriti, Kecamatan Lamasi, Kabupaten Luwu Utara,
tanggal 14 Maret. Ayahnya bernama Markus Busthan
Calunggun, S. Pd (alm) adalah mantan guru dari kota
Nabire, Papua Tengah, yang pernah mendapatkan
penghargaan Presiden RI sebagai "guru teladan nasional"
di era tahun 80-an. Penulis lahir sebagai anak ke 3, dari 4
bersaudara, dari rahim seorang ibu bernama Esry Inthe.
Pada jenjang pendidikan S-1, penulis lulus dengan
predikat ―lulusan terbaik‖ dan ―tercepat‖ (cumlaude)
dengan menempuh pendidikan S-1 hanya 3 (tiga) tahun,
di FKIP-IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang-
NTT. Penulis menempuh pendidikan S-2 pada jurusan
Magister Teknologi Pendidikan, dengan konsentrasi ilmu
Teknologi Pembelajaran di UNIPA Surabaya.
Penulis aktif dalam kegiatan pendidikan, khususnya
pada bidang belajar dan pembelajaran, yakni dengan
memberikan pelatihan, seminar dan penyuluhan, kepada

9
Sejarah dan Teori SASTRA

guru-guru di hampir seluruh wilayah Nusa Tenggara


Timur. Beberapa buku yang pernah ditulis penulis dan
mendapatkan nomor ISBN dari Perpustakaan Nasional
Indonesia, antara lain berjudul:
1. Judulnya Belum Berjudul (ISBN 978-602-74190-2-5)
2. Pendidikan Berbasis Goblok (ISBN: 978-602-74103-8-1)
3. Kristus versus tuhan-tuhan Postmo (ISBN: 978-602-74103-3-6)
4. Pedagogik Yahudi (ISBN: 978-602-74103-7-4)
5. Sekolah Tuhan (ISBN: 978-602-74103-4-3)
6. Perkembangan Peserta Didik (ISBN: 978-602-74103-1-2)
7. Pendidikan Kristen yang Membebaskan
(ISBN: 978-602-70664-4-1)
8. Teori Belajar & Pembelajaran (ISBN: 978-602-74103-2-9)
9. Model Pembelajaran Saskrim – 5 is (ISBN: 978-602-74103-9-8)
10. Dasar-Dasar Evaluasi Hasil Belajar (ISBN: 978-602-74103-0-5)
11. Teori Belajar Humanistik (ISBN: 978-602-74190-1-8)
12. Media & Multimedia dalam Teknologi Pembelajaran
(ISBN 978-602-74190-3-2)
13. Perencanaan Pembelajaran (ISBN 978-602-74190-5-6)
14. Vygotsky versus Pavlov (ISBN 978-602-74190-0-1)
15. Pembelajaran Kognitif (ISBN 978-602-74103-5-0)
16. Analisis Kebijakan Pendidikan (ISBN 978-602-74190-4-9)
17. Profesi Kependidikan: Menyemai Integritas Guru dalam Kasih
(ISBN 978-602-74991-1-9)
18. Pengantar Pendidikan: Konsep & Dasar Pelaksanaan Pendidikan
(ISBN 978-602-74991-3-3)
19. Menyimak: Suatu Esensialitas Berbahasa
(ISBN 978-602-74991-7-1)
20. Pendidikan Logika: Konsep dasar Berlogika
(ISBN 978-602-74991-2-6)
21. Analisis Wacana dalam Substansi (ISBN 978-602-74991-8-8)

10
Sejarah dan Teori SASTRA

Daftar Isi

Prakata Awal____(3)
Tentang Penulis____(9)
Daftar Isi____(11)
Bagian I:
Sastra dalam Pengertian____(13)
1. Hakikat Sastra____(13)
2. Pembagian Karya Sastra: Lisan & Tulis___(26)
3. Pembagian Genre Sastra____(37)
4. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra____(53)
Bagian II
Sastra dalam Sejarah____(61)
1. Pengertian Sejarah Sastra____(61)
2. Sejarah Perkembangan Sastra Dunia____(74)
3. Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia____(95)
Bagian III
Sastra dalam Teori____(125)
1. Hakikat Teori Sastra____(125)
2. Teori-Teori Sastra____(136)
A. Teori Sastra Psikoanalisis____(136)
B. Teori Sastra Strukturalisme____(157)
C. Teori Sastra New Criticism____(170)
D. Teori Sosiologi Sastra____(178)

11
Sejarah dan Teori SASTRA

12
Sejarah dan Teori SASTRA

BAGIAN I:
Sastra dalam Pengertian

1. Hakikat Sastra
Sastra merupakan istilah yang akan selalu bersinggungan
dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada
yang bersifat estetik saja. Sastra melibatkan pikiran pada
kehidupan sosial, moral, psikologi, agama, dll. Berbagai
segi kehidupan dapat diungkapkan dalam sebuah karya
sastra. Itulah sebabnya, sastra dianggap mampu untuk
memberikan suatu kesenangan atau kenikmatan kepada
pembacanya. Seringkali dengan membaca sebuah sastra,
maka muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam
ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif.
Adakalanya, dengan membaca sastra, seseorang
akan terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan.
Dalam keterlibatan tersebut, kemungkinan besar, akan
muncul kenikmatan estetis. Namun penting dipahami
bahwa, sastra bukan suatu seni bahasa semata, melainkan
ia juga merupakan suatu kecakapan dalam menggunakan
bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya,
faktor yang sangat menentukan di sini adalah kenyataan
bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.

13
Sejarah dan Teori SASTRA

Menurut Luxemburg dkk (1989), sastra juga dapat


bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra,
kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah
manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang
khusus. Dalam hal penggunaannya, makna dalam istilah
sastra, kerapkali dipertentangkan dengan istilah sastrawi,
sehingga keduanya menimbulkan makna ambigu. Sulit
dibedakan. Padahal, segmentasi dari sastra cenderung
mengacu pada definisinya sebagai sekedar sebuah ―teks‖.
Sedangkan istilah sastrawi, mengarah pada konsep sastra
yang sangat kental dengan nuansa puitis atau abstraknya.
Istilah sastrawan misalnya, adalah salah satu contoh
yang biasanya diartikan sebagai orang yang menggeluti
sastrawi, bukan sastra. Disamping itu, terdapat perbedaan
antara istilah sastrawan dan karya sastra—‗sastrawan‘
adalah seseorang yang mempelajari tentang sastra,
sedangkan ‗karya sastra’ lebih menunjuk bentuk ataupun
hasil dari sastra tersebut.

A. Pengertian Sastra
Sampai detik ini, tidak ada satu pun definisi tunggal
tentang sastra, yang dapat menjadi kesepakatan bersama
dan bisa diterima oleh semua kalangan. Pengertian sastra
luas dan beragam, dimana para ahli pun mendefinisikan
sastra dengan kalimat yang berbeda-beda.
Itulah sebabnya, Wiyatmi (2006:14) menegaskan
bahwa sastra bisa diibaratkan seperti angin, berada
dimana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, maka upaya
mendefinisikannya akan selalu saja gagal karena definisi

14
Sejarah dan Teori SASTRA

yang coba dirumuskan ternyata memiliki pengertian yang


kurang sempurna dibanding yang didefinisikannya.
Dari pendapat Wiyatmi ini, mungkin lebih tepatnya
sastra dapat diartikan sebagai samudra kata-kata dalam
rangkaian gaya bahasa estetis yang terungkapkan melalui
tulisan yang mempengaruhi kehidupan insan manusia.
Pada titik ini, sastra merupakan keindahan gaya bahasa
yang mampu menggugah setiap ranah afektif (perasaan),
psikomotorik (perbuatan) dan kognitif (pemikiran) dari
setiap individu, agar dengan penggugahan atas 3 ranah
ini, maka individu memaknai setiap aspek kehidupannya
menjadi lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

a) Pengertian Sastra Secara Etimologis


Secara etimologis, kata ‗sastra’ berasal dari sebuah
kata dari bahasa Latin, yaitu kata ‗litteratura‘, yang
merupakan terjemahan dari kata Yunani grammatika.
Kedua kata tersebut, yakni litteratura dan grammatika,
masing-masing terbentuk dari kata dasar littera dan
gramma yang berarti: huruf atau tulisan.
Dalam perkembangannya, kata ‗sastra‘ kemudian
disebutkan dengan bebeberapa sebutan, dalam bahasa
inggris, sastra disebutkan dengan literature, dan dalam
bahasa Jerman adalah literatur, sementara dalam bahasa
Perancis disebut dengan littérature (Prancis). Pemakaian
kata sastra atau literature kerapkali mengacu pada segala
sesuatu yang tertulis. Dalam konteks di Indonesia, istilah
―sastra‖ awalnya berasal dari kata śāstra (शास्त्र), yang
merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Sanskerta,

15
Sejarah dan Teori SASTRA

yang berarti ―teks yang mengandung instruksi‖ atau


sebuah ―pedoman‖.
Kata śāstra ini berasal dari kata dasarnya śās, yang
artinya ―instruksi‖ atau ―ajaran‖. Dalam bahasa Indonesia
ini, kata śāstra sering digunakan dengan mengacu kepada
kesusastraan atau tulisan yang mempunyai pengertian
atau keindahan tertentu yang sifatnya mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.
Dalam bahasa Sansekerta, kata berakhiran –tra,
biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga dapat
pula disimpulkan bahwa sastra merupakan alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Sebagai contoh adalah silpasastra (buku arsitektur) juga
kamasastra (buku petunjuk mengenai seni cinta), dll.
Meskipun sastra sering kali dianggap sebagai karya
tulis, namun ia tidak saja selalu identik dengan bahasa
tulis. Kesalahpahaman dan perbedaan persepsi sering
ditemui ketika memahami suatu tulisan. Namun, berbeda
halnya dengan sastra. Potensi makna ganda di dalam
suatu karya tulis dapat dimanfaatkan untuk menciptakan
suasana khas dari sastra. Keambiguan yang diciptakan
dalam karya sastra disebabkan karena tidak adanya
hubungan fisik antara pengarang dan pembacanya. Kata
aku dalam sebuah puisi misalnya, bukan berarti hanya
menyangkut tentang diri si pengarangnya. Keambiguan
makna inilah yang kemudian disebut keindahan sastra.
Jika, penggunaan dari kata sastra ini berasal dari
serapan bahasa sansekerta seperti yang sudah dijelaskan
di atas, dimana kata serapan ini merupakan sastra yang

16
Sejarah dan Teori SASTRA

memiliki arti tulisan yang berarti pedoman ataupun


perintah—pasalnya, kata sas memiliki arti perintah atau
ajaran; sementara seni merupakan sebuah ungkapan
perasaan manusia yang mempunyai unsur keindahan—
maka, jika digabung seni sastra ini, dapatlah ia diartikan
sebagai ungkapan manusia berbentuk teks atau tulisan
yang bernilai ekstetika sendiri.
b) Pengertian Sastra Pada konteks Mimemis
Sebelum melihat pengertian sastra lebih dekat, hal
pertama dan utama yang musti dipahami bahwa, sastra
itu dibentuk oleh dan dari masyarakat. Dan dalam derajat
tertentu, sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dengan
masyarakat. Sedangkan sosiologi sastra berupaya meneliti
pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat
dalam berbagai dimensinya. Konsep dasar sosiologi sastra
seperti ini yang oleh Plato dan Aristoteles, dikenal pula
dengan istilah ‗mimesis‘—yang menyinggung hubungan
antara sastra dan masyarakat sebagai ‗cermin‘.
Pengertian kata ‗mimesis‘ (Yunani: perwujudan atau
peniruan) untuk pertama kali digunakan dalam teori-teori
tentang seni yang digagas dan dikemukakan oleh Plato
(428-348) dan Aristoteles (384-322), yang dari abad ke
abad, memang sangat banyak mempengaruhi teori-teori
mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut kajian teori mimesis, penciptaan suatu
karya sastra tidak sama dengan penulisan sejarah. Sejarah
hanya menuliskan fakta-fakta dan menampilkan kejadian
seadanya, dengan tujuan memberikan informasi kejadian
yang terjadi di masa lalu kepada pembaca. Sebaliknya,

17
Sejarah dan Teori SASTRA

karya sastra diciptakan untuk memuaskan kebutuhan


estetik dan rohani manusia. Para penyair misalnya,
mereka tidak menulis berdasarkan kenyataan yang ada
dan juga tidak menggambarkan suatu kejadian atau setiap
dari peristiwa sebagaimana adanya. Ruang lingkup sastra
lebih luas, sehingga para penyair atau pengarang sastra
bisa dengan lebih leluasa mengungkapkan beberapa
kemungkinan. Perbedaan penafsiran ini bergantung pada
sudut pandang yang dimiliki oleh si pembaca.
c) Pengertian Sastra Menurut Para Ahli
Masing-masing ahli mendefinisikan sastra sesuai
dengan konteks dan tujuannya masing-masing. Berikut
definisi sastra yang pernah dirumuskan beberapa ahli.
Menurut filsuf Aristoteles (384-322), sastra sebagai
kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan
filsafat. Sedangkan sastra menurut sang Plato (428-348),
adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan
(mimesis). Karenanya, maka sebuah karya sastra harus
merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus
merupakan model kenyataan. Itu sebabnya, nilai sastra
semakin rendah dan jauh dari dunia ide.
Robert Scholes (1982) menegaskan bahwa, tentu
saja sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda.
Sementara Wellek dan Werren (1993), sastra merupakan
segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.
Taum Y Yapi (2011), berpendapat bahwa sastra
adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif atau
―sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan
berguna yang menandakan hal-hal lain‖.

18
Sejarah dan Teori SASTRA

Menurut Mukarovsky, dkk (1978), sastra adalah


karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan
luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan
aspek estetik baik antara aspek kebahasaan maupun
aspek makna.
Menurut Lefevere (1997) bahwa, sastra adalah suatu
deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki
dimensi personal dan sosial sekaligus, serta pengetahuan
kemanusiaan yang sejajar dengan bentuk hidup.
Sastra berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008), adalah karya tulis yang bila dibandingkan dengan
tulisan lainnya, ciri-ciri keunggulan, seperti keaslian,
keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
Karya sastra berarti karangan yang mengacu pada nilai-
nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.
Sastra memberikan wawasan yang umum tentang
masalah manusiawi, masalah sosial, maupun masalah
intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra
dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra
sesuai dengan wawasannya sendiri.
Mursal Esten (1978:2) menyatakan bahwa, sastra
atau kesusasteraan, adalah sebuah bentuk pengungkapan
dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi
kehidupan manusia, dan masyarakat melalui bahasa
sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap
kehidupan manusia kemanusiaan.
Sastra menurut Semi Atar (1993), adalah suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya

19
Sejarah dan Teori SASTRA

adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa


sebagai mediumnya.
Eagleton Terry (2007) menyatakan, sastra adalah
karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang
mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara
dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan,
dipanjangtipiskan dan diterbalikkan dan dijadikan ganjil.
Tentu saja, definisi sastra menurut para ahli masih
sangat banyak dan luas. Karena itu, para ahli mengartikan
―sastra‖ hanyalah istilah yang digunakan untuk menandai
sejumlah karya dengan alasan tertentu dan dalam ruang
lingkup kebudayaan tertentu pula.
Hal ini mungkin karena para ahli merasa tidak
mungkin dapat merumuskan sebuah definisi mengenai
sastra secara universal, karena pada kenyataannya,
perkembangan karyanya sendiri (sastra) berkembang
tidak serentak dan dengan cara yang berbeda-beda.
Teks-teks sastra tersebut merupakan refleksi dari
kebudayaan tempatnya dilahirkan, dan jika kebudayaan
di suatu tempat berubah, maka refleksi teks-teks tersebut
juga akan berubah. Dan sekali lagi, tentu saja kebudayaan
adalah salah satu hal majemuk yang ada di dunia ini.
Maka tidak akan salah jika kita katakan, karya sastra juga
bersifat majemuk.
Namun dari pendapat para ahli di atas, sastra bisa
dipahami sebagai bentuk perwujudan ungkapan perasaan
dalam pengalaman jiwa seseorang yang dituangkannya
berbentuk tulisan. Jadi segala jenis tulisan yang
mengandung unsur-unsur estetis atau keindahan, maka ia

20
Sejarah dan Teori SASTRA

adalah suatu ―karya seni sastra‖. Sastra juga merupakan


suatu luapan emosi manusia yang diungkapkan melalui
tulisan maupun lisan. Perbedaan penafsiran dari para
pembaca adalah esensi dalam memahami karya sastra.
Setiap karya sastra pasti memiliki keunikan sendiri-
sendiri, yang menggambarkan perasaan si pengarangnya.
Seperti yang diungkapkan oleh Boris Pasternak (1960)
bahwa ―Literature is the art of discovering something
extraordinary about ordinary people, and saying with
ordinary words something extraordinary‖, yang artinya
bahwa, sastra adalah seni menemukan sesuatu yang luar
biasa tentang orang-orang biasa yang berkata dengan
kata-kata biasa tentang sesuatu yang luar biasa.

B. Ciri, Fungsi dan Manfaat Sastra


Dari pembahasan sebelumnya, dapatlah dipahami
bahwa sebuah karya sastra memiliki ciri dan fungsi yang
menunjukkan setiap karya untuk dapat dikatakan sebagai
sebuah karya sastra.
a. Ciri dan Karakteristik Sastra
Sastra memiliki ciri khas dan karakteristik yang
dapat digolongkan atau dinamakan sebagai karya sastra.
Ciri dan karakterisik sastra ini, dapatlah dibedakan
berdasarkan ciri secara umum dan secara khusus.
Secara umum, untuk mempelajari karya sastra
secara baik, setidaknya terdapat 5 (lima) karakteristik
sastra yang harus dipahami.
Pertama, pemahaman bahwa sastra harus memiliki
tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan, harus

21
Sejarah dan Teori SASTRA

mencerminkan suatu kenyataan. Jika pun belum, karya


sastra yang diciptakan, dituntut mendekati kenyataan.
Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra, harus
dapat mengetahui apa manfaat sastra untuk para
penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada,
akan memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan
berguna untuk kemaslahatan manusia.
Ketiga, dalam sastra setidaknya harus disepakati
keberadaan unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas adalah
cerminan kenyataan yang merupakan unsur realitas yang
tidak 'terkesan' dibuat-buat.
Keempat, pemahaman bahwa karya suatu sastra
adalah merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya
karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya dapat
dibedakan manakah karya sastra yang termasuk dalam
sastra dan yang bukan sastra. Sebab sastra adalah seni.
Kelima, setelah empat dari karakteristik sastra di
atas dipahami, maka pada akhirnya, haruslah bermuara
pada kenyataan bahwa, sastra adalah merupakan bagian
dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra
yang ditulis pada kurun waktu tertentu, memiliki tanda-
tanda yang kurang lebih sama dengan norma, adat, atau
segala kebiasaan yang muncul berbarengan dengan
hadirnya sebuah karya sastra.
Secara khusus, terdapat pula empat ciri dan
karakteristik satra yaitu sebagai berikut:
Pertama. Isinya menggambarkan manusia dengan
berbagai persoalannya. Sedangkan bahasanya yang indah

22
Sejarah dan Teori SASTRA

atau tertata baik, serta gaya penyajiannya (kalimat)


menarik yang berkesan di hati pembacanya.
Kedua. Sastra memberikan hiburan dalam lubuk
hati manusia terpatri kecintaan dan keindahan. Manusia
adalah makhluk yang suka keindahan. Karya sastra
adalah apresiasi keindahan itu. Karena itu, karya sastra
yang baik selalu menyenangkan pembaca.
Ketiga. Sastra menunjuk kebenaran hidup. Dalam
karya sastra, terungkap pengalaman hidup manusia: yang
baik, yang jahat, yang benar, maupun yang salah. Karena
itu manusia lain dapat memetik pelajaran yang baik dari
pelajaran yang baik dari karya sastra.
Keempat. Sastra mampu melampaui batas-batas
sebuah bangsa dan zaman. Nilai-nilai kebenaran, ide, atau
gagasan dalam karya sastra yang baik, bersifat universal,
sehingga dapat dinikmati oleh bangsa manapun.
Adapun berdasarkan masanya, karya sastra dibagi
menjadi dua, yakni karya sastra lama dan sastra baru.
Keduanya memiliki ciri–ciri yang sedikit berbeda. Berikut
pembagian ciri dan karakteristiknya:
Ciri Karya Sastra Lama
 Bentuknya berupa puisi yang terikat seperti syair,
pantun, hikayat, mite, legenda, dongeng.
 Dibuat dari, untuk, serta milik rakyat/masyarakat.
 Anonim atau dengan kata lain: tidak dicantumkan
siapa nama pengarangnya.
 Istana sentris, yaitu ceritanya berpusat pada istana
dengan menggambil tokoh raja.

23
Sejarah dan Teori SASTRA

 Lambat dalam mengikuti perkembangan dan selalu


terpaku pada aturan yang ada disebut statis atau
proses perkembangannya statis dan disampaikan
lisan secara turun temurun.
 Pengarang taat kepada kelaziman.
 Karya sastra lisan umumnya dari mulut ke mulut.
 Bahasa yang digunakan masih kemelayu-melayuan
dan bahasanya sering klise. Disamping itu, bahasa
pada karya sastra lama menggunakan Bahasa Arab,
dan Bahasa Daerah.
 Tokoh hitam-putih dan berupa mistis.
 Tema karangan bersifat fantastis (fantasi; tidak
nyata; tidak masuk akal; sangat hebat dan luar
biasa)
 Karangan berbentuk tradisional.
 Latar belakang penciptaannya terpengaruh pada
kesastraan hindu, islam, budaya tradisional.
Ciri Karya Sastra Baru
 Bentuknya berupa puisi bebas dan kontemporer
yaitu seperti cerpen, novel, dram Indonesia.
 Karya sastra tulisan disampaikan secara tertulis
 Tokohnya bebas dan kreatif.
 Nama pengarang dicantumkan, dan pengarangnya
dikenal oleh masyarakat luas
 Latar belakang penciptaannya lebih terpengaruh
kesusastraan barat, budaya industri modern, dan
hak cipta pengarang individu.

24
Sejarah dan Teori SASTRA

 Masyarakat sentris, dimana tema yang diangkat


adalah seputar kemanusiaan, kemasyarakatan,
kehidupan modern, pergaulan remaja,dll
 Bersifat rasional modern dan tidak tradisional.
 Perkembangannya bersifat dinamis, melalui media
cetak dan audiovisual.
 Ceritanya berpusat pada kehidupan sehari- hari.
 Karya sastra baru mengikuti perubahan sesuai
perkembangan pribadi penciptanya.
 Bahasanya tidak klise (tidak bersifat meniru).
Menggunakan bahasa Indonesia dengan bahasa
keseharian dan sering dimasuki bahasa asing
kreatif, juga bahasa-bahasa gaul.
b. Fungsi dan Manfaat Sastra
Adapun dalam menciptakan sebuah karya sastra,
tentunya setiap sastra dapatlah berfungsi sebagaimana
adanya. Fungsi dan manfaat sastra juga bertujuan bagi
para pembaca dan pendengarnya masing-masing.
Karena itu, beberapa dari fungsi karya sastra adalah
sebagai berikut:
 Fungsi rekreatif adalah memberikan kesangan
atau hiburan bagi pembacanya
 Fungsi didaktif adalah fungsi sastra memberikan
wawasan pengetahuan tentang berbagai seluk-beluk
kehidupan manusia bagi pembacanya
 Fungsi estetis adalah sastra mampu memberikan
keindahan pembacanya

25
Sejarah dan Teori SASTRA

 Fungsi moralitas adalah memberikan pengetahuan


bagi pembacanya mengenai moral yang baik dan
buruk.
 Fungsi religius adalah sastra menghadirkan karya
yang didalamnya mengandung ajaran agama yang
diteladani oleh pembacanya.
Sementara manfaat sastra dapat dikelompokkan
berdasarkan tiga manfat berikut ini:
Pertama. Sebagai sarana penyampaian suatu
pesan moral. Dengan karya sastra para sastrawan bisa
menyampaikan pesan moral yang berhubungan dengan
sifat-sifat luhur kemanusiaan, serta memperjuangkan hak
juga martabat manusia.
Kedua. Sebagai sebuah sarana penyampaian kritik.
Dengan melalui seni sastra, maka elemen masyarakat bisa
mengemukakan masalah kritik dan juga saran.
Ketiga. Sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa
nasionalisme dan juga perhargaan terhadap kebudayaan
daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dimana,
seni sastra Indonesia adalah sarana berekspresi budaya
dalam rangka untuk ikut memupuk kesadaran sejarah
serta semangat akan nasionalisme.

2. Pembagian Karya Sastra:


Lisan & Tulis
Sebuah sastra lebih merupakan ungkapan estetis dalam
bentuk tulisan. Pertanyaanya adalah, apasajakah jenis
dan bentuk-bentuk tulisan yang bisa dikatakan sebagai
sebuah karya sastra? Dalam arti kesusastraan, karya

26
Sejarah dan Teori SASTRA

sastra bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) Karya


sastra Lisan; dan 2) Karya sastra Tulis.

A. Karya Sastra Lisan


Sastra lisan merupakan karya sastra yang berbentuk
abstrak dan disampaikan dengan bentuk ujaran (lisan)
atau oral. Sastra lisan biasanya dikenal dengan sebutan
sastra rakyat yang dapat membentuk komponen budaya
yang lebih mendasar, dan memiliki sifat-sifat sastra pada
umumnya. Masyarakat yang belum mengenal huruf tidak
memiliki sastra tertulis, tetapi mereka memiliki tradisi-
tradisi lisan yang kaya dan beragam—seperti epik, cerita
rakyat, peribahasa, dan lagu rakyat—yang secara efektif
membentuk ―sastra lisan‖. Sekalipun hal-hal ini semua
nantinya akan disatukan dan kemudian dicetak oleh
para ahli cerita rakyat dan paremiografer, namun hasilnya
masih akan disebutkan dengan "sastra lisan".
Masyarakat yang mengenal huruf, kemungkinan
masih akan melanjutkan tradisi-tradisi lisan ini, dan
biasanya dalam suatu keluarga (seperti pengantar tidur)
atau jenis struktur sosial informal. Misalnya penyampaian
legenda urban (tentang cerita penemuan tempat, kota
atau daerah tertentu) dapatlah dianggap sebagai sebuah
contoh sastra lisan, sebagaimana lelucon dan puisi lisan
yang termasuk lomba puisi yang biasanya ditayangkan
di Def Poetry. Puisi pertunjukkan adalah genre puisi yang
menggantikan bentuk tertulisnya.
Sastra lisan dapat juga dikenal dengan kesusastraan
yang mencangkup berbagai ekspresi kesusastraan rakyat
serta kebudayaan yang selalu disebarkan secara lisan

27
Sejarah dan Teori SASTRA

dengan turun-temurun dari mulut ke mulut. Sastra lisan


sendiri memiliki nilai-nilai yang luhur dalam masyarakat,
lebih-lebih pada kebudayaan yang ada dalam masyarakat.
Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia, sastra lisan
adalah hasil sastra lama yang disampaikan secara lisan,
yang pada umumnya disampaikan dengan dendang, baik
dengan iringan musik (rebab, kecapi, dll) ataupun tidak
dengan iringan musik.
Karenanya, ciri dan karakteristik sastra lisan antara
lain adalah sebagai berikut:
 Sastra lisan lahir dari kaum menengah ke bawah.
Bentuk dari sastra lisan ini disampaikan oleh para
tetuah-tetuah kampung dulu sebelum anak cucu
mereka tertidur di malam hari dengan kata lain cara
pendistribusian sastra lisan ini melalui media lisan
atau oral.
 Asal-usul dari sastra lisan tidak diketahui dari mana
dan oleh siapa yang pertama kali membawakannya.
Ketika seseorang mencoba mencari sumber mengenai
siapa yang pertama kali mencetuskan sastra-sastra
lisan tersebut (cerita) kepada nenek dan orang tua,
maka mereka pasti hanya menjawab, begitulah yang
mereka terima dari orang tua mereka dahulu dan
tidak pernah mengetahui asal yang jelas.
 Versi tentang sastra lisan ini ada banyak. Contohnya
cerita Abu Nawas yang memiliki banyak versi di
setiap penceritanya. Selain itu terkadang judul
ceritanya juga sama tetapi akan berbeda ketika
disampaikan oleh orang yang berbeda.

28
Sejarah dan Teori SASTRA

 Menggunakan bahasa lisan setiap hari.


 Penyebarannya dapat dilakukan dari mulut ke mulut,
sebagaimana ekspresi budaya yang disebarkan baik
dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.
 Berasal dari masyarakat yang masih bercorak desa,
masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum
mengenal huruf.
 Menggambarkan karakteristik dan ciri khas budaya
satu masyarakat. Sastra lisan adalah warisan budaya
yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut
pula hal-hal baru (sesuai dengan persoalan sosial),
karena itu sastra lisan disebut juga fosil hidup.
 Bercorak puitis dan terdiri dari berbagai fersi. Sastra
lisan disampaikan dalam bentuk puisi seperti: jampi,
mantera, pantun, peribahasa, bahasa berirama, dan
teka-teki, dll.
 Tidak mementingkan fakta atau kebenaran, lebih
menekankan pada aspek khayalan, fantasi yang tidak
diterima oleh masyarakat modern, tetapi mempunyai
fungsi di masyarakat (seperti mitos).
 Dalam konteks Indonesia, sastra lisan umumnya
berbentuk prosa, yaitu dongeng-dongeng dan prosa
liris, yang berasal dari daerah-daerah, seperti: sastra
kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra
kentrung dan sastra jemblung (Jawa).
 Sastra lisan dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak
mengetahui tulisan. Oleh karena itu, sastra lisan
disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat merupakan

29
Sejarah dan Teori SASTRA

sebagian budaya rakyat yang merangkumi semua


aspek tentang kehidupan suatu masyarakat.
 Sastra ini hanya bertumpu pada hasil kesusastraan
yang bercorak pertuturan yang terdapat dalam suatu
suku bangsa.
Sastra lisan ini juga adalah perwujudan sastra yang
memiliki kekhasan. Ciri khusus sastra lisan bahwa jenis
sastra ini kehadirannya melekat dengan ―artis‖. Hal ini
berbeda dengan sastra tulis yang setelah selesai di tulis,
maka sastra tersebut akan menjadi sastra ―yatim piatu‖
dan sang pengarang dianggap tewas sudah (the death of
the author)—(Barthes, 1987:8).
Menurut Sudardi (2002:2), dalam hal komunikasi
sastra lisan, terdapat empat unsur penting yang dapat
digunakan demi tercapainya suatu komunikasi. Keempat
unsur komunikasi tersebut harus hadir secara serempat
dalam penyajian sastra lisan. Keempat unsur itu ialah: (a)
artist; (b) story; (c) performance; dan (d) audience.
Artist (artis/seniman) adalah penyaji sastra lisan
atau orang yang menyajikan sastra lisan. Artis dapatlah
disejajarkan dengan pemancar. Artis ini dapat tunggal,
tetapi dapat juga berkelompok. Dalam menyajikan sastra,
seorang artis bisa menggunakan sarana utama berbentuk
lisan. Sarana dilengkapi dengan gerakan, iringan. Dengan
demikian perbedaan antara sastra tulis dan sastra lisan
dapat menjadi jelas. Dalam sastra lisan, kehadiran artis
itu mutlak, sementara dalam sastra tulis kehadiran artis
(pengarang) sudah tereliminir.

30
Sejarah dan Teori SASTRA

Story, identik dengan pesan yang disampaikan.


Pesan ini disampaikan dalam bentuk kode-kode bahasa
yang secara naluriah sudah dipahami baik oleh artis
maupun audience. Story berupa cerita yang sumbernya
berasal dari berbagai macam. Sumber bisa berupa cerita
turun-menurun, cerita yang berkembang di masyarakat,
cerita karangan, dan lain sebagainya.
Performance, adalah sebuah wujud nyata dari
sastra lisan. Tidak ada sastra lisan tanpa performance.
Dalam hal ini performance dapat berupa pertunjukkan
yang sederhana sampai pada pementasan yang hingar-
bingar seperti dalam pementasan wayang, ketoprak, dan
teater modern. Misalnya seorang ibu yang sementara
bercerita kepada anaknya dalam rangka menurunkan
cerita sebenarnya, ibu bisa memakai performance. Dalam
bercerita, si ibu menggunakan berbagai kemampuannya
bercerita, yaitu seperti mengubah volume suara, membuat
peragaan dengan tangannya, serta mengubah nada suara,
membuat perumpamaan, dan sebagainya.
Audience adalah suatu unsur yang harus terpenuhi
dalam menyajikan suatu sastra lisan. Audience ini adalah
penonton atau pendengar.
Ada banyak contoh sastra lisan, salah satu contoh
sastra tutur ini adalah kentrung, yaitu suatu jenis sastra
lisan berupa penceritaan lisan yang dilakukan oleh dalang
kentrung yang kadang-kadang dibantu oleh panjak atau
pengiring dalang. Di dalam menyampaikan cerita, dalang
kentrung sering mengiringinya dengan tabuhan rebana
dan gendang. Kentrung ini memiliki penyebaran di Jawa

31
Sejarah dan Teori SASTRA

Tengah dan Jawa Timur, terutama di wilayah pesisir. Di


dalam menyampaikan cerita, dalang kentrung tidak
menggunakan peraga. Kentrung biasanya menyampaikan
cerita-cerita tradisionil yang diselingi dengan puisi-puisi
Jawa (pantun). Pantun tersebut mengandung pesan yang
bermacam-macam dan sering tidak ada kaitannya dengan
jalan cerita. Isi pantunnya dapat berupa sindiran, nasihat,
ratapan, dan sebagainya.
Pengungkapan sastra lisan dalam masyarakat,
selalu dilaksanakan dengan gairah dan kreativitas yang
menakjubkan, yang tentu saja bersifat estetis, simbolis
dan metaforis. Di daerah pedesaan, penguasaan sastra
lisan dan tradisional masih dianggap sebagai sebuah tolok
ukur atas kepandaian dan tingginya kedudukan sosial
seseorang. Sebaliknya, di derah perkotaan, dikalangan
para kaum terpelajar, mendengarkan sastra lisan dari
daerahnya sendiri sudah dianggap ketinggalan zaman.
Hal ini berarti penguasaan cipta sastra atau menikmati
karya sastra kini tidak lagi menjadi tolok ukur dalam
menilai kedudukan seseorang di masyarakat.
Pengajaran sastra di sekolah-sekolah formal, juga
hanya merupakan bagian kecil dari mata pelajaran Bahasa
Indonesia saja. Pelajaran sastra hanya terbatas pada suatu
uraian definisi teori sastra saja. Pada titik ini, maka dunia
pendidikan kita niscaya mengalami “cultural inferiority
complex”, yang menganggap bahwa kebudayaan nenek
moyang sendiri merupakan sesuatu yang statis, kaku,
beku, terbelakang, tak sesuai dengan zaman.

