Oleh :
Vikneshwaran Muthusamy (0802005174)
Pembimbing :
Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka Putra,SpPD-KR
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan responsi kasus yang berjudul
“Systemic Lupus Erythematous (SLE)” tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini
merupakan salah satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka putra,SpPD-KR, selaku pembimbing laporan ini
atas bimbingan, saran, dan masukan selama penyusunannya.
2. Dokter-dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas
bimbingan dan saran-sarannya.
3. Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas
bantuannya dalam penyusunan laporan kasus ini.
Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu saran dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan demi perbaikan tugas
serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi manfaat bagi
pihak yang berkepentingan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................. 2
2.1 Identitas Pasien................................................................................ 2
2.2 Anamnesis........................................................................................ 2
2.3 Pemeriksaan Fisis............................................................................ 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................... 6
2.5 Diagnosis Kerja................................................................................ 10
2.6 Terapi............................................................................................... 11
BAB III PEMBAHASAN................................................................................. 12
3.1 Definisi............................................................................................. 12
3.2 Faktor Resiko................................................................................... 1.3
3.3 Patofisiologi..................................................................................... 15
3.4 Manifestasi Klinis............................................................................ 16
3.5 Diagnosis......................................................................................... 25
3.6 Terapi............................................................................................... 28
3.8 Prognosis.......................................................................................... .30
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem di
mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat
berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.
Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam.
Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian
awal yang memicunya masih belum diketahui.1,2
Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu
system mukokutan (malar rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia),
neurology (serebri) dan ginjal (nefritis).
3.2 Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di
AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun
didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum
kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi
terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di
seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya
lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit
hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika.
SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade
kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru
pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang
pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia
yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih sering
daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1.1,2,3,4
2
Sesuai dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering pada jenis kelamin
perempuan, kasus ini juga adalah perempuan. Sesuai dengan studi yang
mengatakan puncak kedua SLE pada usia sekitar 50, kasus ini berumur 48 tahun.
3
Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh
sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka
waktu yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan terakumulasi pada titik kritis.2,3
Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan
konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan
lupus. Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di
serum terhadap antigen nukleus (antinuclear antibodies, atau ANA).
Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada
pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar
berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi,
antigen target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut.1,3
Pada kasus ini ditemukan tes antinuclear antibodies, atau ANA yang positif.
3.4 Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai
agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada
manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki
oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam
menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan
5
cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2)
berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi
efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi
kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase
puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan
sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi
selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.2,3,4
6
lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala
yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit.
Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit, efek
samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik
terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional. 1,4
Pada kasus ini dijumpakan gejala demam namun gejala ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan badan juga ditemukan pada pasien
ini. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah
satu gejala yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut
ditemukan pada kasus ini.
7
dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari
infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang
mungkin tumpang tindih dengan sindrom Sjögren. Umumnya mata dan mulut
kering merupakan efek samping pengobatan.4,5
Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada
pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada
sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar
rash atau butterfly rash) pada bahagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga
ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu
menyikat rambut.
8
3.5.4 Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau
dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau
hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh
karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien
dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia,
atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati
dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri.5
Endokarditis trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali
tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau
katup aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan
infark miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang
yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,
menopause prematur, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan
arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering
ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki sering
tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada
sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang
namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien
SLE dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30%
pasien SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada
semua ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi
protein C dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan
terjadinya trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan
terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri.
9
pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta
infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan
alveolus difus dapat timbul dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki
angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan
fibrotik pada paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang
progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat
diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot
pernapasan, termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli
paru rekuren disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada
pasien dengan gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.2,4
Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan
proteinuria 25,00 mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 Leu/µL.
10
CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea;
atau bahkan pada biopsi leptomeningeal, dengan bukti inflamasi. Gambaran
alternatif lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus
ini, cairan serebrospinal dan pencitraan menunjukkan hasil normal, dan diagnosis
banding dari penyakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk
ditentukan. Masalah lain adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit
kepala sering ditemukan dengan intensitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang
berat dan menyerupai migren yang hanya responsif terhadap glukokortikoid
merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan
dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark.1 ,5
Pada pasien ini disuspek lupus serebri karena penurunan kesadaran.
