Anda di halaman 1dari 18

PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192

Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 13

Kepatuhan Mesir Terhadap Convention on The Elimination of


All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)
Paska Revolusi Mesir 2011
Egypt's Compliance with the Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) Post-Revolution of Egypt 2011

Afriandia,1, Ardila Putrib,2, Zulkifli Harzac,3


Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Andalasa,c
Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Pertaminab
afriandiaugustine@gmail.com1, ardila.putri@universitaspertamina.ac.id2, zharza@soc.unand.ac.id3

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kepatuhan Mesir terhadap Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pasca Revolusi Mesir 2011 hingga tahun 2021. Penelitian
ini mendeskripsikan mengenai upaya Mesir dalam mengimplementasikan ketentuan yang terdapat dalam
CEDAW kedalam kebijakan nasionalnya. Penelitian ini menggunakan konsep compliance theory yang
dikemukakan oleh Ronald B. Mitchell. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa Mesir dinyatakan
patuh terhadap CEDAW. Bentuk perilaku kepatuhan Mesir adalah coincidental compliance. Kepatuhan Mesir
terhadap CEDAW termasuk kedalam kategori passive compliance. Kepatuhan ini dibuktikan melalui
penerapan berbagai kebijakan nasional, kerjasama pemerintah dengan organisasi internasional, strategi
nasional, dan program-program yang diluncurkan oleh pemerintah terkait dengan kesetaraan dan
perlindungan perempuan, akan tetapi upaya tersebut belum mampu secara maksimal dari hal yang
diharapkan.

Kata Kunci : Mesir; CEDAW; Hak Asasi Perempuan; Kepatuhan; Rezim Internasional

ABSTRACT
This research aims to explain Egypt’s compliance toward the Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) post-Revolution Egypt 2011 until 2021. This research describes
Egypt’s’ efforts in implementing the provisions contained in CEDAW into their national policy. This research
using the compliance theory concept by Ronald B. Michell. The result of this research shows that Egypt’s was
declared compliance with CEDAW. Egypt’s compliance with CEDAW belongs to the passive compliance
category. It was proved through the application of various national policies, government cooperation with
international organizations, national strategies, and programs launched by the government related to equality
and protection of women, but the result is far enough to what expected.

Keywords : Egypt; CEDAW; Women’s Right; Compliance

Info Artikel :
Disubmit: 03 Februari 2022 Direview: 19 Februari 2022 Diterima: 02 Maret 2022

Copyright © 2022 – PIR Journal. All rights reserved.

1. PENDAHULUAN
Revolusi Mesir yang terjadi pada Januari 2011 memaksa presiden Hosni Mubarak mundur setelah
didemo selama 18 hari oleh masyarakat Mesir. Setelah turunnya Hosni Mubarak dari kursi
kepemimpinan negara, pemerintahan Mesir diambil alih oleh Supreme Council on the Armed Forces
(SCAF) atau Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dibawah pemerintahan SCAF, sebanyak 64 kursi
parlemen atau setara dengan 12% kuota penuh dibatalkan pada bulan Juli 2011. Pembatalan ini
kemudian digantikan dengan amandemen hukum elektoral yang menghimbau seluruh partai untuk

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 14

memiliki setidaknya 1 kandidat perempuan. Pada tahap pertama pemilihan, dari 376 kandidat
perempuan, tidak ada satupun yang terpilih (Ferber, 2011). Hal ini membuat Amnesti Internasional
menilai perubahan kebijakan ini sebagai sebuah kegagalan besar dalam penjaminan partisipasi politik
perempuan di Mesir (Amnesty International, 2011).
Setelah diadakan Pemilu, Muhammad Mursi yang merupakan salah satu tokoh berpengaruh
Ikhwanul Muslimin terpilih menjadi presiden Mesir yang baru. Dibawah dominasi Ikhwanul Muslimin,
segala hal tentang perempuan yang terkandung dalam Suzanne Laws dihapuskan karena dianggap
sebagai salah satu bagian dari rezim Husni Mubarak. Padahal dilain sisi, Suzanne Laws merupakan
salah satu produk hukum perlindungan perempuan yang dibuat Mesir sebagai salah satu upaya
internalisasi rezim internasional perlindungan wanita yang sering disebut dengan CEDAW
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Hal ini pada akhirnya
kontradiktif mengingat selama ini Mesir dianggap sebagai salah satu role model bagi negara-negara di
kawasan Afrika dan Timur Tengah terkait perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak wanita
(Ferber, 2011).
Sesuai dengan penjabaran diatas, artikel ini bertujuan untuk menganalisis kepatuhan Mesir paska
revolusi Mesir 2011. Kajian ini penting untuk dilakukan mengingat Mesir merupakan salah satu negara
peratifikasi CEDAW dan menjadi salah satu negara role model dalam pemberdayaan perempuan di
kawasan Timur Tengah dan Afrika. Menjadi lebih menarik untuk dikaji mengingat Suzanne Laws yang
dianggap sebagai salah satu milestone terbesar mesir dalam perlindungan perempuan malah dibatalkan
paska revolusi Mesir 2011. Lebih lanjut, pergolakan politik Mesir saat arab spring berpengaruh sangat
signifikan terhadap pemerintah Mesir terutama dengan turunnya Husni Mubarak dari kursi
kepresidenan setelah memerintah berpuluh-puluh tahun, sehingga kajian tentang kepatuhan Mesir
terhadap rezim internasional perlu untuk dilakukan seiring dengan perubahan rezim pemerintahan di
negara tersebut. Selain itu, setelah 10 tahun berlalu semenjak revolusi Mesir, menarik untuk dilihat
bagaimana perkembangan kepatuhan Mesir terhadap CEDAW untuk menjamin hak-hak perempuan di
negara tersebut.

2. TINJAUAN PUSTAKA

A. CEDAW Sebagai Sebuah Rezim Internasional Terkait Perlindungan Perempuan


Stephen D. Krasner mendefinisikan rezim internasional sebagai serangkaian prinsip-prinsip, norma-
norma, peraturan dan prosedur pembuatan keputusan secara implisit ataupun explisit dimana
ekspektasi para aktor berkumpul di area yang ada dalam hubungan internasional (Krasner, 82). Rezim
internasional dibentuk sebagai sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama internasional dan
untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat dilakukan secara bersama. Rezim
internasional dapat dipahami sebagai bentuk-bentuk institusionalisasi perilaku yang didasarkan pada
norma-norma atupun aturan-aturan untuk mengelola konflik maupun masalah-masalah yang saling
ketergantungan di berbagai bidang dalam hubungan internasional (Sudlar, 2014).

Rezim internasional yang memfasilitasi isu perempuan di tingkat global salah satunya adalah
CEDAW. Sejarah panjang CEDAW dimulai semenjak tahun 1947 disaat PBB membentuk UN
Commission on the Status of Women (CSW) dengan tujuan sebagai badan untuk mempertimbangkan
dan menyusun kebijakan-kebijakan yang akan dapat meningkatkan posisi perempuan. Pada tahun 1949
sampai 1959, CSW telah menyiapkan berbagai kesepakatan internasional termasuk didalamnya
Convention on the Political Rights of Women dan Convention on the Nationality of Women. Degan
dukungan berbagai badan dibawah PBB, CEDAW disetujui dan diadopsi oleh Majelis Umum PBB
pada tanggal 18 Desember 1979. Selanjutnya CEDAW dinyatakan berlaku pada tanggal 3 September
1981 setelah 20 negara anggota PBB meratifikasinya. Tercatat hingga 18 Maret 2005, CEDAW telah

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com
PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192
Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 15

diratifikasi oleh 180 negara anggota PBB. Dengan kata lain telah lebih dari 90% negara anggota PBB
meratifikasi konvensi ini (Eddyono, 2014).

Dalam teks CEDAW terdapat 2 struktur utama yaitu pertimbangan dan pasal-pasal. Pertimbangan
dalam teks CEDAW berisi mengenai alasan penting diperlukannya CEDAW dalam penghapusan
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Pasal-pasal dalam CEDAW terdiri dari 30 pasal dan
terbagi kedalam 6 bagian. Bagian pertama memuat mengenai prinsip-prinsip yang dianut oleh CEDAW
dan penekanan tentang kewajiban negara terhadap pelaksanaannya. Bagian kedua memuat mengenai
hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh perempuan. Bagian ketiga memuat mengenai hak
perempuan dalam bidang pendidikan (Pasal 10), pekerjaan (Pasal 11), kesehatan (Pasal 12), kehidupan
sosial dan ekonomi (Pasal 13), dan hak khusus terhadap perempuan pedesaan (Pasal 14). Pada bagian
keempat memuat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dihadapan hukum (Pasal 15) dan
penjaminan hak perempuan dalam konteks perkawinan dan hubungan keluarga (Pasal 16). Pada bagian
lima berisi mengenai Komite CEDAW, mekanisme pelaporan dan pemantauan. Dan yang terakhir,
pada bagian keenam memuat penegasan mengenai pentingnya penegakkan prinsip persamaan didalam
undang-undang negara, kebijakan negara, traktat maupun perjanjian internasional yang diikuti oleh
negara yang meratifikasi CEDAW (Eddyono, 2014).