32
Sejarah dan Teori SASTRA

Kerugian yang dapat ditimbulkan jika tradisi lisan


mengalami kematian adalah kita akan kehilangan sebuah
ensiklopedia sebuah masyarakat. Seharusnya sastra lisan
bisa diamankan turun-temurun melalui berbagai tuturan
lisan (dongeng, mitologi, mitos dsb).

B. Karya Sastra Tulis


Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang
tertulis. Hal ini menurut Teeuw (1988), sesuai dengan
pengertian sastra (literature) dalam bahasa Barat yang
umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian
bahasa dalam bentuk tertulis.
Sastra tulis (written literature), adalah sastra yang
menggunakan media tulisan atau literal. Sastra tulis ini
dianggap sebagai suatu ciri sastra modern, karena bahasa
tulisan dianggap sebagai refleksi peradaban masyarakat
yang lebih maju. Pada akhirnya, proses pergeseran dari
tradisi sastra lisan menuju sastra tulisan memang tidak
dapat dihindari lagi. Karena sadar atau tidak sadar,
bagaimanapun proses pertumbuhan sastra, nantinya akan
mengarah dan berusaha menemukan bentuk yang lebih
maju dan lebih sempurna sebagaimana yang terjadi pada
bidang yang lainnya.
Dalam konteks global (dunia), sejarah mengenai
tulisan mencatat perkembangan bahasa ekspresi dengan
huruf atau tanda-tanda lainnya. Sejarah mencatat bahwa,
bahasa juga telah berkembang secara berbeda pada tiap
peradaban manusia.
Awal mulanya tulisan diketahui pada masa proto
dengan suatu sistem ideografik dan simbol mnemonik.

33
Sejarah dan Teori SASTRA

Penemuan tulisan ini ditemukan pada dua tempat yang


berbeda, yaitu di daerah Mesopotamia (khususnya Sumer
kuno) yang diperkirakan pada sekitar tahun 3200 SM;
dan pada daerah Mesoamerika sekitar 600 SM. Dua belas
naskah kuno Mesoamerika diketahui berasal dari Zapotec,
Meksiko. Sementara itu, tempat berkembangnya tulisan
masih menjadi perdebatan antara di Mesir yaitu sekitar
3200 SM atau di China pada 1300 SM (Wikipedia, 2014).
Sejarah tulisan terbagi menjadi dua masa, yaitu: (1)
tulisan masa Perunggu; dan (2) tulisan masa Modern.
Tulisan masa Perunggu. Pada masa ini, tulisan
mulai berkembang dengan berbagai variasi yang beraneka
ragam. Bangsa Sumeria menciptakan tulisan cuneiform,
sementara Mesir juga menciptakan tulisan hieroglif. Jenis
tulisan lain yang berkembang juga pada masa ini adalah
logograf dari Cina dan Naskah Olmec yang diciptakan
oleh Mesoamerika.
Tulisan masa Modern. Masa ini ditandai dengan
perkembangan teknologi yang muncul dan mengubah
cara orang menulis. Beberapa penemuan yang menandai
munculnya masa modern adalah pena, komputer, mesin
cetak, serta telepon genggam. Kesemuanya merupakan
titik awal perkembangan teknologi yang mempengaruhi
cara menulis pada masa modern ini. Penulisan mulai
dilakukan dengan cara-cara modern seperti menekan
tombol dan tidak lagi dengan menggerakkan tangan.
Sementara awal sejarah sastra tulis di Indonesia
(Melayu), menurut Sulastrin (1985), dapatlah ditelusuri
dari abad ke-7 M, yaitu berdasarkan penemuan prasasti

34
Sejarah dan Teori SASTRA

bertuliskan huruf Pallawa peninggalan kerajaan Sriwijawa


di Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur
(686) dan Karang Berahi (686). Walaupun tulisan pada
prasasti-prasasti tersebut masih terbilang pendek-pendek,
namun prasasti-prasasti tersebut lebih merupakan benda
peninggalan sejarah yang dapat dijadikan suatu cikal
bakal lahirnya tradisi menulis atau sebuah bahasa yang
dituangkan dalam bentuk tulisan.
Sastra tulis memiliki beberapa ciri khas yang dapat
membedakannya dari sastra lisan, beberapa diantaranya
adalah:
Pertama, media penyampaian karya sastra jenis ini
adalah media tulis. Banyak pendapat yang mengatakan
bahwa simbol-simbol yang tergambar di beberapa gua
merupakan cikal bakal munculnya sastra tulis ini. Salah
satunya di Gua Leang-leang Maros yang merupakan cikal
bakal munculnya legenda perburuan di sana.
Kedua, sastra tulis diketahui siapa pengarangnya.
Berbeda dengan sastra lisan yang kita tidak ketahui asal-
usul pengarangnya siapa dan dimana.
Ketiga, sastra tulis memiliki versi yang tunggal.
Jelas bahwa ketika sebuah karya sastra di tulis pasti akan
memiliki keunikan tersendiri. Ketika karya sastra tersebut
diberikan kepada orang lain, maka mereka pun akan
membaca bentuk, format, dan cerita yang sama.
Sedangkan menurut Teeuw (1988), ciri khas bahasa
tulis terdiri dari 7 (tujuh) ciri dan karakteristiknya, yakni:
 Dalam bahasa tulis antara penulis dan pembaca
kehilangan sarana komunikasi supra segmental

35
Sejarah dan Teori SASTRA

 Dalam bahasa tulis tidak ada hubungan fisik antara


penulis dan pembaca
 Dalam teks-teks tertulis, penulis tidak hadir dalam
situasi komunikasi
 Teks-teks tertulis dapat lepas dari kerangka referensi
aslinya
 Bagi pembaca, tulisan dapat dibaca ulang
 Teks-teks tertulis dapat diproduksi dalam berbagai
bentuk dan jangkauan komunikasi yang lebih luas
 Komunikasi menembus jarak ruang, waktu, dan
kebudayaan.
Genre untuk sastra tulis dapat dijabarkan ke dalam
sub-sub genre yang terdiri atas puisi tulis, prosa tulis, dan
drama tulis. Dewasa ini, bentuk karya sastra yang paling
diminat adalah cerpen dan novel.
Beberapa ahli membagi karya fiksi menjadi roman,
cerita pendek, dan novel. Termasuk dalam klasifikasi
novel adalah novelet.
Novelet yaitu novel pendek yang lebih panjang dari
cerita pendek, roman adalah jenis cerita rekaan yang
paling dulu muncul, disusul oleh cerita pendek dan baru
kemudian muncul novel dan novelet. Bentuk novel
ataupun novelet dan cerita pendek pada akhirnya banyak
memenuhi sastra di Indonesia.

C. Perbedaan Sastra Lisan & Sastra Tulis


Dari uraian-uraian sebelumnya tentang sastra lisan
dan sastra tulis, terdapat 3 perbedaan mendasar yang

36
Sejarah dan Teori SASTRA

dapat diperbandingkan dari kedua bentuk karya sastra


ini, yaitu sebagai berikut:
Perbedaan bentuk penyampaian. Sastra lisan
berupa penuturan dari mulut ke mulut dan isinya dapat
diketahui melalui tuturan. Sedangkan sastra tulis berupa
tulisan yang dapat dilihat secara kasat mata bentuk isinya.
Perbedaan versi cerita. Sastra lisan memiliki
banyak versi cerita sesuai siapa yang menuturkannya,
sedangkan sastra tulis hanya memiliki satu versi tunggal.
Ketika karya sastra tulis ditunjukkan kepada orang lain
akan mengetahui langsung bentuk, format, dan cerita
yang sama.
Cara mengetahui sumber aslinya. Sastra lisan
sulit untuk diketahui siapa penutur aslinya atau asal usul
pengarang pertamanya, karena ia berupa tuturan yang
sewaktu-waktu pada proses penuturan mudah terjadi
pergeseran nama atau mudah dihasut. Sedangkan sastra
tulis sangat mudah diketahui siapa penulis dan dari mana
asal-usul pengarang aslinya. Nama pengarang dapat
dibuktikan secara langsung dan kasat mata pada media
yang digunakan untuk menulis.

3. Pembagian Genre Sastra


Pembagian genre sastra merupakan jenis-jenis sastra
yang di runut berdasarkan runutan atau turunan dari
kedua bentuk karya sastra yang sudah dibahas di bagian
sebelumnya (karya sastra lisan dan karya sastra tulis).
Ada banyak pembagian genre sastra ini. Tentu saja hal ini
lumrah saja, mengingat apa yang pernah diungkapkan

37
Sejarah dan Teori SASTRA

Wellek & Warren (1990) bahwa, jenis sastra bukanlah


sesuatu yang tetap. Sebab dengan penambahan beberapa
karya baru, terutama yang merombak sistem dan
konvensi sastra sebelumnya, maka otomatis kategori
penjenisan sastra pun bergeser. Hal ini penting dipahami
agar tidak terjadi klaim-klaim yang menyesatkan.

A. Sastra Berdasarkan Bentuk Umum


Secara universal, bentuk umum sastra dapat terbagi
menjadi dua bagian besar, yaitu a) berdasarkan bentuk
kesusteraan letak geografis; b) berdasarkan bentuk sastra.
a) Sastra berdasarkan Bentuk kesusteraan
Berdasarkan kesusastraan, sastra dibagi menurut daerah
geografis atau bahasanya, dan yang dapat termasuk dalam
kategori sastra: (1) Novel; (2) Cerpen (tertulis/lisan); (3)
Syair; (4) Pantun; (5) Sandiwara; (6) Lukisan.
 Novel
Novel adalah sebuah narasi fiksi panjang yang
menceritakan pengalaman manusia secara lebih dekat.
Novel di era modern biasanya menggunakan gaya prosa
sastra, dan pengembangan novel bentuk prosa saat ini
didukung dengan inovasi dalam dunia percetakan dengan
munculnya kertas murah pada abad ke-15.
Kata ―novel‖ secara etimologis, berasal dari bahasa
Italia ‗novella‘ yang artinya "baru", "berita", atau "cerita
pendek mengenai sesuatu hal yang baru", dimana kata
novella ini berasal dari bahasa Latin, yaitu dari
kata: novella, dalam bentuk jamaknya dari novellus, yang
disingkat novus, artinya "baru".

38
Sejarah dan Teori SASTRA

Novel saat ini adalah genre terpanjang dari fiksi


prosa naratif, diikuti oleh novella, cerita pendek, dan fiksi
kilat. Tapi, kritikus di abad ke-17 melihat panjang epos
roman dan novel bersaing ketat. Tidak dapat ditetapkan
definisi yang tepat mengenai perbedaan panjang antara
kedua jenis fiksi tersebut. Syarat panjang novel secara
tradisional berhubungan dengan pendapat bahwa sebuah
novel harus mencakup "keseluruhan hidup." (Lukács
György, 1971). Hingga saat ini, panjang sebuah novel
masih terus menjadi bahan pembahasan penting, karena
kebanyakan penghargaan sastra cenderung menggunakan
panjang sebagai kriteria dalam sistem penilaian sebuah
novel (Merriam Webster Inc., ed., 1995).
 Cerpen (tertulis/lisan)
Cerita pendek yang juga sering sekali di singkat
menjadi cerpen, adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif.
Cerita pendek cenderung lebih padat dan langsung pada
tujuannya, dibandingkan karya-karya fiksi lainnya yang
lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern)
dan novel. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis, namun
terkesan kurang kompleks dibandingkan dengan novel.
Cerita pendek biasanya memusatkan perhatian pada satu
kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal,
jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang
relatif singkat.
Karena saking singkatnya, maka bentuk cerita-cerita
pendek juga sukses mengandalkan teknik-teknik sastra
seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih
luas jika dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang.

39
Sejarah dan Teori SASTRA

Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi


yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada
tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan lisan.
Cerita pendek umumnya adalah suatu bentuk karangan
fiksi. Cerpen yang biasanya paling banyak diterbitkan
adalah fiksi, seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif,
dll. Cerita pendek atau Cerpen, kini sudah mencakup juga
bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa lirik dan
varian-varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto-
kritis atau jurnalisme baru.
Memang menjadi suatu problematik jika harus
menetapkan apa yang memisahkan Cerpen dari format
fiksi lainnya yang lebih panjang. Sebuah definisi klasik
dari cerita pendek ialah bahwa ia harus dapat dibaca
dalam waktu sekali duduk (terutama diajukan dalam esai
Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" yaitu
pada tahun 1846)—(dalam Wikipedia, 2016).
Definisi-definisi lainnya juga menyebutkan batas
panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata.
Dalam penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek
umumnya merujuk kepada karya fiksi yang panjangnya
tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000
kata. Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata
tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction). Sedangkan
fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita
pendek, digolongkan ke dalam novelette, novella, atau
novel. Dengan munculnya bentuk novel yang realistis,
maka cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur,

40
Sejarah dan Teori SASTRA

seperti contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A.


Hoffmann dan Anton Chekhov.
 Syair
Syair adalah salah satu jenis puisi lama yang tiap-
tiap baitnya terdiri dari empat larik (baris) dan berakhir
dengan bunyi yang sama. Kata "syair" secara etimologis,
berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti "perasaan",
yang selanjutnya kata syu’ur ini mulai mengalami
perkembangan menjadi kata syi’ru, yang berarti "puisi"
dalam pengertian umum.
Dalam kesusastraan Melayu, syair lebih merujuk
pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam
perkembangannya, syair tersebut mengalami perubahan
dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai dengan
keadaan dan situasi yang terjadi. Di daerah Asia
Tenggara, syair berkembang dan mengalami perubahan
dan modifikasi, sehingga menjadi khas Melayu, dan tidak
lagi mengacu pada tradisi sastra syair dari negeri Arab.
Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair
khas Melayu ini adalah Hamzah Fansuri dengan beberapa
karyanya yaitu: Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair
Dagang, dan Syair Sidang Fakir.
 Pantun
Pantun adalah salah satu dari jenis puisi lama yang
sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara.
Secara etimologis, istilah pantun ini berasal dari sebuah
kata, yaitu ―patuntun‖, dalam bahasa Minangkabau yang
berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa misalnya, dikenal
sebagai parikan, sedangkan dalam bahasa Sunda dikenal

41
Sejarah dan Teori SASTRA

sebagai paparikan, bahasa Batak dikenal sebagai umpasa


(baca:uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik
(atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari
8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-
a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a).
Pantun pada mulanya merupakan sebuah sastra
lisan, namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Ciri lain dari sebuah pantun adalah pantun tidak terdapat
nama penulis. Hal ini dikarenakan penyebaran pantun
dilakukan secara lisan. Semua ragam bentuk dari pantun,
terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran
merupakan dua baris pertama, dan kerap kali berkaitan
dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat
pendukungnya), dan biasanya tidak memiliki hubungan
dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain
untuk mengantarkan rima atau sajak.
Dua baris terakhir, merupakan isi yang adalah
tujuan dari pantun tersebut. Karmina dan talibun adalah
merupakan dua contoh dari bentuk kembangan pantun,
yang dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi.
Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua
baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam
baris atau lebih).
 Sandiwara
Secara umum, istilah "sandiwara" dalam bahasa
Indonesia diartikan sama dengan drama. Akan tetapi
secara khusus, istilah sandiwara ini lebih mengacu kepada
kesenian pertunjukan teater drama dalam bentuk-bentuk
tradisional rakyat Indonesia, khususnya di daerah Jawa

42
Sejarah dan Teori SASTRA

Barat. Kelompok Sandiwara Sunda atau Sandiwara


Indramayu dapat ditemukan di Jawa Barat (terutama
sekitar Cirebon dan Indramayu) dan juga daerah Jakarta,
salah satunya yang terkenal adalah kelompok Sandiwara
Sunda Miss Tjitjih di daerah di Cempaka Baru Timur,
Jakarta Pusat. Kisah sandiwara dapat bersifat percintaan,
komedi, horor, tragedi, atau kisah roman sejarah.
Sandiwara atau sering disebut juga Lakon (Bahasa
Jawa), atau pertunjukan drama, adalah suatu jenis cerita,
bisa dalam bentuk tertulis ataupun tak tertulis, yang lebih
ditujukan untuk dipentaskan daripada dibaca.
Lakon dalam bentuk tertulis, merupakan suatu jenis
karya sastra yang terdiri dari dialog antar para pelakon
dan latar belakang kejadian. Lakon tidak tertulis biasanya
diambil dari cerita yang umum diketahui dan hanya dapat
menjabarkan secara umum jalan cerita dan karakter-
karakter dalam cerita tersebut.
Contoh karya lakon tertulis yang paling terkenal di
dunia adalah Romeo and Juliet dari William Shakespeare.
Sebuah sandiwara bisa dilakukan dengan berdasarkan
pada naskah (skenario) ataupun tidak. Apabila tidak,
maka semuanya akan dipentaskan secara spontan dengan
banyak improvisasi.
 Lukisan
Manusia diperkirakan telah melukis selama 6 kali
lebih lama dibandingkan denga penggunaan tulisan.
Sebagai contohnya, lukisan-lukisan yang berada di gua-
gua tempat tinggal manusia prasejarah.

43
Sejarah dan Teori SASTRA

Lukisan merupakan sebuah karya seni yang proses


pembuatannya dilakukan dengan memulaskan cat dengan
alat kuas lukis, pisau palet atau peralatan lain pada suatu
tempat (kertas, kayu, daun dll). Caranya yaitu dengan
memulaskan berbagai warna dan nuansa gradasi warna,
dengan kedalaman warna tertentu, juga komposisi warna
tertentu, dari bahan warna pigmen warna dalam pelarut
(atau medium) dan gen pengikat (lem) untuk pengencer
air, gen pengikat berupa minyak linen untuk cat minyak
yaitu dengan pengencer terpenthin, pada permukaan
(penyangga) seperti kertas, kanvas, atau dinding.
Lukisan dilakukan oleh pelukis dengan kedalaman
warna dan cita rasa pelukis, definisi ini digunakan
terutama jika ia merupakan pencipta suatu karya lukisan.
Lukisan-lukisan tertua terdapat pada daerah di Chauvet
Grotte di Perancis, yang di klaim beberapa sejarawan dari
sekitar 32.000 tahun yang lalu. Lukisan itu diukir dan
dicat menggunakan oker merah dan pigmen hitam dan
menampakkan binatang seperti: kuda, badak, singa,
kerbau, raksasa, desain abstrak dan sejenis sosok manusia
parsial. Namun bukti paling awal penciptaan lukisan telah
ditemukan di dua tempat penampungan batu di Arnhem
Land, di Australia utara. Pada lapisan terendah material
pada situsnya, tidak ada sama sekali digunakan potongan
oker, yang diperkirakan 60.000 tahun. Para arkeolog juga
menemukan sebuah fragmen dari lukisan batu yang
diawetkan dalam batu kapur batu-tempat penampungan
di wilayah Kimberley Utara-Australia Barat, yaitu pada 40
000 tahun silam.

44
Sejarah dan Teori SASTRA

Penemuan fotografi pada tahun 1829, dimana foto


pertama diproduksi, memiliki dampak besar pada lukisan.
Dari pertengahan hingga akhir abad 19, proses fotografi
ditingkatkan dan setelah tampak lebih luas, lukisan
kehilangan banyak tujuan historisnya untuk memberikan
catatan yang akurat dari dunia yang dapat diamati.

b) Sastra berdasarkan bentuk sastra


Sastra berdasarkan bentuk sastra, hanya terdiri dari
4 (empat) bagian penting, yaitu: prosa, puisi, prosa liris
dan drama. Keempatnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Prosa, merupakan bentuk sastra yang diuraikan
menggunakan bahasa bebas dan panjang, serta tidak
terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi. Karya
sastra ini juga ditulis dengan menggunakan kalimat-
kalimat yang disusun secara susul menyusul. Kalimat
yang disusun membentuk kesatuan pikiran menjadi
paragraf, dan paragraf membentuk bab atau bagian-
bagian, dan seterusnya.
Puisi, adalah bentuk sastra yang diuraikan dengan
menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah.
Puisi merupakan karya sastra yang ditulis dengan bentuk
larik-larik dan bait-bait. Untuk memahami makna sebuah
puisi harus melalui proses perenungan dan pemikiran
mendalam, karena yang dipakai pada puisi adalah makna
konotasi. Puisi dapat dibagi menjadi dua periode yaitu
puisi lama yang bentuknya sangat terikat dengan aturan-
aturan persajakan, dan puisi baru yang bentuknya lebih
bebas. Puisi lama terikat dengan kaidah-kaidah atau
aturan tertentu, yaitu: 1) Jumlah baris tiap-tiap baitnya;

45
Sejarah dan Teori SASTRA

2) Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat


barisnya; 3) Irama, 4) Persamaan bunyi kata. Bentuk
sastra yang menyampaikan pesannya melalui penulisan
bahasa yang singkat, padat, dan mengisi unsur estetiknya
(indah).
Prosa liris, adalah bentuk sastra yang disajikan
seperti bentuk puisi, namun menggunakan bahasa yang
bebas terurai seperti pada prosa.
Drama, adalah bentuk sastra yang dilukiskan
dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang,
serta disajikan menggunakan dialog atau monolog.
Perbedaan drama dengan puisi dan prosa adalah terletak
pada tujuan dari penulisan naskahnya. Naskah drama di
tulis dengan tujuan utama untuk dipentaskan, bukan
untuk dibaca dan dihayati seperti pada prosa dan puisi.

B. Sastra Berdasarkan Bentuk Penyajian


Jenis-jenis sastra berdasarkan bentuk penyajiannya,
dapatlah dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni a)
sastra imajinatif dan b) sastra non imajinatif.
a) Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif berasal dari istilah ―imajinasi‖
yaitu dari kata imagination yang artinya angan-angan
(khayalan). Karya sastra imajinatif merupakan karya
sastra yang dituliskan dengan cara menggunakan daya
khayal penulisnya, sehingga cerita dalam karya sastra
imajinatif bukanlah suatu kejadian yang sebenarnya.
Karya sastra imajinatif, yaitu prosa, puisi, dan drama
serta prosa liris.

46
Sejarah dan Teori SASTRA

b) Sastra non imajinatif


Sastra non imajinatif merupakan karya sastra yang
ditulis tanpa menggunakan sifat khayalnya pengarang,
sehingga cerita sastra non imajinatif merupakan cerita
yang ditulis berdasarkan cerita nyata atau sebenarnya.
Sastra non-imajinatif adalah merupakan sastra yang lebih
menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya
dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung
denotatif (lugas dan objektif).
Dalam praktiknya, jenis sastra non-imajinatif ini
terdiri atas karya-karya yang berbentuk esai, kritik,
biografi, autobiografi, memoar, catatan harian, dan surat-
surat. Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang
membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya
terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut.
Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur faktualnya
lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang
digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul
konotatif, kekonotatifan tersebut amat bergantung pada
gaya penulisan yang dimiliki pengarang. Persamaannya
dengan sastra imajinatif, bahwa keduanya sama-sama
memenuhi estetika seni, yaitu:
unity= keutuhan;
balance=keseimbangan;
harmony= keselarasan;
right emphasis = pusat penekanan suatu unsur.

C. Sastra Berdasarkan Tujuan Penulis


Sastra juga dikelompokkan menjadi dua kelompok
sesuai dengan maksud atau tujuan penulis, yakni a) sastra

47
Sejarah dan Teori SASTRA

anak dan b) sastra dewasa. Maksudnya, terdapat penulis


yang membuat karya sastra untuk orang dewasa, dan ada
yang menulis karya sastra khusus untuk anak-anak.
a) Sastra anak
Sastra anak adalah sastra yang mengacu kepada
dunia anak, yaitu tentang kehidupan anak, alur cerita
anak, dan menggunakan bahasa anak. Secara emosional
psikologis, sastra anak dapatlah ditanggapi dan dipahami
oleh anak, dan pada umumnya berangkat dari fakta yang
konkret dan mudah diimajinasikan.
Sastra anak ini dilakukan dengan bimbingan orang
dewasa, misalnya dibaca anak dengan bimbingan dan
pengarahan dari orang dewasa dalam keluarga maupun
masyarakat. Penulisnya dilakukan oleh orang dewasa,
ataupun juga oleh anak-anak yang sudah terlatih.
Jadi, sastra anak adalah sastra yang berisikan dunia
anak dengan menggunakan bahasa mapun isi yang
sederhana sehingga mudah dipahami dan diimajinasikan
anak. Sastra anak terdiri dari rentang usia bayi sampai
remaja, juga termasuk buku-buku ―berkualitas‖ baik,
melalui prosa dan puisi, fiksi dan nonfiksi yang khusus
berupa bacaan anak-anak.
Menurut Rebbeca Lukens (dalam Nurgiantoro,
2005:15-28), cerita anak ini terbagi menjadi enam jenis.
Jenis cerita anak tersebut adalah:
 Jenis realisme. Dalam jenis realisme terbagi lagi ke
dalam cerita realisme, realisme binatang, realisme
historis, dan realisme olahraga.

48
Sejarah dan Teori SASTRA

 Fiksi formula. Untuk fiksi formula terbagi atas cerita


misteri dan detektif, cerita romantik, dan novel serial
 Fantasi. Ada pula fantasi dapat dibedakan dari dua
bentuk cerita fantasi, cerita fantasi tinggi, dan fiksi
sains
 Sastra tradisional. Jenis sastra tradisional yang
terdiri dari fabel, mitos, dongeng rakyat (folklore),
legenda, dan epos
 Puisi. Semua bentuk puisi di sini adalah puisi atau
sajak yang berkaitan dengan dunia anak-anak.
 Nonfiksi. Jenis nonfiksi dapat berupa buku informasi
dan biografi para tokoh.
Semua jenis cerita anak yang telah disebutkan di
atas adalah salah satu upaya mengenalkan berbagai hal
kepada anak. Selain itu, dengan memberikan cerita anak,
orang tua juga akan dengan mudah mengembangkan
wawasan anak. Hal ini harus didukung penuh oleh orang
tua atau orang yang lebih dewasa, karena anak usia dini
menyerap berbagai hal dengan cepat.
Sastra anak dan sastra dewasa memiliki perbedaan
dalam berbagai hal. Mulai dari bahasa yang digunakan,
alur cerita, konflik yang diberikan, dan jenis cerita. Hal
tersebut disesuaikan pula dengan sasaran dari para
pembaca, sehingga tidak terjadi ketimpangan pemikiran.
b) Sastra Dewasa
Sastra dewasa adalah sastra yang berisi kehidupan
manusia yang serba rumit dengan menggunakan bahasa
maupun isi yang kompleks. Pada umunya, sastra dewasa

49
Sejarah dan Teori SASTRA

menceritakan tentang percintaan, kesenjangan sosial,


ataupun masalah lainnya. Misalnya, Bumi Manusia karya
Pramudya Ananta Toer. Karya ini tidak bisa ditujukan
pada anak-anak karena anak-anak masih memiliki
pemikiran sederhana. Dalam hal ini terlihat bahwa sastra
dewasa dan sastra anak mempunyai perbedaan sasaran
pembaca. Sastra anak dibuat untuk menjadi bahan bacaan
anak-anak, sedangkan sastra dewasa dibuat untuk dapat
menjadi bahan bacaan orang dewasa.

D. Sastra Berdasarkan Isinya


Jika sastra dibedakan dari genre berdasarkan isi
dari sebuah sastra, maka di lihat dari isinya, sastra terdiri
atas 4 macam, yaitu : epik, lirik, didaktif, dan dramatik
Epik, adalah karangan yang melukiskan sesuatu
secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan
pribadi pengarang.
Lirik, adalah karangan yang berisi curahan perasaan
pengarang secara subyektif.
Didaktif, adalah karya sastra yang isinya mendidik
penikmat/pembaca tentang masalah moral, tatakrama,
masalah agama, dll.
Dramatik, adalah suatu karya sastra yang isinya
melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan
pelukisan yang berlebih-lebihan.

E. Sastra Berdasarkan Genre Sejarah


Jika sastra dilihat dari genre sejarahnya, maka
sastra ini dapatlah dikelompokkan berdasarkan 3 (tiga)
periodenya, yaitu sebagai berikut

50
Sejarah dan Teori SASTRA

Kesusastraan Lama, dimana kesusastraan lama


adalah kesusastraan yang hidup dan berkembang pada
masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Jadi
kesusteraan lama adalah kesusastraan yang berkembang
dalam masyarakat lama (purba) dalam sejarah bangsa
Indonesia. Ada beberapa ciri dari sastra lama, yaitu
pengarangnya yang tidak pernah diketahui identitasnya,
Istana sentris (terpusat dan terikat pada kehidupan
kerajaan), tema yang diangkat bukanlah hal yang nyata,
karangannya berbentuk tradisi, perkembangan karnyanya
statis, dan bahasa yang digunakan adalah kata-kata klise
yang agak susah dimengerti maknanya. Kesusastraan
Lama Indonesia dibagi menjadi :
 Kesusastraan zaman purba,
 Kesusastraan zaman Hindu Budha,
 Kesusastraan zaman Islam, dan
 Kesusastraan zaman Arab – Melayu.
Kesusastraan Peralihan, adalah kesusasteraan
yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.
Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah:
 Hikayat Abdullah
 Syair Singapura Dimakan Api
 Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah
 Syair Abdul Muluk, dll.
Kesusastraan Baru, yaitu periode kesusastraan
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang baru
Indonesia (modern). Ciri-ciri dari kesusastraan modern
antara lain pengarang sebuah karya dikenal oleh
masyarakat luas, bahasa yang digunakan baru dan tidak

51
Sejarah dan Teori SASTRA

klise, perkembangan dari karyanya dinamis, tema yang


diangkat bersifat rasional (walaupun ada beberapa yang
masih irasional), karangan tidak berbentuk tradisional
lagi, dan pusat masalah karyanya adalah kehidupan di
masyarakat. Kesusastraan Baru mencangkup beberapa
kesusastraan pada Zaman:
 Balai Pustaka atau Angkatan 20
 Pujangga Baru atau Angkatan 30
 Jepang
 Angkatan 45
 Angkatan 66
 Mutakhir atau Kesusastraan setelah tahun 1966
sampai sekarang.

F. Sastra Berdasarkan Bentuk Teksnya


Genre sastra berdasarkan bentuk teksnya, dapat
dilihat dari tiga bentuk, yaitu naratif, dramatik dan puitik
atau teks puisi.
Naratif. Teks-teks naratif ialah semua teks yang
tidak bersifat dialog dan isinya merupakan suatu kisah
sejarah, sebuah deretan peristiwa. Bersamaan dengan
kisah dan deretan peristiwa itu maka hadir sebuah cerita.
Sastra jenis naratif biasanya ada dalam teks roman, novel,
prosa, lirik, dan cerita pendek (cerpen).
Dramatik. Jenis dramatik adalah teks drama yang
semua teksnya yang bersifat dialog dan yang isinya
membentangkan sebuah alur.
Puitik. Dalam hal ini puitik adalah teks dalam puisi,
dimana terdiri dari teks monolog yang isinya tidak
pertama-tama menjadi sebuah alur. Selain itu, teks puisi

52
Sejarah dan Teori SASTRA

bercirikan penyajian tipografi tertentu. Ciri puisi yang


paling menyolok ialah penamplian tipografinya.

4. Unsur Intrinsik & Ekstrinsik Sastra


Dalam setiap jenis karya sastra, terkandung dua unsur
penting, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Keterikatan
yang erat antara kedua unsur ini, dinamakan dengan
struktur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik ialah
unsur yang secara langsung bisa membangun cerita dari
dalam karya itu sendiri, sedangkan pengertian unsur
ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari
luar karya sastra. Unsur intrinsik yang terdapat dalam
puisi, prosa, dan drama, memiliki perbedaan sesuai
dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun
untuk unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra,
memiliki kesamaan bentuknya.
A. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Unsur intrinsik. Dapat dipahami bahwa unsur
intrinsik puisi adalah unsur yang terdapat pada wujud
puisi itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur
yang terdapat atau berada di luar puisi.
Unsur intrinsik puisi dapat dilihat dari dua segi
yakni: 1) segi isi dan 2) struktur puisi.
 Unsur intrinsik puisi yang dilihat dari segi isinya
meliputi tema, rasa, nada, dan amanat.
Tema. Yang dimaksud tema pada puisi adalah isi
keseluruhan puisi yang terdiri atas pikiran, perasaan,
sikap, serta maksud dan tujuan penulisan.