11
mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan
perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan
limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng
dkk menghubungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada
pasien SLE. Leukositosis dapat disebabkan oleh glukokortikoid. Trombositopenia
ringan (100000 sampai 150 000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh
antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin
didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. 1,4,5
Pada kasus ini deitemukan kelainan atau manifestasi hematologic sesuai dengan
gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan
gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
12
Gambaran klinis lupus eritematosus kutis subakut adalah lesi papuloskuamosa,
psoriasiform, ruam anular. Lesi ini umumnya ditemukan pada bagian tubuh yang
terpajan matahari. Artritis dan serositis dapat ditemukan dan umumnya terjadi
secara episodik. Anti-Ro (SSA) dan anti-La (SSB) sering ditemukan pada
kelompok pasien dengan lupus eritematosus kutis subakut. 4
13
3.5.13 Temuan Laboratorium
Uji laboratorium bertujuan untuk (1) menegakkan atau menyingkirkan diagnosis;
(2)mengikuti perkembangan penyakit; dan (3) mengidentifikasi efek samping
terapi.
Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti
anemia normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis.
Pada SLE lebih sering ditemukan leukopenia dan limfopenia. Pemeriksaan fungsi
ginjal biasanya normal pada awal penyakit, walaupun nefritis lupus telah terjadi,
namun urinalisis dapat menunjukkan proteinuria dan hematuria mikroskopik.
Sedimen eritrosit merupakan tanda glomerulonefritis berat. Pemeriksaan fungsi
hati biasanya normal. Petanda inflamasi yang sering dipakai adalah laju endap
darah(LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau CRP). LED dapat
meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan pada SLE
dibandingpada penyakit infeksi. 1,2,3,4,5
Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena tes ini
positif pada > 95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar antibodi IgG
terhadap DNA untai ganda yang tinggi merupakan pemeriksaan yang spesifik
untuk SLE. Antibodi terhadap Sm juga spesifik untuk SLE dan mengarahkan
diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit
atau manifestasi klinis. aPL tidak spesifik untuk SLE, namun keberadaannya
memenuhi salah satu kriteria dan dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko
penggumpalan vena atau arteri, trombositopenia, dan kematian janin.
Uji autoantibodi tambahan dengan nilai prediktif (tidak digunakan
untuk diagnosis) dapat mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE
harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro.
Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen
hemolitik total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit.
Kadar C4 yang rendah dapat menggambarkan aktivitas penyakit, namun juga
14
dapat menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3 rendah
menggambarkan aktivasi komplemen.
Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar
protein, dan antobodi antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun
kadar dalam serum negatif.3,4
Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan
gambaran deposisi kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan
dermis-epidermis dengan pola granular. Biopsi ginjal menunjukkan derajat
keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk panduan pengobatan. Pemeriksaan
mikroskop imunofluoresens dan elektron penting untuk interpretasi gambaran
histopatologis ginjal yang benar. 1,2,3,4,5
Pada tes darah rutin pasien ini ditemukan kelainan hematologi, seperti anemia
normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik). Petanda inflamasi yang
sering dipakai yaitu laju endap darah(LED) yang biasanya meningkat pada
penyakit berat juga ditemukan meningkat pada pasien ini. Autoantibodi yang
terpenting untuk diagnosis SLE yaitu antinuclear antibody juga adalah positif
pada pasien ini.
3.6 Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda
nonspesifik atau spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan
memar, splenomegali, neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis,
pneumonitis interstisial, meningitis aseptik, atau tes Coombs positif. Keberadaan
anemia (71%), leukopenia (56%), trombositopenia (11%), proteinuria, hematuria,
piuria, azotemia, hipergammaglobulinemia, kompleks imun, krioglobulin,
antibodi antifosfolipid, dan Biologic False-Positive Serologic Test for Syphilis juga
membuat seseorang dicurigai SLE. Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap
penyakit ginjal; pasien yang berusia lebih tua saat awitan lebih jarang mengalami
ruam, artritis, dan penyakit ginjal namun lebih sering mengalami
keratokonjungtivitis Sicca (sindrom Sjörgen); serta lelaki lebih sering mengalami
serositis dan lebih jarang mengalami artritis. 1,2,3,4,5
15
Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria
American Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini
sekitar 96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun,
nilai prediktif kriteria ini lebih rendah. Pasien dapat dinyatakan sebagai bukan
SLE (tidak memenuhi kriteria atau hanya memenuhi satu kriteria), possible SLE
(hanya memenuhi dua kriteria), probableSLE (hanya memenuhi 3 kriteria), atau
definite SLE (memenuhi setidaknya empat kriteria). 1,2,3,4,5
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s
Principles of Internal Medicine, 17 th edition)
Malar rash
Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences
Discoid rash
Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and follicular
plugging; atrophic scarringmay occur
Photosensitivity
Exposure to ultraviolet light causes rash
Oral ulcers
Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician
Arthritis
Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness, swelling, or
effusion
Serositis
Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion
Renal disorder
Proteinuria >0.5 g/d or ≥3+, or cellular casts
Neurologic disorder
Seizures or psychosis without other causes
Hematologic disorder
Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/µL) or lymphopenia (<1500/µL) or
thrombocytopenia(<100,000/µL) in the absence of offending drugs
Immunologic disorder
16
Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid
Antinuclear antibodies
An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at any
point in time in the absence of drugsknown to induce ANAs
17
Pada pasien ini didiagnosa sebagai SLE karena memenuhi kriteria diagnosis SLE
yaiti lebih daripada 4 kriteria daripada 11 kriteria yang dinyatakan diatas. Kriteria-
18
kriteria yang telah dipenuhi oleh pasien ini adalah malar rash pada bagian wajah,
fotosensitivitas (kemerahan yang memberat dengan eksposur pada cahaya
matahari), non-erosive arthritis pada sendi lutut, renal disorder (protein di uria
sebanyak 25,00 mg/dl), hematologic disorder (anemia), neuropsychiatry disorder
(lupus serebri) dan penemuan anti-nuclear test, ANA yang positif. Pasien ini
memenuhi 7 daripada 11 kriteria diagnosis sehingga boleh digolongkan dalam
kategori definite SLE.
3.7 Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan
atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan
tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang
intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ
dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan
obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas. 6
Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif.
Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang
signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini
memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur.
Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas
gerakan dari persendian.
20
Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang
efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini
menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk
mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit
membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang
tradisional.6
Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis
(mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik)
kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahan-bahan
imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE,
hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan
resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat
penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala
dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet
Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau
transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab
dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang
menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam
sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan
bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi. 3,4,5
3.8 Prognosis
21
Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa
dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun
SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih
merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing
individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ
yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk
pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian.
Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai
75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun)
dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4
mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia
[hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan
aPL pada saat diagnosis. Pasien yang menjalani terapi transplantasi ginjal
memiliki angka kejadian penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali
pasien dengan penyebab lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum angka
bertahan hidup pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2 tahun).
Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi. Hendaya pada pasien
dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan oleh penyakit ginjal kronik,
kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25% pasien dapat mengalami remisi,
terkadang untuk beberapa tahun, namun jarang sekali bersifat permanen.
Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas
penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli
semakin sering menjadi penyebab mortalitas.4,6
Prognosis pada kasus ini bisa digolongkan dalam kategori dubius ad malam
karena penglibatan system saraf pusat.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL.
Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill;
2005.
2. Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease And
Management Options. P&T. Vol.37. No.4. April 2012.
3. Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of Disease Systemic Lupus
Erythematosus. N Engl J Med 2008;358:929-39
4. Ginzler E, and Tayar J. American College of Rheumatology. © 2012
American College of Rheumatology. (Updated January 2012)
5. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematous:
Pathogenesis, Clinical Manifestation and Diagnosis. Eular On-line Course
on Rheumatic Diseases – module n°17. 2007-2009.
6. Beer MH, Fletcher AJ, Jones TV. The Merck Manual of Medical
Information. 2nd ed.
23