Anda di halaman 1dari 37

RINITIS NON ALERGI

Oleh

dr. FERRYAN SOFYAN., M.Kes., Sp-THT-KL


NIP : 198109142009121002

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN


TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
MEDAN 2011

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II RINITIS NON ALERGI 3

2.1 Definisi 3

2.2 Etiologi 3

2.3 Diagnosis 4

2.4 Klasifikasi Rinitis non alergi 4

2.4.1 Rinitis Infeksi 6

2.4.2 Rinitis Jamur 11

2.4.3 Rinitis Hormonal 17

2.4.4 Rinitis Vasomotor 18

2.4.5 NARES 20

2.4.6 Occupaational Rinitis 21

2.4.7 Drug Induce rinitis 23

2.4.8 Gustatory Rinitis 25

2.4.9 Rinitis Atrofi 26

2.4.10 Rinitis Among Children 29

2.5 Pedoman Diagnosis Rinitis 29

2.6 Penatalaksanaan rinitis non alergi 31

BAB III KESIMPULAN 33

DAFTAR PUSTAKA 34

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis Non Alergi merupakan suatu inflamasi pada hidung dengan

gejala berupa sumbatan hidung, hipersekresi dan hiperiritablilitas tetapi

etiologinya bukan dari alergi dan bersifat kronik.2 Pada pemeriksaan skin test

(-) dan tidak melalui perantaraan IgE. Berdasarkan etiologi rhinitis dapat

disebabkan beberapa faktor antara lain alergi ( Intermittent dan persisten),

infeksi ( virus, bakteri dan jamur), Vasomotor (idiopatik, obat-obatan,

hormonal, NARES), bisa juga faktor-faktor lain seperti tumor, septum deviasi

, hipertrophi konka atau benda asing.

Secara umum Rinitis terbagi dua yaitu Rinitis Alergi dan Rinitis Non

Alergi. Rinitis Alergi merupakan proses inflamasi yang mengenai membrane

mukosa hidung. Biasanya gejala yang timbul adalah sumbatan hidung, gatal

pada hidung, hidung beringus dan bersin-bersin. Kadang-kadang juga dapat

juga dijumpai gejala gatal pada mata dan post nasal discharge. Penyebab

terbanyak dari rhinitis adalah alergi, tetapi karena inflamasi juga disebabkan

oleh faktor non alergi, maka rinitispun dapat terjadi karenan faktor non

alergi.1,9

Pada umunya penderita yang didiagnosis kronis, sekitar 50 %

mempunyai riwayat alergi. Pada pasien rinitis non alergi kronis sekitar 25%

diketahui mempunyai jumlah eosinofil pada pemeriksaan secret hidung yang

biasa dikenal dengan Non Allergic Rhinitis with Eosinophilia Sindrome.1,3

Universitas Sumatera Utara


Meskipun penyakit Rinitis ini tidak bersifat fatal dan sering diangap tidak

serius, tapi pada keadaan tertentu dapat menyebabkan masalah dalam

gangguan kualitas hidup seperti gangguana belajar di sekolah, bekerja,

gangguan prestasi kerja, gangguan saat tidur dan bersantai. Sehingga

penderita terbatas melakukan aktifitas sehari-hari dan akibatnya menyebabkan

frustasi, lekas marah, rendah diri dan depresi.

Pada pasien dengan keluahan gangguan di hidung yang kronis, untuk

mencari penyebabnya diperlukan pemeriksaan THT yang teliti. Selain itu juga

diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiology, endoscopy dan CT-can

yang akan membantu mempermudah penegakan diagnose.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

RINITIS NON ALERGI

2.1 DEFINISI

Rinitis non alergi adalah bentuk suatu inflamasi pada hidung dengan

gejala berupa sumbatan hidung, hipersekresi dan hiperiritabilitas tetapi

etiologinya bukan dari alergi 2. Dapat pula dimasukkan dalam kategori ini yaitu

rhinitis kronis. Beberapa kondisi yang menjadi etiologi spesifik pada rinitis tipe

ini adalah antara lain vasomotor, granulomatous dan auto immune disease, tumor,

rinitis pada kehamilan, kelainan anatomis dan sebagainya.

2.2 ETIOLOGI

Pada penderita yang didiagnosis sebagai rinitis kronis parennial, sekitar 50

% mempunyai riwayat alergi. Sedangkan 50 % lagi disebutkan tidak mempunyai

riwayat alergi dimana dua pertiganya tidak ditemukan adanya eosinofil pada

pemeriksaan sekret hidungnya. Penderita-penderita ini bisa dikategorikan sebagai

rinitis vasomotor. 1,2

Pada kurang lebih seperempat pasien-pasien rinitis non alegi kronis

diketahui mempunyai sejumlah eosinofil pada pemeriksaan sekret hidungnya

sehingga disebut Non AllergicRhinitis Eosinophilia Syndrome (NARES). NARES

Universitas Sumatera Utara


dapat mengenai semua kelompok umur dan mempunyai gejala yang hampir mirip

dengan rintis alergi dan rinitis vasomotor. 1,2

Secara klinis gejala yang ditimbulkan hampir mirip dengan rinitis alergi. Untuk

mengetahui yang terbaik mengenai perbedaan antara rinitis alergi dan non alergi

adalah dari tes spesifik untuk alergi. Bisa dengan tes kulit atau pemeriksaan kadar

antibody IgE.