53
Sejarah dan Teori SASTRA

Rasa. Rasa adalah tanggapan hati terhadap sesuatu


hal. Sedangkan puisi harus menyentuh/mempengaruhi
perasaan batin seseorang.
Nada. Dalam hal ini, nada adalah tinggi rendahnya
bunyi; ungkapan keadaan jiwa atau suasana hati; makna
yang tersembunyi dalam ucapan dan sebagainya.
Amanat. Dalam hal ini, amanat dalam karya sastra,
adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada para pembaca atau
pendengarnya.
 Unsur intrinsik puisi dilihat dari segi strukturnya
meliputi diksi, imajinasi, kata-kata kongkrit, gaya
bahasa, ritme atau irama, dan rima/bunyi.
Diksi. Diksi adalah pilihan kata yang digunakan
dalam sebuah puisi. Dalam puisi, diksi yang digunakan
bisa bermakna denotatif dan konotatif. Untuk jenis puisi
anak sebaiknya menggunakan makna denotatif, adapun
jika menggunakan makna konotatif, sebaiknya pilihlah
kata yang sederhana.
Imajinasi. Imajinasi atau daya khayal pada puisi
yang merupakan pelukisan suasana, dan mengandung
maksud tentang bagaimana cara penulis puisi dalam
menyuguhkan pengalaman batin kepada pembacanya
agar pembaca seolah-olah dapat ikut melihat, mendengar,
menyentuh, dan mengalaminya sendiri peristiwa yang
dibacanya melalui puisi tersebut. Ketercapaian penulis
dalam mempengaruhi pembacanya akan terlihat melalui
empat tahapan:
 Kekuatan penyair dalam melukiskan objek puisinya;

54
Sejarah dan Teori SASTRA

 Keakraban hubungan antara penyair dengan objek


tersebut;
 Penguasaan bahasa yang memadai;
 Keterampilan dan kelincahan menggunakan bahasa.
Kata-kata konkrit. Dalam hal penggunaan kata-
katanya, maka haruslah jelas atau nyata dan padat, agar
pelukisan puisi dengan kata-kata dapat berhasil.
Gaya bahasa. Dalam hal pengiasan dan gaya bahasa
adalah merupakan unsur puisi yang biasanya ada. Yaitu
pada penggunaan bahasa (kata-kata atau kalimat) untuk
pengertian yang khusus.
Ritme/irama. Ritme atau irama lebih merupakan
gambaran suasana hati penyair dalam melafalkan puisi.
Biasanya berupa persamaan bunyi pada baris tertentu
yang kadang-kadang berpola tetap.
Rima/bunyi. Antara bunyi dengan unsur irama
saling mendukung dalam memperindah sebuah puisi.
Irama untuk memperindah puisinya, sedangkan bunyi
untuk persajakkannya.
Unsur ekstrinsik. Pada puisi, unsur ekstrinsik
meliputi unsur biografi, nilai dalam cerita, dan sosial.
Unsur Biografi. Unsur biografi berkaitan dengan
latar belakang atau riwayat hidup penulis/penyair
Unsur nilai. Unsur nilai dalam puisi berkaitan
dengan pendidikan, seni, ekonomi, politik, sosial,budaya,
adat-istiadat, hukum, dan sebagainya.
Unsur sosial. Unsur sosial lebih berkaitan dengan
situasi atau kondisi sosial saat puisi dibuat.

55
Sejarah dan Teori SASTRA

B. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa


Unsur pembangun dalam prosa, terdiri dari struktur
dalamnya atau unsur intrinsik; serta struktur luarnya atau
unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari
tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang, serta
bahasa yang dapat digunakan oleh pengarangnya untuk
dapat mengekspresikan gagasannya.
Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari
tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada cerpen
yang memiliki pengisahan lebih singkat, biasanya hanya
ada tema utama.
Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat
bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau
gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran).
Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita.
Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh
sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan
peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh
bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat
adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk
menampilkan tokoh cerita. Penokohan dapat dilakukan
menggunakan metode (a) analitik, (b) dramatik, dan (c)
kontekstual. Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia
memiliki watak seperti layaknya manusia. Watak tokoh
terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara
kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita
dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui
dimensi (a) fisik, (b) psikis, dan (c) sosial.

56
Sejarah dan Teori SASTRA

Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar


adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta
suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari
tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat
yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang
menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang
tidak dapat diketahui secara pasti.
Cara kerja pengarang untuk membangun cerita
bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan saja,
dapat pula melalui sudut pandang. Sudut pandang adalah
cara pengarang menetapkan siapa yang mengisahkan
ceritanya, yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator.
Sudut pandang melalui tokoh cerita, terdiri dari:
(a) sudut pandang akuan,
(b) sudut pandang diaan
(c) sudut pandang campuran.
Menuangkan cerita menggunakan medium bahasa.
Pengarang bebas menentukan bahasa nasional, bahasa
daerah, dialek, ataupun bahasa asing.
Unsur ekstrinsik. Pada prosa, unsur ekstrinsik
meliputi unsur biografi, nilai dalam cerita, dan sosial.
Unsur Biografi. Unsur biografi berkaitan dengan
latar belakang atau riwayat hidup penulis.
Unsur nilai. Unsur nilai dalam prosa berkaitan
dengan pendidikan, seni, ekonomi, politik, sosial,budaya,
adat-istiadat, hukum, dan sebagainya.
Unsur sosial. Unsur sosial lebih berkaitan dengan
situasi atau kondisi sosial saat prosa dibuat.

57
Sejarah dan Teori SASTRA

C. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama


Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta
unsur ekstrinsik yang dapat membangun ceritanya.
Unsur Intrinsik. Unsur intrinsik drama terdiri
dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang
harus memiliki tema yang kuat, agar tercipta sebuah
cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik,
cerita drama akan terasa datar. Konflik terdapat di dalam
plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh.
Tokoh drama terbagi menurut peran dan fungsinya
dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri dari tokoh
utama, tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di dalam
drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh
protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan atau percakapan, merupakan ciri utama
drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula
berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter dan
latar yang saling berhubungan erat. Latar dalam drama
sangat mempengaruhi karakter tokoh.
Unsur ekstrinsik. Pada drama, unsur ekstrinsik
meliputi unsur biografi, nilai dalam cerita, dan sosial.
Unsur Biografi. Unsur biografi berkaitan dengan
latar belakang atau riwayat hidup penulis
Unsur nilai. Unsur nilai dalam drama berkaitan
dengan pendidikan, seni, ekonomi, politik, sosial,budaya,
adat-istiadat, hukum, dan sebagainya.
Unsur sosial. Unsur sosial lebih berkaitan dengan
situasi atau kondisi sosial saat drama dibuat.

58
Sejarah dan Teori SASTRA

Referensi

Barthes Roland. (1987). The Death of the Author. New


York: Hill and Wang.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Eagleton Terry. (2007). Teori Sastra: Sebuah
Pengantar Komprehensif. Terjemahan: Harfiah
Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra.
Esten Mursal. (1978). Kesusastraan: Pengantar Teori
dan Sejarah. Bandung : PT Angkasa
Lefevere André. (1997). Constructing Cultures.
Terjemahan: Susan Bassnett. London: Multilingual
Matters.
Lefevere André. (1997). Literary Knowledge.
Amsterdam: Van Gorcum, Assen
Lukács György. (1971). The Theory of the Novel: A
historico-philosophical essay on the forms
of great epic literature (dalam bahasa Inggris).
Cambridge, Massachusetts: The MIT Press.
Luxemburg Jan van, dkk. (1989). Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta: Gramedia
Merriam-Webster Incorporated. (1995). Merriam-
Webster’s Pocket Dictionary. Merriam
Webster Incorporated. Massachusetts.
Mukarovsky Jan. (1978). Structure, Sign, and
Fiction. Selected by Jan Mukarovsky.
Diterjemahkan dan disunting oleh John Burbank
dan Peter Steiner. New Haven dan London: Yale
University Press
Nurgiantoro Burhan. (2005). Sastra Anak: Pengantar
Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Pasternak Boris. (1960). Dr. Zhivago. Terjemahan:
Trisno Sumardjo. Jakarta: Djambatan

59
Sejarah dan Teori SASTRA

Scholes Robert. (1982). Semiotics and


Interpretation. New Haven: Yale University Press
Semi Atar. (1993). Anatomi Sastra. Padang:Angkasa
Raya
Sudardi Bani. (2002). Dasar-dasar Teoretis
Pengkajian sastra Lisan. Surakarta: FS-UNS
Sutrisno Sulastrin. (1985). Bahasa, Sastra, Budaya.
Bandung: Gajah Mada University Press.
Taum, Yoseph Yapi. (2011). Studi Sastra Lisan:
Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan Disertai
Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.
Teeuw A. (1988). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar
Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek Rena dan Austin Warren. (1990; 1993). Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2014).
Sejarah Tulisan. https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_tulisan/diakses
tanggal 22 September 2016, pukul 16.17 Wita.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2016).
Cerita Pendek. https://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_pendek/diakses
tanggal 14 September 2016, pada pukul 21.12 Wita
Wiyatmi. (2006). Pengantar Kajian Sastra.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka.

60
Sejarah dan Teori SASTRA

BAGIAN II:
Sastra dalam Sejarah

1. Pengertian Sejarah Sastra


Awal terbentuknya karya sastra, mungkin penyebarannya
belum secepat sekarang ini. Literatur atau karya sastra
berarti cerita-cerita indah yang telah dituliskan. Tulisan-
tulisan pertama seperti berupa epik sajak panjang yang
menuturkan tentang dewa-dewa, pahlawan, dan monster.
Misalnya epik dalam kisah Mahabarata dari India (yang
bercerita tentang Pandawa dan Kurawa) serta sajak-sajak
Yunani kuno The Illiad dan The Odyssey.
Ilmu sastra, sudah merupakan ilmu yang cukup tua
usianya. Ilmu ini sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu
pada saat Aristoteles (384-322 SM) menulis bukunya
yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama
tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat
laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para
teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh
W.H. Hudson, Theory of Literature Rene Wellek dan
Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere,
serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw.
Sementara ―sejarah sastra‖, merupakan salah satu
bagian kajian ilmu sastra. Sejarah sastra lebih merupakan

61
Sejarah dan Teori SASTRA

cabang ilmu sastra yang khusus menyelidiki bagaimana


perkembangan cipta sastra dari waktu ke waktu, yang
mulai dari proses pertumbuhan hingga perkembangannya
sampai sekarang ini. Di dalamnya tercakup teori sastra,
sejarah sastra dan kritik sastra, dimana ketiga hal tersebut
saling berkaitan.
Jadi, sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra
yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke
waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada
masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra,
puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra,
serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah
sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang
sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra
berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada,
pengaruh yang melatar belakanginya, karakteristik isi dan
tematik. Dalam hal ini, sejarah sastra bertugas mengkaji
sastra menggunakan kriteria ekstrinsik, yaitu hal-hal yang
berasal dari luar sastra. Seperti identifikasi peristiwa-
peristiwa kehidupan politis, juga sosial-budaya beserta
pengaruhnya terhadap karya sastra.
Todorov (1985:61) mengatakan bahwa, beberapa
tugas sejarah sastra adalah sebagai berikut:
 meneliti keragaman setiap kategori sastra.
 meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis,
maupun secara sinkronis.
 menentukan kaidah keragaman peralihan sastra
dari satu masa ke masa berikutnya.

62
Sejarah dan Teori SASTRA

Untuk kata sejarah, berasal dari bahasa Arab yaitu


dari kata ―sajarun‖ yang artinya pohon. Pohon dalam hal
ini menggambarkan adanya akar, cabang, dan ranting
yang memperlihatkan proses pada susunan peristiwa
secara kronologis.
Miller dalam Kochhar (2008:2) menyatakan bahwa,
―catatan perjalanan manusia bagaikan samudra: orang
datang dan pergi, mengisahkan perkembangan dan
kejatuhan, dan itulah yang disebut sejarah‖.
Dalam perjalanan manusia seperti samudra itulah,
sejarah sastra pun mengambil bagian di dalamnya. Sastra
hadir ketika peradaban kehidupan manusia itu mulai
berlangsung dengan menggunakan bahasa lisan, yang
kemudian berlanjut dengan bahasa tulis.
Rasanya memang tidak mudah untuk menentukan
secara pasti kapan jelasnya awal dari kemunculan sastra
ini. Namun, setidaknya penjelasan seorang Winfried Noth
(2006:354) bisa memberikan sedikit petunjuk mengarah
ke sana. Sebagaimana dijelaskan bahwa, pada tahun 1921,
Jakobson telah mempostulatkan tujuan penelitian sastra
yang dilakukan kalangan formalis menyatakan bahwa
objek dalam kajian ilmu sastra bukanlah sastra melainkan
―kesastraan‖ (literariness), yaitu apa yang membuat
(penyebabnya) sebuah karya tertentu sebagai karya
sastra. Dengan menggunakan postulat pragmatis ini,
Jacobson mengantarkan kita dari sastra sebagai sebuah
kategori absolut. Dimana ―kesastraan‖ ditemukan dalam
semua jenis dan bentuk ujaran, yang sebagian khususnya

63
Sejarah dan Teori SASTRA

tidak bersifat sastrawi, dan karya sastra hanyalah karya


dimana kesastraan menjadi dominan (Scholes, 1982:19).
Dalam perkembangannya, pencarian terhadap suatu
kesastraan ini telah berkembang dalam dua arah:
Arah pertama, adalah mengasumsikan ―perbedaan
kualitatif‖ (Corti, 1978:19) antara sastra dan bahasa yang
bukan sastra, yang bagi sebagian kalangan bahkan dapat
dideskripsikan dengan tata bahasa yang bersifat otonom
(Dijk 1972:200).
Arah kedua, dalam usaha menemukan kesastraan,
telah menolak asumsi tata bahasa sastra sebagai buah
pikiran yang keliru (Pratt, 1977), karena semua ciri yang
telah dideskripsikan sebagai sangat sastrawi, juga harus
ditemukan dalam berbagai tipe wacana lain. Greimas &
Courtes (1979:178) misalnya, lebih menganggap konsep
kesastraan sebagai kekosongan makna, namun sebaliknya
memberikan status konotasi sosial. Jalan keluar ini,
menggerakkan kesastraan dari dimensi sintaksis dan
semantik pada dimensi pragmatik.
Dari kedua arah perkembangan sastra di atas, arah
perkembangan sastra selalu dimulai dari kontekstualisasi
gaya bahasa sehari-hari dalam masing-masing komunitas
kehidupan sosial. Sastra selalu dekat dengan kehidupan
manusia, kapan saja dan dimana saja.

A. Kritik Sastra dalam Sejarah Sastra


Istilah ‗kritik‘ awalnya berasal sebuah dari kata
dalam bahasa Yunani, yaitu dari kata krites (κριτεσ) yang
artinya adalah ―hakim‖. Kata ini berasal dari kata kerja
krinein (κρίνειν) yang memiliki arti ‗menghakimi‘. Dalam

64
Sejarah dan Teori SASTRA

perkembangannya, selanjutnya muncullah kata kritikos


(κρητικος) yang artinya adalah ―hakim karya sastra‖.
Ilmu sastra selalu meliputi: ilmu teori sastra, kritik sastra,
dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu ini saling terkait
dalam pengkajian karya sastra.
Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah muncul
teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu ini.
Khususnya sejarah sastra, dikatakan bahwa pengkajian
sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra
bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah
sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah
sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria
yang ada pada zaman itu. Bahkan, dikatakan bahwa tidak
terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode
dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa
tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan cukup
kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini
sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika.
Namun demikian, dalam praktiknya, pada waktu
seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara
ketiga disiplin ilmu: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra, memang harus tetap saling terkait.
a) Hubungan Kritik Sastra & Sejarah Sastra
Kritik sastra dan sejarah sastra memiliki hubungan
yang sangat erat. Tidak ada satupun kritik sastra tanpa
sejarah sastra. Akan tetapi, harus dipahami bahwa, kedua
hal ini—kritik sastra dengan sejarah sastra—memiliki
wilayah yang berbeda-beda (sendiri-sendiri) dalam dunia
sastra. Sebab keduanya memiliki perbedaan.

65
Sejarah dan Teori SASTRA

Jadi dalam hal ini, sejarah sastra akan menjelaskan


"A" berasal dari "B", sementara kritik sastra menilai "A"
lebih baik dari "B" (Rene Wellek & Austin Warren, 2013).
Sejarah sastra akan dimulai dengan pembuktian data-
data historis, sementara kritik sastra berdasarkan pada
pendapat dan keyakinan seorang kritikus sastra.
Kaitan yang pasti antara sejarah sastra dan kritik
sastra adalah: kritik sastra yang baik akan menganalisa
suatu karya sastra dengan melibatkan pemikiran dan
sikap orang-orang suatu zaman lahirnya karya sastra.
Tentu saja, hal pemikiran dan sikap ini sangat penting,
karena pada setiap periode sastra, selalu memiliki konsep
dan pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan
yang lainnya.
Tidak ada satupun sejarah sastra yang ditulis tanpa
dasar penilaian dan seleksi yang menjadi ciri khas kritik
sastra. Sejarah sastra berperan menghasilkan kritik sastra
yang melampaui penilaian atas dasar suka atau tidak
suka. Dan kritikus sastra yang sadar akan sejarah sastra
mempunyai kemampuan untuk membedakan asli atau
tidaknya sebuah karya sastra yang sedang dihadapi (lihat
Rene Wellek & Austin Warren, 2013: 36-41).
b) Sejarah Kritik Sastra Awal
Kritik sastra pertama kali di dunia, dilakukan dua
orang Yunani, yaitu Xenophanes dan Heraclitus sekitar
tahun 500 SM. Pada waktu itu, kedua orang ini, yakni
Xenophanes dan Heraclitus, mengecam keras salah
seorang pujangga besar bernama Homerus yang sering
bercerita tentang hal-hal tidak senonoh tentang dewa-

66
Sejarah dan Teori SASTRA

dewi, dimana dalam perkembangan selanjutnya, hal


inilah yang kemudian mengawali pemikiran Plato tentang
"pertentangan purba antara puisi dan filsafat‖ (lihat
Andre Hardjana, 1981: 1-6).
Selanjutnya di tahun 405 SM, Aristophanes muncul
secara lebih terbuka lagi untuk mengkritik Euripides yang
begitu menjunjung nilai seni tanpa memperhatikan nilai
sosial, yang mengantarkan Aristoteles kemudian menulis
buku mengenai ―kritik sastra‖ yang mulai menemukan
bentuk yang berjudul ―Poetica‖. Selanjutnya pada masa
ini pula, Plato kemudian memunculkan tiga poin penting
tentang penilaian terhadap baiknya karya sastra, dimana
sebuah karya sastra dikatakan baik, jika terdapat 3 unsur
ini: (1) memberikan ajaran moral yang lebih tinggi; (2)
memberikan kenikmatan; dan (3) memberikan ketepatan
dalam bentuk pengungkapannya.
c) Sejarah Kritik Sastra Renaissance
Pada abad pertengahan, istilah kritik hilang sama
sekali. Hingga selanjutnya Polizianus muncul pada tahun
1492, menggagas pemikirannya melalui dua istilah
sekaligus, criticus dan grammaticus, dengan tanpa suatu
pembedaan. Grammaticus artinya adalah ahli pikir, sama
dengan philosophicus (Andre Hardjana, 1981). Pada titik
ini, muncul pula persamaan arti antara istilah criticus dan
grammaticus dengan istilah philosophicus yang ditujukan
bagi orang-orang yang mempelajari sastra pustaka lama.
Seorang Kaspar Schopp (1576-1649) menyatakan
bahwa tujuan para kritikus adalah untuk menganalisa
kesalahan dan kecacatan demi perbaikan naskah-naskah

67
Sejarah dan Teori SASTRA

karya pujangga kuno baik dalam bahasa Yunani maupun


Latin. Selanjutnya, muncul seorang Erasmus yang muncul
dengan istilah seni kritiknya (ars critica). Juga buku yang
dipandang menjadi sumber pengertian kritik modern
adalah Criticus karya Julius Caesar Scaliger (1484-1558),
dimana buku ini adalah jilid ke-6 dari rangkaian bukunya
berjudul Poetica. Scaliger muncul dengan melakukan
suatu kajian analisa dan perbandingan antara pujangga-
pujangga Yunani dan Latin. Namun dengan munculnya
teori-teori kritik modern disertai perkembangannya, para
penyair mulai merasa terganggu karena kegiatan kreatif
mereka terganggu.
d) Sejarah Kritik Sastra di Inggris
Sampai abad-15 pada zaman pemerintahan Ratu
Elizabeth, istilah kritik sastra sama sekali tidak terkenal di
negara Inggris. Namun munculnya Francis Bacon dengan
bukunya berjudul "Advancement of Learning", kemudian
menandai satu awal baru, dimana saat itu, orang mulai
menggunakan istilah kritik dalam Sastra Inggris, yaitu
pada tahun 1605.
Tahun 1607, Ben Johnson menggunakan ungkapan
"kritikus terpelajar dan berhati besar", yang tugasnya
adalah secara jujur menentukan nilai karya sastra dan
pengarangnya. Namun sampai tahun 1670-an, belum
banyak muncul kritikus-kritikus di Inggris.
Pada abad yang ke-17, istilah ―critic‖ dipakai untuk
dapat menunjuk kritikus sastra maupun kritik itu sendiri.
Selanjutnya, seorang Samuel Johnson menggunakan

68
Sejarah dan Teori SASTRA

istilah critick untuk kritikus dan critic untuk kritik sastra,


yang selanjutnya menjadi criticism.
Hinggga memasuki dekade awal abad yang ke-18,
mulailah meluas criticism atau kritik sastra ini. Dimana
pada era ini, ditandai munculnya buku-buku penting
seperti: "The Grounds of Criticm Poetry"; "Essay on
Criticism"; "The Art of Criticism" (Andre Hardjana, 1981).
e) Sejarah Kritik Sastra di Indonesia
Kritik sastra, dari segi pengertian dan istilah, bukan
merupakan tradisi asli masyarakat Indonesia. Istilah dan
pengertian kritik sastra baru muncul ketika para
sastrawan Indonesia mendapat pendidikan dengan sistem
Eropa pada awal abad ke-20 (Andre Hardjana, 1981).
Sebelum nya, penilaian karya-karya sastra dalam
bahasa daerah didasarkan pada kepercayaan, agama, dan
mistik, serta mitos-mitos. Kapan pertama kali kritik sastra
dipergunakan di Indonesia tidak dapat diketahui dengan
pasti, tetapi, kritik sastra mulai mendapat perhatian di
Indonesia, setelah diterbitkannya kumpulan karangan
"Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan
Essay", karya H.B. Jassin (Andre Hardjana, 1981).
Menurut penjelasan H. B Jassin (1981:30-31), ada
tiga istilah kritik sastra yang muncul di Indonesia dalam
perkembangannya. Ketiga istilah tersebut adalah: (1)
kritik sastra impresionistis; (2) kritik sastra akademis;
dan (3) kritik sastra sekretaris.
Ketiga istilah tersebut, muncul sebelum perang
hingga pada tahun 1950-an. Kritik sastra impresionistis
tidaklah didasari pengetahuan ilmiah dan hadir sebagai

69
Sejarah dan Teori SASTRA

pengetahuan elementer untuk pengajaran di sekolah


menengah. Barulah muncul kritik sastra akademis pada
tahun 1950-an yang dimulai oleh para kritikus kompeten
secara ilmiah dari Universitas Indonesia. Pada tahun
1960-an muncul aliran kritik baru yang dipelopori oleh
kalangan seniman dan pengarang sendiri. Aliran ini
menggunakan pendekatan bercirikan pandangan yang
subjektif menurut kritik dari pengarang sendiri. Hal ini
berbeda dengan aliran sebelumnya yang menggunakan
pendekatan akademis yang kritis analitis maupun
strukturalis. Aliran baru ini menggunakan pendekatan
yang disebut Ganzeith-approach.
Seiring perkembangannya, maka ketiga aliran kritik
ini menuai banyak perdebatan mengenai kelebihan dan
kekurangan yang sulit menemukan penyelesaian. Setiap
aliran mempunyai ciri masing-masing untuk melakukan
pendekatan (H.B Jassin, 1981:30-31).

B. Mashab Sastra
Istilah mazhab atau aliran, adalah istilah yang
berasal dari kata stroming (bahasa Belanda), dan mulai
muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata ini
bermakna: ‖keyakinan yang dianut oleh golongan-
golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena
menentang paham-paham lama‖.
Aliran-aliran sastra ini, pada prinsipnya berupaya
untuk menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik,
dll) yang dianut oleh para sastrawan dalam menghasilkan
suatu karya sastra. Dengan kata lain, aliran sangatlah erat
hubungannya dengan sikap/jiwa pengarangnya dan objek

70
Sejarah dan Teori SASTRA

yang dikemukakan dalam karangannya. Pada prinsipnya,


aliran sastra dapatlah dibedakan menjadi 2 (dua) bagian
besar, yakni: (1) idealisme dan (2) materialisme.
a) Aliran Idealisme
Mashab idealisme adalah aliran sastra romantik
yang bertolak dari cita-cita penulisnya. Menurut aliran
ini, segala sesuatu yang terlihat di alam, hanyalah
merupakan sebuah bayangan dari bayangan abadi yang
tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran idealisme ada
tiga, yaitu: (a) romantisisme, (b) simbolik, (c) mistisisme,
dan (d) surealisme.
Romantisisme adalah aliran karya sastra yang
mengutamakan sebuah perasaan, sehingga objek yang
dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah
dengan unsur perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan
oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana,
minat pemandangan alam, perhatian pada kepercayaan
asli, penekanan kespontanan pikiran, tindakan, serta
pengungkapan pikiran. Pengikut aliran ini menganggap
imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta.
Aliran ini kadang berpadu dengan aliran idealisme dan
realisme sehingga lahirlah dua aliran: romantik idealisme
dan romantik realisme. Untuk aliran romantik idealisme
merupakan golongan aliran kesusastraan yang lebih
mengutamakan perasaan yang melambung tinggi dalam
fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan Pujangga Baru
umumnya termasuk aliran ini. Sementara romantik
realisme lebih mengutamakan perasaan yang bertolak

71
Sejarah dan Teori SASTRA

dari kenyataan (contoh: puisi-puisi Chairil Anwar dan


Asrul Sani).
Simbolik adalah aliran yang muncul sebagai reaksi
atas realisme dan naturalisme. Para pengarang berupaya
menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia
yang secara indrawi dapat kita serap untuk menunjukkan
suatu dunia rohani yang tersembunyi di belakang dunia
indrawi. Aliran ini selalu menggunakan simbol atau
perlambang hewan atau tumbuhan sebagai pelaku dalam
cerita. Karya sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah
Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga, yang
merupakan karya dari seorang Maria Amin, dan Kisah
Negara Kambing karya dari Alex Leo.
Mistisisme adalah sebuah aliran kesusastraan
bersifat melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan.
Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman
si penulis terhadap keagungan Maha Pencipta. Contoh
karya sastra ini adalah sebagaian besar karya Amir
Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan J.E.Tatengkeng.
Surealisme adalah sebuah aliran karya sastra yang
melukiskan berbagai macam objek dan tanggapan secara
serentak. Karya sastra bercorak surealis umumnya susah
dipahami karena gaya pengucapannya yang melompat-
lompat dan kadang terasa agak kacau. Beberapa contoh
dari karya sastra ini misalnya pada karya berjudul ―Radio
Masyarakat” yang merupakan karya Rosihan Anwar, juga
tmpak dalam karya berjudul ―Merahnya Merah‖, yaitu
sebuah karya dari Iwan Simatupang, dan dalam karya
berjudul ―Tumbang‖ karya dari Trisno Sumardjo.

72
Sejarah dan Teori SASTRA

b) Aliran Materialisme
Aliran materialisme berkeyakinan bahwa segala
sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan
akal manusia. Dalam kesusastraan, aliran ini dibedakan
atas realisme dan naturalisme, juga impresionisme.
Realisme adalah aliran karya sastra yang berusaha
menggambarkan atau memaparkan, juga menceritakan
sesuatu sebagaimana kenyataannya. Aliran ini umumnya
lebih objektif memandang segala sesuatu yang ada,
dengan tanpa mengikutsertakan perasaan. Plato melalui
teori mimetiknya, juga pernah menyatakan bahwa sastra
adalah tiruan kenyataan atau realitas. Berangkat dari hal
ini, berkembanglah aliran-aliran seperti: naturalisme,
dan determinisme. Realisme sosialis juga merupakan
aliran dalam karya sastra secara realis, yang digunakan
pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan sosialis.
Naturalisme adalah aliran karya sastra yang ingin
menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung
berlebihan dan terkesan kotor. Aliran ini berkembang dari
realisme. Ada tiga paham yang berkembang dari aliran
realisme, yaitu: (1) saintisme (hanya sains yang dapat
menghasilkan pengetahuan yang benar); (2) positivisme
(menolak metafisika, hanya pancaindra kita berpijak pada
kenyataan); dan (3) determinisme (segala sesuatu sudah
ditentukan oleh sebab musabab tertentu).
Impresionisme adalah aliran kesusastraan yang
memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dalam batin
tokoh utamanya. Impresionisme lebih mengutamakan
pemberian suatu kesan atau pengaruh kepada perasaan

73
Sejarah dan Teori SASTRA

daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya.


Beberapa pengarang Pujangga Baru memperlihatkan
impresionisme dalam beberapa karyanya.

2. Sejarah Perkembangan Sastra Dunia


Sejarah ―sastra dunia‖ merupakan sebuah perpustakaan
mahabesar dalam perjalanan peradaban yang terlampau
panjang. Di situ tersedia seluruh dokumentasi sastra-
sastra nasional dari semua negara-negara di seluruh
penjuru belahan dunia dalam segala zaman.
Perkembangan sejarah sastra dalam kancah dunia,
berkembang berdasarkan kultur dan budaya masing-
masing bangsa. Sampai saat ini, titik simpul tentang awal
kemunculannya sulit untuk ditentukan di daerah mana.
Hal ini secara aksiomatis, menandakan bahwa, setiap
kultur, setiap bangsa, setiap negara dan ras, memiliki titik
sejarah perkembangan sastranya masing-masing.

A. Sejarah Sastra Yunani


Awal sejarah sastra Yunani bisa ditemukan pada
beberapa tulisan yang ditulis dengan dipengaruhi bangsa
Yunani selama periode keberadaan orang-orang Yunani
menuturkan bahasa Yunani itu sendiri—meskipun pada
umumnya tidak harus dalam salah satu dialek Yunani.
Bukti tertua dari bahasa Yunani, terdapat pada
tablet-tablet batu dari Minoa. Bahasa Yunani (Gerika)
yang dalam bahasa aslinya disebut Ellenika, adalah anak
cabang tersendiri dalam rumpun bahasa Indo-Eropa.
Bahasa ini telah bertahan selama lebih dari ribuan tahun
dan telah dituliskan selama kurang lebih 3500 tahun.

74
Sejarah dan Teori SASTRA

Bahasa Yunani juga dianggap sebagai salah satu


bahasa tertua yang masih bertahan hingga kini dengan
jumlah kosakatanya kurang lebih 600.000 kata. Saat ini
bahasa Yunani terutama dipertuturkan oleh bangsa
Yunani di Yunani dan Siprus.
Euripides (bahasa Yunani kuno: Εὐριπίδης) adalah
salah satu dari tiga penulis drama tragedi terbaik di
Athena klasik—dua yang lainnya bernama Aiskhilos dan
Sofokles. Para sejarawan kuno banyak berpendapat,
bahwa, Euripides telah menulis 95 (sembilan puluh lima)
drama, meskipun empat di antaranya mungkin di duga
ditulis oleh Kritias. 18 atau 19 drama Euripides tetap ada
sampai masa kini. Memang terdapat pula perdebatan
mengenai apakah dia yang menulis salah satu dramanya
yang berjudul ―Resos‖.
Beberapa bagian dari karya-karya Euripides yang
lain juga ada yang bertahan. Drama karya Euripides yang
masih bertahan jumlahnya diketahui lebih banyak
jumlahnya jika dibandingkan dengan karya Aiskhilos dan
Sofokles jika digabungan, hal ini dikarenakan keunikan
manuskripnya.
a) Sejarah Sastra Tutur Bangsa Yunani
Bahasa Yunani pada awalnya dituturkan di kawasan
Yunani dan pulau-pulau di laut Aegea dengan jumlah
penutur kurang lebih 14 juta jiwa. Meski demikian,
penutur bahasa Yunani ini juga bisa dijumpai di daerah
selatan Albania, bagian selatan Republik Makedonia

75
Sejarah dan Teori SASTRA

bekas negara Yugoslavia, Bulgaria, Rumania hingga


sampai pada kawasan Georgia dan di daerah Ukraina.
Di Italia, penutur bahasa ini juga dijumpai di daerah
Calabbria. Sedangkan di Turki, komunitas berbahasa
Yunani banyak ditemui di Gokceada, Bozca dan kota
Istambul dalam jumlah sangat kecil. Di luar kawasan itu,
komunitas berbahasa Yunani dapat dijumpai di Mesir,
khususnya wilayah Iskandariyah dan Kairo. Kebanyakan
dari mereka yang bertutur ini memanga telah lama
bermukim di wilayah-wilayah tersebut, yakni semenjak
zaman sebelum Masehi.
b) Tuturan Yunani Muslim
Terdapat juga sejumlah besar orang-orang Muslim
berbahasa Yunani, yang ditemukan di daerah Turki.
Kelompok ini terbagi atas dua kelompok, yakni kelompok
Kreta yang berasal dari Pulau Kreta, dan kelompok
Pontus yang tinggal di kawasan sepanjang Laut Hitam.
Kelompok Kreta merupakan imigran Muslim yang
pernah dipertukarkan dengan kelompok Ortodoks, karena
perjanjian Lausanne di tahun 1923, dan mereka tinggal di
wilayah barat Anatolia, umumnya di kawasan tepi pantai
Laut Aegea, Mediterania dan Laut Marmara serta di kota-
kota seperti Izmir, Antalya dan Ayvalik. Namun generasi
muda kelompok ini mengalami proses Turkifikasi dan
mayoritas akhirnya hanya menguasai Bahasa Turki.
Kelompok Pontus ini berkonsentrasi di 5-6 desa
sekitar kota Trabzon dan Tonya, Turki Utara dan lembah
Sungai Of, tepatnya di lembah Yukari Solakli di dekatnya
sebanyak 50 desa. Mereka juga ditemukan di dua desa

76
Sejarah dan Teori SASTRA

yang berada dekat Sakaryabertetangga dengan Istanbul.


