Anda di halaman 1dari 26

RESPONSI KASUS

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS


( SLE)

Oleh :
Vikneshwaran Muthusamy (0802005174)

Pembimbing :
Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka Putra,SpPD-KR

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan responsi kasus yang berjudul
“Systemic Lupus Erythematous (SLE)” tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini
merupakan salah satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka putra,SpPD-KR, selaku pembimbing laporan ini
atas bimbingan, saran, dan masukan selama penyusunannya.
2. Dokter-dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas
bimbingan dan saran-sarannya.
3. Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas
bantuannya dalam penyusunan laporan kasus ini.

Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu saran dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan demi perbaikan tugas
serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi manfaat bagi
pihak yang berkepentingan.

Denpasar, September 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................. 2
2.1 Identitas Pasien................................................................................ 2
2.2 Anamnesis........................................................................................ 2
2.3 Pemeriksaan Fisis............................................................................ 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................... 6
2.5 Diagnosis Kerja................................................................................ 10
2.6 Terapi............................................................................................... 11
BAB III PEMBAHASAN................................................................................. 12
3.1 Definisi............................................................................................. 12
3.2 Faktor Resiko................................................................................... 1.3
3.3 Patofisiologi..................................................................................... 15
3.4 Manifestasi Klinis............................................................................ 16
3.5 Diagnosis......................................................................................... 25
3.6 Terapi............................................................................................... 28
3.8 Prognosis.......................................................................................... .30
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun


yang menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat
sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga
merupakan penyakit multi-sistem dimana banyak manifestasi klinis yang didapat
penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan
penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya
sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis,
dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah
neurologi, anemia, dan trombositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan
antara perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada
usia produktif, puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan
induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada
perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka
pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing
individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita
SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria,
kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-
obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,
monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi
penelitian para ilmuwan.

1
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem di
mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat
berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.
Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam.
Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian
awal yang memicunya masih belum diketahui.1,2
Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu
system mukokutan (malar rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia),
neurology (serebri) dan ginjal (nefritis).

3.2 Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di
AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun
didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum
kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi
terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di
seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya
lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit
hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika.
SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade
kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru
pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang
pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia
yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih sering
daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1.1,2,3,4

2
Sesuai dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering pada jenis kelamin
perempuan, kasus ini juga adalah perempuan. Sesuai dengan studi yang
mengatakan puncak kedua SLE pada usia sekitar 50, kasus ini berumur 48 tahun.

3.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi


SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-
DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon
imunyang abnormal.1,2.3

3.3.1 Faktor Genetik


SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLA-
DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan gen,
pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun abnormal.
Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan
regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T dan
B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul permukaan seperti HLA-D
danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi oleh antigen yang
menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang mengarahkan sel ke
aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini adalah produksi
autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang mengikat jaringan
target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating cells; (2)
fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan kemotaksin, peptida
vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE
yang ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom,
beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen
bermigrasi ke permukaandan fosfolipid membran berubah orientasi sehingga
bagian antigen menjadi dekat dengan permukaan. Molekul intrasel yang
meningkat selama aktivasi atau kerusakan sel bermigrasi ke permukaan sel.
Antigen yang dekat dengan atau terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi
sistem imun untuk menghasilkan autoantibodi. Pada individu dengan SLE,
fagositosis dan penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun tidak mumpuni.

3
Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh
sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka
waktu yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan terakumulasi pada titik kritis.2,3
Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan
konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan
lupus. Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di
serum terhadap antigen nukleus (antinuclear antibodies, atau ANA).
Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada
pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar
berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi,
antigen target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut.1,3
Pada kasus ini ditemukan tes antinuclear antibodies, atau ANA yang positif.

3.3.2 Faktor Lingkungan

Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan faktor


yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop antigen didermis
atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau
disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga terlibat dalam
lupus. Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat
menyebabkan lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip
dengan SLE. Mungkin yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik
dapat menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE.

Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal sebagai penyebab


lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang diinduksi
obatdaripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai
pengaruh geografis pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan
ini.3

Asam amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai penyebab lupus. Pajanan


terhadap asam amino ini menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada
manusia,seperti juga telah terbukti pada kera. Keberadaan fitoestrogen diajukan
sebagai penjelasan untuk peningkatan kejadian SLE selama 30 tahun terakhir.
4
Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi penyakit. Jika pasien mengidap
SLE, infeksi yang umum terjadi pada saluran napas atau saluran kemih seringkali
diikuti dengan cetusan aktivitas penyakit. Studi pada hewan menunjukkan bahwa
retrovirus dapat menginduksi fenomena autoimun mirip SLE. Kasus SLE
meningkat sejalan dengan pajanan kimiawi, kecelakaan, atau trauma fisik dan
psikologis. Belum ada pola yang jelas dalam kemunculan SLE, dan kausalitas
hubungan ini masih spekulatif.2,3
Pada kasus ini, sinar ultraviolet merupakan faktor pencetus yang jelas karena
menurut anamnesis, pasien mengeluh ruam atau kemerahan pada mukanya
menjadi berat dengan paparan pada sinar matahari. Pada pasien ini juga terjadi
infeksi yaitu pneumonia. Sesuai dengan teori, antara infeksi yang sering terjadi
adalah infeksi yang melibatkan salur pernafasan, yaitu pneumonia.

3.3.3 Pengaruh Hormonal


Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,
peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi
pada wanita pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen.
Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi
yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi
hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit
pada wanita penderita SLE yang penyakitnya stabil.3

3.4 Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel
secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai
agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada
manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki
oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam
menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan

5
cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2)
berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi
efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi
kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase
puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan
sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi
selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.2,3,4

3.5. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,
perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke
sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem dari
manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator .1,2,3,4,5
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan
gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara bertahap atau
tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan
aktivitas penyakit dan remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,
pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama, walaupun SLE
dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda pada
pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut. Banyak penyakit,
khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan gejala dan tanda SLE. 1,2,3,4,5

3.5.1 Manifestasi Konstitusional


Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi.
Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat
badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi

6
lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala
yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit.
Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit, efek
samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik
terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional. 1,4
Pada kasus ini dijumpakan gejala demam namun gejala ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan badan juga ditemukan pada pasien
ini. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah
satu gejala yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut
ditemukan pada kasus ini.

3.5.2 Manifestasi Mukokutan


Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang
telah ada sebelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan
(exagerrated sunburn), atau gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar
matahari atausumber cahaya buatan. Fotosensitivitas sering ditemukan dan dapat
terjadi pada semua kelompok ras dan etnis, walaupun belum ada studi mengenai
prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu
ruam kemerahan di area malar pipi dan persambungan hidung yang membagi
lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly rash. Ruam ini
dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat
meradang, bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini
hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat di wajah, leher, dan kulit kepala. Lupus kutis
akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar
ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang
terpajan sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V di leher) tanpa
pajanan sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo
reticularis, eritema periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula,
urtikaria akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. 1,2,3
Alopesia dapat timbul akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada
puncak SLE. Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid

7
dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari
infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang
mungkin tumpang tindih dengan sindrom Sjögren. Umumnya mata dan mulut
kering merupakan efek samping pengobatan.4,5
Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada
pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada
sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar
rash atau butterfly rash) pada bahagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga
ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu
menyikat rambut.

3.5.3 Manifestasi Muskuloskeletal


Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan sinovitis dan
nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah
deformitas Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun berkurang dan
tidak terbukti secara radiologis menyebabkan destruksi kartilago dan tulang.
Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria,
namun myositis dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasanya
merupakan gejala yang tumpang tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang
ditemukan. Ruptur tendon dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid.
Osteonekrosis (nekrosisavaskular) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek
pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoris, kaput humoral,
lempeng tibia, dan talus. Artralgia dan mialgia merupakan gejala lain yang sering
ditemukan, dapat disebabkan oleh penyakit, efek samping pengobatan,
glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati, dan faktor psikogenik. 1,2,3
Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua
tangan yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan
manifestasi muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive
dan non deforming arthritis.

8
3.5.4 Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau
dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau
hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh
karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien
dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia,
atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati
dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri.5
Endokarditis trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali
tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau
katup aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan
infark miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang
yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,
menopause prematur, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan
arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering
ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki sering
tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada
sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang
namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien
SLE dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30%
pasien SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada
semua ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi
protein C dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan
terjadinya trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan
terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri.

3.5.5 Manifestasi Paru


Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi
dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian
lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru,

9
pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta
infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan
alveolus difus dapat timbul dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki
angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan
fibrotik pada paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang
progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat
diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot
pernapasan, termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli
paru rekuren disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada
pasien dengan gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.2,4

3.5.6 Manifestasi Ginjal


Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali
tidak menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus
agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan
minimal, termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom
nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer,
hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan hipertensi,
sedimen eritrosit atau kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin, dan penurunan
laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia.
5

Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan
proteinuria 25,00 mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 Leu/µL.

3.5.7 Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik


Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang
merujuk pada SLE neuropsikiatrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki
manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,
khorea, ataksia, stroke, dan mielitis transversa. Pada pasien seperti ini diagnosis
dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti
peningkatan kadar protein, pleiositosis, dan/atau autoantibodi karakteristik; pada

10
CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea;
atau bahkan pada biopsi leptomeningeal, dengan bukti inflamasi. Gambaran
alternatif lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus
ini, cairan serebrospinal dan pencitraan menunjukkan hasil normal, dan diagnosis
banding dari penyakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk
ditentukan. Masalah lain adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit
kepala sering ditemukan dengan intensitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang
berat dan menyerupai migren yang hanya responsif terhadap glukokortikoid
merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan
dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark.1 ,5
Pada pasien ini disuspek lupus serebri karena penurunan kesadaran.

3.5.8 Manifestasi Gastrointestinal


Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas
untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan
komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan
terapi,yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat
menimbulkan gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan
kegawatan bedah akut. Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit
atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan
dengan hepatitis noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan
hepatitis autoimun melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga
dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan
hati dengan peningkatan transaminase ringan.4

3.5.9 Manifestasi Hematologi


Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering
namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat
disebabkan oleh hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin
rendah, dan kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi.
Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan

11
mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan
perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan
limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng
dkk menghubungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada
pasien SLE. Leukositosis dapat disebabkan oleh glukokortikoid. Trombositopenia
ringan (100000 sampai 150 000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh
antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin
didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. 1,4,5
Pada kasus ini deitemukan kelainan atau manifestasi hematologic sesuai dengan
gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan
gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.

3.5.10 Manifestasi Mata


Eksudat dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada
penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom
Sjögren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optik
atau oklusi arteri atau vena retina. 3,4,5

3.5.11 Late Lupus Syndrome


Sindrom ini disebabkan oleh kerusakan organ tahap akhir akibat SLE dan
efek samping pengobatan, khususnya akibat penggunaan glukokortikoid jangka
panjang. Sindrom ini dikenali dengan penyakit arteriosklerotik luas, atrofi kulit,
osteoporosis,osteonekrosis, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, insufisiensi
adrenal, gangguan kognitif, depresi, dan deconditioning. Keadaan ini dapat
membatasi long-term survival dan kualitas hidup pasien. 1

3.5.12 Tampilan Khusus Lupus Eritematosus Sistemik

3.5.12.1 Lupus Eritematosus Kutis Subakut

12
Gambaran klinis lupus eritematosus kutis subakut adalah lesi papuloskuamosa,
psoriasiform, ruam anular. Lesi ini umumnya ditemukan pada bagian tubuh yang
terpajan matahari. Artritis dan serositis dapat ditemukan dan umumnya terjadi
secara episodik. Anti-Ro (SSA) dan anti-La (SSB) sering ditemukan pada
kelompok pasien dengan lupus eritematosus kutis subakut. 4

3.5.12.2 Lupus Neonatus


Segera setelah lahir, bayi dari ibu dengan anti-Ro (SSA) dapat mengalami
sindrom artritis, erupsi kulit fotosensitif, alopesia, serositis, sitopenia, dan pada
kasus yang jarang dapat ditemukan gangguan konduksi jantung, termasuk blokade
jantung. Sejalan dengan waktu, antibodi dari ibu akan hilang dan digantikan oleh
antibody bayi, penyakit akan menghilang, namun gangguan konduksi mungkin akan
menetap.3

3.5.12.3 Lupus Eritematosus Diinduksi Obat


Hidralazin dan prokainamid merupakan senyawa tersering yang menyebabkan
lupuseritematosus yang diinduksi obat. Senyawa ini tidak menyebabkan
peningkatan aktivitas penyakit bila diminum oleh pasien dengan SLE.3

3.5.12.4 Sindrom Antibodi Antifosfolipid


Sindrom ini ditandai dengan tromboemboli vena dan/atau arteri rekuren dan
komplikasi obstetrik, umumnya retardasi pertumbuhan intrauterus dan
kematian janin. Biasanya dapat ditemukan gejala lain seperti trombositopenia
sedang, livedoreticularis, migren, dan endokarditis Libman-Sacks. Keberadaan
antibodiantifosfolipid dapat dibuktikan dengan tes ELISA untuk antibodi
antikardiolipin(ACL). 1,2,3,4,5

3.5.12.5 Overlap Syndromes


Sindrom tumpang tindih atau overlap syndromes tersering adalah penyakit jaringan
ikat campuran (Mixed connective tissue disease, atau MCTD), SLE dengan sindrom
Sjögren, SLE dengan skleroderma, SLE dengan tiroiditis, dan SLE dengan anemia
hemolitik mikroangiopati.1,3,4

13
3.5.13 Temuan Laboratorium
Uji laboratorium bertujuan untuk (1) menegakkan atau menyingkirkan diagnosis;
(2)mengikuti perkembangan penyakit; dan (3) mengidentifikasi efek samping
terapi.
Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti
anemia normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis.
Pada SLE lebih sering ditemukan leukopenia dan limfopenia. Pemeriksaan fungsi
ginjal biasanya normal pada awal penyakit, walaupun nefritis lupus telah terjadi,
namun urinalisis dapat menunjukkan proteinuria dan hematuria mikroskopik.
Sedimen eritrosit merupakan tanda glomerulonefritis berat. Pemeriksaan fungsi
hati biasanya normal. Petanda inflamasi yang sering dipakai adalah laju endap
darah(LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau CRP). LED dapat
meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan pada SLE
dibandingpada penyakit infeksi. 1,2,3,4,5
Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena tes ini
positif pada > 95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar antibodi IgG
terhadap DNA untai ganda yang tinggi merupakan pemeriksaan yang spesifik
untuk SLE. Antibodi terhadap Sm juga spesifik untuk SLE dan mengarahkan
diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit
atau manifestasi klinis. aPL tidak spesifik untuk SLE, namun keberadaannya
memenuhi salah satu kriteria dan dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko
penggumpalan vena atau arteri, trombositopenia, dan kematian janin.
Uji autoantibodi tambahan dengan nilai prediktif (tidak digunakan
untuk diagnosis) dapat mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE
harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro.
Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen
hemolitik total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit.
Kadar C4 yang rendah dapat menggambarkan aktivitas penyakit, namun juga

14
dapat menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3 rendah
menggambarkan aktivasi komplemen.
Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar
protein, dan antobodi antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun
kadar dalam serum negatif.3,4
Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan
gambaran deposisi kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan
dermis-epidermis dengan pola granular. Biopsi ginjal menunjukkan derajat
keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk panduan pengobatan. Pemeriksaan
mikroskop imunofluoresens dan elektron penting untuk interpretasi gambaran
histopatologis ginjal yang benar. 1,2,3,4,5
Pada tes darah rutin pasien ini ditemukan kelainan hematologi, seperti anemia
normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik). Petanda inflamasi yang
sering dipakai yaitu laju endap darah(LED) yang biasanya meningkat pada
penyakit berat juga ditemukan meningkat pada pasien ini. Autoantibodi yang
terpenting untuk diagnosis SLE yaitu antinuclear antibody juga adalah positif
pada pasien ini.

3.6 Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda
nonspesifik atau spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan
memar, splenomegali, neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis,
pneumonitis interstisial, meningitis aseptik, atau tes Coombs positif. Keberadaan
anemia (71%), leukopenia (56%), trombositopenia (11%), proteinuria, hematuria,
piuria, azotemia, hipergammaglobulinemia, kompleks imun, krioglobulin,
antibodi antifosfolipid, dan Biologic False-Positive Serologic Test for Syphilis juga
membuat seseorang dicurigai SLE. Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap
penyakit ginjal; pasien yang berusia lebih tua saat awitan lebih jarang mengalami
ruam, artritis, dan penyakit ginjal namun lebih sering mengalami
keratokonjungtivitis Sicca (sindrom Sjörgen); serta lelaki lebih sering mengalami
serositis dan lebih jarang mengalami artritis. 1,2,3,4,5

15
Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria
American Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini
sekitar 96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun,
nilai prediktif kriteria ini lebih rendah. Pasien dapat dinyatakan sebagai bukan
SLE (tidak memenuhi kriteria atau hanya memenuhi satu kriteria), possible SLE
(hanya memenuhi dua kriteria), probableSLE (hanya memenuhi 3 kriteria), atau
definite SLE (memenuhi setidaknya empat kriteria). 1,2,3,4,5
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s
Principles of Internal Medicine, 17 th edition)

Malar rash
Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences
Discoid rash
Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and follicular
plugging; atrophic scarringmay occur
Photosensitivity
Exposure to ultraviolet light causes rash
Oral ulcers
Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician
Arthritis
Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness, swelling, or
effusion
Serositis
Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion
Renal disorder
Proteinuria >0.5 g/d or ≥3+, or cellular casts
Neurologic disorder
Seizures or psychosis without other causes
Hematologic disorder
Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/µL) or lymphopenia (<1500/µL) or
thrombocytopenia(<100,000/µL) in the absence of offending drugs
Immunologic disorder

16
Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid
Antinuclear antibodies
An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at any
point in time in the absence of drugsknown to induce ANAs

If ≥4 of these criteria, well documented, are present at any time in a patient's


history, the diagnosis is likely to be SLE. Specificity is ~95%: sensitivity is ~75%.
Gambar 1. Alur Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s
Principles of Internal Medicine, 17 th edition)

17
Pada pasien ini didiagnosa sebagai SLE karena memenuhi kriteria diagnosis SLE
yaiti lebih daripada 4 kriteria daripada 11 kriteria yang dinyatakan diatas. Kriteria-

18
kriteria yang telah dipenuhi oleh pasien ini adalah malar rash pada bagian wajah,
fotosensitivitas (kemerahan yang memberat dengan eksposur pada cahaya
matahari), non-erosive arthritis pada sendi lutut, renal disorder (protein di uria
sebanyak 25,00 mg/dl), hematologic disorder (anemia), neuropsychiatry disorder
(lupus serebri) dan penemuan anti-nuclear test, ANA yang positif. Pasien ini
memenuhi 7 daripada 11 kriteria diagnosis sehingga boleh digolongkan dalam
kategori definite SLE.

3.7 Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan
atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan
tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang
intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ
dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan
obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas. 6
Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif.
Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang
signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini
memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur.
Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas
gerakan dari persendian.

3.7.1 Terapi Farmakologi.


Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila
diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu
mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh
NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan
tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan
resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting
untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif
dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak
19
enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang-
kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan
mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna
terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral,
injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena.
Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan
dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari
kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah
membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar. 1,3,4
Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk
pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk
diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata
jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini.
Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal
pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan
serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah
abnormal yang luas. 1,2,6
Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti
chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan
hydroxychloroquine.
Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam retinoat
(Retin-A)2,3,5.
Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi SLE
berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine,
cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua immunosupresan
menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko terjadinya
infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat.
Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi
ginjal. 6

20
Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang
efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini
menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk
mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit
membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang
tradisional.6
Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis
(mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik)
kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahan-bahan
imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE,
hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan
resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat
penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala
dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet
Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau
transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab
dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang
menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam
sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan
bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi. 3,4,5

3.7.2 Terapi Non Farmakologi.


Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi
dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif.
Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan
berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika
ada masalah dengan persendian.1,6
Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid
yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga
dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari.

3.8 Prognosis

21
Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa
dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun
SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih
merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing
individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ
yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk
pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian.
Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai
75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun)
dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4
mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia
[hemoglobin <124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan
aPL pada saat diagnosis. Pasien yang menjalani terapi transplantasi ginjal
memiliki angka kejadian penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali
pasien dengan penyebab lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum angka
bertahan hidup pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2 tahun).
Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi. Hendaya pada pasien
dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan oleh penyakit ginjal kronik,
kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25% pasien dapat mengalami remisi,
terkadang untuk beberapa tahun, namun jarang sekali bersifat permanen.
Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas
penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli
semakin sering menjadi penyebab mortalitas.4,6
Prognosis pada kasus ini bisa digolongkan dalam kategori dubius ad malam
karena penglibatan system saraf pusat.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL.
Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill;
2005.
2. Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease And
Management Options. P&T. Vol.37. No.4. April 2012.
3. Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of Disease Systemic Lupus
Erythematosus. N Engl J Med 2008;358:929-39
4. Ginzler E, and Tayar J. American College of Rheumatology. © 2012
American College of Rheumatology. (Updated January 2012)
5. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematous:
Pathogenesis, Clinical Manifestation and Diagnosis. Eular On-line Course
on Rheumatic Diseases – module n°17. 2007-2009.
6. Beer MH, Fletcher AJ, Jones TV. The Merck Manual of Medical
Information. 2nd ed.

23

Anda mungkin juga menyukai