CEDAW lahir dari sebuah proses yang panjang mengenai perjuangan penyamarataan hak antara
laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, CEDAW harus senantiasa menemukan upaya-upaya dalam
pengefektifannya secara terus menerus, baik dari segi hak, kewajiban negara dan bahkan mekanisme
pemantauannya. Terdapat setidaknya 4 upaya untuk pengaktifan CEDAW. Upaya pertama yaitu
melalui rekomendasi – rekomendasi Komite CEDAW. Komite CEDAW mempunyai wewenang dalam
pembuatan rekomendasi. Tujuan dari dibuatnya rekomendasi adalah agar ide dan pelaksanaan
perlindungan perempuan menjadi lebih dinamis. Komite CEDAW setidaknya telah membuat sebanyak
24 rekomendasi sejak pertama kali berlaku. Upaya kedua adalah dengan mengadakan opsi Optional
Protocol. Optional protocol merupakan instrumen hak asasi manusia yang melengkapi CEDAW
dengan menerapkan prosedur tambahan dalam pelaksanannya. Optional protocol terdiri dari 2 prosedur
yaitu; Pertama, prosedur pengaduan yang memperbolehkan perempuan secara individu untuk
menyampaikan pengaduan mengenai adanya pelanggaran terhadap hak-hak yang telah dilindungin
berdasarkan CEDAW kepada Komite CEDAW. Pengaduan tersebut harus memenuhi beberapa kriteria,
salah satunya adalah telah menempuh seluruh proses pengaduan didalam negeri. Kedua, menetapkan
adanya proses penyelidikan yang memungkinkan Komite CEDAW untuk mengambil prasangka dalam
menyelidiki bagaimana tingkat pelanggaran terhadap perempuan. Optional Protocol dapat dilakukan
apabila negara peserta telah meratifikasinya. Hal ini menandakan jika suatu negara telah meratifikasi
CEDAW, bukan berarti Optional Protocol juga berlaku di negara tersebut. Dalam Optional Protocol
juga dicantuman satu klausul yang memberikan kesempatan terhadap negara yang meratifikasinya
untuk tidak bersedia menerima prosedur penyelidikan tersebut. Upaya ketiga yaitu dengan menerbitkan
laporan bayangan (Shadow Report). Secara eksplisit, CEDAW telah mengikat negara-negara yang
meratifikasinya untuk membuat dan menyusun sebuah mekanisme pelaporan dan pemantauan terhadap
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Akan tetapi, Komite CEDAW menyadari bahwa perlu
adanya sebuah mekanisme alternatif dalam pemantauan tersebut sehingga informasi yang didapatkan
menjadi sangat relevan. Oleh sebab itu, Komite CEDAW membuka kesempatan kepada berbagai pihak
untuk memberikan informasi mengenai keadaan situasi perempuan di negara-negara peserta.
Mekanisme inilah yang kemudian disebut sebagai laporan bayangan. Upaya lainnya, yaitu upaya
keempat, melalui integrasi CEDAW keberbagai instrumen dibawah naungan PBB. CEDAW
merupakan suatu instrumen insternasional yang berada dibawah naungan PBB. Oleh sebab itu akan
lebih efektif jika CEDAW diintegrasikan kedalam seluruh badan PBB. Hal ini memungkinkan
CEDAW untuk meminta informasi ke badan-badan tersebut seperti ; International Labour
Organization (ILO), United Nations Children’s Fund (UNICEF), United Nations Population Fund
(UNFPA), dan organisai terkait lainnya (Eddyono, 2014).

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 16

B. Ratifikasi CEDAW oleh Mesir


Ratifikasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh negara dalam memberikan persetujuan
untuk mengikatkan diri kedalam suatu perjanjian internasional (KBBI). Pada tanggal 16 Juli 1980,
Mesir menandatangani CEDAW dan meratifikasinya pada tanggal 18 September 1981 sesuai dengan
Keputusan Republik No. 431 tahun 1981. Hal ini membuat Mesir termasuk menjadi salah satu negara
pertama yang meratifikasi CEDAW. Ratifikasi yang dilakukan oleh Mesir ini kemudian diterbitkan
kedalam Official Gazette No. 51 pada tanggal 17 Desember 1981 (ElGhazli, 2012).
Setelah meratifikasi CEDAW, Mesir kemudian mengajukan reservasi terhadap beberapa pasal
dalam CEDAW. Reservasi merupakan permintaan pengecualian dari pasal-pasal tertentu dalam sebuah
perjanjian internasional, dengan catatan reservasi tersebut tidak dilarang dan disetujui. Adapun
reservasi yang dilakukan oleh Mesir terhadap CEDAW adalah:
1) Pasal 9 ayat 2: reservasi pada pasal ini behubungan dengan pemberian kepada perempuan hak
yang sama dengan laki-laki dalam hal kewarganegaraan anak-anaknya. Akan tetapi pada
tanggal 4 Januari 2008, pemerintah Mesir telah menarik reservasi terhadap pasal ini setelah
adanya amandemen undang-undang tentang kewarganegaraan.
2) Pasal 16: reservasi pada pasal ini berhubungan dengan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan yang berkaitan tentang pernikahan dan hubungan keluarga. Kesetaraan tersebut
berlaku baik selama berlangsungnya pernikahan maupun setelah terjadinya perceraian tanpa
mengurangi ketentuan dari Syariat Islam.
3) Pasal 29 ayat 2: tentang hak penandatanganan negara atas konvensi untuk menyatakan bahwa
dirinya terikat oleh ayat 1 pada pasal ini. Pada ayat 1 berkenaan dengan penyerahan
permasalahan kebadan arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antar negara-
negara mengenai penginterpretasian atau penerapan CEDAW. Hal ini bertujuan untuk
menghindari keterikatan oleh sistem arbitrase dibidang ini.
4) Reservasi umum terhadap Pasal 2 dimana Secara umum Mesir bersedia untuk mematuhi segala
isi dalam Pasal 2, dengan catatan kepatuhan tersebut tidak bertentangan dengan Syariat Islam.
Ratifikasi yang dilakukan oleh Mesir menujukkan negara ini telah patuh terhadap rezim CEDAW.
Kepatuhan ini digolongkan sebagai Passive Compliance mengingat pengajuan reservasi oleh Mesir
terkait beberapa ketentuan dalam CEDAW dan disaat bersamaan berupaya untuk menerapkan CEDAW
dalam kebijakan-kebijakan dalam negerinya.

3. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan tradisi empirisme yaitu penelitian dengan
tujuan untuk menjelaskan sebuah fenomena berdasarkan hasil observasi. Observasi yang dilakukan
adalah observasi tidak langsung dimana peneliti memanfaatkan data sekunder dari penelitian-penelitian
terdahulu. Data ini dikumpulkan dan dianalisa menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk
mendapatkan pemahaman mendalam mengenai fenomena yang bersangkutan melalui interpretasi
terhadap data yang dikumpulkan. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran di internet. Data-
data yang dikumpulkan berupa artikel yang diterbitkan di jurnal peer review, buku-buku, serta berbagai
dokumen pemerintah maupun lembaga non-pemerintah terkait perlindungan wanita di Mesir. Sumber
data-data tersebut dapat dilihat dibagian daftar pustaka tulisan ini.
Data yang dikumpulkan akan dikelompokkan untuk dianalisa menggunakan kerangka pemikiran
yang dijelaskan oleh Ronald B. Mitchel. Mitchel mengemukakan, terdapat 3 indikator dalam
menganalisis kepatuhan (compliance) negara dalam konteks rezim internasional yakni; outputs,
outcomes, dan impacts. Outputs merupakan sekumpulan peraturan, kebijakan, dan regulasi yang
diadopsi oleh negara dalam implementasinya terhadap suatu perjanjian internasional yang kemudian
diturunkan dari lingkup internasional menjadi kebijakan nasionalnya. Outcomes merupakan perubahan

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com
PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192
Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 17