Kelompok Yunani Pontus memeluk agama Islam sejak
abad ke-18, dan mengadaptasi kebudayaan campuran
antara Turki dan Yunani, bahkan menggunakan nama
Turki dalam kehidupan sehari-hari. Mereka kerapkali
menyebutkan bahasa mereka sebagai Romaika dan
menganggap penutur bahasa Yunani penganut Ortodoks
sebagai kelompok yang berbeda, dengan sebutan Romioi .
Dituturkan oleh 300.000 jiwa dan kaum wanitanya hanya
menguasai bahasa Yunani Pontus. Bahasa Yunani Pontus
diyakini sebagai keturunan dialek Yunani Kapadosia kuno
yang sudah punah (Wikipedia, 2016).
c) Tuturan Yunani Attik (Athena)
Tuturan Yunani Attik merupakan varian bahasa
Yunani yang dipakai di wilayah Athena pada masa silam.
Sebagian besar karya sastra Yunani ditulis dalam varian
ini. Bahasa ini dipakai pula pada masa kekuasaan Romawi
yang dilanjutkan dengan masa kerajaan Bizantium hingga
menjadi Yunani Modern seperti sekarang.
d) Peran bahasa Yunani dalam pengetahuan
Bahasa Yunani memiliki peran yang tinggi dalam
ilmu pengetahuan, terutama Ilmu Pengetahuan Barat.
Filsafat yang menjadi dasar ilmu pengetahuan bermula
dari Yunani. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila
bahasa Yunani memberikan sumbangsih yang cukup
besar untuk ilmu pengetahuan. Bangsa asing yang
pertama kali mengakui sumbangsih besar bangsa Yunani

77
Sejarah dan Teori SASTRA

ialah bangsa Romawi. Oleh karena itu dalam bahasa Latin


banyak terdapat kata-kata serapan dari bahasa Yunani.

B. Sejarah Sastra Latin


Sastra Latin terdiri dari esai, sejarah, puisi, drama,
dan tulisan lain yang ditulis dalam bahasa Latin. Awal
perkembangan sastra Latin yaitu pada abad ke-3 SM dan
membutuhkan waktu dua abad untuk menjadi sastra yang
dominan di Romawi Kuno, karena saat itu banyak orang
Romawi terdidik yang masih membaca dalam bahasa
Yunani Kuno. Sastra Latin adalah lanjutan sastra Yunani.
Sastra Latin adalah bahasa yang dituturkan oleh
bangsa Romawi Kuno, namun juga merupakan lingua
franca Eropa selama abad pertengahan, sehingga sastra
Latin tidak hanya meliputi tulisan pengarang Romawi
seperti Cicero, Vergil, Ovid dan Lucretius, tapi juga
termasuk tulisan penulis Eropa yaitu setelah jatuhnya
Kekaisaran Romawi, seperti Agustinus (354–430 AD),
Francis Bacon (1561-1626), dan Spinoza (1632–1677).
Pada perkembangan sastra Latin, ada satu istilah
terkenal, yaitu "Lingua franca", yang merupakan istilah
yang diartikan secara fungsional dan tidak bergantung
pada sejarah linguistik maupun struktur bahasanya.
Lingua franca (bahasa Latin yang artinya adalah
"bahasa bangsa Franka") adalah sebuah istilah linguistik
yang artinya adalah "bahasa pengantar" atau "bahasa
pergaulan" di suatu tempat, dimana terdapat penutur
bahasa yang berbeda-beda. Adalah seorang Ayatrohaedi
menerjemahkan istilah ini dengan istilah basantara, dari
kata "basa" atau "bahasa" dan "antara". Sebagai contoh

78
Sejarah dan Teori SASTRA

adalah bahasa Melayu atau bahasa Indonesia di Asia


Tenggara. Di kawasan ini, bahasa ini dipergunakan tidak
hanya oleh para penutur ibunya, namun oleh banyak
penutur kedua sebagai bahasa pengantar. Contoh yang
lain adalah bahasa Inggris di pentas internasional.

C. Sejarah Sastra Tionghoa (Tiongkok)


Sastra Tionghoa, biasa disebutkan dengan sastra
Tiongkok, telah berumur lebih dari 3400 tahun, yakni
yang dimulai sejak peninggalan tertulis di Tiongkok dan
ditemukan pada zaman Dinasti Shang.
Sejarah Sastra Tiongkok telah dimulai sejak zaman
purba. Sastra Tionghoa dalam bentuk paling sederhana,
dimulai ketika rangkaian kata-kata mulai digunakan
menyuarakan perasaan atau menyampaikan kejadian atau
peristiwa. Kata-kata itu beredar dari mulut ke mulut
sepanjang masa. Diperkirakan bahwa bentuk-bentuk
sastra Tionghoa versi sederhana yang tidak tercatat telah
ada ketika manusia belum mengenal tulisan.
Sastra Tiongkok mengalami peningkatan pesat
mulai pada zaman Dinasti Zhou, yaitu tepatnya di zaman
musim semi dan gugur. Di zaman ini, mulai banyak
ditulis karya-karya sastra baik bertema filsafat maupun
tema-tema lain berbentuk puisi atau esai.
Bangsa Tionghoa sampai sekitar tahun 1904, juga
dipengaruhi dengan ujian kesustraan atau disebut juga
dengan Ujian Nasional/Ujian Kenegaraan (Nio Joe-lan,
1966), dalam hal ini, jika berhasil lulus Ujian Nasional
adalah kunci agar bisa mendapat pekerjaan yang baik

79
Sejarah dan Teori SASTRA

dalam pemerintahan. Dan dalam Ujian Nasional ini, soal-


soal ujian adalah kesusastraan Tionghoa, yaitu filsafat,
sejarah, sajak serta perundingan yang berat-berat. Namun
dengan runtuhnya dinasti tradisional Tiongkok, pada
tahun 1905 Ujian Nasional dihapuskan.

a) Kategori Sastra Fiksi dan Nonfiksi


Terdapat dua jenis sastra Tionghoa, yaitu: (1) sastra
berisi pengajaran dan (2) sastra yang berisi hiburan.
Sastra yang berisi ajaran-ajaran lebih dihargai bangsa
Tionghoa karena ada unsur-unsur yang dapat memajukan
pikiran dan akhlak rakyat. Sastra ini misalnya: filsafat
sejarah dan sajak. Sastra golongan hiburan adalah
karangan berupa novel dan cerita fiksi.
b) Novel dan Karangan bersifat Fiksi
Walaupun novel dan fiksi adalah sumber-sumber
sastra yang terutama bagi banyak bangsa di dunia, namun
sebaliknya sebelum abad ke-20, bagi bangsa Tiongkok
karya-karya seperti ini sangatlah bernilai rendah dan
dianggap sama sekali tidak bermutu.
Dalam bahasa Tionghoa, novel disebut Xiaoshuo
(bahasa Hokkian adalah"Siau-suat") yang berarti ―omong
kecil‖ (Nio Joe-lan, 1966). Karya ini memang sifatnya
tidak serius, bahkan tidak dipandang sebagai bentuk
sastra. Walau demikian, jumlah novel dan fiksi Tiongkok
terhitung sangat banyak jumlahnya, dan semenjak abad
ke-20 telah banyak perhatian terhadap bentuk karya
sastra ini terutama dari orang-orang asing. Karya novel
dan fiksi dahulu tidak dibaca secara terbuka, melainkan

80
Sejarah dan Teori SASTRA

dengan sembunyi-sembunyi. Karena masyarakat umum


memandang rendah novel dan cerita fiksi menyebabkan
seringkali di dalam karya-karya semacam itu tidak tertulis
siapa pengarangnya (Nio Joe-lan, 1966).

D. Sejarah Sastra Italia


Sejarah sastra Italia merupakan sejarah dari semua
kesusastraan dalam bahasa Italia. Hal ini dibedakan
dengan sastra dari negara Italia. Sejarah sastra Perancis
yang juga menggunakan bahasa Italia bermula dari Placiti
Cassinesi, yang ditulis tahun 960 Masehi. Sebelumnya
semua dokumen ditulis dalam bahasa Latin, meskipun
ada glosarium-glosarium yang menggunakan 'bahasa
Roman' atau bahasa Latin Rakyat lokal Italia.
a) Penerima Nobel Sastra Italia
Sejarah sastra Italia banyak mencatat prestasi di
kancah dunia internasional, yakni melalui beberapa
goresan sastrawannya yang pernah meraih hadiah Nobel
internasional, diantaranya adalah:
Giosuè Carducci (1906), adalah pemenang hadiah
Nobel pertama dalam literatur dunia. Dia adalah penulis
dan penyair Italia terkenal. Pada tahun 1906, Carducci
menerima Penghargaan Nobel dalam Sastra.
Grazia Deledda (1926), dianugerahi hadiah Nobel
Sastra pada tahun 1926. Ia pertama kali menerbitkan
beberapa novel di majalah "L'ultima moda" saat majalah
itu masih menerbitkan karya dalam bentuk prosa dan
puisi. Nell'azzurro, diterbitkan oleh Trevisani pada 1890
bisa dianggap sebagai karya pertamanya. Di Nuoro,

81
Sejarah dan Teori SASTRA

Sardinia ada sebuah rumah di mana Grazia Deledda lahir


dan tinggal hingga ia pindah ke Roma pada 1899, kini
dijadikan museum. Di sebuah gereja kecil, Solitudine,
dapat ditemukan makam Chiesetta della.
Luigi Pirandello (1934), adalah seorang penulis,
novelis, dan dramawan Italia. Bersama dengan Salvatore
Quasimodo ia adalah orang Sisilia yang mendapatkan
Penghargaan Nobel dalam Sastra ditahun 1934. Beberapa
karya drama teater Pirandello adalah Lumie di Sicilia,
Così è (Se Vi Pare), Sei Personaggi in Cerca d'Autore,
Enricu IV. Karya-karyanya menerima esai kritik di Italia
maupun di seluruh dunia. Penulisannya, meski hampir
sempurna sejalan dengan begitu banyak seni di akhir
abad ke-19 dan dan awal abad ke-20, tak pernah terbawa
dalam disagregasi namun dengan jelas ia menuliskannya.
Salvatore Quasimodo (1959) adalah seorang
lirikus dan kritikus Italia. Quasimodo dapat disejajarkan
dengan Giuseppe Ungaretti ataupun Eugenio Montale.
Lirik-liriknya berasal dari simbolisme dan bertemakan
tentang kampung halamannya Sisilia dengan budayanya.
Ia juga menerjemahkan beberapa karya penyair Romawi
Kuno, diantaranya Catullus, Ovid dan Virgil, juga tak
ketinggalan Shakespeare dan Pablo Neruda. Tepatnya di
tahun 1959 Quasimodo dianugerahi Penghargaan Nobel
dalam bidang Sastra.
Eugenio Montale (1975), adalah sastrawan dan
penyair Italia yang pada tahun 1975 mendapatkan
Penghargaan Nobel dalam bidang Sastra. Montale juga
pernah menerima gelar kehormatan dari tiga Universitas

82
Sejarah dan Teori SASTRA

besar, diantaranya: dari Universitas La Sapienza Roma,


juga Universitas Milano, serta Universitas Cambridge.
Kumpulan puisi pertamanya Ossi di seppia (Tulang
Sotong") yang muncul pada tahun 1925. Pada tahun 1939
Montale menerbitkan bukunya yang berjumlah 2 seri,
berjudul "Le occasioni". Bukunya yang ke-3 berjudul "La
bufera e altro" terbit tahun 1956. Karya-karya terakhirnya
adalah Xenia (1966), Satura (1971) dan Diario del '71 e
del '72 (1973). Satura mengandung elegi yang sangat
perih kepada istrinya yang bernama Drusilla Tanzi.
Dario Fo (1927), merupakan seorang dramawan,
sutradara, satiris, dan aktivis politik dari negara Italia. Ia
dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra pada tahun
1997, karena perannya "yang melebihi pelawak Abad
Pertengahan pada pemerintahan yang menakutkan dan
menegakkan martabat yang tertindas".
b) Puncak Karya Sastra Italia
Dalam perkembangannya, sastra Italia mulai
mencapai puncak kejayaannya ketika beberapa karya-
karya sastra terkenal dari negara ini memasuki wilayah
sastra dalam kancah dunia internasional. Beberapa karya-
karya sastra tersebut adalah sebagai berikut:
Divina Commedia (1304–1321), atau Komedi
Ketuhanan, adalah karya Dante Alighieri yang dianggap
sebagai raja penyair dari kota Firenze, bangsa Italia. Ada
pula yang menyebut Dante sebagai bapak kesusastraan
Italia pada Abad Pertengahan. Divina Commedia adalah
puisi wiracarita (puisi yang sangat panjang, seperti cerita)
dalam sastra Italia. Puisi ini dianggap sebagai salah satu

83
Sejarah dan Teori SASTRA

karya terbesar dalam sastra dunia. Puisinya berisikan


tentang perjalanan setelah kematian.
Canzoniere (1348), merupakan karya seorang
cendekiawan dan penyair Italia bernama Petrarca, yang
juga adalah salah satu humanis terawal yang sering
disebut dengan "Bapak Humanisme". Canzoniere adalah
cerita yang disampaikan melalui puisi, dari kehidupan
batin Petrarca .
Decameron (1348–1350), merupakan kumpulan
novella karya pengarang Italia abad ke-14, Giovanni
Boccaccio (1313–1375). Buku tersebut distruktur sebagai
sebuah cerita frame yang berisi 100 kisah yang
diceritakan oleh sebuah grup yang terdiri dari tujuh
wanita muda dan tiga pria muda yang mendiami sebuah
villa tepat di bagian luar Firenza untuk melarikan diri dari
Wabah Hitam, yang terjadi di kota tersebut. Boccaccio
diyakini membuat Decameron setelah epidemi pada
tahun 1348 dan menyelesaikan karya tersebut pada tahun
1353. Berbagai kisah cinta dalam The Decameron ini
bermacam-macam, mulai dari erotis sampai tragis. Kisah
kesaksian, lelucon praktikal, dan pembelajaran kehidupan
berkontribusi terhadap mosaik tersebut. Selain dari nilai
sastranya dan pengaruh besarnya (contohnya pada The
Canterbury Tales karya Chaucer), karya ini juga menjadi
sebuah dokumen kehidupan pada masa nya. Ditulis
dengan bahasa Florentine, karya ini dianggap sebagai
karya terbesar dari prosa klasik awal Italia.
Il Principe (1516), atau Sang Penguasa, adalah
sebuah risalat politik oleh seorang pegawai negeri dan

84
Sejarah dan Teori SASTRA

teoretikus politik Firenze Niccolò Machiavelli. Aslinya


berjudul De Principatibus (Tentang Kekuasaan), ditulis
pada 1513, namun baru diterbitkan pada tahun 1532, lima
tahun setelah kematian Machiavelli. Tulisan ini adalah
sebuah studi klasik tentang kekuasaan–bagaimana
memperolehnya, memperluas, dan menggunakannya
dengan hasil yang maksimal. Tulisan ini sebenarnya tidak
mewakili karya-karyanya selama masa hidupnya, namun
karya inilah yang paling diingat, dan yang menyebabkan
lahirnya istilah "Machiavellis" yang banyak digunakan
secara luas sebagai istilah pejoratif.
Le avventure di Pinocchio (1881), atau sebuah
petualangan Pinokio yang adalah sebuah cerita fiksi yang
ditulis oleh penulis dari Italia, Carlo Collodi. Le avventure
di Pinocchio termasuk karya sastra Italia klasik dan
merupakan salah satu karya yang telah banyak dikenal di
dunia terutama dalam hal cerita anak-anak.
c) Sastra Bahasa Roman
Rumpun bahasa Roman atau Romans, adalah salah
satu cabang dari bahasa Indo-Eropa yaitu bahasa yang
tumbuh dan berkembang dari bahasa Latin. Bahasa
Roman yang paling terkenal adalah bahasa Perancis,
Spanyol, Italia, Portugis dan Rumania. Termasuk juga ke
dalamnya suatu bahasa yang disebut bahasa Romansch,
suatu bahasa yang dituturkan di Graubünden di Swiss
bagian tenggara.
Bahasa-bahasa Roman dipertuturkan 600 penutur
asli di seluruh dunia, terutama di benua Amerika, Eropa,
dan Afrika, serta berbagai wilayah kecil lainnya yang

85
Sejarah dan Teori SASTRA

tersebar di seluruh dunia. Semua bahasa Roman (kadang-


kadang disebut pula sebagai Romanik) adalah turunan
bahasa Latin Vulgar (lebih tepatnya, bahasa Latin rakyat),
bahasa para tentara, pemukim dan budak Kekaisaran
Romawi, yang banyak mengandung perbedaan dengan
bahasa Latin Klasik dari kaum terdidik Romawi.
Antara tahun 200 SM dan tahun 100 M, ekspansi
Kekaisaran Romawi yang disertai kebijakan-kebijakan
administratif dan pendidikan Roma, membuat bahasa
Latin menjadi bahasa pribumi yang dominan di wilayah
yang merentang dari Jazirah Iberia ke pantai barat Laut
Hitam. Semua bahasa ini terus-menerus berubah. Pada
masa kemunduran Roma, yaitu setelah keruntuhan dan
perpecahannya abad ke-5, evolusi bahasa Latin di masing-
masing wilayah ini menjadi semakin cepat, dan berpencar
menjadi banyak bahasa yang berbeda-beda. Banyak di
antara bahasa-bahasa ini masih bertahan dalam bentuk
modernnya. Imperium seberang lautan yang diciptakan
oleh Spanyol, Portugal, dan Perancis di abad ke-15,
kemudian menyebarkan bahasa-bahasa Roman ke benua-
benua lainnya—begitu luasnya hingga sekitar dua-pertiga
dari semua penutur bahasa Roman kini ada di luar Eropa.
Meskipun mengalami berbagai pengaruh dari
bahasa-bahasa pra-Roman dan dari invasi-invasi di
kemudian harinya, fonologi, morfologi, leksikon, dan
sintaksis dari semua bahasa Roman, terutama sekali
merupakan evolusi bahasa Latin. Akibatnya, kelompok ini
memiliki sejumlah ciri linguistik yang memisahkannya
dari cabang-cabang bahasa Indo-Eropa.

86
Sejarah dan Teori SASTRA

Bahasa-bahasa Roman sama-sama mempunyai


sejumlah ciri yang diwarisinya dari bahasa Latin Klasik,
dan semua itu memisahkan bahasa-bahasa ini dari
kebanyakan bahasa-bahasa Indo-Eropa lainnya. Berikut
ciri-ciri bahasa roman:
 Dalam kebanyakan bahasa, pronomina persona (kata
ganti orang) memiliki bentuk-bentuk yang berbeda
sesuai dengan fungsi gramatikanya dalam sebuah
kalimat (sisa dari sistem kasus Bahasa Latin).
Biasanya ada suatu bentuk untuk subyek (warisan
dari nominatif Bahasa Latin), dan sebuah bentuk
lainnya untuk obyek (dari bentuk akusatif atau datif),
dan rangkaian pronomina persona ketiga yang
digunakan setelah preposisi atau dalam posisi yang
ditekankan. Pronomina orang ketiga seringkali
mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda dengan
objek langsung (akusatif), objek tak langsung (datif),
dan refleksif.
 Semua mempertahankan sekurang-kurangnya tiga
bentuk waktu Bahasa Latin: bentuk kini (present),
bentuk lampau (preteritum), dan bentuk lampau tak
sempurna (past imperfect)

E. Sastra Jerman
Sastra dalam bahasa Jerman atau sastra Jerman,
merupakan karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa
Jerman yang berasal dari daerah-daerah yang berbahasa
Jerman (meliputi Jerman, Swiss dan Austria) baik pada
masa lampau maupun pada masa kini.

87
Sejarah dan Teori SASTRA

Perlu dipahami bahwa, yang dimaksudkan dengan


sastra berbahasa Jerman di sini bukan hanya karya-karya
puitis saja, melainkan juga karya-karya dari disiplin-
disiplin lainnya, misalnya karya-karya sejarah, sejarah
sastra, atau filsafat. Juga misalnya buku harian atau surat
juga dilihat sebagai karya sastra.

a) Abad Pertengahan Awal (sekitar 750–1100)


Abad ini ditandai munculnya puisi berbahasa
Jerman Tinggi Kuna, yang dalam sebuah kode Latin
disebutkan dengan puisi tentang zaman akhir Muspilli,
muncul pada abad ke-9. Sastra Jerman Tinggi Kuna ini
dimulai dengan sumber tertulis teks-teks Jerman Tinggi
kuna. Diawali dengan berkuasanya raja Carolus Magnus
(768-814) atau raja Karel yang Agung. Zaman Carolus
Magnus adalah zaman perubahan spiritual, sekaligus juga
zaman perubahan kesusasteraan bangsa Jerman. Raja ini
memiliki keinginan untuk menyatukan semua keturunan
bangsa Jerman di bawah kekuasaannya dan membimbing
mereka ke dalam agama Kristen yang meningkatkan
pengetahuan mereka dengan mendirikan sekolah biasa,
dan sikapnya yang menjunjung tinggi kepribadian bangsa
Jerman, yaitu dengan memelopori penggunaan nama-
nama bulan dalam bahasa Jerman.
Meskipun lagu-lagu kepahlawanan merupakan ciri
dari tradisi lisan (tidak tertulis), beberapa pengarang tak
dikenal dari biara Fulda pada abad ke-8, menulis lagu
Hildebrand (Hildebrandslied) dalam bahasa Jerman
Tinggi kuna. Hildebrandslied adalah peninggalan sastra
rakyat Jerman pada zaman itu yang mengisahkan tentang

88
Sejarah dan Teori SASTRA

sebagian dari saga Dietrich. Namun sebagai teks tertua


sastra berbahasa Jerman adalah kata-kata Mantra
Merseburger yang dikarang oleh seorang biarawan pada
awal abad ke-8.
Beberapa peninggalan penting kesusastraan Jerman
pada abad ke-9 misalnya: Doa Wessobrunn, Muspilli
(yaitu tentang akhir zaman), Heliand, dll. Peninggalan-
peninggalan penting sastra Jerman abad ke-11 misalnya
Ezzolied (sekitar tahun 1065), puisi legenda Annolied
(sekitar tahun 1077), epos Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru (Kejadian, Keluaran, Kehidupan Yesus), penjelasan-
penjelasan dogmatis, puisi-puisi eskhatologis dan puisi-
puisi Mariologi. Sastra Jerman mulai pada zaman Carolus
Magnus sampai pada awal abad ke-12 yang dikuasai oleh
kaum Gereja (Geistlichdichtung).
b) Abad Pertengahan Tinggi (1100–1250)
Pada abad ini, kesusatraan terutama dikembangkan
oleh kalangan bangsawan, yaitu kasta ksatria (Ritter),
yang disebut Ritterlichedichtung. Secara keseluruhan, ada
empat sebab mengapa kesusastraan Jerman pada masa
ini berkembang sampai mampu mencapai puncaknya,
yaitu sebagai berikut:
 Perang salib, yang memperluas pandangan dan
pengetahuan bangsa Eropa dalam berbagai bidang.
 Dinasti Hohensraufen, yang sangat cemerlang
ketika menduduki takhtanya mulai dari tahun 1138
hingga 1254, dimana ia melindungi dan memajukan
seni sastra dengan berbagai cara dan usaha.

89
Sejarah dan Teori SASTRA

 Kasta ksatria (bangsawan), yang sedang memuncak


menggarap seni sastra dan menjadi teladan dalam
kesusilaan.
 Seperti telah dikemukakan, para bangsawan Jerman
banyak mengambil teladan dari orang Perancis yang
dikenal selama Perang Salib, dan ternyata paling
menonjol diantara semua bangsa peserta Perang
Salib dalam hal keksatriaan dan kesopanan.
Karya-karya penting pada zaman ini adalah antara
lain: Annolied (pujian terhadap santo Anno uskup besar
Collogne/Köln), Kaiserkronik (buku tentang kaisar dan
raja-raja, yang terdiri dari 17.000 ayat), Alexandried,
yaitu karya pendeta Lamprecht tentang Alexander Yang
Agung, dan Rolandslied.
Volksepos (epos kerakyatan) Jerman yang terbesar
adalah Das Nibelungenlied (judul aslinya Der belunge
Not atau der Nibelinge). Isinya dapat dibagi menjadi dua:
(1) gugurnya Siegfried dan (2) pembalasan Kriemhilde.
Kunstepos (epos buatan), yang juga disebut dengan
ritterliches atau höfisches Epos, yang mengambil bahan-
bahannya dari sumber asing terutama Perancis, dan dapat
dibagi lagi menjadi jenis-jenis antara lain: Saga Inggris
tentang raja Arthur; Saga Spanyol tentang Mangkuk suci
(Heiliger Gral).
Terdapat 3 orang penyair epos yang terpenting pada
masa ini, adalah sebagai berikut:
 Heinrich von Veldeke (Veldekin), yang berasal dari
sekitar kota Maastricht (Belanda).

90
Sejarah dan Teori SASTRA

 Hartmann von Aue, yang berasal dari daerah barat


daya Jerman (Schwaben), dimana dia mendapatkan
pendidikan tinggi yang tidak seperti rekan-rekan
sezamannya.
 Wolfram von Eschenbach adalah seorang ksatria
bangsa Franken yang miskin dan tinggal bersama
anak-isterinya di daerah Wildenberg (sekarang
Wahlenberg) dekat Eschenbach. Dia menjelajahi
sebagian besar wilayah Jerman dan tiba di istana
Hermann von Thuringen. Kemudian lama tinggal di
sana dan bertemu Walther von der Vogelheide. Pada
tahun 1217 ia kembali ke kampung halamannya dan
meninggal pada tahun 1220. Eschenbach adalah
penyair yang melampaui semua rekan sezamannya
dalam ketertiban, kealiman dan kemurnian pikiran.
c) Abad Pertengahan Akhir (sekitar 1250–1500)
Pada masa ini terdapat penemuan yang sangat
revolusioner, yaitu ditemukannya mesin cetak dengan
huruf-huruf yang dapat digerakkan (seperti mesin ketik).
Akhirnya perkamen sebagai bahan untuk menulis
dapat digantikan dengan kertas yang tentunya dengan
harga yang jauh lebih murah. Di akhir masa ini, terbit
karya dari Johannes von Tepls dengan judul "Der
Ackermann aus Böhmen".
d) Abad Baru Awal (Humanisme dan Reformasi)
(sekitar 1450–1600)
Humanisme dari Italia kemudian datang menyebar
di Jerman, yang merupakan pola pikir dari Renaissance.

91
Sejarah dan Teori SASTRA

Sebuah pergantian pola pikir terjadi waktu itu. Tokoh


Humanisme yang sangat terkenal adalah Erasmus von
Rotterdam dan Johannes Reuchlin.
Namun saat itu, mereka menulis dalam bahasa
Latin, sehingga akibat dari kendala bahasa, maka peran
mereka berdua di luar dari dunia akademis sangatlah
sedikit. Selain itu, ada pula Ulrich von Hutten (1488–
1523) dengan beragam puisi-puisi pemberontakannya,
atau Sebastian Brant (1458–1521), yang telah menulis
―Narrenschiff― dalam bahasa Jerman, dan banyak
memiliki pengaruh nyata di luar dunia akademis.
Gerakan yang paling berhasil pada waktu itu adalah
gerakan reformasi yang dipimpin Martin Luther (1483–
1546). Luther menyebarkan ide-idenya tentang reformasi
dalam bahasa Jerman. Hasil yang sangat memuaskan
dalam pasar buku Jerman pada abad ke-16 adalah
terbitnya terjemahan Alkitab versi Luther atau biasa
disebut dengan Lutherbibel di tahun 1522 dan 1534.
Terjemahan Alkitab versi Luther ini memang sangatlah
mempengaruhi penyebaran bahasa Jerman hingga yang
digunakan sampai saat ini.

F. Sejarah Sastra Jepang


Sastra Jepang atau dikenal dengan sebuatan Nihon
Bungaku (日本文学), adalah karya sastra dalam bahasa
Jepang, atau studi mengenai karya sastra tersebut dan
pengarangnya. Menurut Wikipedia Indonesia (2016),
secara garis besar, sejarah sastra Jepang dibagi menjadi 5
periode: Sastra kuno (zaman Nara); Sastra klasik (zaman

92
Sejarah dan Teori SASTRA

Heian); Sastra pertengahan (zaman Kamakura, zaman


Namboku-cho, dan zaman Muromachi); Sastra modern
(zaman Azuchi-Momoyama dan zaman Edo); Sastra
kontemporer (karya sastra mulai zaman Meiji hingga
sekarang). Sastra kuno dan sastra klasik sering dijadikan
satu menjadi sastra klasik. Sastra zaman Azuchi-
Momoyama juga dapat digolongkan ke dalam sastra abad
pertengahan. Sementara itu, sastra modern sering hanya
berarti karya sastra zaman Meiji hingga zaman Taisho,
dan sastra kontemporer hanya mencakup karya sastra
zaman Showa hingga sekarang.
Sastra kuno. Sastra kuno Jepang, terdiri dari
beberapa karya-karya hingga zaman Nara. Aksara kanji
diperkenalkan di Jepang dari daratan Cina melalui
Semenanjung Korea. Aksara Tionghoa dipakai orang
Jepang untuk menulis dengan sistem kanbun, dan aksara
manyōgana untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang.
Karya sastra dari periode kuno di antaranya buku sejarah
seperti Kojiki (712) dan Nihon Shoki (720), serta
kumpulan puisi Manyōshū.
Sastra klasik. Sastra klasik Jepang, terdiri dari
karya sastra yang dihasilkan sekitar zaman Heian.
Bersamaan dengan puncak keemasaan sistem kanbun dan
sistem penulisan kanshi, kompilasi sistem waka yang
pertama, yaitu dengan karya berjudul Kokin Wakashū
yang selesai di susun, dan pada waktu itu kedudukan
waka sederajat dengan kanshi. Walaupun sistem
penulisan resmi waktu itu adalah sistem kanbun,
hiragana juga mulai populer dalam menuliskan bahasa

93
Sejarah dan Teori SASTRA

Jepang, dimulai dari penulisnya Ki no Tsurayuki dengan


karyanya Tosa Nikki, Sei Shōnagon dengan esai Makura
no Sōshi, dan Murasaki Shikibu dengan karyanya Hikayat
Genji sebagai karya-karya sastra yang mewakili sastra
klasik Jepang.
Sastra abad pertengahan. Dalam sastra abad
pertengahan, mencakup karya sastra mulai dari zaman
Kamakura hingga zaman Azuchi-Momoyama. Fujiwara no
Teika menyusun antologi waka Shin Kokin Wakashū.
Sebagian besar karya sastra memakai sistem penulisan
wakan konkōbun yang merupakan bentuk awal bahasa
Jepang modern. Di antara karya yang mewakili sastra
abad pertengahan misalnya Hōjōki karya Kamo no
Chōmei, Tsurezuregusa karya Yoshida Kenkō, dan
Hikayat Heike. Teater sarugaku juga mulai berkembang
pada periode ini.
Sastra modern. Sastra modern awal mencakup
karya sastra asal zaman Edo. Karya sastra yang mewakili
periode ini adalah Ukiyozōshi karya Ihara Saikaku dan
Kanazōshi yang keduanya dipengaruhi oleh Otogizōshi.
Pada zaman Edo, kabuki dan jōruri mencapai zaman
keemasan. Haikai mencapai puncak kepopuleran dengan
dua penyairnya Matsuo Basho dan Kobayashi Issa.
Sastra kontemporer. Sastra kontemporer Jepang
mencakup karya sastra mulai zaman Meiji. Setelah
berakhirnya sakoku, budaya Eropa dan Amerika mulai
mengalir masuk ke Jepang hingga terjadi Bunmei-kaika.
Sastra Jepang juga mendapat pengaruh yang besar.
Prinsip-prinsip novel modern dari Eropa dan Amerika

94
Sejarah dan Teori SASTRA

mulai dikenal di Jepang. Tsubouchi Shoyo dengan kritik


sastra Shōsetsu Shinzui, serta Futabatei Shimei dengan
Shōsetsu Sōron dan Ukigumo mengawali periode sastra
kontemporer Jepang (Wikipedia, 2016).

G. Sejarah Sastra Perancis


Sejarah sastra Perancis adalah sejarah kesusastraan
dalam bahasa Perancis. Hal ini dibedakan dengan sastra
dari negara Perancis. Sastra Perancis dan dengan ini juga
bahasa Perancis, bermula dari karya berjudul ―Les
Serments de Strasbourg‖ ("Piagam dari Strasbourg")
yang ditulis pada tahun 842 Masehi. Dokumen ini adalah
perjanjian antara keturunan Charlemagne. Sebelumnya
semua dokumen ditulis dalam bahasa Latin meskipun
sudah terdapat glosarium-glosarium yang menggunakan
'bahasa Roman' atau bahasa Latin Rakyat lokal. Untuk
karya-karya kesusastraan awal di Perancis, hampir
semuanya bersifat agamis.

