Anda di halaman 1dari 53

[Voiceover: Inilah Endgame]

GITA WIRJAWAN: Halo teman-teman,

hari ini kita kedatangan

Profesor Doktor Jimly Asshiddiqie,

mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.

Pak Jimly, suatu kehormatan,

bisa hadir.

JIMLY ASSHIDDIQIE: Ya, saya juga

dapat kehormatan ini.

Kalau tahu bajunya begitu, saya pakai

santai juga.

Lebih baik sambil ngobrol santai.

- Oke kita mau ngobrol cukup banyak,

tapi biasanya kita bertanya mengenai

waktu kecilnya.

Bapak lahir di Palembang tanggal 17

April tahun 1956.

- Iya benar.

- Itu tanggal yang sakral, Pak.

Karena tanggal itu saya nikah sama

istri saya.

Dan kita punya kesamaan, sesuatu

yang sakral.
- Makanya saya suka ngomel ini

ada usaha untuk mengubah jadwal

pemilu itu loh.

Yang lalu kan sudah benar, 17 April

hari pemungutan suara.

Saya bilang ini tanggal yang paling

tepat.

Berubah sekarang.

- Terus gimana Pak?

Dari Palembang, terus Bapak bisa

tertarik dengan (bidang) hukum,

menjadi salah satu pakar

atau mungkin pakar yang paling sering

dikonsultasikan

mengenai konstitusi hukum dan

segalanya.

- Ya. Karena dulu saya guru di

Palembang.

Guru Bahasa Inggris.

- Saya kenal dengan beberapa

murid Bapak.

- Ya, misalnya, Helmi Yahya, Tantowi

Yahya, itu murid saya semua.


Tapi bahasa Inggris mereka sudah jauh

lebih bagus dari saya.

Jadi sesudah itu saya tamat sekolah,

saya nggak kuliah.

Saya pindah cari kerja di Jakarta, dan

tidak nganggur.

Hari Senin datang, Selasa langsung

kerja di Kedutaan Pakistan

jadi penerjemah.

Sesudah itu di Kedutaan Mesir,

sesudah itu saya kuliah sore.

Ansor; anak sore.

Kalau Yusril (Ihza Mahendra)

itu anak pagi.

Kalau saya biaya sendiri.

Sesudah kuliah saya pindah kerja di

LP3ES, di LSM.

Maka saya aktif juga sebagai

mahasiswa di kegiatan mahasiswa

tapi aktif juga di LSM.

Itu sejarah saya.

Tapi di Fakultas Hukum, saya menonjol,

lalu diangkat di asisten dosen.


Begitu ceritanya.

Karena jadi asisten, kemudian jadi

dosen sampai sekarang.

- Di UI, ya Pak?

- Di UI. Alhamdulillah.

Bapak sangat banyak sekali perannya.

Tapi mungkin kita nyambung dengan

pengalaman Bapak

sebagai pionir di Mahkamah Konstitusi

dan pemimpin di Mahkamah Konstitusi

dua periode.

Saya mencoba tarik ke topik yang

akhir-akhir ini sering kali dibahas

yaitu demokrasi.

Gimana Pak, dari sudut pandang Bapak

secara konstitusi, hukum mengenai

demokrasi yang semakin berkembang.

- Jadi sejak awal merumuskan ide

bernegara

the founding leaders kita merumuskan

bahwa kita menganut sistem

demokrasi.

Bahkan bukan hanya di bidang politik,


di bidang ekonomi juga.

Kata Bung Karno demokrasi politik plus

demokrasi ekonomi

sama dengan demokrasi sosial.

Kira-kira begitu.

Nah itu dirumuskan menjadi sila

keempat

"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan

dalam permusyawaratan perwakilan."

Jadi roh dari sila itu adalah bahasa lain

dari demokrasi;

demokrasi konstitusional.

Demokrasi yang diatur, dibatasi

oleh kesepakatan tertinggi namanya

konstitusi.

Cuma konstitusi kita pada awal

Indonesia merdeka

itu kan masih sumir.

Jadi Undang-Undang Dasar 45 itu

dikenal

atau saya sering memperkenalkannya

sebagai konstitusi
paling singkat di dunia.

Jadi dari segi jumlah katanya

itu dibandingkan dengan konstitusi

Amerika

yang diklaim oleh para ahli sebagai

yang paling pendek, itu tidak benar.

karena jumlah kata (konstitusi) kita itu

cuma 1000-an,

mereka itu 3000-an - 4000-an,

bahkan sesudah perubahan ada

5000-an.

Jadi undang-undang dasar paling tebal

itu India,

kita yang paling singkat.

- 3.000 kalau India?

- Iya. Kalau India itu 450-an pasal,

tebal sekali.

Kita yang paling singkat.

Karena dia paling singkat, semua

konstitusionalitas tidaknya

suatu kebijakan, tergantung siapa yang

kuasa.

Maka sesudah reformasi, kita adakan


penyempurnaan.

Maka dengan empat perubahan itu

300% kontennya bertambah.

Jadi yang tidak berubah tinggal 74 ayat

sedangkan selebihnya sekarang ini

sudah menjadi 199 ayat,

199 ketentuan.

Artinya 300% bertambah kontennya,

cuma namanya masih 45,

karena para perumus perubahan

takut kualat.