2.3 DIAGNOSIS RINITIS NON ALERGI

RINITIS KRONIK
ANAMNESIS
Tes Kulit / IgE Spesifik
Non Alergi Alergi
Pola gejala Perenial Seasonal
Positive Negative
Jenis gejala Kongesti, Hidung gatal,
rinore, bersin, rinore,
drainase post., drainase post.,
sinus pressure sinus pressure Rinitis non alergi
Umur 70% : > 20 th 70% : < 20 th Rinitis Alergi
Fakt Iritan non Antigen spesifik Pem sitologi
pencetus spes. &
Iritan non
spesifik
Peny atopi Tidak ada Sering ada P.m.n Negative Eosinofil
lain
Riw Tidak sering Sering ada
keluarga
Rinitis
Rinitis Non Alergi
Rinitis non Eosinofilik
Rinitis
infeksi non
Infeksi
eosinofil

Anti biotik/ antimikotk Steroid topikal

Universitas Sumatera Utara


2.4 KLASIFIKASI

Klasifikasi rhinitis non alergi (Mygind)2

Klasifikasi
Sindrom yg diketahui etiologinya
Sindrom tdk diketahui etiologinya
Infeksi Imunodefisiensi
Bakteri Sindrom silia imotil
Jamur Rinitis non alergi eosinofilia
Cystic fibrosis

Rinitis atropi :
Kelainan metabolik : kehamilan
Ozaena
hipotiroidi Operasi yang berlebihan

Peny. granulomatosa : Sarcoidosis


Wegener Rinitis vasomotor
•Sindrom yg berhubungan dg
Vasculitis/ autoimun : lupus faktor fisis & kimia
Sjorgan
•Rinitis ok udara dingin & kering
Drug induced •Rinitis gustatory
•Aspirin/ NSID
•Nasal dekongestan •Rinitis krn paparan cahaya
•Anthipertensi •Betabloker optalmik silau
•Reseprpin •Estrogen/ Oral •Rinitis krn polutan
•Metyl dopa contrasepsi
•Betabloker •Rinitis krn sensitisasi kimia
guanethidin

Neoplasma Kel anatomi

Klasifikasi Rinitis Non Alergi (Bailey)1

1. Rinitis Infeksi Virus, Bakteri,Jamur

2.Rinitis Hormonal Kehamilan alat kontrasepsi

3.Rinitis Vasomotor Rinitis Idiopatik,Rinitis Non alergi tanpa eosinofil

4.NARES Secara klinis menyerupai Rinitis non

alergi,hapusan hidung : eosinofil (+)

5.occupational Iritan yang yang berada pada tempat kerja

Rhinitis

Universitas Sumatera Utara


6.Drug Induced Antihipertensi, spray hidung,kokain,aspirin,pil

Rhinitis KB

7.Gustatory Rhinitis Makanan dapat menyebabkan rinitis, gejala sluran

cerna dan kulit

8.Rinitis Sicca Mukosa atropi pada septum,conca atau dinding

lateral hidung

9.Rinitis pada anak Anak usia 2-6 tahunterkena rinitis virus,10 %

alergi

2.4.1 RINITIS INFEKSI 1,2,5,7,9

Peradangan pada hidung yang disebabkan oleh proses infeksi dapat

bersifat akut atau kronis, dimana etiologinya dapat disebabkan virus, bakteri atau

infeksi spesifik.

2.4.1.1 RHINITIS AKUT 1,7,9

Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh

infeksi virus atau bakteri. Penyakit ini sering ditemukan dan merupakan

manifestasi dari rinitis simpleks (common cold), influenza dan beberapa penyakit

yang disebabkan oleh virus lainnya. Penyakit ini dapat juga timbul sebagai reaksi

sekunder akibat iritasi lokal atau trauma.

Universitas Sumatera Utara


A. COMMON COLD (Coryza)

Merupakan penyakit virus yang terbanyak ditemukan pada manusia.

lnsidensinya umur yang terkena bervariasi, tetapi biasanya mengenai anak-anak

dan dewasa muda.

Etiologi

Penyebab utama adalah beberapa jenis virus dan yang utamanya adalah

Rhinovirus. Virus lainnya adalah Myxovirus, Coxsackie dan ECHO virus.

Beberapa faktor predisposisi terjadinya common cold antara lain :

 Iklim.

 Lingkungan, Temperatur, Udara Dingin dan Kelembaban Udara

 Status imunologis

 Nutrisi dan vitamin deficiency

 Kelelahan, Fitness dan Exercise

 Sumbatan Hidung

 Penyakit Sistemik seperti gangguan darah, diabetes dan tuberkulosis

Gejala Klinis

Pada stadium prodormal ( ischaemic stage ) berlangsung beberapa jam,

didapatkan rasa panas, kering dan gatal pada hidung.

Pada fase reaksi awal dan iritasi, berlangsung beberapa jam hingga

beberapa hari. Pada fase ini timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat,

beringus, tenggorokan terasa kering dan nyeri. Keluhan juga biasanya disertai

Universitas Sumatera Utara


dengan panas badan. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan membran mukosa

yang hiperemis dan bengkak.

Selanjutnya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri sehingga sekret

menjadi kental dan sumbatan hidung bertambah.

Pada stadium resolusi, gejala akan berkurang bila tidak terjadi komplikasi

dan akan sembuh dalam waktu 5 - 10 hari.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah nasofaringitis, sinusitis, otitis

media limfadenitis, tonsillitis, gastroenteritis, dan komplikasi pada traktus

respiratorius bagian bawah.

Terapi

Tidak ada terapi spesifik untuk common cold. Disamping istirahat dapat

diberikan obat-obatan simptomatis seperti anal getik, antipiretik atau dekongestan

B. RHINITIS INFLUENZA

Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari 3 grup virus influenza (grup

A, B, C ). Secara klinis virus influenza dapat menyebabkan nekrosis dari epitel

bersilia dari traktus respiratorius bagian atas (terutama hidung), sehingga

memudahkan terjadinya infeksi bakteri.

Gejala bersin, beringus dan hidung tersumbat sebanding beratnya dengan

common cold, namun infeksi bakteri sekunder lebih sering terjadi.

Universitas Sumatera Utara


Pencegahan

Pemberian imunisasi dengan menggunakan vaksin influenza yang tidak

aktif dianjurkan pada kelompok resiko tinggi. Dimana dengan vaksinasi dapat

mencegah hingga 80 % angka morbiditas akibat influenza.

Antibiotika diberikan hanya bila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri.

2.4.1.2 RHINITIS BAKTERI

Pada infeksi bakteri primer maupun sekunder pada hidung, biasanya

sekretnya mukopurulen. Warna sekret akan meramalkan jenis organisme yang

menyerang jaringan hidung. Rinitis bakterialis sering menjadi sinusitis. Dan

spektrum kelainan bakteri yang luas yang menyerang hidung, sebagian besar

disebabkan oleh bakteri gram positif.

Beberapa bakteri gram positif yang menyebabkan rinitis antara lain

Streptococcus, Pneumococcus dan Staphilococcus. Sedangkan bakteri gram

negatif yang sering menyebabkan rinitis adalah Haemophilus. E. coli dan

Salomonella. ( Cody)

A. RHINITIS HIPERTROFI

Rintis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan

sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.

Universitas Sumatera Utara


Gejala

Gejala utamanya adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak,

mukopurulen dan kadang-kadang disertai dengan nyeri kepala.

Pada pemeriksaan akan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka

inferior. Permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang hipertrofi.

Akibatnya saluran udara akan menjadi sempit. Sekret mukopurulen yang banyak

biasanya ditemukan diantara konka inferior dan septum, juga di dasar rongga

hidung.

Terapi

Sebelumnya harus dicari faktor yang menyebabkan timbulnya rinitis

sehingga akan diberikan terapi yang sesuai dengan etiologinya. Untuk

mengurangi sumbatan hidung akibat hipertrofi konka biasanya dilakukan

kauterisasi konka dengan zat kimia atau elektrokauterisasi. Bila tidak menolong

bisa dilakukan luksasi konka atau konkotomi.

B. RHINITIS SIKA 7,9

Rinitis sika sering dihubungkan dengan masalah udara yang kering,

merupakan bentuk dari rinitis atrofi anterior yang ringan dimana secara klinisnya

tidak memberikan gambaran yang berat seperti rhinitis atrofi. Penyebab utama

dari rintits ini tidak diketahui secara jelas, tetapi secara umum rhinitis ini terjadi

Universitas Sumatera Utara


pada alkoholisme, anemia, nutrisi yang buruk dan bisanya selalu berhubungan

dengan cuaca yang kering, panas dan pekerjaan yang berdebu.

Secara patologis terjadi defisiensi dan tidak aktifnya kelenjar seromukus

dan terjadi metaplasia epitel kolumnar bersilia menjadi epitel kuboid atau epitel

skuamosa dan terjadi defisiensi dari mucus blanket. Selain itu juga terjadi

ulserasi yang berpenetrasi ke bagian anterior dari kartilago septum.

Klinis

Penderita biasanya mengeluh tidak nyaman, rasa iritasi atau rasa kering di

hidung yang kadang-kadang deisertai dengan epistaksis dan krusta (krusta tipis,

kering dan berbau).

Pada pemeriksaan rhinoskopi tampak lapisan membran mukosa yang

keputihan, kering dan kadang-kadang disertai komplikasi berupa perforasi

septum.

Terapi

Terapi biasanya berdasarkan jenis etiologinya, jika perlu diberikan

suplemen vitamin dan zat besi. Terapi lokal dapat diberikan obat pencuci hidung.

2.4.2 RINITIS KARENA JAMUR 1,3,7,9

Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya secret mukopurulen yang berbau

dan terdapat pseudomembran. Dapat terlihat ulkus atau perforasi pada septum.

Bentuknya antara lain Aspergilosis, Blastomikosis, dan Candidiasis. Terapinya

diberikan anti jamur oral dan topikal serta diberikan obat cuci hidung

Universitas Sumatera Utara


A. ASPERGILLOSIS 3,7

Aspergillus merupakan salah satu jamur terbanyak pada hidung dan sinus.

Jenis jamur aspergillus terbanyak yang sering menyebabkan infeksi adalah

Aspergillus fumigatus diikuti oleh Aspergillus niger dan flavus. Penyakit ini bisa

menyerang semua kelompok umur baik wanita maupun pria.

Bentuk infeksi aspergillus pada hidung dan sinus dibagi menjadi : non-

invasif (Aspergilloma), Allergic, Invasif dan Fulminan.

 Bentuk non-invasif adalah aspergiloma atau fungus ball.

Bentuknya berupa endapan berwarna hijau kecoklatan yang

mengisi sinus terutama antrum maksila. Pada pcmeriksaan

roentgen terlihat deposit kalsium.

 Bentuk Alergic aspergillus sinusitis pertama kali diterangkan oleh

Kalfenstein, Sale dan Greenberger tahun 1983, dimana bentuk ini

berhubungan dengan allergic bronchopulmonary aspergillosis dan

merupakan kombuinasi dari reaksi tipe 1 dan tipe 3 respon imun

terhadap aspergilosis. Biasanya terjadi pada dewasa muda yang

mempunyai riwayat asma dan polip. Klinis akan didapatkan sekret

yang tebal yang berasal dari sinus yang mengandung eosinofil dan

bipyramidal atau rectangular structure in longitudinal section.

 Bentuk invasif dijelaskan oleh Hora tahun 1963, mempunyai sifat

yang mirip dengan bentuk keganasan maligna dan dapat menyebar

Universitas Sumatera Utara


 Bentuk fulminan merupakan bentuk angioinvasif progresif cepat,

menyebabkan destruksi dan angka kematiannya tinggi. Berkaitan

erat dengan pasien-pasien yang imunocompromised. Ekstensinya

bisa ke intra cranial. Gambaran histologis memperlihatkan adanya

infiltrasi hifa aspergilus dengan respon radang yang kecil dan

menyebabkan fibrosis.

Rowe - Jones membuat klasifikasi baru tahun 1993 dengan

mengelompokkan menjadi 3 bagian yaitu

 Non Invasif, termasuk kedalammnya tipe aspergiloma dan allergic.

 Semi invasif, dimana terjadi destruksi local tanpa adanya invasi ke

jaringan

 Invasif, jamur dengan infasi ke jaringan baik bentuk fulminan maupun

yang non fulminan.

Terapi

Non-invasif memerlukan terapi surgical debridement dan sinus

ventilation. Semi invasif memerlukan terpai pembedahan ditambah dengan terapi

ajuvan berupa Itraconazole (Sporanox). Tipe Allergic memerlukan terapi

debridement ditambah dengan pemberian kortikosteroid. Tipe Invasif

Universitas Sumatera Utara


memerlukan tindakan pembedahan secara radikal dikombinasikan dengan

pemberian amfotericin intravena ditambah dengan anti jamur oral.

B. BLASTOMYCOSIS 7

Blastomycosis merupakan penyakit jamur yang jarang disebabkan oleh

jamur Blastomyces dermatidis yang merupakan jamur diamorphic (thermally

diamorphic). Pada suhu kamar jamur ini berbentuk mycelial atau mold yang

menghasilkan spora yang dapat terhisap masuk kedalam paru-paru, dimana dalam

suhu tubuh dapat berubah bentuk menjadi bentuk walled round budding yeast.

Penyebaran ke ekstra paru bermanifestasi sebagai blastomycosis di kulit, laring,

oral dan kavum nasi.

Klinis

Lesi mukosa di vestibulum atau alar rim berisi papillary hyperplasic

dengan kista yang berisi leukosit polimorfonuklear. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan pemeriksaaan histopatologis (Gomoti stained) dan PAS dan tes

serologi yang positif untuk jamur.

Terapi

Pemberian amfoterisin yang bisa dikombinasikan dengan pemberian anti

jamujr oral seperti ketokonazole, Itrakonazole.

C. ACTINOMYCOSIS 7

Universitas Sumatera Utara


Ada 2 spesies dari Actinomyces yaitu Actinomyces bovis yang

menyebabkan actinomycosis (Lumpy jaw) dan Actinomyces israelli yang

menyebabkan actinomycosis pada manusia.

Jamur anaerob A. israelli hidup di jaringan dalam bentuk koloni dan

terlihat dalam pus sebagai sulphur granules. Spesies ini bertindak sebagai parasit

yang tidak patogen pada mulut dan ditemukan pada tonsil dan gigi. Trauma

merupakan faktor predisposisi utama timbulnya actinomycosis, sedangkan

penyebab spesifiknya belum diketahui. Infeksi bisa berasal dari soket gigi dan

menyebar ke jaringan sekitarnya. Hidung jarang merupakan tempat primer

tumbuhnya actinomycosis.

Klinis

Secara umum penderita merasakan demam, toksemia dan jarang

menimbulkan kematian. Kadang kadang ditemukan destruksi jaringan dan

timbulnya scar.

Terapi -

Terapi utama adalah dengan pemberian penisilin dosis tinggi selama 4-6

minggu dan surgical drainase.

D. CANDIDIASIS (Moniliasis)7

Dikenal juga sebagai thrush yang disebabkan oleh Candida albicans yang

merupakan jamur utama yang hidup pada kulit dan rongga mulut.

Infeksi biasanya sering terjadi pada mulut dan kadang - kadang bisa

menyerang hidung terutama pada pasien yang marasmus dan orang tua.

Universitas Sumatera Utara


Predisposisi terjadinya candidiasis adalahapasien yang menderita diabetes, AIDS

dan tuberkulosis.

Klinis

Tampak lesi kecil, dislcret berwarna putih kotor pada mukosa dengan

permukaan yang berwarna merah. Lesi dapat dengan mudah diangkat tanpa ada

perdarahan

Terapi

Dilakukan pembersihan dengan larutan 1 % gentian violet atau pemberian

nistatin. Selain itu dapat diberikan pula amphoterisin dan Flucytosine.

E. HISTOPLASMOSIS 7

Histoplasmosis disebabkan oleh yeast like fungus, Histoplasma

capsulatum. anyak terjadi di central regions of USA. Merupakan penyakit difus

yang menyerang sistem retikuloendotelial dan bermanifestasi dengan pembesaran

limps, hati kelenjar limfe dengan ulserasi pada usus dan anemia. Lesi di hidung

biasanya jarang dan dapat berbentuk nodular atau bentuk infective secondary

lymphadenitis.

Diagnosis ditegakkan dari biopsi dan histoplasmin skin test untuk

membedakan dengan tuberculosis pare. Terapinya biasanya diberikan

Amphotericin.

Universitas Sumatera Utara


2.4.3 RINITIS HORMONAL 1,3,5

Estrogen menyebabkan pelebaran vascular tidak hanya di uterus, tapi juga

pada hidung. Untuk alas an yang sama bebrpa wanita mengalami kongesti nasal

pada periode premenstruasi yang mungkin keliru dinamakan cold.

Banyak wanita memperhatikan adanya kongesti nasal selama kehamilan.

Keadaan ini bertambah buruk selama kehamilan dan berhubungan langsung

dengan level estrogen endogen yang meningkat tajam selama trimester terakhir

kehamilan. Banyak ahli Obstetri lebih senaang pasien mereka menderita kongesti

hidung diri pada memberi obat. Banyak pasien memilih sendiri obat anti

histamine dan dekongestan. Obat tersebut digunakan dalam waktu jangka lama

sedangkan efek terhadapjanin belum jelas.

Secara umum perparat antihistamin generasi lama seperti trepilennamine

dan elorphenirmine lebih disukai untuk penderita dimana kondisinya dicetusakan

oleh rhinitis alergi secara koinsidental (Schatz et al, 1987 ;Zeiger 1989)

Pemakaian kortikosteroid topical seperti beclometasone lebih

disukai.Dekongestan pseudoefedrin oral (Sudafed) memiliki keamanan untuk

pemakaian jangka panjang dan berguna bagi pasien non alergi, kecuali bagi

mereka yang memiliki hipertensi.