3. Sejarah Perkembangan
Sastra Indonesia
Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi
berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah
"Indonesia" sendiri, memiliki arti yang saling melengkapi
terutama dalam cakupan geografi dan sejarah politik di
wilayah tersebut. Sastra Indonesia dapat merujuk pada
karya sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia.
Sering juga, secara luas dirujuk pada karya sastra yang
bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu, dimana
bahasa Indonesia merupakan satu turunannya. Dengan

95
Sejarah dan Teori SASTRA

pengertian kedua, maka sastra Indonesia dapat diartikan


sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain
Indonesia, terdapat juga negara-negara berbahasa Melayu
seperti Malaysia dan Brunei), demikian halnya dengan
bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.
Itu sebabnya, bahasa Indonesia berasal dari bahasa
melayu, yaitu salah satu bahasa daerah di Nusantara.
Bahasa Melayu digunakan oleh masyarakat Melayu yang
berada di pantai timur pulau Sumatera. Kerajaan Melayu
yang berpusat didaerah Jambi, pada pertengahan abad
ke-7 (689-692) dikuasai oleh Sriwijaya yang terdiri dari
beribu kota di daerah Palembang sekarang ini.
Sejarah sastra Indonesia, adalah bagian dari kajian
ilmu sastra yang mempelajari kesusastraan Indonesia
mulai munculnya kesusastraan Indonesia sampai masa-
masa selanjutnya, yaitu dengan segala persoalan yang
melingkupinya. Dan untuk dapat mengetahui bagaimana
perkembangan sejarah sastra di Indonesia ini, setidaknya
periodisasi atau pembagian dan pengelompokkan sastra
berdasarkan zamannya, menjadi urgen untuk dilakukan.
Terdapat dua ahli berpendapat tentang periodisasi
perkembangan sastra Indonesia ini. Menurut Nugroho
Notosusanto (1984), periodisasi sastra Indonesia, dapat
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
(1) Kesusastraan Melayu Lama
(2) Kesusastraan Indonesia Modern, yang terdiri dari 2
zaman yaitu: a) zaman kebangkitan, periode tahun
1920, tahun 1933, tahun 1942, tahun 1945; dan b)

96
Sejarah dan Teori SASTRA

zaman perkembangan, yaitu periode tahun 1945,


1950 sampai sekarang.
Menurut Simorangkir & Simanjuntak (1951;1952),
periodisasi sastra Indonesia, dapat dibagi menjadi 4
bagian, yaitu:
(1) Kesusastraan masa lama atau purba, yaitu sebelum
datangnya pengaruh hindu
(2) Kesusastraan Masa Hindu atau Arab, yaitu mulai
dengan adanya pengaruh hindu sampai dengan
kedatangan agama Islam.
(3) Kesusastraan Masa Islam
(4) Kesusastraan pada Masa Baru, yang terdiri dari: a)
Kesusastraan Masa Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi; b) Masa Balai Pustaka; c) Masa Pujangga
Baru; d) Kesusastraan Masa Mutakhir pada tahun
1942 hingga sekarang.
Dari kedua pembagian ahli di atas, dan agar tidak
membingungkan, maka periodisasi perkembangan sastra
Indonesia ini, dapatlah di klasifikasikan berdasarkan dua
cara, yaitu: A). Berdasarkan bentuknya: lisan dan tulisan;
B). Berdasarkan Urutan waktu

A. Sejarah Sastra Lisan & Tulisan Indonesia


Sejarah sastra Indonesia dalam bentuk sastra lisan
dan sastra tulisan, adalah pengetahuan tentang sejarah
sastra yang mengkaji bentuk perkembangan secara
keseluruhan dari suatu sastra, apakah itu berbentuk lisan
ataupun tulisan.

97
Sejarah dan Teori SASTRA

a) Sejarah Perkembangan Sastra Lisan


Seni sastra lisan di Indonesia berkembang secara
turun-temurun. Kebanyakan ciri khasnya menggunakan
bahasa yang panjang lebar, pola dan susunan teksnya
baku, serta ceritanya tersusun dari beragam peristiwa
yang benar-benar terjadi, juga dongeng khayalan atau
teks keagamaan. Masing-masing pencerita mempunyai
keleluasaan di dalam menampilkan tradisi lisan. Bentuk
seni sastra lisan yang berkembang di Indonesia, yaitu:
 Mitos atau Mite
Mitos adalah seni sastra bersifat religius, namun
memberi rasio pada kepercayaan dan praktik keagamaan.
Masalah pokok yang diulas dalam mitos adalah masalah
kehidupan manusia, asal mula manusia dan makhluk
hidup lain, sebab manusia di bumi, dan tujuan akhir
hidup manusia. Fungsi mitos memberi penjelasan tentang
alam semesta dan keteraturan hidup dan perilaku.
Mite yang hidup di Indonesia, biasanya bercerita
tentang proses terciptanya alam semesta (kosmogony),
asal usul dan silsilah para dewa (theogony), penciptaan
manusia pertama dan pembawa kebudayaan, asal usul
makanan pokok (padi), dan sebagainya.
Berikut salah satu mite yang hidup di Jawa:
"Konon, pada masa dahulu kala Pulau Jawa belum
berpenghuni sehingga mudah terombang-ambing
terkena ombak laut. Hanya Bathara Guru dan
Bathari Parameswari yang berani menempatinya.
Maka, agar Pulau Jawa menjadi tenang, Bathara
Guru memanggil para dewa untuk datang ke
Jambudwipa. Intinya mereka diperintah untuk

98
Sejarah dan Teori SASTRA

memindahkan Gunung Mahameru ke Pulau Jawa


untuk dijadikan pasak. Para dewa pun bergotong-
royong mengangkat gunung tersebut. Bathara
Wisnu berubah menjadi tali untuk mengikat dan
Bathara Brahma menjadi kura-kura untuk
kendaraannya. Separuh gunung ditinggal dan
puncaknya bisa sampai ke Jawa. Selama
perjalanan, ada bagian-bagian gunung yang jatuh
dan membentuk Gunung Wilis, Gunung Kelud,
serta Gunung Kawi. Puncaknya menjadi Gunung
Semeru dan menjadi pusat dunia seperti Gunung
Mahameru di Jambudwipa.
 Legenda
Legenda lebih merupakan cerita yang bersifat semi
historis tentang pahlawan, terciptanya adat, perpindahan
penduduk, dan selalu berisi percampuran antara fakta
dan supernatural. Legenda juga merupakan cerita yang
dipercaya oleh beberapa penduduk setempat benar-benar
terjadi, tetapi tidak terlalu dianggap suci atau sakral yang
juga membedakannya dengan mite. Legenda adalah cerita
rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan
peristiwa sejarah.
Legenda (bahasa Latin: legere) adalah cerita prosa
rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai
sesuatu yang benar-benar terjadi. Itu sebabnya, legenda
sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif (folk
history). Walaupun demikian, karena tidak tertulis, maka
kisah tersebut telah mengalami distorsi sehingga sering
kali jauh berbeda dengan kisah aslinya.

99
Sejarah dan Teori SASTRA

Jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan


untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda harus
dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari yang
mengandung sifat-sifat folklor.Legenda sebagai cerita
rakyat zaman dahulu juga berkaitan dengan peristiwa dan
asal usul terjadinya suatu tempat. Contoh legenda seperti:
Sangkuriang, Batu Menangis, Legenda Pulau Giliraja, dll.
Isi dari legenda tidak terlalu banyak mengandung
masalah, namun lebih kompleks dari mitos. Fungsinya
antara lain dapat memberikan pelajaran, ajaran moral,
meningkatkan rasa bangga terhadap suku bangsa atau
moyangnya. Suatu legenda yang lebih panjang berbentuk
puisi atau prosa ritmis dikenal dengan sebutan epik.
Contoh legenda yang paling populer hingga saat ini
adalah, legenda Malin Kundang, yaitu kaba yang berasal
dari provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Legenda Malin
Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka
pada ibunya dan karena itu ia dikutuk menjadi batu.
Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon
dipercayai merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.
 Epik
Epik merupakan cerita lisan yang panjang, kadang-
kadang dalam bentuk puisi atau prosa ritmis yang banyak
menceritakan perbuatan-perbuatan besar pada kehidupan
orang yang sebenarnya atau yang ada dalam legenda.
Epik biasanya disebutkan juga dengan ―Wiracarita‖
(bahasa Sanskerta: वीरचररत) adalah sejenis karya sastra
tradisional yang menceritakan kisah kepahlawanan (wira

100
Sejarah dan Teori SASTRA

berarti pahlawan dan carita adalah cerita/kisah). Epik


juga disamakan dengan Epos yang seringkali dinyatakan
dalam bentuk syair. Beberapa contoh epik terkenal adalah
Ramayana, Mahabharata, Illiad, Odysseus, La Chanson de
Roland, La Galigo, dan Hikayat Hang Tuah.
Di Indonesia, salah satu epik yang sangat masyur
adalah: ―Hikayat Hang Tuah‖, yaitu sebuah karya sastra
Melayu yang termasyhur dan mengisahkan Hang Tuah.
Dalam zaman kemakmuran Kesultanan Malaka, adalah
Hang Tuah, seorang laksamana yang amat termasyhur. Ia
berasal dari kalangan rendah, dan dilahirkan dalam
sebuah gubug reyot. Tetapi karena keberaniannya, ia
amat dikasihi dan akhirnya pangkatnya semakin naik.
Maka jadilah ia seorang duta dan mewakili negeranya
dalam segala hal.
Hang Tuah memiliki beberapa sahabat karib: Hang
Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu. Ada
yang berpendapat bahwa kedua tokoh terakhir ini
sebenarnya hanya satu orang yang sama saja. Sebab huruf
Jawi wau; "‫ "ﻭ‬dan ra; "‫ "ﺭ‬bentuknya sangat mirip. Tetapi
yang lain menolak dan mengatakan bahwa kelima kawan
ini adalah versi Melayu dari Pandawa lima, tokoh utama
dalam wiracarita Mahabharata.
Hikayat ini bercerita pada kesetiaan Hang Tuah
pada Sri Sultan. Bahkan ketika ia dikhianati dan dibuang,
teman karibnya, Hang Jebat yang pernah memberontak
membelanya akhirnya malah dibunuh oleh Hang Tua. Hal
ini sampai sekarang, terutama di kalangan Bangsa Melayu
masih menjadi kontroversial. Siapakah yang benar: Hang

101
Sejarah dan Teori SASTRA

Tuah atau Hang Jebat? Selain itu setting cerita ini adalah
di Malaka sekitar abad ke-14 Masehi. Sebab banyak
diceritakan dalam hikayat ini perseteruan antara Malaka
dan Majapahit.
Banyak kritik ditujukan kepada orang Jawa dalam
hikayat ini. Meskipun begitu senjata paling ampuh, yaitu
sebilah keris, berasal dari Majapahit. Malah Hang Tuah
dan lima bersaudara dikatakan menuntut banyak ilmu
kebatinan dari petapa Jawa.
 Dongeng
Dongeng merupakan suatu cerita yang tidak nyata
dan tidak historis yang fungsinya untuk memberi hiburan
dan memberi pelajaran atau nasihat. Dongeng merupakan
bentuk sastra lama yang bercerita tentang suatu kejadian
yang luar biasa yang penuh khayalan (fiksi) yang dianggap
oleh masyarakat suatu hal yang tidak benar-benar terjadi.
Dongeng merupakan bentuk cerita tradisional atau cerita
yang disampaikan secara turun-temurun dari nenek
moyang. Dongeng berfungsi untuk menyampaikan ajaran
moral (mendidik), dan juga menghibur.
Dongeng biasanya terbagi menjadi tiga bagian yaitu
pendahuluan, peristiwa atau isi dan bagian penutup.
Pendahuluan adalah merupakan kalimat pengantar untuk
memulai dongeng. Peristiwa atau isi merupakan bentuk
kejadian-kejadian yang disusun besarkan urutan waktu.
Penutup merupakan akhir dari bagan cerita yang dibuat
untuk mengakhiri cerita, kalimat penutup yang sering
digunakan dalam dongeng, misalnya mereka hidup

102
Sejarah dan Teori SASTRA

bahagia selamanya. Ciri dongeng biasanya diceritakan


dengan alur yang sederhana.
Untuk penulisan dongeng, ditulis dalam alur cerita
yang singkat dan bergerak cepat. Saat menulis dongeng,
biasanya karakter tokoh tidak diceritakan secara rinci.
Dongeng biasanya ditulis seperti gaya penceritaan secara
lisan. Serta pendahuluan dalam cerita sangat singkat dan
lansung pada topik yang ingin diceritakan.
Dongeng dapat dibedakan menjadi delapan jenis,
yaitu: mite, sage, fabel, legenda, cerita jenaka, cerita
pelipur lara, cerita perumpamaan dan cerita daerah.
(1) Mite adalah bentuk dongeng yang menceritakan
hal-hal gaib seperti cerita tentang dewa, peri
ataupun Tuhan.
(2) Sage adalah cerita dongeng tentang kepahlawanan,
keperkasaan, atau kesaktian seperti cerita dongeng
kesaktian Patih Gajah Mada.
(3) Fabel merupakan dongeng tentang binatang yang
bisa berbicara atau bertingkah laku seperti manusia.
(4) Legenda adalah bentuk dongeng yang menceritakan
tentang suatu pristiwa mengenai asal usul suatu
benda atau pun tempat.
(5) Cerita jenaka merupakan cerita yang berkembang
dalam masyarakat yang bersifat komedi serta dapat
membangkitkan tawa contoh Cerita Pak Belalang.
(6) Cerita pelipur lara merupakan bentuk cerita yang
bertujuan untuk menghibur para tamu dalam suatu
perjamuan dan diceritakan oleh seorang ahli cerita

103
Sejarah dan Teori SASTRA

seperti wayang yang diceritakan oleh seorang


dalang.
(7) Cerita perumpamaan merupakan bentuk dongeng
yang mengandung kiasan/ibarat nasihat-nasihat
yang bersifat mendidik seperti contohnya: seorang
Haji pelit.
(8) Cerita daerah adalah suatu cerita yang tumbuh dan
berkembang di suatu daerah.
Biasanya sebuah dongeng mengandung lima unsur
intrinsiknya, yaitu tema, alur, penokohan, latar, amanat.
Tema merupakan ide pokok dari cerita dan merupakan
patokan untuk membagun suatu cerita. Alur merupakan
jalan cerita yang diurutkan besarkan sebab-akibat atau
pun besarkan urutan waktu. Penokohan merupakan suatu
proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, dan
sifat. Latar merupakan salah satu unsur pembentuk cerita
yang lebih menunjukkan dimana dan kapan rangkaian-
rangkaian cerita itu terjadi. Amanat merupakan pesan
yang ingin disampaikan pengerang kepada pembaca
melalui cerita yang dibuatnya.
Salah satu contoh dongeng di Indonesia yang paling
populer adalah ―Bawang Merah dan Bawang Putih‖.
Cerita rakyat yang satu ini berasal dari Riau, Sumatera.
Mengisahkan tentang sepasang saudara yang punya sifat
sangat bertolak belakang, dongeng yang satu ini sempat
juga diadaptasi dalam berbagai versi. Ceritanya bahkan
menginspirasi sebuah sinetron yang pernah mengisahkan
kehidupan kakak-beradik dengan sifat yang berbeda.
Berawal dari pertemuan antara seorang duda dan janda

104
Sejarah dan Teori SASTRA

yang masing-masing beranak satu, maka jadilah keluarga


kecil dengan dua orang anak, Bawang Putih dan Bawang
Merah. Bawang putih yang punya segala kebaikan, tutur
kata lembut, dan sikap santun, harus rela menjadi bulan-
bulanan bawang merah yang dikisahkan sangat jahat.
Berikut ini adalah contoh-contoh seni sastra lisan
yang hidup di Indonesia.
Pantun Sunda. Pantun Sunda adalah penceritaan
bersyair orang Sunda (Jawa Barat) dengan diiringi oleh
musik kecapi. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum atau
sesudah upacara tradisional misalnya pernikahan dan
merupakan hiburan tunggal. Juru pantun menyanyi
sesuai irama kecapi yang ia petik dalam skala pentatonik
(lima nada). Kecapi Sunda itu biasanya berbentuk perahu
dengan 18 senar. Pantun Sunda biasanya berisi kisah
cerita dari masa Kerajaan Hindu Pajajaran. Cerita
ditampilkan secara bersamaan antara percakapan dan
nyanyian. Salah satu pantun Sunda yang terkenal adalah
Lutung Kasarung, syairnya terdiri atas 1.000 baris dan
berasal dari abad XV. Semula, tradisi ini disampaikan
oleh pendongeng profesional yang berkelana dari desa ke
desa. Maksudnya untuk mengajarkan kepercayaan agama,
sejarah, mitologi, sopan santun, dan lain-lain. Dalam
perkembangannya, tradisi ini berubah menjadi cerita
anakanak.
Rabab Pariaman. Tradisi pertunjukan lisan ini
berasal dari Sumatra Barat. Tukang rabab menyampaikan
cerita dalam wujud nyanyian dengan ciri dialek Pariaman.
Tradisi ini biasa dipertunjukkan pada pesta perkawinan,

105
Sejarah dan Teori SASTRA

perayaan nagari, pesta pengangkatan penghulu, dan lain-


lain. Cerita yang disampaikan berisi perjuangan untuk
mencapai keberhasilan hidup. Tokoh dalam cerita itu
menghadapi kesulitan dalam mencapai keberhasilan,
kemudian mendapat tanggapan dari penonton.
Makyong. Tradisi ini semula berasal dari Pattani,
Muangthai, namun berkembang ke selatan hingga pesisir
Melayu. Makyong merupakan pertunjukan teater di mana
unsur-unsur drama, tari, musik, mimik, dan lain yang
sebagainya tergabung menjadi satu. Semula, tradisi ini
dipertunjukkan di kalangan atas Istana Kelantan dan Riau
Lingga hingga tahun 1700-an. Fungsinya bukan untuk
menghibur tetapi penghormatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sultan dan istrinya dianggap wakil Tuhan,
maka makyong dianggap persembahan kepada Tuhan.
Dalam perkembangannya, makyong berubah menjadi
pertunjukan desa sebagai hiburan atau upacara
penyembuhan. Kisah yang dimainkan sebagian besar
berasal dari warisan cerita-cerita istana kerajaan Melayu,
biasanya berbentuk prosa tanpa naskah. Makyong antara
lain terdiri atas punakawan (pengasuh) yang mengenakan
topeng, wak petanda (ahli pembintangan atau orang
bijak), serta para pemain yang semua diperankan oleh
kaum perempuan. Salah satu kisah yang paling disukai
dalam tradisi makyong adalah dewa muda.
Wayang Kulit dan Wayang Beber. Tradisi ini
merupakan tradisi lisan yang lakonnya bersumber dari
legenda serta kisah lisan sastra tulis atas tradisi India dan
Jawa. Wayang kulit dan wayang beber bisa ditemukan di

106
Sejarah dan Teori SASTRA

Jawa, Bali, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat. Tradisi


wayang berbentuk teater boneka dengan menggunakan
layar (kelir), gamelan, dan 400-an wayang. Hidup
tidaknya pertunjukan ini ditentukan oleh dalang, karena
dialah yang menguasai pertunjukan.
b) Sejarah Perkembangan Sastra Tulisan
Sejarah sastra tulisan di Indonesia, berdasarkan
periodisasinya, dapat digolongkan menjadi:
(1) Pujangga Lama
(2) Sastra Melayu Lama
(3) Angkatan Balai Pustaka
(4) Pujangga Baru
(5) Angkatan ‘45
(6) Angkatan 66-70-an
(7) Angkatan 80-an
(8) Angkatan 2000-an
Untuk penjelasan ke-delapan poin di atas, dapatlah
di lihat pada bagian berikut ini

B. Sejarah Sastra Berdasarkan Urutan waktu


Secara urutan waktu, maka sejarah sastra Indonesia
terbagi atas 10 angkatan:
(1) Angkatan Pujangga Lama
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian
karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad
ke-20. Pada masa ini, karya-karya sastra lebih didominasi
oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.

107
Sejarah dan Teori SASTRA

Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk


terikat yang mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri
atas 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut
mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2
baris terakhir yang mengandung maksud).
Pantun merupakan sejenis puisi yang terdiri atas 4
baris bersajak ab-ab atau aa-aa. Dua baris pertama
merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam (flora
dan fauna). Dua baris terakhir merupakan isi, yang
merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama
yang terdiri dari dua baris kalimat, dengan irama akhir
yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Baris pertama berisikan semacam soal atau masalah dan
perjanjian. Baris kedua berisikan jawabannya atau akibat
dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.
Misalnya: baik-baik memilih kawan, salah-salah bisa
jadi lawan.
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa,
terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang
kisah, cerita, dongeng, maupun sejarah. Umumnya
mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan
seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta
mukjizat tokoh utama. Beberapa karya sastra pada masa
pujangga lama diantaranya Hikayat Abdullah, Hikayat
Andaken Penurat, dan Hikayat Bayan Budiman.
Pada masa ini, di Indonesia, budaya Melayu klasik
dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar
daerah pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di

108
Sejarah dan Teori SASTRA

Sumatera utara, muncul karya-karya penting berbahasa


Melayu, terutama beberapa karya keagamaan. Hamzah
Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis
utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan
Aceh abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya,
yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin
Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.
Pembagian Karya Sastra Pujangga Lama terdiri dari
beberapa karya sebagai berikut:
 Sejarah Melayu: Sulalatu'l-Salatin.
Artinya adalah Penurunan segala raja-raja, yang
merupakan karya sastra dalam Bahasa Melayu dengan
banyak menggunakan Abjad Jawi. Karya tulis ini memiliki
sekurang-kurangnya 29 versi dan manuskrip yang banyak
tersebar di Inggris (10 di London, 1 di Manchester), di
Belanda (11 di Leiden, 1 di Amsterdam), dan Indonesia (5
diJakarta), dan 1 di Rusia (Leningrad). Sulalatu'l-Salatin
bergaya penulisan seperti babad, di sana-sini terdapat
penggambaran hiperbolik untuk membesarkan raja dan
keluarganya. Naskah ini dianggap penting karena ia
menggambarkan adat-istiadat kerajaan, silsilah raja dan
sejarah Kerajaan Melayu dan boleh dikatakan menyerupai
konsep Sejarah Sahih (Veritable History) Cina, yang
mencatat sejarah dinasti sebelumnya.
 Tuhfat al-Nafis (Bingkisan Berharga)
Tuhfat al-Nafis merupakan sejarah karangan Raja
Ali Haji, yang adalah seorang sastrawan dari Riau dan
pangeran Kesultanan Riau-Lingga keturunan Bugis. Buku

109
Sejarah dan Teori SASTRA

ini ditulis pada tahun 1885 dalam huruf Jawi. Dalam buku
ini dicatat kejadian-kejadian yang berlangsung pada abad
ke-18 dan 19 di berbagai negeri Melayu. Ada 4 (empat)
manuskrip Tuhfat al-Nafis yang diketahui. Naskah yang
disalin pada tahun 1890, selanjutnya diterbitkan pada
tahun 1923, untuk Journal of the Malayan Branch Royal
Asiatic Society, London.
 Hikayat
Beberapa hikayat pada masa angkatan pujangga
lama adalah: Hikayat Abdullah; Hikayat Aceh; Hikayat
Amir Hamzah; Hikayat Andaken Penurat; Hikayat Bayan
Budiman; Hikayat Djahidin; Hikayat Hang Tuah; Hikayat
Iskandar Zulkarnain; Hikayat Kadirun; Hikayat Kalila dan
Damina; Hikayat Masydulhak; Hikayat Pandawa Jaya;
Hikayat Pandja Tanderan; Hikayat Putri Djohar
Manikam; Hikayat Sri Rama; Hikayat Tjendera Hasan;
Tsahibul Hikayat
 Syair
Beberapa syair pada masa angkatan pujangga lama,
adalah sebagai berikut: Syair Bidasari; Syair Hukum
Nikah karya Raja Ali Haji; Syair Ken Tambuhan; Syair Siti
Shianah karya Raja Ali Haji; Syair Sultan Abdul Muluk
karya Raja Ali Haji; Syair Suluh Pegawai karya Raja Ali
Haji; Syair Raja Mambang Jauhari; Syair Raja Siak.
 Gurindam
Gurindam yang paling populer pada masa angkatan
pujangga lama, adalah Dua Belas karya Raja Ali Haji.

110
Sejarah dan Teori SASTRA

 Kitab agama
Beberapa kitab agama masa angkatan pujangga
lama, diantaranya adalah: Syarab al-'Asyiqin yang
artinya: minuman para pecinta, adalah karya Hamzah
Fansuri; Asrar al-'Arifin yang artinya adalah rahasia-
rahasia para Gnostik, karya Hamzah Fansuri; dan Nur ad-
Daqa'iq yang artinya cahaya pada kehalusan-kehalusan,
karya Syamsuddin Pasai; serta Bustan as-Salatin, yang
artinya taman raja-raja, adalah karya Nuruddin ar-Raniri.
(2) Angkatan Sastra Melayu Lama
Sastra melayu lama merupakan suatu karya sastra
Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870–1942, yang
berkembang di lingkungan masyarakat Sumatra seperti
Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah Sumatra lainnya,
Cina dan masyarakat Indo-Eropa.
Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870
masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel
barat. Beberapa contoh karya sastra Melayu lama yaitu
Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo), Bunga Rampai oleh
A.F van Dewall, Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe,
Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan, Kisah Pelayaran
ke Makassar, Syair Java Bank Dirampok, Lo Fen Kui oleh
Gouw Peng Liang, Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen,
Tambahsia, Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo, Nyai
Permana, Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo).
(3) Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra angkatan Balai Pustaka muncul di
Indonesia sejak tahun 1920–1950, yang dipelopori oleh

111
Sejarah dan Teori SASTRA

penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita


pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan
kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam
khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka
didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk
dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra
Melayu rendah yang banyak menyoroti kehidupan
pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis
(liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa
yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa
Sunda dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali,
bahasa Batak dan bahasa Madura. Contoh karya sastra
angkatan Balai Pustaka: Azab dan Sengsara, Seorang
Gadis oleh Merari Siregar, Sengsara Membawa Nikmat
oleh Tulis Sutan Sati, dan Siti Nurbaya oleh Marah Rusli.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja
Angkatan Balai Pustaka" karena banyak karya tulisnya
pada masa ini. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para
pengarang, dapat dikatakan bahwa novel-novel Indonesia
yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera"
dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Pada masa
ini, kedua novel yang berjudul Siti Nurbaya dan Salah
Asuhan, menjadi karya yang cukup penting. Keduanya
menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat, juga
terhadap beberapa tradisi kolot yang membelenggu
kehidupan. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah
yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada
masa itu. Berikut penulis dan hasil karya angkatan ini.

112
Sejarah dan Teori SASTRA

Tabel 2.1. Penulis & Karya


Angkatan Balai Pustaka
Penulis Karya Sastra Balai Pustaka

Merari Siregar Azab dan Sengsara (1920)


Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
Cinta dan Hawa Nafsu
Marah Roesli Siti Nurbaya (1922)
La Hami (1924)
Anak dan Kemenakan (1956)
Muhamad Yamin Tanah Air (1922)
Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
Nur Sutan Iskandar Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923)
Cinta yang Membawa Maut (1926)
Salah Pilih (1928)
Karena Mentua (1932)
Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
Hulubalang Raja (1934)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)

Tulis Sutan Sati Tak Disangka (1923)


Sengsara Membawa Nikmat (1928)
Tak Membalas Guna (1932)
Memutuskan Pertalian (1932)
Djamaluddin Darah Muda (1927)
Adinegoro Asmara Jaya (1928)
Abas Sutan Pertemuan (1927)
Pamuntjak Nan Sati
Abdul Muis Salah Asuhan (1928)
Pertemuan Djodoh (1933)
Aman Datuk Menebus Dosa (1932)
Madjoindo Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)

(4) Angkatan Pujangga Baru


Pujangga Baru, lahir sebagai reaksi atas banyaknya
sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya
tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap
karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan
kesadaran kebangsaan.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, juga
nasionalistik, serta elitis, dan menjadi ―bapak‖ bagi sastra

113
Sejarah dan Teori SASTRA

modern Indonesia. Pada masa ini, terbit pula majalah


―Poedjangga Baroe‖ yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
Karya sastra Indonesia setelah zaman Balai Pustaka
(1930–1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Karya sastra Pujangga Baru diantaranya berjudul: Layar
Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu
oleh Armijn Pane. Makna Pujangga atau Bujangga adalah
pemimpin agama atau ‗pendeta‘. Tetapi, makna pujangga
dalam pujangga baru adalah ‖pencipta‖.
Sastra berjudul Layar Terkembang, menjadi salah
satu novel yang sering di ulas oleh para kritikus sastra
Indonesia. Selain itu, pada periode ini, novel berjudul
Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan juga novel
Kalau Tak Untung, menjadi sebuah karya sastra penting
sebelum perang.
Pada masa ini, terdapat pula dua kelompok besar
sastrawan pujangga baru, yaitu: (1) Kelompok "Seni untuk
Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir
Hamzah; (2) Kelompok "Seni untuk Pembangunan
Masyarakat", dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana,
Armijn Pane dan Rustam Effendi.
(5) Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya
telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ‘45. Karya
sastra angkatan ini lebih realistik dibandingkan karya
Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik.
Misalnya, karya Surat Cinta oleh Enday Rasidin,

114
Sejarah dan Teori SASTRA

Simphoni oleh Subagio Sastrowardojo, dan karya Balada


Orang-orang Tercinta oleh W.S. Rendra.
Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak
bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan
seperti halnya puisi-puisi dari Chairil Anwar. Sastrawan
angkatan '45 memiliki konsep seni yang berjudul "Surat
Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menggambarkan
bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya
sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Selain cerpen berjudul: Tiga Manguak Takdir, pada
periode ini, cerpen berjudul Dari Ave Maria ke Jalan
Lain ke Roma dan Atheis, juga dianggap sebagai karya
pembaharuan prosa Indonesia. Beberapa penulis dan
karya sastra Angkatan 1945, adalah sebagai berikut:
a) Chairil Anwar
 Kerikil Tajam (1949)
 Deru Campur Debu (1949)
b) Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar
 Tiga Menguak Takdir (1950)
c) Idrus
 Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
 Aki (1949)
 Perempuan dan Kebangsaan
d) Achdiat K. Mihardja dengan karya: Atheis (1949)
e) Trisno Sumardjo dengan karyanya berjudul: Kata
hati dan Perbuatan (1952)
f) Utuy Tatang Sontani
 Suling (drama) (1948)
 Tambera (1949)

115
Sejarah dan Teori SASTRA

 Awal dan Mira - drama satu babak (1962)


g) Suman Hs.
 Kasih Ta' Terlarai (1961)
 Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
 Pertjobaan Setia (1940)

(6) Angkatan 1950 - 1960-an


Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah
sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah
karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan
kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun
1956, diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Dalam angkatan ini, muncul pula gerakan komunis
dikalangan para sastrawan sendiri, yaitu yang bergabung
dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dengan
konsep mereka adalah sastra realisme-sosialis. Akhirnya,
terjadi perpecahan dan polemik yang berkepanjangan
diantara kalangan sastrawan Indonesia tepatnya awal
tahun 1960, dan menyebabkan perkembangan dari sastra
Indonesia mulai tersendat dan terjerumus dalam berbagai
politik praktis yang berakhir pada tahun 1965 dengan
pecahnya G30S di Indonesia. Penulis dan Karya Sastra
Angkatan 1950 - 1960-an adalah sebagai berikut ini:
Pramoedya Ananta Toer Toto Sudarto Bachtiar
 Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)  Etsa sajak-sajak (1956)
 Bukan Pasar Malam (1951)  Suara - kumpulan sajak
 Di Tepi Kali Bekasi (1951) 1950-1955 (1958)
 Keluarga Gerilya (1951)
 Mereka yang Dilumpuhkan (1951) Ramadhan K.H
 Perburuan (1950)  Priangan si Jelita (1956)
W.S. Rendra
 Cerita dari Blora (1952)
 Balada Orang-orang
 Gadis Pantai (1962-65) Tercinta (1957)

116
Sejarah dan Teori SASTRA

Nh. Dini  Empat Kumpulan


 Dua Dunia (1950) Sajak (1961)
 Hati jang Damai (1960)  Ia Sudah Bertualang (1963)
Sitor Situmorang Subagio Sastrowardojo
 Dalam Sadjak (1950)  Simphoni (1957)
 Djalan Mutiara: kumpulan tiga Nugroho Notosusanto
sandiwara (1954)  HujanKepagian (1958)
 Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)  Rasa Sajangé (1961)
 Surat Kertas Hidjau: kumpulan  Tiga Kota (1959)
sadjak (1953) Trisnojuwono
 Wadjah Tak Bernama: kumpulan  Angin Laut (1958)
sadjak (1955)  Dimedan Perang (1962)
Mochtar Lubis
 Laki-laki dan Mesiu (1951)
 Tak Ada Esok (1950) Toha Mochtar
 Jalan Tak Ada Ujung (1952)  Pulang (1958)
 Tanah Gersang (1964)  Gugurnya Komandan
 Si Djamal (1964) Gerilya (1962)
Marius Ramis Dayoh  Daerah Tak Bertuan (1963)
 Putra Budiman (1951) Purnawan Tjondronagaro
 Pahlawan Minahasa (1957)  Mendarat Kembali (1962)
Ajip Rosidi Bokor Hutasuhut
 Tahun-tahun Kematian (1955)  Datang Malam (1963)
 Ditengah Keluarga (1956)
 Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)
 Cari Muatan (1959)
 Pertemuan Kembali (1961)
Ali Akbar Navis
 Robohnya Surau Kami - 8 cerita pendek
pilihan (1955)
 Bianglala - kumpulan cerita pendek
(1963)
 Hujan Panas (1964)
 Kemarau (1967)
(7) Angkatan 1966 - 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah
sastra Horison. Banyak karya sastra pada angkatan ini
yang sangat beragam dalam aliran sastranya. Sastrawan
pada akhir angkatan sebelumnya termasuk juga dalam
kelompok ini adalah seperti Motinggo Busye, Purnawan

117
Sejarah dan Teori SASTRA

Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto,


Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono dan
Satyagraha Hurip, Sutardji Calzoum Bachri dan termasuk
Paus Sastra Indonesia yaitu H. B. Jassin.
Seorang sastrawan pada angkatan 50–60-an yang
juga mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan
Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berbentuk
novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian.
Satrawan yang termasuk angkatan ini antara lain:
Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C Noer,
Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Gunawan
Mohammad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu
Widjaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan
lainnya. Karya Sastra Angkatan ‗66 diantaranya Amuk,
Kapak, Laut Belum Pasang, Meditasi, Potret Panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Tergantung Pada
Angin, Dukamu Abadi, Aquarium, Mata Pisau dan
Perahu Kertas.
(8) Angkatan 1980 - 1990-an
Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah
tahun 1980, lebih ditandai dengan banyaknya roman
percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada
masa ini antara lain bernama Marga T. Disamping itu,
karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar
sangat luas, khususnya lagi di berbagai majalah dan
penerbitan umum.
Beberapa dari sastrawan yang terkenal dan dapat
mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain
adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca

118
Sejarah dan Teori SASTRA

Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja,


Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat,
Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini
Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Karya sastra angkatan dasawarsa 80 antara lain
Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru, Sajak Sikat
Gigi, Arjuna Mencari Cinta, Manusia Kamar dan
Karmila. Mira W dan Marga T adalah dua dari sastrawan
wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis
yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya,
tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak
belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih
dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh
utama selalu saja dimatikan untuk menonjolkan rasa
romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an
biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Hal yang tak boleh dilupakan, pada era 80-an ini
juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah
disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat
komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang
dipelopori oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru
dari kemasan yang ngepop inilah, maka diyakini tumbuh
generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca
karya-karya yang lebih ―berat‖.
Ada juga beberapa nama terkenal yang muncul dari
komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dipimpin oleh
Titie Said, mereka adalah: La Rose, Lastri Fardhani, Diah
Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.