Artinya, sekarang sesudah kita

mempertegas

konsep demokrasi konstitusional,

maka harus diimbangi juga dengan

dibentuknya lembaga yang mengawal,

itulah tugas Mahkamah Konstitusi.

Jadi saya bersyukur bisa ikut terlibat

dalam merumuskan konstitusinya,

dalam membuat undang-undangnya,

saya diangkat oleh pemerintah

maupun DPR,
dan kemudian terpilih jadi hakim

konstitusi,

diminta pula oleh teman-teman jadi

ketuanya.

Alhamdulillah.

- Alhamdulillah.

Bapak beberapa kali memberikan

kuliah

dan bicara di lembaga internasional

juga

mengenai betapa semakin banyak

negara itu merangkul demokrasi.

Tapi kalau saya lihat akhir-akhir ini

sudah mulai kedengeran kritikan-

kritikan

mengenai bentuk demokrasi dan

proses demokratisasi.

Gimana Pak pandangan Bapak

secara umum dan dalam konteks

Indonesia secara spesifik?

- Jadi ide demokrasi itu tumbuh.

Dulunya Socrates seperti tergambar di

Plato's Republic,

demokrasi itu istilah yang jelek di


Yunani kuno.

Bahkan oleh Socrates sendiri dalam

dialognya digambarkan

pemerintahan yang buruk itu

demokrasi.

Jadi enggak ada orang yang mau

disebut demokratis, jelek itu.

Tapi lama kelamaan dia tumbuh dalam

praktek

lalu dari praktek-praktek itu

termasuk juga praktek di dunia Islam

ketika Konstitusi Madinah dibuat.

Dan banyak lagi praktek-praktek seperti

misalnya di negara-negara Barat sendiri.

Maka istilah demokrasi itu dipakai

untuk sesuatu yang baik

dan lama-kelamaan menjadi konsep

yang diidealkan.

Tetapi teori demokrasi tumbuh juga.

Jadi sampai sekarang doktrin prinsip

teori demokrasi yang abad lalu

belum tentu relevan sekarang.

Misalnya teori Montesquieu sudah


ketinggalan zaman.

Dia tulis De l'esprit des lois 41 tahun

sebelum Revolusi Perancis

jadi banyak yang sudah berubah.

Apa lagi zaman sekarang,

tiba-tiba kita menyaksikan perubahan-

perubahan baru,

demokrasi ini kog jadi kayak begini.

Maka di seluruh dunia sekarang

membuat prediksi dan penilaian

terjadinya democratic regression,

kemunduran demokrasi

karena mengukur dengan kriteria lama.

Jadi sekarang ini terjadi proses

penurunan kualitas di semua negara.

Apa lagi dengan teknologi disruptif,

makin kacau ini konsep demokrasi.

Maka perlu ada perbincangan teoritis

baru

tentang bagaimana sebaiknya

demokrasi dibangun

dan dikembangkan untuk ke depan.


- Terkait dengan teknologi, Pak.

Akhir-akhir ini saya mengedepankan

bagaimana kebebasan berbicara itu

disamakan dengan

amplifikasi algoritma.

Itu menurut saya kurang bijak

karena itu membiarkan narasi yang

mungkin kurang bijaksana,

narasi yang kental dengan kebencian,

kemarahan,

untuk terus-menerus teramplifikasi.

Sedangkan narasi yang lebih bijaksana,

yang lebih baik, itu tidak teramplifikasi.

Satu, karena mereka mungkin malas

ngomong atau takut ngomong

dan juga algoritmanya tidak

mengamplifikasi

siapa pun yang sudah disuarakan

atau apa pun yang sudah disuarakan.

Itu gimana Pak, penyikapan ke depan?

- Saya kira benar itu ya.


Kira-kira itu juga dialami di semua

negara terutama di negara kita.

Karena ada latar belakang yang

kompleks.

Ada pemilihan Kepala Daerah,

Gubernur DKI yang membelah,

dilanjutkan dengan Pilpres yang

terbelah dua.

Itu sepertinya nggak sengaja.

Tapi sebenarnya sudah ada yang

mengatur dari atas sana,

tiba-tiba kita mengalami kayak gini.

Jadi apa lagi kalau dikaitkan dengan

teknologi tadi,

saya rasa kita juga mesti hati-hati.

Big data itu jadi Tuhan baru.

Dia jadi penentu segalanya.

Maka tehnologi masa depan itu makin

mengidealkan sentralisme

dan itu pasti bertolak belakang dengan

ide demokrasi yang egalitarianisme.

Jadi makin terancam itu ide-ide


demokrasi

yang diidealkan dari masa lalu,

yang kita warisi dari masa lalu.

Padahal memang sudah banyak sekali

faktor menyebabkan regresi

termasuk misalnya gejala

third-termism

itu banyak di mana-mana,

gejala perpanjangan masa jabatan

pakai pemilu

tapi tidak ada pergantian.

Xi Jinping seumur hidup.

Erdogan biaa seumur hidup juga.

(Vladimir) Putin seumur hidup.

Hun Sen seumur hidup, tapi ada

pemilu.

Jadi pemilu demokratis itu formalisme,

jadi formalisme demokratis itu akan

terus berkembang

atas nama demokrasi,

tapi sebenarnya bukan.


Yang lain sedih adalah ruang publik

penuh kebencian,

penuh permusuhan, itu enggak cocok

dengan demokrasi,

itu bertentangan sama sekali dengan

ide demokrasi

yang mengharuskan saling

menghormati, toleransi,

saling menghargai perbedaan.

Tapi yang terjadi terbalik,

ruang publik kita sekarang berisi

kebencian, permusuhan,

orang semakin berani menghujat tanpa

takut-takut,

dan orang pun makin baper

karena langsung tertusuk, dari kamar

mandi baca,

langsung menusuk pribadinya.

Jadi ruang publik sekarang ini penuh

dengan kebencian.

Tapi saya rasa ini gejala sementara.

- Episodik.

- Iya. Jadi sering saya namakan


dulu diprediksi,

kita akan memasuki era informasi dan

komunikasi.

Yang terjadi sekarang kebalik.

Yang terjadi adalah miskomunikasi dan

disinformasi

atau diskomunikasi dan misinformasi

yang terjadi.

Misalnya informasi hoax itu banyak

sekali.

Informasi faktual, tapi konteksnya tidak

sama dengan yang dimaksud.

Itu banyak sekali, apa lagi sekarang

bisa direkayasa.

Misalnya, steep management di

Tiongkok itu sudah ada.

Jadi ada agenda resmi dari pemerintah

untuk membuat berita-berita

yang mengindoktrinasi publik

dengan informasi yang salah.

Itu terjadi di seluruh negara termasuk

di kita.

Buzzer-buzzer.
Jadi saya rasa ini gejala sementara

yang harus kita nikmati saja dulu.

Kenapa?

Karena pada akhirnya kita harus

percaya kepada kekuatan logika

dan kekuatan moral.

Itu yang akan menuntun manusia

ke arah kebenaran.

Tapi karena ada di era transisional ini

yang ada percobaan-percobaan kayak

begini,

ya nggak apa, jangan baper.

- Tapi apakah ini memerlukan

social reengineering?"

- Saya rasa iya.

Itulah pentingnya kebijakan publik,

pembuat kebijakan publik, dan

kepemimpinan transformasional

Jadi harus ada kesadaran semua

tokoh-tokoh

yang bersedia dipercaya jadi pemimpin

untuk memiliki jangkauan berpikir jauh


ke depan,

lalu melakukan transformasi,

bukan untuk menangani kepentingan

pribadi.

Jadi bukan untuk self-dealing,

self-serving,

tapi peduli, berbagi, dan memberi

untuk negara dan bangsa.

Ini yang kita perlukan.

- Bapak beberapa kali juga bicara

mengenai

kalau konteksnya itu kecil,

niscaya masih personality-centric,

tapi kalau konteksnya besar,

itu yang dibutuhkan adalah semangat

kelembagaan.

Bisa dibilang top-down leadership

vs bottom-up leadership.

- Ya saya suka bila ada dua hal.

Satu, budaya kerja.

Semakin modern cara kerja,

itu semakin mengandalkan sistem.


Semakin kampungan, kita pakai istilah

kampungan biar banyak yang tersinggung,

tersindir,

makin kampungan suatu organisasi

makin mengandalkan figur. Satu.

Yang kedua, kalau organisasinya kecil,

itu cukuplah kita mengandalkan figur.

Tapi kalau organisasinya makin besar,

kompleks, nggak bisa,

tergantung sistem.

Jadi sistem kepemimpinan harus

dibangun.

Jadi kalau organisasi negara,

organisasinya besar sekali,

kalau masih mengandalkan figur,

artinya masih kampungan.

Jadi kalau kita mau maju,

berperan dalam kemajuan peradaban

kemanusiaan,

ini negara besar ke-4 ini harus modern.

System building yang harus diutamakan.


Orang itu kan datang dan pergi,

sistemnya itu yang ajeg.

Marilah kita system building.

Tugas kepemimpinan itu system

building.

Yang kedua, komunikator.

Yang ketiga, panutan. Tiga ini saja.

Nggak banyak.

Yang lain itu tambahan-tambahan.

- Saya mau tarik lagi, Pak.

Kalau saya perhatiin waktu Deng

Xiaoping naik tahun 1978,

dalam pidatonya beliau yang lebih dari

2,5 jam kalau nggak salah,

beliau menggunakan kata demokrasi

kurang lebih 33 kali.

Dan yang saya tangkap dari pidato

beliau

itu adalah bagaimana Tiongkok

walaupun berideologi apakah itu

sosialis-komunis atau otokrasi,

bagaimana beliau mengedepankan


demokratisasi ide,

demokratisasi talenta.

Dan itu yang menjadi katalis

untuk terjadinya reformasi Tiongkok

menjadi superpower secara ekonomi,

geopolitik, dll.,

setelah 40 tahun lebih.

Itu di diri saya, saya melihat terlepas

dari ideologi,

mereka punya kepentingan untuk

mendemokrasikan talenta.

Ini kan nyambung dengan semangat

kelembagaan.

Semestinya demokrasi harus lebih

piawai

untuk mendemokratisasikan talenta.

Ibarat kata dia bilang,

"Gue enggak peduli deh lu keluarga

atau enggak,

yang penting lo oke sebelum lu jadi

Walikota, Gubernur,

pimpinan perusahaan, dll."


Otaknya harus dibuktikan secara

kognitif

IQ-nya juga harus dibuktikan,

untuk menjadi pemimpin dalam

dimensi apa pun.

Itu demokratisasi talenta,

belum lagi demokratisasi ide.

Kita sebagai demokrasi terbesar

nomor 3,

India nomor 1, Amerika nomor 2,

saya melihat mungkin ada symptom

atau kecenderungan

terjadinya deinstitusionalisasi dalam

pengambilan keputusan.

Saya penasaran pandangan Bapak

gimana, Pak?

- Iya sangat ya, dengan medsos yang

makin disruptif ini.

Jadi antara pendapat pribadi,

misalnya di Twitter,

semua pejabat itu punya Twitter, Pak.

Tiap hari nge-tweet,


masalahnya tweet ini tweet pribadi

atau tweet institusi,

kan tidak ada tidak jelas.

Lalu begitu di-tweet, dapat komentar,

pro-kontra,

ada yang maki-maki, ada yang muji-

muji,

jadi kita bisa katakan ini tweet pribadi.

Jadi ruang publik kita diisi oleh

komunikasi pribadi atau antar pribadi.

Jadi tidak melembaga.

Kadang-kadang informasi internal yang

belum seharusnya diungkapkan

sudah terungkap secara pribadi.

Jadi ini gejala gelombang

deinstitusionalisasi politik,

padahal yang diperlukan konsolidasi

politik, kelembagaan.

Jadi yang diperlukan itu pelembagaan

cara kerja.

Itu ciri modern, yaitu cara kerja harus

melembaga,

pisahkan mana urusan pribadi mana

urusan insitusi.
Kalau kita bicara korupsi,

basis sosial korupsi itu kan konflik

kepentingan.

Konflik kepentingan antara pribadi dan

institusi.

Sekarang ini gejalanya terbalik,

deinstitusionalisasi politik ini malah

membahayakan,

itu kalau menurut saya.

Kalau tidak disadari, tidak ada upaya

yang sengaja, repot ini.

Jadi media sosial, Twitter, dsb., harus

kita pakai untuk media sosialisasi.

Tapi harus tahu ini harus bicara

institusional bukan personal.

Jadi memang memang konflik

kepentingan ini

mungkin perlu ada pengaturan

tersendiri.

Makanya saya dari dulu setuju

dengan ide

kita buat undang-undang larangan

konflik kepentingan.
Banyak aspeknya, Pak. Banyak sekali.

Dan saya rasa itu bisa mengatasi

masalah-masalah

yang tidak terpecahkan dalam gejala

korupsi.

Banyak sekali.

- Wow!

- Di semua bidang, antara politik

dan bisnis.

Bahkan gejala konflik kepentingan

bisnis dan politik itu gejala dunia.

Yang paling menonjol sesudah Donald

Trump menjadi presiden, itu paling.

Mengapa? Karena undang-undang

larangan konflik kepentingan

di Amerika itu sudah sejak tahun

1980-an dan bagus.

Para pejabat boleh punya saham,

boleh punya bisnis

tapi harus dilaporkan dan dikelola oleh

blind trust management.

Para pengusaha mau main politik ,

silakan.

Tapi Anda begitu duduk di jabatan

publik,
harus diserahkan bisnisnya, sahamnya,

blind trust management.

Tapi ternyata begitu Donald Trump

menjadi presiden,

itu tidak berlaku untuk presiden,

karena presiden sudah di Undang-

Undang Dasar.

Jadi jadi Donald Trump enak sekali

jawabnya,

"Itu kan bukan untuk saya, saya kan

presiden."

Maka konflik kepentingan merajalela

sejak Doland Trump.

Pengaruhnya ke seluruh dunia, Pak,

termasuk di kita.

Ini harus dibereskan antara bisnis

dan politik,

antara politik dengan masyarakat sipil,

ini harus dipisah,

tidak boleh konflik kepentingan.

Itu besarannya.

Belum lagi urusan pribadi.

Para pejabat kita banyak tidak

menyadari.
Hanya niat baik.

Niat baik itu oke, tapi lebih dari niat

baik,

kita harus system building. Gitu Pak.

Saya kasihan juga kawan-kawan

menjadi menteri,

kemudian punya bisnis, itu kan dikoyo-

koyo orang,

terlepas dari niat baiknya.

Niat baiknya itu benar,

cuma tetap nggak benar kalau dari segi

konflik kepentingan.

- Timbul pertanyaan, Pak.

Ini intuisi saja dari pernyataan Bapak.

Saya juga sudah sempat ngikutin

Pak Jimly ngomong mengenai hal ini,

keterkaitan antara bisnis dengan

politik.

Apakah mungkin interpretasinya atau

solusinya adalah

untuk pemerintah itu lebih proaktif

dan lebih besar perannya dalam


ekonomi, state economy,

seperti apa yang kita lihat mungkin

di Singapura,

atau di Tiongkok, atau di Rusia,

untuk membatasi keterkaitan antara

bisnis dengan politik,

biar pemerintah saja yang lebih

berperan,

lebih besar perannya dalam ekonomi

itu.

- Kalau kita mempelajari memahami

sungguh-sungguh,

cita-cita konstitusional yang

dirumuskan

sejak the founding leaders menyusun

UUD 45,

itu kan jelas di bab tentang

kesejahteraan sosial tadinya,

sekarang ditambahin judulnya

"Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Sosial."

Maka ini saya suka sebut UUD 45 itu

bukan hanya konstitusi politik

seperti Amerika,
dia juga konstitusi ekonomi, itu satu.

Kedua, pasal-pasal mengenai

keuangan negara, Bab 8.

Terus tentang BPK.

Terus mengenai perbankan.

Sebut contoh misalnya pasal tentang

mata uang.

Kalau pelajari sejarahnya pasal tentang

mata uang, itu dipatok

Peran negara itu menentukan kurs.

- Menarik.

- Itu di dalam perdebatan BPUPKI,

itu begitu.

Dan pasal itu sampai sekarang gak

berubah.

Maka maksud asli dari teks

itu peran negara besar

dalam menentukan sistem keuangan

nasional. Besar.

Kita tidak bisa hanya larut pada

dinamika pasar,

ngikut perkembangan.
Itu ide awalnya.

Jadi kita ini terjebak dalam liberalisme

realitas pasar.

Maka saya suka sebut dua macam

UUD;

Undang-Undang Dasar,

norma tertinggi,

ujung-ujungnya duit,

realitas tertinggi.

Ini harus ada dialog terus-menerus.

Jangan kita terlalu pragmatis begini.

Jadi peran negara besar di bidang

ekonomi, Pak.

Apa lagi belajar dari banyak

pengalaman,

contoh sekarang bagaimana Tiongkok

gitu ya.

Ya, memang masalah juga Tiongkok

ini.

Jadi ini salah satu

kemunduran demokrasi di dunia

gara-gara Tiongkok sukses di bidang

ekonomi tanpa memerlukan demokrasi.


Jadi kata orang, untuk apa bikin

demokrasi

kalau rakyat tidak bisa makmur.

Itu jadi alasan untuk menurunkan

apresiasi kepada sistem demokrasi.

Makan tuh demokrasi, kan gitu.

Jadi Tiongkok mengklaim dirinya

melakukan demokratisasi,

tapi di kacamata dunia, dia belum

demokrasi.

Maka demokrasi terbesar ketiga; kita,

dari segi jumlah penduduk.

Tiongkok boleh jadi memang tidak

komunis lagi,

tapi dia sistem sentralisme partai

tunggal

yang menyebabkan dia tidak layak

untuk disebut negara demokrasi

meskipun dia melakukan demokrasi

mikro.

Cuma ada masalah baru lagi ini.

Jadi ke depan, dengan perkembangan

digitalisasi kehidupan ini,


big data akan menjadi penentu ke

depan.

Maka potensi sentralisasi kehidupan

semua bidang termasuk ide demokrasi,

ide nasionalisme,

ini akan menimbulkan masalah

di masa depan.

Tiongkok ini nampaknya lebih cocok

untuk kriteria big data di masa depan

itu.

Jadi peranan negara mengontrol

semuanya.

Jadi kita mesti hati-hati juga dengan

ide demokrasi yang kita warisi.

Kalau tidak kita ubah prinsip-prinsip

yang kita warisi dari teori lama,

ketinggalan kita.

Jadi memang memang saya tidak

cenderung mengatakan

lalu yang Tiongkok ini ideal, nanti dulu.

Karena di sana tidak boleh ada

perbedaan pendapat,

hanya satu suara, satu partai.


Demokratisasi sepanjang tunduk di

bawah sistem partai,

di luar itu ya hilang. Bisa hilang.

Jack Ma saja bisa hilang itu, sudah

diam sekarang.

Jadi saya rasa itu bertentangan juga

dengan hakikat kemanusiaan.

- Wow! Ini banyaknya cabang

pertanyaannya.

Yang pertama, mungkin mengacu ke

pernyataan Bapak yang sebelumnya

terkait dengan UUD atau ujung-

ujungnya duit.

Kalau kita mau benar-benar serius

mengedepankan

keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia

di era yang mana kita melihat

kesenjangan semakin mencuat

apakah itu karena digitalisasi

yang semakin membelah percakapan,

membelah kesejahteraan,

apakah ini karena kebijakan, karena

kepemimpinan di mancanegara
tapi saya melihat Tiongkok,

itu rasio uang beredar terhadap PDB-

nya jauh diatas 100%.

Amerika Serikat jauh diatas 100% rasio

uang beredar terhadap PDB.

Di Indonesia, rasio uang beredar

terhadap PDB-nya di bawah 50%.

Rendah sekali.

Jadi saya melihat kalau kita benar-

benar serius

mau mengedepankan keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia,

setiap warga itu harus punya akses

ke fulus.

Tapi kalau fulusnya terbatas secara

keseluruhan ...

- Jadi disimpan di bank? Di mana?

Di pundi-pundi?

- Mungkin bukan hanya di institusi

tertentu,

tapi memang jumlahnya juga terbatas.

Ini harus kita tingkatkan jumlah

uang beredar.
Saya bukan mau mengedepankan

ideologi di sini.

Apakah itu ideologi moneter atau

ideologi apa pun,

tapi saya melihat kita harus jernih

mengenai gimana kita mau

memastikan keadilan sosial

agar setiap warga punya akses ke uang

atau fulus.

Untuk meningkatkan uang beredar,

kita harus datangkan dari luar

atau kita meminjam.

Nah, itu kalau saya lihat penanaman

modal asing sudah meningkat

tapi tidak dengan proporsi atau skala

atau kecepatan

yang menurut saya bisa mengejar

kepentingan kita untuk memastikan

keadilan sosial.

Dan secara empiris terlihat, rasio Gini semakin meningkat 39% akhir-akhir ini.

Pandangan Bapak gimana, Pak?

- Iya, saya kira benar sekali itu,

keadilan sosial malah kurang,


dibicarakan saja kurang.

Orang ribut soal "Ketuhanan yang

maha esa" melulu.

Yang kedua, persatuan melulu yang

diomongin.

Kalau para pejabat selalu ngomongnya

"Kita harus bersatu."

Maksudnya, kamu jangan ribut, bersatu

dengan kita.

Yang ketiga, kerakyatan demokrasi saja,

tapi yang sebetulnya yang di mata

rakyat dirasakan langsung

adalah keadilan sosial itu,

sila terakhir itu yang paling

menentukan.

Jadi sebenarnya ujung-ujung dari

semua itu adalah keadilan sosial.

Demokrasi kadang-kadang membuka

ruang bebas, liberty.

Tapi liberty itu punya efek samping.

Pertama, bisa menciptakan konflik

dalam dirinya sendiri,

makanya perlu solidaritas, perlu

persatuan.
Liberty perlu fraternity.

Tapi ada yang ketiga, egalite,

yang kalau di Amerika adalah

prosperity (kesejahteraan).

Nah, itu kalau digabung itulah yang kita

maksud dengan keadilan sosial.

Jadi kebebasan itu bisa menghasilkan

ketidakadilan

karena yang menikmati kebebasan

paling banyak itu elit.

Jadi orang yang stratifikasinya di atas

itu paling banyak menikmati

kebebasan.

Semua menikmati kebebasan,

tapi yang lebih banyak menikmati

yang di atas.

Maka kesenjangan otomatis,

makin bebas suatu masyarakat,

makin jauh.

Makin jauh, konflik makin terbuka,

maka di situ kepemimpinan diperlukan.

Satu-satunya yang paling pokok dari


fungsi kepemimpinan itu tentu keadilan.

Selain soal merukunkan,

menjaga ruang bebas,

membangun kesejahteraan umum.

Maka salah satu hadits Nabi,

boleh ini hari Jumat ini,

"Tujuh golongan orang yang nanti

dijamin dapat perlindungan dari Allah

pada saat tidak ada lagi perlindungan

yang bisa diharap

kecuali dari dari Allah, tujuh golongan

orang."

Golongan pertama yang disebut

"imamun adilun"

pemimpin yang adil.

Itu yang duluan disebut. Yang lain-lain

nomor 2 sampai nomor 7.

Jadi dalam hidup ini kepemimpinan

yang adil

dan mengadilkan struktur kehidupan,

itu yang paling pokok.

Kalau dia tidak hadir, kalau keadilan

tidak membaik,

artinya dia tidak hadir.


Dia hanya ada posisi, tapi tidak

berperan untuk membangun keadilan.

Jadi saya setuju sekali maka semua

kebijakan harus kita arahkan

untuk membangun keadilan sosial,

keadilan struktural.

Jadi gampang menilainya itu.

Orang yang penghasilan tertinggi sama

terendah, jaraknya berapa?

Di zaman Orde Baru, itu jaraknya

ratusan.

Di zaman Orde Lama, jaraknya

puluhan.

Tapi sesudah reformasi, jaraknya

ribuan,

antara orang penghasilan tertinggi

sama terendah,

pimpinan perusahaan termasuk BUMN

yang dapat 1M sebulan, take home pay,

banyak, dan itu legal.

Tapi yang dapatnya cuma sejuta,

penghasilan sejuta, itu ratusan ribu.

Jadi ini halal, legal.


Maka sesuatu yang legal dan halal

belum tentu baik, belum tentu adil.

Jadi tidak sama antara keadilan dan

menegakkan hukum.

Makanya saya suka tanya sama teman-

teman penegak hukum,

"Kalian ini menegakkan apa?

Menegakkan peraturan, teks, atau

menegakkan rohnya hukum

yaitu keadilan."

Pada nggak jelas.

Tiap hari kita menegakkan hukum

tapi cuma teks,

jadi sarjana peraturan,

bukan sarjana keadilan.

Jadi masalah kita serius dalam soal

keadilan sosial.

Saya setuju dengan data-data bahwa

keadilan,

indeks Gini itu salah satu cara kita

mengukur

bahwa ini enggak ada kemajuan.

- Ini cabang kedua pertanyaan.


Bapak tadi menyinggung mengenai

keberadaan Tiongkok

yang semakin signifikan.

Ada istilah namanya Thucydides Trap.

Ini berasal dari seorang jenderal

di Athena

yang menggunakan perumpamaan

kalau ada kekuasaan yang muncul,

harus ada kekuasaan yang turun.

Itu terbelenggu mereka, terjebak dalam

jebakan yang mungkin kurang berkenan

untuk banyak orang, bukan mereka

berdua saja.

Amerika bisa dibilang mungkin mundur.

Tiongkok naik.

Pandangan Bapak gimana, Pak?

- Saya rasa penggambaran Thucydides

Trap itu

ditulis oleh Graham Ellison itu penting,

cuma pembicaraan sekarang

di mana- mana.

Dan saya rasa bisa kita benarkan itu


alamiah, sunnatullah.

Jadi Spartan enggak siap dengan

kenyataan munculnya kekuatan Athena.

Banyak filsuf, dsb. Jadi perang.

Nah, itu lebih dari trap, saya rasa ini

syndrome semua orang,

semua golongan, semua kelompok

yang berkuasa,

melihat saingannya muncul, jadi harus

ditundukkan.

Cuma yang jadi masalah

sekarang ini ada nuklir.

Kalau perang dunia kedua cuma tiga

bom.

Satu untuk uji coba, 2 diledakkan.

Orang baru tahu belakangan cuma tiga.

Sebetulnya Jepang gak usah menyerah

waktu itu,

tapi dia kemudian menyerah.

Tapi kalau sekarang ini sudah 10

negara

punya hulu ledak nuklir ratusan.

Jadi kayak apa perang itu nanti.


Jadi saya rasa kita mesti bagaimana ya

mengingatkan kekuatan dunia ini,

mesti ke depan itu harus ada agenda

denuklirisasi seluruh dunia,

karena itu berbahaya untuk

kemanusiaan.

Tapi udahlah perang dulu,

ibarat gitu kan.

Jadi saya sampai sekarang ini melihat

gejala perang dunia ke-3 ini

harap cemas saya.

Kalau kita tanya soal harapan,

kalau bisa jangan.

Tapi kayaknya jadi ini.

Sudah satu tahun, semua kapal sudah

ada di Laut Cina Selatan,

biayanya sudah lebih dari satu triliun.

Sudah satu tahun lebih.

Juga perang sudah terjadi di

perbatasan India dengan Tiongkok,

Rusia sudah mulai ribut lagi dengan

Ukraina, dsb.

Jadi saya lihat kemungkinan bisa


terjadi.

Seandainya tidak, yang jelas perang

dinginnya lama.

Maka sampai pertengahan abad 20

tatkala kita menjelang 100 tahun

Indonesia merdeka

kita harus antisipasi segala

kemungkinan.

Jadi kalau kita tidak pandai

selama 30-25 tahun, atau 20 tahun

ke depan,

28 tahun ke depan,

kita salah mengambil langkah

hanya orientasinya ke dalam negeri,

kita bisa salah langkah.

Jadi kita boleh menganjurkan semua

teman-teman

yang sedang memegang amanah,

tolonglah berpikir dengan jangkauan

yang agak jauh ke depan,

jangan terjebak pada soal-soal

pragmatisme sektoral jangka pendek,

hanya untuk rebutan.


Itu Pak, yang sangat kita harapkan.

- Saya sepakat. Selama beberapa ribu

tahun terakhir,

teknologi itu terus berevolusi,

berinovasi.

Kecepatan dan akselerasi kecepatan

semakin meningkat.

Tapi peningkatan derivatif 1 dan 2

tersebut

mengekspos manusia dengan margin

of error yang semakin besar.

Dan manifestasi error yang besar itu

adalah Perang Dunia II.

Dan ke depan, teknologi akan terus

berinovasi

dengan kecepatan dan akselerasi

kecepatan yang semakin meningkat,

semakin besar lagi margin of error-nya,

semakin besar lagi error-nya.

Jadi ini tugas kita untuk memitigasi

resiko yang tidak diinginkan.

- Ya. Kita belajar dari abad 20,

Perang Dunia I,

Great Depression tahun 1930-an,


ini kan potensi greater depression.

Kemudian tahun 1940-an,

Perang Dunia II.

Tapi pertengahan abad 20 itu tercatat

dalam sejarah

perubahan tata ekonomi-politik dunia

berubah total.

PBB didirikan, negara-negara

Asia-Afrika pada merdeka.

Maka kita harus siap kemungkinan

perubahan tata ekonomi, politik,

dan kebudayaan global sekali lagi,

pertengahan abad ke-21.

Apakah jadi perang panas atau

sekadar perang dingin,

tapi lebih dingin dari yang lalu, itu pasti

menghasilkan perubahan besar.

Jadi generasi masa kini,

harapan kita, betul-betul memberi

catatan

mengenai antisipatif, mengenai

perubahan yang akan terjadi.

Melawan, begitu.

- Insha Allah.
Pertanyaan terakhir, ini ada dua

cabang.

Yang pertama, Bapak beberapa kali

menyampaikan

bahwasannya sulit sekali mencari

anak-anak muda

yang berbakat, cerdas, untuk ikut

dalam proses politik.

Ini kalau kita kembangkan ke cabang

kedua pertanyaan saya,

gimana caranya supaya anak-anak

muda yang cerdas, berbakat,

itu bisa ikut dalam proses politik,

untuk menyongsong masa depan kita

yang cerah menuju 2045.

Gimana Pak?

- Saya rasa bisa plus-minus juga.

Jadi kalau disurvei katanya sekarang

ini, saya belum jelas angkanya,

kalau dulu, cita-cita anak muda masuk

jadi pegawai negeri,

sekarang itu cita-cita jadi pegawai

negeri semakin sedikit.

Makin sedikit.
Semua kalau ditanya pinginnya bisnis.

- Di startup.

- Iya, startup semua. Gara-gara istilah

startup, semua ngomong startup.

Karena dibayangkan cepat dapat

penghasilan, cepat kaya.

Kayak Bill Gates. Semua meniru, gitu kan.

Di satu segi, sebenarnya ada baiknya

juga ini.

Karena bernegara ini,

kan cuma lima juta orang yang ngurus

negara ini.

PNS kan cuma 4 juta,

pejabat-pejabat kayak saya, kayak Pak

Gita yang pernah jadi menteri.

Itu kan paling paling banyak, termasuk

tenaga honorer satu juta.

Jadi yang bangkrut, tidak dapat

penghasilan dari negara,

cuma lima juta orang, kalau negara ini

bangkrut.

Tapi penduduk kita akan 270 juta.

Makannya dari mana itu?


Makan dari dinamika ekonomi,

dari masyarakat.

Sekarang pelaku bisnis/entrepreneur

masih rendah sekali.

Pendidikan kita pun cita-citanya sangat

mulia

menghasilkan tenaga kerja terampil.

Kan mulia sekali.

Bahkan Menteri (Mohamad) Nasir

menambah kebijakan, setiap sarjana S1

harus dilengkapi dengan SKPI

(Surat Keterangan Pendamping Ijazah).

Maksudnya harus training profesional.

Maksudnya jadi pegawai terampil

nanti.

Cita-citanya semulia-mulianya

mau menghasilkan pegawai terampil.

Kenapa bukan pemimpin terampil?

Kenapa bukan pemilik usaha terampil?

Tapi yang dibayangkan cita-cita

pendidikan nasional kita

menghasilkan pegawai terampil.


Ini harus direformasi juga.

Jadi pelaku bisnis itu masih masalah.

Jadi saya rasa, dari satu segi, bagus ini.

Tapi di lain segi, benar juga, Pak,

Pak Gita Kemukakan itu.

Kalau nanti yang mengisi ruang politik

itu orang-orang pragmatis

tidak punya idealisme, repot kita.

Karena kebijakan publik akhirnya itu

yang menjadi akar mula

yang mempengaruhi semua kehidupan.

Jadi kalau pembuat kebijakan publik

itu orang-orang pragmatis, repot kita.

Seperti yang sekarang ini.

Jadi saya rasa, dua-duanya mesti kita

benahi

sambil mengingatkan yang sudah

duduk di dalam posisi politik.

Mbok belajar untuk berpikir jangka

panjang

sambil mendidik kader-kader


bukan hanya business-preneuship,

socio-preneurship, juga political-

preneurship.

Jadi bukan sekedar jadi PNS dan

pegawai terampil,

nanti ujung-ujungnya jadi TKI.

Mbok jadi pengusaha, ke Jerman sana

jadi pengusaha.

Menurut saya ya, bikin kebijakan

daripada kirim TKI,

mending kirim mahasiswa magang.

Mahasiswa magang sebanyak-

banyaknya,

nanti dapat kerjaan, tapi terhormat.

Daripada TKI apa lagi TKW.

Jadi saya rasa banya yang perlu

dibenahi.

Saya optimis generasi milenial

sekarang ini

dia bisa berbagi peran; mana yang

melakukan bisnis,

mana yang memperbaiki ranah politik.

- 2045 Gimana Pak, pesan-pesan akhir?


- Saya rasa 2045, ini masa terakhir

transisi.

Jadi sejarah, ya ini sebagian harapan

feodalisme dalam politik kalau bisa

sesudah 2045, 2025, 2024

itu selesai kalau bisa.

Maka kita harus mengatur ulang

sistem politik, sistem kepartaian,

jangan jadi oligarki, jangan jadi dinasti.

mungkin yang akan jadi presiden itu

saya nggak tahu siapa,

mudah-mudahan ada generasi

perantara.

Jangan langsung muda sekali,

agak tua sedikit dari yang sekarang

juga nggak apa

supaya regenerasinya itu tidak

meloncat.

Jadi kesadaran kesejarahan juga itu

bahaya kalau meloncat.

Dan penduduk kita yang semakin tua

juga makin banyak.

Politik kita juga mengalami

gerontologi, makin tua.


Apa lagi partainya dipimpin oleh orang

tua dan sehat pula, panjang umur.

Maka dia yang akan terus menentukan.

Sedangkan pejabat resmi,

anak-anak muda,

yang dikontrol oleh orang tua.

Kan berbahaya juga itu.

Jadi dia tidak punya independensi

sebagai pemimpin.

Harapan saya, mudah-mudahan

periode 2024

periode terakhir, periode lima tahun

menjelang kita menuju 2045,

pertengahan abad ke-21

di mana perubahan besar sedang

terjadi di dunia.

Amin. Mudah-mudahan.

- Wow! Luar biasa.

Terima kasih, Pak Jimly.

Teman-teman itulah

Profesor Doktor Jimly Asshiddiqie.

Terima kasih.
[Voiceover: Inilah Endgame]

Anda mungkin juga menyukai