Lebih jauh pada penderita dengan kengesti nasal berat mungkin

memerlukan penanganan operatif. Efek samping sementara dari tindakan bedah

ini dapat diterima karena kehamilan sendiri merupakan kondisi yang bersifat self

limited.

Universitas Sumatera Utara


Pada HIPOTIROID, sekitar 2 %-3% psien rinitis vasomotor didiagnosis

sebagai hipotiroid (Settipane,1987). Hipoaktifitas simpatis scara umum

menyebabkan parasimpatis lebih dominan dengan efek vasodilatasi. Sesudah

abnormalitas endokrin ditegakkan, tingkat perubahan residual dalam vaskularisasi

nasal dapat diperiksa dan diatasi.

2.4.4 RINITIS VASOMOTOR 1,3,4,5,8

Rinitis vasomotor mempunyai karakteristik klinis yang hampir sama

dengan rinitis alergi tetapi dalam rinitis vasomotor pasien dapat

mengidentifikasikan dengan jelas pencetus timbulnya serangan tersebut (Trigger

stimuli) contohnya adalah cuaca, iritasi udara. AC atau faktor stres. Ada beberapa

nama lain untuk rinitis vasomotor yaitu :

 Rinitis non alergi, non infeksi yang menggambarkan kelompok heterogen

penderita dengan gejala nasal kronis yang bukan bersifat imunologis atau

infeksi murni biasanya tidak berhubungan dengan eosinofilia nasal.

 Rhinophaty intrinsic dimana pada beberapa kasus rhinitis vasomotor tidak

ditemukan bukti adanya inflamasi

 Rhinitis intrinsik, pada penyakit kompleks dengan etiologi dan

patofisiologi yang belum dimengerti.

Universitas Sumatera Utara


Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologis lapisan mukosa

hidung (terutama mukosa septum dan konka) yang disebabkan oleh

bertambahnya aktivitas saraf parasimpatis.

Pasien dengan diagnosa rinitis mempunyai gejala utama antara lain

kongesti hidung, sneezing, nasal ithcing, rinonhea kadang-kadang disertai dengan

hiposmia dan post nasal discharge. Pada rinits alergi gejala yang signifikan

adalah sneezing dan nasal itching, dimana keadaan ini cenderung tidak

didapatkan pada pada rhinitis vasomotor. Begitu pula pada rintis vasomotor

didapatkan hasil tes kulit yang negatif dan jumlah eosinofil yang rendah pada

nasal smears.

Persarafan dari septum nasi dan konka terutama berasal dan nervus

kranialis ke 5 (cab ophthalmic dan maxillary), nervus kranial ke 7 dan serabut

sensoris khusus dari nervus cranial ke 1. Saraf parasimpatis berasal dari nukleus

salivatorius superior di pons.

Pada saat hipotalamus mengeluarkan perintah agar saraf parasimpatis

bekerja pada septum nasi dan konka, maka neurotransmiter kolinergik asetilkolin

pada ujung serabut saraf parasimpatis akan keluar dan menyebabkan dilatasi

pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan

hipersekresi kelenjar. Sebagai akibatnya akan terjadi edema mukosa konka,

dinding lateral cavum nasi dan septum, sehingga akan menyebabkan sumbatan

hidung dan beringus.

Universitas Sumatera Utara


Penyebab dari rintis vasomotor adalah :

1. Drug Induced Antihipertensi :Spray hidung,antihipertensi, kokain, Pil

KB dan aspirin.

2. Kehamilan and premenstrual colds

3. Hipotiroid

4. Penyebab kecemasan

5. Temperature mediated

6. Rinitis Irritatif

7. End - stage vascular atony of chronic allergy of inflammatory rhinitis

8. Recumbency rhinitis

9. Paradoxic nasal obstruction and nasal cycle

10. Rinitis karena tidak ada aliran udara (laringektomi, choanal atresia,

hyperplasia adenoid)

11. Compensatory hypertrophies rhinitis

12. Eosinofil and basofililic rinitis non alergi

13. Kelainan sistemik yang lain

14. Rinitis Idiopatik

2.4.5 NON ALLERGIC RHINITIS EOSINOPHILIA SYNDROME

( NARES)

Secara klinis NARES memiliki kesamaan dengan rhinitis alergi tetapi

tidak terdapat IgE mediator imunopatologi. Secara klinis timbul gejala rinorrhea

Universitas Sumatera Utara


berat, gatal pada mata dan hidung, bersin yang berulang. Mereka juga sensitive

terhadap lingkungan seperti bau asap, zat kimia, parfum dan perubahan udara.

Serangan dapat terjadi kapan saja. Dan pada hapusan hidung terdapat eosinofil.

Istilah NARES digunakan untuk kondisi klinis dengan etiologi yang tidak

diketahui, dengan gejala mendukung rinitis alergi, dimana test IgE normal dan

skin test terhadap allergen sesuai letak geografi negative (Georgitis, 1089)

Terapi antihistamin atau dekongestan tidak mengurangi gejala secara

signifikan tapi steroid yang diberikan pada hidung umumnya menghasilkan

perubahan. Repon terhadap steroid menimbulkan dugaan bahwa kondisi ini

mungkin disebabkan allergen yang tidak dikenal.

2.4.6 OCCUPATIONAL RHINITIS

Occupational rhinitis dapat didefinisikan sebagai adanya peradangan pada

mukosa hidung dengan gejala bersin, hidung beringus dan atau disertai dengan

gejala hidung tersumbat yang disebabkan karena adanya paparan dari partikel-

partikel di udara terutama pada tempat pekerjaan. Sebagai pencetus rinitis ini bisa

dibagi menjadi 2 sebab yaitu :

 Berupa iritasi dari rokok, udara dingin, formaldehyde, hair spray dan

bahan-bahan kimia yang tidak menyebabkan mekanisme imunologis.

 Paparan dari tempat pekerjaan yang menyebabkan reaksi dari IgE

mediated, dan biasanya rinitis ini dicetuskan oleh binatang - binatang yang

Universitas Sumatera Utara


Klinis dan diagnosis

Gejala yang ditimbulkan bisa bersifat akut setelah terpapar oleh alergen

atau bersifat kronis setelah terpapar terus menerus. Occupational rhintis harus

dicurigai pada pasien-pasien yang mempunyai gejala pada hidung setelah

terpapar alergen pada tempat kerjanya.

Untuk menegakkan diagnosis dilakukan tes kulit, terutama menggunakan

alergen yang spesifik yang berhubungan dengan tempat kerjanya.

Terapi

Penatalaksanaan yang optimal pada pasien dengan occupational rhinitis

adalah dengan cara menghindari paparan dari alergennya. Tekniknya bisa dengan

menggunakan masker, menata ruangan kerja atau memindahkan penderita ke

tempat yang bebas alergen. Jika hal diatas tidak memungkinkan dapat diberikan

terapi medikamentosa, dengan menggunakan antiinfalmmatory intranasal

corticosteroids atau antihistamin dan intranasal cromolyn.

Universitas Sumatera Utara


2.4.7 DRUG INDUCED RHINITIS

Obat-obat tertentu, khususnya yang mempengaruhi kontrol vaskuler

otonom dapat menyebabkan perubahan saluran vaskular hidung.

Antihipertensi 1,3,4

Simpatik bloking agen seperti reserpin, guanetidin, hidralazin, etildopa,

propanolol dan betas bloker lain dapat menimbulkan efek samping sumbatan

hidung. Hal ini disebabkan berkurangnya nor adrenalin sehingga menghasilkan

vasodilatasi parasirnpatis.

Reserpin paling berperan dalam kejadian ini, mempengaruhi 8 %

pemakainya. Obat hipertensi dapat diganti dengan preparat lain yang sedikit

menimbulkan kongesti nasal.

Nasal Drop / Spray Abuse 3,5,8

Dekongestan bersifat simpatomimetik yang menyebabkan aksi

vasokonstriksi. Bila dipakai secara topikal pengaruh vasokonstriksinya kuat

sehingga terjadi keadaan semi iskemik. Selama periode ini produk metabolisme

yang terakumulasi merupakan vasodilator kuat. Vasodilatasi yang sering terjadi

menyebabkan kongesti lagi. Makin sering pemakaian vasokonstriktor topikal,

makin besar gejala berulang sampai tonus vaskuler hilang.

Istilah lama untuk kondisi ini adalah rinitis medikamentosa, istilah lainnya

yaitu rebound rhintis.

Universitas Sumatera Utara


Pengolalaan pada pasien membutuhkan penghenti total dan segera

penggunaan nasal drop / spray. Bayi khususnya sangat rentan terhadap rebound

rhinitis dan dapat berkembang setelah beberapa hari pemakaian nasal drop.

Sebaliknya pada orang dewasa, kondisi ini terjadi setelah pemakaian jangka

waktu yang lebih lama.

Bila kondisi ini menetap selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun,

vaskularisasi nasal telah mengalami perubahan permanen serta memerlukan

terapi bedah untuk konka.

Coccaine 5

Karena kokain bersifat vasokonstriktor, secara terotis mungkin terjadi

rebound rhinitis pada pemakaian intranasal. "Street cocaine" umumnya

mengandung pemalsuan dimana efek merugikannya menutupi rebound rhintis

yang mungkin terjadi karena coccaine. Zat yang digunakan untuk memalsukan

coccaine seperti lalctosa, manitol, lidokain, kaffeine dan berbagai bakteri

kontaminan. Iritan tersebut menyebabkan terjadinya krusta dan rinitis atrofi. Bila

efek vasokontriktor coccaine memuncak, kartilago septum mengalami

penuruanan suplai darah yang menyebabkan perforasi septum.

Pil Kontrasepsi

Sebagian wanita mengeluh kongesti nasal bila memakai obat pengatur

ovulasi. Kondisi ini disebabkan efek vasoaktif estrogen.

Universitas Sumatera Utara


Aspirin 3,5

Intoleransi aspirin dapat menyebabkan rinitis. Hipotesa yang berkaitan

dengan ini adalah dengan menghambat jalur cyclo-oxygenase yang berperan

penting dalam metabolisme lipoxygenase dan meningkatkan produksi leukotrien

dan slow reacting substance s. Gejala yang ditimbulkan adalah hidung beringus

encer termasuk gejala sistemik lain seperti urtikaria. Yang lebih penting lagi

adalah aspirin dapat memperberat penyakit pada penderita asma dan polip

2.4.8 GUSTATORY RHINITIS 1

Hipersensitivitas terhadap makanan dibagi menjadi 2 bentuk yaitu food

allergy dan food intolerance. Food allergy karakteristiknya melibatkan sistem

imun sedangkan food intolerance tidak bisa dibuktikan secara imunologis.

Ada 3 jalur terjadinya proses sensitasi alergen pada food allergy, yaitu :

1. Adanya ingesti dari makanan, Jalur yang tersering , banyak terjadi pada

bayi dan anak — anak. Biasanya alergi terhadap susu

2. Adanya sensitasi yang disebabkan oleh adanya allergen inhalan.

3. Adanya sensitasi melalui kulit.

Beberapa makanan yang menyebabkan terjadinya alergi antara lain susu,

telur, ikan, nikel dan kobalt.

Klinis

Reaksi hipersensitivitas pada makanan biasanya terjadi dalam jam-jam

pertama setelah proses ingesti. Secara garis besar gejala yang terjadi melibatkan 2

Universitas Sumatera Utara


atau lebih organ (respiratori, kulit dan gastrointestinal). Gejala yang sering terjadi

adalah diare, urtikaria dan asma. Selain itu dapat pula terjadi konjungtivitis dan

rinitis. Amlot et. all (1987) melaporkan pasien- pasien yang hipersensitivitas

terhadap makanan terjadi sindroma alergi oral dalam 10 menit pertama diikuti

dengan dengan munculnya tanda-tanda objektif dalam 30 menit kemudian (

urtikaria, konjungtivitis, asma, muntah dan mual). Gejala rinitis dan anafilaksis

merupakan gejala yang jarang timbul. Bindslev - Jensen, 1992 pernah meneliti

pada orang dewasa, dengan hash bahwa gejala rinitis merupakan gejala yang

jarang timbul pada hipersensitivitas terhadap makanan dan biasanya timbul

bersamaan dengan asma.

Diagnosis & Terapi

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes kulit dan pemeriksaan IgE

RAST. Terapi utama dari alergi makanan adalah dengan cars menghindari

sumber alergennya. Apabila sudah terjadi alergi maka diberikan antihistamin dan

kortikosteroid.

2.4.9 RHINITIS ATROFI (OZAENA) 1,3,7,8

Merupakan suatu infeksi kronis pada hidung yang ditandai dengan adanya

atrofi yang progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa

hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga

terbentuklah krusta yang berbau busuk. Rintis atrofi sering terjadi pada usia

pubertas dan lebih banyak menyerang wanita dibandingkan laki- laki.

Universitas Sumatera Utara


Etiologi

Etiologi utama dari rhinitis atrofi sampai saat ini tidak diketahui dengan

jelas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya rinitis atrofi.yaitu :

 Infeksi kuman spesifik terutama oleh Klebsiella ozaena. Kuman lainnya

Streptococcus, Staphilococcus dan Pseudomonas

 Defisiensi Vitamin A

 Defisiensi Fe

 Sinusitis Kronis

 Penyakit kolagen

 Kelainan hormonal

Patologi

Beberapa penulis menyatakan bahwa terjadi metaplasia epitel kolumner

bersilia menjadi epitel skuamosa. Dimana perubahan ini menyebabkan penurunan

jumlah dan ukuran dari kelenjar alveolar. Ada 2 bentuk patologis dari rhinits

atrofi yaitu :

 Tipe 1. Karakternya adalah adanya endarteritis dan periarteritis dari ujung

terminal arteri yang menghasilkan infeksi kronis

 Tipe 2. Adanya vasodilatasi dari kapiler dan menjadi buruk dengan

pemberian terapi estrogen.

Universitas Sumatera Utara


Gejala

Gejala yang sering dikeluhkan yaitu hidung tersumbat dan epistaksis.

Selain itu adalah hidung (nafas) berbau, ingus kental yang berwama hijau, krusta

dan anosmia. Kadang-kadang disertai dengan sakit kepala.

Pemeriksaan

Pada rhinoskopi anterior didapatkan konka yang atrofi terutama konka

inferior dan media, sekret purulen berwarna hijau dan krusta berwarna hijau.

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu antara lain transiluminasi,

roentgen sinus, kultur dan resistensi dari sekret, pemeriksaan darah tepi, Fe serum

dan histopatologis.

Terapi

Konservatif

Dapat diberikan antibiotika broad spectrum atau sesuai dengan hasil

kultur dan resistensi. Dilakukan pencucian hidung dengan larutan fisiologis atau

larutan garam hangat. Pemberian preparat vitamin A dan preparat Fe. Bila

terdapat komplikasi sinusitis maka terapi sinusitis pun harus diberikan.

Pembedahan

Jika pengobatan konservatif tidak adekuat dan gagal, maka dilakukan

operasi penutupan lubang hidung secara operasi plastik dengan tujuan mukosa

hidung akan menjadi normal kembali.

Universitas Sumatera Utara


2.4.9 RHINITIS AMONG CHIDREN 1

Pada umunya rinitis ini dijumpai pada anak-anak usia 2-6 tahun, biasanya

disebabkan oleh virus. Sekitar 10 % anak mempunyai riwayat alergi. Rinitis

kronis karena bakteri pada anak dapat disebabkan oleh gangguan imunologi, kista

fibrosis, atau kelainan struktur bibir sumbing

Gejala rinitis pada anak hampir sama dengan dewasa dimana terdapat

hidung tersumbat, beringus dan bersin-bersin. Pada tahap awal biasanya ingus

encer dan banyak kemudian pada tahap berikutnya bila terjadi infeksi, ingus akan

berubah menjadi kental. Biasanya anak akan menjadi gelisah dan rewel.Biasanya

bila rhinorrhea purulen dan unilateral merupakan pertanda adanya benda asing.

Rinitis pada anak dapat juga disebabkan oleh adanya gastroesofageal refluk, bisa

juga terjadi pada bayi yang premature.

Terapi Rinitis pada anak sesuai etiologinya,bila penyebanya alergi maka

terapi yang utama adalah menghidari zat alergen tersebut untuk terapi

simptomatik dapat diberikan antihistamin dan kortikosteroid, dan bila diduga

terdapat adanya infeksi yang menyertai rhinitis maka dapat diberikan antibiotik.

2.5 PEDOMAN DIAGNOSIS RINITIS 2,3

Beberapa patokan yang bisa digunakan untuk mendiagnosis rinitis,

antara lain :

1. Infeksi atau Non Infeksi

Biasanya diagnosis rinitis infeksi ditandai dengan adanya gejala dihidung

serta adanya gejala di tempat lain seperti disaluran napas atau di tenggorokan.

Universitas Sumatera Utara


Kita dapat juga membedakan dari secret hidungnya baik secara makroskopis dan

mikroskopis, sehingga dapat juga kita bedakan rhinitis yang purulen atau non

purulen. Selain itu secara mikroskopis bisa kita lihat apakah ada neutrofil atau

tidak, dimana neutrofil dalam secret hidung bisa disebabkan oleh infeksi virus,

bakteri atau iritasi dari polusi.

2. Alergi atau Non alergi

Berdasarkan anamnesis dapat ditegakkan diagnosis alergi inhalan,

kemudian didukung oleh pemeriksaan fisik, test kulit, atau pemeriksaan IgE

RAST.Istilah vasomotor rhinitis sering digunakan untuk rinitis non infeksi dan

non alergi.

