Buta Warna
Buta Warna
MEDAN
2014
PENDAHULUAN....................................................................................................1
DEFINISI.................................................................................................................2
ANATOMI RETINA...............................................................................................2
ETIOLOGI...............................................................................................................8
KLASIFIKASI.......................................................................................................10
PEMERIKSAAN...................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25
PENDAHULUAN
Salah satu gangguan yang dapat terjadi pada mata adalah buta warna. Buta warna
pada manuasia adalah ketidakmampuan untuk membedakan persepsi beberapa
warna atau semua warna, dimana orang normal mampu membedakannya
(Daniel,2006). Buta warna juga dapat diartikan sebagai suatu kelainan penglihatan
yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut (cone cell) pada retina mata
untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu sehingga objek yang terlihat
bukan warna sesungguhnya.
Buta warna bisa disebabkan karena beberapa faktor genetis maupun faktor lain
seperti karena Shaken Baby Syndrome, cedera atau trauma pada otak dan retina,
maupun pengaruh sinar ultra violet (Ilyas, 2008). Buta warna yang diturunkan
secara genetic dibawa oleh kromosom X pada perempuan, dan diturunkan pada
anak-anaknya.Ketika seseorang mengalami buta warna, mata mereka tidak
mampu menghasilkan keseluruhan pigmen yang dibutuhkan untuk mata berfungsi
dengan normal.Sementara buta warna yang didapat, biasanya terjadi ketika anak
mengalami kerusakan retina atau trauma pada otak yang menyebabkan
pembengkakan di lobus occipital.Kerusakan akibat paparan sinar ultra violet
karena tidak menggunakan pelindung mata secara benar juga menyebabkan buta
warna.Selain itu konsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka waktu yang lama
juga bisa menyebabkan buta warna.
ANATOMI RETINA
Retina adalah lembaran jaringan saraf yang tipis dan semi transparan yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata (Vaughan, 2008).
Retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya, yang mengandung sel-
sel kerucut, yang berfungsi untuk penglihatan warna, dan sel-sel batang yang
terutama berfungsi untuk penglihatan hitam dan putih dan penglihatan dalam
gelap (Guyton, 2007).
Retina membentang ke anterior sampai sejauh korpus siliaris dan berakhir pada
ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrata berada
sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada
sisi nasal. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel
berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan membran Bruch, koroid, dan
sklera (Vaughan, 2008).
Retina mempunyai tebal 0,1mm pada ora serrata dan 0,56mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-
6mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-
cabang pembuluh darah retina temporal. Daerah ini diterapkan oleh ahli anatomi
sebagai area sentralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang
ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea secara
anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung
pigmen luteal kuning-xantofil (Vaughan, 2008). Bagian tengah sebesar 1,5 mm
dari makula ditempati oleh fovea (atau fovea sentralis), yang berkomposisi
fotoreseptor, dikhususkan untuk ketajaman penglihatan yang tinggi dan
penglihatan warna. Di dalam fovea terdapat area tanpa pembuluh darah yang
dikenal sebagai foveal avascular zone (FAZ). Secara histologis, fovea ditandai
Sel batang dan kerucut, yang diberi nama sesuai bentuknya, adalah neuron yang
terpolarisasi; pada satu kutub terdapat satu dendrit fotosensitif, dan pada kutub
yang lain terdapat sinaps dengan sel lapisan bipolar. Sel batang dan kerucut dapat
dibagi menjadi segmen luar dan segmen dalam, daerah inti, dan daerah sinaps
(Junqueira, 2007). Fotokimiawi yang peka cahaya ditemukan pada segmen luar.
Dalam sel batang terdapat rodopsin, dan dalam sel kerucut terdapat satu dari
ketiga fotokimiawi “warna”, biasanya disebut pigmen warna sederhana, yang
fungsinya hampir sama persis dengan rodopsin kecuali adanya perbedaan dalam
kepekaan terhadap spektrum cahaya (Guyton, 2007).
Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di luar
membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen
retina; serta cabang-cabang dari arteria retinasentralis, yang mendarahi dua pertiga
dalam retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap
kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar
darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar darah-
retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina (Vaughan, 2008).
Baik sel batang maupun kerucut mengandung bahan kimia yang akan terurai bila
terpajan cahaya, dan dalam prosesnya, akan merangsang serabut-serabut saraf
yang berasal dari mata. Bahan kimia peka cahaya di dalam sel batang disebut
rodopsin; bahan kimia peka cahaya di dalam sel kerucut, disebut pigmen kerucut,
atau pigmen warna, memiliki komposisi sedikit berbeda dari rodopsin.
Perbedaannya hanya terletak pada bagian protein, atau opsin-yang disebut
Pada sel kerucut, hanya satu dari tiga jenis pigmen warna yang berbeda, sehingga
menyebabkan sel kerucut mempunyai kepekaan yang selektif terhadap berbagai
warna seperti warna biru, hijau, dan merah. Masing-masing pigmen warna ini
disebut pigmen peka warna biru, pigmen peka warna hijau, dan pigmen peka
warna merah. Sifat absorbsi dari pigmen yang terdapat di dalam ketiga macam
kerucut itu menunjukkan bahwa puncak absorbsi adalah pada panjang gelombang
cahaya, berturut-turut sebesar 445, 535, dan 570 nanometer. Panjang gelombang
ini juga merupakan panjang gelombang untuk puncak sensitivitas cahaya untuk
setiap tipe sel kerucut, yang dapat mulai digunakan untuk menjelaskan bagaimana
retina dapat membedakan warna (Guyton, 2007).
Untuk melihat warna, manusia harus memiliki sedikitnya dua kelas spektrum
berbeda dari sel kerucut. Pada mata manusia normal, ada tiga tipe sel kerucut
dimana ketiganya merupakan tiga sistem cone-opsin. Tiga sistem cone-opsin
tersebut adalah sel kerucut short-wavelength-sensitive (S), middle-wavelength-
sensitive (M), dan long-wavelength-sensitive (L)(Gupta et al, 2011). Ketiga
macam pigmen tersebut membuat kita dapat membedakan warna mulai dari ungu
sampai merah. Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut tersebut
harus bekerja dengan baik. Jika salah satu pigmen mengalami kelainan atau tidak
ada, maka terjadi buta warna.
Buta warna adalah kondisi yang seringkali diturunkan secara genetik, tetapi dapat
juga didapat karena disebabkan oleh kerusakan pada mata, nervus, atau otak. Buta
warna yang diturunkan secara genetik dibawa oleh kromosom X pada perempuan,
dan diturunkan pada anak-anaknya. Ketika seseorang mengalami buta warna,
mata mereka tidak mampu menghasilkan keseluruhan pigmen yang dibutuhkan
untuk mata berfungsi dengan normal. Cacat mata ini merupakan kelainan genetik
yang diturunkan oleh ayah atau ibu.
Buta warna karena yang diturunkan dibagi menjadi tiga: monokromasi (buta
warna total), dikromasi (hanya dua sel kerucut yang berfungsi), dan anomalus
trikromasi (tiga sel kerucut berfungsi, salah satunya kurang baik). Dari semua
jenis buta warna, kasus yang paling umum adalah anomalus trikromasi,
khususnya deutranomali, yang mencapai angka 5% dari pria. Sebenarnya,
penyebab buta warna tidak hanya karena ada kelainan pada kromosom X, namun
dapat mempunyai kaitan dengan 19 kromosom dan gen-gen lain yang berbeda.
Beberapa penyakit yang diturunkan seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia
juga dapat menyebabkan seseorang menjadi buta warna.
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Buta warna
hampir tidak pernah terjadi pada perempuan karena setidaknya satu dari dua
kromosom X akan hampir selalu memiliki gen normal untuk setiap jenis sel
kerucut (Shah et al, 2013). Karena laki-laki hanya memiliki satu kromosom X,
gen yang hilang dapat menyebabkan buta warna. Karena kromosom X pada laki-
laki selalu diturunkan dari ibu, dan tidak pernah dari ayahnya, buta warna
diturunkan dari ibu ke anak laki-lakinya, dan ibu tersebut dikatakan sebagai
carrier buta warna; keadaan tersebut terjadi pada sekitar 8% dari seluruh
perempuan (Guyton, 2007). Menurut salah satu riset, 5-8% pria dan 0,5% wanita
dilahirkan buta warna dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi,
protanopia, dan deuteranopia.
Buta warna yang di dapat juga ditemukan pada penyakit makula, saraf optik,
sedang pada kelainan retina ditemukan cacat relative penglihatan warna biru dan
kuning sedang kelainan saraf optik memberikan kelainan melihat warna merah
dan hijau (Ilyas, 2008). Buta warna yang didapat bisa karena pengaruh dari
kerusakan daerah otak bagian atas (cranial) karena daerah otak bagian atas
memiliki peran dalam identifikasi warna yang meliputi “parvocellular pathway”
dari nuklei lateral geniculate dari talamus, visual area V4 dari korteks
penglihatan. Buta warna yang didapat tidak sama dengan buta warna karena
pengaruh genetik, misalnya, sangat mungkin mengalami buta warna pada satu
porsi dari daerah penglihatan warna namun daerah lainnya berfungsi normal.
Penurunan penglihatan warna merupakan indikator sensitif untuk beberapa bentuk
dari kelainan makula yang didapat atau penyakit saraf, seperti pada optik neuritis
atau tekanan saraf optik oleh karena adanya massa, kelainan penglihatan warna
lebih awal muncul dibanding penurunan tajam penglihatan.
10
11
Monochromacy
Monochromacy atau akromatopsia adalah keadaan dimana seseorang hanya
memiliki sebuah pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones. Pasien
hanya mempunyai satu pigmen kerucut (monokromat rod atau batang).Pada
monokromat kerucut, penderita hanya dapat membedakan warna dalam arti
intensitasnya saja dan biasanya tajam penglihatannya 6/30. Pada orang dengan
buta warna total atau akromatopsia akan terdapat keluhan silau dan nistagmus dan
bersifat autosomal resesif. Terdapat dua bentuk monokromatisme, walaupun
penderitanya tidak memiliki diskriminasi warna sama sekali dengan kata lain
hanya mampu membedakan tingkat kecerahan, akantetapi adalah dua entitas yang
berbeda, yaitu:
a. Rod monochromacy (Monokromatisme batang) atau disebut juga suatu
akromatopsia di mana terdapat kelainan pada kedua mata bersama dengan
keadaan lain seperti tajam penglihatan kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia,
skotoma sentral, dan mungkin terjadi akibat kelainan sentral hingga terdapat
gangguan penglihatan warna total, hemeralopia (buta silang) tidak terdapat
buta senja, dengan kelainan refraksi tinggi. Pada pemeriksaan dapat dilihat
adanya makula dengan pigmen abnormal.
12
Tes buta warna adalah suatu tes yangdigunakan untuk mengetahui apakah
seseorangmengalami buta warna atau tidak.Hasil dari tesbuta warna ada tiga
macam yaitu buta warna total,buta warna sebagian (parsial) dan normal.Hasiltes
buta warna sangat penting, terutama untukmelanjutkan pendidikan dan bekerja di
bidang-bidangtertentu seperti teknik elektro, teknik informatika, desain danlain-
lain.Salah satu metode tes buta warna yaitu uji Ishihara.Uji Ishihara merupakan
uji untuk mengetahui adanya defek pengelihatan warna, didasarkan pada
menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai ragam warna
(Ilyas, 2008).Menurut Guyton (2007) Metode Ishihara adalah suatu metode yang
dapat dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna
didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik.Kartu ini disusun dengan
menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna.
Metode Ishihara ini dikembangkan menjadi Tes Buta Warna Ishihara oleh Dr.
Shinobu Ishihara.Tes ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1917 di Jepang
dan terus digunakan di seluruh dunia, sampai sekarang.Tes buta warna Ishihara
terdiri darilembaran yang didalamnya terdapat titik-titikdengan berbagai warna
dan ukuran.Titikberwarna tersebut disusun sehingga membentuklingkaran. Warna
titik itu dibuat sedemikianrupa sehingga orang buta warna tidak akanmelihat
perbedaan warna seperti yang dilihat orang normal (pseudo-
isochromaticism).Dalam tes buta warna Ishihara inidigunakan 38 plate atau
lembar gambar, dimana gambar-gambar tersebut memiliki urutan1 sampai
38.Plate 1-25 merupakan plate dengan gambar angka (numeral) yang sebaiknya
dijawab dalam waktu tidak lebih dari 3 detik.Jika anak tidak mampu membaca
angka, dapat digunakan plate 26-38, dimana anak diminta untuk menghubungkan
garis yang harus diselesaikan dalam waktu 10 detik.
13
Normal : angka 8
Plate 2
Defisiensi merah-hijau : angka 3
Normal : angka 6
Plate 3
Defisiensi merah-hijau : angka 5
Normal : angka 29
Plate 4 Defisiensi merah-hijau : angka
70
14
Normal : angka 5
Plate 6
Defisiensi merah-hijau : angka 2
Normal : angka 3
Plate 7
Defisiensi merah-hijau : angka 5
Normal : angka 15
Plate 8 Defisiensi merah-hijau : angka
17
15
Normal : angka 2
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 10
tidak melihat apa-apa atau tidak
dapat melihat angka dengan
jelas
Normal : angka 6
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 11
tidak melihat apa-apa atau tidak
dapat melihat angka dengan
jelas
Normal : angka 97
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 12
tidak melihat apa-apa atau tidak
dapat melihat angka dengan
jelas
16
Normal : angka 5
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 14
tidak melihat apa-apa atau tidak
dapat melihat angka dengan
jelas
Normal : angka 7
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 15
tidak melihat apa-apa atau tidak
dapat melihat angka dengan
jelas
Normal : angka 16
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 16
tidak melihat apa-apa atau tidak
dapat melihat angka dengan
jelas
17
18
Normal : angka 26
Protanopia atau protanomaly :
angka 6 atau angka 6 dan samar-
Plate 22 samar angka 2
Deuteranopia atau deuteranomaly
: angka 2 atau angka 2 dan samar-
samar angka 6
Normal : angka 42
Protanopia atau protanomaly :
angka 2 atau angka 2 dan samar-
Plate 23 samar angka 4
Deuteranopia atau deuteranomaly
: angka 4 atau angka 4 dan samar-
samar angka 2
Normal : angka 35
Protanopia atau protanomaly :
angka 5 atau angka 5 dan samar-
Plate 24 samar angka 3
Deuteranopia atau deuteranomaly
: angka 3 atau angka 3 dan samar-
samar angka 5
19
20
21
22
23
24
Agusta, S., Mulia, T. & Sidik, M., 2012. Instrumen Pengujian Buta Warna
Otomatis. Jurnal Ilmiah Elite Elektro 3(1):15-22.
Dargahi, H., Einollahi, N. & Dashti, N., 2009. Color Blindness Defect and
Medical Laboratory Technologists: Unnoticed Problems and the Care for
Screening.ActaMedicaIranica 48(3): 172-177.
Deeb, S.S., & Motulsky, A.G., 2011. Red-Green Color Vision Defects.
Gupta, A., Laxmi, G., Nittala, M.G. &Raman, R., 2011. Structural and Functional
Correlates in Color Vision Deficiency. Eye (25): 909-917.
Gupta, M., Gupta, B.P., Chauhan, A & Bhardwaj, A., 2009. Ocular Morbidity
Prevalence among School Children in Shimla, Himachal, North India. Indian
J Ophthalmol 57(2): 133-138.
Guyton, A.C & Hall, J.E. 2007.Buku Ajar FisiologiKedokteran.Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Ilyas, S., 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
25
Kolb, H., 2012. Simple Anatomy of the Retina.Moran Eye Institue, University of
Utah School of Medicine, Salt Lake City.
Niroula, D.R. & Saha, C.G., 2010. The Incidence of Color Blindness among Some
School Children of Pokhara, Western Nepal. Nepal Med Coll J 12(1): 48-50.
Randolph, S.A., 2013. Color Vision Deficiency. Workplace Health Saf 61(6): 280.
Shah, A., Hussain, R., Fareed, M. &Afzal, M., 2013. Prevalence of Red-Green
Color Vision Defects among Muslim Males and Females of Manipur, India.
Iranian J Publ Health 42(1): 16-24.
Widianingsih, R., Kridalaksana, A.H. & Hakim, A.R., 2010. Aplikasi Tes Buta
Warna dengan Metode Ishihara Berbasis Komputer. Jurnal Informatika
Mulawarman (5): 36-41.
Wolters Kluwer Health, 2014. Study reveals that color vision abnormalities
increasewith age.
26