119
Sejarah dan Teori SASTRA

Budaya barat dan konflik-konfliknya sebagai tema


utama suatu cerita, terus mempengaruhi sastra Indonesia
sampai tahun 2000. Nurhayati Dini adalah sastrawan
wanita Indonesia lain yang juga menonjol pada dekade
1980-an, yaitu dengan beberapa karyanya seperti: Pada
Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan
Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas
pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya
pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama
biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.

(9) Angkatan Reformasi


Pada masa ini terjadi pergeseran kekuasaan politik
dari Presiden Soeharto ke Habibie, lalu dilanjutkan KH
Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan wakilnya Megawati
Sukarno Putri, sehingga muncullah berbagai macam jenis
wacana yang melatarbelakangi munculnya "Sastrawan
Angkatan Reformasi".
Jadi, lahirnya angkatan reformasi, ditandai dengan
maraknya berbagai karya-karya sastra, puisi, cerpen,
maupun novel, yang lebih bertema sosial-politik, yang
khususnya bertemakan seputar reformasi. Di rubrik
sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan
di buka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak
reformasi. Sehingga hal ini mulai membawa minat
sastrawan-sastrawan untuk membuat karya bertemakan
tentang reformasi.
Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan
buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema
sosial-politik. Sastrawan pada angkatan reformasi juga

120
Sejarah dan Teori SASTRA

banyak merefleksikan keadaan sosial dan politik yang


terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan
jatuhnya masa Orde Baru (Orba).
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun
1998, banyak juga melatarbelakangi kelahiran berbagai
karya sastra—puisi, cerpen, dan novel—pada masa ini.
Bahkan, nama-nama para penyair yang semula jauh dari
tema tentang sosial politik, seperti: Sutardji Calzoum
Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, serta Acep Zamzam
Noer dan Hartono Benny Hidayat dengan media online:
duniasastra(dot)com-nya, juga ikut meramaikan suasana
dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Pada masa ini, ada seorang sastrawan Angkatan
Reformasi yang cukup terkenal, dia adalah Widji Thukul,
yang merupakan sastrawan sekaligus aktivis hak asasi
manusia ini adalah salah satu tokoh yang ikut melawan
penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang
dia tidak diketahui rimbanya (dinyatakan hilang).

(10) Angkatan 2000-an


Sastrawan angkatan 2000 mulai merefleksikan
keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun
90-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses
reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak
sekali melatarbelakangi kisah novel fiksi.
Ayu Utami menjadi terkenal pada periode ini,
dengan karyanya yang fenomenal berjudul ‗Saman‘, yaitu
sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New
York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra
Indonesia setelah hampir 20 tahun tenggelam. Gaya

121
Sejarah dan Teori SASTRA

penulisan Ayu Utami yang lebih terbuka, bahkan vulgar,


itulah yang membuatnya menjadi semakin menonjol dari
pengarang-pengarang yang lain pada masa ini. Novel lain
yang ditulisnya adalah ―Larung‖.

Referensi

Andre Hardjana (1981). Kritik Sastra, Sebuah


Pengantar. Jakarta: Gramedia. p. 1-6
Corti Maria. (1978). An Introduction to Literary
Semiotics. Bloongmington: Indiana University
Press.
Dijk Teun A van, dkk. (1972; 1974). Zur Bestimmung
narrativer Strukturen auf der Grundlage
von Textgrammatiken. Hamburg: Buske
Greimas & Courtes (1979). Semiotics and Language.
Bloongmington: Indiana University Press.
Jassin H.B. (1983). Sastra Indonesia sebagai Warga
Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia.
Kochhar. (2008). Teaching of History. Terjemahan: H
Purwanta dan Yovita Hardiwati. Jakarta: Penerbit
PT Grasindo
Merriam Webster Inc., ed. (1995). Novel. Merriam-
Webster's Encyclopedia of Literature (dalam
bahasa Inggris). Springfield, Massachusetts:
Merriam-Webster. Diakses tanggal 14-07-2016.
Nio, Joe-lan (1966). Sastra Tiongkok Sepintas Lalu.
Jakarta: Gunung Agung.
Notosusanto Nugroho.(1984). Masalah Penelitian
Sejarah Kontemporer.Inti Indayu. Jakarta
Pratt Mary Lousei. (1977). Toward a Speech Act
Theory of Literary Discourse. Bloongmington:
Indiana University Press.
Rene Wellek dan Austin Warren (1993; 2013). Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

122
Sejarah dan Teori SASTRA

Scholes R. (1982). Semiotics and Interpretation.


New Haven: Yale University Press
Simorangkir B & Simanjuntak.(1951;1952). Kesusteraan
Indonesia 1-2. Jakarta:Pembangunan
Todorov, Tzvetan. (1985). Tata Sastra.
Jakarta:Penerbit Jembatan
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2016).
Bahasa Yunani. https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunani/
diakses pada tanggal 2 September 2016, pada pukul
21.19 Wita
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2016).
Sastra Jepang. https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jepang
diakses pada tanggal 3 September 2016, pada pukul
11.11 Wita
Winfried Noth. (2006). Semiotik. Terjemahan: Abdul
Syukur Ibrahim. Surabaya: Airlangga University
Press.

123
Sejarah dan Teori SASTRA

124
Sejarah dan Teori SASTRA

BAGIAN III:
Sastra dalam Teori

1. Hakikat Teori Sastra


Pengkajian ilmu sastra, tidak membedakan sastra lama
dan sastra modern, juga sastra lisan dengan sastra tulis.
Seluruh khazanah karya sastra memiliki kedudukan yang
sama, dan dengan sendirinya dapatlah dianalisis dengan
memanfaatkan konsep teori lama. Teori lama pasti sudah
ditinggalkan, karena itu, dianjurkan untuk menggunakan
istilah ‗teori modern sastra‘, bukan ‗teori sastra modern‘.
Teori lama mungkin akan bangkit kembali, yaitu sesudah
memperoleh cara-cara pandang dan paradigma yang
baru sehingga menjadi teori baru.
Praktik teori sastra menjadi sebuah profesi pada
abad ke-20, tetapi telah banyak memiliki akar sejarahnya
hingga Yunani Kuno, dimana ditandai dengan beberapa
karya seperti karya Aristoteles Poetics yang sering dikutip
India kuno, karya Bharata Muni: Natya Shastra, karya
Romawi Kuno yaitu karya Longinus berjudul: On the
Sublime, serta teori-teori estetika para filsuf filsafat kuno
sejak abad ke-18 dan ke-19 yang berpengaruh penting
pada studi sastra.

125
Sejarah dan Teori SASTRA

Teori dan kritik sastra, terkait erat dengan sejarah


sastra, dan terkenal saat pengertian modern "teori sastra"
pada tahun 1950-an, ketika itu linguistik strukturalis dari
Ferdinand de Saussure, mulai berpengaruh kuat dalam
kajian kritik sastra, khususnya berbahasa Inggris.
Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks
sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam
masyarakat. Dan tugas utama ilmu sastra adalah meneliti
serta merumuskan sastra secara umum dan sistematis.
Sedangkan teori sastra bertugas merumuskan kaidah-
kaidah dan konvensi-konvensi kesusastraan umum (Jan
van Luxemburg dkk, 1986).
Rene Wellek dan Austin (1993:37-46) berpendapat
bahwa, dalam kajian sastra, hal utama adalah menarik
perbedaan antara sastra di satu pihak dengan teori sastra,
kritik sastra, dan sejarah sastra di pihak lainnya. Sastra
adalah suatu kegiatan kreatif. Sedangkan teori sastra,
kritik sastra, dan sejarah sastra, adalah merupakan bagian
dari cabang ilmu sastra.

A. Pengertian Teori Sastra


Secara umum, istilah ―teori‖ adalah suatu sistem
ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan
tentang pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala
yang diamati. Teori berisi konsep atau uraian tentang
hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari
sudut pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi
secara logis sehingga dapat juga dicek kebenarannya

126
Sejarah dan Teori SASTRA

(diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau


gejala-gejala yang diamatinya.
Teori sastra dalam arti yang sempit, adalah suatu
studi sistematis tentang sastra dan metode sastra untuk
menganalisis suatu sastra. Akan tetapi, kata "teori" telah
menjadi istilah umum untuk berbagai pendekatan ilmiah
dalam membaca teks.
Karenanya, maka secara lengkap, teori sastra adalah
studi prinsip, kategori, kriteria, yang dapat diacu dan
dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang kajian sastra.
Sedangkan studi terhadap karya konkret disebut kritik
sastra dan sejarah sastra. Ketiga hal ini sangat berkaitan
erat. Tidak mungkin seorang teoritis dapat menyusun
teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra.
Perbedaan antara teori sastra, kritik sastra dan
sejarah sastra adalah sebagai berikut:
Teori sastra lebih merupakan cabang ilmu sastra
yang khusus untuk mempelajari tentang prinsip-prinsip,
hukum, kategori, kriteria dari kajian karya sastra yang
membedakannya dengan yang bukan sastra.
Kritik sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah
lain yang digunakan oleh para pengkaji sastra ialah istilah
telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian
sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan
kemampuan dalam mengapresiasikan sastra, pengalaman
yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas
karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup
dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya
penguasaan tentang teori sastra.

127
Sejarah dan Teori SASTRA

Sejarah sastra lebih merupakan bagian dari ilmu


sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu
ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra
pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena
sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia
sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar
masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra,
seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan
karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-
gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya,
karakteristik isi dan tematik.
Ruang lingkup sastra (literature) adalah kreativitas
penciptaan, sedangkan untuk ruang lingkup studi sastra
(literary studies) adalah suatu ilmu dengan sastra sebagai
objeknya. Sastra berfokus pada kreativitas, sedangkan
studi sastra berfokus pada ilmu. Pertanggungjawaban
studi sastra adalah logika ilmiah. Karena ruang lingkup
sastra adalah kreativitas penciptaan, maka karya sastra
(puisi, drama, novel, cerpen) adalah sastra.
Dan karena kritik sastra juga merupakan kreativitas
dalam menanggapi karya sastra dan masalah kreativitas
penciptaan lain dalam sastra, maka kritik sastra dalam
bentuk esai tidak lain adalah sastra juga. Kritik sastra
yang benar bukanlah kritik sastra yang asal-asalan saja,
tetapi haruslah ia berlandaskan pada logika yang dapat
dipertanggungjawabkan. Namun persoalan mendasarnya,
apakah dasar kritik sastra hanya akal sehat semata atau
teori sastra tertentu bukan masalah, selama logika dalam
kritik sastra itu memenuhi kriteria logika dalam arti yang

128
Sejarah dan Teori SASTRA

sebenarnya? Logika sebagai sebuah ilmu, sementara itu


adalah metode dan prinsip untuk membedakan antara
pemikiran yang baik (benar) dan pemikiran yang jelek
(tidak benar). Makna sastra dan studi sastra dengan
demikian dapat bertumpang-tindih.

B. Hubungan Teori Sastra, Kritik Sastra,


dan Sejarah Sastra
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara
rinci segala aspek-aspek yang menjadi bagian di dalam
karya sastra. Baik itu konvensi bahasa yang meliputi
makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi
sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar,
dan lainnya, yang membangun keutuhan karya sastra.
Pada sisi yang lain, kritik sastra adalah merupakan
ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi
pertimbangan serta memberikan penilaian tentang
keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra.
Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra
dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan
pertimbangan atas karya sastra, kritikus sastra bekerja
sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang
melingkupi karya sastra.
Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra
dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari
ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari
waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari
pemahaman terhadap budaya bangsa. Kesusastraan dapat
dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang
tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari

129
Sejarah dan Teori SASTRA

proses sejarah. Jadi, teori sastra adalah studi prinsip,


kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah
sastra merupakan studi karya-karya kongkret.
Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu
daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya
sastra yang dapat dihasilkan peneliti sastra yaitu dengan
menunjukkan terjadinya berbagai perbedaan-perbedaan
atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-
periode tertentu. Secara keseluruhan, dalam pengkajian
karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik
sastra terjalin keterkaitan. Jadi dalam studi sastra, perlu
dipahami hubungan antara teori sastra, kritik sastra dan
sejarah sastra. Aristoteles adalah salah satu teoretikus
sastra yang sangat terkenal; sedangkan Sainte-Beuve
adalah kritikus yang fenomenal; dan Frederick A. Pottle
dikenal sebagai sejarawan sastra.
Teori sastra adalah kaidah-kaidah yang diterapkan
pada analisis karya sastra. Kritik sastra adalah penerapan
kaidah-kaidah tertentu dalam analisis karya sastra.
Sejarah sastra adalah sejarah perkembangan sastra. Tiga
cabang ini saling terkait dan semuanya bersumber pada
sastra, khususnya karya sastra sendiri. Memang dalam
perkembangannya, terdapat beberapa kalangan yang
pernah mencoba untuk memisahkan pemahaman dari
teori, kritik, dan sejarah sastra ini. Namun usaha tersebut
tidak dapat berhasil, sebab bagaimana dapat disimpulkan
bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu, sementara
dalam buku teori sastra, sudah termasuk di dalamnya
kritik dan sejarah sastra juga. Jadi, tidak mungkin dapat

130
Sejarah dan Teori SASTRA

disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra,


sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan
kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra.
Teori sastra dapatlah disusun berdasarkan studi
langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis
perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu
pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan
sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu set
rangkaian pertanyaan, serta sistem pemikiran, acuan dan
generalisasi.
Dalam kritik dan sejarah sastra, pernah dilakukan
pula upaya untuk memisahkan keduanya. Berawal dari
beberapa pendapat bahwa sejarah sastra mempunyai
kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai
zaman yang sudah lalu. Sehingga, perlu menelusuri alam
pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari.
Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan
imajinasi, empati dengan masa silam dan selera masa
silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan
dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan, bahwa para
pengarang bermaksud menggambarkan keadaan zaman
yang lampau. Sehingga maksud dari pengarang tersebut
menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu di ulas
lagi dan kritik sastra pun sudah selesai.
Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan
zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang, berarti
pembaca hanya bisa menoleh ke zaman pengarang
tersebut saja, dan tidak melihat ke masa kini. Sementara
zaman lampau sangat berbeda dengan zaman sekarang.

131
Sejarah dan Teori SASTRA

Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi sendiri


yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau
itu. Misalnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh
kritikus sekarang justru akan menghilangkan makna
drama dari tersebut. Jadi, sebaiknya sejarawan sastra bisa
menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman
yang berbeda antara zaman pengarang sastra dan zaman
kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi
dan kritik pada karya untuk memperoleh makna yang
lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting
untuk kritik sastra. Jika seorang kritikus yang tidak peduli
pada hubungan sejarah, tentu penilaiannya akan meleset.
Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan ia
akan cenderung memberikan penilaian sembrono.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik
sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

C. Cabang-Cabang Studi Sastra


Karya sastra adalah (karya) seni. Karena itu, tiga
cabang studi sastra (teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra) bersifat seni pula. Teori sastra adalah teori yang
mengenai karya sastra yang bersifat seni sastra. Kritik
sastra adalah kritik terhadap karya sastra yang bersifat
seni sastra. Sejarah sastra adalah sejarah sastra yang
bersifat seni sastra. Sementara itu, teori sastra kadang-
kadang pula dinamakan critical theory, karena untuk
melakukan kritik sastra dengan menerapkan teori sastra,
seorang dituntut mempunyai kemampuan berpikir kritis.
Studi sastra memiliki lima cabang sastra, yaitu: 1)
Sastra umum. 2) Sastra nasional; 3) Sastra regional; 4)

132
Sejarah dan Teori SASTRA

Sastra dunia; dan 5) Sastra bandingan. Lima pembagian


studi sastra ini mencakup tiga cabang studi sastra, yakni
teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Setiap
macam studi sastra yang lima ini, dapatlah dikaji dengan
teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Dengan kata
lain, bahwa teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra,
dapatlah diterapkan dalam sastra umum, sastra nasional,
sastra regional, sastra dunia, dan sastra bandingan.
(1) Sastra Umum
Sastra pada umumnya, tidak ada kaitannya dengan
bangsa, negara, atau wilayah geografi tertentu. Karena
tidak terkait dengan bagsa, negara, atau wilayah geografi
tertentu, sastra umum berkaitan dengan gerakan-gerakan
internasional, sebagai mana misalnya poetics dan teori
sastra. Poeetics yang digagas Aristoteles dan teori sastra
strukturalisme, misalnya, menyebar ke seluruh dunia dan
diaplikasikan juga di seluruh dunia.
Sastra umum juga dinamakan sastra universal, yaitu
sastra yang nilai-nilainya diterapkan di seluruh dunia.
Karena sastra umum bermakna poetics dan teori sastra,
maka makna teori sastra sudah sangat jelas, yaitu kaidah-
kaidah yang diterapkan dalam karya sastra. Sebagaimana
poetics atau puitika dapat dikatakan sebagai ilmu yang
mengandung dua hal berikut ini:
Pertama. Keberhasilan sastrawan menciptakan
karya sastranya. Sastrawan yang mampu menulis karya
sastra yang baik memiliki kemampuan puitik yang tinggi,
sedangkan yang tidak mampu menulis karya sastra yang
baik, kemampuan puitikanya rendah.

133
Sejarah dan Teori SASTRA

Kedua. Keberhasilan pembaca dalam menghayati


karya sastra. Pembaca yang mampu menghayati karya
sastra dengan baik adalah pembaca yang kemampuan
puitikanya tinggi, dan sebaliknya, yang tidak mampu
menghayati karya sastra yang baik, adalah pembaca yang
kemampuan puitikanya rendah.
(2) Sastra Nasional
Sastra nasional, adalah sastra bangsa atau negara
tertentu, misalnya sastra Indonesia, sastra Arab, sastra
Inggris, sastra Cina, sastra Perancis, dan lain-lain. Tempat
seorang sastrawan dalam konteks sastra nasional pada
umumnya tidak ditentukan oleh bahasa karya sastra sang
sastrawan, tetapi oleh kewarganegaraannya. Misalnya,
sastrawan Singapura yang menulis dalam bahasa Inggris
adalah sastrawan nasional Singapura, dan sastrawan
India yang menulis dalam bahasa Inggris adalah juga
sastrawan India. Sementara sastrawan berkebangsaan
Amerika yang menulis dalam bahasa Yiddish, seperti
Isaac Bashevis Singer, dianggap pula sastrawan Amerika.
(3) Sastra Regional
Sastra regional adalah sastra dari kawasan geofrafi
tertentu yang mencakup beberapa negara, baik yang
menggunakan bahasa yang sama maupun yang memakai
bahasa berbeda, seperti sastra ASEAN (sastra negara-
negara anggota ASEAN), juga sastra nusantara (sastra
berbahasa melayu, Indonesia, Malaysia, Singapura), dan
sastra Arab (yang mencakupi negara-negara di kawasan
teluk dan timur tengah).

134
Sejarah dan Teori SASTRA

(4) Sastra Dunia


Konsep sastra dunia adalah sastra yang reputasi
sastrawannya serta karya-karya mereka dapatlah diakui
secara internasional. Karya sastra dapat dianggap sebagai
karya sastra besar dan diakui secara internasional, ketika
karya sastra itu dituliskan dengan bahasa yang baik, dan
dengan matlamat untuk menaikkan harkat dan derajat
manusia sebagai makhluk mulia. Pemikiran sastra dunia
mempengaruhi sastra bandingan, khususnya pada tahap-
tahap awal. Istilah sastra dunia awalnya dipakai Johann
Wolgang von Goethe (1749-1832), seorang sastrawan dan
pemikir Jerman. Dimana dia sangat menguasai karya-
karya besar sastra dalam bahasa aslinya, khususnya
bahasa Inggris, Perancis dan Italia. Perhatiannya pada
dunia Timur juga sangat besar, antara lain pada dunia
Islam dan Cina.
5) Sastra Bandingan
Sastra bandingan pada awalnya datang dari studi
bandingan ilmu pengetahuan, kemudian diikuti oleh
lahirnya studi bandingan agama. Setelah studi bandingan
agama lahir, lahir pulalah sastra bandingan. Karena itu,
sastra bandingan relatif masih muda, Sebelum abad ke-
19, tak tampak adanya suatu sastra bandingan.
Istilah sastra bandingan pertama kali muncul di
Eropa ketika batas berbagai negara di Eropa mengalami
perubahan yang akhirnya memuncukkan pemikiran
kebudayaan nasional dan sastra nasional. Apalagi, pada
waktu itu perhatian orang-orang Eropa terhadap Amerika
mencapai tahap-tahap yang penting.

135
Sejarah dan Teori SASTRA

Masalah kebudayaan nasional, jati diri bangsa, dan


sastra nasional, juga muncul di negara-negara bekas
jajahan. Untuk memahami diri sendiri, seseorang perlu
menengok ke luar dan membandingkan dirinya dengan
keadaan di luar dirinya. Karena itu, maka tumbuhlah
suatu sastra bandingan yang membandingkan karya-
karya bekas jajahan dengan bekas penjajah dan juga
antara sesama negara yang pernah di jajah.

2. Teori-Teori Sastra
Mengulas segala hal yang terkandung dalam sebuah karya
sastra, pastinya akan turut pula membicarakan tentang
teori sastra yang menjadi pendukung di dalamnya.
Sebagai tonggak utama berdirinya sebuah karya sastra,
jelas kehadiran teori sastra menjadi bagian terpenting di
dalamnya. Dalam karya sastra yang menggunakan bahasa
Inggris, baik sastra Inggris maupun Amerika, masing-
masing menganut teori yang sama dalam menjabarkan
sebuah karya sastra.
Teori sastra sangatlah beragam. Beberapa diantara
teori-teori besar dalam kesusastraan, akan dibahas pada
bagian berikut ini. Diantaranya adalah: A) Teori Sastra
Psikoanalisis; B) Teori Sastra Strukturalisme; C) Teori
Sastra New Criticism; dan D) Teori Sosiologi Sastra.

A. Teori Sastra Psikoanalisis


Secara etimologi, kata psikologi berasal dari dua
kata: psyche yang dalam bahasa yunani berarti “jiwa” dan
kata logos yang diterjemahkan dengan kata “ilmu”. Jadi
Psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa,

136
Sejarah dan Teori SASTRA

baik itu tentang macam-macam gejalanya, prosesnya


maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu
jiwa. Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus
dapat membedakan antara nyawa dan jiwa.
Nyawa merupakan daya jasmaniah yang tergantung
pada hidup jasmani dan menimbulkan badaniah organik
behavior, yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses
belajar. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang
bersifat abstrak, dan menjadi penggerak serta pengatur
perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari
hewan tingkat tinggi, yakni manusia. Sehingga pengertian
psikologi dapat disimpulkan sebagai ilmu pengetahuan
yang khusus mempelajari semua tingkah laku dan
perbuatan individu yang tidak dapat dilepaskan dari
lingkungannya.
Pada awalnya, psikoanalisis adalah sebuah metode
psikoterapi yang dicetuskan oleh Sigmun Freud (1856-
1939) untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental
dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan
asosiasi bebas. Teori ini kemudian berkembang menjadi
sebuah teori tentang kepribadian. Konsep-konsep yang
terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini
termasuk yang paling banyak dipakai di berbagai bidang
hingga saat ini. Diantara berbagai aliran-aliran dalam
psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling akrab
dengan kajian seni.
Sigmund Freud (pendiri psikoanalisis), merupakan
orang yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan
gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran jika

137
Sejarah dan Teori SASTRA

kemudian ia membuat karya sastra sebagai sebuah medan


penelitiannya, yang sekaligus ilustrasi demi untuk dapat
membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam
karya-karya sastra besar, misalnya Oedipus (Sophokles),
Hamlet (Shakespeare) dan karya The Brother Karamazov
(Dostoyevsky), Freud banyak sekali menemukan tipe-tipe
manusia yang sangat menyerupai pemikirannya.
Empat pemahaman mendasar terkait psikoanalisis
dalam sastra adalah: Pemahaman pertama, adalah studi
psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi.
Pemahaman kedua adalah studi proses yang kreatif.
Pemahaman ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum
psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Pemahaman
keempat yaitu mempelajari dampak sastra pada pembaca.
Namun, dari keempat pemahaman ini, yang digunakan
dalam psikoanalisis adalah yang ketiga, karena sangat
berkaitan dalam bidang sastra. Asal usul dan penciptaan
karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya
sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis sastra adalah studi
tentang tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra. Menurut Ratna (2004:350), ―Psikologi
Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan
relevansi dan peranan studi psikologis‖. Artinya bahwa,
psikologi turut berperan penting dalam menganalisis
sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan
karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh,
maupun pembacanya.
Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh,
maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung

138
Sejarah dan Teori SASTRA

dalam karya sastra. Secara umum disimpulkan bahwa


hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga
melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan
―Psikologi Sastra‖. Dalam pemahaman bahwa, dengan
meneliti karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra,
maka secara tidak langsung kita telah membicarakan
psikologi, karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan
dengan nilai kejiwaan yang tersirat dalam karya sastra.
Dengan demikian, definisi dari psikologis satra
adalah kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada
karya sastra, tentang pengarang dan penokohan. Namun
dalam terapannya, psikologis sastra lebih memberikan
pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya sastra. Sehingga perlu dipahami
bahwa, psikologis sastra tidak bermaksud memecahkan
masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia, tapi
memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam
karya sastra.
Walaupun lebih cenderung menyoroti pada tokoh
fiksional dalam penerapannya—dimana dipengaruhi oleh
analisis struktualisme yang beranggapan sudah terjadi
penolakan terhadap objek manusia—maka unsur-unsur
yang lebih berkaitan dengan pengarang dianggap sebagai
kekeliruan biografis—menurut struktualisme, analisis
karya sastra adalah analisis sastra secara otonom, karya
sastra dianggap sebagai entitas yatim piatu.
Dengan ini, jelaslah bahwa, hubungan psikologi dan
sastra sangat erat didalam menganalisis karya sastra.
Namun psikologi sastra lebih mengacu pada sastra bukan

139
Sejarah dan Teori SASTRA

pada psikologi praktis. Pada penerapannya sastra atau


karya sastra-lah yang menentukan teori, bukan teori yang
menentukan sastra. Teori psikoanalisis dapat dipandang
sebagai teknik terapi dan aliran psikologi. Sebagai aliran
psikologi, psikoanalisis berbicara mengenai kepribadian,
khususnya dalam segi strukturnya, dinamikanya, dan
perkembangannya. Dalam psikoanalisis dituntut untuk
dapat mengungkapkan apakah teks sastra, hal-hal yang
menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam teks sastra,
tidak boleh terpaku pada kajian narasi dalam substansi
karakter tokoh saja, melainkan mencermati apakah hal
tersebut berhubungan dengan realitas atau tidak, serta
sejauh mana pengarang mampu menghadirkan unsur-
unsur di atas sebagai fenomena individual, atau sosial.
Sedangkan teori resepsi sastra, berbicara mengenai
teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca sebagai
pemberi tanggapan. Teks sastra diteliti dalam kaitannya
dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca. Teori
resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang
penting peran pembaca dalam memberikan makna teks
sastra. Berbicara tentang resepsi sastra atau cara seorang
pembaca menerima dan memahami teks sastra, dapatlah
merujuk teori Iser yang mengatakan bahwa teks sastra
tidak dapat disamakan dengan objek-objek nyata yang
mengandung makna tertentu. Hal ini disebabkan sifat
karya sastra memiliki banyak tafsir.
a) Konsep Dasar Psikoanalisis Sastra
Menurut Freud (Alwisol, 2010:17), kehidupan jiwa
memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious),

140
Sejarah dan Teori SASTRA

prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious).


Sampai dengan tahun 1920-an, teori tentang konflik
kejiwaan hanya melibatkan ketiga unsur ini. Diantara
ketiga lapisan ini, tak sadar adalah bagian terbesar yang
sangat mempengaruhi setuap perilaku manusia. Freud
menganalogikannya dengan fenomena gunung es di
lautan. Bagian paling atas yang tampak di permukaan laut
mewakili lapisan sadar. Sementara prasadar adalah
bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan.
Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah
laut, mewakili tak sadar.
Jadi, psikoanalisis memusatkan perhatiannya pada
satu konsep yaitu ketidaksadaran. Freud mengatakan
ketidaksadaran sebagai dimensi yang tidak bersuara,
tersembunyi, atau merupakan realitas psikologis. Konsep
ketidaksadaran ini selanjutnya dilanjutkan oleh Jacques
Lacan dengan memtransformasikannya ke dalam bahasa,
terutama dalam hal hasrat dan identitas.
 Tiga Unsur Kepribadian
Selanjutnya pada tahun 1923, Freud mengenalkan
tiga model struktural yang lain, yaitu id (es), ego (ich),
dan superego (ueber Ich). Ketiga struktur baru ini tidak
menggantikan struktur lama, tetapi hanya melengkapi
gambaran mental saja, yang terutama dalam fungsi dan
tujuannya. Freud menegaskan,..
“Psychoanalysis for literary studies were the
enlarged conception of defense, the increased
interest in early, pre-oedipal child development,
and the structural hypothesis of id, ego, and
superego.” (Norman N. Holland, 1999).

141
Sejarah dan Teori SASTRA

Freud berpendapat, teori kepribadian merupakan


suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: id, ego, dan
super ego. Masing-masing dari ketiga unsur ini memiliki
asal, aspek, fungsi, prinsip operasi, dan perlengkapannya
sendiri-sendiri.
Id adalah aspek kepribadian yang dimiliki individu
sejak lahir. Jadi id merupakan faktor pembawaan. Id
merupakan aspek biologis dari kepribadian yang berupa
dorongan-dorongan instintif yang fungsinya untuk
mempertahankan keseimbangan. Misalnya rasa lapar dan
haus mulai muncul jika tubuh membutuhkan makanan
dan minuman. Dengan munculnya rasa lapar dan haus,
individu akan mempertahankan keseimbangan hidupnya
dengan berusaha memperoleh makanan dan minuman.
Id berfungsi atas prinsip kesenangan (pleasure principle),
munculnya dorongan daripada manifestasi id, untuk
membawa individu ke dalam keadaan seimbang. Jika ini
terpenuhi, maka rasa puas atau senang akan diperoleh.
Perlengkapan yang dimiliki id, adalah berupa gerak-gerak
refleks, yaitu gerakan yang bisa terjadi secara spontan,
misalnya aktivitas bernafas untuk memperoleh oksigen
dan kerdipan mata. Selain gerak refleks, id juga memiliki
perlengkapan lainnya berupa proses primer, misalnya
mengatasi lapar dengan membayangkan makanan.
Ego merupakan aspek kepribadian yang diperoleh
sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya.
Menurut Freud, ego merupakan aspek psikologis dari
kepribadian yang fungsinya mengarahkan individu pada
realitas atas dasar prinsip realitas (reality principle).

142
Sejarah dan Teori SASTRA

Misalnya, ketika individu lapar secara realistis hanya


dapat diatasi dengan makan. Dalam hal ini, ego muncul
dengan mempertimbangkan bagaimana cara memperoleh
makanan. Jika kemudian terdapat makanan, apakah
makanan tersebut layak untuk dimakan atau tidak. Ego
dalam berfungsinya melibatkan proses kejiwaan yang
tidak simple dan untuk itu Freud menyebut perlengkapan
untuk berfungsinya ego dengan proses sekunder.
Super Ego adalah merupakan aspek sosiologis dari
kepribadian, yang isinya berupa nilai-nilai atau aturan-
aturan yang sifatnya normatif. Super ego sederhana dapat
diartikan sebagai representasi dari berbagai nilai dan
hukum-hukum satu masyarakat dimana individu tersebut
tinggal atau hidup. Super ego diperoleh seseorang melalui
proses pendidikan, sosialisasi, perintah, dan larangan
ataupun hukuman.
 Naluri (instinct)
Selain ketiga konsep teori kepribadian di atas, Freud
juga mengemukakan tentang naluri (instinct). Naluri
diartikan sebagai manisfestasi dari ketegangan secara
badaniah yang berusaha mencari peredam ketenganan.
Naluri merupakan sifat bawaan manusia.
Naluri dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
naluri ingin hidup (etos) atau naluri ingin mati (thantos).
Kekuatan sumber energi yang menggerakkan naluri
adalah libido. Dalam hal ini, libido merupakan kekuatan
yang mendorong manusia hidup. Freud menegaskan,
energi libido dikembangkan dari tahapan psikobiologis

143
Sejarah dan Teori SASTRA

yang terpola secara genetik. Tahapan-tahapan ini sering


disebut sebagai tahapan psikoseksual, antara lain:
Fase oral (0-1 tahun): Disini anak mendapatkan
kenikmatan dan kepuasan dengan berorientasi pada
mulut. Kontak sosial lebih bersifat fisik seperti menyusui.
Peran sosial dipegang oleh ibu.
Fase anal (1–3 tahun): Pada fase ini kenikmatan
berpusat di daerah anus, seperti saat buang air besar.
Inilah saat untuk mengajarkan disiplin pada anak.
Fase falik (3–5 tahun): Pusat kepuasan fase ini
adalah alat kelamin. Anak mulai tertarik pada perbedaan
anatomis antara laki-laki dan perempuan, dan biasanya
difigurkan oleh ayah dan ibu. Pada anak laki-laki terjadi
Oedipus Kompleks atau gairah seksual.
Peride laten (5–12 tahun): Merupakan masa
tenang dimana anak mulai mengembangkan kemampuan
motorik dan kognitifnya. Anak mulai mencoba menekan
rasa takut dan kecemasannya. Anak mulai mencari fugur
ideal saat ia dewasa, homoseksual alami bisa terlihat pada
masa ini.
Fase genital (> 12 tahun): Tahap kematangan
pada alat reproduksi, pusat kepuasaan berada di daerah
kelamin. Di sini libido mulai diarahkan untuk hubungan
heteroseksual. Dan mulai merasakan cinta ke lawan jenis.
b) Hubungan Psikoanalisis dan Sastra
Hadirnya Freud dalam penelitian psikologi sastra
tidak bisa dibantah lagi. Dia seakan menjadi pusat dari
semua psikologi sastra, karena sampai saat ini, teori yang

144
Sejarah dan Teori SASTRA

paling banyak digunakan dalam pendekatan ataupun


penelitian psikologi adalah teori psikolanalisisnya.
Pondasi teori Freud ini, hakekatnya terletak pada
persoalan keinginan-keinginan yang tertunda atau
dialihkan, sehingga menyebabkan sebuah kecemasan.
Keinginan-keinginan yang diungkapkan tersebut salah
satu wujudnya adalah ―bahasa‖ yang dianggap sebagai
bentuk ketidaksadaran dari sang pemiliknya.
Hubungan antara psikoanalisis dan sastra, dapatlah
diletakkan pada 3 fokus yaitu: (1) Ketidaksadaran dalam
teks yang menjadi wakil dari kepribadian penciptanya,
bukan teks itu sendiri, dari sang pengarang, yang tidak
hanya dihubungkan melalui teks; (2) Hubungan antara
teks dan pembaca; (3) Hubungan antara pengarang dan
keaktivitasnya yang dilambangkan sebagai pemimpin dari
teksnya.
Dalam buku Freud yang berjudul Repression(1915),
dikatakan bahwa pikiran yang tidak sadar mampu
mengungkapkan dirinya dalam bentuk yang lain atau
dalam satu tindakan-tindakan, kata-kata, fantasi-fantasi
mental, dalam mana arti dari keadaan tersebut dapat
diketahui melalui kesadaran ataupun penyaringan dari
jiwa. Dimana dalam bukunya, Freud menuangkan semua
bentuk mimpi, fantasi, mite sebagai bahan dasar dari
ketidaksadaran dalam bentuk bahasa. Sehingga pada titik
ini, psikoanalisis memiliki beberapa ragam pengertian,
diantaranya sebuah praktik psikologi dan sebagai teori.
Itu sebabnya, psikoanalisis berdasarkan pemikiran pada

145
Sejarah dan Teori SASTRA

proses bawah sadar yang membentuk perilaku dan segala


penyimpangan perilaku sebagai akibat proses tak sadar.
Jadi, teori ini lebih berhubungan dengan fungsi dan
perkembangan mental manusia, seperti yang diutarakan
Mario Klare sebagai berikut:
Psychoanalytic literary criticism, a movement which
sometimes deals with the author, but primarily attempts
to illuminate general psychological aspects in a text that
do not necessarily relate to the author exclusively. Under
the influence of Sigmund Freud (1856–1939),
psychoanalytic literary criticism expanded the study of
psychological features beyond the author to cover a
variety of intrinsic textual aspects. For instance,
characters in a text can be analyzed psychologically, as
if they were real people (Mario Klarer, 2004:91).
Apa yang diuraikan oleh Klare di atas, membawa
pemahaman bahwa, tujuan teori psikoanalisis adalah
untuk bekerja menuju pemahaman tentang psikoanalisis
melalui konsep pusat, alam bawah sadar, yang mengakui
dan masuk akal dari ketidaksepakatan yang mengakar
tentang apa prinsip-prinsip dasar yang berada. Kesadaran
adalah bagian kecil dari kehidupan mental. Sedangkan
bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar.
Ketika seorang pengarang menciptakan tokoh, kadang ia
―bermimpi‖ seperti realitas. Semakin jauh lagi, pengarang
sering ―gila‖, sehingga yang diekspresikannya tampak
seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.
Psikologi sastra akan mengungkapkan psikoanalisa
kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan,
yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga sistem kepribadian ini
satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas,

146
Sejarah dan Teori SASTRA

dan tingkah laku manusia yang juga merupakan produk


interaksi ketiganya.
Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang
paling mendasar. Id merupakan acuan penting untuk
memahami mengapa seniman atau sastrawan menjadi
kreatif. Melalui id pula, sastrawan mampu menciptakan
simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang
kemudian dinamakan novel psikologis misalnya, ternyata
karya yang dikerjakan berdasarkan interpretasi psikologis
yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak
untuk kepentingan struktur plot. Id adalah aspek-aspek
kepribadian yang ―gelap‖ dalam bawah sadar manusia,
yang berisikan insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan
agaknya berupa ―energy buta‖.
Dalam perkembangan selanjutnya, tumbuh ego
yang perilakunya lebih didasarkan atas prinsip kenyataan.
Sementara super ego berkembang mengontrol dorongan-
dorongan ―buta‖ id tersebut. Hal ini berarti ego (das ich)
merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai
pengarah individu pada dunia objek dari kenyataan, dan
menjalan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego
adalah kepribadian implementatif, berupa kontak dengan
dunia luar.
Adapun super ego (das ueber ich) adalah sistem
kepribadian yang berisikan nilai-nilai atau aturan yang
bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk).
Jadi, hubungan antara sastra dengan psikoanalisa di
sini adalah sebagai berikut:

147
Sejarah dan Teori SASTRA

Pertama, ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang


tersembunyi manusia yang menyebabkan kehadiran karya
sastra yang mampu menyentuh perasaan seseorang,
karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap
hasrat-hasrat rahasia tersebut.
Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra,
dalam hal ini seseorang dapat menghubungkan elaborasi
karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh
Freud disebut ―pekerjaan mimpi‖. Baginya, mimpi seperti
tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu
yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. Keadaan
orang yang bermimpi adalah seperti penulis yang mampu
menyembunyikan pikiran-pikirannya.
Proses kreativitas penulis menciptakan karyanya,
sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang
mendorongnya menyembunyikan atau memutarbalikkan
hal-hal penting yang ingin dikatakan dan mendorongnya
untuk mengatakan dalam bentuk tak langsung atau telah
di ubah. Jadi karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan
pengarang, dalam gambaran emosi dan pemikirannya.
Psikologi (psikoanalisis) dapat saja mempengaruhi
kejiwaan siapa pun termasuk para tokoh-tokoh sastra.
Psikoanalisis juga sering merangsang ―keadaan jiwa‖
pencipta sehingga muncul ide teks sastra. Bahkan istilah
semacam ini dapat dikatakan sebagai ―genetik‖ kelahiran
sastra (puisi). Untuk menulis puisi yang baik, penyair
harus berada pada keadaan jiwa tertentu. Hal ini berarti
memang benar pernyataan freud yang bahkan penyair
kadang-kadang menjadi seorang ―pelamun‖ yang lari dari

148
Sejarah dan Teori SASTRA

kenyataan hidup. Baginya, kreativitas adalah sebuah


pelarian (escapism). Keadaan serupa yang mengarah pada
studi psikologi sastra terhadap proses kreatif pengarang.
Kepribadian seorang pengarang akan tampak juga
dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra menjadi ―objek‖
ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi
hatinya. Gerakan jiwa dapat menjadi pendorong lahirnya
sebuah karya sastra dan memfokuskan diri pada berbagai
hal menyangkut kejiwaan seorang pengarang sebagai
seorang pribadi.

c) Kegunaan Psikologi Sastra


Psikologi sastra tidak menganalisis kebenaran
psikologis, tapi lebih mempertimbangkan kerelevansian
dan peran studi psikologi. Dengan memusatkan perhatian
pada tokoh, maka dapat dianalisis konflik batin, yang
bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hal tersebut
tentulah tidak begitu saja terlihat dengan kasat mata,
namun dengan meneliti sastra beserta teori psikologis
yang relevan.
Psikologi/psikoanalisis, dapat mengklasifikasikan
pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya.
Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa
bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil
dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra
itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra
sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya
dengan dokumen-dokumen diluar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya
sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif.

149
Sejarah dan Teori SASTRA

Misalnya, kebiasaan seorang pengarang merevisi dan


menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam
psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah,
koreksi, dan seterusnya. Hal ini, berguna karena jika
dipakai dengan tepat, dapat membantu melihat keretakan
(fissure), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang
sangat penting dalam suatu karya sastra.
d) Proses Kreatif Sastra dalam Psikoanalisis
Psikoanalisis dapatlah menyimpulkan proses kreatif
(proses terciptanya) karya sastra ke dalam dua cara, yaitu
sebagai berikut:
 Sublimasi
Konsep sublimasi berhubungan dengan konsep
ketidaksadaran (tafsir mimpi). Sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, bahwa dalam lapisan tak sadar manusia
terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan
kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan
dengan superego maupun norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat. Karenanya, keinginan tidak mungkin
direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak
sopan, jahat, dsb. Tetapi dorongan-dorongan tersebut
tetap harus dipuaskan.
Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat,
dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk
lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk
karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses
pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat
diterima masyarakat inilah yang disebutkan sublimasi.

150
Sejarah dan Teori SASTRA

Jadi sublimasi dapat menjadi akar kebudayaan manusia.


Dalam sublimasi, juga terkandung kreativitas atau
kemampuan menghasilkan suatu yang baru. Puisi, novel,
lukisan, teori keilmuan, olah raga, pembuatan peralatan
teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk
lain dari dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.
 Asosiasi
Disamping teknik tafsir mimpi, teknik terapi yang
juga dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah
asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah
pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang
masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis,
tanpa menghiraukan betapa hal ini akan menyakitkan
hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya
pasien berada dalam posisi berbaring santai di atas
ranjang, dan terapis duduk di sampingnya.
Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan
hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien
agak sulit mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu
merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan
mengucapkan kata-kata tertentu. Asosiasi bebas, atau
―asosiasi‖ saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang
lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang
untuk memeroleh ilham.
Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang
menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja
yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis,
barulah ia kemudian memeriksa tulisannya dan mengedit,
menambah atau mengurangi, dan menentukan sentuhan

151
Sejarah dan Teori SASTRA

akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang


mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya,
khususnya kejadian masa anak-anak, atau memunculkan
kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar.
Itulah dorongan id yang sedang dipanggil kembali.
Pada sebagian pengarang, asosiasi dapatlah dibantu
pemunculannya dengan melakukan ―ritual‖ tertentu, atau
memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas
bagi pengarang, sehingga ide atau ilhamnya dengan
mudah mengalir. Dalam hal ini, Wellek & Warren (2013)
memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan aneh
para pengarang: Schiller suka menaruh apel busuk di
atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai
baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis
sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di
negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis
dengan menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di
Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tidak
tentu arah tujuan, sekadar menikmati pemandangan
yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih
terinspirasi jika menulis di malam hari, ada juga yang
lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang
hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang suka
menulis di tempat ramai seperti di kafe. Semuanya
bergantung kebiasaan pengarang yang bersangkutan.
Itulah diantaranya konsep-konsep psikoanalisis
yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan
teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide
karya seni adalah id yang berada dalam ketidaksadaran

152
Sejarah dan Teori SASTRA

kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses


munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi
dan asosiasi.
e) Teori Resepsi Sastra
Teori resepsi sastra berasal dari bahasa latin, yaitu
recipere yang berarti menerima atau penikmatan karya
sastra oleh pembaca. Teori Resepsi sastra merupakan
suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca
dalam memberikan makna teks sastra. Namun dalam
penerapannya, pendekatan penelitian dari teori resepsi
sastra tidak berpusat pada teks. Resepsi sastra meneliti
teks sastra dalam kaitan tertentu saja. Teks sastra diteliti
dalam kaitannya dengan suatu pengaruh, yakni
keberterimaan pembaca.
Teori Resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang
memandang penting peran pembaca dalam memberikan
makna teks sastra. Hubungan sastra dengan pembaca
mengandung implikasi estetik. Implikasi tersebut terletak
pada kenyataan bahwa resepsi pembaca pada suatu karya,
telah dibekali karya-karya yang telah dibaca sebelumnya.
Dengan demikian, teks sastra akan menjadi objek estetik
setelah dibaca atau dikonkretisasi pembaca.
Dalam proses konkritisasi, peran pembaca adalah
merupakan faktor penting dalam menjadikan teks sastra
sebagai objek estetik. Pembaca dalam menghadapi karya
sastra, telah banyak membawa sejumlah bekal yang
berupa pengetahuan dan pengalaman. Bekal pembaca
itulah yang menentukan dan selanjutnya mengarahkan

153
Sejarah dan Teori SASTRA

pembacaannya. Dalam istilahnya, bekal pengetahuan itu


membangun harapan pembaca dalam menghadapi karya.
Dalam proses pembacaan, harapan senantiasa
dikecewakan dengan munculnya inovasi-inovasi yang
dilakukan oleh pengarang sehingga timbul ketegangan
antara harapan dan inovasi pada pembaca. Dengan
demikian, pembaca yang menanggapi suatu karya sastra
merupakan faktor penting dalam mewujudkan karya
sastra menjadi objek estetik.
Tanggapan terhadap suatu karya sastra dari seorang
pembaca ke pembaca, dari periode ke periode, selalu
berbeda-beda yang disebabkan oleh harapannya. Harapan
yang berbeda-beda antara seorang pembaca dengan
pembaca lain, antara periode ke periode itu, ditentukan
tiga kriteria. Tiga kriteria ini adalah: pertama, norma-
norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca
oleh pembaca; kedua, pengalaman dan pengetahuan
pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
ketiga, pertentangan antara fiksi dengan kenyataan, yaitu
kemampuan pembaca untuk memahami teks baru, baik
dari harapan-harapan sastra maupun yang bersumber
pengetahuan pembaca tentang kehidupan.
Berbicara tentang resepsi sastra atau cara seorang
pembaca menerima dan memahami teks sastra, dapatlah
merujuk pada teori Iser, yang menandaskan bahwa teks
sastra tidak dapat disamakan dengan objek-objek nyata
yang mengandung makna tertentu. Sebuah teks sastra
dapat didefinisikan sebagai wilayah indeterminasi atau
wilayah ketidakpastian.

154
Sejarah dan Teori SASTRA

Wilayah ketidakpastian lebih merupakan ―bagian-


bagian yang kosong‖ atau ―tempat-tempat terbuka‖ yang
―mengharuskan‖ pembaca mengisinya. Hal ini disebabkan
oleh sifat karya sastra yang mempunyai banyak tafsir.
Dalam mengisi ―tempat-tempat kosong‖ yang ada dalam
karya sastra, pembaca pada hakikatnya masuk dalam
suasana berdialog dan berkomunikasi dengan teks sastra.
Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks
dan pembaca haruslah berinteraksi.
Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau
melalui teks, berperan memberi arahan kepada pembaca
yang diangkat dari repertoire (bekal atau bahan yang
berupa pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan
strateginya) sehingga lahirlah realisasi teks. Realisasi teks
berupa resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-
beda dari para pembaca karena mereka telah dibekali oleh
pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pula.
Pembaca sebagai pengungkap makna sebuah karya
sastra, sebenarnya, bukanlah merupakan faktor yang
mantap-stabil karena yang disebut pembaca adalah faktor
yang variabelnya sesuai dengan masa, tempat, dan
keadaan sosio budaya yang melatari pembaca.
Karenanya, terdapat kemungkinan satu karya sastra
memperoleh makna bermacam-macam dari berbagai
kelompok pembaca. Ini menunjukkan adanya struktur
teks sastra yang dinamis, dimana makna karya sastra
akan selalu diperkaya dan dapat lebih terungkap, serta
nilai sastranya pun dapat ditentukan lebih baik.

155
Sejarah dan Teori SASTRA

Faktor pembaca dalam poros komunikasi mendapat


pengertian bermacam-macam. Salah satu diantaranya
yang sering dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian
adalah pembaca nyata. Pembaca ini merupakan pembaca
dalam arti fisik, yaitu manusia yang melaksanakan
tindakan pembacaan. Pembaca dalam kelompok ini
meliputi pembaca peneliti dan pembaca umum. Pembaca
peneliti dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan
terhadap sebuah teks sastra seperti yang dipahaminya
dan berdiri di dalam proses pembacaan.
Sementara itu, pembaca umum dalam resepsinya
berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra
dan berdiri di luar proses pembacaan. Tanggapan dari
pembacaannya diteliti melalui penelitian eksperimental.
Dalam penelitian, pembacanya adalah pembaca peneliti.
Harapan dari seorang pembaca ke pembaca dan dari
periode ke periode, akan selalu berbeda-beda. Hal itu
ditentukan norma-norma yang terpaparkan dari teks-teks
yang telah dibaca oleh pembaca dan pengalaman serta
pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca
sebelumnya.
Resepsi sastra sebagai cabang penelitian sastra yang
fokus pada proses hubungan teks dan pembaca, sebagian
besarnya diarahkan pada fase interpretatif dalam proses
pembacaan. Proses ini berkaitan erat dengan evaluasi,
yaitu ketika pembaca memberikan value judgement pada
suatu teks tertentu.
Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan dalam
resepsi sastra, adalah menyangkut tiga hal berikut:

156
Sejarah dan Teori SASTRA

Pertama, memperhatikan nilai informasi suatu teks,


yakni seberapa jauh sebuah teks membawa informasi
pada pembaca, bergantung pada pengetahuan pembaca
menguasai kode-kode yang dipakai dalam teks itu.
Misalnya, ketika membaca karya sastra Ayat-ayat Cinta,
harus memahami kode-kode keagamaan. Hal ini penting
untuk meresepsi teks sastra tersebut.
Kedua, mencermati bahwa seringkali ada terdapat
kode sastra yang ditempatkan di atas kode linguistik.
Kode sastra ini biasanya memiliki ciri konotatif sehingga
memungkinkan kelahiran pesan lebih dari satu.
Ketiga, kaitannya dengan penelitian teks sastra
yang berkonteks pembaca dan dapat memanfaatkan
paradigma sosial budaya.

B. Teori Sastra Strukturalisme


Semua teori sastra sejak masa Aristoteles, telah
menekankan pentingnya pemahaman struktur dalam
analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi, istilah kritik
strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik
kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada
teori linguistik modern.
Termasuk dalam kelompok ini beberapa teoritisi
formalis Rusia seperti Roman Jakobson, tetapi umumnya
strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di
Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis
yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams,
1981:188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik,
yang berpandangan karya sastra adalah tiruan kenyataan,
teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama

157
Sejarah dan Teori SASTRA

sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan


menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai
media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
a) Dasar Strukturalisme Sastra Seasure
Teori strukturalisme berlatar-belakang sejarah
evolusi yang cukup panjang dan berkembang dinamis.
Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan
istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan.
Tetapi akhirnya, semua perbedaan dari pemikiran
strukturalisme ini dapatlah dipersatukan dengan adanya
pembaruan ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de
Saussure. Walaupun ada perbedaan antara pemikir-
pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah
bahwa mereka memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-
prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985:379-381).
Ferdinand de Saussure meletakkan dasar linguistik
modern melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab
Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah
adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk,
tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara
parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara
sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas
dan jelas ini, ilmu bahasa dimungkinkan berkembang
menjadi ilmu yang otonom, dimana fenomena bahasa
dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan diri
atas apa pun yang letaknya di luar bahasa.
Saussure membawa perputaran perspektif radikal
dari pendekatan diakronik kepada pendekatan sinkronik.
Sistem metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah

158
Sejarah dan Teori SASTRA

dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima


secara laus. Keberhasilan studi linguistik ini kemudian
diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi,
filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
Pengaruh teori strukturalisme bahasa terhadap teori
sastra terutama dikembangkan oleh sastrawan dunia yang
menamakan dirinya sebagai ―Lingkaran Praha‖. Mula-
mula Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembar
artefakta-objek-estetik. Sastra dalam hal ini dianggap
sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra
dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks
luas, yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.
Sklovsky juga muncul dan mengusung konsep otomatisasi
dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman
Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar
anggapannya adalah, bahwa bahasa sastra sering kali
memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-
hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun
sering kali menghadirkan berbagai macam pola yang
menyimpang dan tidak biasa. Tugas peneliti sastra adalah
mengembalikan pola yang menyimpang ini kembali pada
bentuk yang dapat dikenal oleh pembaca. Penyimpangan
bahasa ini hanya dapat diamati secara struktural, yakni
dalam jaringan relasi oposisi.
Selain itu, peneliti sastra mengamati pula evolusi
literer dalam suatu lingkungan tradisi tertentu untuk
melihat adanya penyimpangan-penyimpangan norma-
norma sastra yang memunculkan fungsi estetik yang baru.

159
Sejarah dan Teori SASTRA

Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori


pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan
keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-
unsur teks yang berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-
unsur itu hanya bisa memperoleh artinya di dalam relasi,
baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi
yang dipelajari ini akan berkaitan dengan mikroteks (kata,
kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun
intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu).
Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun
kontras dan parodi (Hartoko, 1986:135-136).
Strukturalisme Perancis, diwakili Roland Barthes
dan Julia Kristeva, mengambangkan seni penafsiran
struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra.
Melalui kode bahasa, diungkapkan kode-kode retorika
dan psikoanalitis serta sosiokultural. Karya sastra harus
dipandang secara otonom. Puisi khususnya, dan sastra
umumnya, harus diteliti secara objektif (intrinsiknya).
Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya
yang khas mengandung efek-efek estetik.
Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral,
sosiokultural, psikologi, dan agama, tidaklah indah pada
dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara
tertentu melalui sarana bahasa puitik. Strukturalisme
sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah
bagi teori sastra, sebagaimana dituntut oleh disiplin-
disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu, objek penelitiannya
dengan mengidentifikasi karya sastra sebagai suatu benda
seni yang indah karena penggunaan bahasanya yang

160
Sejarah dan Teori SASTRA

khusus. Objek studi teori strukturalisme ditempatkan


pada suatu sistem atau susunan relasi yang memudahkan
pengaturannya. Dengan sistem ini kita menghimpun dan
menemukan hubungan-hubungan yang ada dalam realitas
yang diamati (Bakker, 1992:14).
Sistematikanya berfungsi meletakkan aksentuasi
cara penanganan objek kajiannya. Dengan demikian, teori
strukturalisme memperkenalkan metode pemahaman
karya sastra dengan langkah-langkah sistematis. Karena
teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra
sebagai benda seni (artefak), maka relasi-relasi struktural
dari sebuah karya sastra, hanya bisa dipahami dalam
keseluruhan relasi unsur-unsur artefak itu sendiri.
Jika dicermati, teks sastra terdiri atas beberapa
komponen-komponen seperti ide, tema, amanat, latar,
watak, perwatakan, insiden, alur, plot, dan gaya bahasa.
Komponen-komponen ini memiliki perbedaan aksentuasi
pada berbagai teks sastra. Pada titik ini, strukturalisme
sastra muncul dan memberikan keluasan kepada peneliti
sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana
yang akan mendapat prioritas signifikasi. Keluasan ini
tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen itu tersurat
dalam teks itu sendiri.
Jadi, teks sastra berfungsi mengontrol objektivitas
dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini
menempatkan teori strukturalisme sastra berkembang
dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan luas.
Teori strukturalisme sastra juga dipandang sebagai teori
yang ilmiah, mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah.

161
Sejarah dan Teori SASTRA

Ketiga ciri itu adalah: Pertama. Sebagai suatu aktivitas


yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra
mengarah pada tujuan yang jelas yakni eksplikasi
tekstual. Kedua. Sebagai metode ilmiah, teori ini
memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah
yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, melalui
pengkajian ergosentrik. Ketiga. Sebagai pengetahuan,
teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami
secara umum dan luas serta dapat dibuktikan kebenaran
cara kerjanya secara cermat.
Teori strukturalisme yang hanya menekan otonomi
dan prinsip objektivitas dalam struktur karya sastra,
memiliki beberapa kelemahan pokok, yaitu: Pertama.
Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya
sehingga sastra kehilangan relevansi sosialnya, tercabut
dari sejarah dan terpisah dari masalah manusia. Kedua.
Karya sastra tidak dapat diteliti dalam konvensi-konvensi
kesusastraan sehingga pemahaman kita mengenai genre
dan sitem sastra sangat terbatas.
b) Cara Kerja Strukturalisme Sastra
Adapun cara kerja teori strukturalisme sastra ini,
dapatlah digambarkan sebagai berikut.
Pertama. Strukturalisme mengamati lebih dari
satu objek, dengan tujuan membedah apa yang ada di
balik kesamaan struktur dalam dua objek atau lebih.
Kedua. Strukturalisme menyadari, pada dua objek
atau lebih itu ternyata tidak hanya terdapat kesamaan
atau kemiripan, namun juga ada ketidaksamaan dan
bahwa kutub-kutub yang berlawanan.

162
Sejarah dan Teori SASTRA

Ketiga. Terlepas dari terdapatnya kesamaan atau


ketidaksamaan, teks sastra ternyata diikat oleh hukum
simetri, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh
Northrop Frye dalam The Fearful Symmetry.
Keempat. Ketidaksamaan dan kutub-kutub yang
berlawanan inilah yang akan memunculkan kesadaran
adanya oposisi biner dalam kehidupan: siang-malam,
kanan-kiri, bawah-atas, kuat-lemah, laki-perempuan,
jahat, baik, dan lain-lain.
Kelima. Kesamaan, ketidaksamaan, dan oposisi
biner ternyata tidak selamanya hadir dalam dua objek
atau lebih, namun pada hakikatnya hadir dalam satu
objek, sebab suatu objek pun diikat oleh hukum simetri.
Keenam. Oposisi biner akan tampak manakala
seseorang mendekonstruksi objek tersebut. Dekonstruksi
khususnya yang dilakukan oleh Derrida, merupakan
bagian penting dalam pascastrukturalisme.
Ketujuh. Untuk melihat struktur luaran dengan
insting strukturalis, seseorang berusaha untuk mendedah
struktur dalaman objeknya. Dalam mitologi dan sastra,
struktur luaran dapat muncul dalam bentuk plot yang
digerakkan oleh tindakan-tindakan tokoh-tokoh dalam
teks sastra. Misalnya pergi, berbicara, menjalani ujian,
dan sebagainya, dalam bagan dua cerita rakyat Indian
Amerika adalah contoh-contoh tindakan tokoh-tokoh
dalam dua cerita rakyat itu.
c) Strukturalisme dan Eksistensialisme
Meskipun eksistensialisme tidaklah berhubungan
langsung dengan strukturalisme, namun eksistensialisme

163
Sejarah dan Teori SASTRA

menjadi salah satu pemicu lahirnya dasar strukturalisme.


Eksistensialisme sebagaimana yang di bawa Jean Paul
Sartre (Perancis), Albert Camus (Perancis), dan Martin
Heidegger (Jerman) yang adalah para filsuf, namun dapat
juga muncul dalam bentuk sastra. Kecuali menjadi filsuf,
Jean Paul Sartre, misalnya adalah novelis, penulis drama
dan esais. Albert Camus, juga menulis novel. Diantara
Sartre, Camus, dan Heidegger, hanya Heidegger yang
tidak menulis sastra.
Eksistensialisme sebetulnya sudah ada pada abad
ke-19, sebagaimana yang pernah dibawakan oleh Soren
Kierkegaard dan Karl Jaspers. Dan pada abad ke-19,
eksistensialisme di anut oleh mereka yang percaya Tuhan,
dan oleh karena itu, eksistensialisme abad ke-19 adalah
golongan teistik. Eksistensialisme abad ke-20, sebaliknya,
dibawa oleh orang-orang yang tidak percaya Tuhan, dan
karena itu ateistik.
Dalam Perang Dunia II, sebagaimana yang dapat
diketahui dari sejarah, Jerman memperoleh kemenangan
di berbagai medan perang baik di Eropa maupun Afrika.
Bangsa negara-negara yang di serbu Jerman berdoa agar
Jerman cepat dikalahkan dan perang cepat usai. Namun,
perang justru berkelanjutan, dan Jerman terus mendapat
kemenangan yang gemilang. Kenyataan bahwa perang
terus berkelanjutan dan Jerman terus menang inilah yang
memicu Sartre dan Camus untuk meragukan keberadaan
Tuhan. Akhirnya, inilah salah satu awal yang memicu
keyakinan Sartre dan Camus untuk menjadi ateis.

164
Sejarah dan Teori SASTRA

Karena Tuhan turun tangan, maka tanggung jawab


untuk memerangi Jerman terletak pada tangan manusia
sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Demikianlah, akhirnya
Sartre memutuskan terjun dalam pasukan bawah tanah
untuk melawan Jerman. Dengan keyakinan yang sama,
Camus menggabungkan diri.
Menurut eksistensialisme di abad ke-21, manusia
dilahirkan bagaikan dilemparkan begitu saja ke dalam
dunia. Seseorang yang telah terlanjur dilemparkan ke
dunia adalah tanggung jawab dia sendiri. Dia memiliki
pilihan untuk menjadi apa pun. Setelah dia mengambil
pilihan dia sendiri, maka tanggung jawab seluruhnya
terletak di tangannya sendiri bukan orang lain, bukan
juga pada Tuhan, sebab Tuhan tidak ada. Dalam interaksi
dengan orang lain pun, masing-masing orang memiliki
pilihan sendiri, dan akibat pilihannya itu dia memikul
tanggung jawab atas pilihannya itu.
Sementara itu, siapapun juga tidak mungkin hidup
sendiri, dan karena itu harus berinteraksi dengan orang-
orang lain dan dengan pihak-pihak lain. Dalam interaksi
pasti akan timbul masalah, dan masalah pasti akan
menimbulkan pilihan: yakni memilih ini atau memilih itu.
Akhirnya semua merupakan tanggung jawab diri sendiri,
maka tanggung jawab ini dapat menimbulkan rasa takut,
atau dalam bahasa eksistensialisme disebut angst.
Seseorang, misalnya, bebas untuk menjadi serdadu
atau untuk tidak menjadi serdadu. Kalau sudah menjadi
serdadu, dia bebas untuk melakukan desersi atau tetap
menjalankan perintah-perintah komandannya. Dan kalau

165
Sejarah dan Teori SASTRA

dia melakukan desersi maka keputusan untuk melakukan


desersi adalah tanggung jawabnya sendiri, bukan pada
keadaan lain yang menyebabkan dia memutuskan untuk
melakukan disersi. Maka bila dia tertangkap kemudian
dihukum berat, hukuman itu merupakan sebuah akibat
dari pilihannya dia sendiri. Begitu pula, seandainya dia
tidak melakukan disersi, tapi justru terus melaksanakan
perintah-perintah komandonya, kemudian dia di tembak
musuh pada waktu melaksanakan perintah atasannya,
kematiannya juga merupakan tanggung jawab dia sendiri,
bukan tanggung jawab komandonya.
Setiap pilihan mempunyai konsekuensi. Karena
setiap konsekuensi dapat mendatangkan petaka, maka
kehidupan ini penuh dengan angst atau ketakutan. Inilah
intisari filsafat eksistensialisme ateis abad ke-20, dan ini
pula yang mewarnai novel dan drama Sartre dan Camus.
Semua tokoh dalam karya sastra mereka adalah ateis,
semuanya menentukan pilihannya sendiri, menanggung
risiko dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, dan
semuanya tidak percaya Tuhan.
Simpul-simpul eksistensialisme tampak juga dalam
sastra Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam novel
Mochtas Lubis: Jalan Tak Ada Ujung. Ada kisah segi tiga
dalam novel ini, yaitu Guru Isa, istri Guru Isa, Fatimah,
dan Hazil. Guru Isa adalah seseorang yang sangat lembut
dan penakut, namun sekonyong-konyong terlempar ke
dalam kancah perjuangan. Hazil, seorang laki-laki gagah
berani, karena pilihannya sendiri menjadi pejuang bawah
tanah. Fatimah tampak alim dan setia pada suaminya,

166
Sejarah dan Teori SASTRA

namun berhidung belang. Dia mempermainkan suaminya


dengan jalan bermain api di tampat tidur suaminya, dan
saking asyiknya, pipa hungcai Hazil tertinggal di bawah
bantal. Keberadaan tiga orang ini diikat oleh suatu ―ikatan
eksistensialistis‖. Guru Isa ada atau eksis, karena Fatimah
ada, Fatimah ada, karena Guru Isa ada, dan mereka ada
karena Hazil ada, dan Hazil ada karena mereka ada.
Karena sudah terlanjur terlempar dalam hubungan
eksistensialitis, masing-masing mereka punya kebebasan
untuk memilih, yang mana masing-masing pula harus
menanggung akibat pilihannya sendiri. Guru Isa bebas
untuk tidak terlibat perjuangan. Namun, karena ajakan
Hazil, dia pun terlibat perjuangan. Ketika dia ditangkap
musuh dan disiksa, yang bertanggung jawab bukan Hazil,
namun dia sendiri. Hazil juga bebas untuk berjuang atau
tidak berjuang dan mempengaruhi Guru Isa atau tidak.
Dia memutuskan menjadi pejuang dan ketika ditangkap
dan disiksa, dia harus mempertanggungjawabkannya
sendiri. Sebuah ironi, berwujud angst kemudian terjadi.
Guru Isa terlibat dalam perjuangan dalam keadaan
takut dan tertekan. Hazil, sebaliknya, ia terlibat dalam
perjuangan karena yakin bahwa dia gagah berani. Setelah
ditangkap dan disiksa, Guru Isa kehilangan tasa takut dan
kehilangan rasa tertekan, sedangkan hazil tiba-tiba
dikuasai rasa takut yang luar biasa hebat. Hubungan
antara Guru Isa, Fatimah, dan Hazil adalah hubungan
yang absurd. Mereka berjumpa karena kebetulan, karena
tahu-tahu mereka sudah terlempar dalam satu kancah.
Kebetulan ini melahirkan kebebasan: Guru Isa bebas

167
Sejarah dan Teori SASTRA

untuk membiarkan dirinya terseret ke dalam perjuangan,


Fatimah bebas untuk bermain-main dengan Hazil atau
tidak, dan Hazil juga bebas untuk memutuskan hubungan
dengan mereka dan juga untuk tidak menjadi pejuang.
Karena mereka memilih untuk bersatu dan berasa dalam
satu kancah, akhirnya segala sesuatunya menjadi absurd.
Makna dari ‗absurd‘ bisa bermacam-macam, namun
makna pokok absurd dalam filsafat absurdisme adalah
kesia-kesiaan dan ketidakbermaknaan. Hidup adalah sia-
sia, hidup adalah tanpa makna. Absurditas sebagai sebuah
titik pemikiran eksistensialisme kemudian dikembangkan
Albert Camus menjadi sebuah filsafat tersendiri. Maka,
muncullah filsafat absurdisme, yang tidak lain merupakan
pengembangan titik pemikiran eksistensialisme.
Pemikiran Sartre mengenai kebebasan absurditas
menjadi landasan kuat filsafat abdurdisme. Tokoh-tokoh
dalam karya sastra Camus mempunyai kebebasan untuk
memilih apa pun sesuai dengan pilihannya sendiri dan
bertanggung jawab atas pilihannya itu sendiri. Mereka
menganggap hidup sia-sia dan tanpa makna. Kalau ada
apa-apa, mereka menggantungkan diri pada diri mereka
sendiri, dan bukan kepada Tuhan. Sebab bagi mereka
Tuhan tidak ada.
Penerapan filsafat absurdisme tampak dalam semua
karya Camus, antara lain dalam novel Orang Asing.
Mersault, protagonis novel ini, bebas untuk membunuh
atau tidak membunuh. Karena dia membunuh, dia tidak
berkeberatan untuk di adili dan dihukum mati. Pendeta
berkali-kali datang menemuinya untuk mohon ampun

168
Sejarah dan Teori SASTRA

kepada Tuhan, tetapi dia tidak mau karena bagi dia Tuhan
tidak ada. Dia menjalani hukuman mati dengan tenang
karena kalau pun dia tetap hidup, bagi dia hidup hanyalah
absurditas, sia-sia, dan tanpa makna.
Gagasan pokok absurdisme dapat dilihat dalam esai
Camus: ―mitos Sisipus‖. Berdasarkan kisah Sisipus dalam
mitologi Yunani Kuno. Sisipus telah menolong manusia,
dan karena itu sebagaimana juga halnya Promotheus, dia
dihukum untuk selama-lamanya. Hukumannya, dia harus
mendorong batu besar ke puncak bukit dan setelah batu
besar itu mencapai bukit, dia harus turun lagi ke bawah
dan mendorong lagi batu itu ke puncak bukit, dan
demikianlah seterusnya. Pada saat mendorong batu ke
atas, Sisipus menampakkan wajah yang capai dan sedih,
namun sekaligus terpancar pula kebahagiaan. Setelah
mencapai puncak bukit dan menggelindingkan batu itu ke
bawah lagi, dan dia tampak sedih serta merasakan bahwa
kehidupannya terasa kosong.
Itulah ibarat kehidupan manusia. Bahwa manusia
bekerja bersusah payah dan sedih karena pekerjaannya
berat, namun kalau dia menganggur atau tidak berbuat
apa-apa lagi, bagaikan Sisipus sudah sampai pada puncak
bukit dan menggelindingkan batu ke bawah, manusia
akan merasa sedih karena hidupnya kosong.
Kehidupan dalam alam realitas ini sebetulnya
merupakan pengulangan-pengulangan sebagaimana yang
dilakukan oleh Sisipus: mendorong batu ke puncak,
menggelindingkan batu ke bawah, mendorong kembali
batu yang sama ke atas, demikian seterusnya.

169
Sejarah dan Teori SASTRA

Manusia pun demikian: setiap pagi berangkat kerja,


sore pulang, dan begitu seterusnya. Dalam berjalan pun
manusia melangkah dengan kaki kiri, ganti kaki kanan, da
pada waktu bernapas pun manusia menarik napas,
mengeluarkan napas, menarik napas lagi, dan seterusnya
demikian. Jika manusia harus mengulang-ulang begitu
terus dan akhirnya harus mati, maka sebetulnya hidup ini
absurd, sia-sia tanpa makna. Namun, apa pun yang
terjadi, manusia tidak dapat mengelakkan untuk hidup
karena manusia terlanjur sudah dilemparkan ke dunia.
Karena sudah terlanjur dilemparkan ke dunia dan karena
itu terlanjur ada, maka manusia harus menentukan
pilihannya sendiri, bertanggung jawab atas pilihannya
sendiri, dan tidak perlu menggantungkan diri kepada
Tuhan sebab Tuhan tidak ada.
Ketika paham strukturalisme ini akan muncul, lalu
eksistensialisme mencapai puncaknya, maka di dalam
kafe-kafe, eksistensialisme banyak diperbincangkan; pada
kedai-kedai, banyak kaos oblong eksistensialisme di jual;
bahkan media masa serta segenap mimbar akademis,
selanjutnya memperdebatkan eksistensialime ini dengan
semangat. Dan akhirnya, kepopuleran eksistensialisme
inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong
penting munculnya strukturalisme.

C. Teori Sastra New Criticism


Sekalipun para new criticism tidak selalu kompak,
mereka sepakat dalam memandang karya sastra sebagai
sebuah kesatuan organik yang telah selesai, sebuah gejala
estetik yang telah melepaskan kondisi subjektifnya pada

170
Sejarah dan Teori SASTRA

saat karya itu diselesaikan. Hanya dengan menganalisis


susunan dan organisasi sebuah karya sastra, maka dapat
diperlihatkan inti dari karya seni itu menurut arti yang
sesungguhnya. Sebuah puisi pertama-tama adalah puisi,
bukan hal yang lain, suatu objek otonom dan lengkap.
New criticism adalah aliran kritik sastra di Amerika
Serikat yang berkembang antara tahun 1920-1960. Istilah
―new criticism‖, pertama kali dikemukakan oleh John
Crowe Ransom dalam bukunya The New Criticism (1940)
dan di dukung oleh I. A. Richard dan T. S. Eliot. Sejak
Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren menerbitkan
buku Understanding Poetry (1938), model kritik sastra
ini mendapat perhatian yang luas di kalangan akademisi
Amerika selama dua dekade.
Penulis new criticism lainnya yang tidak kalah
penting adalah: Allen Tate, R. P. Blackmur dan William K.
Wimsatt, Jr. (Abrams, 1981:109-110). Aliran ini muncul
sebagai reaksi keras terhadap kritik sastra sebelumnya
yang lebih terfokus pada aspek-aspek kehidupan dan
psikologi pengarang serta sejarah sastra saja.
a) Konsep Awal New Critism Sastra
Para new criticism muncul dan mendunia dengan
mengklaim bahkan menuduh ilmu dan teknologi sudah
bnayak menghilangkan nilai-nilai perikemanusiaan dari
masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Ilmu tidak
memadai dalam mencerminkan kehidupan manusia.
Sastra dan terutama puisi, merupakan suatu jenis
pengetahuan, yaitu pengetahuan melalui pengalaman.
Tugas kritik sastra, memperlihatkan dan memelihara

171
Sejarah dan Teori SASTRA

pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti yang


ditawarkan sastra agung (Van Luxemburg dkk, 1988:52-
54). New criticism menganggap berbagai model kritik
yang berorientasi pada aspek-aspek di luar karya sastra
sebagai kesalahan besar. Orientasi maksud pengarang
juga disebut penalaran yang sesat.
Itu sebabnya, menurut mereka, makna sebuah puisi
tidak dapat dikacaukan dengan kesan yang diperoleh
pembaca, karena akan terjerumus pada struktur sintaksis
dan semantiknya. Untuk mengetahui arti ini, harus
menggunakan pengetahuan mengenai bahasa dan sastra.
Pada teori ini, pemahaman penggunaan bahasa
ditekankan. Komponen dasar karya sastra, baik lirik,
naratif dan dramatik adalah kata-kata, citraan atau imagi,
dan simbol-simbol, bukan watak, pemikiran ataupun plot.
Elemen-elemen linguistik ini sudah diorganisasikan pada
seputar tema sentral dan mengandung tensi atau maksud.
Ironi dan paradoks dalam strukturnya, lebih merupakan
sebuah muara pertemuan berbagai impuls dan kekuatan
yang saling berlawanan.
b) Cara Kerja New Criticism
Meskipun para pemikir dan praktisi new criticism
banyak bersilang-silang pendapat, pada hakikatnya cara
kerja mereka sama, yaitu dengan cara sebagai berikut:
Close reading, yakni mencermati karya sastra
dengan teliti dan mendetail. Jika perlu, baris demi baris,
kata demi kata, dan sampai ke akar-akar katanya. Tanpa
close reading, bagian-bagian kecil puisi mungkin akan
terlepas dari pengamatan, padahal, semua bagian, sekecil

172
Sejarah dan Teori SASTRA

apa pun, akan merupakan bagian yang tidak mungkin


dipisahkan dari puisi yang wellwrought. Begitu sebuah
detail puisi ditemukan tidak ada makna dan tidak ada
fungsi, maka mutu estetika puisi itu tidak dapat di jamin.
Empiris, yakni penekanan analisis pada observasi,
bukan pada teori. Tokoh-tokoh new criticism memang
pernah menyatakan bahwa new criticism adalah sebuah
teori satra, namun karena new criticism mempunyai cara
kerja sistematis sebagaimana halnya para teori-teori satra
lain, maka new criticism mau tidak mau diakui sebagai
sebuah teori sastra. Dalam sejarah teori dan kritik sastra,
new criticism selalu menempati urutan pertama.
Otonomi, dalam hal ini menyangkut dua hal
mendasar. (1) Karya satra adalah sesuatu yang mandiri
dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada unsur-unsur
lain, termasuk kepada penyair atau penulisnya sendiri; (2)
Kajian satra adalah sebuah kajian yang mandiri dan
berdiri sendiri, tidak tergantung pada kajian-kajian lain
seperti kajian sejarah, filsafat, biografi, psikologi, dan
sebagainya. Otonomi merupakan ciri khas mutlak kajian
inrinsik. Kendati teori-teori yang dihasilkan tidak tertutup
kemungkinan untuk mempertimbangkan unsur ekstrinsik
karya sastra, namun setiap kajian itu tidak mungkin lepas
dari nilai-nilai intrinsik karya sastra itu sendiri. Karena
itulah, new criticism tetap hidup, dan masuk ke berbagai
teori lain, kendati secara resmi sudah tutup buku pada
tahun 1960-an. Salah satu pengaruh new criticism pada
teori sastra dapat dilihat misalnya dalam formalisme rusia
dan strukturalisme. Kedua teori ini mengambil gagasan

173
Sejarah dan Teori SASTRA

otonomi new criticism kendati salah satu ciri penting


strukturalisme terletak di kajian ekstrinsiknya. Meskipun
demikian, dapatlah diperkirakan dengan tepat, bahwa
tanpa rintisan new criticism, maka formalisme rusia dan
strukturalisme akan lahir terlambat, dan mungkin akan
pula berbeda dengan formalisme rusia dan struktualisme
yang sekarang ini.
Concreteness. Apabila karya sastra di baca, maka
karya satra itu menjadi concrete atau hidup. Misalnya
dalam sajak penyair romantik Jhon Keats (1795–1821),
―ode to melancholy‖, baris then glut thy sorrow on a
morning terasa benar-benar seperti hidup. Kata glut
menimbulkan kesan kerakusan yang benar-benar konkrit.
Sebagaimana halnya konsep otonomi, maka concreteness
new criticism juga diambil oleh formalisme Rusia dan
strukturalisme.
Bentuk (form), dimana titik berat dalam kajian
new criticism adalah bentuk (form) karya sastra, yaitu
keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan
kata), imagenary (metaphor, simile, onomatopea, dan
sebagainya), paradoks, ironi, dan sebagainya. Bagi new
criticism, bentuk karya sastra menentukan isi karya
sastra. Karena bentuk memegang peran penting, maka
titik berat perhaitan new criticism adalah konotasi, bukan
denotasi. Makna denotatif kursi misalnya, adalah kursi,
sedangkan makna konotatifnya mungkin kedudukan atau
kekuasaan. Kata-kata rebutan kursi, misalnya, mungkin
mempunyai makna rebutan atau kekuasaan, dan sama
sekali bukan rebutan tempat duduk. Konotasi, dengan

174
Sejarah dan Teori SASTRA

demikian, memberi ruang kepada metafora, simbol, dan


lain-lain di luar makna harfiah sebuah kata, rangkaian
kata, atau kalimat. Kata glut, dengan makna denotatif
rakus, dapat mempunyai makna lain sesuai dengan
konteksnya dalam rangkaian kata atau kalimat tertentu.
Puisi memang tidak lain adalah sebuah dunia metafora.
Titik berat kajian new criticism pada bentuk (form)
akhirnya juga dipergunakan oleh formalisme Rusia dan
strukturalisme. Istilah form mengacu pada bentuk, dan
bentuk karya sastra itu pulalah yang menjadi salah satu
titik penting formalisme yang pertama tidak lain adalah
new criticism kendati new criticism tidak menamakan
diri dengan istilah form. Struktur dalam strukturalisme
juga tidak dapat memisahkan diri dari makna form, salah
satu titik berat strukturalisme.
Diksi (pilihan kata), untuk kata wafat, mangkat,
meninggal dan mati, pada hakikatnya mempunyai makna
sama, namun makna kata yang akan dipilih penyair atau
penulis tergantung dari penyair atau penulisnya sendiri.
Tone (nada), yakni sikap penyair, penulis, narator,
atau aku lirik terhadap (a) diri sendiri, (b) diri sendiri
terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c) diri
sendiri terhadap lawan bicaranya. Kalimat apakah benar
ayah saudara kemarin meninggal? Menunjukkan bahwa
pembicaranya tidak menanggap dirinya lebih tinggi dari
pada yang di ajak bicara dan ayah yang di ajak bicara. Jika
kalimat ini kemudian diganti menjadi apakah betul
ayahmu kemarin mampus? Maka akan tampak bahwa
pembicara merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding

175
Sejarah dan Teori SASTRA

yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara. Makna


harfiah dua kalimat ini sebetulnya sama, namun karena
diksi atau pilihan katanya yang berbeda, maka tone atau
nadanya juga berbeda. Dari diksi tampak bahwa konotasi
lebih penting daripada denotasi. Dengan adanya pilihan
kata yang berbeda, cara berbicaranya pun tentu berbeda.
Metafor, yakni pembandingan satu objek dengan
objek lain tanpa penggunaan kata-kata seperti, bagaikan,
dan hal-hal semacamnya, misalnya: Hamidah adalah
bunga mawar (hamidah bukan bunga mawar, namun
cantik dan anggun bagaikan bunga mawar).
Simile, yakni perbandingan objek satu dengan
objek yang lainnya dengan penggunaan kata-kata seperti,
bagaikan, dan hal-hal semacamnya, misalnya: Hamidah
cantik bagaikan bunga mawar.
Onomatopea adalah peniruan bunyi, misalnya
Terdengar ketepak-ketepok langkah kaki kuda.
Paradoks adalah lawan atau kebalikan sesuatu,
antara lain dapat dipergunakan untuk menyindir. Kalau
seseorang naik taksi dan taksinya berjalan terlalu cepat, si
penumpang misalnya berkata ke sopir: alangkah baiknya
apabila lebih cepat lagi, dengan maksud kurangilah laju
taksi. Di sini juga tampak bahwa konotasi lebih penting
daripada denotasi. Namun, paradoks tidak selamanya
untuk menyindir, sebagaimana yang tampak pada kata-
kata Juliet dalam drama tragedi William Shakesspeare,
Romeo and Juliet, ketika Juliet berjumpa dengan Romeo
untuk pertama kali: Karena para santo punya tangan
yang para peziarah menyentuhnya. Dan telapak tangan

176
Sejarah dan Teori SASTRA

terhadap telapak tangan adalah ciuman sakral telapak-


telapak tangan. Paradoks yang baik dalam sebuah karya
sastra, biasanya menimbulkan gema pada pikiran para
penyair atau pengarang lain. Misalnya paradoks William
Shakepeare yang dua abad kemudian masuk dengan versi
berbeda ke dalam puisi Coleridge, penyair Romantik pada
abad ke-19. Kadang-kadang paradoks juga tampak seperti
moto, kendati maknanya mungkin bukan sekadar moto,
seperti nampak pada puisi John Donne. ―Kanonisasi‖: dia
yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan
jiwanya terlebih dahulu dan yang terakhir akan menjadi
yang pertama.
Ironi, dimana segala sesuatunya yang ada dalam
ironi, mempunyai makna yang berlawanan dengan makna
sesungguhnya atau makna denotasi. (1) Ironi verbal:
lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan apa
yang dimaksudkan sesungguhnya. Kalimat wah, kamu
cantik sekali merupakan alat untuk menyampaikan
maksud sebenarnya yaitu kamu buruk rupa. Ironi ini
adalah ―verbal‖ karena pembicara hanya mempergunakan
kata-kata tertentu untuk menyampaikan maksud yang
sesungguhnya. Dengan sendirinya, maka ironi verbal ada
hubungannya dengan diksi, yaitu pilihan kata dari buruk
rupa diganti dengan cantik. Diksi tertentu menunjukkan
pula tone atau nada, yaitu sikap pembicara terhadap yang
diajak berbicara. Dengan adanya tone atau nada tertentu,
nada berbicara pembicara juga terpengaruh; (2) Ironi
dramatik: lawan atau kebalikan dari apa yang tidak
diketahui tokoh dalam sebuah karya sastra, drama, atau

177
Sejarah dan Teori SASTRA

film dan apa yang diketahui oleh pembaca atau penonton.


Dengan kata lain, pembaca atau penonton tahu, namun
tokoh dalam karya sastra, drama, atau film itu tidak tahu.
Sebagai misal, penjahat dalam film menuju utara dengan
membawa senapan karena dia yakin polisi ada di utara
sana, tetapi penonton tahu bahwa sebetulnya polisi
berada di selatan, di belakang dia, tidak jauh dari dia. (3)
Ironi situasi: lawan atau kebalikan antara harapan atau
persangkaan dan hasil dari harapan atau prasangka itu.
Seorang mahasiswa, misalnya, merasa senang karena
dalam ujian dia sanggup menjawab semua pertanyaan
dengan sangat mudah. Dia memiliki keyakinan besar
bahwa dia akan lulus. Keyakinan bahwa dia akan lulus
merupakan harapan. Namun, jika ketika pengumuman
hasil ujian tersebut keluar, ternyata dinyatakan bahwa dia
tidak lulus—kenyataan yang benar-benar berlawanan
dengan harapannya.

D. Teori Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra menyatakan bahwa karya sastra di
tulis oleh pengarang, dimana pengarang ini merupakan a
salient being, yakni makhluk yang mengalami sensasi-
sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Sastra
dibentuk oleh masyarakatnya, dan berada dalam jaringan
sistem dan nilai dalam masyarakatnya.
Dari kesadaran seperti dimaksudkan di atas, maka
muncul pula pemahaman bahwa, dalam derajat tertentu,
sastra akan memiliki keterkaitan timbal balik dengan
masyarakatnya. Sementara sosiologi sastra akan berupaya

178
Sejarah dan Teori SASTRA

untuk meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan


masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto 1993).
a) Teori Mimemis Plato & Aristoteles
Konsep dasar sosiologi sastra dikembangkan Plato
dan Aristoteles dengan mengajukan istilah mimesis, yang
menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat
sebagai cerminnya. Pengertian mimesis pertama kali
dipergunakan di dalam teori-teori tentang seni, seperti
dikemukakan Olato dan Aristoteles, dan dari abad ke abad
sangatlah mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan
sastra di Eropa (Van Luxemburg,1986:15).
Menurut Plato, pada setiap benda yang berwujud,
mencerminkan suatu ide asli (semacam gambar induk).
Jika seseorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia
hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia ide-ide.
Jiplakan atau kopian itu selalu tidak memadai seperti
aslinya, kenyataan yang diamati dengan pancaindra,
selalu kalah dari dunia ide.
Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi
tentang kenyataan (yang juga hanya tiruan dari kenyataan
yang sebenarnya) sehingga tetap jauh dari kebenaran.
Oleh karena itu, maka lebih berhargalah seorang tukang
daripada seniman, karena seniman menjiplak jiplakan,
membuat kopi dari kopian. Aristoteles mengambil teori
mimesis Plato, yakni seni menggambarkan kenyataan,
tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata
menjiplak kenyataan saja, melainkan juga menciptakan
sesuatu yang baru karena kenyataan itu tergantung pada
sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan.

179
Sejarah dan Teori SASTRA

Jadi, sastra bukan lagi sebagai jiplakan atas jiplakan


(kenyataan), melainkan ia sebagai suatu ungkapan atau
perwujudan tentang universalia (konsep-konsep umum).
Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih
beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang
dapat dipahami, karena menampilkan kodrat manusia
dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
Levin (1973: 56-60) mengungkapkan bahwa konsep
mimesis itu mulai dihidupkan kembali pada zaman
Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme
Renaissance sudah berupaya menghilangkan perdebatan
prinsipal antara sastra modern dan sastra kuno dengan
menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan
itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan
historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini
telah dikembangkan pula dalam jaman Romantik, yang
secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali
tradisi-tradisi asli dari yang berasal dari berbagai negara
dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan
tersebut kemudian diwariskan kepada jaman berikutnya,
yakni positivisme ilmiah.
b) Teori Hippolyte Taine
Pada jaman positivisme ilmiah, muncul tokoh
sosiologi sastra terpenting Hippolyte Taine (1766-1817).
Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis,
yang juga sering dipandang sebagai peletak dasar bagi
sosiologi sastra modern. Taine merumuskan pendekatan
sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan lebih
menggunakan metode-metode seperti yang digunakan

180
Sejarah dan Teori SASTRA

dalam ilmu alam dan ilmu pasti. Dalam bukunya History


of English Literature (1863), dia menegaskan, bahwa
sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor,
yakni ras, lingkungan, dan momen. Maka dengan itu
maka seseorang bisa memahami iklim rohani sebuah
kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta
karyanya. Menurutnya, faktor-faktor inilah yang nantinya
dapat menghasilkan struktur mental (pengarang) yang
selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun
ras itu adalah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan
raganya. Momen ialah situasi sosial politik dalam periode
tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan
sosial. Konsep Taine tentang lingkungan ini, selanjutnya
menjadi sebuah mata rantai yang menghubungkan kritik
sastra dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine yang
dituangkan dalam bukunya, oleh pembaca kontemporer
asal Swis, Amiel, dianggap mampu membuka cakrawala
pemahaman baru yang memang berbeda dari cakrawala
anatomis kaku (strukturalisme) yang berkembang waktu
itu. Bagi Amiel, buku Taine membawa aroma baru yang
segar untuk model kesusastraan Amerika di masa depan.
Sambutan hangat juga datang dari Flaubert (1864),
yang menyatakan, bahwa Taine secara khusus telah
menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu dimana
karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh
dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial
tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, namun sukar
mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis
ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya

181
Sejarah dan Teori SASTRA

misteri (ilham). Menurut Taine, bahwa hal-hal yang


dianggap misteri, banyak memiliki kelemahan-kelemahan
tertentu, khususnya penjelasan yang positivistik. Namun
justru hal ini banyak memicu perkembangan pemikiran
intelektual dikemudian harinya, dalam hal merumuskan
disiplin sosiologi sastra.

b) Teori Sastra Marxis


Marxisme adalah pendekatan sosiologis sastra yang
paling pertama dalam ilmu sastra. Kebanyakan kritikus-
kritikus Marxis lebih mengusung teorinya dengan dasar
doktrin manifesto komunis yang diberikan oleh Karl marx
dan Friedrich Engels, khususnya pernyataan bahwa,
perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-
institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam
produksi ekonomi, dimana perubahan ini mengakibatkan
perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang
dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan
sosial ekonomi dan status politik.
Kehidupan agama, intelektual dan kebudayaan dari
setiap jaman, termasuk seni dan sastra, adalah ideologi-
ideologi dan suprastruktur-suprastruktur yang berkaitan
secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat
dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya
(Abrams, 1981:178). Sejarah dipandang sebagai suatu
perkembangan yang terus menerus. Daya kekuatan di
dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk
menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas.
Evolusi ini tidak berjalan dengan mulus melainkan
banyak hambatan-hambatan. Dalam hal ini, hubungan

182
Sejarah dan Teori SASTRA

ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling


bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi, akhirnya
dimenangkan oleh kelas tertentu. Hubungan produksi
yang baru, perlu untuk melawan kelas yang berkuasa agar
tercapai suatu tahap masyarakat ideal tanpa kelas, yang
dikuasai oleh kaum proletar. Bagi Marx, sastra dan semua
gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan
ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas dalam
masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat
dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan
tersebut (Van Luxemburg, 1986: 24-25).
Lenin adalah seorang tokoh yang dipandang sebagai
peletak dasar kritik sastra Marxis, dimana ia berpendapat
bahwa, sastra dan seni, pada umumnya merupakan suatu
sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat
melawan kapitalisme.
c) Georg Lukacs: Sastra Sebagai Cermin
Kritikus Marxis yang pertama adalah Georg Lukacs
yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa
Jerman (Damono, 1977), dimana ia menggunakan istilah
cermin sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya.
Istilah ―mencerminkan‖ menurutnya, berarti menyusun
sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya
mencerminkan realitas tetapi lebih dari itu memberikan
kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih
lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik yang mungkin
melampaui pemahaman umum.
Sebuah karya sastra, tidak hanya mencerminkan
fenomena individual secara tertutup saja, melainkan lebih

183
Sejarah dan Teori SASTRA

merupakan suatu proses yang hidup. Sastra tidak


mencerminkan realitas sebagai semacam suatu fotografi,
melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang
mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat
mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan
dapat mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden,
1991:27). Lukacs menegaskan pandangan tentang karya
realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang
memberikan perasaan artistik yang bersumber dari
imajinasi yang diberikannya. Imajinasi memiliki totalitas
intensif yang sesuai totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak
memberikan gambaran dunia abstrak, tapi kekayaan
imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati
sehinggga membentuk sebuah tatanan masyarakat yang
ideal. Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi
melalui dialektika sejarah.
d) Bertold Brecht: Efek Alienasi
Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman
yang terpengaruh ketika membaca buku Marx di tahun
1926. Drama-dramanya bersifat radikal, anarkistik, dan
anti borjuis. Sebagai seorang yang anti terhadap paham-
paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai penentang
aliran Aristoteles. Dimana filsuf Aristoteles menekankan
universalitas dan kesatuan aksi tragik dan identifikasi
penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk
menghasilkan katarsis (pelepasan beban) perasaan.
Menurut Brecht, dramawan harus menghindari alur
yang dihubungkan secara lancar dengan makna dan nilai-
nilai universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan

184
Sejarah dan Teori SASTRA

ketidakwajaran perlu dihadirkan untuk mengejutkan dan


mengagetkan penonton. Penonton janganlah ditidurkan
dengan nilai-nilai yang palsu. Para pelaku tidak harus
menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong
identifikasi penonton atas tokoh-tokoh pahlawannya.
Mereka harus mampu menimbulkan macam efek alienasi
(keterasingan). Pemain dalam hal ini tidak berfungsi
untuk menunjukkan, tapi mengungkapkan dengan cara
spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32).
e) Aliran Frankurt
Aliran Frankurt adalah sebuah aliran filsafat sosial
yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorono, yang
berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx
dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori sosial
kapitalis (Hartoko, 1986:29-30).
Dalam kajian bidang sastra, estetika Marxis aliran
Frankurt mengembangkan apa yang disebut Teori Kritik.
Teori kritik ini merupakan sebuah bentuk analisis
kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran
Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat
dan estetika adalah Max Horkheimer, Theodor Adomo,
Herbert Marcuse, dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).
Seni dan sastra mendapat perhatian istimewa dalam
teori sosiologi Frankurt, karena hal inilah satu-satunya
wilayah dimana dominasi totaliter bisa ditentang, seperti
Adorno mengkritik pandangan Lukacs, bahwa, sastra
berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang
langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut
Adorno, justru akan memberi kekuatan kepada seni untuk

185
Sejarah dan Teori SASTRA

mampu mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang


ditunjukkan seni avant garde. Seni-seni populer dalam
hal ini sudah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang
membentuknya, sehingga tidak mampu lagi mengambil
jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem
sosial. Mereka memandang sistem sosial sebagai totalitas
yang dalamnya semua aspek mencerminkan esensi sama.
Adorno juga menolak teori-teori tradisional tentang
kesatuan dan pentingnya individualitas atau mengenai
bahasa yang penuh dengan pengertian, karena hanya
membenarkan suatu sistem sosial yang ada. Menurut
Adorno, drama dapatlah menghadirkan pelaku-pelaku
tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-
pecah, juga diskontinuitas wacana yang absurd, serta
penolakan-penolakan yang membosankan, dan juga suatu
ketiadaan alur. Semua ini menimbulkan efek estetik yang
menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama. Dan
inilah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern,
yang sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat
satu dimensi.

Referensi
Abrams M.H. (1981) A Glossary of Literary Terms.
New York: Holt, Rinehart and Winston
Alwisol. (2010). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM
Press.
Baker Mona. (1992). In Other Word: A Coursebook on
Translation. London and New York: Routledge.
Bartens Kees. (1985). Filsafat Barat Abad XX jilid II,
Perancis. Jakarta: Gramedia

186
Sejarah dan Teori SASTRA

Damono Sapardi Djoko. (1977). Sosiologi Sastra.


Jakarta: Dikti Depdikbud.
Hartoko Dick. (1982). Pencerapan Estetik dalam
Sastra Indonesia dalam Basis XXXV 1
Januari. Yogyakarta: Andi Offset.
Hartoko Dick. (1986). Kamus Populer Filsafat.
Jakarta: CV Rajawali.
Holland Norman. (1999). Psychoanalytic
Psychology and Literature and
Psychology. Toronto: Oxford University Press.
Holland, Norman. (1968). The Dynamics od Literary
Response. New York: State University Press.
Iser, Wolfgang. (1978). The Act of Reading: a Theoru
of Aesthetic Response. Balitmore and Londong:
The John Hopkins University Press.
Levine, R. A., Solomon, M. A., Hellstern, G. M, et al.
(1973). Evaluation research and practice:
Comparative and international perspectives.
Beverly Hills: Sage Publications.
Mario Klarer. (2004). An Introduction to Literary
Studies Second Edition. London: Routledge.
Nyoman Kutha Ratna (2004). Teori, Metode dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rene Wellek dan Austin Warren (1993; 2013). Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Selden Rahman. (1991). Panduan Pembaca Teori
Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat
D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Soemanto Wasty. (1993; 2003). Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Van Luxemburg, Jan, dkk. (1986). Pengantar Ilmu
Sastra. Terjemahan oleh Dick Hartono. Jakarta:
Gramedia.

187
Sejarah dan Teori SASTRA

188

Anda mungkin juga menyukai