3. Seasonal atau Perennial

Seasonal alergi sering terjadi pada Negara yang mempunyai 4 musim.

Alergen penyebabnya yang terbanyak adalah tepung sari ( pollen) dan spora

jamur yang jumlahnya meningkat pada musim panas. Penyakit ini timbul secara

periodik dan dapat mengenai seluruh golongan umur dan biasanya timbul pada

anak-anak dan dewasa muda. Perennial alergi, gejala pada penyakit ini timbul

intermitten atau terus menerus tanpa variasi musim, jadi dapat terjadi sepanjang

tahun. Penyebab terseringnya adalah alergi inhalan terutama pada orang dewasa,

serta alergi ingestan pada anak-anak. Selain faktor alegennya iritasi oleh faktor

non spesifik dapat memperberat gejal, seperti asap rokok, bau yang merangsang,

perubahan cuaca dan kelembaban yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara


4. Eosinofilia atau Non Eosinofilia

Rinitis non alergi dibagi dua bagian, dimana salah satunya adalah

ditemukannya eosinofilia pada sekret hidung. Keadaan ini sering terjadi pada

polip hidung, sinusitis hiperplastik, non alergi atau asma dan rinitis akibat

penggunaan NSAID

5. Penyebab lain yang menimbulkan gejala hidung kronis

Rinitis medikamentosa yang terjadi akibat penggunaan semprot hidung

dalam jangka waktu lama. Selain itu penggunaan antihipertensi dan psikosedatif.

Penyebab lainnya adalah kehamilan, koanal atresia, benda asing, pembesaran

adenoid, septum deviasi dan tumor.

2.6 PENATALAKSANAAN RINITIS NON ALERGI

Manajemen Non Bedah :

 Posisi tidur kepala 30˚

 Menghindari alergen

 Pemberian dekongestan oral, tapi hati-hati pada hipertensi, kardiak aritmia

dan glaucoma

 Tidur dan bekerja pada lingkungan coo-air, usahakan tubuh dalam

keadaan hangat

 Obat pencuci gidung

 Aatihistamin, dekongestan dan antibiotik

Universitas Sumatera Utara


Manajeman Bedah

 Kauterisasi konka dan submukosa

 Kauterliksasi konka

 Reseksi submukosa tulang konka

 Konkotomi parsial

 Konkotomi total

Universitas Sumatera Utara


BAB III

KESIMPULAN

Rinitis Non alergi merupakan suatu kelainan pada hidung dengan

obstruksi, hipesekresi dan hiperiritabilitas dimana alergi sebagai etiologi tidak

dapat diidentifikasi (skin test negative dan bukan melalui perantaraan IgE).

Rhinitis non alergi dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, diantaranya

oleh karena infeksi(bakteri,virus, & jamur) vasomotor, granulomatous, autoimun,

kelainan anatomi dan lain sebainnya.

Terdapat banyak penyebab rhinitis non alergi yang membutuhkan

kemampuan seorang klinisi untuk dapat secara efektif menegakkan diagnosis dan

melakukan penatalaksanaan yang benar

Berbagai bentuk penatalaksanaan rinitis non alergi termasuk secara

farmakologi dan prosedur pembedahan tergantung dari faktor etiologinya Untuk

dapat menegakkan diagnosa serta memberikan penatalaksanaan yang baik harus

dilakukan anamnesa dan pemeriksaan THT yang cermat dan teliti, serta dibantu

dengan pemeriksaan penunjang, seperti sitologi sekret hidung dan radiology.

Meskipun penyakit ini bukan penyakit yang dapat menyebabkan kematian,

tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat menurunkan kualitas hidup,

mengganggu fungsi fisik dan psikis, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi

sosial serta gangguan stabilitas emosi.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. Newlands Shawn D,Non Allergic Rhinitis, In: Bailey Byron J. Head and Neck

Surgey - Otolaryngology. Fourth Edition2006.Volume 1. Lippincott Wiliams

and Wilkins. Philadelphia, USA. Hal: 351 - 364.

2. Mygind N, Naclerio R.M. 1993. Allergic and Non Allergic Rhinitis, Clinical

Aspects. Munksgaard Copenhagen. Hal: 11 - 24, 82 - 94, 153 - 83.

3. Maran A, Lung V.J, Tardy M.E. 1990. Basic Sciences; Infection and

Nonneoplastic Disease. In: Clinical Rhinology. Thieme Med pub. Inc, New

York. Hal: 5 - 41; 59-63.

4. Hollinshead W.H. 1966. The Nose and Paranasal Sinuses. In: Anatomy for

Surgeon: The Head and Neck. Vol. I. A Hoeber - Harper International.

Minnesota. Hal: 229 - 280.

5. Fairbanks, David N.F; Raphael, Gordon D. 1993. Nonallergic Rhinitis and

Infection. In: Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 2nd ed. Edited by:

Cummings, Fredrickson, Harker, Krause, & Schuller. Mosby Year Book. St

Louis, Missouri. Hal: 775 - 785.

6. Bernstein, Joel M. 2001. Nasal Polyps. In: Disease of the Sinuses: Diagnosis

and Management. Edited by: Kennedy D.W, Bolger W.E, Zinrich S.J. BC

Becker Inc. London. Hal: 69 - 76.

Universitas Sumatera Utara


7. Jones AS. 1997. Intrinsic Rhinitis. In : Scott-Brown's Otolaryngology. Edited

by : Alan G. Kerr . 6th ed, Butterworth Heinemann. London. Hal : 4/9/1 - 14.

8. Netter, Atlas of Human Anatomy

9. Nurbaiti I, Efiaty Arsyad. 1997. Sumbatan Hidung; Rhinore. Dalam: Buku

Ajar Ilmu Penyakit THT, Edisi ke-3, FKUI, Jakarta. Hal: 89-120.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai