Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA KLIEN DENGAN RESIKO ISOLASI SOSIAL

Disusun oleh

JAMAL HUDA

071201004

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS XXIV


UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba,
dkk. 2008).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk.
2009). 
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang
diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif
atau mengancam (Wilkinson, 2007).

B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak
dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya.
Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya
stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh
pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan
tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain
maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan
sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu
dalam berhubungan terdiri dari:
1) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan
antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa
percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan
mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian
hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan
rasa percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
2) Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang
mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai
membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi
apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini
dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan
yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga
dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang
interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan
terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem
nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak
mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
3) Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim
dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari
perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi
hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan
individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada
hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila
remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan
tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun
tergantung pada remaja.
4) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua.
Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan
perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta
peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk
membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan
mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada
dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality). 
5) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan
anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat
digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang
dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat
diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
6) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan
keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman,
maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut
ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun
kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
1) Sikap bermusuhan/hostilitas
2) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan
untuk mengungkapkan pendapatnya.
4) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan
musyawarah.
5) Ekspresi emosi yang tinggi
6) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya
meningkat)
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh
satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari
lingkungan sosial.
d. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian
pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita
skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
2. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal, meliputi:
a. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua,
kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara.
Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
b. Stressor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan
MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka
menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical
seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-
gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat
merubah stuktur sel-sel otak.
c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan
yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan
individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai
masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena
ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun
realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai
kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan
dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada
fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu
terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian
nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping yang sering
digunakan pada masing-masing tingkah laku adalah sebagai berikut:
1) Tingkah laku curiga: proyeksi
2) Dependency: reaksi formasi
3) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
6) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi,
isolasi, represi dan regrasi.

C. POHON MASALAH

Sumber: (Keliat, 2006)


D. TANDA DAN GEJALA
Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat
ditemukan dengan wawancara, adalah:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

E. AKIBAT YANG DITIMBULKAN


Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya perubahan
persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori halusinasi adalah
persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau persepsi
sensori yang tidak sesuai dengan realita/kenyataan seperti melihat bayangan
atau mendengarkan suara-suara yang sebenarnya tidak ada.
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari panca
indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun yang dapat
disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau
histerik.Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang terjadi
tanpa adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi lima perasaan
(pengelihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, perabaan), akan tetapi
yang paling umum adalah halusinasi pendengaran.

F. PETALAKSANAAN
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial
dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental:
faham, halusinasi. Gangguan perasaan  dan perilaku yang aneh atau
tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari,
tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan
rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut,
akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe).
Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk
pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek
samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung
tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama
jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,
epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan
fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi
terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut
sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat
diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan
masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu,
perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan
pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak
berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan
memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke
dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien
mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu
pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi
jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan
dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke
dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti
dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak
merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi
tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala
primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang
dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana
pasien mau mengawali tidurnya.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial
pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
a. Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya
menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan
sebagainya.
b. Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan
dan sebagainya.
c. Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling
menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam
berkomunikasi.
d. Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih
dari dua orang).
e. Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah
sakit.
f. Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas
maupun orang lain.
g. Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang
bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori
lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak
membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.
G. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri
2. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak
efektifnya koping individu : koping defensif.

H. Intervensi
Dx 1 : Perubahan persepsi sensori : halusinasi b/d menarik diri.
Tujuan umum : Tidak terjadi perubahan persepsi sensori : halusinasi.
Tujuan khusus :
a. Dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria evaluasi :
1. Ekspresi wajah beersahabat, menunjukkan rasa senang, adanya
kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau
menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau
mengutarakan masalah yang dihadapi.
Intervensi Keperawatan :

1. Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi


teraupetik.

2. Sapaklien dengan ramah baik vebal maupun nonb verbal.

3. Perkenalkan diri dengan sopan

4. Tanyakan nama lengkap klien dan nama kesukaan klien.

5. Jelaskan tujuan pertemuan.

6. Jujur dan menepeti janji.

7. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.

8. Ciptakan lingkungan yang tenang dan bersahabat.

9. Beri perhatian dan penghargaan : temani klien walau tidak


menjawab.

10. Dengarkan dengan empati beri kesempatan bicara, jangan buru –


buru, tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.
Rasionalisasi :

Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan


interaksi selanjutnya

b. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri.


Kriteria evaluasi :
Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri.
Intervensi keperawatan :
1. Kaji pengetahuan klien tantang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya.
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan pearasaan
penyebab menarik diri tidak mau bergaul.
3. Diskusikan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda serta
penyebab yang muncul.
4. Berikan reinforcement positif terhadap kemampuan klien dalam
mengungkapkan perasaannya.
Rasionalisasi :
Diketahuinya penyebab akan dapat dihubungkan dengan factor
presipitasi yang dialami klien.
c. Klien dapat menyebabkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
Kriteria Evaluasi :
Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian berhubungan dengan orang lain.
Intervensi Keperawatan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat keuntungan berhubungan
dengan orang lain serta kerugiannya bila tidak berhubungan
dengan orang lain.
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
tentang berhubunagn dengan orang lain
3. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang kerugian bila tidak berhubungan denagn orang lain.
4. Diskusikan bersama tentan keuntungan berhubungan denagn orang
lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
5. Beri reinforcement positif terhadapo kemampuan mengungkapkan
pearasaan tentang keuntungan berhubunagn dengan orang lain dan
kerugian bila tidak berhubungan denagn orang lain.
Rasionalisasi :
a. Mengidentifikasi sejauh mana keuntunagn yang klien rasakan bila
berhubungan dengan orang lain.
b. Mengidentuifikasi kerugian yang klien rasakan bila tidak
berhubungan dengan orang lain.
STRATEGI PELAKSANAAN

I. Proses Keperawatan.
A. Kondisi Klien
1) Data subjektif :
a) Klien mengatakan malas berinteraksi dengan orang lain.
b) Klien mengatakan orang-orang jahat dengan dirinya.
c) Klien merasa orang lain tidak selevel.
2) Data objektif :
a) Klien tampak menyendiri.
b) Klien terlihat mengurung diri.
c) Klien tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain.
B. Diagnosa Keperawatan : Isolasi Sosial.
C. Tujuan
1) Umum: Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
2) Khusus:
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b) Klien dapat menyebutkan penyebab isolasi sosial.
c) Klien mampu menyebutkan keuntungan dan kerugian
hubungan dengan orang lain.
d) Klien dapat melaksanakan hubungan social secara bertahap.
e) Klien mampu menjelaskan perasaan setelah berhubungan
dengan orang lain.
f) Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas
hubungan sosial.
g) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.
D. Tindakan Keperawatan.
1) Membina hubungan saling percaya.
2) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien.
3) Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain.
4) Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian berinteraksi dengan
orang lain
5) Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
6) Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
II. Proses Pelaksanaan
A. Fase Orentasi.
1) Salam Terapeutik : Assalamualaikum..!!! selamat pagi
bapak/ibu…… perkenalkan nama saya I Wayan Aditya Harymbawa
saya mahasiswa keperawatan dari Universitas Ngudi Waluyo
Ungaran, nama bapak/ibu siapa? senang dipanggil apa?
2) Evaluasi / Validasi : Bagaimana perasaan bapak A hari ini? O..
jadi bapak A merasa bosan dan tidak berguna.
3) Kontrak :
a. Topik : Baiklah bapak A, bagaimana kalau kita berbincang-
bincang tentang perasaanbapak Adan kemampuan yang
bapak A miliki? Apakah  bersedia?Tujuannya Agar bapak A
dengan saya dapat saling mengenal sekaligus bapak A dapat
mengetahui keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan
kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
b. Waktu :Berapa lama bapak A mau berbincang-bincang?
Bagaimana kalau 20 menit?
c. Tempat : bapak A mau berbincang-bincang dimana?
Bagaimana kalau di ruang tamu?.
B. Fase kerja
Dengan siapa bapak A tinggal  serumah? Siapa yang paling dekat
dengan bapak A? apa yang menyebabkan bapak A dekat dengan
orang  tersebut? Siapa anggota keluarga dan teman bapak A yang
tidak dekat dengan bapak A? apa yang membuat bapak A tidak dekat
dengan orang lain? Apa saja kegiatan yang biasa bapak A lakukan saat
bersama keluarga? Bagaimana dengan teman-teman yang lain?
Apakah ada pengalaman yang tidak menyenangkan ketika bergaul
dengan orang lain?  Apa yang menghambat bapak A dalam berteman
atau bercakap-cakap dengan orang lain?
Menurut bapak A apa keuntungan kita kalau mempunyai teman?
Wah benar, kita mempunyai teman untuk bercakap-bercakap. Nah
kalau kerugian kita tidak mempunyai teman apa bapak A? ya apa lagi?
(sampai menyebutkan  beberapa) jadi banyak juga ruginya tidak
punya teman ya. Kalau begitu  bapak A ingin belajar berteman dengan
orang lain? Nah untuk memulainya sekarang bapak A latihan
berkenalan dengan saya terlebih dahulu. Begini bapak A, untuk
berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dahulu nama kita dan
nama panggilan yang kita sukai. Contohnya: nama saya Aprilia
Wahyu Fitria Setyaningrum, senang dipanggil Aprilia. Selanjutnya
bapak A menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya
nama bapak/ibu…….. siapa ? senangnya dipanggil apa?  Ayo bapak A
coba dipraktekkan! Misalnya saya belum kenal dengan bapak. coba
bapak berkenalan dengan saya.
Ya bagus sekali bapak A!! coba sekali lagi bapak A!!! bagus
sekali bapak A!! setelah berkenalan dengan orang lain, ibu bisa
melanjutkan percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan untuk
bicara. Misalnya tentang cuaca, tentang hobi, tentang keluarga,
pekerjaan dan sebagainya, nah bagaimana kalau sekarang kita latihan
bercakap-cakap dengan teman bapak A (dampingi pasien bercakap-
cakap).
C. Terminasi
1) Evaluasi subjektif dan objektif :Bagaimana perasaan bapak A
setelah kita latihan berkenalan? Nah sekarang coba ulangi dan
peragakan kembali cara berkenalan dengan orang lain!
2) RTL
Baiklah bapak A dalam satu hari mau berapa kali bapak A latihan
bercakap-cakap dengan teman? Dua kali ya bapak A? baiklah jam
berapa bapak A akan latihan? Ini ada jadwal kegiatan, kita isi
pada jam 11:00 dan 15:00 kegiatan bapak A adalah bercakap-
cakap dengan teman sekamar.
3) Kontrak yang akan datang :
a. Topik : Baiklah bapak A bagaimana kalau besok kita
berbincang-bincang tentang pengalaman bapak A bercakap-
cakap dengan teman-teman baru dan latihan bercakap-
cakap  dengan topik tertentu. apakah bapak A bersedia?
b. Waktu : bapak A mau jam berapa? Bagaimana kalau jam
11:00?
c. Tempat : bapak A maunya dimana kita berbincang-bincang?
Bagaimana kalau di ruang tamu?? Baiklah bapak A besok
saya akan kesini jam 11:00 sampai jumpa besok bapak A
saya permisi.

SP 2 : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang


pertama / perawat)
Orientasi :
“Selamat pagi bapak A! bagaimana perasaan bapak A hari ini?”. “Sudah
diingat-ingat lagi pelajaran kita tentang berkenalan? Coba sebutkan lagi sambil
bersalaman dengan Perawat!. “Bagus sekali, bapak A masih ingat. Nah, seperti
janji saya, saya akan mengajak bapak A mencoba berkenalan dengan teman saya,
perawat N. Tidak lama kok, sekitar 10 menit.”. “Ayo kita temui perawat N
disana!”

Kerja :
(Bersama-sama bapak A, perawat mendekati perawat N)
“Selamat pagi perawat N, bapak A ingin berkenalan dengan N. Baiklah
bapak A, bapak A bisa berkenalan dengan perawat N seperti yang kita praktikkan
kemarin.” (Pasien mendemostrasikan cara berkenalan dengan perawat N.
Memberi salam, menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan
seterusnya.)“Ada lagi yang bapak A ingin tanyakan kepada perawat N? Coba
tanyakan tentang keluarga perawat N!” Jika tidak ada lagi yang ingin
dibicarakan, bapak A dapat menyudahi perkenalan ini. Lalu bapak A , bisa buat
janji untuk bertemu lagi dengan perawat N, misalnya jam 1 siang nanti.”.
“Baiklah perawat N, karena bapak A sudah selesai berkenalan, saya dan Z akan
kembali ke ruangan bapak A. Selamat pagi!” (Bersama pasien, perawat Mira
meninggalkan perawat N untuk melakukan terminasi dengan bapak A di tempat
lain.)

Terminasi :
“Bagaimana perasaan bapak A setelah berkenalan dengan perawat N?”.
“bapak A tampak bagus sekali saat berkenalan tadi.”. “Pertahankan terus apa
yang sudah bapak A lakukan tadi. jangan lupa untuk menanyakan topik lain
supaya perkenalan berjalan lancar, misalnya menanyakan keluarga, hobi, dan
sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain? mari kita masukkan ke
dalam jadwal. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali. Baik, nanti
bapak A coba sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10?
Sampai besok!”

SP 3 pasien : Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan


orang kedua).
Orientasi :
“Selamat pagi bapak A! Bagaimana perasaan bapak A hari ini?”.
“Apakah bapak A bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang (jika
jawaban pasien, ya, perawat dapat melanjutkan komunikasi berikutnya dengan
pasien lain).”. “Bagaimana perasaan bapak A setelah bercakap-cakap dengan
perawat N kemarin siang?”. “Bagus sekali bapak A menjadi senang karena
punya teman lagi!”. “Kalau begitu bapak A ingin punya banyak teman lagi?”.
“Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan teman seruangan bapak
A yang lain, yaitu O. Seperti biasa, kira-kira 10 menit. Mari kita temui dia di
ruang makan.”
Kerja :
(Bersama-sama A, perawat mendekati pasien lain)
“Selamat pagi, ini ada pasien saya yang ingin berkenalan”. “Baiklah
bapak A, bapak A sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang telah bapak
A lakukan sebelumnya.” (Pasien mendemostrasikan cara berkenalan : memberi
salam, menyebutkan nama, nama panggilan, asal, hobi, dan menanyakan hal
yang sama).“Ada lagi yang bapak A ingin tanyakan kepada O? Kalau tidak ada
lagi yang ingin dibicarakan, bapak A bisa sudahi perkenalan ini. Lalu bapak A
bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti (bapak A
membuat janji untuk bertemu kembali dengan O).”. “Baiklah O, karena bapak A
sudah selesai berkenalan, saya dan bapak A akan kembali ke ruangan bapak A.
Selamat pagi (bersama pasien perawat meninggalkan O untuk melakukan
terminasi dengan bapak A di tempat lain).

Terminasi :
“Bagaimana perasaan bapak A setelah berkenalan dengan O?”.
“Dibandingkan kemarin pagi, bapak A tampak lebih baik ketika berkenalan
dengan O. Pertahankan apa yang sudah bapak A lakukan tadi. Jangan lupa untuk
bertemu kembali dengan O jam 4 sore nanti.”. “Selanjutnya, bagaimana jika
kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang lain kita tambahkan lagi
di jadwal harian. Jadi, satu hari bapak A dapat berbincang-bincang dengan
orang lain sebanyak 3 kali, jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8 malam, bapak A
bisa bertemu dengan N, dan tambah dengan pasien yang baru dikenal.
Selanjutnya bapak A bisa berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap.
Bagaimana bapak A, setuju kan?”. “Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk
membicarakan pengalaman bapak A. Pada jam yang sama dan tempat yang sama
ya.”. “Sampai besok!”
DAFTAR PUSTAKA

Anna Budi Keliat, SKp. (2006). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial


Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta :
Salemba Medika
Nita Fitria.
2009. PrinsipDasardanAplikasiPenulisanLaporanPendahuluandanStrateg
iPelaksanaanTindakanKeperawatanuntuk 7 Diagnosis
KeperawatanJiwaBerat. Jakarta: SalembaMedika.
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga.Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses
Interaksi (API). Jakarta : fajar Interpratama.
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .

Anda mungkin juga menyukai