dalam perilaku pemerintah atau aktor sub-state. Outcomes dapat dilihat dari perilaku yang timbul dari
suatu negara yang terlibat dalam mengikuti aturan-aturan yang telah dihasilkan dalam output.
Sedangkan impacts dapat dilihat dari hasil yang dicapai dalam perubahan kualitas lingkungan yang
terjadi didalam negara anggota rezim tersebut (Mitchel, 2007).
Lebih lanjut, Mitchel mengatakan bahwa terdapat 4 kategori perilaku kepatuhan yaitu; treaty-
induced compliance, coincidental compliance, good faith noncompliance, dan intentional non-
compliance. Treaty-induced compliance merupakan kepatuhan negara terhadap rezim internasional
terjadi diakibatkan oleh rezim tersebut. Rezim tersebut hadir dan telah memaksa negara untuk patuh
terhadap ketentuan yang ada didalamnya. Coincidental compliance merupakan kepatuhan negara
sebenarnya tidak dipengaruhi oleh rezim. Negara pada dasarnya akan patuh terhadap ketentuan yang
dibuat dalam rezim walaupun rezim tersebut tidak pernah ada. Good faith non-compliance terjadi
ketika suatu negara telah berupaya untuk mencapai tujuan dari rezim, akan tetapi negara tersebut gagal
dalam memenuhi standar hukum perjanjian. Sedangkan intentional non-compliance adalah negara
tersebut secara sengaja tidak mematuhi rezim internasional (Mitchel, 2007).
Setelah melihat bentuk kepatuhan Mesir terhadap CEDAW, selanjutnya peneliti akan
mengkategorikan tingkat kepatuhannya tersebut. Dalam tulisan Ronald B. Mitchel tidak disebutkan
bagaimana mengukur tingkat kepatuhan negara terhadap suatu rezim internasional. Oleh sebab itu
peneliti akan merujuk kepada tulisan yang dibuat oleh Sara McLaghin Mitchell dan Paul R. Hensel
yang berjudul International Institution and Compliance with Agreements. Menurut McLaughin et all,
terdapat 4 kategori dalam mengkategorikan tingkat kepatuhan suatu negara yakni; active compliance,
passive compliance, active non-compliance, passive non-compliance.
Active compliance adalah ketika suatu negara anggota telah mematuhi komitmen dan aturan yang
telah disepakati bersama sehingga negara tersebut dapat membagikan informasi-informasi terkait
keberhasilannya dalam menjalankan komitmen tersebut dan secara tidak langsung telah menyelesaikan
permasahan-permasalahan yang ada. Passive compliance yaitu ketika suatu negara telah menjalankan
komitmen yang ada namun kurang mempengaruhi kondisi yang ada. Negara tersebut juga memberikan
tambahan informasi dan kesepakatan baru untuk menangani permasalahan yang ada. Hal ini membuat
kesepakatan menjadi lebih lama dan butuh banyak waktu sehingga memerlukan biaya yang lebih
banyak dalam menegosiasikan komitmen-komitmen baru. Active non-compliance adalah ketika suatu
negara tidak mematuhi dan menjalankan komitmen dan aturan yang telah disepakati bersama namun
negara tersebut memberikan alternatif lain dalam menyelesaikan masalah. Pada kondisi ini negara
tersebut butuh sebuah badan legitimasi dan penguatan-penguatan komitmen. Passive non-compliance
yaitu ketika suatu negara tidak menunjukkan sikap kooperatif dalam menjalankan komitmen dan aturan
yang telah disepakati bersama dan juga tidak memberikan pengaruh maupun kontribusi dalam
kesepakatan atau kerjasama (McLaughin, 2007).
Melalui pemaparan konsep kepatuhan (compliance) diatas, peneliti mencoba untuk melihat
bagaimana kepatuhan Mesir dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
CEDAW kedalam kebijakan dan hukum nasionalnya. Kemudian peneliti akan melihat bagaimana
bentuk perilaku kepatuhan tersebut tercipta. Selanjutnya juga dilihat dikategori mana tingkat kepatuhan
(compliance) Mesir terhadap CEDAW.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kepatuhan Mesir terhadap CEDAW Paska tahun 2011


1) Output

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 18

Pada tanggal 13 Februari 2011, SCAF mengeluarkan Deklarasi Konstitusional yang mengumumkan
penangguhan terhadap Konstitusi Mesir 1971 (ECW, 2013). Dalam Deklarasi Konstitusional tersebut,
terdapat pasal-pasal terkait dengan kesetaraan dan perlindungan perempuan. Pasal-pasal tersebut juga
sejalan dengan CEDAW.
Tabel 1. Pasal Terkait Kesetaraan dan Perlindungan Perempuan Dalam Deklarasi Konstitusional 2011

No. Nomor Pasal Tentang


1. Pasal 4 Kebebasan mendirikan partai politik, asosiasi, sindikat dan serikat pekerja.
Pelarangan aktivitas politik yang bersifat diskriminasi berdasarkan agama, asal
usul, dan gender.
2. Pasal 7 Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum.
Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban publik yang sama tanpa
adanya diskriminasi berdasarkan ras, etnis, bahasa, agama dan keyakinan.
3. Pasal 38 Pengaturan pencalonan terhadap Majelis Rakyat dan Dewan Syura
Sumber: Egypt’s Judiciary and Laws, “The Constitutional Declaration” Egypt’s Judiciary and Laws:
Constitutions, https://egyptjustice.com/constitutions/
Tabel 2. Korelasi Antara Pasal Terkait Kesetaraan dan Perlindungan Perempuan Dalam Deklarasi Konstitusional
2011 Dengan CEDAW

Pasal Dalam Deklarasi


No. CEDAW
Konstitusional 2011
1. Pasal 4 dan Pasal 38. Bagian I (Pasal 1-6) mengenai penekanan prinsip- prinsip yang dianut oleh
CEDAW, yaitu prinsip non- diskriminatif, prinsip persamaan, dan prinsip
kewajiban negara.
Bagian II : Pasal 7 mengenai hak dalam kehidupan politik dan
bermasyarakat di negaranya.
2. Pasal 7 Bagian III (Pasal 10-14) mengenai hak perempuan dalam bidang
pendidikan, pekerjaan, kesehatan, kehidupan sosial dan ekonomi,
dan hak khusus terhadap perempuan pedesaan.
Sumber : Diolah oleh Peneliti

Satu tahun setelah terjadinya Revolusi Mesir 2011, UN Women dan United Nations Development
Programme (UNDP) bekerjasama dengan pemerintah Mesir telah meluncurkan sebuah program yang
bernama Women Citizenship Initiative. Program ini merupakan program 3 tahun yang bertujuan untuk
menyediakan Kartu Identitas bagi perempuan yang tidak memilikinya. Tujuan utama program ini
adalah untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan dan meningkatkan posisi ekonomi mereka.
Dengan adanya Kartu Identitas, hal ini akan memastikan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara
selama transformasi demokratis di Mesir. Adapun hak dasar tersebut seperti hak politik mereka untuk
memilih atau bergabung dengan partai politik, akses untuk mendapatkan layanan sosial yang
disediakan oleh pemerintah seperti kesehatan, pendidikan, kredit dan pinjaman (UN Women, 2012).
Program Women Citizenship Initiative dapat dilihat sebagai bentuk upaya Mesir dalam pencapaian
hak dasar perempuan. Program ini sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam CEDAW pada Pasal
7 mengenai hak dalam kehidupan politik dan bermasyarakat di negaranya. Selain itu juga sejalan pada
Pasal 10, 12 dan 13 mengenai hak perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, serta kehidupan
sosial dan ekonomi.
Pada tahun 2012, Muhammad Mursi memenangkan pemilihan Presiden Mesir. Muhammad Mursi
secara resmi menjabat sebagai Presiden Mesir pada tanggal 1 Juli 2012 setelah melakukan Sumpah
Presiden pada tanggal 20 Juni 2012. Pada tanggal 30 November 2012, Majelis Konstituante telah
meyetujui Rancangan Konstitusi Mesir 2012 dan kemudian disahkan dalam referendum yang diadakan
pada tanggal 15 sampai 22 Desember 2012. Pada tanggal 26 Desember 2012, Muhammad Mursi
menandatangani Konstitusi Mesir 2012 dan menjadikannya sebagai Undang-Undang baru di Mesir

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com
PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192
Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 19

menggantikan Deklarasi Konstitusi yang diadopsi setelah Revolusi Mesir 2011. Dalam Konstitusi
Mesir 2012 juga terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan perkembangan perempuan dan
kesetaraannya dengan laki-laki. Pasal-pasal tersebut juga sejalan dengan CEDAW (United States
Institute of Peace, 2013).
Tabel 3. Pasal-Pasal Terkait Kesetaraan dan Perlindungan Perempuan Dalam Konstitusi Mesir 2012

No. Nomor Pasal Tentang


1. Pasal 6 Pelarangan partai politik yang memicu terjadinya diskriminasi berdasarkan gender, asal,
dan agama.
2. Pasal 8 Penjaminan negara untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan, dan kebebasan terhadap
warga negara.
3. Pasal 9 Komitmen negara untuk menyediakan keamanan, ketentraman, dan persamaan untuk
mendapatkan kesempatan yang sama bagi warga negara tanpa adanya diskriminasi.
4. Pasal 10 Penjaminan negara terhadap layanan bagi ibu dan anak secara gratis. Penjaminan
rekonsiliasi tugas perempuan terhadap keluarga dan pekerjaannya. Penjaminan perawatan
dan perlindungan khusus bagi perempuan bercerai dan janda.
5. Pasal 14 Upaya negara untuk menanggulangi kesenjangan pendapatan terhadap pekerja. Penetapan
upah minimum terhadap pekerja. Penetapan upah maksimum bagi pegawai negeri sipil.
6. Pasal 33 Posisi warga negara sama didepan hukum. Hak dan kewajiban publik warga negara tanpa
adanya diskriminasi.
7. Pasal 41 Pelarangan terhadap human trafficking.
8. Pasal 45 Kebebasan warga negara dalam berpendapat dan menyebarluaskannya
secara lisan, tulisan, dan ilustrasi melalui sarana publik.
9. Pasal 50 Kebebasan untuk berkumpul didepan publik dan melakukan demonstrasi yang damai
tanpa membawa senjata.
10. Pasal 51 Hak untuk mendirikan asosiasi dan lembaga sipil.
11. Pasal 55 Hak untuk memilih dan mencalonkan diri. Hak untuk mengekspresikan pendapat melalui
referendum. Komitmen negara untuk memasukkan setiap warga negara yang memenuhi
syarat kedalam daftar pemilih. Penjaminan negara untuk kedamaian dan integritas selama
proses referendum dan pemilihan. Pelarangan terhadap anggota pemerintahan yang
melakukan intervensi dalam proses referendum dan pemilihan yang bertujuan buruk.
12. Pasal 56 Pengaturan terhadap partisipasi warga negara Mesir yang berada diluar negeri dalam
pemilihan dan referendum.
13. Pasal 58 Hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tinggi.
14. Pasal 62 Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan.
15. Pasal 64 Penjaminan bagi pekerja atas pembayaran yang adil, liburan, pensiun, jaminan sosial,
perawatan kesehatan, perlindungan terhadap bahaya pekerjaan, penerapan kondisi
keselamatan kerja di tempat kerja.
16. Pasal 73 Pelarangan terhadap penindasan, eksploitasi dan sex trafficking.
17. Pasal 80 Pelarangan terhadap hak dan kebebasan yang dijamin dalam Konstitusi Mesir.
Sumber: Konstitusi Mesir 2012
Tabel 4. Korelasi Antara Pasal Terkait Kesetaraan dan Perlindungan Perempuan Dalam Konstitusi Mesir 2012
Dengan CEDAW

No. Pasal Dalam CEDAW


Konstitusi Mesir 2012
1. Pasal 6, 45, 50, 51, 55, Bagian II (Pasal 7-9) mengenai hak sipil dan politik yang dimiliki oleh
dan 56. perempuan.

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 20

2. Pasal 8, 9, 33, 41, 73, Bagian I (Pasal 1-6) mengenai penekanan prinsip-prinsip yang dianut oleh
dan 80. CEDAW, yaitu prinsip non- diskriminatif, prinsip persamaan, dan prinsip
kewajiban negara.

3. Pasal 10, 14, 58, 62, dan Bagian III (Pasal 10-14) mengenai hak perempuan dalam bidang pendidikan,
64. pekerjaan, kesehatan, kehidupan
sosial dan ekonomi, dan hak khusus terhadap perempuan pedesaan.

4. Pasal 33 Bagian IV (Pasal 15) persamaan hak antara laki-laki dan


perempuan dihadapan hukum.
Sumber: Diolah oleh peneliti

Pada bulan Mei 2013, Pemerintah Mesir membentuk Unit Kekerasan Terhadap Perempuan yang
berada dibawah Kementerian Dalam Negeri. Unit ini dibentuk pada masa pemerintahan Muhammad
Mursi sebagai respon meningkatnya kekerasan terhadap perempuan di Mesir. Unit ini pada awalnya
dibentuk berisikan 10 petugas, 4 orang diantaranya adalah perempuan. Dari 4 orang tersebut, 2 orang
merupakan psikolog, 1 orang merupakan kapten yang telah lama bekerja di diunit seperti ini, 1 orang
merupakan kapten yang telah lama bekerja dibagian administrasi publik Kementerian Dalam Negeri
yang bertugas untuk divisi moral publik. Unit ini tidak dimandatkan untuk memerangi kejahatan
terhadap perempuan namun untuk menindaklanjuti terhadap laporan yang diterima dan menawarkan
dukungan sosial dan psikologis. Pembentukan Unit Kekerasan Terhadap Perempuan sejalan dengan
beberapa ketentuan dalam CEDAW seperti yang terdapat pada Bagian I (Pasal 1-6) mengenai
penekanan prinsip non-diskriminatif, prinsip persamaan, dan prinsip kewajiban negara dalam
melindungi perempuan (The Grayston Centre, 2015).
Pada tanggal 4 Juli 2013, Adly Mansour ditunjuk sebagai Presiden Sementara Mesir untuk
menggantikan Muhammad Mursi yang sebelumnya telah digulingkan dari kursi kepresidenan. Adly
Mansour akan menjadi Presiden Sementara Mesir sampai pemilihan umum untuk memilih Presiden
baru dan penyusunan Konstitusi Baru. Adly Mansour kemudian mengeluarkan Deklarasi
Konstitusional pada tanggal 8 Juli 2013 yang memberikan kerangka untuk proses pembuatan
Konstitusional yang baru (Tempo, 2018).
Dalam Deklarasi Konstitusional tersebut, Adly Mansour membuat 2 Komite untuk proses
penyusuan Konstitusional yang baru. Komite pertama dikenal dengan nama Komite Ahli yang terdiri
dari 10 anggota. 10 anggota tersebut terdiri dari 2 orang anggota Mahkamah Konstitusi Agung, 2 orang
Hakim Kantor Komisaris Mahkamah Konstitusi Agung, 2 orang Hakim Dewan Negara, dan 4 orang
Profesor Hukum Konstitusi dari Universitas Kairo. Komite kedua dikenal dengan nama Komite Lima
Puluh yang terdiri dari 50 anggota. 50 anggota komite tersebut mencerminkan representasi dari semua
sektor masyarakat seperti partai politik, intelektual, pekerja, petani, anggota serikat pekerja dan
federasi profesional, Dewan Nasional, Al Azhar, gereja, angkatan bersenjata, polisi, tokoh publik, dan
termasuk didalamnya 10 anggota dari pemuda dan perempuan (El-Dabh, 2013).
Pada tanggal 3 Desember 2013, Adly Mansour menerima rancangan konstitusi dari Komite Lima
Puluh. Adly Mansour kemudian menetapkan pada tanggal 14-15 Januari 2014 diadakan referendum
terhadap Konstitusi baru. Hasil akhir dari referendum disetujui oleh 98% pemilih. Konstitusi 2014
mulai berlaku setelah disetujui dalam hasil referendum tersebut. Dalam Konstitusi Mesir 2014 juga
terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan perkembangan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-
laki. Pasal-Pasal tersebut juga sejalan dengan CEDAW (Carlstrom, 2013).

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com
PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192
Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 21

Tabel 5. Pasal-Pasal Terkait Kesetaraan dan Perlindungan Perempuan Dalam Konstitusi Mesir 2014

No. Nomor Pasal Tentang


1. Pasal 4 Upaya negara untuk menjaga persatuan nasional bangsa berdasarkan prinsip kesetaraan,
keadilan dan kesempatan yang sama bagi warga negara.
2. Pasal 6 Hak bagi setiap orang yang lahir dari seorang ayah atau ibu Mesir.
3. Pasal 9 Penjaminan bagi seluruh warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama tanpa
adanya diskriminasi
4. Pasal 11 Memastikan tercapainya kesetaran bagi warga negara dalam bidang sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Memastikan adanya perwakilan perempuan dalam parlemen sesuai
dengan ketentuan hukum. Penjaminan hak perempuan untuk mendapatkan posisi senior
dalam pemerintahan dan pengangkatan mereka dibadan perdilan tanpa adanya diskriminasi.
Perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan dan penyeimbangan tugas mereka di
keluarga dan persyaratan kerja. Perhatian dan perlindungan terhadap ibu dan anak,
perempuan yang menjadi kepala keluarga, dan para orang tua.
5. Pasal 12 Hak untuk bekerja dan tidak boleh ada paksaan.
6. Pasal 13 Perlindungan terhadap pekerja dan menjamin keamanan,
keselamatan, dan kesehatan pekerja. Melarang pemecetan yang tidak adil.
7. Pasal 18 Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan.
8. Pasal 19 Hak untuk mendapatkan pendidikan.
9. Pasal 27 Upaya mengurangi perbedaan pendapatan dan upah minimum. Kelayakan hidup pensiun dan
upah maksimum pegawai negeri sipil.
10. Pasal 52 Pelarangan tindakan penyiksaan.
11. Pasal 53 Kesetaraan didepan hukum tanpa adanya diskriminasi.
12. Pasal 60 Pelarangan mutilasi dan penjualan organ tubuh.
13. Pasal 65 Kebebasan berfikir dan berpendapat serta cara menyalurkannya melalui media publikasi.
14. Pasal 73 Kebebasan membuat pertemuan publik, pawai, dan demonstrasi dalam bentuk damai.
15. Pasal 74 Hak untuk mendirikan partai politik dan pelarangan aktifitas politik berbentuk diskriminasi.
16. Pasal 75 Hak untuk membentuk asosiasi dan NGO
17. Pasal 81 Penjaminan hak kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, hiburan, dan pendidikan
18. Pasal 87 Hak memilih dan mencalonkan diri dalam pemilu. Hak berpendapat dalam referendum.
Tanggung jawab negara memasukkan nama daftar pemilih.
19. Pasal 88 Hak bagi warga negara yang berada diluar negeri untuk berpartisipasi dalam pemilu dan
referendum.
20. Pasal 89 Pelarangan perbudakan, penindasan, eksploitasi, sex trafficking, dan human trafficking.
21. Pasal 93 Negara terikat dengan perjanjian dan konvensi internasional mengenai HAM yang telah
diratifikasi.
22 Pasal 180 Kouta yang diberikan kepada perempuan dalam pemilu Dewan Lokal.
Sumber: Konstitusi Mesir 2014
Tabel 6. Korelasi Antara Pasal Terkait Kesetaraan dan Perlindungan Perempuan Dalam Konstitusi Mesir 2014
Dengan CEDAW

No. Pasal Dalam Konstitusi Mesir CEDAW


2014
1. Pasal 4, 9, 11, 52, 60, 89, Bagian I (Pasal 1-6) mengenai penekanan prinsip-prinsip yang
dan 93 dianut oleh CEDAW, yaitu prinsip non- diskriminatif, prinsip
persamaan, dan prinsip kewajiban negara.
2. Pasal 6 dan 11. Bagian IV (Pasal 16) mengenai hak perempuan dalam konteks
pernikahan dan hubungan keluarga.
3. Pasal 11, 65, 73, 74, 75, Bagian II (Pasal 7-9) mengenai hak sipil dan politik yang
87, 88 dan 180. dimiliki oleh perempuan.

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 22

4. Pasal 12, 13, 18, 19, dan Bagian III (Pasal 10-14) mengenai hak perempuan dalam bidang
81. pendidikan, pekerjaan, kesehatan, kehidupan sosial dan ekonomi,
dan hak khusus terhadap perempuan pedesaan.

5. Pasal 53. Bagian IV (Pasal 15) persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dihadapan hukum.
Sumber: Diolah oleh peneliti.

Pada tanggal 27 April 2015, NCW meluncurkan National Strategy for Combating Violence Against
Women. Peluncuran strategi nasional ini mengacu kepada pasal-pasal yang terdapat dalam Konstitusi
Mesir 2014 mengenai perlindungan perempuan dari segala bentuk tindakan kekerasan, Keputusan No.
1045 Perdana Menteri, dan komitmen Mesir untuk mematuhi segala bentuk perjanjian dan konvensi
internasional mengenai HAM. Persiapan Strategi Nasional telah diumumkan sebelumnya pada tanggal
7 Juli 2014 dihadapan Perdana Menteri dan para Menteri lainnya. Perdana Menteri memberikan
dukungan penuh dan komitmen dari pemerintah terhadap National Strategy for Combating Violence
Against Women dengan mengalokasikan sumber daya manusia dan keuangan yang dibutuhkan. Pada
acara ini juga terjadi penandatangan beberapa protokol dan nota kesepahaman antara NCW dengan
sejumlah Kementerian terkait dengan National Strategy for Combating Violence against Women
(ECWR, 2016).
National Strategy for Combating Violence against Women mempunyai visi untuk memastikan
masyarakat bebas dari segala bentuk kekerasan, menjamin perlindungan terhadap perempuan dan
ketersediaan semua layanan umum terhadap mereka dan berkomitmen untuk menghormati hak-hak
perempuan. Selain itu juga mendorong partisipasi yang aktif dan efektif terhadap pengembangan
komunitas perempuan. Adapun misinya adalah untuk menghadapi segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dengan memastikan keadilan sosial, kesetaraan gender dan kesempatan yang sama bagi
perempuan dan anak perempuan dengan cara menerapkan kebijakan komprehensif dan sistem yang
terintegrasi dengan adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sipil. Peluncuran National
Strategy for Combating Violence against Women sejalan dengan ketentuan dalam CEDAW pada
Bagian I (Pasal 1-6) mengenai penekanan prinsip non-diskriminatif, prinsip persamaan, dan prinsip
kewajiban negara dalam melindungi perempuan (ECWR, 2016).
Pada tanggal 14 Juni 2015, Kementerian Populasi meluncurkan National FGM Abandonment
Strategy 2016-2020. Strategi Nasional ini bertujuan untuk mengurangi penyebaran FGM di Mesir
melalui 4 cara; Pertama, adanya pelaksanaan hukum dan Keputusan Menteri terkait pencegahan dan
praktik FGM. Kedua, mendukung kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menyebarluaskan
informasi ilmiah, keagamaan dan hukum serta dokumentasi, fakta-fakta yang dapat membantu
menghilangkan budaya FGM. Ketiga, mengembangkan sistem untuk memantau dan mengevaluasi
tingkat prevalensi FGM di tingkat nasional. Keempat, mempromosikan lingkungan socio-cultural yang
dapat mendorong keluarga di Mesir untuk mengecam praktik FGM Peluncuran strategi nasional ini
sejalan dengan ketentuan dalam CEDAW pada Bagian I (Pasal 1-6) mengenai penekanan prinsip non-
diskriminatif, prinsip persamaan, dan prinsip kewajiban negara dalam melindungi perempuan (UNDP,
2016).
Pada bulan Maret 2017, pemerintah meluncurkan Strategy of the Egyptian Woman in 2030. Strategi
ini mempunyai 5 poin utama yaitu; pemberdayaan politik, pemberdayaan ekonomi, perlindungan
sosial, budaya, dan hukum. Strategi ini dapat diindikasikan sebagai dukungan pemerintah terhadap
perkembangan perempuan di negaranya. Strategi ini juga merupakan salah satu pencapaian yang sangat
signifikan bagi Mesir karena merupakan negara pertama yang mengadopsi strategi yang sejalan dengan
agenda SDG’s (NCW, 2017).
Untuk menunjukkan komitmennya terhadap SDG’s dan pemberdayaan perempuan yang menjadi
salah satu pilarnya, pemerintah Mesir mengesahkan UU No. 30 tahun 2018. Aturan ini

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com
PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192
Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 23

mengamanatkan The National Council for Women (NCW) sebagai salah satu institusi yang
bertanggung jawab dalam pengimplementasian program-program pemberdayaan perempuan dan
mengusulkan kebijakan responsif untuk memfasilitasi perempuan. Hal ini menunjukkan komitmen
negara yang cukup tinggi terhadap pemberdayaan perempuan dengan menginstitusionalisasinya dalam
sembuah lembaga dan mencerminkan kepatuhan serta komitmen Mesir terhadap CEDAW. Penguatan
NCW juga menunjukkan Mesir dalam perkembangan yang semakin positif dalam isu perempuan walau
Suzane Law telah dihapuskan. NCW juga telah proaktif dalam mengeluarkan berbagai kebijakan untuk
kebutuhan perempuan apalagi terkait dengan merebaknya COVID19 yang meletakkan perempuan
dalam situasi sulit (Egypttoday, 2019).
2) Outcomes
Setelah Revolusi Mesir 2011 terjadi, perubahan perilaku yang merujuk kepada kesetaraan
perempuan dapat dilihat pada amandemen yang dilakukan oleh SCAF terhadap partisipasi perempuan
dalam pemilu. SCAF melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Tentang Majelis Rakyat No.
38/1972 dan Undang-Undang No. 120/1980 Tentang Pembentukan Dewan Syura.174 Hasil
amandemen tersebut mengenai penghapusan sebanyak 64 kuota yang sebelumnya diperuntukkan untuk
perempuan pada masa pemerintahan Husni Mubarak. Penghapusan tersebut kemudian digantikan
dengan kebijakan yang menghimbau seluruh partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan
setidaknya memiliki 1 kandidat perempuan tanpa menentukan posisinya (Komsan, 2016).
Pada tanggal 5 Juni 2014, sebuah Keputusan Presiden Sementara Adly Mansour dikeluarkan terkait
dengan pelecehan seksual. Keputusan ini merupakan Undang-Undang No. 50 tahun 2014 yang
merupakan amandemen dari Undang-Undang No. 58 tahun 1937 KUHP. Amandemen dilakukan pada
pasal 306 A yang menyebutkan bahwa setiap individu yang melakukan tindakan pelecehan seksual
dengan cara apapun termasuk dalam komunikasi akan dihukum kurungan penjara kurang lebih 6 bulan
atau membayar denda sebanyak 3.000 Pound Mesir. Jika pelecehan seksual dilakukan lagi oleh
individu tersebut, hukuman penjara akan ditingkatkan menjadi 1 tahun dan denda sebesar 5.000 sampai
10.000 Pound Mesir. Kemudian pada Pasal 306 B menyebutkan jika pelecehan yang dilakukan
bertujuan untuk menerima kepuasan seksual dari korban, maka hukuman penjara yang diterima tidak
kurang dari 1 tahun dan membayar denda sebesar 10.000 sampai 20.000 Pound Mesir. Selanjutnya
setiap individu yang menggunakan paksaan untuk menerima kepuasan seksual akan dihukum dengan
hukuman penjara sekitar 2 sampai 5 tahun dan membayar denda sebesar 20.000 hingga 50.000 Pound
Mesir (ILO, 2015).
Pada tahun 2014, Abdul Fattah as-Sisi terpilih menjadi Presiden Mesir. Pada saat acara
pelantikannya sebagai Presiden Mesir yang baru, ia mengungkapkan dukungannya terhadap kaum
perempuan Mesir melalui pidatonya. Dalam pidato pelantikannya, dia mengakui bahwa perempuan
Mesir mempunyai peranan yang penting di negara, oleh sebab itu perlu adanya perhatian dan
perlindungan terhadap perempuan. Dalam pidato tersebut dia juga berjanji untuk berupaya agar
perempuan mendapatkan keterwakilan yang adil dalam pemilu dan penunjukan oleh Presiden (Hamad,
2015).
Pada tanggal 18 Juni 2014, Menteri Dalam Negeri mengumumkan untuk memperluas operasi Unit
Kekerasan Terhadap Perempuan dan mendirikan kantor polisi untuk untuk memberantas kekerasan
terhadap perempuan diseluruh wilayah. Tindakan ini merupakan respon pemerintah dari insiden
penyerangan secara seksual dengan kekerasan terhadap 9 orang perempuan pasa saat merayakan
kemenangan Abdul Fattah as-Sisi sebagai Presiden Mesir yang baru. Selain itu ini juga dapat dinilai
sebagai bentuk pemenuhan janji Abdul Fattah as-Sisi pada pidato pelantikannya (The Grayston Centre,
2015).
Pada tanggal 31 Agustus 2016, Majelis Rakyat menyetujui untuk mengamandemen Pasal 242
KUHP mengenai hukuman terhadap tindakan FGM. Pada pasal sebelumnya, FGM dianggap sebagai

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 24

kejahatan ringan dan pelaku hanya dihukum selama 3 bulan sampai tahun penjara. Setelah
diamandemen, pelaku dihukum selama 5 tahun sampai dengan 7 tahun. Dalam pasal ini juga
menghukum setiap orang yang ikut serta membantu dan menemani korban pada saat melakukan FGM.
Amandemen ini juga menghukum berat para pelaku jika tindakan FGM mengakibatkan kematian
terhadap korbannya atau cacat permanen dengan hukuman 15 tahun penjara (The Library of Congress,
2016).
Presiden Abdul Fattah as-Sisi juga telah mendeklarasikan bahwa tahun 2017 sebagai “Year of the
Egyptian Women”. Hal ini disebabkan karena Presiden Mesir menyadari bahwa perempuan
mempunyai peran yang penting dalam masyarakat. Presiden Mesir juga telah menugaskan pemerintah
untuk menyalurkan dana sebesar 250 juta Pound Mesir kepada Kementerian Solidaritas Sosial.
Bantuan ini akan digunakan untuk menyediakan layanan kepada para ibu dan anak usia dini. Selain itu
juga memberikan arahan kepada para ibu agar dapat bekerja dan berkontribusi untuk pembangunan
negara (ECWR, 2018).
Paska ditetapkannya Strategy of the Egyptian Women in 2030, pemerintah Mesir melakukan
berbagai langkah untuk mengimplementasikan keseteraan gender di negaranya. Salah satunya dengan
mengeluarkan UU No. 30 tahun 2018 yang mengamanatkan The National Council for Women (NCW)
sebagai salah satu institusi yang bertanggung jawab dalam pengimplementasian program-program
pemberdayaan perempuan dan mengusulkan kebijakan responsif untuk memfasilitasi perempuan.
Sebagai salah satu institusi yang terlibat dalam perumusan strategi 2030, NCW aktif menjalankan
rencana aksi ini. Sesuai dengan pidato pimpinan NCW, Maya Morsy, saat pembukaan 63rd session of
the Commission on the Status of Women di gedung PBB, Mesir berkomitmen untuk terus
melaksanakan berbagai upaya dalam meningkatkan kesetaraan gender di Mesir (Egypttoday, 2019).
Ditengah merebaknya COVID-19, NCW juga telah mengeluarkan naskah kebijakan Egypt’s Rapid
Response to Women’s Situation During COVID-19 Outbreak dan juga woman policy tracker untuk
memonitor berbagai prosedur dan kebijakan yang diambil pemerintah selama pandemi (NCW, 2020).
3) Impacts
Peneliti melihat perubahan yang terjadi terhadap kondisi perempuan di Mesir setelah Revolusi
Mesir 2011 melalui data Global Gender Gap Report yang dikeluarkan oleh World Economic Forum
(WEF) setiap tahunnya. Global Gender Gap Report merupakan laporan tahunan peringkat negara yang
merujuk kepada kesenjangan gender yang dilihat dari 4 bidang utama yaitu; kesehatan, pendidikan,
ekonomi, dan politik.
Tabel 7. Global Gender Gap Report 2011-2021 Mesir

Keseluruhan Partisipasi Pencapaian Kesehatan Pemberdayaan


Ekonomi Pendidikan dan Politik
Kelangsungan
Hidup
Rank Score Rank Score Rank Score Rank Score Rank Score
2010
125 0.589 121 0.453 110 0.898 52 0.976 125 0.031
*134 negara
2011
123 0.593 122 0.457 110 0.908 52 0.977 126 0.031
*135 negara
2012
126 0.597 124 0.454 110 0.925 54 0.977 125 0.035
*135 negara
2013
125 0.594 125 0.443 108 0.920 51 0.977 128 0.035
*136 negara
2014
129 0.606 131 0.461 109 0.947 57 0.976 134 0.041
*142 negara
2015 136 0.599 135 0.441 115 0.935 97 0.971 136 0.048

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com
PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192
Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 25

*145 negara
2016
132 0.614 132 0.444 112 0.952 95 0.857 115 0.087
*144 negara
2017
134 0.608 135 0.413 104 0.960 99 0.971 119 0.087
*144 negara
2018
135 0.614 139 0.421 99 0.975 84 0.974 122 0.087
*149 negara
2020
134 0.629 140 0.438 102 0.973 85 0.974 103 0.133
*153 negara
2021
129 0.639 146 0.421 105 0.973 102 0.968 78 0.196
*156 negara
Ket: Score
0,00 = Inequality/Imparity.
1,00 = Equality/Parity
Sumber: World Economic Forum, “Global Gender Gap Report 2011-2017”

Dari data diatas dapat dilihat bahwa posisi Mesir dalam Global Gender Gap Report yang
dikeluarkan oleh WEF cenderung menurun. Sebelum revolusi, Mesir berada diangka 125 dan 123, tapi
paska revolusi (dilihat dari index yang dikeluarkan di 2012 dan setelahnya) posisi Mesir menurun,
bahkan setelah 10 tahun revolusi posisi Gender Gap Mesir belum menunjukkan perbaikan sama atau
lebih baik dari sebelum revolusi. Akan tetapi jika melihat score yang diperoleh, Mesir cenderung
mengalami kenaikan. Kenaikan score tersebut merupakan hasil dari penerapan kebijakan yang
dilakukan oleh Mesir terhadap kesetaraan dan perlindungan perempuan di negaranya.
Amandemen yang dilakukan SCAF terhadap Undang-Undang Tentang Majelis Rakyat No. 138
tahun 1972 dan Undang-Undang No. 120 tahun 1980 telah membuat posisi perempuan dalam Majelis
Rakyat menurun. Amandemen tersebut menghasilkan keputusan bahwa partai politik yang maju
kedalam pemilihan diwajibkan untuk memiliki 1 kandidat perempuan. Hasil akhir pemilihan ini
mengakibatkan hanya 9 perempuan yang memenangkan kursi di Majelis Rakyat dari 508 kursi, dan 2
perempuan lainnya ditunjuk oleh SCAF. Representasi perempuan yang memasuki Majelis Rakyat
hanya 2%. Selain itu pada pemilihan Dewan Syura, hanya 4 perempuan yang menang dalam pemilihan
tersebut. Kondisi ini berbeda dengan pemilihan pada tahun 2010 yang masih menerapkan sistem 64
kuota bagi perempuan. Sebanyak 380 perempuan mengikuti proses pemilihan. 62 perempuan terpilih
untuk menempati kursi Majelis Rakyat dan 1 orang perempuan ditunjuk oleh Presiden.Representasi
perempuan pada tahun 2010 mencapai 12% (FIDH, 2012).
Akan tetapi pada tahun 2015, terjadi peningkatan pada representasi perempuan dalam Majelis
Rakyat. Sebanyak 89 perempuan berhasil menjadi anggota Majelis Rakyat dari total 596 anggota. 75
orang dipilih melalui pemilu dan 14 orang lainnya ditunjuk oleh Presiden. Keterwakilan perempuan
dalam Majelis Rakyat mencapai 14,7% dan merupakan jumlah terbesar dalam sejarah parlemen Mesir.
Hal ini merupakan pembuktian janji dari Presiden Mesir Abdul Fattah as-Sisi dalam pidato
pelantikannya sebagai Presiden Mesir. Dalam pidatonya, Abdul Fattah as-Sisi mengakui tentang
pentingnya peranan perempuan dalam negaranya. Oleh sebab itu dia berjanji untuk berupaya agar
perempuan mendapatkan keterwakilan yang adil dalam pemilu dan penunjukan oleh Presiden (Hamad,
2015).
Program Women Citizenship Initiative yang diluncurkan oleh UN Women dan UNDP serta dibantu
oleh pemerintah Mesir berdampak positif kepada masyarakat. Program ini telah meningkatkan
kesadaran masyarakat Mesir terhadap pentingnya hak kewarganegaraan perempuan dalam hak untuk
menikmati layanan umum yang disediakan pemerintah. Target awal program ini adalah untuk
menyediakan 2 juta Kartu Identitas bagi perempuan. Namun pada saat pelaksanaannya, pemerintah
menemukan sekitar 5 juta perempuan tidak memiliki Kartu Identitas. Presiden Mesir merespon hal
tersebut dengan memperpanjang program ini menjadi 2016-2019 (Rahman, 2017).

