Anda di halaman 1dari 32

3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah yang ada di Negara berkembang dan negara maju. Hal ini disebabkan karena masih tingginya kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia, terutama pada bayi dan balita. Di Amerika pneumonia menempati peringkat ke-6 dari semua penyebab kematian dan peringkat pertama dari seluruh penyakit infeksi. Di Spanyol angka kematian akibat pneumonia mencapai 25%, sedangkan di Inggris dan Amerika sekitar 12% atau 25-30 per 100.000 penduduk (Heriana, et.al, 2005). Menurut data survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2004, di Indonesia rumah sehat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori baik, kategori sedang dan kategori kurang. Presentase rumah sehat di Indonesia kategori baik mencapai 35,3%, kategori sedang 39,8% dan kategori kurang 24,9%. Target rumah sehat di Indonesia sebesar 80%, dari kategori rumah sehat diatas tidak ada yang memenuhi target, sehingga rumah sehat di Indonesia belum tercapai (Depkes RI, 2000) Berdasarkan hasil laporan RISKESDAS pada tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada baduta (>35%), ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga rendah. Sebanyak 40-6-% kunjungan pasien ISPA berobat ke puskesmas dan 15-30% kunjungan pasien ISPA berobat ke bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit (Depkes RI, 2000).

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo (2008), rumah penduduk di Kabupaten Probolinggo yang memenuhi kriteria rumah sehat hanya 52,48% dari jumlah rumah penduduk kabupaten Probolinggo sebanyak 273.641. Berdasarkan data tersebut rumah

penduduk kabupaten probolinggo masih banyak yang berkategori rendah, hal ini dapat memicu timbulnya ISPA. Angka kejadian ISPA di Puskesmas Paiton pada tahun 2008 sebanyak 2776 penderita dan 30% adalah balita, pada tahun 2009 ditemukan penderita ISPA sebanyak 2980 penderita dan 40 % adalah balita, pada tahun 2010 terdapat penderita ISPA sebanyak 3055 penderita dan 45% adalah balita, dan pada tahun 2011 bulan januari sampai dengan juni ditemukan penderita ISPA sebanyak 1776 penderita dan 30% adalah balita. Lingkungan merupakan faktor ketiga sebagai penunjang terjadinya penyakit. Faktor itu disebut faktor ekstrinsik, faktor lingkungan dapat berupa lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial ekonomi (Eko B dan Dewi A. 2003) Menurut Notoatmodjo (2003), rumah yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah, hal ini disebabkan karena proses pertukan aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri penyebab penyakit ISPA yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit, oleh karena itu kelembaban ruangan yang

tinggi akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit ISPA. Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian penyakit menular, terutama ISPA (Taylor, 2002). Menurut Ranuh (1997), rumah yang jendelanya tidak

memenuhi persyaratan menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah, bayi dan anak yang sering menghisap asa tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Oleh karena itu, upaya penanggulangan penyakit seharusnya tidak hanya melibatkan Agent (penyebab sakit) dan Host (manusia) semata melainkan juga faktor lingkungan yang ternyata berperan sangat besar dalam banyak kasus penyakit kecenderungannya semakin meningkat seiring dengan buruknya kondisi lingkungan fisik (Anies, 2005) Berdasarkan hasil survei pendahuluan pada tanggal 18-19 Januari 2010, perilaku dan pengetahuan ibu tentang ISPA dibagi menjadi tiga kategori dengan menggunakan metode hanlon kuantitatif yang meliputi kategori baik antara 60-100%, kategori kuran baik antara 30-50% dan kategori tidak baik kurang dari 30%. Pengetahuan ibu tentang ISPA sebanyak 73,1% dan perilaku ibu sebanyak 86%, sehingga pengetahuan dan perilaku ibu tentang ISPA di wilayah kerja Puskesmas Paiton baik, sedangkan kasus ISPA tahun 2011 dari bulan januari sampai bulan juni masih banyak yaitu 1776 kasus. Berdasarkan uraian hasil survei pendahuluan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan lingkungan fisik rumah yang meliputi ventilasi rumah,

lantai, dinding, dan atap rumah dengan kejandian ISPA pada balita di desa Petunjungan Kecamatan Paiton. 1.2 Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas makan didapatkan rumusan masalah sebagai berikut: apakah ada hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di desa Petunjungan Kecamatan Paiton 1.3 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di desa Petunjungan Kecamatan Paiton. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan antara ventilasi rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di desa Petunjungan Kecamatan Paiton. 2. Mengetahui hubungan antara lantai rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di desa Petunjungan Kecamatan Paiton 3. Mengetahui hubungan antara dinding rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di desa Petunjungan Kecamatan Paiton 4. Mengetahui hubungan antara atap rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di desa Petunjungan Kecamatan Paiton

1.4

Manfaat Penelitian Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan

1.4.1

kesadaran masyarakat yang mempunyai balita yang menderita ISPA tentang pentingnya menjaga kondisi fisik rumah seperti ventilasi yang memenuhi standar, lantai, dinding, dan atap rumah yang baik. Bagi Instansi Terkait Memberikan informasi agar dapat dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan pada program kepedulian pada balita yang terkena ISPA. Bagi peneliti lain Memberikan informasi dan dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2

1.4.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Konsep Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pengertian Ispa ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran

Pernapasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris acute respiratory infection (ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) sampai alveoli (saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus rongga telinga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2001) Menurut khaidirmuhaj (2008), ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernapasan atas yang meliputi infeksi mulai dari rongga hidung sampai dengan epiglottis dan laring seperti demam, batuk, pilek, infeksi telinga (otitis media), dan radang tenggorokan (faringitis). Menurut Anonim (2008), ISPA adalah penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu satu sampai dua minggu, tetapi penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi (gejala gawat) jika dibiarkan dan tidak segera ditangani. 2.1.2 Klasifikasi ISPA Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002)

1.

ISPA ringan Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk pilek dan sesak.

2.

ISPA sedang ISPA sedang apabila timbul gejala sesak napas,

suhu tubuh lebih dari 39 C dan bila bernapas mengeluarkan suara seperti mengorok. 3. ISPA berat Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah. Klasifikasi ISPA dapat dikelompokkan

berdasarkan golongannya dan golongan umur yaitu: a. Menurut Anonim (2008), ISPA berdasarkan golongannya: 1). Pneumonia yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). 2). Bukan pneumonia meliputi batuk pilek biasa (commond cold), radang tenggorokan (pharyngitis), tonsillitis dan infeksi telinga (otitis media). b. Menurut Khaidirmuhaj (2008), ISPA dapat dikelompokkan berdasarkan golongan umur yaitu:

10

1). Untuk anak usia 2-59 bulan: a). Bukan pneumonia bila frekuensi pernapasan kurang dari 50 kali permenit untuk usia 2-11 bulan dan kurang dari 40 kali permenit untuk usia 12-59 bulan, serta tidak ada tarikan pada dinding dada. b). Pneumonia yaitu ditandai dengan nafas cepat

(frekuensi pernapasan sama atau lebih dari 50 kali permenit untuk usia 2 -11 bulan dan frekuensi pernapasan sama atau lebih dari 40 kali permenit untuk usia 12-59 bulan), serta tidak ada tarikan pada dinding dada. c). Pneumonia berat yaitu adanya batuk dan nafas cepat (fast breathing) dan tarikan dinding pada bagian bawah ke arah dalam (servere chest indrawing). 2). Untuk anak usia kurang dari dua bulan: a). Bukan pneumonia yaitu frekuensi pernapasan kurang dari 60 kali permenit dan tidak ada tarikan dinding dada. b). Pneumonia berat yaitu frekuensi pernapasan sama atau lebih dari 60 kali permenit (fast breathing) atau adanya tarikan dinding dada tanpa nafas cepat.

11

2.1.3

Etiologi ISPA ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk ke saluran nafas. Penyebab lain adalah faktor lingkungan rumah, seperti halnya pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah dan kepadatan hunian rumah. Pencemaran udara dalam rumah yang sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah asap

pembakaran yang digunakan untuk memasak. Dalam hal ini misalnya bahan bakar kayu. Selain itu, asap rokok yang ditimbulkan dari salah satu atau lebih anggota yang mempunyai kebiasaan merokok juga menimbulkan resiko terhadap terjadinya ISPA (Depkes RI, 2002). Bakteri penyebab ISPA antara lain genus strepcoccus, staphylococcus, corynebacterium. pneumococcus, Virus hemofilus, antara bordetella, lain dan

penyebabnya

golongan

mexovirus, adenovirus, coronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus, dan lain-lain (depkes RI, 2002). 2.1.4 Cara penularan ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC (air conditioner), droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus. Penularan faringitis terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada sinusitis, saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang

12

dapat

menghasilkan

superinfeksi

bakteri,

sehingga

dapat

menyebabkan bakteri-bakteri patogen masuk ke dalam ronggarongga sinus (WHO, 2008). 2.1.5 Pertolongan pertama penderita ISPA Menurut Benih (2008), untuk perawatan ISPA di rumah ada beberapa hal yang dapat dilakukan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA yaitu: 1). Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah dua bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara

pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada air (tidak perlu ditambah air es). 2). Mengatasi batuk Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya ramuan tradisional yaitu jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan diberikan tiga kali sehari.

13

3).

Pemberian makanan Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.

4).

Pemberian minuman Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Hal ini akan membantu mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang derita.

5).

Lain-lain Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau

selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak yang demam. Mebersihkan hidung pada saat pilek akan berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Diusahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat

antibiotik, selain tindakan diatas di usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari

14

penuh dan setelah dua hari anak perlu dibawa ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang. 2.1.6 Pencegahan ISPA Menurut Benih (2008), pencegahan ISPA ada empat yaitu: 1). 2). 3). 4). 2.1.7 Menjaga keadaan gizi agar tetap baik Melakukan immunisasi Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

Faktor mempengaruhi Penyakit ISPA Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadia penyakit ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut sutrisna (1993) faktor risiko yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosio-ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pegetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara). Sedangkan Depkes (2002) menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah berat badan bayi lahir rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik. Lingkungan yang berpengaruh dalam proses terjadinya ISPA adalah lingkungan perumahan, dimana kualitas rumah berdampak terhadap kesehatan anggotanya. Kualitas rumah dapa dilihat dari jenis atap, jenis lantai,

15

jenis dinding, kepadatan hunian dan jenis bahan bakar masak yang dipakai. Faktor-faktor di atas diduga sebagai penyebab terjadinya ISPA (Depkes RI, 2003) 2.2 2.2.1 Konsep Lingkungan Fisik Rumah

Pengertian Lingkungan Menurut undang-undang RI Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan linkungan hidup, maka yang disebut

lingkungan hidup adalah: kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilkunya yang mempengaruhi perikehidupan dan

kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. (Mukono, 200: 8). Lingkungan dapat didefinisikan sebagai tempat

pemukiman dengan segala sesuatunya di mana orgnaismenya hidup beserta segala keadaan dan kondisi yang secara langsung maupun tidak dapat langsung diduga ikut mempengaruhi tingkat kehidupan maupun kesehatan dari organisme tersebut. ( 2009: 73) Menurut WHO (2005), Lingkungan merupakan suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dengan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia.

16

a)

Macam-macam Lingkungan Daftar komponen lingkungan dari leopold yang dikutip oleh F. Gumarwan Soeratmo 1998 yang dikutip oleh mukono (2000:8) adalah: 1. 2. 3. 4. Komponen fisik dan kimia Komponen hubungan ekologi Komponen sosial Komponen biologis Sedangkan berdasarkan mengganggunya terhadap kesehatan manusia maka lingkungan dapat dibagi menjadi: 1. Lingkungan fisik: air, udara, tanah, iklim, geografis,

perumahan, pangan, radiasi. 2. Lingkungan biologis: mikroorganisme, serangga, binatang dan tumbuh-tumbuhan. 3. Lingkungan sosial: status sosial, adat istiadat, organisasi sosial politik. b) Tiga faktor utama yang mempengaruhi timbul atau tidaknya penyakit pada manusia 1. Faktor pejmu (host) Yaitu semua faktor yang terdapat dalam diri manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu

17

penyakit. Faktor tersebut antara lain faktor keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pekerjaan, dan kebiasaan hidup. 2. Bibit penyakit (agent) Ialah substansi atau elemen tertentu yang kehadiran atau ketidakhadirannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. 3. Lingkungan (environment) Yaitu agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi. Salah satu peran lingkungan adalah sebagai reservoir. Interaksi antara agen, host, dan lingkungan serta model ekologinya adalah jika antara agen, host, dan lingkungan dalam keadaan seimbang maka tidak terjadi penyakit. Jika kemampuan agen meningkat maka dapat menginfeksi manusia serta mengakibatkan penyakit pada manusia. Perubahan lingkungan yang buruk juga dapat menyebabkan meningkatnya perkembangan agen. (ferry dan makhfudli, 2009: 75) 2.2.2 Pengertian rumah Menurut Notoatmodjo (2003), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Menurut Ferry Effendi dan Makhfudi (2005),

18

secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria yaitu: 1). Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan,

penghawaan, ruang gerak cukup, dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu. 2). Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privasi yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah. 3). Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, dan cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup 4). Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir. Menurut Dinkes (2005), rumah sehat adalah proporsi rumah memenuhi criteria sehat minimum komponen rumah dan sarana sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Minimum

19

yang memenuhi criteria sehat pada masing-masing parameter adalah sebagai berikut: 1). Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur, dan pencahayaan. 2). Minimum dari kelompok sarana sanitasi adalah sarana air bersih, jamban (sarana pembuangan kotoran), sarana

pembuangan air limbah (SPAL), dan sarana pembuangan sampah. 3). Perilaku Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf kesehatan jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan mengurangi daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan di lingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).

20

2.2.3

Ventilasi Menurut Sukar (1996), ventilasi adalah proses

pergantian udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadianya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu: 1). Ventilasi alamiah Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah dapat juga menggerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai. 2). Ventilasi buatan Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC. Menurut Dinata (2007), syarat ventilasi yang baik adalah sebagai berikut: 1). Luas lubang ventilasi tetap minimal lima persen dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal lima persen dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.

21

2).

Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain.

3).

Aliran

udara

diusahakan

cross

ventilation

dengan

menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat, dan lain-lain. Menurut Dinata (2007), secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan rollmeter. Berdasarkan indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah. 2.2.4 Lantai Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan 17 lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002).

22

2.2.5

Dinding Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bamboo dapat menyebabkan penyakit pernapasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit

dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman (Suryanto, 2003). 2.2.6 Atap Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi

masuknya debu dalam rumah. Atap sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah (Nurhidayah, 2007). Menurut Suryanto (2003), atap juga berfungsi sebagai jalan masuknya cahaya alamiah dengan menggunakan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yaitu dengan melubangi genteng, biasanya dilakukan pada waktu pembuatannya, kemudian lubang pada genteng ditutup dengan pecahan kaca.

23

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1

Desain Penelitian Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akurasi suatu hasil. Rancangan juga dapat digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan penelitian (Nursalam, 2008:77). Jenis penelitian ini menggunakan survey analitik yaitu survey atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Dengan desain studi cross sectional yaitu penelitian

dimana variabel-variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:148). Penelitian ini ingin mengetahui adanya hubungan antara kebersihan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

24

4.2

Kerangka Kerja

Populasi: semua kartu keluarga (KK) yang mempunyai balita usia 0 s/d 5 tahun yang berada di desa petunjungan kecamatan Paiton yang berjumlah 149 balita Sampel sebagian KK yang mempunyai anak balita usia 0 s/d 5 tahun di desa petunjungan Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo yang memenuhi kriteria inklusi : 54 orang

Tehnik Sampling Cluster random sampling

Desain Penelitian Survey analitik Cross sectional Variabel yang diteliti : Variabel bebas : lingkungan fisik rumah (ventilasi, lantai, dinding, dan atap rumah. Variabel terikat : kejadian ISPA pada balita

Metode Pengumpulan Data Lembar kuesioner dengan multiple choice, wawancara, observasi, dan pengukuran

Pengolahan dan Analisa Data Editing, coding, scoring, tabulasi,Uji Chi Squere Penarikan kesimpulan X2hitung > X2tabel, p 0,05 Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada hubnungan X2hitung < X2tabel ,p 0,05 Ho diterima dan Ha ditolak berarti

25

4.3

Populasi dan sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:

objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian dirarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2004 dalam A. Aziz Alimul Hidayat, 2007:60). Populasi pada penelitian ini adalah semua kartu keluarga (KK) yang mempunyai balita usia 0 s/d 5 tahun yang berada di desa petunjungan kecamatan Paiton yang berjumlah 167 balita. 4.3.2 Sampel Penelitian Merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakterristik yang dimiliki oleh populasi (Aziz Alimul H,2007:60). Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah sebagian KK yang mempunyai anak balita usia 0 s/d 5 tahun di desa Petunjungan Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo yang memenuhi kriteria inklusi: 54 orang dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

n=

N .z 2 . p.q d ( N 1) + z. p.q

= = =

503 ,63 (3,84 ) 7,4 +1,96


5 3 ,6 0 3 9,3 6

53,80

26

= Keterangan: n N Z p q d

54 responden

= Perkiraan jumlah sampel = perkiraan jumlah populasi = Nilai standart normal untuk = 0,05 (1,96) = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50% = 1 p (100% - p) = tingkat kesalahan dipilih (d=0,05) (dikutip dari Zainuddin M, 2000) Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakilidalam sample penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Aziz Alimul H,2003:35 ). Kriteria inklusi dalam peneltian ini adalah: 1. Merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) dan memiliki rumah di desa Petunjungan, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. 2. 3. Mempunyai Balita berusia 0 s/d 5 tahun. Bersedia menjadi responden.

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah : 1. Bukan Merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) dan memiliki rumah di desa Petunjungan, Kecamatan Paiton,

Kabupaten Probolinggo. 2. Tidak Mempunyai Balita berusia 0 s/d 5 tahun

27

3. 4.3.3

Bersedia menjadi responden. Tehnik Sampling Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam,2005:97). Dalam penelitian Ini menggunakan tehnik cluster random sampling yaitu suatu pencuplikan di mana unit pencuplikan adalah kelompok (misalnya dukuh atau rumah tangga) bukan individu dan klaster yang dipilih secara random dari populasi (murti, 2006).

. 4.4 Lokasi dan Waktu penelitian Penyusunan Skripsi dimulai pada tanggal 26 September 2011 sampai dengan tanggal 26 Nopember 2011. Lokasi penelitian desa Petunjungan kecamatan Paiton. 4.5 Variabel Penelitian Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok yag berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain (Notoatmodjo,2005: 34). 4.5.1 Variabel Independen Variabel independen merupakan variabel yang menyebabkan perubahan atau timbulnya variabel dependen (Aziz Alimul, 2008 : 35). Variabel independen dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik rumah yang meliputi ventilasi, lantai, dinding, dan atap rumah. 4.5.2 Variabel Dependen

28

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat (Aziz Alimul, 2008 : 35). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah kejadian ISPA pada balita. 4.6 Bahan dan Instrumen / Alat Penelitian Menggambarkan suatu metode pengumpulan data tertentu (Dorothy Young B, 1999). Jenis instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, Pedoman observasi, formulir isian pengukuran, rollmeter. Bentuk pertanyaan dan jenis pertanyaan adalah Multiple choice. 4.7 Definisi Operasional Definisi opeasional adalah mendefinisikan variable secara

operasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati dalam melakukan pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena dengan menggunakan parameter yang jelas ( Aziz Alimul H,2003:38).

29

Tabel Definisi Operasional Penelitian


N o 1 Variabel Penelitian Lingkungan Fisik rumah (independen) Definisi Operasional 1. Ventilasi merupakan lubang angin untuk proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluar kan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. 2. Lantai merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi sebuah rumah 3. Dinding merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk mendirikan sebuah rumah 4. atap merupakan salah satu bahan bangunan rumah berfungsi untuk melindungi Indikator 1. 10% dari luas lantai 2. 10% dari luas lantai Alat Ukur Rollmeter, Form pengukur an Skala Nominal Skore 1.Baik 2.Tidak Baik

1. kedap air dan tidak lembab (kramik atau ubin) 2. menghasilkan debu dan lembab

Lembar observasi

Nomnal

1.Baik 2.Tidak Baik

1. Permanen 2. Semi permanen, bambu dan kayu atau papan

Lembar observasi

Nomnal

1.Baik 2.Tidak Baik

1. Genting dan menggunakan langit-langit 2. Asbes atau seng dan tidak menggunakan langit-langit

Lembar observasi

Nomnal

1.Baik 2.Tidak Baik

30

agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah 2 Kejadian ISPA pada balita (Independen) 1.Kejadian ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan akut pada balita usia 0 s/d lima tahun yang ditandai dengan batuk pilek, demam, sakit telinga (otitis media), dan radang tenggorokan (faringitis) Kuesioner . Nominal 1. Pernah 2. tidak Pernah

31

4.8 4.8.1

Posedur Penelitian / Pengumpulan Data Prosedur Administratif Mendapatkan surat ijin penelitian dari Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hafshawaty Jurusan S1 keperawatan Genggong Probolinggo, kemudian ditujukan kepada Bapak Camat Paiton dan kepala desa petunjungan kecamatan Paiton. 4.8.2 Prosedur Teknis Setelah mendapat ijin dari kecamatan Paiton kabupaten Probolinggo untuk mengadakan penelitian di wilayah tersebut, peneliti mendata KK yang

termasuk dalam kriteria inklusi. Kemudian peneliti datang keumah responden satu persatu dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Memberikan Inform consent pada KK yang setuju untuk menjadi responden untuk di tanda tangani kemudian peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner dan memberikan kesempatan pada responden untuk menanyakan hal yang belum dimengerti terkait dengan kuesoner.Peneliti mengumpulkan data dan memberikan skor pada masing masing pertanyaan. Setelah data terkumpulkemudian dilakukan tabulasi data dan analisa data.

32

4.9

Rencana Analisa Data Langkah-langkah rencana pengolahan data secara manual meliputi:

4.9.1

Editing Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaraN data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Jika ada angket yang belum diisi maka dilakukan wawancara responden dengan topik yang sama dengan kuesioner yang belum diisi sehingga kuesioner lengkap diisi responden.

4.9.2

Coding Pemberian kode bertujuan untuk mempermudah pengolahan data.

4.9.3

Scoring Setelah data terkumpul dilakukan penilaian sesuai kunci jawaban.

4.9.4

Entri Data Data entri adalah kegiatan memesukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi frekwnsi sedrhana atau bisa juga dengan membuat tabel kontigensi.

4.9.5

Uji Statistik Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan program SPSS . Analisis data meliputi :

1.

Analisis univariat

33

Analisis

univariat

(analisis

persentase)

dilakukan

untuk

menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing, baik variabel bebas (independen), variabel terikat (dependen) maupun deskripsi karakteristik responden. 2. Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji dengan rumus : chi square

x2 =
Keterangan : x : chi square O : frekuensi observasi E : frekuensi harapan

(o E ) 2 E

Menurut Budiarto (2001), dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis dengan tingkat kepercayaan 95% : a. Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima. b. Jika nilai sig p 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak. 4.10 Etika Penelitian Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan

berhubungan langsung dengan manusia, segi etika penelitian harus diperhatikan antara lain sebsgai berikut : 4.10.1 Informed Consent

34

Inform consent merupakan bentuk persetyjuan antara penelitian dengan memberikan lebar persetujuan. Infor consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan infomed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak responden. Beberapa informasi yang harus ada dalam informed consent tersebut antara lain: Partisipasi pasien, tujuan dilakukannya tindakan, jenis data yang di butuhkan, komitmen, Prosedur pelaksanaan, Potensial masalah yang akan terjadi, manfaat, kerahasuaan, informasi yang mudah dihubungi,an lain-lain. 4.10.2 Anonimity Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembarpengumpulan dat atau hasil penelitian yang akan disajikan. 4.10.3 Kerahasiaan Masalah ini merupakan etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh paneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

Anda mungkin juga menyukai