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 26

Konstitusi Mesir 2014 juga memuat beberapa pasal yang mendukung untuk perlindungan dan
kesetaraan perempuan, salah satunya adalah pada Pasal 93. Pasal 93 menyebutkan negara berkomitmen
terhadap perjanjian dan konvensi internasional mengenai HAM yang telah diratifikasi. Dalam hal ini
juga berarti Mesir akan berkomitmen terhadap CEDAW karena telah meratifikasinya. Bentuk
komitmen ini dapat dilihat dari peluncuran National Strategy for Combating Violence against Women,
National FGM Abandonment Strategy 2016-2020, dan Strategy of the Egyptian Women in 2030. Selain
itu Presiden juga membantu dalam pewujudan komitmen terhadap Pasal 93 Konstitusi Mesir 2014. Hal
ini dapat dilihat dari pidato Presiden mengenai pentingnya peranan perempuan di Mesir dan deklarasi
yang menyatakan bahwa tahun 2017 sebagai “Year of the Egyptian Women”.
Komitmen pemerintah terhadap SDG’s dengan meluncurkan Strategy of the Egyptian Women in
2030 juga memberikan dampak yang positif. Adanya aturan untuk menginstitusionalisasi NCW adalah
langkah kongkret pemerintah untuk menyeriusi program-program terkait perempuan. Hal ini terlihat
dari aksi cepat tanggap NCW dalam merumuskan naskah kebijakan Egypt’s Rapid Response to
Women’s Situation During COVID-19 Outbreak dan juga woman policy tracker. Selain itu, dengan
adanya komitmen pemerintah dalam mewujudkan tujuan SDG’s, aktor non negara juga mulai terlibat
dalam langkah monitoring. Hal ini terlihat dari didirikannya the Women on Boards Consortium yang
diinisiasi oleh American University Cairo dengan dukungan dari UNDP (United Nation Development
Program). Konsorsium ini merupakan wadah bagi aktor negara maupun non-negara dalam melakukan
monitoring dan penyempurnaan data base untuk mendukung kebijakan pemerintah Mesir terkait
gender. Konsorsium ini mendirikan Women on Boards Observatory pada tahun 2017 dan secara
berkala melakukan monitoring terhadap berbagai program terkait perempuan yang dijalankan di Mesir
juga menyediakan data online terkait hal tersebut melalui portal ENOW (EWBO, 2018).
B. Analisa Kepatuhan (Compliance) Mesir Terhadap CEDAW
Penjabaran diatas menunjukkan bahwa Mesir telah mengimplementasikan sebagian besar dari
ketentuan yang ada didalam CEDAW. Pengimplementasian ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah
terhadap upaya untuk perlindungan dan kesetaraan terhadap perempuan di negaranya. Berdasarkan
indikator kepatuhan terhadap rezim internasional menurut Ronald B. Mitchel, peneliti menyimpulkan
bahwa Mesir patuh (comply) terhadap ketentuan yang terdapat dalam CEDAW.
Bentuk kepatuhan Mesir terhadap CEDAW dapat dilihat dari indicator outputs yang telah dijelaskan
sebelumnya. Mesir mengadopsi nilai-nilai yang terkandung dalam CEDAW yang bertujuan untuk
penghapusan segala bentuk diskriminasi yang terjadi kepada perempuan. Bentuk pengadopsian nilai-
nilai yang terkandung dalam CEDAW dapat dilihat pada Deklarasi Konstitusi 2011, Konstitusi Mesir
2012 dan 2014. Selain itu juga dapat dari kebijakan-kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Mesir
setelah terjadinya Revolusi Mesir 2011.
Pada indikator outcomes, terjadi perubahan perilaku dari pemerintah. Pemerintah telah melakukan
amandemen pada undang-undang terkait permasalahan pelecehan seksual dan FGM. Amandemen yang
dilakukan berupa peningkatan hukuman terhadap para pelaku. Hal ini menjadi bentuk dukungan
pemerintah dalam melindungi perempuan dalam tindakan kekerasan seksual.
Hasil dari upaya Mesir dalam menerapkan nilai-nilai CEDAW kedalam kebijakan nasionalnya
dapat dilihat dalam impacts yang merupakan perubahan kualitas lingkungan. Dalam indikator ini,
Mesir masih berada di posisi bawah dalam hal kesetaraan gender dengan negara-negara lain didunia.
Akan tetapi dari tahun ke tahun, selalu ada perubahan kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh
pemerintah terkait kesetaraan dan perlindungan perempuan.
Kemudian dalam melihat perilaku kepatuhan negara, peneliti menilai bahwa kepatuhan Mesir
terhadap CEDAW masuk kedalam kategori coincidental compliance. Sebelum meratifikasi CEDAW,
Mesir pada mulanya telah berupaya untuk meningkatkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di
negaranya. Mesir meratifikasi CEDAW merupakan bentuk upaya keberlanjutan pemerintah dalam

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com
PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192
Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 27

peningkatan kesetaraan dan perlindungan perempuan. Walaupun Mesir tidak meratifikasi CEDAW,
Mesir juga akan tetap berupaya untuk meningkatkan kesetaraan dan perlindungan terhadap perempuan
di negaranya.
C. Tingkat Kepatuhan Mesir Terhadap CEDAW Pasca Revolusi Mesir 2011
Peneliti menyimpulkan bahwa Mesir berada pada kategori passive compliance. Hal ini disebabkan
karena terdapat 3 kondisi Mesir terkait kepatuhannya terhadap CEDAW paska Revolusi Mesir 2011
yaitu; Mesir menjalankan komitmen terhadap rezim internasional, walaupun begitu, hasil dari
kepatuhan tersebut belum berdampak maksimal. Tetapi disaat yang bersamaan, negara terus mencoba
untuk menyelesaikan masalah tersebut dan tetap melanjutkan komitmennya terhadap rezim
internasional.
1) Negara Menjalankan Komitmen Terhadap Rezim Internasional.
Mesir telah meratifikasi CEDAW pada tanggal 18 September 1981 sesuai dengan
Keputusan Republik No. 434 tahun 1981. Setelah meratifikasi CEDAW, Mesir mengajukan
beberapa reservasi terkait kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal yang
berkaitan dengan hubungan pernikahan dan keluarga. Hal ini disebabkan karena hukum Mesir
berdasarkan pada hukum Islam.
Setelah meratifikasi CEDAW, Mesir berusaha untuk berkomitmen dalam mewujudkan
kesetaraan dan perlindungan perempuan di negaranya. Bentuk komitmennya tersebut dapat
dilihat dari pasal-pasal yang terdapat dalam Konstitusi Mesir dan Undang-Undang yang
mengatur tentang kesetaraan dan perlindungan perempuan di negaranya. Hadirnya Suzanne
Laws yang merupakan hasil dari aturan yang dibuat oleh Suzanne Mubarak juga dapat dinilai
sebagai bentuk komitmen Mesir terhadap CEDAW.
Setelah Revolusi Mesir 2011, Mesir masih tetap menjalankan komitmennya terhadap
CEDAW. Pasal-pasal yang mengatur tentang kesetaraan dan perlindungan terhadap perempuan
masih terdapat didalam Konstitusi Mesir 2012 dan 2014. Pada Pasal 93 Konstitusi Mesir 2014,
Mesir mempertegas komitmennya terhadap CEDAW. Pasal tersebut menyebutkan bahwa
negara terikat dengan perjanjian dan konvensi internasional mengenai HAM yang telah
diratifikasi. Hal ini dapat dinilai bahwa Mesir juga terikat dengan CEDAW karena telah
meratifikasinya dan berusaha untuk tetap menjalankan komitmen terhadap CEDAW.
Komitmen Mesir terhadap CEDAW juga dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan terkait
kesetaran dan perlindungan perempuan yang telah dibuat. Pertama, amandemen terhadap
Undang-Undang no.58 tahun 1937 mengenai pelecehan seksual. Adanya peningkatan hukuman
dan denda dalam amandemen tersebut. Kedua, pembentukan Unit Kekerasan Terhadap
Perempuan sebagai respon pemerintah dalam meningkatkan kekerasan terhadap perempuan di
Mesir. Ketiga, peluncuran National Strategy for Combating Violence Against Women.
Keempat, peluncuran National FGM Abandonment Strategy 2016-2020. Kelima, Amandemen
terhadap Pasal 242 KUHP mengenai FGM. Amandemen ini menghasilkan peningkatan
hukuman bagi para pelaku dan yang mendampingi korban saat tindakan FGM dilakukan.
Selain itu, bentuk komitmen Mesir terhadap CEDAW dapat dilihat dari kerjasama yang
dilakukan oleh pemerintah dengan organisasi internasional. Pemerintah bersama UN Women
dan UNDP telah meluncurkan program Women Citizenship Initiative. Program ini merupakan
upaya untuk menyediakan Kartu Identitas bagi perempuan yang tidak memilikinya agar dapat
menikmati layanan sosial yang telah disediakan oleh pemerintah. Pada tahun 2018 pemerintah
Mesir juga telah mengamanatkan NCW untuk mengurusi kesetaraan gender di Mesir.
2) Hasil Dari Kepatuhan Tidak Berdampak Maksimal.
Pada penjelasan sebelumnya, Mesir telah dinilai patuh terhadap CEDAW. Bentuk
kepatuhannya dapat dilihat dari upaya dan kebijakan pemerintah terkait dengan kesetaraan dan
perlindungan perempuan. Akan tetapi, bentuk kepatuhan Mesir tersebut tidak berdampak
maksimal terhadap perkembangan perempuan di negaranya. Dampak yang tidak maksimal

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 28

tersebut dapat dilihat dari data Global Gender Gap Report yang dikeluarkan oleh WEF.
Menurut data tersebut, dari tahun 2011 sampai dengan 2020 posisi Mesir tidak termasuk dalam
ranking 100 besar, dimana Mesir menempati posisi 129 dari 156 negara pada tahun 2021 ini.
Dilihat dari posisi Mesir dari tahun ketahun, tidak ada kenaikan posisi yang signifikan terkait
dengan gender gap malahan cenderung menurun dibandingkan sebelum revolusi Mesir 2011.
3) Negara Terus Mencoba Untuk Menyelesaikan Masalah Tersebut Dan Tetap Melanjutkan
Komitmennya Terhadap Rezim Internasional.
Sejak awal Mesir meratifikasi CEDAW, Mesir selalu berupaya untuk berkomitmen
menjalankan ketentuan yang terdapat didalam CEDAW. Setelah terjadinya Revolusi Mesir
2011, Mesir juga masih berkomitmen terhadap CEDAW. Mesir masih memasukkan undang-
undang terkait kesetaraan dan perlindungan perempuan yang sejalan dengan CEDAW.
Walaupun upaya yang dilakukan tidak berdampak maksimal, Mesir tetap melanjutkan
komitmennya terhadap CEDAW. Hal ini dapat dilihat dari diperpanjangnya program Women
Citizenship Initiative. Program Women Citizenship pada awalnya merupakan program 3 tahun
yang dimulai pada tahun 2012 hingga 2015. Namun, karena adanya temuan pemerintah
mengenai masih banyaknya perempuan yang belum memiliki Kartu Identitas, maka program
ini diperpanjang lagi menjadi 2016 sampai 2019.
Lebih lanjut, deklarasi yang dikeluarkan oleh Presiden Abdul Fattah as-Sisi yang
menyatakan bahwa tahun 2017 adalah Year of the Egyptian Women dapat dinilai sebagai
bentuk upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan dan komitmen berlanjut
terhadap CEDAW. Setelah melakukan deklarasi tersebut, Mesir meluncurkan Strategy of the
Egyptian Women in 2030 yang termasuk kedalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Strategi ini terdiri dari 5 poin utama yaitu; pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan politik,
perlindungan terhadap masyarakat, budaya, dan hukum. Untuk menjalankan strategi tersebut,
pemerintah juga telah menunjuk NCW pada tahun 2018 sebagai institusi yang menjalankan
strategi ini. Hingga kini, NCW terus aktif dalam menjalankan berbagai strategi pemberdayaan
perempuan di Mesir dan banyak melakukan terobosan pemberdayaan termasuk juga pada saat
pandemic COVID19.

5. KESIMPULAN
Melihat bentuk-bentuk upaya yang dilakukan Mesir terhadap perkembangan dan perlindungan
perempuan, Mesir dapat dikatakan patuh (compliance) terhadap CEDAW. Bentuk kepatuhan ini
terlihat jelas pada Pasal 93 Konstitusi Mesir 2014. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa negara
berkomitmen terhadap perjanjian dan konvensi internasional mengenai HAM yang telah diratifikasi.
Dalam hal ini juga berarti Mesir akan berkomitmen terhadap CEDAW karena telah meratifikasinya.
Kemudian dilihat dari bentuk perilaku kepatuhan, Mesir masuk kedalam kategori coincidental
compliance karena meratifikasi CEDAW merupakan bentuk upaya keberlanjutan pemerintah dalam
peningkatan kesetaraan dan perlindungan perempuan. Walaupun Mesir tidak meratifikasi CEDAW,
Mesir juga akan tetap berupaya untuk meningkatkan kesetaraan dan perlindungan terhadap perempuan
di negaranya. Akan tetapi dibalik upaya-upaya yang dilakukan oleh Mesir tersebut, permasalahan
terkait kesetaraan dan perlindungan terhadap perempuan masih saja terjadi. Menurut data Global
Gender Gap yang dikeluarkan oleh WEF, dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2021 posisi Mesir
belum masuk dalam top 100. Dilihat dari posisi Mesir dari tahun ketahun, tidak ada kenaikan posisi
yang signifikan terkait dengan gender gap ini. Dengan kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya,
Mesir termasuk dalam kategori Passive Compliance.

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com
PIR Journal e-ISSN: 2721-0510 | p-ISSN: 2528-7192
Vol. 7 No. 1 Agustus 2022 Hal.13-30 29

REFERENSI
[1] Administrator. (2008). Siapa Adly Mansour, Pemimpin Sementara Mesir? Diakses dari Tempo.co,
https://dunia. tempo.co/read/493512/siapa-adly-mansour-pemimpin-sementara-mesir/full&view=ok

[2] Amnesty International. (2013). Egypt: Women Demand Equality in Shaping New Egypt. Diakses dari
https://www.amnesty.org.uk/resources/egypt-women-demandequality-shaping-new-egypt

[3] Mitchel, Ronald. (2007). Compliance Theory: Compliance, Effectiveness, and Behaviour Change in
International Environmental Law. London: Oxford University Press.

[4] Basil El-Dabh. (2013). Mansour Receives Amended Constitution. Diakses dari Daily News Egypt.
https://www.dailynewsegypt.com/2013/12/03/mansour-receives-amended-constitution/

[5] Egyptian Center for Women Rights. (2016). Women’s Status Report Summary 2015” Steps Backward:
Parliamentary Representation alone is not enough. Diakses dari https://ecwronline.org/?p=7177.

[6] Egyptian Center for Women’s Rights. (2013). Egyptian Women’s Status Report 2012, The Massive
“Going Out” of the Egyptian Women. Diakses dari https://ecwronline.org/?p=4575

[7] Egyptian Center for Women’s Rights. (2018). Summary of the 2017 Egyptian Women’s Status Report”,
Women’s Year … Is Not Finished Yet. Diakses dari https://ecwronline.org/?p=7582

[8] Fatouh ElGhazli. (2012). Egypt’s Adherence to CEDAW Stems from its Own National Will. National
Council for Women: Alexandria University.

[9] Ferber, Alona. (2011). Women In The “New Egypt”: What Next? Tel Aviv Notes: An Update on Middle
Eastern Developments Vol.5, No. 24:2.

[10] FIDH. (2012). Women and The Arab Spring: Taking Their Place? Paris: The International Federation for
Human Rights

[11] Gregg Carlstrom. (2013). Egypt President Sets Date for Referendum. Diakses dari Aljazeera,
https://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/12/egypt-president-sets-date-referendum-
201312141146564381.html

[12] Holger Albrecht. (2013). Egypt’s 2012 Constitution: Devil in the Details, Not in Religion PEACEBRIEF
139: United States Institute of Peace

[13] International Labour Organization. (2015). Egypt- Law No. 50 of 2014 Amending Law No. 58 of 1937,
Promulgating The Penal Code. Diakses dari
https://www.ilo.org/dyn/natlex/natlex4.detail?p_lang=en&p_isn= 9319&p_count=11&p_classification=01

[14] Krasner, Stephen D. (1982). Structural Causes and Regime Consequences: Regimes As Interverning
Variables. International Organization Vol. 36, No. 02: 86.

[15] Mahmoud Hamad. (2015). Political rights of Women in Egypt’s Second Republic: Ambitius Aspirations
and Dismal Realities. Diakses dari ConstitutionNet,
http://www.constitutionnet.org/news/politicalrightswomen-egypts-second-republic-ambitious-aspirations-
and-dismal-realities

[16] Mai Abdel Rahman. (2017). The Role of the United Nations In Implementing a Gender Mainstreaming
Approach Post 2011 In Egypt: The Women’s Citizenship Initiative As a Case Study. Thesis: The
American Universitu in Cairo

[17] Mclaughin, Sarah, Paul R. Hensel. (2007). International Institutions and Compliance with Agreements.
American Journal of Political Science. Vol. 51, No. 4 :721-737.

DOI: https://www.doi.org/10.22303/pir.7.1.2022.13-30
Afriandi, et al., Kepatuhan Mesir terhadap Conventions… 30

[18] NCW. (2018). National Strategy for the Empowerment of Egyptian Woman 2030. Diakses dari
http://ncw.gov.eg/wp-content/uploads/2018/02/final-version-national-strategy-for-the-empowerment-of-
egyptian-women-2030.pdf

[19] NCW. (2020). The National Council for Women: A Policy Paper on Egypt's Rapid Response to Women's
Situation during the COVID 19 Outbreak. Diakses dari http://ncw.gov.eg/wp-
content/uploads/2020/04/policypapereng.pdf

[20] Nehad Aboul Komsan. (2016). Egyptian Women in 2015 Parliamentary Election. Diakses dari The
Egyptian Center for Women’s Rights (ECWR) https://ecwronline.org/?p=6788

[21] Egyptian Center for Women’s Rights. (2016). Parliamentary Representation alone is not enough. Diakses
dari https://ecwronline.org/?p=7177.

[22] Saferworld. (2015). Violence against women in Egypt: Prospect for improving police response. London:
The Grayston Centre.

[23] Samir, Aya. (2019). Women Empowerment in Egypt: Long History, Governmental Strategy. Diakses dari
https://www.egypttoday.com/Article/1/67075/Women-empowerment-in-Egypt-long-history-gov-tal-
strategy

[24] Sudlar, Sonny. (2014). Rezim Kerjasama Sosek Malindo Kaltim-Sabah: Mengukur Derajat Compliance
Partisipan Perjanjian. Thesis: Universitas Mulawarman.

[25] Sri Wiyanti Eddyono. (2014). Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW. Diakses dari Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, http://referensi.elsam.or.id/2014/09/hakasasiperempuan-dan-konvensi-cedaw/

[26] The Library of Congress. 2016. Egypt: New Law Enhancing the Penalties for FGM Approved by
Parliament. Diakses dari http://www.loc.gov/law/foreign-news/article/egypt-new-law-enhancing-the-
penaltiesfor-fgm-approved-by-parliament/

[27] UN Women. (2012). The Women Citizenship Initiative will ensure citizenship rights to two
millionwomen in Egypt. Diakses dari http://www.unwomen.org/en/news/stories/2012/7/the-women-
citizenshipinitiative-will-ensure-citizenship-rights-to-two-million-women-in-egypt

[28] UNDP. (2016). Egypt launches National Anti-Female Genital Mutilation Strategy: UN Resident
Coordinator speech. diakses dari
http://www.eg.undp.org/content/egypt/en/home/presscenter/speeches/egyptlaunches-nationalanti-female-
genital-mutilation-strategy-.html

[29] UNDP. (2016). The National FGM Abandonment Strategy 2016-2020. Diakses dari UNDP Research
andPublications,http://www.eg.undp.org/content/egypt/en/home/library/womens_empowerment/thenation
al-fgmabandonment-strategy-2016-2020.html

[30] EWBO. (2018). Egypt Woman on Boards Observatory 2018 Annual Monitoring Report Highlights.
Diakses dari http://ncw.gov.eg/wp-content/uploads/2019/08/wob-en-final-2-
1.pdf#:~:text=The%20Women%20on%20Boards%20Observatory%20is%20recognized%20as,to%20reac
h%20the%20target%20of%20the%202030%20strategy.

[31] World Economic Forum. (2020). Global Gender Gap Report 2020. Diakses dari
http://www3.weforum.org/docs/WEF_GGGR_2020.pdf

[32] World Economic Forum. (2021). Global Gender Gap Report 2021. Diakses dari
https://www3.weforum.org/docs/WEF_GGGR_2021.pdf

http://e-journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/index | redaksijurnalupu@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai