Anda di halaman 1dari 157

KEBIJAKAN PEMANFAATAN EKOSISTEM

MANGROVE TERPADU BERKELANJUTAN DI


KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

AMRAN SARU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa disertasi saya dengan


judul : Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan adalah benar – benar asli karya saya dengan
arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan
siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi
manapun.

Bogor, Maret 2007

Amran Saru
C261040041
ABSTRAK
AMRAN SARU. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, CECEP
KUSMANA, dan SETYO BUDI SUSILO.
Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh stakeholders di Kabupaten Barru berbasis
pada kepentingan individu atau kelompok tertentu, seperti : areal perburuan beberapa jenis
burung, penebangan hutan mangrove untuk bahan bangunan, konversi hutan mangrove
menjadi areal budidaya tambak dan pemukiman, dan mengeksploitasi mangrove untuk
dijadikan sebagai kayu bakar. Akibat dari kegiatan tersebut diduga menimbulkan konflik
kepentingan dan kerusakan ekosistem yang tidak terkendali. Mengingat fungsi ekologi
ekosistem mangrove dan stabilitas ekosistem pesisir, maka sangat diperlukan suatu
penelitian tentang kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten
Barru.
Kajian ilmiah tentang kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove
sudah sering dilakukan jauh sebelum Instruksi Menteri Pertanian nomor 13 tahun 1975,
tentang pembinaan kelestarian hutan mangrove. Namun kebijakan pengelolaan dan
pemanfaatan ekosistem mangrove yang selama ini dilakukan masih bersifat parsial.
Sedangkan kajian ini dirancang dengan mengadopsi dan meramu metode analisis yang
bersifat komprehensif korelasional, seperti : analisis ekologi hutan mangrove, valuasi
ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove, kesesuaian pemanfaatan lahan, analisis
SWOT untuk strategi pemanfaatan, dan analisis prioritas dengan bantuan software MAHP
untuk mendukung analisis tersebut di atas, dilakukan pengumpulan data primer seperti :
aspek ekologi mangrove, parameter biofisik ekosistem mangrove, dan data sosial
ekonomi, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara ekologi daya dukung dan stabilitas ekosistem mangrove masih
cukup baik, ekosistem mangrove di sepanjang pantai dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kegiatan budidaya tambak, penangkapan ikan, eksploitasi kayu, konsevasi dan rehabilitasi,
secara ekonomi manfaat langsung ekosistem mangrove sebesar Rp. 30.512.882.
Selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan pada setiap titik sampling dengan
mangacu pada matriks kesesuian lahan yang baku, maka terdapat delapan bentuk
kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat 6 jenis kegiatan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Barru,
dengan skala prioritas dan persentase setiap alternatif, yaitu konservasi 23.79%, budidaya
ikin/tambak 20.26%, wisata pantai 18.65%, pelabuhan 13.83%, industri 11.80% dan
pemukiman 11.58%.
Hasil analisis prioritas merekomendasikan pemanfaatan ekosistem mangrove di
Kabupate Barru sebagai berikut : (a) ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di
Kabupaten Barru ditetapkan sebagai kawasan konservasi temasuk rehabilitasi dan
ekowisata, (b) pemanfaatan untuk pengembangan wisata pantai dapat dilakukan di
Kecamatan Mallusetasi, Balusu dan Kecamatan Barru, (c) pemanfaatan ekosistem
mangrove untuk budidaya ikan/tambak dapat dilakukan di semua kecamatan di Kabupaten
Barru dengan model pengembangan tambak tumpang sari (silvofishery), (d)
pengembangan dan pembangunan pelabuhan dapat dilakukan disekitar areal mangrove
khususnya di Kecamatan Soppengriaja dan Kecamatan Barru, (e) pengembangan kawasan
industri hatchery dapat dilakukan di belakang mangrove di Kecamatan Mallusetasi dan
Kecamatan Balusu, dan (f) sedangkan untuk pengembangan pemukiman dapat dilakukan
di Kecamatan Balusu dan Barru.
Kata kunci : ekosistem mangrove, kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove,
pembangunan terpadu berkelanjutan.
ABSTRACT
AMRAN SARU. The Policy of Integrated Sustainable Utilization of Mangrove
Ecosystem in Barru Regency, South Sulawesi. Under the supervision of FREDINAN
YULIANDA, CECEP KUSMANA, and SETYO BUDI SUSILO.
The utilization of mangrove ecosystem by stakeholders in Barru Regency is
based on individual or group interests, such as hunting birds, cutting mangrove
trees for house construction, converting mangrove forest for aquaculture ponds and
settlements, and exploiting mangrove for firewood. These activities have created
conflict of interests and uncontrolled ecosystem destruction. Considering the
ecological function of mangrove ecosystem and the stability of coastal ecosystem,
it is highly crucial to conduct a research on policy analysis of integrated
sustainable utilization of mangrove ecosystem, particularly in Barru Regency.
Scientific assessment towards management and utilization policy of
mangrove ecosystem has long been carried out prior to the enactment of the
Agricultural Minister’s Instruction No. 13/1975 on managing sustainable
mangrove forest. However, nowadays the management and utilization policies of
mangrove ecosystem have only been done partially. This study is designed to
adopt an analytical method that is correlative comprehensive, such as mangrove
ecology analysis, economic valuation of mangrove utilization, land utilization
suitability, SWOT analysis for developing a strategy for mangrove utilization, and
priority analysis using MAHP software. In order to support the analysis, the study
carried out a primary data collection on mangrove ecology, biophysical
characteristics of mangrove ecosystem, and social economy, as well as a secondary
data collection that taken from respective institutions.
The study shows that the ecolo gical carrying capacity and stability of
mangrove ecosystem are moderately good. Mangrove ecosystem along the coast
has been utilized by the community for aquaculture, fishing, firewood,
conservation, and rehabilitation. The economic valuation of direct utilization of
mangrove ecosystem is Rp 30,512,882. The analysis of land suitability was carried
out at each sampling site according to a standardized land suitability matrix, and
resulted in eight types of suitability utilization of mangrove ecosystem. The study
shows that there are six types of mangrove utilization in Barru Regency, in which
each alternative has different priority scale and percentage, namely conservation
23.79%, fishery aquaculture 20.26%, coastal tourism 18.65%, seaport 13.83%,
industry 11.80%, and settlements 11.58%.
The results of the priority analysis recommend that the utilization of
mangrove ecosystem in Barru Regency is as follows: (a) mangrove ecosystem in
each sub-district of Barru Regency is designated for conservation area including
rehabilitation and ecotourism; (b) coastal tourism can be developed in Mallusetasi,
Balusu and Barru Sub-districts; (c) fishery aquaculture can be built in all sub-
districts of Barru Regency using a silvofishery model; (d) development of seaport
can be done in Soppengriaja and Barru Sub-districts; (e) development of a
hatchery industrial area can be situated in Mallusetasi and Balusu Sub-districts;
and (f) settlements can be developed in Balusu and Barru Sub-districts.

Keywords : mangrove ecosystem, mangrove ecosystem utilization policy,integrated


sustainable development.
Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KEBIJAKAN PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE
TERPADU BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BARRU
SULAWESI SELATAN

Amran Saru

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Disertasi : Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan
di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.
Nama : Amran Saru
NIM : C261040041

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.


Ketua

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc.
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana


Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono , M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian : 21 Maret 2007 Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, oleh
karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi ini sebagai tugas akhir program doktor.
Berbagai kendala dan hambatan yang penulis hadapi dalam upaya
menyelesaikan karya ilmiah ini, mulai dari pencetusan ide yang dituangkan dalam
bentuk sinopsis penelitian, prakolokium, penetapan judul oleh Komisi Akademik,
sidang komisi, kolokium, prelim tertulis dan prelim lisan, pengambilan data
lapangan, analisis data ekologi hutan mangrove, analisis data sosial, valuasi
ekonomi ekosistem mangrove, analisis kesesuaian pemanfaatan lahan khususnya
ekosistem mangrove, analisis penentuan kebijakan melalui analisis SWOT dan
Analytical Hierarchy Process (software MAHP), hingga penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini. Kendala dan hambatan tersebut bisa teratasi berkat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh kanera itu penulis ingin mengucapkan rasa
terima kasih yang setulus – tulusnya dari lubuk hati yang paling dalam kepada :
(1) Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai pembimbing ketua; Prof. Dr. Ir.
Cecep Kusmana, MS. dan Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. masing – masing
sebagai pembimbing anggota, yang banyak memberikan motivasi, saran,
bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat terinspirasi untuk menyelisaikan
karya ilmiah ini sebagaimana mestinya, (2) Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA beserta
staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Dr. Ir. Unggul
Aktani, M.Sc (wali akademik), dan Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, MS. atas segala
bantuan, upayah, arahan dan saran – sarannya untuk melengkapi tulisan ini, (3)
Gubernur Sulawesi Selatan, bupati kepala daerah tingkat dua Kabupaten Barru dan
bupati kepala daerah tingkat dua Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan
beserta jajarannya, atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan selama
penelitian. Ucapan terima kasih terkhusus kepada isteri tercinta Ny. Ariani
Amran, S.St, anakda tersayang Imam Amriadi AS dan Amaliah Amriani, kedua
orang tua H. Saharuddin dan Hj. Maniara, serta saudara – saudaraku atas doa,
kasih sayang, kesabaran dan pengorbanannya.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT, memberikan balasan yang
setimpal atas segala kebaikan yang mereka berikan dalam proses penyelesaian
disertasi ini, semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri,
maupun para pencinta dan pemerhati lingkungan, walaupun penulis menyadari
bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, itu karena keterbatasan penulis.

Bogor, Maret 2007

Amran Saru
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pinrang Sulawesi Selatan pada tanggal 24 September


1967 sebagai anak kedua dari pasangan H. Saharuddin dan Hj. Maniara. Tamat
Sekolah Dasar (1981), Tamat Sekolah Menengah Pertama (1984), Tamat Sekolah
Menengah Atas (1987) masing – masing di Kabupaten Pinrang. Sarjana Kelautan
diraih dari Universitas Hasanuddin (1993), dan pendidikan Magister Ilmu
Lingkungan Bidang Laut Dangkal dan Pantai diperoleh dari Pascasarjana
Universitas Hasanuddin (2001). Diterima untuk melanjutkan Pendidikan Doktor
Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dengan biaya BPPS – DIKTI tahun 2004, penulis berhasil
menyelesaikan pendidikan doktor tahun 2007.
Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1995 sampai
sekarang, tugas tambahan yang pernah dipercayakan kepada penulis antara lain :
kepala unit kapal penelitian Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin (1999 – 2003), pembina kemahasiswaan Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (2001 – 2004), dan
anggota komisi disiplin Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (2002 – 2004).
Penulis aktif sebagai peserta maupun pemateri dalam berbagai seminar
lokal, nasional, dan internasional. Aktif menulis beberapa karya ilmiah yang
dipublikasikan pada jurnal terakreditasi nasional, khususnya dalam bidang Ekologi
dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Selama mengikuti program
doktor, penulis telah menyelesaikan karya ilmiah berjudul ”Analisis Ekosistem
Mangrove dengan Pendekatan Model Ekologi di Kabupaten Barru Provinsi
Sulawesi Selatan” yang telah disampaikan pada seminar nasional hasil – hasil
penelitian di bidang perikanan dan kelautan di Universitas Brawijaya Malang pada
tanggal 20 – 21 Pebruari 2006. Sebuah artikel dengan judul ”Stabilitas Ekosistem
pada Berbagai Bentuk Pemanfaatan Mangrove dengan Indikator Makrozoobentos
di Kabupaten Barru” akan diterbitkan pada Jurnal Torani edisi Desember 2006.
Karya ilmiah tersebut di atas merupakan bagian dari data dalam disertasi ini yang
ditulis secara terpisah. Penghargaan Indeks Prestasi Akademik 4.0 pada semester
awal 2004/2005 dari Direktur Pascasarjana Institut Pertanian Bogor mencerminkan
keseriusan penulis dalam mengikuti jenjang pendidikan doktor.
Organisasi yang pernah dinahkodai, yaitu : wakil ketua Himpunan
Mahasiswa dan Masyarakat Perintis Kemerdekaan IX Makassar (1991 – 1993),
ketua I Ikatan Sarjana Kelautan Universitas Hasanuddin (1999 – 2001), ketua
umum Ikatan Sarjana Kelautan Universitas Hasanuddin (2002 -2004), sejak
terdaftar sebagai mahasiswa program doktor penulis menjadi Ketua II Forum
Komunikasi Mahasiswa Asal Sulawesi Selatan (2005 – 2006).
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ i
ABSTRACT.................................................................................................... ii
HAK CIPTA ................................................................................................... iii
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ v
PRAKATA...................................................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP......................................................................................... vii
DAFTAR ISI................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL........................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ........................................................................... 7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian.................................................................. 8
1.5 Hipotesis ............................................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 11
2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove ........................................................ 11
2.2 Komposisi Jenis Mangrove ................................................................. 11
2.3 Zonasi Mangrove ................................................................................ 12
2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove ........................................................... 13
2.5 Pengelolaan dan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ......................... 15
2.6 Penyebab Kerusakan Mangrove .......................................................... 15
2.7 Faktor – Faktor Lingkungan ............................................................... 16
2.8 Hubungan Sumberdaya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi ................ 16
2.9 Konsep pengukuran Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove ................. 17
2.10 Perencanaan dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Terpadu...... 19
2.11 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu
Berkelanjutan .................................................................................... 20
2.12 Kebijakan Pemanfaatan Mangrove ................................................... 22
2.13 Analisis SWOT ................................................................................. 26
2.14 Proses Hirarki Analisis (PHA) .......................................................... 26
2.15 Kerangka Pemikiran.......................................................................... 30
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 33
3.1 Waktu dan Tempat .............................................................................. 33
3.2 Penentuan Stasiun ............................................................................... 34
3.3 Pengambilan Data ............................................................................... 34
3.3.1 Pengambilan Data Mangrove ........................................................... 34
3.3.2 Pengambilan Data Biofisik .............................................................. 35
3.3.3 Pengambilan Data Sosial Ekonomi Masyarakat .............................. 35
3.4 Analisis Sampel .................................................................................. 37
3.5 Analisis Data ....................................................................................... 37
3.5.1 Analisis Vegetasi Mangrove ............................................................ 39
3.5.2 Analisis Organisme ......................................................................... 40
3.5.3 Analisis Ekonomi ............................................................................ 40
3.5.4 Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi ke dalam Rupiah .......... 41
3.5.5 Kriteria Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangove .................. 42
3.5.6 Analisis Spasial ............................................................................... 46
3.5.7 Analisis Penentuan Kebijakan Pemanfaatan Mangrove .................. 49
3.5.7.1 Analisis SWOT ............................................................................. 49
3.5.7.2 Proses Hirarki Analisis (PHA/AHP )............................................. 50
3.5.7.3 Analisis A’WOT ........................................................................... 54
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 56
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian...................................................... 56
4.1.1 Batasan Wilayah Penelitian ............................................................ 57
4.1.2 Geologi dan Geomorfologi Pantai .................................................. 58
4.1.3 Dinamika Pantai.............................................................................. 59
4.1.4 Parameter Lingkungan .................................................................... 61
4.2 Ekosistem Mangrove ......................................................................... 63
4.2.1 Komposisi Jenis dan Kerapaten Mangrove ..................................... 63
4.2.2 Organisme yang Berasosiasi ........................................................... 76
4.2.2.1 Makrozoobentos........................................................................... 76
4.2.2.2 Ikan dan Crustacea ....................................................................... 78
4.2.2.3 Burung dan Mamalia.................................................................... 79
4.3 Kondisi Sosial Budaya ....................................................................... 80
4.3.1 Penduduk ......................................................................................... 80
4.4 Kondisi Ekonomi ............................................................................... 82
4.4.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove .......................................... 85
4.4.1.1 Manfaat Langsung........................................................................ 86
4.5 Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ................................. 94
4.5.1 Kecamatan Mallusetasi ................................................................... 97
4.5.2 Kecamatan Soppengriaja................................................................. 99
4.5.3 Kecamatan Balusu........................................................................... 101
4.5.4 Kecamatan Barru............................................................................. 103
4.6 Konsep keterpaduan pemanfaatan ekosistem mangrove ................... 105
4.7 Strategi Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ..................... 109
4.7 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove .................................. 116
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 133
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 133
5.2 Saran................................................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 135
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 141
DAFTAR TABEL
Halaman

1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan............................................. 24


2. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk .............. 43
3. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi ................................ 43
4. Matriks kesesuaian lahan unt uk kawasan pariwisata pantai ...................... 44
5. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan industri ..................................... 44
6. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya ikan/tambak .............. 45
7. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum...................... 45
8. Standar matriks kombinasi SWOT ............................................................ 50
9. Skala banding berpasangan oleh Saaty ...................................................... 52
10. Standarisasi nilai (Random Indeks).......................................................... 54
11. Kondisi topografi dan kemiringan lereng Kabupaten Barru..................... 56
12. Stasiun pengamatan dan luas wilayah penelitian dirinci berdasarkan
kecamatan dan desa/kelurahan ................................................................ 57
13. Penyebaran geologi Kabupaten Barru ...................................................... 59
14. Kondisi parameter oseanogafi di sekitar ekosistem mangrove di beberapa
kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru ................................. 60
15. Data hasil pengamatan kualitas air di sekitar ekosistem mangrove
pada lokasi penelitian ............................................................................... 62
16. Kondisi parameter sedimen/substrat ekosistem mangrove di beberapa
kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru ................................. 62
17. Rekapitulasi areal ekosistem mangrove di setiap kecamatan dan
desa/kelurahan di Kabupaten Barru ......................................................... 64
18. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi .............................. 65
19. Indeks nilai penting jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi............... 66
20. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Soppengriaja ........................... 68
21. Indeks nilai penting jenis mangrove di kecamatan Soppengriaja ............. 70
22. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Balusu ..................................... 72
23. Indeks nilai penting jenis mangrove di Kecamatan Balusu ...................... 72
24. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Barru ....................................... 74
25. Indeks nilai penting jenis mangrove di Kecamatan Barru ........................ 74
26. Jumlah penduduk di Kab. Barru dirinci menurut Kec. dan jenis kelamin 80
27. Jumlah rumah tangga nelayan dan petani tambak disetiap kecamatan..... 83
28. Estimasi responden berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan........ 84
29. Rekapitulasi analisis valuasi ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove 87
30. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Mallusetasi ............. 97
31. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Soppengriaja........... 99
32. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Balusu.................... 101
33. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Barru...................... 103
34. Analisis konsep keterpaduan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove
di Kabupaten Barru ................................................................................. 107
35. Hasil analisis dari akumulasi pendapat responden untuk komponen
internal SWOT .......................................................................................... 110
36. Hasil analisis dari akumulasi pendapat responden untuk komponen
eksternal SWOT ........................................................................................ 111
37. Matriks SWOT untuk menentukan strategi pemanfaatan ekosistem
mangrove .................................................................................................. 113
38. Strategi dan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten
Barru Sulawesi Selatan ............................................................................. 123
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Diagram permasalahan pemanfaatan ekosistem mangrove ..................... 7


2. Tahapan analisis penelitian kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove 9
3. Salah satu tipe zonasi hutan ma ngrove yang umum ditemukan di
Indonesia .................................................................................................. 13
4. Nilai total ekonomi mangrove ................................................................. 18
5. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan proses pembuatan
kebijakan .................................................................................................. 25
6. Skema kerangka pemikiran penelitian ..................................................... 32
7. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan................... 33
8. Bagan transek cuplikan vegetasi mangrove di lapangan ......................... 35
9. Skema rincian pengambilan sampel dari jumlah populasi....................... 36
10. Alur analisis data untuk menentukan kebijakan pemanfaatan mangrove
di Kabupaten Barru .................................................................................. 38
11. Diagram alur penyusunan basis data ....................................................... 47
12. Diagram alur metode analisis spasial ...................................................... 48
13. Rangkaian kerja analisis SWOT .............................................................. 49
14. Proses Hirarki A’WOT untuk penentuan prioritas kebijakan.................. 55
15. Peta sebaran mangrove Kecamatan Mallusetasi Kab. Barru ................... 67
16. Peta sebaran mangrove Kecamatan Soppengriaja Kab. Barru................. 69
17. Peta sebaran mangrove Kecamatan Balusu Kab. Barru........................... 71
18. Peta sebaran mangrove Kecamatan Barru Kab. Barru............................. 75
19. Grafik analisis kelimpahan makrozoobentos di empat kecamatan di
Kab. Barru................................................................................................ 77
20. Grafik analisis keanekaragaman makrozoobentos di empat kecamatan
di Kabupaten Barru .................................................................................. 78
21. Rekapitulasi penduduk pada setiap kecamatan di lokasi penelitian ........ 81
22. Rekapitulasi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada setiap
kecamatan di lokasi penelitian ................................................................. 81
23. Persentase tingkat pendidikan responden diwawancarai di lokasi
penelitian.................................................................................................. 82
24. Jumlah rumah tangga penduduk yang berpropesi sebagai nelayan pada
setiap kecamatan di lokasi penelitian....................................................... 84
25. Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada setiap kecamatan
di lokasi penelitian ................................................................................... 85
26. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove
di Kecamatan Mallusetasi ....................................................................... 98
27. Peta kesesuaian la han untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove
di Kecamatan Soppengriaja .................................................................... 100
28. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove
di Kecamatan Balusu .............................................................................. 102
29. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove
di Kecamatan Barru ................................................................................ 104
30. Keterpaduan konsep dan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove .. 108
31. Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dengan
faktor eksternal......................................................................................... 112
32. Kebijakan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove dengan komponen
prioritas SWOT........................................................................................ 116
33. Prioritas dan persentasi komponen strength ............................................ 118
34. Prioritas dan persentasi komponen weakneses ........................................ 119
35. Prioritas dan persentasi komponen opportunity....................................... 120
36. Prioritas dan persentasi komponen treaths .............................................. 121
37. Prioritas kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove ........................... 122
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Posisi stasiun pengamatan pada masing- masing kecamatan dan desa/


kelurahan ................................................................................................... 142
2. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi ...................... 143
3. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Soppengriaja .................. 150
4. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Balusu ............................ 158
5. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Barru .............................. 163
6. Analisis komposisi jenis, kelimpahan dan keanekaragaman jenis Makro-
zoobentos yang ditemukan pada ekosistem mangrove Kabupaten Barru
selama penelitian........................................................................................ 170
7. Jenis ikan yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan di Kab. Barru .. 175
8. Jenis burung yang ditemukan pada setiap stasiun di lokasi penelitian ...... 177
9. Analisis manfaat langsung produk kayu dari ekosistem mangrove ........... 179
10. Analisis manfaat langsung produk arang dari ekosistem mangrove ........ 180
11. Analisis manfaat langsung bibit mangrove dari ekosistem mangrove ..... 180
12. Analisis manfaat langsung penangkapan burung dari ekosistem mangrove 181
13. Analisis manfaat langsung penangkapan kelelawar ............................... 181
14. Analisis manfaat langsung penangkapan ikan dari ekosistem mangrove 182
15. Analisis manfaat langsung penangkapan udang dari ekosistem mangrove 183
16. Analisis manfaat langsung penangkapan kepiting dari mangrove ........... 184
17. Analisis manfaat langsung pengambilan kerang dari mangrove ............. 185
18. Analisis valuasi ekonomi manfaat tambak polikultur ikan dan bandeng 186
19. Analisis valuasi ekonomi manfaat tambak monokultur .......................... 187
20. Hasil survei dan Analisis dengan menggunakan SWOT dan AHP
(A’WOT) terhadap responden selama penelitian .................................... 189
21. Foto- foto kegiatan selama penelitian di Kebupaten Barru ..................... 200
1

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir Indonesia memiliki luasan dan potensi ekosistem mangrove
yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di
dunia, sekitar 27 % atau sekitar 4.293 juta ha berada di Indonesia (Kusmana
1995). Namun demikian luas hutan mangrove di Indonesia terus menyusut, hal
ini sesuai dengan hasil penapsiran potret udara dan survei lapangan, yang
menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tahun 1982 sekitar
4.251.011 ha (Direktorat Bina Program 1982). Hasil penapsiran 1991 dari Citra
Landsat MSS liputan tahun 1986 – 1991 (luas areal liputan hutan 150 juta ha) dan
data referensi lainnya seperti peta RePProt, data SPOT dan potret udara yang
dilakukan (Intag 1993), luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia
diperkirakan seluas 3.735.250 ha, artinya bahwa luas mangrove di Indonesia telah
mengalami degradasi sekitar 13 % atau sekitar 515.761 ha dalam waktu kurang
lebih 11 tahun.
Luas ekosistem mangrove yang terdapat di Sulawesi Selatan pada tahun
1982 sekitar 66.000 ha, kemudian pada tahun 1993 mengalami penambahan
sekitar 57.6 % (sekitar 104.030 ha). Sedangkan hasil pemantauan terakhir (Ditjen
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1994), bahwa eksploitasi hutan mangrove di
Sulawesi Selatan sekitar 75 % atau sekitar 78.022 ha, umumnya tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan dan kondisi ekologis hutan mangrove.
Dari 78.022 ha luas hutan mangrove yang telah dieksploitasi, sekitar 40.000 ha
atau sekitar 38 % dikonversi jadi tambak, sedangkan sekitar 38.022 ha atau
sekitar 37 % dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti : kayu bakar, bahan
industri, dan kebutuhan lainya. Hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi
lahan tambak berdasarkan estimasi hanya 30 % yang berfungsi produktif
sedangkan sisanya terlantar dan selalu mengalami pengikisan oleh ombak karena
tidak adanya reboisasi atau penanaman kembali pada areal tambak hasil konversi
yang tidak produktif. Oleh karena itu, kondisi hutan mangrove di Sulawesi
Selatan sangat memprihatinkan termasuk di Kabupaten Barru.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pantai disamping
terumbu karang dan lamun. Secara ekologis hutan mangrove dapat berfungsi
sebagai stabilitas atau keseimbangan ekosistem, sumber unsur hara, sebagai
2

daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan
daerah pemijahan (spawning ground). Secara ekonomis ekosistem mangrove
dapat dijadikan sebagai areal budidaya, penangkapan, obyek wisata, dan sumber
kayu bagi masyarakat. Selain hal tersebut di atas, mangrove merupakan salah satu
hutan alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang cukup
tinggi, dapat menghasilkan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan
industri seperti : kayu bakar, arang, kertas, dan rayon yang dalam konteks
ekonomi mengandung nilai komersial tinggi. Mengacu pada realitas tersebut di
atas, maka akan dicari suatu solusi atau strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, yang diharapkan menghasilkan suatu
konsep baru untuk menjadi acuan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya
di Kabupaten Barru.
Kabupaten Barru secara administratif terdiri dari lima kecamatan yang
berada di wilayah pantai, empat diantaranya memiliki atau ditumbuhi hutan
mangrove dengan luas sekitar 113.02 ha yaitu : Kecamatan Mallusetasi dengan
luas mangrove sekitar 3.57 ha; Kecamatan Soppengriaja dengan luas sekitar 6.85
ha; Kecamatan Balusu dengan luas sekitar 96.37 ha; dan Kecamatan Barru
dengan luas sekitar 6.23 ha. Dari luas tersebut di atas, untuk memenuhi penetapan
jalur hijau sesuai standar nasional yaitu 130 meter dikalikan dengan tinggi rata-
rata muka air pada saat pasang, masih diperlukan sekitar 202.11 ha. (Badan Pusat
Statistik 2003). Berdarkan data kondisi ekosistem mangrove tersebut, pemerintah
Kabupaten Barru telah mengadopsi kebijakan – kebijakan nasional pengelolaan
dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berpedoman kepada landasan strategi
dan dasar hukum sebagai berikut : Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1990,
tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan hutannya; UU no. 9 tahun 1990,
tentang pariwisata; UU no. 24 tahun 1992 tentang, penataan ruang; UU no. 41
tahun 1999, tentang kehutanan; UU no. 7 tahun 2004, tentang sumberdaya air;
Peraturan Pemerintah (PP) no. 28 tahun 1985, tentang perlindungan hutan; PP no.
18 tahun 1994, tentang penguasaan pariwisata alam; PP no. 47 tahun 1997,
tentang rencana tata ruang kawasan nasional; PP no. 32 tahun 2002, tentang tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; UU no. 31 tahun 2004, tentang
perikanan. Berdasarkan undang – undang nomor 22 tahun 1999, tentang
pemerintah daerah dan undang – undang nomor 25 tahun 2000, tentang
3

kewenangan pemerintah daerah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom,


maka selain undang – undang dan peraturan pemerintah tersebut di atas,
pemerintah daerah juga telah melakukan langkah – langkah antisipasi guna
mempertahankan hutan mangrove tersebut melalui : Perda Nomor 23 tahun 2001,
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai dan Penetapan Jalur Hijau Hutan
Mangrove dan Kawasan Lindung. Laporan Akhir Zonasi dan Manajemen
Pengelolaan Wilayah Laut Kabupaten Barru 2003, menyarankan hutan bakau
(hutan mangrove) sebagai zona lindung dan kawasan konservasi. Namun
demikian hingga saat ini masyarakat masih tetap melakukan aktifitasnya yang
cenderung merusak dan berdampak negatif terhadap ekosistem mangrove
tersebut, hal ini diduga terjadi karena peraturan yang ditetapkan pemerintah
daerah belum mengakomodir berbagai kepentingan stakeholders dalam
optimalisasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan menentukan secara jelas
zonasi pemanfatan yang spesifik berdasarkan zonasi potensi dan sumberdaya
ekosistem mangrove.
Pola pemanfaatan ekosistem mangrove yang selama ini dilakukan
masyarakat di Kabupaten Barru berbasis pada kepentingan individu atau
kelompok tertentu, baik dari pihak swasta maupun pemerintah dalam pemanfaatan
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, seperti : areal perburuan beberapa jenis
burung, penebangan hutan mangrove untuk baha n bangunan, konversi hutan
mangrove menjadi areal budidaya tambak dan pemukiman, dan mengeksploitasi
hutan mangrove untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Akibat dari kegiatan
tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan di wilayah pesisir dan lautan
khususnya di Kabupaten Barru. Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
masyarakat tersebut yang cenderung melakukan pengrusakan, yaitu timbulnya
kerusakan ekosistem yang tidak terkendali. Mengingat fungsi ekologi ekosistem
mangrove dan stabilitas ekosistem pesisir Kabupaten Barru, maka sangat
diperlukan suatu penelitian tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara
terpadu dan berkelanjutan untuk menentukan pendekatan kebijakan pemanfaatan
ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru.

Penelitian atau kajian ilmiah tentang kebijakan pengelolaan dan


pemanfaatan ekosistem mangrove sudah sering dilakukan jauh sebelum Instruksi
Menteri Pertanian nomor 13 tahun 1975, tentang pembinaan kelestarian hutan
4

mangrove. Kajian ilmiah tentang kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan


ekosistem mangrove yang telah dilakukan selama ini, meliputi : (1) kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove secara nasional dengan pendekatan
komprehe nsif kuantitatif, (2) kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan
pendekatan ekologi- ekonomi secara kualitatif/statistik ekologi, (3) kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan zonasi dan potensi dengan
alat bantu GIS (geography information system) dan Inderaja (peninderaan jarak
jauh), (4) analisis kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan
pendekatan Analytical Hierarchy Process, (5) kebijakan pengelolaan ekosistem
mangrove dengan pendekatan SWOT dan AHP. Sedangkan pada kajian ini,
akan dilakukan dengan mengadopsi dan meramu beberapa metode tersebut di atas
menjadi suatu bentuk metode analisis yang bersifat komprehensif korelasional,
untuk menentukan suatu bentuk kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove
secara spesifik di Kabupaten Barru dan diharapkan dapat diadopsi di daerah lain
yang mempunyai kondisi dan kemiripan ekosistem mangrove yang relatif sama.

1.2 Perumusan Masalah


Kabupaten Barru masih memiliki ekosistem mangrove yang cukup stabil,
walaupun telah banyak mengalami degradasi yang cukup berat akibat
pemanfaatan lahan yang tidak terencana dan terkendali. Pada bagian daratan
dijumpai perkampungan penduduk, perkebunan dan pertambakan, sedangkan
pada bagian pantai dan laut dijumpai adanya ekosistem mangrove, ekosistem
padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Kondisi inilah yang sangat
membutuhkan perhatian dari seluruh stakeholders agar kelestarian dan kestabilan
ketiga ekosistem dapat dipertahankan, karena kerusakan salah satu ekosistem di
daerah pantai akan mempengaruhi ekosistem lainnya, misalnya terjadi
pengrusakan pada ekosistem mangrove maka jelas akan ikut mempengaruh
kestabilan ekosistem padang lamun dan terumbu karang, sehingga ekosistem
mangrove memegang peranan yang sangat penting khususnya di wilayah pesisir
dan laut.
Dewasa ini masyarakat sudah mulai melakukan pemanfaatan ekosistem
mangrove melalui konversi hutan mangrove menjadi tambak dan eksploitasi hutan
mangrove untuk kayu bakar, arang, alat tangkap, media budidaya, dan bahan
bangunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial dan desakan ekonomi
5

masyarakat yang cenderung ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya tanpa


menghiraukan kelestarian ekosistem. Oleh karena itu sebelum ekosistem
mangrove mengalami kerusakan yang cukup parah, maka sejak dini perlu
dilakukan pendekatan kepada masyarakat, pemerintah, maupun kelompok lainnya
yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut,
agar ekosistem tetap terjaga dan terpelihara pada suatu tatanan ekologis
(Gambar 1). Apabila tidak ada upaya antisifasi dan alternatif kebijakan
pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru atau sebaliknya, maka
ancaman yang akan terjadi yaitu : (1) ancaman yang ditemukan terhadap
ekosistem mangrove di lokasi penelitian yaitu : peningkatan konversi hutan
mangrove menjadi tambak, peningkatan konversi mangrove menjadi pemukiman,
penebangan liar untuk bahan bangunan, kayu bakar, sarana budidaya dan
penangkapan meningkat, kerusakan ekosistem mangrove dan ancaman terhadap
hilangnya habitat berbagai jenis organisme, (2) ancaman terhadap garis pantai
yaitu : terjadinya peningkatan abrasi di pesisir barat Kabupaten Barru, semakin
luas daratan utama akan mengalami degradasi dan berkurang, sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai, mengakibatkan kerusakan pada
ekosistem padang lamun dan terumbu karang, terjadinya intrusi (perembesan) air
laut ke daratan utama dan berkurangnya persedian air tanah, (3) ancaman terhadap
organisme (fauna) yang berasosiasi, hilangnya spesies organisme seperti : ikan
glodok (Periopthalmus spp), ikan baronang (Siganus sp), hilangnya spesies
burung yang seperti : burung bangau (Ciconiidae), hilangnya spesies mamalia
seperti : kelelawar (Pteropus spp), kelimpahan, keanekaragaman, distribusi
organisme menurun.
Sedangkan keuntungan yang diperoleh dalam pemanfaatan ekosistem
mangrove oleh stakeholders selama ini dapat diidentifikasi sebagai berikut : (1)
keuntungan pemanfaatan ekosistem mangrove yaitu : tercapainya kawasan
pendidikan untuk laboratorium alam, kawasan konservasi, kawasan pemukiman
tertata rapih, kawasan wisata bahari untuk rekreasi, pemanc ingan, menikmati
kicauan burung, naik perahu, dan berjalan diantara pohon mangrove, kawasan
budidaya untuk budidaya tambak ramah lingkungan (silvofishery), empan parit,
dan keramba apung di luar kawasan ekosistem mangrove, penebangan liar dapat
6

ditekan dan dihindari, dan pemanfaatan ekosistem mangrove tetap dalam


pengawasan dan kontrol pemerintah, sehingga tidak terjadi over eksploitasi.
Berdasakan data yang tersedia baik survei di lapangan maupun hasil dari
beberapa penelitian, menunjukkan bahwa Kabupaten Barru masih memiliki
kondisi perairan yang baik dan ekosistem mangrove yang cukup stabil. Untuk
dapat mempertahankan hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu analisis secara
integral yang berbasis pada kondisi ekosistem mangrove dan sosial ekonomi
masyarakat, sehingga dapat menentukan kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove. Kondisi ini dapat dicapai dengan melakukan pendekatan kepada
masyarakat, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah agar
menggunakan suatu strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove berbasis
pada parameter ekologi mangrove, biofisik lingkungan dan sosial ekonomi. Oleh
karena itu ada beberapa permasalahan yang harus diselesaikan dalam rangka
pencapaian dan aktualisasi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove sebaga i
berikut :
a. Apakah sumberdaya ekosistem mangrove yang telah dieksploitasi oleh
stakeholders masih dalam kondisi yang stabil, bila ditinjau dari aspek ekologi
dan sosial ekonomi ?
b. Bagaimana tingkat degradasi dan eksploitasi ekosistem mangrove yang
dilakukan oleh stakeholders terutama masyarakat ditinjau dari aspek ekologi
dan biofisik lingkungan ?
c. Sejauhmana pendekatan kelayakan kawasan seraca spesifik dilakukan dalam
rangka pemanfaatan ekosistem mangrove ?
d. Apakah implementasi kebijakan pengelolaan dan zonasi pemanfaatan
ekosistem mangrove tidak optimal, sehingga diperlukan strategi dan prioritas
pemanfaatan untuk menyusun kebijakan yang sesuai dengan kondisi ekologis
mangrove dan sosial ekonomi masyarakat ?
7

Kebijakan Pemanfaatan
Ekosistem Mangrove

Budaya / perilaku dan Tingkat


persepsi masyarakat kesejahteraan

• Proses pengumpula dan • Proses pengumpulan data secara


analisis data secara parsial partisivatif dengan analisis data
• Tidak mencermnkan Lama Baru/Solusi secara terpadu dan komprehensif
keterpaduan pemanfaatan • Metodologi digunakan secara
• Zonasi pemanfaatan tidak komprehensif korelasional
jelas (akumulasi beberapa metode)
• Kebijakan ini sifatnya • Zonasi pemanfaatan secara terpadu
Top-down dan tidak antara sektor
partisivatif • Kebijakan sifatnya Top-down dan
Butom-Up

Pola pemanfaatan yang Pemanfaatan yang benar


salah (tidak optimal) (optimal dan terpadu)

Potensi Sumberdaya
Mangrove yang tersedia

Degradasi ekosistem Pemanfaatan potensi


mangrove sumberdaya ekosistem
mangrove berkelanjutan

Gambar 1. Diagram permasalahan pemanfaatan ekosistem mangrove.

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan
a. Mengetahui kondisi ekosistem, perilaku dan interaksi masyarakat terhadap
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru.
b. Untuk mengetahui tingkat degradasi dan eksploitasi ekosistem mangrove
berdasarkan kondisi ekologis dan sosial ekonomi.
c. Untuk membuat zonasi pemanfaatan secara spesifik ekosistem mangrove
berdasarkan klasifikasi potensi dan sumberdaya mangrove.
d. Merekomendasikan konsep kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove
secara terpadu dan berkelanjutan (sustainable) di Kabupaten Barru.
8

1.3.2 Manfaat
a. Memberikan informasi dan pengetahuan bagi stakeholders dalam
pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan
berkelajutan.
b. Untuk mengembangkan strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan dan teknologi.
c. Dapat memformulasikan suatu bentuk kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian difokuskan pada strategi pemanfaatan ekosistem
mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, sehingga parameter ekosistem
mangrove yang akan di ukur dibatasi pada :
a. Parameter sumberdaya mangrove yaitu : Kerapatan jenis dan kerapatan
relatif jenis mangrove, penutupan jenis dan penutupan relatif jenis,
frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis, dan indeks nilai penting.
b. Parameter biofisik yaitu : Biodivesrsity organisme yang berasosiasi,
geomorpologi pantai, iklim, curah hujan, angin, pasang surut, gelombang
dan arus, suhu, salinitas, oksigen terlarut, nutrien (N dan P), pH, Eh, dan
substrat.
c. Parameter sosial ekonomi yaitu : Data demografi, aksesibilitas, sarana dan
prasaran, kependudukan, pekerjaan, dan tingkat kesejahteraan) yang
dikumpulkan melalui data primer dan data sekunder.
9

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan analisis yaitu : (1)


analisis ekosistem mangrove dan analisis sosial ekonomi, (2) analisis
kesesuaian lahan, dan (3) analisis SWOT dan AHP seperti yang disajikan pada
Gambar 2.

I
Analisis SDA Ekosistem Mangrove
Analisis Sosial Masyarakat
Analisis Valuasi Ekonomi

IV
KEBIJAKAN PEMANFAATAN
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
TERPADU BERKELANJUTAN

II III
Analisis Kesesuian Lahan Analisis Prioritas
utk Pemanfaatan Mangrove Pemanfaatan Mangrove
(Software Arcview ver 3.2) (A’WOT)

Gambar 2. Tahapan analisis penelitian kebijakan pemanfaatan ekosistem


mangrove

1.5 Hipotesis
Pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan secara berkesinambungan,
seharusnya dilakukan dengan pendekatan integral dari berbagai aspek, termasuk
aspek ekologi, sosial, dan aspek ekonomi. Ketiga aspek tersebut saling terkait dan
mempengaruhi satu dengan lainnya, apabila dalam pemanfaatan wilayah pesisir
khususnya ekosistem mangrove yang mengutamakan aspek ekologi, maka
keseimbangan ekosistem berjalan dengan baik, akan tetapi disisi lain
kemungkinan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat terganggu. Oleh karena itu
diperlukan adanya suatu konsep pemanfaatan yang dapat meramu dan
mempertemukan ketiga aspek tersebut, sehingga kondisi sosial ekonomi
masyarakat bertumbuh dengan baik, demikian pula ekosistem tetap terpelihara.
Hal ini dapat terealisasi apabila :
10

a. Sumberdaya ekosistem mangrove secara ekologi dan sosial ekonomi telah


mengalami gangguan dan penurunan stabilitas ekosistem akibat perilaku dan
interaksi stakeholders dalam pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak
terkendali.
b. Degradasi dan eksploitasi hutan mangrove di lokasi penelitian cenderung
mengalami peningkatan berdasarkan indikator ekologis dan biofisik
lingkungan, sehingga areal hutan mangrove akan mengalami tekanan yang
memungkinkan hilangnya kawasan jalur hijau.
c. Potensi ekosistem mangrove ditinjau dari aspek kelayakan ekologis dan
sosial ekonomi masyarakat, maka ekosistem mangrove di lokasi penelitian
dapat dimanfaatkan untuk kawasan : konservasi, budidaya, pariwisata pantai,
pelabuhan, industri dan areal penangkapan.
d. Dari hasil integrasi analisis ekologis, sosial ekonomi, SWOT, dan AHP yang
digunakan dalam penelitian ini, maka ditemukan beberapa alternatif, strategi
dan prioritas kegiatan yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru.
11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove


Beberapa ahli mendefinisikan istilah ”mangrove” secara berbeda-beda,
namun pada dasarnya merujuk pada pengertian yang sama. Tomlinson (1986) dan
Wightman (1989) mendefinisikan mangrove sebagai vegetasi yang terdapat di
daerah pasang surut sebagai suatu komunitas. Hutan pasang surut atau hutan
payau lebih dikenal dengan nama hutan mangrove merupakan vegetasi yang
tumbuh sangat dipengaruhi oleh kadar garam serta adanya aliran sungai yang
berair tawar, sehingga pada umumnya hutan mangrove berada di muara - muara
sungai di tepi pantai yang cukup terlindung oleh hempasan gelombang dan angin
laut yang deras (Darsidi 1984). Definisi lain diberikan oleh Soerianegara (1987),
bahwa hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada tanah berlumpur
aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
dengan beberapa genera atau spesies yaitu Avicennia sp, Sonneratia sp,
Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Lumnitzera sp, Excoecaria sp,
Xylocarpus sp, Aegicveras sp, Scyphyphora dan Nypa sp.
Menurut Nybakken (1988) hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi
pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove
umumnya tumbuh pada daerah intertidal dengan genangan air secara berkala dan
menerima pasokan air tawar yang cukup. Hutan mangrove sering juga disebut
sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Akan
tetapi, mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk hutan pantai. Hutan
mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai dan
muara sungai dipengaruhi oleh pasang surut (Bengen 2002).

2.2 Komposisi Jenis Mangrove


Menurut Kartadinata et al. (1977) vegetasi hutan mangrove mencakup 88
spesies terdiri dari 37 famili, dari sekian banyak vegetasi yang dimiliki hutan
mangrove hanya ada 34 spesies dan 14 famili yang berbentuk pohon. Hutan
mangrove kususnya di Sulawesi Selatan umumnya dijumpai 19 jenis pohon
mangrove utama yaitu : Avicennia alba, A. marina, A. Officinalis, Lumnicera
littorea, L. rasemosa, Exocoecaria agallocha, Xylocarpus granatum, X.
12

moluccensis, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Bruguiera


cylindrical, B. gymnorrhiza, B. farvaiflora, B. sezangula, Ceriops tagal,
Sonneratia alba, S. caseolaris, dan S. ovata (Whitten 1988). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (2003) di Kabupaten Barru
telah ditemukan 4 jenis mangrove yaitu : Rhizophora apiculata, R. mucronata,
Avicennia officinalis, dan Bruguiera sp. dengan pola zonasi campuran.

2.3 Zonasi Mangrove


Zonasi adalah kondisi dimana kumpulan vegetasi yang saling berdekatan
mempunyai sifat atau tidak ada sama sekali jenis yang sama walaupun tumbuh
dalam lingkungan yang sama dimana dapat terjadi perubahan lingkungan yang
dapat mengakibatkan perubahan nyata di antara kumpulan vegetasi. Selanjutnya
perubahan vegetasi tersebut dapat terjadi pada batas yang jelas atau tidak jelas
atau bisa terjadi bersama – sama (Anwar et al. 1984).
Menurut Aksornkoae (1993) berdasarkan sifat – sifat serta lokasi
ditemukanya mangrove, maka definisi dari mangrove yang umum diterima adalah
vegetasi holopit yang tumbuh di daerah pasang surut sepanjang areal pantai, dan
satu - satunya sistem makrofit laut yang memiliki areal biomassa yang terhampar
mulai dari daerah tropis sampai daerah subtropis. Bengen (2002) menyatakan
bahwa hutan mangrove tumbuh dengan membentuk zonasi ke arah darat. Salah
satu tipe zona si di Indonesia diketahui terdiri dari Avicennia spp pada daerah yang
paling luar dengan substrat agak berpasir, Avicennia spp biasanya berassosiasi
dengan Sonneratia spp. Zona berikutnya adalah Rhizophora spp, Bruguiera spp
dan pada zona transisi hutan darat dan laut, banyak ditumbuhi oleh Nypa fruticans
(Gambar 3). Selanjutnya hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai
tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas
vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan subtidal yang cukup
mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar, serta arus pasang surut
yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk
yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2001).
Faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi hutan mangrove yaitu : sifat
13

tanah, salinitas, frekuensi genangan oleh pasang surut, dan ketahanan suatu jenis
terhadap terpaan gelombang dan arus (Anwar et al. 1984).

Gambar 3. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove yang umum ditemukan di
Indonesia (Bengen 2002).

2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove


Berdasarkan Kusmana (2003) bahwa fungsi hutan mangrove dibagi atas tiga
yaitu : (a) fungsi fisik, dapat melindungi lingkungan pengaruh oseanografi (pasang
surut, arus, angin topan, dan gelombang), mengendalikan abrasi, dan mencegah
intrusi air laut ke darat; (b) fungsi biologi, sangat berkaitan dengan perikanan
yaitu sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding
ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) dari beberapa jenis ikan,
udang dan merupakan pensuplay unsur – unsur hara utama di pantai khususnya
daerah lamun dan terumbu karang; (c) fungsi ekonomi, sebagai sumber kayu kelas
satu, bubur kayu, bahan kertas, chips, dan arang. Ekosistem mangrove
merupakan suatu ekosistem peralihan antara daratan dan lautan yang menjadi
matarantai yang sangat penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi
di sua tu perairan, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan,
berbagai biota laut la innya, dan juga merupakan habitat satwa seperti burung,
primata, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis dan ekonomis dapat
dimanfaatkan untuk peningktan kesejahtraan manusia (Sugandhy 1993).
Menurut Anwar et al. (1984) fungsi dan manfaat hutan mangrove dibagi
kedalam tiga golongan besar yaitu : (1) secara fisik, dapat menjaga kestabilan
garis pantai, mempercepat perluasan lahan, melindungi pantai dari tebing sungai,
14

dan mengolah bahan limbah, (2) secara biologis, merupakan tempat pemijahan
dan pembesaran benih – benih ikan, udang dan kerang – kerangan, tempat
bersarang dan mencari makan burung – burung, dan habitat alami bagi
kebanyakan biota, (3) secara ekonomi, merupakan salah satu daerah pesisir yang
cocok untuk tambak, tempat pembuatan garam, rekreasi, dan produksi kayu.
Sedangkan Sumana (1985) membagi fungsi dan manfaat hutan mangrove sebagai
berikut : (1) secara fisik ekologi, secara fisik hutan mangrove merupakan
pelindung hutan daratan yang banyak dihuni oleh berbagai jenis biota perairan
serta beberapa jenis satwa. Zona pesisir bervegetasi hutan mangrove bagi
daratan, merupakan filter intrusi air laut dan polusi industri yang mengeluarkan
limbah ol gam berat yang dapat menggagu kehidupan masyarakat manusia dan
hewan. Vegetasi mangrove dengan tajuk dan perakarannya yang khas, secara
fisik mampu menahan dan melindungi daratan dari pengaruh gelombang, arus air
dan angin yang dapat menyebabkan topan, banjir dan erosi daratan, (2) secara
biologis, dalam sistem mata rantai makanan hutan mangrove merupakan produsen
primer, energi hidup melalui serasah dihasilkannya, serasah mangrove yang telah
mengalami proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme akan
menghasilkan detritus dan berbagai jenis fitoplankton yang akan dimangsa oleh
konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan, dan krustacea (udang,
kepiting, kerang – kerangan), selanjutnya manusia sebagai konsumer utama, (3)
secara sosial ekonomi, hasil hutan mangrove berupa kayu digunakan untuk
keperluan industri chips, pull, kertas, penyamak kulit, bahan bangunan, dan arang.
Ekspor kayu di wilayah hutan mangrove cukup memberikan andil dalam
perolehan devisa negara walaupun hanya ada dua spesies saja yang memenuhi
selera konsumen yaitu : Rhizophora spp dan Bruguiera spp.
Soejarwo (1978) menyatakan bahwa vegetasi mangrove dapat berfungsi
sebagai pendaur ulang hara tanah yang dibutuhkan oleh tanaman, penelitian di
Florida menyebutkankan bahwa sekitar 90 % kotoran dari hutan mangrove dapat
menghasilkan sekitar 35 % – 60 % unsur hara yang terlarut di pantai. Selanjutnya
Helald (1971) menyatakan bahwa daun bakau (Rhizophora spp) pada awal
pertumbuhannya mengandung protein sekitar 3.1 % dan setelah satu tahun
meningkat menjadi 21 %. Kadar N (nitrogen) daun kering mangrove, sekitar
0.55 % dan diperkirakan setelah satu tahun meningkat menjadi 47 kg N
15

(Brotonegoro dan Abdulkadir 1978). Sedangkan Lugo dan Suhendar (1974)


melaporkan bahwa dalam satu hektar lahan mangrove dapat menghasilkan serasah
sekitar 7.1 – 8.8 ton per tahun, produksi serasah tersebut dapat meningkatkan
produktivitas perairan dan produksi perikanan mengingat fungsi mangrove
sebagai tempat bertelur, pemijahan dan mencari makan bagi kebanyakan
organisme perairan, juga membuka peluang adanya pengembangan pertambakan
ikan, udang, kepiting bagi pengusaha dan masyarakat yang bermuara pada
peningkatan devisa negara sektor non- migas.

2.5 Pengelolaan dan Pemanfaatan ekosistem Mangrove


Menurut Bengen (2001) pengembangan dan kegiatan insident il yang
mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan
pemanfaatan sebagai berikut : (a) memelihara dasar dan karakter substrat hutan
dan saluran-saluran air, proses - proses seperti sedimentasi berlebihan, erosi,
pengendapan sampai perubahan sifat kimiawi (kesuburan) harus dapat dihindari,
(b) menjaga kelangsungan pola-pola alamiah, skema aktivitas sirkulasi pasut dan
limpasan air tawar, (c) memelihara pola-pola temporal dan spasial alami dari
salinitas air permukaan dan air tanah, pengurangan air tawar akibat perubahan
aliran, pengambilan atau pemompaan air tanah seharusnya tidak dilakukan apabila
menggagu keseimbangan salinitas di lingkungan pesisir, (d) menetapkan batas
maksimum seluruh hasil panen yang dapat diproduksi, (e) pada daerah yang
mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya, harus memliki
rencana penanggulangannya, (f) menghindari semua kegiatan yang
mengakibatkan pengurangan areal mangrove.

2.6 Penyebab Kerusakan Mangrove


Menurut Giesen et al. (1991) lua s areal mangrove di Sulawesi Selatan
dilaporkan sekitar 34.000 hektar, namun sebagian dari areal tersebut telah
terganggu dan dalam proses negosiasi untuk dijadikan tambak, sehingga
diperkirakan bahwa jumlah areal mangrove yang belum terganggu sekitar 23.000
hektar. Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh dua faktor
utama yaitu secara alami dan buatan manusia, proses alami seperti badai topan
dapat merusak dan memporak – porandakan ekosistem mangrove, sedangkan
kerusakan ekosistem hutan mangrove akibat campur tangan manusia erat
16

kaitannya dengan konversi lahan mangrove menjadi tambak dan penebangan


untuk pemanfaatan kayu dari hutan mangrove (Nybakken 1988).

2.7 Faktor – Faktor Lingkungan


Walter (1971) me nyatakan bahwa ada tiga faktor lingkungan yang penting
dalam menentukan mintakat hutan mangrove yang terus – menerus
mempengaruhi perubahan, persaingan, dan kepadatan individu yaitu : frekuensi
dan lamanya genangan air pasang, komposisi tanah atau substrat (berpasir atau
berlumpur), salinitas atau tingkat percampuran air tawar dan konsentrasi air payau
di muara sungai.
Pola pertumbuhan mangrove termasuk didalamnya struktur, fungsi,
komposisi dan distribusi spesies yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove
tersebut sangat tergantung pada faktor lingkungan diantaranya : fisiografi pantai,
iklim (cahaya, musim, dan suhu), pasang surut, gelombang dan arus, salinitas,
oksigen terlarut (disolved oxygen), tanah, nutrien, dan proteksi (Kusmana 2003).

2.8 Hubungan Sumberdaya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi


Pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan,
pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka merealisasikan tiga tujuan, yaitu : (1)
kualitas hutan atau kualitas lingkungan, (2) pertumbuhan ekonomi, (3) hubungan
sosial masyarakat atau kepedulian generasi. Ketiga parameter tersebut merupakan
kunci pertumbuhan ekonomi masyarakat yang baik dan tetap dalam koridor tata
lingkungan atau hutan yang stabil. Tujuan ekologis atau pemanfaatan kualitas
lingkungan adalah untuk memulihkan, melindungi, dan meningkatkan kualitas
sumberdaya alam yang tersedia dengan pendekatan ekologis, tujuan ekonomi
adalah untuk mengoptimalkan pendapatan nasional khususnya dalam perolehan
barang dan jasa lingkungan, sedangkan tujuan Sosial atau kepedulian antara
generasi adalah untuk meyakinkan bahwa keberadaan dan produktifitas
sumberdaya alam harus dipertahankan dari generasi ke ganerasi berikutnya
(Ruitenbeek 1991). Selanjutnya disarankan bahwa penggunaan beberapa bentuk
analisis ekonomi, yang terpenting yaitu mampu menyatukan hubungan komponen
– komponen dari faktor ekologis secara keseluruhan. Hal ini penting di dalam
memberikan informasi pengambilan kebijakan pengelolaan atau pemanfaatan
sumberdaya secara optimal.
17

2.9 Konsep Pengukuran Nilai Ekonomi Hutan Mangrove


Konsep dasar penilaian ekonomi (economic valuation) sumberdaya alam
termasuk ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh sumberdaya alam itu
sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi ekologi sumberdaya mangrove antara lain
sebagai stabilitas garis pantai, menahan sedimen, perlindungan habitat dan
keanekaragaman, produktifitas biomassa, sumber plasma nutfah, rekreasi dan
wisata, memancing, serta produk – produk hutan lainnya. Nilai ekonomi atau
total nilai ekonomi (TNE) hutan mangrove secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu : (1) nilai penggunaan (use value) dan (2) nilai
intristik (non-use- value), selanjutnya nilai penggunaan (use value) tersebut di atas
dapat diuraikan lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct value), nilai
penggunaan tidak langsung (in-dircet value). Sedangkan nilai intristik (non-use-
value) diuraikan menjadi nilai pilihan (option value) dan nilai keberadaan
(existence values) (Gambar 4).
Nilai penggunaan secara ekonomi berhub ungan dengan nilai, dimana
masyarakat memanfaatkannya atau berharap akan memanfaatkan dimasa yang
akan datang. Nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang langsung
dapat dikonsumsi oleh masyarakat misalnya : makanan, biomas, kesehatan,
rekreasi. Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung diperoleh dari manfaat jasa
– jasa lingkungan sebagai pendukung aliran produksi dan konsumsi, misalnya
hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari badai, gelombang, dan abrasi.
Nilai pilihan berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan dimasa yang akan datang,
kesediaan membayar untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem
yang berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh masyarakat
dimasa yang akan datang. Nilai intristik ada dua yaitu : nilai warisan (bequest
value) dan nilai keberadaan (existence value). Nilai warisan berhubungan dengan
kesediaan membayar untuk melindungi manfaat lingkungan bagi generasi yang
akan datang, jadi merupakan potensi penggunaan. Sedangkan nilai keberadaan,
muncul karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya meskipun tidak ada
keinginan untuk memanfaatkannya.
Teknik penilaian manfaat didasarkan pada kesediaan konsumen membayar
perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran
kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar.
18

Manfaat dari suatu barang dan jasa mempunyai nilai yang sama dengan kesediaan
penduduk untuk membayarnya WTP (willingness to pay), dalam menilai
lingkungan harus dilihat dari fungsi kerusakan marginal yang menunjukkan
perubahan penderita kerusakan oleh orang lain dari ekosistem ketika terjadi
perubahan dalam lingkungan tersebut. Pemikiran harus dalam kerangka yang luas
karena perubahan lingkungan hutan mangrove akan banyak berdampak kepada
masyarakat sekitar, baik berupa dampak fisik, dampak degradasi lingkungan
mangrove, dan kualitas estetika. Apabila ingin dilihat WTP dari masyarakat maka
akan dapat digambarkannya dalam kurva permintaan (demand), dimana gabungan
dari beberapa permintaan merupakan total WTP.
Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti : penebangan untuk
kayu bakar, bahan bangunan, pengambilan kulit mangrove untuk pembuatan
bahan pengawet jaring, dan untuk keperluan lainnya oleh masyarakat khususnya
nelayan secara belebihan. Kondisi dari perilaku masyarakat tersebut berdampak
pada kondisi hutan mangrove yang semakain kritis baik dari segi kuantitas dan
kualitas, demikian pula dengan areal mangrove yang semakin berkurang, dimana
pada gilirannya berdampak kepada menurunnya kualitas lingkungan dan kualitas
sumberdaya pesisir.

Total Economoic Values

Uses Values Non-Use-Values

Direct Use Inderect Option Existence


Values Use Values Values Values

Outputs : Benefits : Benefits : Benefits :


- Kayu bakar Nilai dari Sumber
- Ikan Penyedia pakan Biodiversity daya alam yang
- Kepiting Penahan abrasi menjadi asset untuk
- Kerang Penampung sedimen generasi mendatang
- Bibit Mangrove

Gambar 4. Nilai total ekonomi mangrove (Bann 1998).


19

2.10 Perencanaan dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Terpadu


Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor perencanaan
pembangunan dalam kaitannya dengan pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan.
Perencanaan terpadu lebih merupakan upayah secara terperogram untuk mencapai
tujuan dengan mengharmoniskan dan mengoptimalkan berbagai kepentingan
untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan
ekonomi. Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan
pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi : pengumpulan dan
analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen
et al.1984). Sedangkan Dahuri et al. (1996) menyarangkan agar keterpaduan
perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk di pesisir dan lautan,
dilakukan pada ketiga tataran yaitu : tataran teknis, konsultatif, dan koordinasi.
Pada tataran teknis, semua pertimbangan teknis, ekonomi sosial dan lingkungan
secara proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pembanguanan
sumberdaya pesisir dan lautan. Pada tatanan konsultatif, segenap aspirasi dan
kebutuhan pihak-pihak yang terlibat ataupun yang terkena dampak pembangunan
di wilayah pesisir hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai tahap
pelaksanaan. Sedangkan pada tataran koordinasi, disyaratkan perlunya kejasama
yang harmonis antara stakeholders (pemerintah, swasta, dan masyarakat).
Berdasarkan Djojobroto (1998), daerah pesisir Indonesia berbeda-beda
menurut kondisi geografis dan kependudukan. Oleh karena itu, tujuan dan
keadaan lokal juga berbeda sehingga setiap rencana akan memerlukan perlakuan
yang berbeda. Namun demikian suatu urutan yang terdiri dari 10 tahap dapat
direkomendasikan sebagai suatu pedoman perencanaan. Tiap tahap mewakili
suatu kegiatan spesifik atau suatu rangkaian kegiatan yang hasilnya memberikan
informasi untuk tahap-tahap berikut : (1) tentukan sasaran dan kerangka acuan, (2)
aturlah pekerjaan, (3) analisis kesulitan yang ada, (4) identifikasi kesempatan
untuk perubahan, (5) evaluasi kemampuan sumberdaya, (6) penilaian alternatif,
(7) ambil pilihan yang paling baik, (8) siapkan rencana, (9) implementasi, (10)
penentuan revisi rencana. Kesepuluh tahapan ini meringkaskan proses
perencanaan yang menggambarkan langkah- langkah yang terlibat dalam
perencanaan zona pesisir secara terpadu.
20

Pemanfaatan wilayah pesisir secara terpadu merupakan pendekatan


pemanfaatan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan
pemanfaatan secara terpadu, agar tercapai tujuan pembangunan wilayah pesisir
secara berkelanjutan (sustainable), sehingga keterpaduaannya mengandung tiga
dimensi yaitu : dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri
et al. 1996). Keterpaduan sektor diartikan sebagai perlunya koordinasi tugas,
wewenang dan tanggungjawab antara sektor atau instansi pemerintah pada tingkat
pemerintah tertentu (horizontal integration) dan antara tingkat pemerintah mulai
tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi sampai tingkat pusat (vertical
integration). Didasari kenyataan bahwa wilayah pesisir terdiri dari sistem sosial
dan alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis, maka pemanfaatan wilayah
pesisir mensyaratkan adanya pendekatan interdisiplin ilmu yang melibatkan
bidang ilmu antara lain sebagai berikut : ilmu ekologi, ekonomi, teknik, sosiologi,
hukum, dan lainnya yang terkait. Karena wilayah pesisir terdiri dari berbagai
ekosistem (mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria dan lain- lain) yang saling
terkait satu sama lain, disamping itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh berbagai
kegiatan manusia, proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland
areas) maupun laut lepas, kondisi ini mensyaratkan bahwa PWPLT (pemanfaatan
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu) harus memperhatikan keterkaitan
ekologis tersebut.

2.11 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berkelanjutan


Ada empat alasan pokok mengapa pemerintah dan bangsa Indonesia
membuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif dengan menjadikan matra
laut sebagai sektor tersendiri di dalam GBHN 1993 (Dahuri et al. 1996) yaitu :
pertama, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas 17.508
pulau dengan garis pantai 81.000 km, luas laut kurang lebih 3.1 juta km2 atau
sekitar 62 % dari luas teritorialnya. Mengacu pada UNCLOS (united nations
convention on the law of the sea 1982), Indonesia berhak memanfaatkan zona
ekonomi ekslusif seluas 2.7 juta km2 untuk kegiatan eksploitasi, eksplorasi dan
pemanfaatan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian, maupun yuridiksi
mendirikan instalasi atau pulau buatan; kedua, dengan semakin menipisnya
sumberdaya alam di daratan karena kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk
21

yang semakin meningkat, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan


harapan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional dimasa mendatang;
ketiga, dengan adanya pergeseran kegiatan ekonomi global dari poros Eropa
Atlantik ke poros Asia Pasifik yang diikuti dengan perdagangan bebas dunia pada
tahun 2020, maka kekayaan sumberdaya kelautan Indonesia, khususnya di
kawasan timur Indonesia, menjadi asset nasional dengan keunggulan komparatif
yang harus dimanfaatkan secara optimal; dan keempat, dalam kerangka menuju
industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan merupakan prioritas utama bagi pusat
kegiatan pengembangan industri, pariwisata, agribisnis, agroindustri, pemukiman,
transportasi, dan pelabuhan.
Di balik prospek di atas, pengalaman pembangunan sumberdaya pesisir dan
lautan dalam PJP I umumnya mengarah ke suatu pola yang merusak daya dukung
lingkungan dan tidak berkesinambungan (unsustainable). Sistem multifungsi
yang tidak terencana dengan baik telah menunjukkan kemunduran mutu
lingkungan wilayah pesisir dan lautan, konflik kepentingan antara kegiatan
maupun sektor, pencemaran dan over eksploitasi sumberdaya. Tidak adanya
integrasi dan koordinasi perencanaan masing- masing sektor mengakibatkan tidak
tercapainya tujuan pembangunan secara optimal dan terganggunya fungsi utama
di perairan tersebut. Menyadari adanya karakteristik dan dinamika alamiah
ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu dengan
lainnya, demikian pula dengan ekosistem lahan atas, serta keanekaragaman
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang
pada umumnya terdapat pada suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan
bahwa pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan
berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistic
(menyeluruh).
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa
menurunkan atau mengahancurkan kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhannya (WCED 1987 dalam Satriago 1996). Berdasar dari
definisi tersebut di atas, maka pembangunan suatu kawasan, mulai dari desa,
kabupaten / kota, provinsi, negara, sampai dunia atau suatu ekosistem,
pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur atau dimensi utama yang
22

meliputi dimensi ekonomi / efisien serta layak, ekologi / lestari (ramah


lingkungan), dan sosial / adil (Dahuri 2003; Harris and Goodwin 2002).
Selanjutnya Susilo (2003) menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu konsep pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia
untuk menyelamatkan kehidupan di bumi agar tidak mudah hancur, konsep ini
berlaku untuk seluruh sektor pembangunan baik di daratan maupun di lautan,
konsep ini sifatnya multidisiplin yang mempertimbangkan aspek ekologi,
ekonomi, sosial budaya, dan aspek politik.

2.12 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang mengungkapkan
berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan
informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan, sehingga dapat
dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah- masalah
publik (Dunn 1994). Sebagai disiplin ilmu terapan, kebijakan dapat diharapkan
untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal melalui
tiga bentuk pertanyaan berikut : (1) nilai yang mencapainya merupakan tolok ukur
utama untuk melihat apakah masalah telah selesai, (2) fakta yang keberadaanya
dapat membatasi atau meningkatkan nilai- nilai, dan (3) tindakan penerapannya
yang menghasilkan pencapaian nilai- nilai.
Dunn (1994) mengemukakan bahwa kebijakan pada dasarnya terdiri dari
tiga elemen yaitu : (1) kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian
pilihan yang saling berhubungan termasuk keputusan – keputusan untuk tidak
bertindak yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah, selanjutnya
diaplikasikan di berbagai bidang termasuk kebijakan lingkungan hidup. Definisi
dan formulasi masalah kebijakan sangat tergantung dari keterlibatan para pelaku
kebijakan (policy stakeholders), yaitu individu atau kelempok yang mempunyai
andil di dalam formulasi kebijakan, karena mereka berpengaruh dan dipengaruhi
oleh keputusan atau kebijakan pemerintah, (2) kebijakan lingkungan (policy
environment) merupakan konteks khusus dimana kejadian – kejadian di sekeliling
isu – isu kebijakan terjadi dapat berpengaruh dan dipengaruhi oleh pembuat
kebijakan publik, (3) kebijakan operasional (policy operation) yang didasarkan
pada suatu pijakan landasan kerja, yang merupakan dasar dari kebijakan yang
23

ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan atau
pengambilan keputusan.
Analisis kebijakan mengandung dua kata yaitu analisis dan kebijakan.
Analisis adalah suatu pekerjaan intelektual untuk memperoleh pengertian dan
pemahaman, sedangkan kebijakan adalah suatu upayah atau tindakan untuk
mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu dalam
analisis pekerjaan intelektual tersebut merupakan suatu proses memilah dan
mengelompokkan obyek kedalam bagian yang lebih rinci sehingga diperoleh
pengetahuan tentang ciri dan cara kerja dari obyek tersebut. Di lain pihak dalam
kebijakan upaya atau tindakan tersebut bersifat peka untuk mempengaruhi kerja
sebuah sistem, oleh karena sasarannya mempengaruhi sistem maka tindakan
tersebut bersifat strategis yaitu bersifat jangka panjang dan menyeluruh
(Muhammadi et al. 2001).
Menurut Dunn (1994) proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas
intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan pada dasarnya bersifat politis,
aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan kemudian
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap dan saling bergantung menurut urutan
waktu, yaitu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Tabel 1).
24

Tabel 1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan.

Fase Karakteristik Ilustrasi


Penyusunan Para pejabat yang dipilih dan Legistrator negara dan kosponsornya
Agenda diangkat menempatkan masalah menyiapkan rancangan undang-
pada agenda publik. Banyak undang, mengirimkan ke komisi
masalah tidak disentuh sementara kesehatan dan kesejahteraan untuk
lainnya ditunda. dipelajari dan disetujui, rancangan
berhenti di komite dan tidak terpilih.

Formulasi Para pejabat merumuskan Peradilan negara bagian


Kebijakan alternatif kebijakan untuk mempertimbangkan pelarangan tes
mengatasi masalah. Alternatif kemampuan standar seperti SAT
kebijakan melihat perlunya dengan alasan bahwa tes tersebut
membuat perintah eksekutif, cenderung bias terhadap perempuan
keputusan peradilan, dan tindakan dan minoritas.
legislatif.
Adopsi kebijakan Alternatif kebijakan yang diadopsi Dalam keputusan Mahkamah Agung
dengan dukungan dari mayoritas pada kasus Roe V Wade tercapai
legislatif, konsensus di antara keputusan manyoritas, bahwa wanita
direktur lembaga, atau keputusan mempunyai hak untuk mengakhiri
peradilan. kehamilan melalui aborsi.

Implementasi Kebijakan yang telah diambil, Bagian keuangan kota mengangkat


Kebijakan akan dilaksanakan oleh unit-unit pegawai untuk mendukung peraturan
administrasi yang baru tentang penarikan pajak kepada
memobilisasikan sumberdaya rumah sakit yang tidak lagi memiliki
finansial dan manusia. status pengecualian pajak.

Penilaian/Evaluasi Unit-unit pemeriksaan dan Kantor akuntansi memantau program-


Kebijakan akuntansi dalam pemerintahan, program kesejahteraan sosial, seperti
menentukan apakah badan-badan bantuan untuk keluarga dengan anak
eksekutif, legislatif, dan peradilan tanggungan (AFDC) untuk
memenuhi persyaratan undang- menentukan luasnya penyimpangan /
undang dalam pembuatan korupsi.
kebijakan dan pencapaian tujuan.

Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan


kebijakan pada satu, beberapa, atau seluruh tahap proses pembuatan kebijakan,
tergantung dari tipe masalahnya. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan
secara kritis, menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan dalam satu tahap proses pembuatan kebijakan, hubungan antara analisis
kebijakan dengan proses pembuatan kebijakan dapat dilihat pada Gambar 5.
25

ANALISIS PEMBUATAN
KEBIJAKAN KEBIJAKAN

Perumusan Penyusunan
Masalah Agenda

Formulasi
Peramalan Kebijakan

Adopsi
Rekomendasi Kebijakan

Implementasi
Pemantauan Kebijakan

Evaluasi Evaluasi
Kebijakan

Gambar 5. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan proses pembuatan


kebijakan.

Menurut Dunn (1994) perumusan masalah dapat memasok pengetahuan


yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi - asumsi yang
mendasari definisi masalah dan proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan
agenda, peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat
dari pengambilan alternatif yang seharusnya dilakukan dalam proses formulasi
kebijakan, rekomendasi merupakan tahap yang dapat membuahkan pengetahuan
yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari alternatif yang
telah diestimasi untuk masa mendatang, pemantauan atau monitoring merupakan
penyedian pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari
kebijakan yang akan diambil sebelumnya hal ini akan membantu pengambil
kebijakan pada tahap implementasi kebijakan, evaluasi merupakan penilaian
kembali yang dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang ketidak sesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan hasil
yang dicapai atau evaluasi dapat membantu pengambil kebijakan pada tahap
26

penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi dapat


menghasilkan kesimpulan dan penyelesaian masalah yang mendasari kebijakan.

2.13 Analisis SWOT


Analisis SWOT artinya didasarkan pada logika berpikir, yaitu kekuatan
(strength), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman
(threats), dari keempat komponen tersebut mengindikasikan bahwa sangat
berpengaruh dan dipengaruhi dalam proses pembuatan kebijakan, baik secara
internal maupun eksterna l, faktor internal yaitu : strength dan weaknesses,
sedangkan faktor eksternal yaitu opportunities dan threats. Analisis ini
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk menyusun keputusan
atau kebijakan (Hunger et al. 1996 dan Rangkuti 1999).
Rangkuti (1999) mengemukakan bahwa elemen – elemen yang terkandung
dalam SWOT atau KKPA yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.
Faktor – faktor tersebut mempunyai nilai atau besaran konstribusi terhadap obyek
pengamatan yang ditentukan secara subyektif berdasarkan hasil analisis situasi
atau lingkungan. Nilai konstribusi masing – masing faktor diplotkan dalam suatu
diagram kartesius, dimana faktor internal (kekuatan dan kelemahan) sebagai absis
dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) sebagai ordinatnya. Hasil yang
ditunjukkan proses ploting tersebut, dapat memberikan gambaran terhadap
kebijakan strategis yang akan ditempuh. Strategi kebijakan itu sendiri merupakan
alat untuk mencapai tujuan baik jangka panjang, program tindak lanjut, serta
prioritas alokasi atau pemanfaatan sumberdaya.

2.14 Proses Hirarki Analisis (PHA)


Proses hirarki analisis atau the analitycal hierarchy process (AHP) adalah
salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel.
Metode ini berdasarkan pada pengalaman dan penilaian dari pelaku atau
pengambil keputusan. Metode AHP ini telah dikembangkan oleh Thomas L.
Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pitsburg Amerika Serikat pada
tahun 1970-an. PHA ini di desain untuk menangkap secara rasional persepsi
orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui
prosedur yang di desain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara
beberapa alternatif, terutama sekali untuk membantu mangambil keputusan untuk
27

menentukan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan


membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif
dibutuhkan untuk dipertimbangkan (Budiharsono 2003). Selanjutnya Saaty
(1991) menjelaskan bahwa pengamatan mendasar tentang sifat manusia,
pemikiran analitik, dan pengukuran membawa pada pengembangan suatu model
yang berguna untuk memecahkan persoalan secara kuantitatif. Proses hirarki
analisis adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi
perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan- gagasan dan
mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing- masing
dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. Proses ini juga
memungkinkan orang menguji kepekaan hasil terhadap perubahan informasi.
Saaty (1991) menyatakan bahwa kelebihan dari PHA ini yaitu merupakan
proses yang ampuh untuk menanggulangi berbagai persoalan politik, sosial
ekonomi yang kompleks, pengalokasian dan mengevaluasi sumberdaya alam,
dengan memasukkan pertimbanga n dan nilai- nilai pribadi secara logis. Proses ini
bergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hirarki
suatu masalah berdasarkan pada logika, intuisi, dan pengalaman untuk memberi
pertimbangan. Setelah diterima dan diikuti, PHA menunjukkan bagaimana
menghubungkan elemen-elemen dari satu bagian masalah dengan elemen-elemen
dari bagian yang lain untuk memperoleh hasil gabungan melalui proses :
identifikasi, memahami, dan menilai interaksi- interaksi dari suatu sistem secara
keseluruhan.
Metode PHA ini dapat membuat hipotesis dan mengujinya, penghalusan
hipotesis secara berangsur-angsur akan menambah pemahaman terhadap sistem.
Proses ini juga dapat menambah kerangka bagi partisipasi dan konstribusi
kelompok pada validasi hasil secara keseluruhan untuk mencapai pengambilan
keputusan atau pemecahan persoalan yang proporsional. PHA banyak diterapkan
pada persoalan-persoalan nyata dan terutama berguna untuk pengalokasian
sumberdaya, perencanaan, analisis pengaruh kebijakan, dan penyelasian konflik.
Saat ini PHA digunakan secara luas dalam perencanaan perusahaan, pemilihan
portofolio, analisis biaya dan manfaat, dan untuk mngevaluasi sumberdaya alam
bagi penanam modal (Saaty 1991).
28

Saat y (1991) me nge mukak a n t iga pr ins ip dasa r proses hirark i a na lit ik ya it u
: (1 ) Me ngga mbarka n da n me ngura ika n secara hir ark is, ya it u me meca h- meca h
persoa la n me njad i uns ur- uns ur te rp is a h, (2) pe mbed aa n pr io r itas da n s intes is ata u
pene tapa n pr io r itas, ya it u me ne nt uka n per ingka t e le me n- e le me n me nur ut re lat if
pent ingnya, (3 ) ko ns iste ns i lo gis, ya it u me nja min ba hwa se mua e le me n
dik e lo mpokk a n secara lo gis da n d ipe r ingka tka n secara ko ns ist e n ses ua i de nga n
sua t u kr iter ia lo gis.
Poerwowida gdo (2004) me nge mukaka n ba hwa ta hapa n das ar pe lak sa naa n
PHA s eba ga i be r ik ut : (1) Penentuan level dilaksanakan dengan memilah- milah
permasalahan dalam level- level secara hirarkis sesuai relevansinya. Level
pertama, yang tertinggi merupakan fokus atau sasaran menyeluruh, berjenjang
secara hirarkis ke level- level berikutnya sesuai faktor penentu yang relevan
dengan sasaran menyeluruh pada level 1, (2) pada model aslinya, Saaty
memberikan nilai numerik pada tiap level dengan perbandingan pasangan antar
faktor. Dengan proses matriks dan eigen value akan diperoleh bobot prioritas tiap
faktor terhadap kriteria di level atasnya (modifikasi terhadap metode dengan
menyederhanakan ‘pembobotan’ bertahap tak langsung), (3) untuk menguji
konsistensi pembandingan, digunakan alat uji Consistency Ratio yang diharapkan
kurang dari 0.1 (dengan modifikasi, rasio konsistensi tidak diperlukan).
Asumsi - asumsi yang dapat digunakan oleh AHP (Budiharsono 2003)
sebagai berikut : (1) harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan
tindakan atau penilaian yakni : 1, 2, . . . wn . yang nilainya positif, n adalah yang
terbatas, (b) responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas
untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atribut-atribut, (3) skala yang
dipergunakan tergantung dari pandangan responden dan situasi yang relevan,
walaupun demikian tetap mengikuti pendekatan AHP dipergunakan metode skala
Saaty, mulai dari menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya
sama-sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai
dengan sembilan yang menggambarkan satu atribut ekstrim penting terhadap
atribut lainnya.
Saaty (1991) mengemukakan bahwa keuntungan dalam menggunakan PHA
(proses hirarki analisis) sebagai alat untuk menganalisis suatu keputusan atau
kebijakan sebagai berikut :
29

1. Kesatuan : PHA memberi suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes
untuk aneka macam persoalan tak terstruktur.
2. Kompleksitas : PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan
berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks.
3. Konsistensi : PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan
yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
4. Saling ketergantungan : PHA dapat menangani saling ketergantungan elemen-
elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
5. Sintesis : PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan
setiap alternatif.
6. Pengukuran : PHA memberi suatu skala untuk mengukur variabel sehingga
terwujud suatu metode untuk menentukan atau menetapkan prioritas.
7. Pengulangan proses : PHA memungkinkan orang memperhalus definisi
mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian
mereka melalui pengulangan.
8. Penyusunan hirarki : PHA mencerminkan kecenderungan alami pemikiran
untuk memilah- milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat
yang berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
9. Penilaian dan konsensus : PHA tidak memaksakan konsensus tetapi
mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang
berbeda-beda.
10. Tawar menawar : PHA mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari
berbagai faktor dari sistem dan memungkinkan orang untuk memilih alternatif
terbaik berdasarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
30

2.15 Kerangka Pemikiran


Pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru masih dapat
dikategorikan sebagai suatu bentuk pemanfaatan yang bersifat konvensional dan
sangat dipengaruhi oleh budaya dan persepsi setempat, oleh karena stakeholders
belum mempunyai komitmen atau kesepakatan bersama dalam pemanfaatan
ekosistem mangrove secara terpadu dari setiap kegiatan yang direncanakan.
Perilaku masyarakat yang bersifat kovensional sesuai dengan budaya masyarakat
setempat memandang ekosistem mangrove sebagai suatu karunia yang harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin, tanpa memandang tingkat kerusakan dan
degradasi ekosistem mangrove itu sendiri. Kegiatan masyarakat dalam
pemanfaatan ekosistem mangrove umumnya dilakukan berdasarkan kepentingan
individu yang cenderung mengeksploitasi dan merusak ekosistem mangrove
untuk tujuan : penambahan areal pemukiman, areal budidaya, pengambilan kayu,
pembuangan sampah. Sedangkan stakeholders mempunyai kecenderungan
memanfaatkan dan mengelola ekosistem mangrove menjadi obyek wisata dan
areal industri, dimana saat ini telah berlangsung perburuan beberapa jenis burung
dan ikan di lingkungan hutan mangrove, kegiatan ini dilakukan tanpa adanya
prosedur dan aturan dari pemerintah, sehingga terjadi benturan kepentingan yang
pada akhirnya bermuara pada keinginan untuk mendapatkan keuntungan secara
ekonomi tanpa memperhatikan dampak secara ekologis. Hal tersebut terjadi
karena kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang
diadopsi dari pemerintah pusat kurang relevan dengan kebijakan yang seharusnya
diterapkan di lokasi studi. Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang nomon 22
tahun 1999, tentang otonomi daerah, maka pemerintah daerah sebagai pengambil
kebijakan (decision maker) seharusnya menggunakan hak otonomi tersebut untuk
mengadakan suatu bentuk kajian kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove
yang spesifik di lokasi studi melalui suatu bentuk penelitian ilmiah, sehingga
pemerintah daerah dapat menerapkan sutau bentuk kebijakan pemanfaatan
sumberdaya mangrove sebagai alternatif penyelesaian masalah pemanfaatan
ekosistem mangrove yang dinilai tidak efisien dan optimal.
Perilaku dan kebiasaan manyarakat dalam pemanfatan ekosistem mangrove
yang tidak didasari adanya data, informasi, dan perencanaan yang baik,
berpengaruh terhadap potensi ekosistem mangrove yang tidak termanfaatkan
31

secara optimal dan lestari, sehingga terjadi degradasi dan penurunan kualitas
lingkungan (ekosistem mangrove) tersebut. Untuk mendapatkan suatu strategi
pemanfaatan dan alternatif pemanfaatan yang bersifat holistik dan kompetitif,
maka dalam penelitian ini akan dilakukan pengambilan data sumberdaya
ekosistem mangrove untuk mengkaji stabilitas ekosistem mangrove, data sosial
ekonomi dari masyarakat dan instansi terkait untuk mengkaji dan menyusun
strategi kebijakan pemanfatan dari ekosistem mangrove secara terpadu
berkelanjutan.
Data sumberdaya mangrove, biofisik lingkungan, dan sosial ekonomi yang
telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan bantuan beberapa software,
selanjutnya akan dilakukan analisis dan interpretasi data untuk mendapatkan
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan
berkesinambungan yang siap diterapkan pada obyek kajian. Adapun output yang
dihasilkan dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut adalah rekomendasi kebijakan
pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan sustainable (Gambar 6).
Oleh karena itu dengan tersedianya pilihan-pilihan kebijakan dari hasil penelitian
ini diharapkan pemerintah daerah dapat menentukan suatu kebijakan pemanfaatan
ekosistem mangrove yang berbasis pada tatanan ekologi dan sosial ekonomi
masyarakat.
32

Kebijakan Pemanfaatan
Sumberdaya Ekosistem Mangrove
oleh stakeholders

Budaya, perilaku dan


persepsi masyarakat Tingkat kesejahtraan

Kerusakan dan Degradasi


Ekosistem Mangrove.

Sumberdaya Parameter Biofisik Dampak Sosial


Mangrove. Mangrove. Ekonomi

Analisis dan Prosesing Data


SWOT dan AHP (A’WOT)

GIS (Geography
Information System)

Pemilihan Kriteria Pemanfaatan


Ekosistem Mangrove

Strategi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


Terpadu Berkelanjutan.

Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem


Mangrove.
Feedbacd

Gambar 6. Skema kerangka pemikiran penelitian.


33

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai Agustus 2006.
Lokasi penelitian di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri dari empat
kecamatan yang ditumbuhi vegetasi mangrove, yaitu Kecamatan Mallusetasi,
Kecamatan Soppengriaja, Kecamatan Balusu, dan Kecamatan Barru (Gambar 7).
Sedangkan analisis data dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut dan
Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Jurusan Ilmu
Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Gambar 7. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan


34

3.2 Penentuan Stasiun

Penentuan stasiun pengamatan mengacu pada aspek ekologi hutan


mangrove dan bantuan Citra Satelit Landsat TM akuisisi 2002. Stasiun
pengamatan terdiri atas 4 stasiun berdasarkan jumlah kecamatan yang memiliki
vegetasi hutan mangrove, setiap stasiun dibagi menjadi 3 substasiun, ditentukan
secara purposive berdasarkan jenis, penutupan kanopi dan kondisi ekosistem
mangrove, dengan pembagian stasiun sebagai berikut : Stasiun I terletak di
Kecamatan Mallusetasi dengan luas mangrove sekitar 3.57 ha, stasiun II terletak
di Kecamatan Soppengriaja dengan luas sekitar 6.85 ha, stasiun III terletak di
Kecamatan Balusu dengan luas 96.37 ha, sedangkan stasiun IV terletak di
Kecamatan Barru dengan luas 6.23 ha. Selain itu, akan dilakukan sampling
terhadap masyarakat yang berdomisisli di sekitar ekosistem mangrove yang
bersentuhan langsung dengan pemanfaatan ekosistem mangrove dengan
menggunakan kuesioner.

3.3 Pengambilan Data


Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan
data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan melalui pengukuran
langsung di lapangan pada ekosistem mangrove, masyarakat yang berdomisili di
sekitar areal mangrove, instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten
Barru. Adapun metode atau teknik pengambilan data dapat dilakukan sebagai
berikut :

3.3.1 Pengambilan Data Mangrove


Pengambilan data ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan
metode transek yaitu membuat garis transek sepanjang 100 meter atau 500 meter
dengan lebar 10 meter sampai 20 meter, pada setiap transek yang telah dibentuk
pada masing–masing stasiun pengamatan, selanjutnya dibuat plot ukuran
bertingkat masing - masing 10 m x 10 m untuk tingkat pohon; 5 m x 5 m untuk
tingkat pancang/anakan ; dan 1 m x 1 m untuk tingkat semaian, kemudian dicatat
seluruh jenis dan jumlah pohon mangrove yang tumbuh dalam luasan plot
tersebut (English et al. 1994 dan Kusmana 1997), seperti yang disajikan pada
Gambar 8.
35

10 m c a c

a garis rintis
b

10 m

Keterangan :
Petak a : Sub-plot untuk semaian, ukuran 1 m x 1 m
Petak b : Sub-plot untuk pancang/anakan, ukuran 5 m x 5 m
Petak c : Sub-plot untuk pohon, ukuran 10 m x 10 m
Gambar 8. Bagan transek cuplikan vegetasi mangrove di lapangan.

3.3.2 Pengambilan Data Biofisik


Pengambilan data biodiversity organisme yang berasosiasi dengan
ekosistem mangrove (pada substrat, kolom air, akar, batang, dan daun mangrove)
akan dilakukan sampling berdasarkan petunjuk English et al. (1994) dan Kusmana
(1997). Sedangkan parameter seperti : suhu, salinitas, oksigen terlarut, nutrien (N
dan P), pH, Eh dan substrat disampling berdasarkan (English et al. 1994 dan
Hutagalung et al. 1997). Adapun data Geomorpologi pantai, iklim, curah hujan,
angin, pasang surut, gelombang dan arus dikumpulkan dalam bentuk data
sekunder yang diperoleh dari instansi terkait.

3.3.3 Pengambilan Data Sosial Ekonomi Masyarakat


Data dan informasi yang dikumpulkan bersifat deskriftif korelasional untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan seluruh fenomena dan fakta – fakta yang
terkait dengan objek kajian (Natzir 1999). Metode pengumpulan data sosial
ekonomi akan dilakukan dengan menggunakan teknik sampling non-probability
sampling terhadap para penentu kebijakan dan stakeholders lainnya. Penentuan
jumlah sampel dilakukan secara purposive atau teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu, metode ini bertujuan untuk mengetahui perilaku, interaksi
dan tingkat kesejahtraan populasi masyarakat di sekitar hutan mangrove dilakukan
dengan menggunakan kuesioner tertutup sebanyak 172 responden atau 10 % dari
jumlah 1.728 populasi. Sedangkan untuk kuesioner A’WOT bertujuan untuk
36

mengetahui peruntukan dan pemanfaatan ekosistem mangrove digunakan


kuesioner terbuka sebanyak 25 respoden yang ditentukan secara selektif, terdiri
dari Expert (orang yang ahli dan berpengalaman dalam pengelolaan ekosistem
mangrove), jumlah responden dapat dirinci sebagai berikut : dari pihak
pemerintah sebanyak 10 renponden; pihak perguruan tinggi sebayak 2 responden;
pihak LSM sebanyak 2 responden dan swasta yang terkait sebayak 2 responden;
tokoh masyarakat dan tokoh agama sebanyak 4 responden; masyarakat nelayan 5
responden (Gambar 9). Metode survei bertujuan untuk mengumpulkan data dari
sejumlah variabel pada suatu kelompok melalui wawancara langsung terhadap
responden dan tetap berpedoman pada daftar pertanyaan atau kuesioner yang telah
disusun (Saaty 1991; Singaribuan 1995 dan Sugiono 2003).

Populasi penduduk di
Lokasi Penelitian
(93.947 jiwa)

Expert (Ahli kebijakan Populasi Nelayan


mangrove) 25 responden (1.728 jiwa)

Pengambil Hasil Nelayan Tangkap Petani Ikan /Tambak Pengambil Satwa (15
Hutan (17 responden) (80 responden) (60 responden) responden)

Kayu (4), Arang (4) Ikan (6), Udang (6) Monokultur (12) Burung (2)
Bibit Mangrove (2) Kepiting (6), Kerang (2) Polikultur (6) Kelelawar (2)

Gambar 9. Skema rincian pengambilan sampel dari jumlah populasi

Sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi dan


lembaga yang terkait, seperti : kantor bupati kepala daerah tingkat II Barru, badan
perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) Kabupaten Barru, badan pusat
statistik (BPS) Kabupaten Barru, dinas eksplorasi laut dan perikanan Kabupaten
Barru, dinas kehutanan Kabupaten Barru, dinas pengendalian dampak lingkungan
Kabupaten Barru, kantor desa dan kecamatan pada setiap lokasi penelitian di
Kabupaten Barru.
37

3.4 Analisis Sampel


Sampel mangrove diidentifikasi berdasarkan buku petunjuk : Noor et al.
(1999) dan Soerianegara (1987), sedangkan sampel parameter lingkungan
perairan dianalisis berdasarkan (Hutagalung et al. 1997).

3.5 Analisis Data


Hasil survei, interpretasi dan evaluasi kebijakan yang telah dilakukan di
daerah penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan dan pemanfatan
ekosistem mangrove secara umum belum optimal dan belum menunjukkan
dampak positif terhadap kondisi mangrove dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Indikator penilaian yang diguna kan untuk mengevaluasi kebijakan
ekosistem meliputi : (a) tingkat kerusakan dan degradasi ekosistem mangrove,
dengan kriteria perubahan luasan areal mangrove, (b) optimalisasi kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan kriteria kuantitas
kegiatan, (c) pencapaian target dan penyelesaian masalah lingkungan dan sosial
ekonomi masyarakat, dengan kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan hasil evaluasi kebijakan tersebut, maka selanjutnya dilakukan
pengambilan dan analisis data ekologi, data sosial dan data ekonomi masyarakat
untuk mendukung penyusunan kebijakan yang relevan dengan kondisi lingkungan
dan masyarakat di lokasi penelitian. Dalam rangka penyusunan kerangka konsep
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut, maka dilakukan analisis
data secara komprehensif yang melibatkan analisis data ekologi hutan mangrove
dan data sosial ekonomi, selanjutnya akan dilakukan kroscek dengan tabel standar
kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem mangrove, sehingga diperoleh
jenis dan kegiatan pemanfaatan yang terbaik bagi stakeholders dalam rangka
pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut. Selanjutnya akan dilakukan analisis
SWOT (strengths weaknesses opportunities and threaths) dan AHP (analitical
hierarchy process) untuk menentukan kebijakan pema nfaatan ekosistem
mangrove yang sesuai di lokasi penelitian, sehingga didapatkan kebijakan
terbaik yang dapat diterapkan dan diimplementasikan di lokasi penelitian maupun
di daerah lainnya yang memiliki kondisi ekosistem dan sosial ekonomi
masyarakat ya ng sesuai. Adapun alur analisis data dalam penyelesaian penelitian
ini, dapat dilihat pada Gambar 10.
38

Kebijakan Pemerintah Daerah tentang


Pemanfaatan Ekosistem Mangrove saat ini

Survey dan Interpretasi Kebijakan Pemerintah


Daerah tentang Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
saat ini

Kriteria Penilaian :
Indikator Penilaian dari Aplikasi Kebijakan : Perubahan luas areal mangrove,
1. Tingkat kerusakan dan degradasi mangrove kuantitas kegiatan, tingkat
2. optimalisasi kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan mangrove kesejahteraan masyarakat.
3. pencapaian target dan penyelesaian masalah lingkungan dan sosial
ekonomi masyarakat.

Pengumpulan dan Analisis Data


Primer dan Sekunder

Analisis Data ekologi Analisis Data Ekonomi :


mangrove : kerapatan, Kondisis Ekosistem NML (Nilai Manfaat
frekuensi, penutupan jenis Langsung/direct use value)
dan NP.
Mangrove dan Sosial
Ekonomi Masyarakat

GIS (Geografis Parameter lingkungan /


Information hutan mangrove
System)
Analisis Kesesuaian untuk
Pemanfaatan Lahan Mangrove

Analisis A’WOT untuk Menentukan


Alternatif Kebijakan Terbaik

Analis is SWOT Analisis AHP untuk


untuk menentukan Memilih Alternatif
strategi kebijakan Pemanfaatan Terbaik

Strategi kebijakan pemanfaatan


ekosistem mangrove

Penentuan Kebijakan Pemanfaatan


Ekosistem Mangrove yang Baru

Gambar 10. Alur analisis data untuk menentukan kebijakan pemanfaatan


mangrove di Kabupaten Barru
39

3.5.1 Analisis Vegetasi Mangrove

Data vegetasi mangrove yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dianalisis


untuk mengetahui : kerapatan jenis dan penutupan jenis (Bengen 2002 dan
Kusmana 1997) dengan formulasi sebagai berikut :
1. Kerapatan Jenis i (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area
dengan rumus :

ni ni
Di = dan
RDi = X 100 %
A ?
n
dimana : Di = Kerapatan jenis i (Ind iv/m2 ), ni = Jumlah total tegakan jenis i,
A = Luas total area pengamatan sampel (m2 ), RDi = Kerapatan relatif Jenis i
(%), dan ∑ n = Jumlah total tegakan seluruh jenis
2. Frekuensi Jenis i (Fi) adalah peluang jenis i dalam plot, dapat dihitung dengan
rumus :
Pi Fi
dan RFi = X 100 %
Fi =
?p ?
F
Dimana, Fi = Frekuensi Jenis I, pi = Jumlah plot ditemukannya jenis I,
Σp = Jumlah total plot yang diamati, RFi = Frekuensi relatif jenis i (%),
ΣF = Jumlah frekuensi seluruh jenis.
3. Penutupan Jenis i (Ci) adalah Luas penutupan jenis i dalam plot yang dihitung
dengan rumus :
?BA Ci
dan RCi = X 100 %
Ci = ?
C
A

dimana: Ci= Penutupan jenis dalam satu unit area, A = Luas total plot (m2 ),
ΣC = Jumlah penutupan dari semua jenis, RCi = Penutupan relatif jenis i
(%), DBH = Lingkar batang (m), dimana : BA = π DBH2 / 4
4. Jumlah nilai Kerapatan relatif jenis (RDi), Frekuensi relatif jenis (RFi), dan
Penutupan relatif jenis (RCi) menunjukkan Nilai Penting Jenis (NPi) dengan
rumus :
NPi = RDi + RFi + RCi

dimana : nilai penting jenis mangrove berkisar antara 0 - 300 (Bengen 2002).
40

3.5.2 Analisis Organisme


Organisme yang hidup berasosiasi dengan vegetasi mangrove dianalisis
dengan menggunakan analisis Kelimpahan dan Keanekaragaman sebagai berikut :
1. Kelimpahan organisme dihitung dengan menggunakan persamaan yang
dikemukakan oleh Odum (1971) sebagai berikut :

10000
K = x ΣXi
nxa

dimana : K = Kelimpahan Organisme; Σ Xi = Total individu pada 5 sub plot


(ekor); n = Jumlah ulangan sub plot ( 5 kali ); a = Luas sub plot/luas bukaan
mulut Grab Sampler (20 x 20 = 400 cm2 ).

2. Keanekaragaman organisme atau biological diversity (biodiversity), dihitung


menggunakan persamaan Shannon Indeks (H’) oleh English et al. (1994);
Ludwig and Re ynolds (1998) dengan persamaan sebagai berikut :

S Ni Ni
H’ = - ? Ln
I=1 N N

dimana : Ni = jumlah individu pada spesies i; N = jumlah total individu


seluruh spesies.

3.5.3 Analisis Ekonomi


Data ekonomi sumberdaya mangrove yang diperoleh dari masyarakat
melalui kuesioner sebagai data primer dan data sekunder yang didapatkan dari
instansi terkait akan dianalisis untuk menentukan Nilai Manfaat Langsung yang
merupakan bagian dari total economic value oleh Borton (1994) dengan
persamaan sebagai berikut :
1. Nilai manfaat langsung (NML) atau direct use value (DUV) dihitung dengan
rumus berikut :

NML = ML Hi + ML Pi + ML Si + ML Ti + ML Wi +
41

dimana : ML = manfaat langsung; ML Hi = manfaat langsung hasil hutan (i =


1,2,3,4, 5… n) 1 = potensi kayu untuk bahan bangunan, 2 = ranting kayu
bakar, 3 = arang, 4 = daun nipah, dan 5 = bibit mangrove).
Sehingga :

n
ML Hi = ? Hi
i=1

ML Pi = manfaat langsung perikanan (i = 1,2,3,4 ... n) 1 = kepiting,


2 = udang, 3 = ikan, dan 4 = kerang.
Sehingga :

n
ML Pi = ? P i
i=1

ML Si = manfaat langsung hasil satwa (i = 1,2,3,4... n)1 = burung,


2 = biawak, 3 = kera, 4 = kroto.
Sehingga :
n
ML Si = ? S i
i=1

ML Wi = manfaat langsung sebagai habitat flora dan fauna untuk wisata


yang dapat diestimasi setara dengan nilai rupiah yang diperoleh dari
wisatawan.

3.5.4 Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi ke dalam Nilai Rupiah


Tahap kuantifikasi manfaat dilakukan setelah seluruh manfaat dan fungsi
ekosistem mangrove berhasil diidentifikasi. Adapun teknik kuatifikasi yang
digunakan yaitu :
a. Nilai pasar, digunakan untuk merupiahkan komoditas yang langsung dapat
dipasarkan, pendekatan ini terutama untuk menilai manfaat langsung
ekosistem mangrove seperti : hasil hutan, hasil perikanan, dan hasil satwa.
b. Harga tidak langsung, pendekatan ini digunakan bila mekanisme pasar gagal
memberikan nila terhadap komponen yang diteliti sebagai contoh misalnya :
komponen atau komoditas tersebut belum memiliki pasar dan cara seperti
ini digunakan untuk merupiahkan nilai manfaat tidal langsung bagi
ekosistem mangrove.
42

c. Contingent valuation method (metode penilaian menyeluruh), metode ini


digunakan untuk mengkuatifikasi manfaat dari keberadaan ekosistem
mangrove.

3.5.5 Kriteria Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


Berdasarkan hasil survei dan analisis data, maka disusun suatu matriks
kriteria ekobiologi untuk pemanfaatan secara spesifik ekosistem mangrove
disetiap lokasi penelitian, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian untuk
pemanfaatan lahan berdasarkan kriteria kesesuaian lahan yang merupakan standar
baku nasional.
Kriteria kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, didasarkan pada
empat kelas yaitu : (1) kelas S1 kategori sangat sesuai (higly suitable), lahan tidak
mempunyai pembatas yang kuat untuk suatu tujuan pemanfaatan tertentu secara
lestari atau hanya mempunyai pembatas yang lemah dan tidak berpengaruh secara
nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak menambah pengusahaan yang
baru terhadap lahan tersebut, (2) kelas S2 ketegoti sesuai (suitable), lahan
mempunyai pembatas agak kuat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari,
pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang
diperoleh serta meningkatkan masukan terhadap penguasaan lahan tersebut, (3)
kelas S3 kategori tidak sesuai saat ini (currently not suitable), lahan yang
mempunyai pembatas sangat kuat, akan tetapi masih dapat diatasi, artinya masih
dapat diolah dengan bantuan teknologi sehingga kelasnya dapat setingkat lebih
tinggi (kategori sesuai), (4) kelas N kategori tidak sesuai permanen (permanently
not suitable), lahan yang mempunyai pembatas sangat kuat/permanen, sehingga
tidak memungkinkan untuk digunakan. Matriks kesesuaian pemanfaatan lahan
ekosistem mangrove dapat di lihat pada Tabel 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Sedangkan
indeks ovelay (nilai indeks evaluasi kelayakan lahan) dapat ditentukan berdasarkan
dari nilai dan bobot setiap parameter biofisik lingkungan yang tertera dalam tabel
matriks kesesuaian pemanfaatan lahan pada masing – masing peruntukan, dapat
ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

∑ S iB i
S = i=1
n

∑ i=1
B i
43

dimana : S = Nilai Indeks Evaluasi Kelayakan


Si = Nilai Skor Parameter/Peta ke- i
Bi = Nilai Bobot Parameter/Peta ke- i
n = Jumlah Parameter/Peta

Tabel 2. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk.

No Parameter Bobot Kategori dan Skor


S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor
1 Kemiringan 3 3-8 4 8 – 15 3 0 -2 2 >16 1
lahan %
2 Ketersediaan 6 >20 4 15-20 3 10-15 2 <10 1
air tawar ltr/dt
3 Landuse 4 A 4 B 3 C 2 D 1

4 Jarak dari 3 >200 4 100-200 3 50-100 2 <50 1


pantai (m)
5 Drainase 4 Tdk 4 Tdk 3 Tdk 2 Tdk 1
tergena tergenang tergena terge
ng ng nang
6 Jarak dari 5 0-500 4 500-1000 3 >1000 2 1000 1
sarana dan
prasaran
penting (m )
Sumber : Haris 2003, Sugiarti 2000 (modifikasi)
Keterangan : A = pengembangan industri, perkotaan, dan sawah
B = kebun campuran, sawah, semak belukar, dan alang-alang
C = cadangan pengembangan, hutan produksi, rawa asin, dan rawa air tawar
D = hutan lindung, hutan suaka alam
Evaluasi Kelayakan : = 3.25 : Sangat Sesuai 1.75 – 2.5 : Sesuai Bersyarat
2.5 – 3.25 : Sesuai = 1.75 : Tidak Sesuai

Tabel 3. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi.

No Parameter Bobot Kategori dan Skor


S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Kemiringan 2 0 - 15 4 15 – 25 3 25- 40 2 >40 1


lahan ( %)
2 Vegetasi 3 Mangrove 4 Mangrove 3 Mangrove 2 belukar 1
3 Aspirasi 4 Sangat 4 Mendukun 3 Kurang 2 Tidak 1
masyarakat mendukun g mendukun mendukun
g g g
4 Jarak dari 3 <100 4 100-150 3 150-200 2 >200 1
pantai (m)
5 Salinitas air 3 30-32 4 32-34 3 30 & 34 2 <30&>34 1
(ppt)
6 Suhu air 3 29-30 4 30-33 3 28-29 2 <27 & >29 1
( oC)
Sumber : Soedarma 1992, (modifikasi)
Evaluasi Kelayakan : = 3.25 : Sangat Sesuai
2.5 – 3.25 : Sesuai
1.75 – 2.5 : Sesuai Bersyarat
= 1.75 : Tidak Sesuai
44

Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai kategori wisata
mangrove.
No Parameter Bobot Kategori dan Skor
S1 Skor S2 Skor N Skor
1 Kedalaman 2 0 -5 3 5 - 10 2 > 10 1
perairan (m)
2 Material dasar 3 Pasir 3 Karang 2 Lumpur 1
berpasir
3 Fisiografi pantai 3 Dataran 3 Delta pasut 2 Perbukita 1
pasut n
4 Amlitudo pasut 3 0,8-1 3 1-1,5 2 > 1,5 1
5 Kecepatan arus 5 10 – 13 3 3,8 - 10 2 < 3,8 1
(m/det)
6 Kecerahan 5 Tinggi 3 Sedang 2 Rendah 1
perairan (%) (>75) (50-75) (< 25)
7 Jarak dari pantai 4 < 100 3 100 - 200 2 > 200 1
(m)
8 Jarak dari sungai 3 < 500 3 500 - 2000 2 > 2000 1
(m)
9 Jarak dari 3 < 5000 3 2000 - 5000 2 < 2000 1
sumber
pencemar (m)
10 Obyek biota 3 Ikan, udang, 4 Ikan, udang, 2 Salah satu 1
kepiting kepiting biota air
moluska, moluska
reptile dan
burung
11 Ketebalan 5 >500 4 >200-500 3 >50-200 1
mangrove (m)
12 Penutupan lahan 6 Mangrove 3 Semak 2 Kelapa 1
pantai (vegetasi) belukar, lahan
savana terbuka.
Sumber : Poernomo 1992, Bakosurtanal 1996, Yulianda 2007 (modifikasi)
Evaluasi Kelayakan :
= 2.33 : Sangat Sesuai
1.67 – 2.33 : Sesuai
= 1.67 : Tidak Sesuai

Tabel 5. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan industri.

Kategori dan Skor


No Parameter
S1 S2 S3 N
1 Kemiringan (%) 3 -8 9 - 15 0 -2 > 16
2 Jenis tanah Katrt isol alluvial 2 Podsolik
3 Fisiografi pantai Dataran Dataran pasut Perbukitan Gambut/delta
4 Ketersediaan air tawar l/dtk >20 15 - 20 10 - 15 < 10
5 Drainase Sangat tidak Tidak tergenag Tergenang Tergenang
tergenang periodek permanen
6 Jarak dari jalan (m) 0 - 200 >200 - 500 > 500 -
7 Landuse Alang- Pemukiman, - Jalur hijau, hutan
alang,semak,hut perkebunan lindung, hutan
an, dan kebun campuran bakau, penyangga
campuran rawa.

Sumber : Poernomo 1992, Widigdo 2001 (modifikasi)


Evaluasi Kelayakan :
= 3.25 : Sangat Sesuai
2.5 – 3.25 : Sesuai
1.75 – 2.5 : Sesuai Bersyarat
= 1.75 : Tidak Sesuai
45

Tabel 6. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak.

No Parameter Bobot Kategori dan Skor

S1 Skor S2 Skor N Skor

1 Kemiringan (%) 4 0–2 3 2–8 2 >8 1


2 Jenis tanah 4 alluvial 3 alluvial 2 Podsolik 1
3 Fisiografi pantai 3 Dataran 3 Delta pasut 2 Perbukit 1
pasut an
4 Amlitudo pasut 3 0,8-1 3 1-1,5 2 > 1,5 1
5 PH 3 3 2 1
6 Salinitas (ppt) 4 15-25 3 25-35 2 > 35 1
o
7 Suhu air ( C) 4 3 2 1
8 Jarak dari sungai (m) 4 <2000 3 2000-4000 2 > 4000 1
9 Jarak dari jalan (m) 4 <1000 3 1000-2000 2 > 2000 1
10 Landuse 3 A 3 B 2 C 1
Sumber : Poernomo 1992, Widigdo 2001 (modifikasi)
Evaluasi Kelayakan : Keterangan :
= 2.33 : Sangat Sesuai A = rawa asin
1.67 – 2.33 : Sesuai B = cadangan pengembangan sawah, belukar, alang-alang
= 1.67 : Tidak Sesuai C = hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam,rawa
pengembangan industri, pengembangan perkotaan.

Tabel 7. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum.

No Parameter Kategori dan Skor

S1(skor 4) S2 (skor 3) S3( skor 2) N ( skor 1) Bobot

1. Kemiringan (%) 0-2 2–8 8 8 - 15 20


2. Kecepatan arus (m/det.) 0 - 20 21 - 30 31 - 40 > 40 20
3. Kedalaman perairan (m) > 15 12 - 15 10 - 12 < 10 15
4. Material dasar/sedimen Lempung Pasir berlumpurPasir berkarangKarang 15
berpasir
5. Tinggi gelombang 0 - 20 21 - 40 41 - 50 > 50 15
6. Keterlindungan Sangat Terlindung Semi Terbuka 10
terlindung tertutup
Sumber : Kramadibrata 1985 (modifikasi).
Evaluasi Kelayakan :
3,15 – 3,80 : Sangat Sesuai
2,50 – 3,15 : Sesuai
1,85 – 2,50 : Sesuai Bersyarat
1,20 – 1,85 : Tidak Sesuai
46

3.5.6 Analisis Spasial


Analisis data spasial untuk pemanfaatan ekosistem mangrove dilakukan
dengan menggunakan pengolahan data SIG (sistem informasi geografis). Menurut
(Barus dan Wiradisastra 2000) teknolo gi SIG merupakan suatu perangkat alat
untuk mengumpulkan, menyimpan, memproses kembali, mentransformasi, dan
menyajikan data spasial sesuai aspek-aspek di permukaan bumi. Dalam analisis
SIG menggunakan software ArcView GIS Versi 3.2 terhadap 6 jenis pilihan
kesesuaian lahan, yaitu : (1) konservasi, (2) pariwisata pantai, (3) budidaya
ikan/tambak, (4) pelabuhan umum, (5) pemukiman penduduk, dan (6) kawasan
industri. Adapun pekerjaan yang dilakukan SIG antara lain :

1. Akuisisi data, akuisisi data meliputi pengumpulan data-data yang diperlukan,


baik data yang berupa peta, data tabel, dan lain sebagainya. Data tersebut
meliputi : peta administrasi Kabupaten Barru, peta LPI lembar 2011-4 edisi
1993, data citra landsat ETM+ 12-09-2002, dan data survey lapangan 2004.

2. Penyusunan basis data digital, pekerjaan ini bertujuan untuk merubah data
analog yang berupa peta-peta di atas menjadi format digital. Selain itu juga
merubah data-data digital yang sudah tersedia menjadi format yang diinginkan,
sehingga terbentuk keseragaman format data digital.

3. Analisis, pekerjaan ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemanfaatan


lahan ekosistem mangrove dengan menggunakan metode tumpang susun
masing- masing data spasial dan atribut parameter-parameter kesesuaian.

Selanjutnya dilakukan proses digitalisasi untuk membentuk satu kesatuan


basis data tentang informasi tutupan lahan yang berbentuk peta digital, dibutuhkan
juga data pendamping lainnya sebagai bahan overlay untuk merumuskan analisis
tutupan lahan yang paling sesuai (Gambar 11). Hal- hal yang dilakukan dalam
penyusunan basis data digital meliputi : (1) ketersediaan dan kemampuan
perangkat keras dan perangkat lunak, (2) kelengkapan data, (3) penentuan
kodefikasi terhadap Unsur_id dari setiap feature, setiap informasi yang berbeda
harus mempunyai Unsur_id yang berbeda pula.
47

Gambar 11. Diagram alur penyusunan basis data

Digitasi dilakukan terhadap data berupa peta-peta yang masih dalam format
analog (kertas).

Editing dilakukan guna memperbaiki segala kesalahan-kesalahan yang terjadi


pada saat pendigitasian yang meliputi overshoot, undershoot, bentuk arc,
unsur_id, dan lain- lain.

Topologi, proses pembentukan topologi diperlukan agar terdapat hubungan antara


data spasial dan data tabular.

Input data tabular, dilakukan secara paralel dengan input data spasial, dimana
sebelumnya sudah terdapat kesesuaian kodefikasi yang jelas antara data spasial
dan data tabular, hal ini penting agar tidak terjadi miss-linked data.

Tagging, dilakukan untuk memberikan tanda atau atribut pada spasial agar dapat
link dengan data tabular. Hal yang harus diperhatikan pada saat tagging
kesesuaian kode yang telah dibuat pada saat persiapan.

Proyeksi/Tranformasi, proses ini berfungsi agar data spasial yang ada sesuai
dengan keadaan sesungguhnya di bumi (real world). Ada banyak sistem proyeksi
peta yang dapat diterapkan, tergantung dari wilayah cakupannya. Indonesia,
48

merujuk sistem proyeksi yang digunakan Bakosurtanal, yaitu sistem proyeksi


UTM (universal transverse mercator).

QC (quality control ), hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah masih terdapat
kesalahan-kesalahan yang bersifat prinsip, baik terhadap data spasial maupun
tabularnya, agar diperoleh hasil yang sebaik mungkin.

Proses terakhir yang dilakukan adalah overlay peta, proses overlay


penting dilakukan sehingga informasi yang didapatkan lebih tajam karena salah
satu keunggulan teknologi SIG adalah kemampuannya dalam melakukan analisis
spasial yaitu melalui proses overlay peta. Basis data dibentuk dari data spasial dan
data atribut, kemudian ditrasformasi menjadi bentuk layers atau coverage,
selanjutnya dilakukan proses untuk menghasilkan peta – peta tematik dalam
format digital sesuai kebutuhan dan kesesuaian pemanfaatan masing – masing
lahan. Setelah basis data terbentuk maka dilakukan analisis spasial dengan
metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk garis atau
poligon. Proses overlay dilakukan dengan menggabungkan masing – masing
layers untuk setiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian setiap kelas kesesuaian
pemanfaatan lahan dilakukan sesuai dengan indeks ovelay dari masing – masing
jenis kesesuaian lahan tersebut (Gambar 12).

Pemanfaatan
Ekosistem Mangrove

Gambar 12. Diagram alur metode analisis spasial


49

3.5.7 Analisis Penentuan Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


Kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove dianalisis dengan
menggunakan analisis SWOT (strengths weaknesses opportunities and threaths)
dan Software AHP (analitical hierarchy process), selanjutnya kedua analisis
tersebut dipadukan dengan menggunakan analisis A’WOT (Rangkuti 1999; Saaty
1991; dan Budiharsono 2003). Adapun prosedur analisis secara detail dapat
diuraikan sebagai berikut :

3.5.7.1 Analisis SWOT


Tahapan analisis SWOT yang digunakan dalam menganalisis data lebih
lanjut yaitu mengumpulkan semua informasi yang mempengaruhi ekosistem
mangrove, baik secara eksternal maupun secara internal. Pengumpulan data
merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis, pada tahap ini data
dapat dibagi dua yaitu : pertama data eksternal dan kedua data internal. Data
eksternal meliputi : peluang (opportunities) dan acaman (threaths) dapat
diperoleh dari lingkungan luar yang mempengaruhi kebijakan pemanfaatan
ekosistem mangrove. Sedangkan data internal meliputi : kekuatan (strengths) dan
kelemahan (weaknesses) diperoleh dari lingkunagan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan ekosistem mangrove. Tahapan pengumpulan data sampai pada tahap
analisis dapat dirinci pada Gambar 13.

Tahap Pengumpulan Data

Evaluasi Faktor Eksternal Evaluasi Faktor Internal Matrik Profil Kompetitif

Tahap Analisis Data

Matrik SWOT

Gambar 13. Rangkaian kerja analisis SWOT

Tahap analisis data untuk menyusun faktor- faktor strategi, diolah dalam
bentuk matriks SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
50

peluang dan ancaman eksternal yang kemungkinan muncul, demikian pula


penyesuaian dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks dapat
menghasilkan empat kemungkinan alternatif stategi secara detail (Tabel 8).

Tabel 8. Standar matriks kombinasi SWOT

IFAS Strengths (S) Weaknesses (W)

Tentukan 2 – 10 faktor- Tentukan 2 – 10 kekuatan


EFAS faktorkelemahan internal internal

Opportunities (O) Strategi (SO) Strategi (WO)


Tentukan 2 – 10 faktor- Ciptakan starategi yang Ciptakan strategis yang
faktor kelemahan menggunakan kekuatan meminimalkan
untuk memanfaatkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluag

Treaths (T) Strategis (ST) Strategi (WT)

Tentukan 2 – 10 faktor – Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang


faktor ancaman ekstarnal. menggunakan kekuatan meminimalkan
untuk menghindari kelemahan dan
ancaman menghidari ancaman

Sumber : Rangkuti (2000)

3.5.7.2 Proses Hirarki Analisis (PHA / AHP)

Saaty (1991) mengemukanan bahwa ikhtisar langkah- langkah PHA dalam


tahapan analisis data sebagai berikut :
1. De finis ika n persoa la n da n r inc i pe meca ha n ya ng d iinginka n ( ide nt ifik as i
s iste m).
2. Strukturkan hirarki dari sudut pandang manajerial menyeluruh dari tingkat
puncak sampai ke tingkat di mana dimungkinkan campur tangan untuk
memecahkan persoalan (penyusunan struktur hierarki).
3. Buat la h ma tr ik s ba nd ing berpa sa ng unt uk ko nt r ib us i ata s pe ngar uh se t iap
e le me n ya ng re le va n atas s et iap kr it er ia ya ng berp e ngar uh ya ng berada
set ingka t d iat as nya. Ba nd ingka n pas a nga n e le me n d i t iap t ingkat berda sarka n
51

acua n e le me n d i t ingka t atas nya me nggunaka n a ngka bulat me nunj ukka n


dominas i sa t u e le me n ter had ap e le me n la innya. Res ip roka lnya d i pa sa ng pada
e le me n s is i s ime tr is nya ( me mb uat mat r iks perba nd inga n / ko mpar as i
berpasa nga n (pa irwise comparison).
4. Dapatka n se mua pert imba nga n ya ng d ipe r luka n unt uk me nge mba ngka n
pera ngkat matr iks d i la ngka h 3 ( me nghit ung matr iks pe ndapa t ind ivid u).
5. Dat a ba nd ing berpasa ng d is us un da la m matr iks be sert a res iproka lnya, de nga n
entr i b ila nga n 1 pada d ia go na l mat r iks. Pr io r it as d ic ar i d a n ko ns iste ns i d iuj i
( me nghit ung pe ndapa t gab unga n).
6. Laksa naka n la ngka h 3, 4 da n 5 unt uk se mua t ingkat da n gugusa n da la m
hirark i te rseb ut (pe ngo la ha n ho r izo nta l).
7. Gunaka n ko mpos is i secara hir ark is (s int es is ) unt uk me mbobot vek tor- vek tor
pr ior itas it u de nga n bobot kr ite r ia- kr iter ia, da n j umla hk a n se mua e ntr i pr ior itas
terbobot ya ng be rsa ngk uta n de nga n e nt r i pr ior itas da r i t ingka t bawa h
ber ik ut nya, d a n set er us nya. Has ilnya ada la h vek tor pr ior itas me nye lur uh unt uk
t ingkat hira rk i pa ling ba wa h (pe ngo la ha n ver t ika l).
8. Evaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki dengan mengalikan setiap indeks
konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil
kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks
konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing- masing matriks. Dengan
cara yang sama setiap indeks konsistensi acak juga dibobot berdasarkan
prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Ratio
konsistensi harus sama atau kurang dari 10% (revisi pendapat).
Pendekatan yang digunakan sebagai kriterian penilaian PHA yaitu skala
banding secara berpasangan (skala Saaty) dengan kisaran mulai dari nilai bobot
1 sampai 9 Saaty (1991), dapat dilihat pada Tabel 9.
52

Tabel 9. Skala banding berpasangan oleh Saaty.

Intensitas Definisi Penjelasan


Pentingnya
1 Kedua elemen sama penting Sumbang peran dua elemen sama
besar pada sifat tersebut

Pengalaman dan pertimbangan


3 Elemen satu sedikit lebih penting sedikit menyokong satu
daripada yang lainnya. elemen atas yang lain

Pengalaman dan per timbangan


dengan kuat mendukung satu
5 Elemen satu sangat penting di elemen atas yang lain.
banding yang lain
Satu elemen dengan kuat
dominannya tlh terlihat dlm
praktek,
7 Elemen satu jela s lebih penting dari
elemen yang lain. Bukti menyokong kuat elemen
satu secara tegas lebih dominan.

9 Elemen satu mutlak lebih penting dari Kompromi diperlukan antara dua
elemen yang lain. pertimbangan.

2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dua pertimbangan


yang berdekatan.

Resiprokal/ Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan
Kebalikan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikan dari i

Vektor pembobotan elemen–elemen penelitian terdiri dari A1 , A2 , ..., An


yang dinyatakan sebagai vektor w, dimana w = (w1 , w2 , ..., wn ). Nilai intensitas
kepentingan elemen penelitian Ai dibandingkan Aj yang dinyatakan sebagai
perbandingan berpasangan Ai terhadap Aj atau wi / wj = Aij . Nilai wi / wj dimana
ij = 1, 2, …, wn , diperoleh dari para expert (stakeholders) yang memiliki
kemampuan, pengetahuan, dan kompotensi terhadap permasalahan ekosistem
mangrove. Jika hasil observasi disusun dalam bentuk matriks, kemudian
dikalikan dengan vektor kolom diperoleh hubungan sebagai berikut :
53

Aw = ?w ….………………………………………. (1)

Bila matrik A diketahui dan ingin diperoleh w, maka dapat deselesaikan melalui
persamaan berikut :

| A – ?I | w = 0 ……………………………………. (2)

dimana : I = matriks identitas


? = akar ciri

Selanjutnya dilakukan perhitungan akar ciri, vektor ciri, dan hasil yang
diperoleh tidak konsisten maka diulangi atau dikoreksi kembali. Untuk
mendapatkan (w) divalidasi dengan menggunakan rata-rata aritmetik/ geometrik,
selanjutnya dapat dihitung berdasarkan matriks berikut :

| A – ?I | = 0 ………………………………………. (3)

Sedangkan untuk mendapatkan niali vektor ciri (w) yang merupakan bobot
setiap elemen, untuk mensintesis judgement (pendapat) yang digunakan dalam
menentukan prioritas untuk mendapatkan akar ciri (?), sedangkan akar ciri
maksimum (? max ) diperoleh dari hasil perkalian vektor ciri yang mempunyai nilai
tertinggi melalui normalisasi matriks, yang disubtitusikan melalui persamaan 2
dan persamaan 3 di atas.
Langkah terakhir yang dilakukan yaitu perhitungan indeks konsistensi atau
Consistensi Indeks (CI), menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan
ukuran tentang tingkat konsisten suatu penilaian atau pembobotan perbandingan
berpasangan, dapat dihitung dengan persamaan berikut :

? max – n
CI = ………………………….. (4)
n - 1

dimana : ? max = akar ciri maksimum


n = banyaknya alternatif
54

nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk memenuhi konsistensi jawaban


dari responden (expert) yang sangat menentukan tingkat akurasi hasil. Untuk
mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu
diketahui rasio yang dianggap baik apabila nilai CR ≤ 0,1 dimana CR (consistensi
rasio), RI (random indeks) dengan rumus sebagai berikut :

CI
CR = ....………………………… (5)
RI

nilai RI (Random Indeks) ditentukan berdasarkan banyaknya alternatif (n)


mengikuti tabel yang dikeluarkan oleh Oarkridge Laboratory (Tabel 10).

Tabel 10. Standarisasi nilai Random Indeks (Budiharsono 2003 dan Saaty 1991)
n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

RI 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.54 1.56

3.5.7.3 Analisis A’WOT


Analisis A’WOT merupakan perpaduan antara SWOT dan AHP.
Penggunaan A’WOT diharapkan untuk mencapai proses penelusuran
permasalahan dan membantu pengambilan keputusan dengan strategi terbaik
melalui langkah berikut :
1. Sistematik dalam mengamati dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi
atau cara bertindak untuk mencapai tujuan atau kebijakan.
2. Membandingkan secara kuantitatif dari segi ekonomi, manfaat, dampak dari
setiap alternatif
3. Menentukan alternatif terbaik untuk diimplementasikan
4. Membuat strategi pemanfaatan ekosistem mangrove secara optimal dengan
menentukan atau menyusun prioritas kegiatan.
A’WOT dalam menentukan prioritas kebijakan dilakukan secara rasional
berdasarkan fakta dan persepsi responden (expert). Adapun tahapan hirarki dalam
analisis data, dapat dilihat pada Gambar 14.
55

Level 1 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


Fokus/Tujuan

Level 2
Kriteria
Strengths Weaknesses Opportunities Treaths

Level 3
Subkriteria
a b c d e f g h i j k l m n o p q

Level 4 Budidaya Wisata Pelabuhan


Alternatif Perumahan Konservasi Industri
Ikan Pantai Umum

Keterangan :

a. Keanekaragaman spesies pada hutan mangrove.


b. Potensi sumberdaya hutan mangrove belum dimanfaatkan secara optimal.
c. Kebijakan pemerintah daerah no. 23 tahun 2001, tentang kawasan mangrove sebagai kawasan lindung,
yang memungkinkan untuk dikelola dan dimanfaatkan.
d. Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat lokal masih cukup rendah tentang pengelolaan dan
pemanfaatan hutan mangrove secara lestari
e. Partisipasi dan kesadaran masyarakat masih relatif rendah terhadap fungsi dan pemanfaatan hutan
mangrove.
f. Penataan dan penggunaan ruang untuk pemanfaatan perlu diperjelas batasan dan peruntukannya agar
tidak terjadi alih fungsi lahan mangrove.
g. Low enforcement (rendahnya penegakan hukum) terhadap pelaku perusak hutan mangrove
h. Pengembangan mangrove menjadi kawasan konservasi, rehabilitasi, wisata bahari, ekowisata, dan
tambak.
i. Akses informasi dan sarana prasarana cukup baik untuk mendukung pengelolaan hutan mangrove.
j. Penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat.
k. Peningkatan pendapatan masyarakat dan PAD.
l. Adanya animo stakeholders untuk mengembangkan bentuk pengelolaan hutan mangrove
m. Kondisi hutan mangrove mempunyai daya dukung yang terbatas, sehingga dapat mengakibatkan
kerusakan lingkungan
n. Timbulnya Ego-sektoral yang memungkinkan terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan pesisir.
o. Pengelolaan hutan mangrove tidak sesuai dengan peruntukannya
p. Permintaan pasar domestik dan eksport.
q. Perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem mangrove mengakibatkan Laju konversi
ekosistem mangrove
Gambar 14. Proses hirarki A’WOT untuk penentuan prioritas kebijakan
56

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian


Kondisi fisik wilayah penelitian secara umum dapat digambarkan sebagai
berikut : secara administratif Kabupaten Barru adalah salah satu kabupaten yang
terdapat di Sulawesi Selatan dengan luas wilayah sekitar 1.174.72 km2 atau
sekitar 1.88 % dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, mempunyai wilayah
pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 65 km. Secara geografis Kabupaten
Barru terletak antara 119o 35' 00'' – 119o 37' 16'' Bujur Timur dan 04o 0.5' 49'' –
04o 47' 35'' Lintang Selatan, diapit dan dibatasi oleh beberapa kabupaten, yaitu
disebelah barat berbatasan langsung dengan Selat Makassar, sebelah selatan
Kabupaten Pangkep, sebelah timur Kabupaten Soppeng / Bone, dan disebelah
utara Kodya Pare – Pare (BPS 2003). Ditinjau dari sudut kemiringan lereng
Kabupaten Barru mempunyai kemiringan 0 % sampai lebih dari 40 %, yang
terdiri dari kemiringan 0 % – 15 % pada daerah dataran rendah dan pesisir pantai
dengan luas 31.105 ha (24.48 %), sedangkan daerah kemiringan lereng 15 % - 40
% dikategorikan sebagai daerah daratan pegunungan mempunyai luas sekitar
33.416 ha (28.45 %).

Tabel 11. Kondisi topografi dan kemiringan lereng Kabupaten Barru.

Kemiringan Lereng

Lereng (%) Kriteria Luas (ha) Persentase (%)


0 -3 datar 23.452 19.96
3 - 15 landai 7.653 6.51
15 - 40 terjal 52.951 45.08
> 40 sangat terjal 33.416 28.45
Jumlah 117.472 100.00

Ketinggian dari Permukaan Laut (MDPL)

Ketinggian (Mdpl) Luas (ha) Persentase (%)


0 - 25 19.271 16.40
25 - 100 18.146 15.45
100 - 500 56.589 48.17
500 - 1000 21.794 18.55
> 1000 1.672 1.43
Jumlah 117.472 100.00
Sumber : Bappeda (2000)
57

4.1.1 Batasan Wilayah Penelitian


Batasan wilayah penelitian secara adminstrasi Kabupaten Barru terdiri dari
4 kecamatan dan 13 desa / kelurahan khususnya daerah pantai yang bervegetasi
mangrove, luas wilayah penelitian berkisar 165.26 km (16.526 m) dengan panjang
garis pantai aktual 54.400 m dan panjang garis pantai potensial untuk ditumbuhi
mangrove sekitar 13.500 m yang terdiri dari : Kecamatan Mallusetasi mempunyai
luas wilayah 34.22 km2 (3.422 ha) dengan panjang pantai potensial untuk
pertumbuhan mangrove 3.500 m (3.5 km), Kecamatan Soppengriaja luas wilayah
47.33 km2 (4.733 ha) dengan panjang pantai potensial untuk pertumbuhan
mangrove 6.500 m (6.5 km) , Kecamatan Balusu luas wilayah 34.72 km2 (3.472
ha) dengan panjang pantai potensial untuk pertumbuhan mangrove 3.500 m (3.5
km), Kecamatan Barru 48.99 km2 (4.899 ha) dengan panjang pantai potensial
untuk pertumbuhan mangrove 5.050 m (5.05 km) , dengan sudut kemiringan
lereng berkisar 0 % - 3 % luas keseluruhan kawasan penelitian adalah 16.526 ha,
posisi masing – masing stasiun pengamatan ditentukan dengan global positioning
system (Tabel 11, 12 dan Lampiran 1).

Tabel 12. Stasiun pengamatan dan luas wilayah penelitian dirinci berdasarkan
kecamatan dan desa / kelurahan.

Kecamatan / Stasiun Desa / Kelurahan Luas Wilayah


2
km ha
Mallusetasi Bojo 20.37 2.037
I Cilellang 13.85 1.385
Sub-Total 34.22 3.422
Soppengriaja Batupute 6.80 680
II Siddo 8.80 880
Lawallu 6.10 610
Mangkoso 2.63 263
Ajakkan 23.00 2.300
Sub-Total 47.33 4.733
Balusu Takkalasi 13.80 1.380
III Lampoko 8.25 825
Madello 11.69 1.169
Pannikiang 980 98
Sub-Total 34.72 3.472
Barru Siawung 8.36 836
IV Mangempang 13.80 1.380
Coppo 26.83 2.683
Sub-Total 48.99 4.899
Total 165.26 16.526
Sumber : BPS (2004) dan data primer (2006).
58

4.1.2 Geologi dan Geomorfologi Pantai


Geologi merup akan gambaran tentang proses dan waktu pembentukan
batuan bumi atau batuan induk yang menyusun suatu wilayah, serta kemampuan
morfologi tanah seperti sesar, tebing, kaldera dan lain – lain. Daerah penelitian
secara geologi tersusun oleh beberapa jenis batuan, yaitu : batuan beku, batuan
sedimen, batuan metamorf, batuan aluvial dan batuan orgaik, jenis batuan
tersebut mengandung berbagai mineral dan terbentuk melalui proses dan waktu
geologi tersendiri. Menurut Munir (1996) dan Bappeda (2000), secara garis besar
batuan induk dikelompokkan menjadi 5 (lima) golongan, yaitu : (1) batuan beku
(egneus), terbentuk dari pembentukan dengan bahan baku antara lain : granit,
diorit, andesit, basalt dan grabo yang tersusun atas mineral primer seperti pasir
kuarsa, felspat, mineral berwarna kelam mencakup biotit, angina dan horm
blende, (2) batuan endapan (sedimentary rock), dihasilkan dari endapan perekatan
hasil – hasil penghancuran batuan lain, kemudian diendapkan di dasar laut atau
danau prasejarah, karena perubahan geologi endapan tersebut dapat menjadi suatu
massa yang padat berupa mineral sekunder, (3) batuan malihan atau batuan
metamorf (metamorphic rock), terbentuk dari metamorfosa atau perubaha n bentuk
mineral primer yang berasal dari batuan lain, perubahan tersebut terjadi akibat
dari perubahan tekanan atau suhu tinggi, contoh batuan gneiss, schist, kuarsit,
batu sabak (slate), dan marmer, (4) batuan aluvial (aluvium), tersusun dari batuan
aluvial di daerah daratan aluvial sungai, dataran aluvial pantai, dataran aluvial
lanan dan dataran aluvial vulkam, (5) batuan organik, berasal dari sisa – sisa
vegetasi rawa yang terdapat di daratan pantai berawa.
Kondisi geologi Kabupaten Barru dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
bagian timur terdiri dari rangkaian pegunungan yang tersusun dari endapan
gunung api tua, sedangkan di bagian barat atau pada bagian pantai dimana
penelitian ini dilakukan ditemukan penyebaran geologi didominasi oleh batu
gamping terumbu berlapis, sisipan batu gamping pasiran atau tufaan berbutir
halus sampai kasar, breksi, batu gamping, batu lempung, juga diselingi dengan
batuan beku terobosan bersifat ultra basa terutama peridotit. Penyebaran geologi
yang menyusun setiap kecamatan atau stasiun pengamatan (Tabel 13) .
59

Tabel 13. Penyebaran geologi Kabupaten Barru

KECAMATAN GEOLOGI
a B C d e f G
Tanete Rilau 3.348 2.976 - - 453 573 565
Barru 3.650 4.823 - 6.885 1.650 1.935 2.975
Tanete Riaja 11.235 7.380 11.235 8.785 9.574 - 246
Soppengriaja 4.358 2.675 - 536 9.537 - -
Mallusetasi 2.985 14.554 - 1.156 2.963 - -

Kab. Barru (ha) 25.576 32.408 11.235 17.362 24.177 2.508 3.785
Persentase (%) 21.77 27.59 9.56 14.78 20.85 2.13 3.22
Sumber : Bappeda dan LPPM-Unhas (2000)
Keterangan :
a = aluminium endapan pantai dan sungai, lumpur, lempung, lava dan kerikil.
b = seri dari endapan gunung api tua terdiri dari tufa buputia, halus sampai kasar, beraksi algomerat, lava dengan
endapan sisipan batu pasir atau lempung.
c = aliran lava basal, percikan oleh limpahan kandungan lensit.
d = batu gamping terumbu berlapis, berisi batu gamping pasiran atau taufan berbutir halus sampai kasar, breksi batu
gamping, nepal, batu lempung, tufa
e = batu sediment bersifat flis serta batuan sediment laut berselingan dengan batu gunung api terdiri dari batu pasir,
batu lava, batu lempung nepal
f = batuan beku bersifat basa, terutama batuan basal
g = batuan beku serobosan bersifat ultra basa, terutama peridesit

Secara geomorfologi daerah penelitian dibedakan atas 2 satuan bentuk


lahan, yaitu satuan dataran aluvial dan satuan pantai berkarang. Satuan dataran
aluvial merupakan daerah yang mempunyai kemiringan lereng 0 sampai 3 %,
dataran ini terbentuk oleh endapan aluvial yang pada umumnya satuan bentuk
lahan ini digunakan sebagai pertambakan dan pemukiman. Satuan pantai pada
umumnya landai dan tidak teratur, pada beberapa bagian pesisir pantai ditumbuhi
vegetasi mangrove dan sebagaian pantainya tidak ditumbuhi vegetasi.

4.1.3 Dinamika Pantai


Pasang surut merupakan peristiwa gerakan naik turunnya permukaan air laut
akibat gaya tarik bulan dan matahari terhadap permukaan bumi dengan bantuan
gaya sentripetal (gaya lempar bumi) dan ga ya sentripugal (gaya tarik bulan dan
matahari). Ketinggian permukaan air laut di belahan bumi tertentu sangat
ditentukan oleh posisi bulan dan matahari terhadap bumi, jika posisi bumi, bulan
dan matahari berada pada satu garis lurus maka terjadi pasang tertinggi di salah
satu sisi bumi, sedangkan pada sisi lainnya terjadi air surut. Pasang surut yang
terjadi di lokasi penelitian secara umum menunjukkan tipe pasang Semi-diurnal
campuran dominant harian artinya pasang surut terjadi dengan periode dua kali
pasang dan dua kali surut dalam sehari dengan ketinggian permukaan air yang
60

berbeda, tunggang pasang surut yang terjadi di lokasi penelitian berkisar antara 0
cm sampai dengan 159 cm (Tabel 14), tunggang pasang surut tersebut dapat
mencapai genangan air la ut ke wilayah pesisir pantai hingga ke arah daratan
melalui sungai – sungai, kondisi ini merupakan salah satu faktor yang mendukung
pertumbuhan mangrove dan ekstensifikasi pertambakan.
Gelombang merupakan suatu proses rambatan naik turunnya permukaan air
yang terjadi di pantai pada dasarnya dibangkitkan oleh angin. Mula- mula angin
membangkitkan ombak, kemudian ombak menepi ke pantai. Selama penjalaran
ombak menuju pantai yang membias akan membangkitkan arus susur pantai
(longshore current) atau arus tolak pantai (rip current), arus tersebut yang dapat
mengubah bentuk garis pantai, karena dapat menyebabkan angkutan sedimen
susur pantai (longshore transport) atau angkutan sedimen lintas pantai (cross-
shore transport).

Tabel 14. Kondisi parameter oseanografi di sekitar hutan mangrove di beberapa


kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru.

No Kecamatan Desa / Tipe Pasut Tunggang Tinggi Kecepatan Arah


Kelurahan Pasut Gelombang Arus Arus
(cm) (m) (m/det) N -Eo
1 Mallusetasi Bojo Semi-diurnal 0 – 159 0.51 – 1 0.02045 21
Cilellang campuran- 0 – 159 0.51 – 1
dominant -harian

2 Soppengriaja Batu Pute Semi-diurnal 0 – 159 0.51 – 1 0.05556 260


Siddo campuran- 0 – 159 0.51 – 1
Mangkoso dominant -harian 0 – 159 0.51 – 1
Ajjakang 0 – 159 0.51 – 1

3 Balusu Takkalasi Semi-diurnal 0 – 159 0.51 – 1 0.02347 24


Madello campuran- 0 – 159 0.51 – 1
P. Pannikiang dominant -harian 0 – 159 0.51 – 1

4 Barru Siawung Semi-diurnal 0 – 159 0.51 – 1 0.03572 27-60


Mangempang campuran- 0 – 159 0.51 – 1
Coppo dominant -harian 0 – 159 0.51 – 1

Sumber : Hasil Pengukuran (2006) dan Bappeda (2000)

Di sepanjang pantai daerah penelitian merupakan pantai yang semi terbuka


dan berhadapan dengan Selat Makassar sehingga pantai tersebut dapat dihempas
oleh ombak yang dibangkitkan oleh angin yang berhembus dari Selat Makassar.
Akibat hembusan angin musiman yang berganti setiap 6 bulan menyebabkan
pantai menerima hempasan ombak yang berubah - ubah sesuai dengan arah
61

hembusan angin, pada musim barat ombak terjadi sangat besar sehingga saat tiba
di pantai ombak tersebut akan menghempas dan melepaskan energi yang cukup
besar, menyebabkan kerusakan material pantai termasuk mangrove pasca
rehabilitasi yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini dinas kehutanan
bekerjasama dengan LMS (lembaga swadaya masyarakat) dan masyarakat lokal,
disisi lain tumbuhan mangrove dapat berfungsi sebagai penghalang untuk
meredam energi gelombang yang menghantam pantai.
Arus yang terukur di sekitar pantai umumnya arus pasang surut (tidal
current), sehingga pada saat pasang naik maka arah arus umumnya menuju ke
pantai, arus ini memungkinkan terjadinya arus susur pantai (longshore current)
dan arus tolak pantai (rip current). Arus pasang surut dibangkitkan oleh pasang
surut air laut yang terjadi di daerah sebelum ombak pecah, sedangkan arus susur
pantai dan tolak pantai dibangkitkan oleh ombak setelah pecah. Besar kecepatan
arus di sepanjang pantai daerah penelitian berkisar antara 0.02045 m/detik sampai
0.05556 m/detik, seperti disajikan pada Tabel 14. Kecepatan arus di lokasi
penelitian dapat digolongkan sebagai arus dengan kecepatan lemah, kondisi ini
terjadi karena pada saat pengukuran dilakukan tepat pada musim pancaroba
dimana angin sebagai pembangkit utama arus cukup tenang.

4.1.4 Parameter Lingkungan


Hasil pengukuran parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan ekosistem mangrove seperti : suhu, salinitas,
disolved oxygen (DO), substrat, pH, Eh, nitrat dan fosfat. Parameter - parameter
lingkunga n tersebut merupakan parameter kunci untuk menganalisis tingkat
kesesuaian pemanfaatan lahan. Secara umum kisaran parameter ekosistem
mangrove yang terukur di lapangan selama penelitian, yaitu : suhu udara 26.6 –
32 o C, suhu air 29 – 33 o C, salinitas 11 – 28 ‰, pH 7.20 – 8.11, dan DO atau
oksigen terlarut 2.08 – 8.48 ppm (Tabel 15). Sedangkan parameter lingkungan
yang memerlukan analisis laboratorium dari sampel yang diperoleh selama
penelitian dengan kisaran, sebagai berikut : nitrat (N-total) 0.10 – 0.14 %, fosfat
(P2 O5 ) 5.78 – 16.84 mg/100g, dan Eh 244.78 – 248.58 (Tabel 16).
62

Tabel 15 . Data hasil pengamatan kualitas air di sekitar ekosistem mangrove pada lokasi
penelitian

Stasuin/ Desa/ Suhu Udara Suhu air Salinitas DO


Kecamatan Kelurahan (o C) (o C) (‰) pH (ppm)
Bojo 30 32.7 28 8.11 1.44
I Cilellang
Mallusetasi 29.8 29.4 22 6.94 8.48
Batupute 28.8 29.9 25 7.71 3.36
II Siddo
31.3 30.5 20 7.2 3.36
Soppengriaja Mangkoso 26.6 30.3 27 7.66 3.36
Ajakkang 28.4 30.9 25 7.38 3.68
Takkalasi 32 32.9 11 7.75 4.8
III Madello
Balusu 31.3 30.7 20 7.20 2.08
Pannikiang 28.4 30.9 25 7.38 2.56
Siawung 29.9 30.4 25 7.42 2.72
IV Mangempang
Barru 31.8 32.7 20 7.56 5.06
Coppo 29-33 19.5 7.52 7.36
Sumber : Hasil pengukuran (2006)

Tekstur sediment yang diperoleh pada areal ekosistem mangrove di setiap


stasiun / kecamatan di Kabupaten Barru, yaitu : Kecamatan Mallusetasi jenis
sedimennya lupur berpasir dan pasir, Kecamatan Soppengriaja jenis sedimennya
lumpur berpasir dan pasir berlumpur, Kecamatan Balusu jenis sedimennya lumpur
berpasir, pasir berlumpur dan berpasir, sedangkan Kecamatan Barru jenis
sedimennya adalah lumpur berpasir dan pasir berlumpur.

Tabel 16. Kondisi parameter sediment/substrat mangrove di beberapa kecamatan


dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru.

No Kecamatan Desa/ Jenis Sedimen Nitrat Fosfat Eh


Kelurahan (Substrat) Total P2 O5 (mV)
(% ) (Mg/100g)
1 Mallusetasi Bojo Lumpur berpasir 0.13 15.47 245.66
Cilellang Berpasir 0.10 12.66 248.58

2 Soppengriaja Batu Pute Lumpur berpasir 0.11 16.84 244.78


Siddo Pasir berlumpur 0.13 10.78 246.65
Mangkoso Lumpur berpasir 0.10 13.45 247.14
Ajjakang Lumpur berpasir 0.11 9.87 246.34

3 Balusu Takkalasi Berpasir 0.12 16.84 245.78


Madello Lumpur berpasir 0.11 12.47 246.51
Pannikiang Pasir berlumpur 0.12 5.78 244.87

4 Barru Siawung Lumpur berpasir 0.12 10.45 247.78


Mangempang Pasir berlumpur 0.12 8.87 248.56
Coppo Lumpur berpasir 0.14 12.24 246.77
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
63

4.2 Ekosistem Mangrove


Ekosistem mangrove adalah ekosistem pantai yang disusun oleh berbagai
jenis vegetasi yang mempunyai bentuk adaptasi biologis dan fisiologis secara
spesifik terhadap kondisi lingkungan yang cukup bervariasi. Ekosistem mangrove
umumnya didominasi oleh beberapa spesies mangrove sejati diantaranya
Rhizophora sp, Avicennia sp, Bruguiera sp, dan Sonneratia sp. Spesies mangrove
tersebut dapat tumbuh dengan baik pada ekosistem perairan dangkal, karena
adanya bentuk perakaran yang dapat membantu untuk beradaptasi terhadap
lingkungan perairan, baik dari pengaruh pasang surut maupun faktor – faktor
lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove seperti :
suhu, salinitas, oksigen terlarut, sedimen, pH, Eh, arus, dan gelombang.

4.2.1 Komposisi Jenis dan Kerapatan Mangrove


Luas areal mangrove di daerah penelitian berdasarkan hasil estimasi dari
survei lapangan 2006, peta administrasi Kabupaten Barru, peta lingkungan pantai
/ LPI lembar 2011-4-edisi 1993, dan citra satelit landsat ETM + 12-09-2002 path
/row : 114/803, didapatkan luas areal mangrove yang tumbuh di 4 (empat)
kecamatan di pesisir pantai Kabupaten Barru, masing – masing Kecamatan
Mallusetasi 3.57 ha (3.16%), Kecamatan Soppengriaja 6.85 ha (6.06%),
Kecamatan Balusu dan Pulau Pannikiang 96.37 ha (85.26%), dan Kecamatan
Barru 6.23 ha (5.51%), dapat dilihat pada Tabel 17. Secara umum jenis
tumbuhan yang menyusun ekosistem mangrove di lokasi penelitian terdiri dari
jenis tumbuhan mangrove sejati dan mangrove ikutan. Jenis tumbuhan mangrove
sejati yang dimaksud meliputi : jenis bakau (Rhizophora sp), Api – api (Avicennia
sp), tanca (Bruguiera sp), jenis gogen (Sonneratia sp), Ceriops sp, nipa (Nypa
fruticans), dan jenis jaruju hitam (Acanthus ilicifolius). Sedangkan jenis
mangrove ikutan terdiri dari jenis Ipomoea pes-caprae. Penyebaran setiap
vegetasi tersebut merata di setiap kecamatan khususnya di daerah pesisir pantai,
namun demikian jenis pohon yang menunjukkan penyebaran yang dominan
adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api – api (Avicennia sp), tanca (Bruguiera
sp), jenis gogen (Sonneratia sp). Keempat jenis pohon mangrove tersebut
menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik dengan tingkat penutupan tajuk yang
64

cukup rapat, hal ini mengindikasikan bahwa jenis pohon mangrove tersebut di atas
berpotensi untuk dikembangkan di daerah penelitian.

Tabel 17. Rekapitulasi areal ekosistem mangrove pada setiap kecamatan dan desa /
kelurahan di Kabupaten Barru.

No Kecamatan Desa/Kelurahan Panjang Luas Persentase


Pantai (m) (Ha) (%)
1 Mallusetasi Bojo 3.000 3.5 2.88
Cilellang 500 0.32 0.28
Sub-Total 3.500 3.57 3.16

2 Soppengriaja Batu Pute 500 0.28 0.24


Siddo 2.000 3.75 3.32
Mangkoso 2.000 1.20 1.06
Ajjakang 500 0.12 0.11
Lawallu 1.500 1.50 1.33
Sub-Total 6.500 6.85 6.06

3 Balusu Takkalasi 500 0.95 0.84


Madello 2.000 13.25 11.72
P. Pannikiang 1.000 82.17 72.70
Sub-Total 3.500 96.37 85.26

4 Barru Siawung 2.300 0.28 0.24


Mangempang 2.200 5.50 4.87
Coppo 550 0.45 0.39
Sub-Total 5.050 6.23 5.51

Total Mangrove Kab. Barru + P. Pannikiang 18.550 113.02 100


Sumber : Hasil analisis data primer (2006); Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Barru (2003); Amri (2002).

Kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian umumnya cukup baik


khususnya di Kelurahan Mangempang dan Desa Siawung Kecamatan Barru,
Kelurahan Madello dan Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu, Kelurahan Siddo
Kecamatan Soppengriaja, dan Desa Bojo Kecamatan Mallusetasi. Namun
demikian di beberapa desa / kelurahan dijumpai kondisi pertumbuhan mangrove
mengalami kerusakan yang cukup memprihatinkan, kerusakan ekosistem
mangrove tersebut disebabkan oleh adanya aktifitas stakeholders yang merubah
fungsi ekosistem mangrove menjadi areal pertambakan, pemukiman, pelabuhan,
dan industri (hatchery). Selain hal tersebut di atas penyebab kerusakan ekosistem
mangrove juga disebabkan adanya penebangan hutan mangrove untuk keperluan
rumah tangga, kayu bakar, industri rumah tangga, pembuatan arang, bahan
bangunan dan lain – lain.
65

Secara spesifik ditinjau dari segi luasan, jenis pohonnya, bentuk


pemanfaatannya, dan peluang pengembangannya, maka kondisi ekosistem
mangrove di setiap kecamatan memiliki ciri khas tertentu, untuk menyimak lebih
jauh kondisi ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di lokasi penelitian dapat
dijelaskan sebaga i berikut :

(1) Kecamatan Mallusetasi menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di


Kecamatan Mallusetasi sekitar 3.50 ha atau sekitar 3.16 % dari luas ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru, yang dijumpai di Desa Bojo dengan luas sekitar
3.25 ha dan Desa Cilellang dengan luas sekitar 0.15 ha. Sedangkan desa – desa
lainnya yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mallusetasi yang terdapat di
pesisir pantai meliputi Desa Bojo Baru, Kupa, dan Desa Palanro tidak memiliki
ekosistem mangrove (Gambar 15 dan Lampiran 2).
Ekosistem mangrove di Kecamatan Mallusetasi terdiri dari tiga spesies
mangrove sejati, yaitu Ceriops decandra, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia
alba dengan formasi campuran, sedangkan spesies lainnya dari jenis nipa (Nypa
fruticans) ditemukan secara berkoloni di pinggiran sungai. Kerapatan jenis
mangrove secara keseluruhan untuk kategori pohon 101 indiv/100 m2 , kategori
anakan 57 indiv/100 m2 , sedangkan kategori semaian tidak diidentifikasi. Jenis
Rhizophora stylosa ditemukan mendominasi areal mangrove dengan tingkat
kerapatan tertinggi ketegori pohon yaitu 67 indiv/100 m2 , untuk kategori anakan
dan 57 Indiv/100 m2 untuk kategori semaian, selanjutnya jenis Sonneratia alba
dengan kerapatan untuk kategori pohon 30 Indiv/100 m2 , selanjutnya jenis
Ceriops decandra mempunyai kerapatan jenis kategori pohon 4 indiv/100 m2
sedangkan anakan dan semaian tidak ditemukan (Tabel 18).

Tabel 18. Kerapatan jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Mallusetasi

Kerapatan Jenis (Indiv/100 m2 )


Spesies Pohon Anakan Semaian
Ceriops decandra 4 - -
Rhizophora stylosa 67 57 -
Sonneratia alba 30 - -
Jumlah 101 57 -
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
66

Stabilitas dan keberadaan ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh


spesies penyusun ekosistem mangrove tersebut, peranan satu spesies mangrove
terhadap jenis mangrove lainnya dapat dilihat dari indekas nilai penting jenis
(NPi). Jika suatu spesies menunjukkan NPi tinggi maka peranan spesies tersebut
sangat besar terhadap jenis mangrove lainnya dalam ekosistem mangrove tersebut.
Jenis mangrove yang ditemukan maka Rhizophora stylosa menunjukkan
NPi cukup besar sekitar 63.19 % untuk kategori pohon dan 100 % untuk kategori
anakan, diikuti oleh jenis Sonneratai alba dengan NPi sekitar 28.66 %,
selanjutnya jenis Ceriops decandra dengan nilai 8.16 % (Tabel 19). Tingginya
nilai penting jenis Rhizophora stylosa di Kecamatan Mallusetasi mengindikasikan
bahwa Rhizophora stylosa mempunyai peranan, dominansi spesies, dan
kosntribusi bahan organik yang cukup besar terhadap ekosistemnya dibandingkan
dengan jenis lainnya yang ditemukan. Menurut Bengen (2002) semakin besar
nilai penting jenis suatu jenis mangrove, maka mempunyai pengaruh yang
dominan terhadap ekosistemnya.

Tabel 19. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Mallusetasi

Spesies Pohon Anakan Semaian

Ceriops decandra 8.16 - -

Rhizophora stylosa 63.19 100 -

Sonnerati alba 28.66 - -

Jumlah 100 100 -


Sumber : Hasil analisis data primer (2006)

Secara umum dalam penelitian ini telah didapatkan berbagai jenis


tumbuhan mangrove dan jenis organisme yang hidup berasosiasi pada akar,
batang dan daun mangrove, hal ini menunjukkan tingkat stabilitas ekosistem
mangrove khususnya di lokasi penelitian (lampiran 21).
67
68

(2) Kecamatan Soppengriaja menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di


Kecamatan Soppengriaja sekitar 6.85 ha atau sekitar 6.06 % dari luas ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru, yang dijumpai di Desa Batupute dengan luas
sekitar 0.28 ha, Desa Siddo seluas 3.75 ha, Desa Mangkoso seluas 1.20 ha, Desa
Ajakkang seluas 0.12 ha, dan Desa Lawallu dengan luas sekitar 1.50 ha.
Mangrove tumbuh hampir di semua desa di pesisir Kecamatan Soppengriaja
walaupun masih jauh di bawah standar garis hijau mangrove (green belt) yaitu
200 meter di sepanjang garis pantai dan 50 meter di sisi sungai, oleh karena itu
untuk memenuhi luas ekosistem mangrove yang ideal di pesisir pantai, di
kecamatan ini perlu dilakukan rehabilitasi hutan mangrove (Gambar 16 dan
Lampiran 3).
Hasil identifikasi ekosistem mangrove di Kecamatan Soppengriaja
menunjukkan ada empat spesies mangrove sejati yang menyusun ekosistem
mangrove, yaitu Avicennia alba, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata dan
Sonneratia alba dengan formasi capuran. Kerapatan jenis mangrove secara
keseluruhan yaitu kategori pohon 103 indiv/100 m2 , kategori anakan 122
indiv/100 m2 , sedangkan ketegori semaian 72 indiv/100 m2 . Jenis Sonneratia alba
ditemukan mendominasi areal mangrove dengan tingkat kerapatan tertinggi
ketegori pohon yaitu 51 indiv/100 m2 , anakan 61 indiv/10 m2 , semaian 22
indiv/100 m2 , selanjutnya jenis Rhizophora stylosa ketegori pohon dengan
kerapatan 30 indiv/100 m , anakan 33 indiv/100 m2 , semaian 18 indiv/100 m2 ,
2

diikuti oleh Avicennia alba kerapatan jenis untuk kategori pohon 22 indiv/100 m2 ,
anakan 22 indiv/100 m2 , semaian 32 indiv/100 m2 , dan Rhizophora mucronata
kerapatan jenis kategori pohon dan semaian tidak ditemukan, anakan 6 indiv/100
m2 (Tabel 20).

Tabel 20. Kerapatan jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Soppengriaja

Kerapatan Jenis (Indiv/ 100 m2 )


Spesies Pohon Anakan Semaian
Sonneratia alba 51 61 22
Avicennia alba 22 22 32
Rhizophora stylosa 30 33 18
Rhizophora mucronata - 6 -
Jumlah 103 122 72
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
69
70

Dari keempat jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Soppengriaja


jenis Sonneratia alba kategori pohon menunjukkan indeks nilai penting jenis
cukup besar sekitar 60.28 %, anakan 55.22 %, dan jenis semaian 17.39 %, diikuti
oleh jenis Rhizophora stylosa untuk kategori pohon 21.59 %, anakan 18.29 %,
semaian 61.68 %, berikutnya Avicennia alba dengan niali NPi untuk kategori
pohon 18.13 %, anakan 12.19 %, semaian 20.93 %, selanjutnya jenis Rhizophora
mucronata dengan nilai NPi untuk kategori anakan sekitar 14.31 % (Tabel 21).

Tabel 21. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Soppengriaja

Spesies Pohon Anakan Semaian


Sonneratia alba 60.28 55.22 17.39
Avicennia alba 18.13 12.19 20.93
Rhizophora stylosa 21.59 18.29 61.68
Rhizophora mucronata - 14.31 -

Jumlah 100 100 100


Sumber : Hasil analisis data primer (2006)

(3) Kecamatan Balusu menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di


Kecamatan Balusu sekitar 96.37 ha atau sekitar 85.26 % dari luas ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru, yang dijumpai di Desa Takkalasi dengan luas
sekitar 0.95 ha, Desa Madello dengan luas sekitar 13.25 ha, Pulau Pannikiang
seluas 82.17 ha (Gambar 17).
Ekosistem mangrove di Kecamatan Balusu terdiri dari empat spesies
mangrove sejati yang menyusun ekosistem mangrove, yaitu Sonneratia alba,
Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata dan Ceriops decandra dengan
formasi capuran, sedangkan jenis Nipa (Nypa fruticans) ditemukan umumnya
ditemukan tumbuh berkeloni di pinggiran sungai. Kerapatan jenis mangrove
secara keseluruhan yaitu kategori pohon 300 indiv/100 m2 , kategori anakan 1
indiv/100 m2 , sedangkan ketegori semaian 1 indiv/100 m2 . Jenis Rhizophora
stylosa ditemukan mendominasi areal ekosistem mangrove dengan tingkat
kerapatan tertinggi ketegori pohon yaitu 158 indiv/100 m2 , anakan 1 indiv/100 m2 ,
semaian 1 indiv/100 m2 , selanjutnya jenis Rhizophora apiculata ketegori pohon
71
72

dengan kerapatan 78 indiv/100 m2 , anakan dan semaian tidak ditemukan, diikuti


oleh Sonneratia alba kerapatan jenis untuk kategori pohon 60 indiv/100 m2 ,
anakan dan semaian tidak ditemukan, selanjutnya Ceriops decandra kerapatan
jenis kategori pohon 4 indiv/100 m2 (Tabel 22).

Tabel 22. Kerapatan jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Balusu

Kerapatan Jenis (Indiv/ 100 m2 )


Spesies
Pohon Anakan Semaian
Sonneratia alba
60 -
Rhizophora stylosa
158 1 1
Rhizophora apiculata
78 - -
Ceriops decandra
4 - -
Jumlah
300 1 1
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)

Dari keempat jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Balusu jenis


Sonneratia alba kategori pohon menunjukkan indeks nilai penting jenis cukup
besar sekitar 49.94 % , anakan tidak ditemukan, semaian 16.91 %, diikuti oleh
jenis Rhizophora stylosa untuk kategori pohon 40.07 %, anakan 100 %, semaian
83.09 %, berikutnya jenis Rhizophora apiculata dengan nilai NPi untuk kategori
pohon sekitar 6.85 %, dan jenis Ceriops decandra menunjukkan NPi yang cukup
rendah yaitu untuk kategori pohon 3.14 %, anakan dan semaian tidak ditemukan
(Tabel 23 dan Lampiran 4).

Tabel 23. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Balusu

Spesies Pohon Anakan Semaian

Sonneratia alba 49.94 - 16.91


Rhizophora stylosa 40.07 100 83.09
Rhizophora apiculata 6.85 - -
Ceriops decandra 3.14 - -
Jumlah 100 100 100
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
73

(4) Kecamatan Barru menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove di


Kecamatan Barru sekitar 6.23 ha atau sekitar 5.51 % dari luas ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru, yang dijumpai di Desa Siawung dengan luas
sekitar 0.28 ha, Kelurahan Mangempang (Dusun Garongkong) seluas 5.50 ha,
jenis vegetasi yang menyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora apiculata, R.
Stylosa, R. Mucronata, Sonneratia alba. Sedangkan di Kelurahan Coppo (Dusun
Lembae) luas ekosistem mangrove sekitar 0.45 ha, dengan jenis vegetasi
panyusunnya yaitu Rhizophora apiculata, R. Stylosa, R. Mucronata, Sonneratia
alba, dan Acanthus ilicifolius, juga ditemukan mangrove ikutan dari jenis
Ipomoea pes-caprae (Gambar 18 dan Lampiran 5).
Ekosistem mangrove di Kecamatan Barru terdiri dari empat spesies
mangrove sejati yang menyusun ekosistem mangrove, yaitu Rhizophora stylosa,
Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, dan Rhizophora apiculata dengan
formasi campuran, sedangkan jenis lainnya yang ditemukan di pinggiran sungai
adala h jenis Nipa (Nypa fruticans) dan Jaruju hitam (Acanthus ilicifolius).
Kerapatan jenis mangrove secara keseluruhan yaitu kategori pohon 184
indiv/100 m2 , kategori anakan 142 indiv/100 m2 , sedangkan ketegori semaian 119
indiv/100 m2 . Jenis Sonneratia alba ditemukan mendominasi areal hutan
mangrove dengan tingkat kerapatan tertinggi ketegori pohon dengan kerapatan
101 indiv/100 m2 , anakan 76 indiv/100 m2 , semaian 5 indiv/100 m2 , selanjutnya
jenis Rhizophora stylosa ketegori pohon yaitu 59 indiv/100 m2 , anakan 30
indiv/100 m2 , semaian 86 indiv/100 m2 , diikuti oleh Rhizophora apiculata
kerapatan jenis untuk kategori pohon 12 indiv/100 m2 , anakan 36 indiv/100 m2 ,
semaian 19 indiv/100 m2 , dan Rhizophora mucronata kerapatan jenis dan
penutupan jenis kategori pohon 12 indiv/100 m2 , anakan tidak ditemukan,
semaian10 indiv/100 m2 (Tabel 24).
74

Tabel 24. Kerapatan jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Barru

Kerapatan Jenis (Indiv/ 100 m2 )


Spesies Pohon Anakan Semaian
Sonneratia alba 101 76 5
Rhizophora apiculata 12 36 19
Rhizophora mucronata 12 - 10
Rhizophora stylosa 59 30 86
Jumlah 184 142 119
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)

Jenis mangrove yang ditemukan di Kecamatan Barru jenis Rhizophora


stylosa kategori pohon menunjukkan indeks nilai penting jenis cukup besar sekitar
33.42 %, anakan 42.63 %, semaian 42.37 %, diikuti oleh jenis Sonneratia alba
dan Rhizophora apiculata untuk kategori pohon 22.19 %, anakan 28.69 %,
semaian 19.21 %, berikutnya jenis Rhizophora mucronata dengan nilai NPi untuk
kategori pohon 22.19 %, anakan tidak ditemukan, semaian 19.21 %, hal ini
mengindikasikan bahwa Rhizophora stylosa mempunyai peranan yang besar
terhadap ekosistem mangrove di Kecamatan Barru, sedangkan jenis lainnya tidak
memperlihatkan nilai maupun konstribusi yang signifikan terhadap ekosistem
mangrove secara umum (Tabel 25).

Tabel 25. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Barru

Spesies Pohon Anakan Semaian


Sonneratia alba 22.19 28.69 19.21

Rhizophora apiculata 22.19 28.69 19.21

Rhizophora mucronata 22.19 - 19.21

Rhizophora stylosa 33.42 42.63 42.37

Jumlah 100 100 100


Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
75
76

4.2.2 Organisme yang Berasosiasi

4.2.2.1 Makrozoobentos
Makrozoobentos merupakan salah satu organisme yang hidup berasosiasi
dengan vegetasi mangrove, organisme ini biasanya ditemukan hidup pada bagian
substrat (akar mangrove). Golongan organisme ini umumnya hidup menetap pada
dasar perairan, karena organisme bentos tidak mempunyai kemampuan bergerak
secara bebas untuk berpindah tempat, sehingga organisme ini biasanya membuat
lobang untuk menghindar dari predator dan fluktuasi faktor fisik lingkungan.
Organisme bentos adalah semua jenis organisme yang hidup dan berasosiasi
dengan sedimen dasar perairan termasuk tumbuhan dasar (benthic plants) disebut
juga sebagai fitobentos dan hewan dasar (benthic animals) disebut juga sebagai
zoobentos (Hutabarat dan Evans 1984).
Komposisi jenis organisme di lokasi penelitian masih memperlihatkan
tingkat kemerataan pada semua ekosistem mangrove di Kabupaten Barru. Secara
umum nilai kelimpahan bentos masih cukup tinggi dengan kisaran nilai 85 - 456
indivi/m2 pada setiap stasiun / kecamatan. Kelimpahan makrozoobentos tertinggi
ditemukan di stasiun IV Kecamatan Barru dengan kisaran antara 400 – 456
indiv/m2 , tingginya nilai kelimpahan di stasiun ini diduga disebabkan oleh kondisi
dan keberadaan ekosistem mangrove yang terdapat di sekitar muara sungai
sehingga faktor – faktor lingkungan seperti salinitas, suhu, bahan organik dan
sirkulasi air tidak memperlihatkan fluktuasi yang berarti terhadap keberadaan
bentos. Sedangkan kelimpahan bentos pada stasiun I, II dan III tidak
memperlihatkan nilai yang signifikan, sehingga nilai kelimpahan yang diperoleh
masih dalam kategori stabil dengan kisaran 135 – 325 indiv/m2 , kecuali pada
stasiun III Kecamatan Balusu khususnya pada sub-stasiun Desa/Kelurahan
Madello menunjukkan niali kelimpahan yang cukup rendah yaitu 85 indiv/m2 ,
rendahnya nilai kelimpahan di stasiun ini diduga disebabkan oleh keberadaan
ekosistem mangrove yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk.
Secara umum hasil pengamatan mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove di
setiap kecamatan masih cukup baik, artinya masih cukup layak dihuni oleh
beberapa spesies organisme (Gambar 19 dan Lampiran 6).
77

500
456 415

Kelimpahan Organisme
450 400
400
(K = indiv/m2)
350 325
300
250 220 225
250
200 170
135 155 160
150
85
100
50
0
Mal Sop Balu Bar
luse pen su ru
tasi gria
ja

Stasiun Pengamatan

KELIMPAHAN (K = indiv/m2)

Gambar 19. Grafik hasil analisis kelimpahan makrozoobentos di empat


stasiun/kecamatan di Kabupaten Barru.

Keanekaragaman spesies makrozoobentos menunjukkan bahwa tingkat


keanekaragaman spesies berkisar 1.34 – 2.46 perstasiun. Nilai keanekaragaman
tertinggi didapatkan pada stasiun IV Kecamatan Barru khususnya pada sub-
stasiun Desa/Kelurahan Siawung, selanjutnya nilai keanekaragaman terendah
didapatkan di stasiun I Kecamatan Mallusetasi sub-stasiun Desa/Kelurahan
Batupute, sedangkan pada stasiun dan sub-stasiun lainnya tidak menunjukkan
nilai keanekaragaman yang signifikan, hal ini dapat mengindikasikan bahwa
ekosistem mangrove disetiap kecamatan masih cukup baik. Menurut Odum (1971)
nilai keanekaragaman = 3.5 kategori ekosistem sangat stabil, nilai
keanekaragaman 2.5 – 3.5 kategori ekosistem baik atau stabil, nilai
keanekaragaman 1.25 – 2.5 kategori ekosistem sedang, sedangkan nilai
keanekaragaman < 1.25 kategori ekosistem tidak stabil. Sesuai dengan kriteria
tersebut, maka nilai keanekaragaman yang diperoleh di setiap lokasi pengamatan
di Kabupaten Barru mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove mesih dalam
kategori stabilitas ekosistem sedang sampai sangat stabil, sehingga masih cukup
layak dihuni oleh beberapa spesies bentos yang berasosiasi pada akar, batang, dan
daun mangrove (Gambar 20).
78

2.5

58
2.4

68
68
2.0
49

2.0
Keanekaragaman (H')

1.9
23
15
21
2

1.8
1.8
62

1.7
63

66
1.6
1.6

1.5
54

38
1.4

1.3
1.5

0.5

0
Mallusetasi Soppengriaja Balusu Barru
Stasiun Pengamatan

KEANEKARAGAMAN (H’ )

Gambar 20. Grafik hasil analisis keanekaragaman makrozoobentos di empat


stasiun/kecamatan di Kabupaten Barru.

Menurut Odum (1971), organisme bentos memengang peranan penting


dalam komunitas perairan khususnya dalam proses mineralisasi dan pendaurulang
bahan-bahan organik sehingga menduduki posisi penting dalam rantai makan,
hubungan ini didasarkan pada rantai makanan detritus yang dimulai dari
organisme mati yang kemudian diuraikan oleh mikroorganisme, kemudian
mikroorganisme beserta hancurannya akan dimakan oleh organisme pemakan
detritus (detritivor). Selanjutnya dikatakan bahwa makrozoobentos memegang
peranan penting dalam menentukan produktivitas sekunder yang selanjutnya dapat
memberikan ketersediaan makanan bagi organisme lainnya dan sebagai indikasi
kesesuaian potensi kualitas perairan khususnya sebagai indikator pencemaran.

4.2.2.2 Ikan dan Crustacea


Hasil investigasi dan inventarisasi ikan dan crustacea di lapangan didapatkan
berbagai jenis ikan yang hidup pada ekosistem hutan mangrove di Kabupaten
Barru. Adapun jenis ikan yang di temukan pada masing – masing kecamatan atau
stasiun pengamatan, yaitu Kecamatan Mallusetasi ditemukan sebanyak 15 spesies,
di Kecamatan Soppengriaja sebanyak 14 spesies, di Kecamatan Balusu sebanyak
18 spesies, dan di Kecamatan Barru ditemukan sebanyak 21 spesies. Spesies ikan
yang ditemukan termasuk dalam beberapa famili antara lain : Carangidae,
Celonidae, Caetondotidae, Clupeidae, Elopsidae, Hemiramphidae, Latidae,
Leiognatidae, Mugilidae, Penaedae, Peripthalmidae, Pomacentridae, Portunidae,
79

Gobidae, Siganidae, Toxotidae. Sedangkan dari jenis Crustacea yang ditemukan


selama penelitian yaitu udang putih (Penaed spp), udang windu (Paneus
monodon), dan beberapa jenis kepiting diantaranya kepiting bakau (Scilla serrata)
yang hidup berasosiasi dengan mangrove (Lampiran 7).

4.2.2.3 Burung dan Mamalia


Keberadaan dan penyebaran burung di kawasan ekosistem hutan mangrove
Kabupaten Barru, didapatkan sekitar 34 spesies burung, sedangkan jenis burung
yang didapatkan pada setiap stasiun atau kecamatan masing – masing di stasiun I
(Kecamatan Mallusetasi) ditemukan sebanyak 12 spesies, stasiun II (Kecamatan
Soppengriaja) ditemukan sebanyak 11 spesies, stasiun III (Kecamatan Balusu)
ditemukan sebanyak 18 spesies, sedangkan di stasiun IV (Kecamatan Barru)
ditemukan sebanyak 13 spesies (Lampiran 8).
Keberadaan dan penyebaran burung tersebut erat hubungannya dengan
tingkat kesuburan, kelimpahan, dan keanekaragaman spesies ekosistem mangrove,
burung tersebut biasanya hidup di dalam areal hutan mangrove atau datang untuk
mencari makan pada waktu – waktu tertentu. Dengan kehadiran burung yang
berwarna – warni serta kicauan yang khas di kawasan ekosistem mangrove, dapat
menciptakan nuangsa alami dan keindahan ekosistem mangrove tersebut. Selain
burung, juga ditemukan beberapa jenis mamalia seperti : kelelawar, biawak, dan
ular. Kelelawar banyak ditemukan di Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu yang
bergelantungan di dahang dan ranting hutan mangrove pada siang hari, dengan
tingkah laku kelelawar yang mencari makan pada malam hari dan istirahat pada
siang hari, maka kondisi ini dimanfaatkan para nelayan untuk memasang jaring
(perangkat) guna menangkap kelelawar yang selanjutnya akan di jual ke pasar
atau pedagang yang bertindak selaku tukang tada yang biasanya menjemput hasil
tangkapan para nelayan ke pulau – pulau (lokasi penangkapan).
80

4.3 Kondisi Sosial Budaya

4.3.1 Penduduk
Kondisi sosial dan kependudukan merupakan salah suatu faktor yang sangat
penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk pemanfaatan ekosistem
mangrove. Kondisi sosial masyarakat dapat memberikan gambaran tentang
ketersedian tenaga kerja, pengembangan sumberdaya manusia, tingkat
kesejahtraan masyarakat, budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat lokal.
Penyebaran penduduk di empat kecamatan pada lokasi penelitian hampir merata
dengan jumlah total penduduk sebanyak 93.947 jiwa, masing – masing di
Kecamatan Mallusetasi sebanyak 23.502 jiwa, Kecamatan Soppengriaja 17.467
jiwa, Kecamatan Balusu 17.908 jiwa, dan Kecamatan Barru sebanyak 35.070 jiwa
(Tabel 26 dan Gambar 21).

Tabel 26. Jumlah penduduk di lokasi penelitian dirinci menurut Kecamatan dan
jenis kelamin.

No Kecamatan Laki – Laki Perempuan Jumlah Penduduk


(jiwa) (jiwa) (jiwa)

1 Mallusetasi 11.252 12.250 23.502


2 Soppengriaja 8.535 8.932 17.467
3 Balusu 8.523 9.385 17.908
4 Barru 16.959 18.111 35.070
Total 45.269 48.678 93.947
Sumber : BPS (2004)

Penduduk di lokasi penelitian pada umumnya bekerja sebagai nelayan,


petani tambak, petani sawah, peternakan, dan berdagang. Jenis pekerjaan tersebut
biasanya dikerjakan pada musim tertentu, misalnya masyarakat bekerja sebagai
nelayan pada musim timur, bekerja sebagai petani sawah pada saat musim barat.
Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan biasanya menggunakan beberapa jenis
alat tangkap, seperti : pancing, pukat, bagang dan parit. Penggunaan jenis alat
tangkap tersebut umumnya masih dioperasikan secara tradisional dan tergantung
musim dan jenis ikan yang akan di tangkap.
81

Mallusetasi
23.502 jiwa
35.07 jiwa Soppengriaja

Balusu

Barru
17.467 jiwa
17.908 jiwa

Gambar 21. Rekapitulasi penduduk pada setiap kecamatan di lokasi penelitian


(BPS 2004).

Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah


penduduk dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada jumlah
penduduk dengan jenis kelamin laki – laki (Gambar 22). Hal ini disebabkan
karena jumlah kelahiran perempuan jauh lebih besar daripada laki – laki , selain
itu resiko kematian laki – laki akibat pekerjaan cukup besar dibandingkan
perempuan, hal ini merupakan suatu fakta yang berlaku secara nasional.

Rekapitulasi penduduk berdasarkan jenis kelamin

20
Jumlah Penduduk

15
Laki - Laki
10
Perempuan
5

0
Mallusetasi Soppeng Balusu Barru
Riaja
Kecamatan

Gambar 22. Rekapitulasi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada setiap


Kecamatan di lokasi penelitian (BPS 2004).
82

Sedangkan tingkat pendidikan masyarakat yang menjadi responden pada


penelitian ini, memperlihatkan data yang cukup beragam yaitu : tingkat
pendidikan masyarakat yang tidak tamat sekolah dasar sebayak 14 reponden
(8.15 %), tamat sekolah dasar sebayak 96 responden (55.81 %), tamat sekolah
lanjutan tingkat pertama sebanyak 22 responden (12,79 %), tamat sekolah lanjutan
atas sebanyak 31 responden (18.02 %), tamat diploma sebanya 5 responden
(2.90 %), dan sarjana sebanyak 4 responden (2.33 %) dengan total masyarakat
sebagai sampel sebanyak 172 responden (Gambar 23).

3%2% 8%
18%

13%

56%

Tidak Tamat SD SD SLTP SLTA Diploma (D3) Sarjana (S1)

Gambar 23. Persentase tingkat pendidikan responden yang diwawancarai di


lokasi penelitian.

4.4 Kondisi Ekonomi


Perekonomian wilayah pemerintahan Kabupaten Barru berdasarkan data
statistik tahun 2004, menunjukkan bahwa sumber dana proyek untuk
pengembangan wilayah diperoleh dari jenis anggaran DAU (dana umum) sebesar
77 %, APBD (anggaran pendapatan belanja daerah) Tk II / PAD (pendapatan asli
daerah) sebesar 13 %, APBD Tk I sebesar 3 %, dan DAK (dana khusus) sebesar
7%, dengan total anggaran pembangunan sebesar Rp. 169.384.908,00. Sedangkan
anggaran pendapatan pemerintah daerah, tahun anggaran tahun 2004 sebesar
Rp. 216.126.560,00.
83

Pertumbuhan ekonomi wilayah ditinjau dari konstribusi berbagai sektor


terhadap peningkatan PDRB menunjukkan bahwa, sektor pertanian dan perikanan
berada pada posisi pertama dengan konstribusi sebesar 52.72 %, selanjutnya
sektor perdagangan memberi konstribusi sebesar 22.11 %, hotel dan restoran
dengan konstribusi sebesar 13.57 %, selanjutnya sektor jasa dengan persentase
pertumbuhan sebesar 11.60 %. Kondisi ini dapat memberikan dorongan dan
mativasi bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan segala potensi sumberdaya
alam wilayah pesisir secara optima. Karena sektor perikanan merupakan salah
satu penunjang dalam peningkatan PDRB, maka perhatian pemerintah dan
stakeholders lainnya tercurah untuk memikirkan dan mencoba menetapkan suatu
kebijakan pemerintah daerah melalui undang – undang nomor 23 tahun 21,
tentang konservasi dan pengelolan ekosistem mangrove, karena disadari bahwa
untuk mempertahankan potensi perikanan secara berkelanjutan harus didukung
oleh ekosistem mangrove yang mempunyai tingkat stabilitas yang homeostatis
(tingkat keseimbangan ekosistem yang optimal) .
Optimalisasi fungsi ekologis ekosistem mangrove yang baik dapat memicu
terjadinya peningkatan daya dukung dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove
untuk menunjang dan meningkatkan keberlanjutan pemanfaatan potensi
sumberdaya alam dan khususnya areal penangkapan. Jumlah rumah tangga
nelayan yang bekerja sebagai nelayan tangkap dan nelayan budidaya tersebar
disetiap kecamatan (Tabel 27 dan Gambar 24).

Tabel 27. Jumlah rumah tangga nelayan dan petani tambak disetiap kecamatan

Kecamatan Usaha Nelayan Petani Tambak Jumlah


(jiwa) (jiwa) (jiwa)

Mallusetasi 400 61 461


Soppengriaja 143 268 411
Balusu 138 237 375
Barru 231 250 481
Total 912 816 1728
Sumber : Hasil analisis data (2006)
84

25%

44%

15%

16%

Mallusetasi Soppengriaja Balusu Barru

Gambar 24. Jumlah rumah tangga penduduk yang berprofesi sebagai nelayan di
setiap kecamatan di lokasi penelitian

Masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir, sangat menggantungkan


hidupnya pada sektor perikanan, dari sejumlah responden yang diwawancarai
terdapat sekitar 80 responden yang hanya bekerja sebagai nelayan dengan
berbagai macam alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan (Tabel 28).

Tabel 28. Estimasi responden (nelayan) berdasarkan jenis alat tangkap yang di
gunakan

Bagan Bagan
No Kecamatan Jaring Pancing Parit Tancap Perahu Jumlah
(unit) (unit) (unit) (unit) (unit) (unit)
1 Mallusetasi 7 9 3 1 - 20
2 Soppengriaja 4 11 3 - 2 20
3 Balusu 10 7 3 - - 20
4 Barru 6 12 2 - - 20
Total 27 39 11 1 2 80
Persentase (%) 33.75 48.75 13.75 1.25 2.50 100
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)

Hasil estimasi alat tangkap dan jumlah yang umum dipergunakan oleh
nelayan pada setiap stasiun pengamatan atau kecamatan menunjukan penggunaan
alat tangkap yang berbeda tergantung dari musim dan jenis organisme yang akan
ditangkap, adapun persentase jumlah dan jenis alat tangkap (Gambar 25).
85

14

JumlahAlatTangkap
12

(Unit/Kecamatan)
10
8
6
4
2
0
Jaring Pancing Parit Bagan Tancap Bagan Perahu
Jenis Alat Tangkap

Mallusetasi Soppeng Riaja Balusu Barru

Gambar 25. Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada setiap
kecamatan di lokasi penelitian.

4.4.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove


Pemanfaatan ekosistem mangrove untuk kesejahteraan masyarakat
memerlukan penilaian atau valuasi ekonomi secara detail, sehingga maanfaat yang
didapatkan dari ekosistem mangrove secara keseluruhan dapat diprediksi dan
diestimasi untuk mengetahui besarnya manfaat yang diperoleh untuk kesejahtraan
masyarakat khususnya yang menggantungkan hidup di sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan. Kegiatan yang memerlukan dayadukung dari ekosistem
mangrove diantaranya : budidaya tambak, budidaya perairan, penangkapan
organisme perairan, penangkapan burung dan kelelawar, maupun pengambilan
kayu. Kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk pemanfaatan ekosistem
mangrove secara langsung (manfaat langsung), di sisi lain ekosistem mangrove
secara alami memberikan manfaat tidak langsung sebagai penahan badai angin
topan dan gelombang, mengurangi abrasi pantai. Bila ditinjau dari sudut pandang
ekonomi, ekosistem mangrove memberikan maanfaat yang sangat besar terutama
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan asli
daerah dan kelestarian lingkungan.
Manfaat ekosistem mangrove secara ekonomi seharusnya diketahui dan
dipahami oleh para stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem
mangrove sehingga dalam melakukan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove
mereka tetap mengacu pada aturan konservasi dan kebijakan pemanfaatan yang
telah ditetapkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Salah satu elemen
pendukung yang sangat penting dalam menentukan kebijakan atau aturan
pemanfaatan ekosistem mangrove adalah penilaian atau valuasi ekonomi
komponen dari ekosistem mangrove. Valuasi ekonomi dapat memberikan nilai
86

tertentu berdasarkan asumsi - asumsi penilaian yang dapat diterima dan dianalisis
untuk mengetahui besarnya biaya pengelolaan dan manfaatnya yang diterima.
Penilaian ekosistem mangrove di lokasi penelitian secara umum dapat
diidentifikasi dengan kategori penilaian manfaat sebagai berikut : (1) nilai
manfaat langsung (direct use value); (2) nilai manfaat tidak langsung (indirect use
value); (3) nilai manfaat pilihan (option value); dan (4) nilai manfaat keberadaan
(existence value). Namun pada penelitian ini nilai ekonomi difokuskan pada nilai
manfaat langsung (direct use value) mengingat tujuan dari valuasi ini hanya untuk
memenuhi kriteria penyusunan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove, oleh
karena itu nilai valuasi ekonomi yang tercantum pada penelitian ini tidak
mengevaluasi total nilai ekonomi dari ekosistem mangrove. Adapun hasil
analisis valuasi ekonomi komponen manfaat ekosistem mangrove dapat
dijabarkan sebagai berikut.

4.4.1.1 Manfaat Langsung


Manfaat langsung merupakan nilai guna ekosistem mangrove yang
dirasakan manfaatnya secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, manfaat langsung di peroleh melalui
pendekatan nilai pasar dari berbagai komoditas produk dari ekosistem mangrove.
Hasil identifikasi manfaat langsung ekosistem mangrove yang dilakukan oleh
masyarakat di lokasi penelitian secara makro, meliputi : (1) pemanfaatan hasil
hutan; (2) pemanfaatan hasil perikanan; (3) pemanfaatan satwa; dan (4)
pemanfaatan untuk pembukaan lahan tambak. Sedangkan pemanfaatan ekosistem
mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian secara spesifik,
meliputi : pengambilan kayu, pembuatan arang, pembenihan bibit mangrove,
penangkapan ikan, udang, kepiting, kerang - kerangan, burung, kelelawar, dan
pembukaan tambak monokultur bandeng atau udang, maupun tambak polikultur
bandeng dan udang. Nilai manfaat langsung yang dapat diterima dari setiap
kegiatan tersebut di atas, secara ekonomi atau analisis biaya dan manfaat
menunjukkan nilai manfaat ekosistem mangrove sebesar Rp. 52.002.957.94 per
hektar per tahun, dengan total biaya operasional yang dikeluarkan oleh
masyarakat untuk pemanfaatan ekosistem mangrove sebesar Rp. 21.490.075.06
per hektar per tahun, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 30.512.882.88
per hektar per tahun (Tabel 29).
87

Penelitian serupa pernah dilakukan pada ekosistem mangrove di Sega ra


Anakan oleh Paryono et.al (1999), menegaskan bahwa jenis pemanfaatan
ekosistem mangrove terdiri dari manfaat hasil hutan, manfaat hasil perikanan,
manfaat wisata, dan manfaat satwa, nilai manfaat ekosistem mangrove yang
diperoleh dari kegiatan tersebut sebesar Rp. 125.388.487.381 per hektar per tahun,
dengan total biaya operasional sebesar Rp. 70.076.703.265 per hektar per tahun,
sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 33.405.145.356 per hektar per tahun.
Selanjutnya Adrianto (2006) mengestimasi nilai ekonomi total sumberdaya
ekosistem mangrove di Kecamatan Barru Provinsi Sulawesi Selatan dengan
menggunakan kerangka analisis permintaan (demand analysis), menunjukkan
bahwa surplus konsumen terbesar dari pemanfaatan kepiting sebesar
Rp. 17.644.744.08 per tahun, sedangkan surplus konsumen terkecil disumbangkan
oleh pemanfaatan kayu bakar sebesar Rp. 17.855.02 per tahun per hektar,
sehingga diperoleh total manfaat ekonomi ekosistem mangrove sebesar
Rp. 697.279.739.12 per tahun. Perbedaan nilai manfaat ekosistem mangrove pada
hasil penelitian tersebut di atas disebabkan oleh luas areal dan kondisi ekosistem
mangrove.

Tabel 29. Rekapitulasi analisis valuasi ekonomi pemanfaatan ekosistem


mangrove

Keuntungan /
No Jenis Pemanfaatan Biaya NilaiManfaat Manfaat Optimal
(Rp/ ha /thn) (Rp /ha/thn) (Rp /ha/thn)
1 Kayu 162.825.16 251.946.56 89.121.40
2 Arang 154.928.33 163.577.24 8.648.91
3 Bibit mangrove 865.333.57 2.468.589.63 1.603.256.06
3 Burung 44.461.16 59.723.94 15.262.78
4 Kelelawar 497.699.52 564.059.46 66.359.94
5 Ikan 7.105.133.72 7.249.454.37 144.320.65
6 Udang 8.070.154.66 27.605.733.5 19.535.578.84
7 Kepiting 682.121.16 3.651.743.05 2.969.621.89
8 Kerang 1.999.646.08 2.350.734.38 351.088.30
9 Tambak Udang+Ikan 1.665.078.80 6.447.500.00 4.782.421.20
10 Tambak Udang 115.031.69 534.720.81 419.689.12
11 Tambak Ikan 127.661.21 655.175.00 527.513.79
Jumlah 21.490.075.06 52.002.957.94 30.512.882.88
Sumber : Hasil analisis data primer(2006)

Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove pada setiap bentuk


pemanfaatan secara spesifik, setelah dilakukan kuantifikasi sesuai harga pasar dan
88

valuasi ekonomi dari setiap komoditas ekosistem mangrove, maka manfaat


langsung dapat diketahui. Adapun nilai manfaat langsung dari setiap bentuk
pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dijabarkan berikui ini.

Manfaat Kayu, pemanfaatan hasil hutan mangrove khususnya kayu di


lokasi penelitian, umumnya digunakan untuk kayu bangunan, tiang atau patok
parit, pembuatan pintu air di tambak, pembuatan perahu atau sampan, dan kayu
bakar. Namun saat penelitian ini dilaksanakan pola pengambilan dan
pemanfaatan kayu mangrove mengalami penurunan secara kuantitatif dan
frekuensi pengambilan, hal ini seiring dengan diberlakukannya Perda no mor 23
tahun 2001, tentang pelarangan pengrusakan hutan mangrove, konversi jadi
tambak, dan pengambilan kayu untuk kepentingan tertentu. Teleh diidentifikasi
bahwa kegiatan pengambilan kayu mangrove oleh masyarakat secara terbatas
dengan memperhatikan kelestarian hutan mangrove itu sendiri, kegiatan
pengambilan kayu hanya digunakan untuk kepentingan tiang dan patok parit,
untuk alat tangkap kepiting, pengambilan ranting yang telah rapuh untuk kayu
bakar. Pengambilan dan pemanfaatan kayu pada ekosistem mangrove oleh
masyarakat nelayan maupun petani tambak, setelah dilakukan valuasi ekonomi
berdasarkan hasil pengambilan kayu dan harga kayu di pasaran, maka diperoleh
nilai manfaat kayu mangrove dengan periode pengambilan setiap pengguna
sekitar 30 kali per tahun, jumlah kayu yang diambil sekitar 83.75 meter kubik per
tahun, harga rata-rata Rp. 20.000 per meter kubik, rata-rata manfaat yang
diperoleh sebesar Rp. 1.675.000 per tahun. Sedangkan analisis nilai manfaat
langsung setelah dikuatifikasi dengan seluruh biaya yang keluarkan didapatkan
sebesar Rp. 89.121.39 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 9).

Manfaat Arang, kegitan pembuatan arang yang dilakukan masyarakat yang


berdomisili di sekitar ekosistem mangrove sipatnya temporer tergantung dari
kondisi hutan mangrove, apabila dijumpai pohon yang mati karena usia tua atau
ranting pohon mangrove yang patah dan jatuh, maka kayunya biasanya
dipergunakan untuk pembuatan arang, adapun arang yang dihasilkan biasanya
disimpan sebagai persiapan atau cadanga n kayu yang akan dipergunakan untuk
kebutuhan sendiri pada saat-saat tertentu, misalnya tidak ada minyak tanah atau
ingin membakar ikan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis kayu
89

mangrove yang biasa digunakan oleh masyarakat di lokasi penelitian unt uk


pembuatan arang yaitu jenis mangrove Rhizophora sp, Bruguiera sp dan
Avicennia sp. Pemanfaatan kayu mangrove untuk pembuatan arang secara
ekonomi merupakan suatu nilai tersendiri yang dapat memberikan keuntungan
terhadap masyarakat nelayan. Hasil analisis valuasi ekonomi untuk menghitung
manfaat langsung ekosistem mangrove melalui kegiatan pembuatan arang
menunjukkan, bahwa manfaat langsung hutan mangrove dalam pembuatan arang
sebesar Rp. 8.648.91 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 10).

Manfaat Bibit Mangrove, hutan mangrove sebagai hutan pantai memiliki


adaptasi regeneratif untuk berkembang biak dengan cara penyerbukan vegetatif
untuk menghasilkan bunga dan buah, buah yang matang akan berubah menjadi
kecamba pada pohon induk dan tumbuh dalam semaian tanpa istirahat, selama
waktu ini semaian akan memanjang dan mengalami perubahan distribusi berat ke
arah ujung buah kemudian lepas keperairan atau kesubstrat lalu tumbuh sebagai
bibit mangrove. Sedangkan pengambilan atau pembuatan bibit mangrove secara
buatan seperti yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian adalah sebagai
berikut : buah mangrove dari jenis Rhizophora sp, Bruguiera sp dan Avicennia
sp yang diperkirakan sudah matang dipetik lalu disemaikan pada kantong plastik
yang telah diisi dengan tanah atau mengambil buah yang telah jatuh dan
menancap di bawah pohon induk, bibit mangrove yang tumbuh secara alami
tersebut dilakukan penjarangan untuk dipindahkan ke kantong semaian, kantong
yang telah berisi dengan bibit mangrove ditempatkan pada tempat persemaian di
pinggir pantai sekitar vegetasi induknya. Kegiatan pengambilan buah atau bibit
mangrove dilakukan oleh masyarakat pada musim tertentu misalnya pengambilan
musim barat akan disemaikan selama 6 sampai 12 bulan untuk persiapan tanam
atau rehabilitasi pada musim timur. Pembibitan mangrove dilakukan masyarakat
sejak tahun 2000 sampai saat ini. Frekuensi pengambilan bibit mangrove
dilakukan sekitar 2 sampai 4 kali per tahun, jumlah pohon atau bibit yang
dikumpulkan sekitar 1.366.67 pohon per orang dengan harga Rp. 1.100 per pohon.
Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi menunjukkan bahwa manfaat yang
diperoleh masyarakat dari pengambilan bibit mangrove dapat dirinci dengan
menjumlahkan seluruh manfaat yaitu sekitar Rp. 2.468.589.63 per hektar per
tahun dikurangi dengan biaya yang diluarkan sebesar Rp. 865.333.57 per hektar
90

per tahun, maka diperoleh keuntungan sekitar Rp. 1.603.256.06 per hektar per
tahun (Tabel 29 dan Lampiran 11).
Manfaat Burung, salah satu komponen ekosistem mangrove yang hidup
berasosiasi dengan mangrove khususnya ditemukan pada wilayah atmospir atau
bagian batang dan daun mangrove yaitu burung, berbagai jenis burung dapat
dijumpai di lokasi penelitian, baik burung yang sifatnya hidup dengan membuat
sarang di pohon mangrove maupun burung yang sifatnya datang untuk mencari
makan di sekitar hutan mangrove, sehingga ekosistem mangrove sangat ramai
dengan kicauan burung yang berbeda jenis dan berwarna – warni. Kondisi ini
yang menarik perhatian para stakeholders sehingga menimbulkan keinginan untuk
menangkap dan memiliki jenis burung tertentu. Sekitar tahun 1990-an kegiatan
perburuan atau penangkapan burung sering dilakukan oleh masyarakat atau
pengunjung yang sengaja datang untuk berburu di hutan mangrove, namun
setelah ditetapkannya kebijakan konservasi hutan mangrove pada tahun 2001,
maka kegiatan perburuan atau penangkapan burung sudah jarang dilakukan. Hasil
indentifikasi di lapangan didapatkan bahwa kegiatan penangkapan burung bukan
lagi sebagai suatu pekerjaan utama, akan tetapi hanya merupakan kegiatan
tambahan yang sifatnya temporer dan lebih mengarah kepada pemenuhan hobbi
atau kesenangan saja, namun demikian kadang – kadang masyarakat juga
melakukan trangsaksi kepada peminat tertentu yang kebetulan tertarik dengan
burung yang dipelihara oleh nelayan, biasanya nilai jual seekor burung tergantung
dari jenisnya dengan kisaran harga antara Rp. 5.000 s/d Rp. 15.000 per ekor.
Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi untuk menghitung nilai manfaat
langsung burung didapatkan sekitar Rp. 15.262.78 per hektar per tahun (Tabel 29
dan Lampiran 12).

Manfaat Kelelawar, salah satu areal ekosistem mangrove di lokasi


penelitian yang sangat disenangi kelelawar yaitu di Pulau Pannikiang Kecamatan
Balusu Kabupaten Barru, luas ekosistem mangrove di pulau ini sekitar 87.17 ha.
Kelelawar (hewan mamalia) pada siang hari sangat banyak dijumpai
bergelantungan di pohon mangrove, lalu dimalam hari mereka akan terbang ke
luar dari pulau untuk mencari makan di tempat lain, kemudian menjelang subuh
mereka akan kembali ketempat hunian semula. Tingkah laku kelelawar tersebut
memberi imajinasi para penangkap kelelawar untuk membuat pukat (jaring) yang
91

dipasang di atas areal hutan mangrove, jaring dirancang sedemikian rupa sehingga
kelelawar dapat terperangkap didalamnya. Penangkapan kelelawar dilakukan oleh
masyarakat dengan frekuensi penangkapan rata – rata 150 trip per tahun, hasil
tangkapan rata – rata 750 ekor per tahun, nilai jual berkisar Rp. 5.000 s/d 12.000
per ekor, pendapatan rata – rata nelayan penangkap kelelawar sekitar
Rp. 3.750.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi didapatkan
nilai manfaat langsung kelelawar sekitar Rp. 66.359.94 per hektar per tahun
(Tabel 29 dan La mpiran 13).

Manfaat Ikan, kegiatan penangkapan ikan di lokasi penelitian merupakan


pekerjaan yang umumnya ditekuni oleh masyarakat nelayan, daerah penangkapan
ikan biasanya di lakukan disekitar hutan mangrove atau dengan jarak tertentu dari
garis pantai, alat tangkap yang digunakan nelayan ada beberapa jenis seperti :
pancing, jaring, bagan, dan parit. Adapun jenis ikan yang biasanya tertangkap di
sekitar hutan mangrove seperti : ikan kakap (Lates calcalifer), baronang (Siganus
sp), kerapu, sunu, bandeng (Chanos chanos), belanak (Mugil dussumieri), dan lain
– lain (Lampiran 10). Harga jual ikan di pasaran berkisar antara Rp. 5.000 s/d
45.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan ikan yang dilakukan
masyarakat 159 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 796.67 kilogram
per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar Rp. 9.958.333
per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang kuantifikasi
berdasarkan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang tertangkap di
sekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 144.320.65 per hektar per tahun (Tabel 29
dan Lampiran 14).

Manfaat Udang, penangkapan udang di lokasi penelitian merupakan


pekerjaan yang umumnya ditekuni oleh masyarakat nelayan, daerah penangkapan
udang biasanya di lakukan disekitar ekosistem mangrove, alat tangkap yang
digunakan nelayan yaitu : jaring, dan parit. Adapun jenis udang yang biasanya
tertangkap di sekitar hutan mangrove seperti : udang hitam (Paneus monodon),
dan udang putih (Paneid sp). Harga jual udang di pasaran berkisar antara
Rp. 7.500 s/d 75.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan udang yang
dilakukan masyarakat sekitar 173 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar
866.67 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar
92

Rp. 39.000.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang
dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang
tertangkap disekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 19.535.578.84 per hektar per
tahun (Tabel 29 dan Lampiran 15).

Manfaat Kepiting, penangkapan kepiting biasa dilakukan pada musim


timur karena pada saat ini kondisi perairan relatif lebih tenang atau pada kondisi
air pasang naik karena pada saat ini kepiting biasanya dalam keadaan berisi
(dagingnya padat), kegiatan penangkapan kepiting di lokasi penelitian hanya
dilakukan oleh beberapa masyarakat nelayan, daerah penangkapan kepiting
biasanya di lakukan disekitar ekosistem mangrove, alat tangkap yang digunakan
nelayan berupa perangkap yang terbuat dari rotan dan waring (dalam bahasa
daerah disebut rakkang - rakkang) dan jaring kepiting. Jenis kepiting yang
biasanya tertangkap di sekitar ekosistem mangrove seperti : kepiting bakau,
kepiting rajungan. Harga jual kepiting di pasaran berkisar antara Rp. 10.000 s/d
35.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan kepiting yang dilakukan
masyarakat sekitar 155 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 310.00
kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar Rp.
5.159.500 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang
dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung kepiting yang
tertangkap disekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 2.969.621.89 per hektar per
tahun (Tabel 29 dan Lampiran 16).

Manfaat Kerang - kerangan, kegiatan penangkapan kerang-keranga n biasa


dilakukan pada musim timur karena pada saat ini kondisi perairan relatif lebih
tenang atau pada kondisi air surut. Penangkapan kerang-kerangan di lokasi
penelitian hanya dilakukan oleh beberapa masyarakat nelayan, daerah
penangkapan kerang-kerangan biasanya di lakukan disekitar hutan mangrove,
bisanya kerang-kerangan dengan mudah dapat dikumpulkan saat air surut. Jenis
kerang-kerangan yang biasanya ditangkap di sekitar hutan mangrove, seperti
kerang hijau (Anadara granosa). Harga jual kerang-kerangan di pasaran berkisar
antara Rp. 3.500 s/d 7.500 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan
kerang-kerangan yang dilakukan masyarakat sekitar 123 trip per tahun, hasil
tangkapan rata – rata sekitar 1.230 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh
93

nelayan rata – rata sekitar Rp. 3.321.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis
valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat
langsung kerang-kerangan yang tertangkap di sekitar ekosistem mangrove sebesar
Rp. 351.088.3 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 17).

Manfaat Tambak, areal tambak yang dijumpai di lokasi penelitian


umumnya dibangun dari hasil konversi hutan mangrove, masyarakat biasanya
menanam mangrove di sepanjang garis pantai ke arah laut, jika mangrove tersebut
tumbuh menjadi pohon yang besar dan diperkirakan sudah dapat berfungsi untuk
melindungi pantai dari abrasi, maka pohon mangrove yang berada di belakang ke
arah darat akan di tebang untuk dijadikan tambak. Oleh karena itu peranan hutan
mangrove sangat diperlukan untuk melindungi pantai maupun tambak dari abrasi,
melindungi perumahan penduduk dari badai dan angin topan. Tambak di lokasi
penelitian dikelola secara tradisional dan intesif dengan metode monokultur dan
polikultur, metode monokultur biasanya memelihara udang atau ikan bandeng,
sedangkan tambak yang beroperasi dengan metode polikultur biasanya
memelihara udang dan ikan bandeng secara bersamaan. Frekuensi atau siklus
pengolahan tambak dalam setahun biasanya dikelola dua kali dalam setahun.
Produksi tambak akhir – akhir ini mengalami penurunan yang sangat derastis
khusnya produksi udang windu, akibat munculnya penyakit insang merah pada
udang. Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi untuk tambak, diperoleh hasil
sebagai berikut : (a) produksi tambak monokultur udang memberikan manfaat
langsung sebesar Rp. 419.689.12 per hektar per tahun, (b) produksi tambak
monokultur ikan bandeng memberikan manfaat langsung sebesar Rp. 527.513.79
per hektar per tahun, (c) produksi tambak polikultur udang dan ikan memberikan
manfaat langsung sebesar Rp. 4.782.421.20 per hektar per tahun (Tabel 29 dan
Lampiran 18).
94

4.5 Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


Pontesi sumberdaya alam termasuk ekosistem mangrove merupakan suatu
anugerah dan keberuntungan suatu daerah yang tak ternilai harganya, dengan
demikian maka seharusnya potensi dan eksistensi sumberdaya ekosistem
mangrove tersebut tetap dipertahankan dan dilestarikan, agar terjadi keberlanjutan
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat saat
sekarang tanpa mengurangi kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang.
Untuk mencapai hal tersebut diperlukan suatu komitmen atau suatu bentuk
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang sifatnya sustainabel, sehingga
semua sektor baik dari pihak swasta maupun pemerintah dapat berjalan secara
sinergi dalam menerapkan program atau kegiatan pemanfaatan yang telah
direncanakan. Saru (2006) menunjukkan suatu bentuk hubungan linier yang
cenderung parabolik antara sub- model ekologi dengan sub- model sosial ekonomi,
kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi dan sumberdaya ekosistem mangrove
cenderung mengalami peningkatan yang diikuti oleh peningkatan manfaat secara
ekonomi, tanpa mengurangi nilai atau manfaat sosial masyarakat, sehingga
sumberdaya ekosistem mangrove secara ekologis seharusnya dipertahankan dalam
tatanan stabilitas ekosistem mangrove lestari dan berkelanjutan.
Seiring dengan penetapan undang – undang nomor 22 tahun 1999, tentang
otonomi daerah khususnya tentang pembagian wilayah perairan laut dan undang –
undang nomor 25 tahun 2000, tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah,
serta kewenangan pemerintah daerah dan kewenangan provinsi sebagai daerah
otonom, maka daerah - daerah tingkat dua yang memiliki perairan laut dan pantai,
berupayah semaksimal mungkin untuk mengkaji, menggali dan memanfaatkan
sumberdaya alam perairan laut dan pantai termasuk ekosistem mangrove dalam
rangka peningkatan kesejaht eraan masyarakat dan peningkatan PAD (pendapatan
asli daerah). Langkah - langkah yang ditempuh pemeritah daerah adalah : (1)
melakukan pemetaan potensi sumberdaya pesisir dan lautan, (2) ana lisis
keanekaragaman hayati, (3) penataan dan pemanfaatan ruang, (4) pengembangan
sumberdaya manusia (masyarakat dan staf pemerintah) melalui penyuluhan dan
pelatihan, (5) melakukan eksperimen dan aktualisasi program yang direncanakan.
Pemerintah daerah juga sangat mendukung adanya penelitian ilmiah yang
sifatnya dapat memberikan konstribusi terhadap pengembangan daerah, sehingga
95

dengan mudah penelitian ini dapat dilaksanakan. Hasil survei terhadap beberapa
parameter, seperti : parameter ekologis, biofisik lingkungan, sosial, parameter
ekonomi masyarakat dan parameter geomorfologi, nilai yang diperoleh dari hasil
survei dan analisis setiap parameter tersebut di atas, selanjutnya dilakukan
analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan mangacu pada
matriks standar kesesuaian pemanfaatan lahan. Berdasarkan hasil analisis dan
interpretasi kriteria kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, didasarkan pada
empat kelas kesesuaian lahan, yaitu : (1) kelas S1 kategori sangat sesuai (higly
suitable), (2) kelas S2 ketegoti sesuai (suitable), (3) kelas S3 kategori tidak sesuai
saat ini (currently not suitable), dan (4) kelas N kategori tidak sesuai permanen
(permanently not suitable), sesuai dengan kelasifikasi tersebut menunjukkan
bahwa di Kabupaten Barru khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi
mangrove, dapat dilakukan beberapa kegiatan pamanfaatan yaitu : konservasi,
wisata pantai, budidaya ikan/tambak, pembangunan pelabuhan,
pemukiman, dan kawasan industri.
Kegiatan pemanfatan ekosistem mangrove sebagaimana dijelaskan pada
pendahuluan penelitian ini, bahwa ekosistem mangrove yang terdapat di pesisir
pantai dan pulau – pulau di Kabupaten Barru mempunyai potensi sumberdaya
yang cukup besar untuk pengembangan berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan
ekosistem tersebut, kegitan pemanfaatan lahan sudak sejak lama dilakukan
walaupun tidak sesuai dengan peruntukannya, akibat dari lemahnya pengetahuan
masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang
lestari dan berkelanjutan, belum adanya kebijakan pemerintah daerah yang
sepenuhnya mengatur prioritas kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem
mangrove. Oleh karena itu, konsep kebijakan pembangunan untuk pemanfaatan
ekosistem mangrove secara berkelanjutan seharusnya diterapkan untuk
menghindari terjadinya konflik kepentingan antar sektor dan degradasi ekosistem
mangrove. Menurut Dahuri (2003) pada hakekatnya kebijakan pembangunan
sumberdaya kelautan dihasilkan dari suatu proses politik, dalam pengertian,
bahwa kebijakan tersebut tersusun sesuai kepentingannya dan diimplementasikan
melalui proses negosiasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu,
keberhasilan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan sangat tergantung pada
kemauan dan komitmen segenap stakeholders.
96

Interpretasi beberapa bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove dapat


memberikan gambaran dan acuan pengelolaan wilayah pesisir khususnya kawasan
ekosistem mangrove secara komprehensif, untuk memanfaatkan segala potensi
yang tersedia sesuai dengan tingkat kebutuhan dan daya dukung lingkungan.
Ekosistem mangrove di Kabupaten Barru umumnya tumbuh di wilayah pesisir di
depan pantai sehingga keberadaannya dapat berfungsi sebagai kawasan lindung
(reservasi) dari hempasan gelombang dan badai terhadap keberadaan kawasan
tambak yang umumnya dibangun di belakang hutan mangrove kearah darat,
demikian pula dengan kawasan pemukiman penduduk dan kawasan industri.
Sedangkan pemanfaatan untuk kegiatan ekowisata dan rehabilitasi yang
merupakan rangkaian dari konservasi dapat dilakukan di dalam kawasan hutan
mangrove pada areal mangrove yang rusak maupun pada areal yang baru untuk
tujuan ekstensifikasi atau penambahan luasan areal hutan mangrove, kegiatan
wisata pantai dan pelabuhan dapat dikembangkan sekitar ekosistem mangrove.
Komposisi penggunaan atau pemanfaatan lahan untuk menunjang
kebutuhan ruang secara khusus (strategis) pada kawasan perencanaan (kawasan
ekosistem mangrove), sesuai dengan kebijakan pengembangan wilayah
Kabupaten Barru untuk pemanfaatan lahan hingga 2010, maka komposisi
pemanfaatan lahan dipandang sebagai suatu usaha untuk melihat pembagian ruang
dalam peruntukan lahan yang menampung berbagai kegiatan, fungsi dan elemen
yang sudah ada, dengan berbagai jenis elemen baru yang akan dikembangkan
pada kawasan perencanaan, antara lain : kawasan pemukiman, kawasan pelabuhan
rakyat, kawasan budidaya perikanan (tambak dan keramba apung), dan kawasan
konsevasi hutan mangrove (Bappeda 2000). Dengan demikian, pemanfaatan
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, dari hasil interpretasi kesesuaian
pemanfaatan lahan berkembang menjadi beberapa bentuk pemanfaatan, yaitu
kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai dan kawasan industri.
Pemanfaatan ekosistem mangrove di setiap kecamatan di Kabupaten Barru,
mempunyai bentuk kesesuaian pemanfaatan lahan yang sedikit berbeda sesuai
bentang alam, kondisi fisik lingkungan, ekobiologi dan sosial ekonomi
masyarakat. Adapun bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove pada setiap
kecamatan dapat dijabarkan sebagai berikut.
97

4.5.1 Kecamatan Mallusetasi


Kesesuaian pemanfaatan lahan dengan menggunakan parameter fisik
lingkungan, parameter ekologi (Tabel 30) dan aspek sosial ekonomi masyarakat,
selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan matriks kesesuaian
lahan yang telah ditentukan, hasil analisis menunjukkan bahwa di Kecamatan
Mallusetasi khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove pada
posisi geografis sekitar 119o 37' 335'' – 119o 37' 572'' Bujur Timur dan 04o 13' 627''
– 04o 20' 402'' Lintang Selatan, dengan luas wilayah 4.102 ha meliputi Desa /
Kelurahan Bojo seluas 2.037 ha, Cilellang seluas 1.385 ha dan Batupute seluas
680 ha, dapat dilakukan beberapa kegiatan pemanfaatan yaitu : konservasi, wisata
pantai, budidaya ikan/tambak, dan kawasan industri (Gambar 26). Pemanfaatan
ekosistem secara efesien dan optimal dapat memberikan keuntungan yang
maksimal dan tetap memelihara stabilitas potensi dan sumberdaya ekosistem.
Tabel 30. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kecamatan Mallusetasi.

No Parameter Desa / Kelurahan Kec. Mallusetasi


Bojo Cilellang Batupute
1 Suhu udara (oC) 30 29.8 28.8
2 Suhu air (o C) 32.7 29.4 29.9
3 Salinitas ‰ 28 22 25
4 pH 8.11 6.94 7.71
5 DO (ppm) 1.44 8.48 3.36
6 Eh (mv) 245.66 248.58 244.78
7 Fosfat (mg/100 gr) 15.47 12.66 16.48
8 Nitrat-total ( % ) 0.13 0.10 0.11
9 Kecepatan arus (m/det) 0.02045
10 Gelombang (m) 0.51 – 1
11 Tunggang pasut (cm) 0 – 159
12 Tipe pasut Semi-diurnal campuran dominan-harian
13 Jenis sedimen (substrat) lumpur berpasir berpasir lumpur berpasir
14 Luas wilayah (ha) 2.037 1.385 680
Sumber : Hasil pengukuran (2006) dan Bappeda (2000)

Pada dasarnya hasil inventarisasi kegiatan pemanfaatan lahan di Kecamatan


Mallusetasi, umumnya dapat dimplementasikan karena dianggap sudah sesuai
dengan kriteria optimalisasi pemanfaatan potensi dan sumberdaya ekosistem
mangrove, namun untuk menghindari konflik pemanfaatan di berbagai sektor,
maka setiap bentuk pemanfaatan kawasan diperlukan adanya analisis prioritas
kegiatan yang sesuai dengan harapan stakeholders dan dayadukung ekosistem
mangrove.
98
99

4.5.2 Kecamatan Soppengriaja


Hasil survei, analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan
menggunakan parameter fisik lingkungan, parameter ekologi (Tabel 31) dan aspek
sosial ekonomi masyarakat, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai
dengan matriks kesesuaian lahan yang telah ditentukan, hasil analisis
menunjukkan bahwa di Kecamatan Soppengriaja khususnya di daerah perairan
pantai dengan vegetasi mangrove pada posisi geografis sekitar 119o 36' 953'' –
119o 37' 396'' Bujur Timur dan 04o 14' 423'' – 04o 17' 138'' Lintang Selatan, dengan
luas wilayah 4.733 ha meliputi Desa / Kelurahan Siddo seluas 1.490 ha,
Mangkoso seluas 263 ha dan Ajjakang seluas 2.300 ha, hasil analisis kesesuaian
pemanfaatan lahan menunjukkan bahwa di Kecamatan Soppengriaja dapat
dilakukan beberapa kegiatan pamanfaatan yaitu : konservasi, wisata pantai,
budidaya ikan/tambak, dan pembangunan pelabuhan (Gambar 27).

Tabel 31. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kecamatan Soppengriaja

No Parameter Desa / Kelurahan Kec. Soppengriaja


Siddo Mangkoso Ajakkang
1 Suhu udara (oC) 31.3 26.6 28.4
2 Suhu air (o C) 30.5 30.3 30.9
3 Salinitas ‰ 20 27 25
4 pH 7.20 7.66 7.38
5 DO (ppm) 3.36 3.36 3.68
6 Eh (mv) 246.65 247.14 246.34
7 Fosfat (mg/100 gr) 10.78 13.45 9.87
8 Nitrat-total ( % ) 0.13 0.10 0.11
9 Kecepatan arus (m/det) 0.05556
10 Gelombang (m) 0.51 – 1
11 Tunggang pasut (cm) 0 – 159
12 Tipe pasut Semi-diurnal campuran dominan-harian
13 Jenis sedimen (substrat) pasir berlumpur lumpur berpasir lumpur berpasir
14 Luas wilayah (ha) 1.490 263 2.300
Sumber : Hasil pengukuran 2006 dan Bappeda 2000.

Dari enam program pemanfaatan ekosistem mangrove yang direncanakan


terdapat empat program yang memungkinkan dilaksanakan di Kecamatan
Soppengriaja seperti telah disebutkan di atas, hal ini sesuai dengan kondisi
ekosistem mangrove, bentang alam, dan parametar lingkungan hutan mangrove.
Selain kriteria tersebut, juga didukung oleh kondisi sosial ekonomi masnyarakat
dan kegiatan pemanfaatan yang sedang berlangsung.
100
101

4.5.3 Kecamatan Balusu


Hasil survei, analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan di
Kecamatan Balusu dengan menggunakan parameter fisik lingkungan, parameter
ekologi (Tabel 32) dan aspek sosial ekonomi masyarakat, selanjutnya dilakukan
analisis kesesuaian lahan sesuai dengan matriks kesesuaian lahan yang telah
ditentukan, hasil analisis menunjukkan bahwa di Kecamatan Balusu khususnya di
daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove pada posisi geografis sekitar
119o 35' 653'' – 119o 37' 572'' Bujur Timur dan 04o 17' 641'' – 04o 21' 764'' Lintang
Selatan, dengan luas wilayah 3.472 ha meliputi Desa / Kelurahan Takkalasi seluas
2.205 ha, Madello seluas 1.169 ha dan Pulau Pannikiang seluas 98 ha, pada areal
tersebut di atas dapat dilakukan beberapa kegiatan pamanfaatan yaitu : konservasi,
wisata pantai, budidaya ikan/tambak, pemukiman, dan kawasan industri (Gambar
28)

Tabel 32. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kecamatan Balusu.

No Parameter Desa / Kelurahan Kec. Balusu


Takkalasi Madello P.Pannikiang
1 Suhu udara (oC) 32.0 31.3 28.4
2 Suhu air (o C) 32.9 30.7 30.9
3 Salinitas ‰ 11 20 25
4 pH 7.75 7.20 7.38
5 DO (ppm) 4.80 2.08 2.56
6 Eh (mv) 245.78 246.51 244.87
7 Fosfat (mg/100 gr) 16.84 12.47 5.78
8 Nitrat-total ( % ) 0.12 0.11 0.12
9 Kecepatan arus (m/det) 0.02347
10 Gelombang (m) 0.51 – 1
11 Tunggang pasut (cm) 0 – 159
12 Tipe pasut Semi-diurnal campuran dominan-harian
13 Jenis sedimen (substrat) berpasir lumpur berpasir pasir berlumpur
14 Luas wilayah (ha) 2.205 1.169 98
Sumber : Hasil pengukuran 2006 dan Bappeda 2000.

Salah satu potensi sumberdaya ekosistem mangrove di Kecamatan Balusu,


yaitu Pulau Pannikiang yang mempunyai luas kawasan hutan mangrove sekitar
82.17 ha lebih luas dari pada hutan mangrove yang terdapat di kawasan pesisir
garis pantai Kabupaten Barru, dengan kondisi ekosistem mangrove yang baik
memungkinkan lima program pemanfaatan ekosistem mangrove dapat
dilaksanakan.
102
103

4.5.4 Kecamatan Barru


Hasil survei, analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan di
Kecamatan Barru dengan menggunakan parameter fisik lingkungan, parameter
ekologi (Tabel 33) dan aspek sosial ekonomi masyarakat, selanjutnya dilakukan
analisis kesesuaian lahan sesuai dengan matriks kesesuaian lahan yang telah
ditentukan, hasil analisis menunjukkan bahwa di Kecamatan Barru khususnya di
daerah perairan pantai dengan vegetasi mangrove pada posisi geografis sekitar
119o 37' 45'' Bujur Timur dan 04o 20' 57'' Lintang Selatan, dengan luas wilayah
4.899 ha meliputi Desa / Kelurahan Siawung seluas 836 ha, Mangempang seluas
1.380 ha dan Coppo seluas 2.683 ha, hasil analisis dan interpretasi kesesuaian
pemanfaatan lahan menunjukkan bahwa di Kecamatan Barru khususnya di daerah
perairan pantai dengan vegetasi mangrove, dapat dilakukan beberapa kegiatan
pemanfaatan yaitu : konservasi, wisata pantai, budidaya ikan/tambak,
pembangunan pelabuhan, dan pemukiman (Gambar 29)

Tabel 33. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kecamatan Barru.


No Parameter Desa / Kelurahan Kec. Barru
Siawung Mangempang Coppo
1 Suhu udara (oC) 29.9 31.8 -
2 Suhu air (o C) 30.4 30.7 29 - 33
3 Salinitas ‰ 25 20 19.5
4 pH 7.42 7.56 7.52
5 DO (ppm) 2.72 5.056 7.36
6 Eh (mv) 247.78 248.56 246.77
7 Fosfat (mg/100 gr) 10.45 8.87 12.24
8 Nitrat-total ( % ) 0.12 0.12 0.14
9 Kecepatan arus (m/det) 0.03572
10 Gelombang (m) 0.51 – 1
11 Tunggang pasut (cm) 0 – 159
12 Tipe pasut Semi-diurnal campuran dominan-harian
13 Jenis sedimen (substrat) lumpur berpasir pasir berlumpur lumpur berpasir
14 Luas wilayah (ha) 836 1.380 2.683
Sumber : Hasil pengukuran 2006 dan Bappeda 2000.

Kecamatan Barru merupakan kecamatan yang terdapat di pusat kota


Kabupaten Barru, sehingga di daerah ini terjadi optimalisasi pemanfaatan lahan
termasuk kawasan pesisir dengan vegetasi mangrove. Dari enam program yang
direncanakan terdapat lima program yang sesuai untuk pemanfaatan ekosistem
mangrove, hal ini didukung oleh kawasan pesisir yang terlindung dari pulau
Pannikiang dan bentang alam lebih spesifik memungkinkan untuk dikembangkan
berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove.
104
105

4.6 Konsep Keterpaduan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove


Konsep keterpaduan disusun dan diformulasikan berdasarkan jastifikasi
dari seluruh stakeholders yang mempunyai kompotensi merumuskan dan
memformulasikan kebijakan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yaitu (1)
expert (pembuat kebijakan) terdiri dari aparat pemerintah diantaranya para kepala
dinas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta yang selama ini terlibat
langsung dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, peneliti dari perguruan tinggi,
tokoh masyarakat dan tokoh agama yang mengetahui secara historis peluang-
peluang pengembangan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di
Kabupaten Barru. Expert dalam penelitian ini memberikan input pemanfaatan
ekosistem mangrove mengacu pada Peraturan Daerah nomor 23 tahun 2001
tentang konservasi (rehabilitasi, perlindungan atau penetapan kawasan jalur hijau
hutan mangrove) dan peluang pengembangan budidaya tambak. Hasil analisis
pembobotan yang dilakukan terhadap expert yang terdiri 25 responden
menunjukkan bahwa konservasi (rehabilitasi, perlindungan atau penetapan
kawasan jalur hijau hutan mangrove) sebagai output pemanfaatan tertinggi dengan
nilai 72%, sedangkan peluang pengembangan budidaya tambak 28%. Hal ini
menunjukkan bahwa Perda nomor 23 tahun 2001 yang merupakan acuan
pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, sangat
membatasi peluang-peluang pengembangan dan pemanfaatan ekosistem mangrove
yang selama ini dilakukan oleh stakeholders termasuk masyarakat nelayan yang
sangat menggatungkan hidupnya pada ekosistem mangrove, (2) masyarakat
nelayan yang terlibat dan berinteraksi langsung dalam pemanfaatan ekosistem
mangrove, masyarakat yang hidup di wilayah pesisir khususnya di sekitar hutan
mangrove umumnya sangat menggantungkan kehidupannya dari potensi dan
sumberdaya ekosistem mangrove, sehingga dalam melakukan kegiatan-kegiatan
pemanfaatan potensi ekosistem mangrove umumnya dilakukan berdasarkan
persepsi, perilaku secara turun-temurun dan berbagai kegiatan yang dianggap
memberikan keuntungan secara ekonomi untuk meningkatkan kesejahtraan
keluarga dan masyarakat nelayan secara umum.
Dari 172 responden yang diwawancarai dengan mengacu pada daftar
pertanyaan pada kuesioner yang telah disusun secara detail didapatkan informasi
tentang berbagai bentuk pemanfaatan atau kegiatan-kegiatan yang selama ini
106

dilakukan oleh masyarakat dengan persentase masing- masing : budidaya tambak


35%, industri 14%, pemukiman 11%, persawahan 11%, areal penangkapan 10%,
penebangan atau pengambilan kayu 8%, dan mengambil satwa 7%, kegiatan
pemanfaatan tersebut di atas biasanya dilakukan secara temporer berdasarkan
musim atau keinginan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sesaat, sehingga
dalam melakukan kegiatan pemanfaatan di ekosistem mangrove terkadang tidak
menghiraukan aturan-aturan yang telah ditetapkan sehingga sangat berpeluang
untuk terjadinya konflik yang bermuara kepada kerusakan ekosistem mangrove,
(3) peneliti yang merupakan mediator antara pemerintah dan masyarakat maupun
stakeholders lainnya dalam merumuskan dan memformulasikan konsep kebijakan
pemanfaatan ekosistem mangrove. Indikator input yang digunakan dalam
menganalisis pemanfaatan potensi sumberdaya ekosistem mangrove untuk
berbagai bentuk pemanfaatan yang sesuai, yaitu : (a) nilai manfaat langsung
ekosistem mangrove merupakan suatu nilai ekonomi yang memberikan konstribusi
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat termasuk
meningkatkan pendapatan asli daerah. Manfaat langsung dari produk ekosistem
mangrove mengidikasikan bahwa ekosistem mangrove tersebut lanyak untuk
dikelola atau dimanfaatkan, (b) kondisi biofisik ekosistem mangrove memberikan
input tentang fungsi ekologis, biologis, dan fungsi fisik ekosistem mangrove
tersebut, selain itu input biofisik juga digunakan untuk menganalisis kesesuaian
lahan untuk pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan analisis kesesuaian
pemanfatan lahan diharapkan dapat memberikan output atau jastifikasi
pemanfaatan ekosistem mangrove yang sesuai peruntukannya dan menata berbagai
bentuk kegiatan pemanfaatan secara terpadu dan komprehensif. Output
pemanfaatan ekosistem mangrove yang merupakan hasil jastifikasi dari data sosial
ekonomi masyarakat sebagai kontrol terhadap tingkat kesejahtraan masyarakat
yang selama ini melakukan kegiatan pemanfaatan terhadap ekosistem mangrove
dan hasil analisis spasial kesesuaian pemanfaatan lahan ekosistem mangrove di
Kabupaten Barru dengan bobot persentase dari setiap kegiatan pemanfaatan yang
direkomendasikan adalah sebagai berikut : konservasi 39%, budidaya tambak 20%,
wisata pantai 15%, industri 10%, pelabuhan dan pemukiman masing- masing 8%
(Tabel 34).
107
108

Analisis konsep keterpaduan pemanfaatan ekosistem mangrove merupakan


suatu analisis yang dilakukan untuk memadukan berbagai bentuk kepentingan
pemanfaatan ekosistem mangrove dari sudut pandang yang berbeda berdasarkan
kepentingan masing- masing stakeholders terhadap ekosistem mangrove tersebut.
Ada tiga elemen atau pemrasaran yang dilibatkan secara langsung untuk
memberikan input dalam menganalisis keterpaduan pemanfaatan ekosistem
mangrove yaitu : expert, masyarakat, dan peneliti (Gambar 30).

PENELITI

-Konservasi - Industri
-Budidaya Ikan/Tambak - Pelabuhan
-Wisata Pantai - Pemukiman

50%
perlindungan atau jalur hijau

-Pengambil satwa
-Penangkapan
-Penebangan Manngrove
-Persawahan
-Industri
-Pemukiman
-Pertambakan
MASYARAKAT
- Konservasi (rehabilitasi,
EXPERT

- KONSERVASI
- BUDIDAYA IKAN/
- Budidaya tambak
hutan mangrove

TAMBAK
25% - WISATA PANTAI 25%
- INDUSTRI
- PELABUHAN
- PEMUKIMAN

Gambar 30. Keterpaduan konsep dan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove

Konstribusi dari setiap pemrasaran dalam menentukan keterpaduan


pemanfaatan ekosistem mangrove ditentukan berdasarkan interpretasi input dan
bobot setiap kegiatan pemanfaatan yang disarankan, sehingga diperoleh nilai
persentase sebagai berikut : expert memberikan konstribusi sebesar 25%, peneliti
sebagai mediator dan konseptor formulasi kebijakan pemanfaatan di Kabupaten
Barru memberikan konstribusi sebesar 50%, dan masyarakat memberikan
konstribusi sebesar 25%. Berdasarkan hasil analisis keterpaduan konsep
pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut diperoleh beberapa bentuk kegiatan
pemanfaatan ekosistem mangrove yang dapat dilakukan secara terpadu pada
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yaitu : konservasi, budidaya
109

ikan/tambak, wisata pantai, industri, pelabuhan, dan pemukiman. Oleh karena itu
untuk mencapai hasil yang optimal dalam mengimplementasikan setiap bentuk
kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove perlu dilakukan analisis lanjutan
tentang strategi dan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di
Kabupaten Barru.

4.7 Strategi Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Formulasi strategi kebijakan pemanfaatan potensi sumberdaya ekosistem


mangrove sangat menentukan arah dan tujuan perencanaan dan pengembangan
pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu berkelanjutan. Formulasi strategi
pemanfaatan ekosistem mangrove memerlukan suatu proses analisis secara
multidimensi dengan mengakumudir semua aspek yang terkait dengan
perencanaan pemanfaatan ekosistem secara strategis. Aspek – aspek yang perlu
diperhatikan dalam formulasi strategi pemanfaatan ekosistem mangrove, yaitu
aspek ekologis, sosial budaya, dan aspek ekonomi. Inp ut data mengenai aspek
ekologis merupakan hasil pengukuran dan analisis yang dilakukan langsung pada
ekosistem mangrove selama penelitian, input data sosial dan ekonomi merupakan
hasil wawancara dengan para responden yang telah ditentukan sebelumnya dan
input data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait.
Berdasarkan input data ekologis, sosial budaya dan ekonomi, maka
dilakukan suatu analisis strategis dengan menggunakan analisis SWOT yang
menggunakan elemen kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dalam
analisis SWOT ada dua faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah
dan strategi pengembangan dan perencanaan pemanfaatan ekosistem mangrove,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi komponen
kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal meliputi peluang dan
ancaman. Kedua faktor tersebut dijabarkan menjadi beberapa elemen yang terkait
dengan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan,
selanjutnya dilakukan penilaian dan pembobotan oleh responden kemudian
dilakukan tabulasi data dari judgement setiap responden. Hasil penilaian para
responden selanjutnya dilakukan perivikasi untuk menganalisis penentuan strategi
pemanfaatan ekosisntem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan.
110

Komponen kekuatan menunjukkan nilai yang cukup signifikan terhadap


pemanfaatan ekosistem mangrove dengan nilai + 1.253. Sedangkan kelemahan
dalam pemanfaatan ekosistem mangrove menunjukkan nilai – 1.946, sehingga
akumulasi nilai dari pengaruh faktor – faktor internal adalah – 0.693 (Tabel 35).

Tabel 35. Hasil analisis dan akumulasi pendapat dari responden untuk komponen
internal SWOT.

Faktor -Faktor Strategi Internal Bobot Rating Bobot x Rating

Kekuatan :

• Kelimpahan dan keanekaragaman 0.155 3 0.465


organisme pada ekosistem mangrove

• Potensi sumberdaya hutan mangrove belum 0.197 4 0.788


dimanfaatkan secara optimal

Kelemahan :

• Kebijakan pemerintah daerah nomor 23 0.187 -4 -0.748


tahun 2001 menetapkan kawasan mangrove
sebagai kawasan lindung, yang
memungkinkan untuk dikelola dan
dimanfaatkan

• Tingkat pendidikan dan pengetahuan 0.087 -2 -0.174


masyarakat lokal masih cukup rendah

• Partisipasi dan kesadaran masyarakat masih 0.098 -2 -0.196


relatif rendah terhadap fungsi dan
pemanfaatan ekosistem mangrove

• Penataan dan penggunaan ruang untuk 0.097 -3 -0.291


pemanfaatan perlu diperjelas batasan dan
peruntukannya agar tidak terjadi alih fungsi
lahan mangrove

• Low enforcement (rendahnya penegakan 0.179 -3 -0.537


hukum) terhadap pelaku perusak ekosistem
mangrove

Total 1 -0.693

Selanjutnya hasil analisis komponen peluang menunjukkan nilai yang signifikan


terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove dengan nilai + 2.207, sedangkan
111

ancaman dalam pemanfaatan ekosistem mangrove menunjukkan nilai – 0.965,


sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor – faktor internal adalah + 1.242
(Tabel 36).

Tabel 36. Hasil analisis dan akumulasi pendapat dari responden untuk komponen
eksternal SWOT.

Faktor -Faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Bobot x Rating

Peluang :

• Pengembangan mangrove menjadi kawasan 0.175 4 0.700


konservasi, wisata bahari, tambak, industri.

• Akses informasi dan sarana prasarana 0.137 4 0.548


cukup baik untuk mendukung pengelolaan
ekosistem mangrove

• Penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat 0.101 4 0.404

• Peningkatan pendapatan masyarakat dan 0.098 3 0.294


PAD

• Adanya animo stakeholders untuk 0.087 3 0.261


mengembangkan bentuk pengelolaan
ekosistem mangrove

Ancaman :

• Kondisi ekosistem mangrove mempunyai 0.105 -3 -0.315


daya dukung yang terbatas, sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan

• Timbulnya Ego-sektoral yang 0.059 -4 -0.236


memungkinkan terjadinya konflik
kepentingan dalam pemanfaatan mangrove

• Pengelolaan ekosistem mangrove tidak 0.101 -2 -0.202


sesuai dengan peruntukannya

• Permintaan pasar domestik dan eksport 0.075 -2 -0.150

• Perilaku dan interaksi masyarakat terhadap 0.062 -1 -0.062


ekosistem mangrove mengakibatkan Laju
konversi ekosistem mangrove

Total 1 1.242
112

Berdasrkan hasil analisis matriks SWOT, yaitu IFAS (internal factor


evaluation strategis) dan EFAS (eksternal factor evaluation strategis) pada
Tabel 37, menunjukkan bahwa kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Barru
berada pada posisi kuadrant III dengan nilai – 0.693 sampai dengan 1.242, artinya
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru dapat dikembangkan baik ditinjau dari
segi penambahan areal maupun untuk pemanfaatan tertentu berdasarkan potensi
sumberdaya ekosistem mangrove (Gambar 31).

Peluang

III. Posisi Strategi Pemanfaatan Ekosistem I. (mendukung strategi agresif)


Mangrove – 0,693 sampai +1,242
(mendukung strategi trun-around)

Kelemahan Kekuatan

IV. (mendukung strategi defensif) II. (mendukung strategi diversifikasi)

Ancaman

Gambar 31. Hasil analais matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan
faktor eksternal.

Hasil pembobotan matriks SWOT yang dianalisis dari data responden


melalui kuesioner dan input data potensi sumberdaya ekosistem mangrove
menunjukkan bahwa posisi kondisi ekosistem mangrove untuk pemanfaatan secara
terpadu dan berkelanjutan, kondisi ini menunjukkan situasi yang memerlukan
pengelolaan yang cermat dengan menggunakan strategi yang tepat sesuai dengan
kondisi dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove, kondisi sosial budaya dan
tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pemanfaatan ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru mengacu pada suatu strategi yang memanfaatakan
seluruh peluang seoptimal mungkin untuk me minimalkan kelemahan, sehingga
para stakeholders dapat memanfaatan ekosistem mangrove sesuai dengan
113

peruntukan ekosistem yang telah ditetapkan pada analisis kesesuaian pemanfaatan


lahan, sehingga dapat memperoleh keuntungan sesuai yang diharapkan. Kondisi
pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru berada pada kuadran ke
tiga, yaitu posisi strategi pemanfaatan ekosistem mangrove mendukung strategi
trun-around. Posisi tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan ekosistem
mangrove harus menciptakan strategi yang meminimalkan kememalahan untuk
memanfaatkan peluang seoptimal mungkin.

Tabel 37. Matriks SWOT untuk penentuan strategi pemanfaatan ekosistem


mangrove.

IFAS Strengths (S) Weaknesses (W)

• Kelimpahan dan • Kebijakan pemerintah


keanekaragaman • Tingkat pendidikan dan
• Potensi sumberdaya pengetahuan masyarakat
ekosistem mangrove lokal masih cukup rendah
• Partisipasi dan kesadaran
masyarakat
• Penataan dan penggunaan
EFAS ruang mangrove
• Low inforcement
Opportunities (O)

• Pengembangan mangrove Strategi (SO) Strategi (WO)


• Akses informasi dan sarana
prasarana Ciptakan starategi yang Ciptakan strategis yang
• Penyerapan tenaga kerja menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
bagi masyarakat untuk memanfaatkan untuk memanfaatkan peluag
• Peningkatan pendapatan
masyarakat dan PAD
• Animo stakeholders
Treaths (T)
• Daya dukung ekosistem Strategis (ST) Strategi (WT)
yang terbatas
• Ego-sektoral Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
• Pengelolaan yang tidak menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
sesuai untuk menghindari ancaman dan menghidari ancaman
• Permintaan pasar domestik
dan eksport
• Konversi ekosistem
mangrove

Kombinasi yang dilakukan pada setiap elemen SWOT khususnya pada


komponen peluang dan ancaman memberikan konstribusi strategis untuk
114

pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru secara keseluruhan terhadap


berbagai bentuk pemanfaatan dapat dilakukan dengan langkah – langkah strategi
sebagai berikut :
Strategi trun-around OW (peluang dan kelemahan) yaitu ciptakan strategis yang
meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang), dengan strategi umum
pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru sebagai berikut :
1. Penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara
spesifik seharusya melibatkan para stakeholders dengan pendekatan
multikriteria, sesuai peruntukan dan pemanfaatan ekosistem mangrove.
2. Pemanfaatan ekosistem mangrove harus tetap mengacu dan
mempertimbangkan kelestarian dan potensi sumberdaya ekosistem
mangrove.
3. Dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, para stakeholders harus
mempunyai visi, misi, dan tujuan pengelolaan yang jelas sesuai peraturan
dan kebijakan pemerintah daerah yang berlaku.
4. Peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap
bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove.
5. Melakukan pelatihan terhadap masyarakat untuk mendukung setiap bentuk
pemanfaatan ekosistem mangrove dan melibatkan mereka dalam
pengelolaan ekosistem mangrove tersebut.
6. Melakukan pemantauan pasar dan promosi potensi sumberdaya mangrove
baik di tingkat regional maupun internasional.
7. Membuat master plan and action plan (rencana pengelolaan dan rencana
aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan
areal disekitarnya.
8. Menghindari terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor
dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan
pemanfaatan ruang secara spesifik.
9. Meningkatkan keterlibatan, partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam
pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove, melalui pembinaan
individu atau kelompok, pelatihan, dan proyek percontohan.
115

10. Memicu daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di wilayah


pesisir melalui promosi potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan
peruntukan ruang secara spesifik untuk pengembangan usaha tertentu.
11. Melarang mengkonversi hutan mangrove yang tidak sesuai dengan master
plan pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah disepakati sebagai suatu
kebijakan pemerintah daerah.
12. Mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
13. Pelarangan penebangan, pengambilan kayu, atau konversi hutan mangrove
untuk peruntukan yang tidak sesuai dengan master plan.
14. Melakukan sosialisasi dan penegakan hukum terhadap stakeholders yang
terkait langsung dengan pemanfaatan dan keberadaan ekosistem
mangrove.
15. Luasan areal dan potensi ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan,
sehingga tidak mengurangi fungsi fisik, kimia dan biologis hutan
mangrove.
16. Melakukan studi kelayakan untuk kesesuain lahan dan AMDAL (analisis
mengenai dampak lingkungan) meliputi RKL (rencana pengelolaan
lingkungan) dan RPL (rencana pemantauan lingkungan) untuk setiap
kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove.
17. Sosialisasi dan pemahaman terhadap masyarakat tentang program
pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah disepakati dan ditetapkan
sebagai kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove.
18. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap implementasi kegiatan
pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkala.

Dari 18 strategi umum pemanfaatan ekosistem mangrove yang dihasilkan


dari analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan acaman terdapat beberapa point
strategi yang sangat erat relevansinya dengan strategi nasional pengelolaan
ekosistem mangrove. Menurut Tim Revisi Strategi Nasional Pengelolaan Hutan
Mangrove Indonesia (2004) bahwa strategi nasional mempunyai Visi dan Misi
sebagai berikut : (1) Visi : terwujudnya pengelolaan ekosistem mangrove yang
berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, (2) Misi : melakukan upayah
116

rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove di kawasan lindung dan budidaya,


meningkatkan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan nilai manfaat
sumberdaya mangrove dan pemanfaatan hutan yang bijak, meningkatkan kapasitas
kelembagaan dan kemanpuan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, dan
misi yang terakhir yaitu menyusun peraturan perundang – undangan dan
penegakan hukum.

4.8 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian pemanfaatan lahan di Kabupaten Barru


telah ditetapkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis kegiatan pemanfaatan lahan
khususnya pada areal ekosistem mangrove, adapun kegiatan yang dimaksud adalah
konservasi, wisata pantai, budidaya tambak, pelabuhan, pemukiman, dan kawasan
pengembangan industri. Untuk mengaktualisasikan kegiatan – kegiatan tersebut di
atas, maka diperlukan suatu bentuk analisis prioritas kegiatan sehingga tidak
terjadi konflik kepentingan antar sektor baik swasta maupun pihak pemerintah.
Analisis prioritas kegiatan untuk menentukan kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove dalam penelitian ini adalah analytical hierarchy process dan analisis
strengths weak neses opportunities theaths (A’WOT) dengan menggunakan
software MAHP. Hasil analisis prioritas komponen SWOT menunjukkan bahwa
komponen opportunity (peluang) dengan nilai prioritas 0.3112 (31.12 %)
merupakan prioritas utama dalam mendukung kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove, kemudian komponen pada prioritas kedua weakneses (kelemahan)
dengan nilai prioritas 0.2973 (29.73 %), lihat Gambar 32 dan Lampiran 19.
35.00
29.73 31.12
30.00
23.62
Persentase (%)

25.00
20.00
15.53
15.00
10.00
5.00

0.00
1
Keterangan : Prioritas komponen SWOT

Strength 0.2362 P3 Weakneses 0.2973 P2


Opporthunity 0.3112 P1 Treaths 0.1553 P4

Gambar 32. Kebijakan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove dengan komponen


prioritas SWOT.
117

Komponen peluang dan kelemahan dalam analisis prioritas memberikan


gambaran dan prediksi pengembangan dan pemanfaatan ekosistem mangrove di
Kabupaten Barru sangat menggembirakan, karena ketersedian potensi sumberdaya
ekosistem mangrove dan daya dukung lingkungan mengindikasikan adanya
peluang pemanfaatan ekosistem mangrove sesuai skala prioritas kegiatan yang
direncanakan. Namun demikian masih terdapat beberapa kelemahan yang harus
diminimalisir, oleh karena komponen weakneses (kelemahan), salah satu elemen
yang mendukung komponen kelemahan adalah elemen kebijakan pemanfaatan
ekosistem mangrove, tingginya nilai prioritas kelemahaan mengindikasikan bahwa
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang tertuang dalam perda nomor 23
tahun 2001 di lokasi penelitian sangat lemah dan tidak optimal dalam mendukung
tingkat kesejahtraan masyarakat dan keberlanjutan ekosistem, sehingga sangat
dibutuhkan adanya kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dapat
mengakumudir semua kepentingan stakeholders dan bersifat terpadu
berkelanjutan. Komponen berikutnya adalak kekuatan dan ancaman, komponen
strength (kekuatan) menunjukkan skala prioritas ketiga dengan nilai prioritas
0.2362 (23.62 %), sedangkan komponen terakhir yaitu treaths (ancaman) dengan
nilai prioritas 0.1553 (15.53 %) menunjukkan bahwa komponen tersebut cukup
rendah artinya bahwa ancaman terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove tidak
signifikan jika komponen – komponen lainnya dioptimalkan untuk menekan semua
bentuk ancaman yang berdampak negatif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan
ekosistem mangrove. Dalam analisis SWOT menggambarkan bahwa untuk
mengembangkan suatu usaha diperlukan konstribusi komponen peluang pada
tatanan skala prioritas untuk mengurangi pengaruh dari komponen kelemahan,
komponen ancaman harus ditekan dan dibenahi semaksimal mungkin, atau dengan
kata lain memanfaatkan peluang untuk menutupi kelemahan dan mengoptimalkan
peluang untuk menghindari segala macam ancaman yang dapat menghambat atau
mengga galkan program yang telah direncanakan.
Setiap komponen SWOT yang digunakan dalam AHP pada level kriteria,
masing – masing dilengkapi sub-komponen yang merupakan input atau judgement
(pendapat) dari responden yang selama ini terlibat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru. Sub-komponen (sub-
118

kriteria) yang memberikan konstribusi terhadap setiap alternatif kegiatan yang


direncanakan.
Komponen Strength (kekuatan) yang memungkinkan dapat dikembangkan
dalam pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, dilengkapi dua sub-
komponen, yaitu : (1) keanekaragaman organisme pada ekosistem mangrove, (2)
potensi sumberdaya ekosistem mangrove belum dimanfaatkan secara optimal.
Hasil analisis prioritas komponen strength menunjukan bahwa prioritas utama
adalah potens i sumberdaya ekosistem mangrove belum dimanfaatkan secara
optimal, dengan nilai skala prioritas 0.588 (58.80 %), sedangkan skala prioritas
kedua yaitu komponen keanekaragaman organisme pada ekosistem mangrove juga
memberikan input yang cukup signifikan dengan nilai berkisar 0.412 (42.20 %),
lihat pada Gambar 33.
Persentase (%)

70.00
58.80
60.00
50.00
41.20
40.00

30.00
20.00
10.00
0.00

Proiritas pemanfaatan
Keterangan :
Keanekaragaman 0.412 P2 Sumberdaya 0.588 P1

Gambar 33. Prioritas dan persentase komponen strength

Komponen weakneses (kelemahan) yang dikembangkan dalam pemanfaatan


ekosistem mangrove terdiri dari : (1) kebijakan pemerintah daerah no mor 23 tahun
2001 menetapkan kawasan mangrove sebagai kawasan lindung, yang
memungkinkan untuk dikelola dan dimanfaatkan, (2) tingkat pendidikan yang
rendah mempengaruhi perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem
mangrove, (3) partisipasi dan kesadaran masyarakat masih relatif rendah terhadap
fungsi dan pemanfaatan ekosistem mangrove, (4) penataan dan penggunaan ruang
untuk pemanfaatan perlu diperjelas batasan dan peruntukannya agar tidak terjadi
alih fungsi lahan mangrove, (5) low enforcement (rendahnya penegakan hukum)
119

terhadap pelaku perusak ekosistem mangrove. Kelima sub-komponen kelemahan


tersebut memerlukan penekanan khusus dengan memanfaatkan semua peluang
yang ada, agar perencanaan pemanfaatan ekosistem mangrove dapat terealisasi
sesuai dengan harapan stakeholders. Hasil analisis skala prioritas yang harus
diatasi dari kelima komponen tersebut di atas, yaitu komponen low enforcement
(rendahnya penegakan hukum) terhadap pelaku perusak ekosistem mangrove
dengan nilai prioritas 0.3793 (37.93 %), selanjutnya kebijakan pemerintah dengan
persentase prioritas 0.2469 (24.69 %), sedangkan komponen lainnya tidak
signifikan dengan persentase berkisar 10.54 – 15.98 %), lihat pada Gambar 34.
Persentase (%)

40.00 37.93
35.00
30.00
24.69
25.00
20.00 15.98
15.00 10.54 10.86
10.00
5.00
0.00
Prioritas pemanfaatan
Keterangan :
Kebijakan Pemerintah 0.2469 P2 Pendidikan rendah 0.1054 P5
Partisivasi masyarakat 0.1598 P3 Penataan ruang 0.1086 P4
Low inforcement 0.3793 P1

Gambar 34. Prioritas dan persentase komponen weakneses

Input dari responden untuk komponen opportunity (peluang) pemanfaatan


ekosistem mangrove adalah : (1) pengembangan mangrove menjadi kawasan
konservasi, wisata bahari, pemukiman, industri dan tambak, (2) akses informasi
dan sarana prasarana cukup baik untuk mendukung pengelolaan ekosistem
mangrove, (3) penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat, (4) peningkatan
pendapatan masyarakat dan PAD, (5) adanya animo stakeholders untuk
mengembangkan bentuk pengelolaan ekosistem mangrove. Dari kelima sub-
komponen tersebut di atas, setelah dilakukan analisis prioritas didapatkan prioritas
setiap sub-komponen sebagai berikut : pengembangan mangrove menjadi kawasan
konservasi, wisata bahari, pemukiman, industri, dan tambak dengan nilai 0.3975
(39.75 %), akses informasi dan sarana prasarana cukup baik untuk mendukung
pengelolaan ekosistem mangrove 27.37 %, penyerapan tenaga kerja bagi
masyarakat 11.03 %, peningkatan pendapatan masyarakat dan PAD 10.98 %,
120

sedangkan sub-komponen adanya animo stakeholders untuk mengembangkan


bentuk pengelolaan ekosistem mangrove tidak memperlihatkan nilai prioritas yang
signifikan dengan nilai (8.71 %), lihat Gambar 35.

45.00
39.75
40.00
Persentase (%)

35.00
30.00 27.37
25.00
20.00
15.00 11.03 10.98 10.87
10.00
5.00
0.00
Prioritas pemanfaatan
Keterangan :
Pengembangan 0.3975 P1 Informasi & Prasarana 0.2737 P2
Tanaga Kerja 0.1103 P3 Peningkatan PAD 0.1098 P4
Animo Stakeholders 0.1087 P5

Gambar 35. Prioritas dan persentase komponen oppotunity

Komponen treaths (ancaman) yang memungkinkan menghambat


pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove terdiri dari : (1) kondisi
ekosistem mangrove mempunyai daya dukung yang terbatas, sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan, (2) timbulnya Ego-sektoral yang
memungkinkan terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan pesisir, (3)
pengelolaan ekosistem mangrove tidak sesuai dengan peruntukannya, (4)
permintaan pasar domestik dan eksport (5) perilaku dan interaksi masyarakat
terhadap ekosistem ma ngrove mengakibatkan laju konversi ekosistem mangrove.
Kelima sub-komponen tersebut merupakan beberapa bentuk ancaman terhadap
pemanfaatan ekosistem mangrove, oleh karena itu diperlukan optimalisasi dalam
memanfaatkan peluang untuk meminimalisir ancaman yang ada, bentuk ancaman
yang menduduki prioritas utama ya ng memerlukan penekanan adalah kondisi
ekosistem mangrove mempunyai daya dukung yang terbatas, sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan dengan nilai prioritas 0.3603 (36.03 %),
selanjutnya pengelolaan ekosistem sesuai peruntukannya dengan nilai skala
prioritas 0.3201 (32.01 %), sedangkan jenis ancaman lainnya tetap memerlukan
penekanan – penekanan tertentu agar tidak memberikan pengaruh yang signifikan
121

terhadap semua kegiatan jenis pemanfaatan ekosistem mangrove di lokasi


penelitian dengan nilai skala prioritas 10.55 % - 10.75 % (Gambar 36).

40.00
Persentase (%)
36.03
35.00 32.01
30.00
25.00
20.00
15.00 10.59 10.75 10.62
10.00
5.00
0.00
Prioritas pemanfaatan
Keterangan :
Daya Dukung 0.3603 P1 Ego-sektoral 0.1059 P5
Peng. Ekosistem 0.3201 P2 Peluang pasar 0.1075 P3
Laju konversi tinggi 0.1062 P4

Gambar 36. Prioritas dan persentase komponen treaths

Hasil analisis prioritas kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove di


Kabupaten Barru secara umum menunjukkan bahwa terdapat 6 jenis alternatif
kegiatan pemanfaatan, urutan prioritas pertama dalam pemanfaatan ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru adalah konservasi dengan nilai skala prioritas
0.2379 (23.79 %), sedangkan pada prioritas kedua adalah budidaya perikanan
(tambak) dengan nilai skala prioritas 0.2025 (20.25 %), sebagai prioritas ketiga
adalah wisata pantai dengan nilai skala prioritas 0.1865 (18.65 %), yang berada
pada prioritas keempat adalah pelabuhan dengan nilai skala prioritas 0.1382
(13.82 %), berikutnya pada skala prioritas kelima adalah industri dengan nilai
skala prioritas 0.1189 (11.89 %), dan prioritas yang keenam untuk pemanfaatan
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru adalah pemukiman penduduk dengan
skala prioritas 0.1158 (11.58 %), lebih jelasnya lihat Gambar 37 dan Lampiran 19.
Pada dasarnya semua kegiatan tersebut di atas memungkinkan untuk
diaktualisasikan pada areal hutan mangrove di Kabupaten Barru, akan tetapi untuk
mencegah tingkat kerusakan dan degradasi ekosistem mangrove maka diperlukan
pengaturan kegiatan, sehingga hasil analisis prioritas sangat perlu untuk
diperhatikan untuk menunjang peningkatan kesejahtraan masyarakat dan
pelestarian sumberdaya ekosistem mangrove itu sendiri. Selain itu pemanfaatan
ekosistem mangrove dengan mengacu pada skala prioritas kegiatan pemanfaatan
122

akan dapat mengurangi atau meminimalisir konflik antar sektor, penggunaan


dana, laju pemanfaatan potensi sumberdaya alam secara optimal. Adapun
penjabaran hasil analisis prioritas alternatif kegiatan adalah sebagai berikut.
Konservasi dan rehabilitasi merupakan suatu paket kegiatan yang sulit
dipisahkan, karena jika konservasi ditingkatkan maka rehabilitasi sebagai
pendukung kelestarian areal yang masuk dalam kawasan konservasi. Hasil analisis
prioritas kegiatan yang menunjukkan bahwa konservasi dan rehabilitasi sebagai
alternatif utama yang semestinya dijalankan untuk pemanfaatan ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru, sesuai dengan Pengelolaan Hutan Lestari
Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa
mangrove merupakan ekosistem, dan oleh karena itu, maka pemerintah
bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2).
Selanjutnya Pasal 43 menyatakan bahwa dalam kaitan kondis i mangrove yang
rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan
kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan
perlindungan konservasi (http://www.dkp.go.id/).

25.00 23.79
Persentase (%)

20.26
20.00 18.65

15.00 13.83
11.58 11.90

10.00

5.00

0.00
Prioritas pemanfaatan
Keterangan :
Konservasi 0.237942122 P1 Wisata Pantai 0.186495177 P3
Budidaya Tambak 0.202572347 P2 Pelabuhan 0.138263666 P4
Pemukiman 0.115755627 P6 Industri 0.118971061 P5

Gambar 37. Prioritas kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove

Hasil analisis perumusan strategi pemanfaatan ekosistem mangrove yang


merupakan implementasi dari setiap alternatif yang menjadi prioritas dalam
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru merupakan suatu
123

komponen yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, oleh karena
output (luaran) dari setiap implementasi elemen-elemen kebijakan dapat terealisasi
sesuai yang diharapan apabila distimulus oleh strategi yang objektif (Tabel 38).

Tabel 38. Strategi dan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten


Barru Sulawesi Selatan.

No Strategi Kebijakan
1. a. Kebijakan konservasi Konservasi
b. Pelatihan terhadap masyarakat (P1, 23.79%)
c. Meningkatkan Keterlibatan/partisifasi dan kesadaran
masyarakat
d. Menghindari konversi ekosistem mangrove
e. Mencegah kerusakan lingkungan
f. Pelarangan eksploitasi mangrove
g. Sosialisasi dan penegakan hukum
h. Monitoring dan evaluasi.
2. a. Kebijakan budidaya tambak Budidaya
b. Menetapkan visi misi pemanfaatan mangrove Perikanan
c. Membuat master plan (P2, 20.26%)
d. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara
e. Mencegah kerusakan lingkungan
f. Luasan areal mangrove dipertahankan.
3. a. Kebijakan ekowisata dan wisata pantai Wisata Pantai
b. Kelestarian dan potensi SD-Mangrove (P3, 18.65%)
c. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara
d. Promosi dan pasar
e. Membuat master plan
f. Menarik investor.
4. a. Kebijakan pelabuhan Pelabuhan
b. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara (P4, 13.83%)
c. Membuat master plan
d. Menghindari konflik
e. Mencegah kerusakan lingkungan
f. Studi AMDAL (RKL & RPL),
g. Monitoring dan evaluasi.
5. a. Kebijakan industri Industri
b. Menetapkan visi misi pemanfaatan mangrove (P5, 11.90%)
c. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara
d. Promosi dan pasar
e. Menghindari konflik
f. Menarik investor
g. Studi AMDAL (RKL & RPL)
h. Monitoring dan evaluasi.
6. a. Kebijakan pemukiman Pemukiman
b. Membuat master plan (P6, 11.58%)
c. Menghindari konflik
d. Sosialisasi tentang program pemanfaatan yang
disepakati.
124

Konservasi (perlindungan) ekosistem mangrove merupakan suatu upayah


yang dapat ditempuh untuk mempertahankan dan melestarikan potensi sumberdaya
mangrove, karena konservasi sumberdaya mangrove dapat menjamin pemanfaatan
secara bijaksana dan berkesinambungan, sehingga persediaan potensi sumberdaya
tetap terpelihara dan dapat meningkatkan kualitas nilai keanekaragaman hayati,
hal ini sesuai dengan peraturan pemerintah daerah nomor 23 tahun 2001 tentang
penetapan jalus hijau hutan mangrove sebagai kawasan konservasi dan rehabilitasi.
Pemerintah daerah dan masyarakat di Kabupaten Barru sejak tahun 2001
menyadari sepenuhnya bahwa peranan dan fungsi ekosistem hutan mangrove
sangat besar terhadap stabilitas garis pantai, peningkatan daya dukung lingkungan,
dan peningkatan keanekaragaman spesies untuk budidaya dan penangkapan.
Kondisi ekosistem mangrove di Kabipaten Barru masih cukup baik ditinjau
dari aspek fisik, ekobiologi, dan aspek sosial budaya, maupun aspek ekonomi.
Fungsi fisik hutan mangrove sebagai barier (penghalang) dapat mengurangi
gempuran gelombang laut, genangan air pada saat pasang dan hujan, angin topan
di musim barat, hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat khususnya petani tambak
dan penduduk yang berdomisili di daerah pantai sekitar ekosistem mangrove.
Fungsi ekobiologi ekosistem hutan mangrove sebagai daerah pemijahan (spawning
ground), daerah pembesaran (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding
ground) sangat dirasakan oleh masyarakat khususnya nelayan tangkap dan nalayan
budidaya, karena dengan keberadaan hutan mangrove maka hasil tangkapan para
nelanyan sampai saat ini masih cukup baik, demikian pula dengan
keanekaragaman spesies yang dapat tertangkap, seperti ikan baronang (Siganus
sp), ikan kakap putih (Lates calcliper), ikan bandeng (Chanos chanos) ikan
sembilan, dan udang windu (Paeneus monodon), udang putih (Paenid sp), kepiting
bakau (Scilla serrata) dan lain sebagainya. Sedangkan fungsi ekosistem mangrove
dari aspek ekonomi, mempunyai nilai konstribusi sebagai manfaat langsung,
manfaat tidak lansung, manfaat pilihan dan nilai manfaat eksistensi.
Konservasi merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang
merupakan prioritas utama dengan nilai skala prioritas 23.79 %, hal ini
mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove di Kabupaten Barru secara umum
ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove sebagai kawasan konservasi dapat dilaksanakan sesuai program
125

pengembangan dan perencanaan kawasan konservasi merupakan implementasi dari


strategi kebijakan sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan
ekosistem mangrove secara spesifik sebagai kawasan konservasi, (2) melakukan
pelatihan terhadap masyarakat tentang pentingnya kawasan konservasi dan
melibatkan mereka dalam pengelolaan ekosistem mangrove tersebut, (3)
meningkatkan keterlibatan, partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam
pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove, melalui pembinaan individu
atau kelompok, pelatihan, dan proyek percontohan, (4) melarang mengkonversi
hutan mangrove yang tidak sesuai dengan master plan pemanfaatan ekosistem
mangrove yang telah disepakati sebagai suatu kebijakan Pemerintah Daerah, (5)
mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan keterlibatan
masyarakat dalam penge lolaan ekosistem mangrove (6) pelarangan penebangan,
pengambilan kayu, atau konversi hutan mangrove untuk peruntukan yang tidak
sesuai dengan master plan, (7) melakukan sosialisasi dan penegakan hukum
terhadap stakeholders yang terkait langsung dengan pemanfaatan dan keberadaan
ekosistem mangrove, (8) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap
implementasi kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkala.
Rehabilitasi ekosistem mangrove di Kabupaten Barru harus tetap
dilaksanakan setiap tahunnya untuk menambah luasan areal dan meningkatkan
potensi sumberdaya ekosistem mangrove, rehabilitasi mangrove dalam skala
prioritas merupakan bahagian dari konservasi yang sangat penting, rehabilitasi
mangrove di lokasi penelitian umumnya dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai
motivator dan penyandang dana, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat
sebagai mitra. Dengan kerjasama yang sinergi dapat menciptakan lapangan kerja
bagi masyarakat khususnya pembibitan dan proyek penanaman mangrove, output
dari kegiatan konservasi yang dilakukan, yaitu meningkatkan luasan areal hutan
mangrove di daerah pesisir Kabupaten Barru. Lebar hutan mangrove di pesisir
Kabupaten Barru berkisar 75 sampai 200 meter, sehingga masih tergolong dalam
kategori tingkat kerusakan sedang hingga kurang. Berdasarkan Surat Keputusan
Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan nomor KB.
550/264/Kpts/4/1984 dan nomor 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana
disebutkan bahwa lebar sabuk hijau untuk hutan mangrove adalah 200 meter,
selain itu surat keputusan ini juga bertujuan memberikan legitimasi terhadap
126

perlindungan hutan mangrove. Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut


dijabarkan dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 507/IV-BPHH/1990,
diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau pada hutan mangrove 200 meter di
sepanjang pantai dan 50 meter disepanjang tepian sungai.
Penentuan lebar sabuk hijau sebagaimana disebutkan di atas lebih dikuatkan
lagi dengan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan
terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari
kegiatan yang mengganggu kelestarian dan fungsi pantai, dimana kriteria
sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai minimal 100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat. Selain ketetapan tersebut di atas, berdasarkan hasil kajian
ekologis disarankan lebar sabuk hijau pada kawasan pantai yang berhutan
mangrove minimal selebar 130 meter dikalikan nilai rata – rata selisih antara air
pasang tertinggi dan surut terendah tahunan diukur dari air rendah ke arah darat.
Misalnya pada suatu kawasan pantai berhutan mangrove, nilai rata – rata air
pasang tertinggi dan surut terendah tahunan sebasar 1.5 meter, maka lebar sabuk
hijau hutan mangrove yang harus dipetahankan (daerah sempadan pantai) adalah
130 x 1.5 meter = 195 meter. hingga penelitan ini dilaksanakan luas aktual hutan
mangrove di Kabupaten Barru adalah 113,02 ha, untuk memenuhi ketentuan
umum berdasarkan peraturan di atas, maka Kabupaten Barru masih membutuhkan
pengembangan luasan areal hutan mangrove atau jalur hijau hutan mangrove
(green belt) sekitar 202.11 ha pada daerah pesisir pantai yang sesuai dengan
pertumbuhan hutan mangrove.
Penanaman bibit mangrove di sekitar hutan mangrove yang telah tumbuh
secara aktual maupun pada areal yang baru yang mempunyai kondisi lingkungan
sesuai dengan kriteria pertumbuhan bibit mangrove memerlukan beberapa strategi
kebijakan untuk mendapatkan hasil yang optimal, adapun strategi yang merupakan
implementasi rehabilitasi pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru
adalah sebagai berikut : (1) Penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem
mangrove secara spesifik untuk kawasan rehabilitasi, (2) peningkatan akses
informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan
ekosistem mangrove, (3) membuat master plan (rencana pengelolaan dan rencana
127

aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal


disekitarnya, (4) menghindari terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak /
sektor dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan
pemanfaatan ruang secara spesifik, (5) meningkatkan keterlibatan, partisipasi dan
kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove,
melalui pembinaan individu atau kelompok, pelatihan, dan proyek percontohan,
(6) mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (7) melakukan
sosialisasi dan penegakan hukum terhadap stakeholders yang terkait langsung
dengan pemanfaatan dan keberadaan ekosistem mangrove, (8) melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap setiap implementasi kegiatan pemanfaatan
ekosistem mangrove secara berkala. Ekowisata, merupakan kegiatan pemanfaatan
ekosistem mangrove yang merupakan bahagian dari konservasi yang memperkaya
nuangsa estetika dan kesenangan masyarakat, ekowisata(ecotourism) adalah
perjalanan ke daerah – daerah yang masih asli untuk memahami kebudayaan dan
sejarah ekologi lingkungan tersebut sambil memelihara keterpaduan hutannya dan
memberikan kesempatan ekonomi kepada penduduk asli di negara atau daerah
tujuan wisata (Satriago 1996). Hutan mangrove di Kabupaten Barru sangat
memungkinkan untuk dijadikan atau dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata
oleh karena kegiatan ekowisata sangat menunjang prioritas utama pada skala
prioritas yaitu konservasi, kegiatan ekowisata dapat memanfaatkan hutan
mangrove sebagai obyek wisata atau tujuan wisata disamping itu kawasan
ekosistem mangrove tetap terpelihara, sehingga fungsi fisik, ekobiologis dan sosial
ekonomi tetap berjalan seiring dengan kegiatan ekowisata yang direncanakan.
Kegiatan ekowisata dapat di kembangkan dibeberapa areal hutan mangrove di
setiap Kecamatan diantaranya : Kecamatan Mallusetasi, Soppengriaja, Balusu, dan
Kecamatan Barru.

Budidaya Ikan/Tambak, merupakan urutan kedua dalam skala prioritas


dengan nilai prioritas 20.26 %, pemanfaatan lahan di Kabupaten Barru untuk
kegiatan pertambakan sudah sejak tahun 1980-an, lahan tambak umumnya
merupakan hasil konversi dari lahan persawahan, perkebunan, dan hutan
mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi tambak dilakukan oleh masyarakat
128

secara besar – besaran sekitar tahun 1990-an, masyarakat yang diwawancarai saat
penelitian umumnya sudah mengetahui dan memahami arti pentingnya keberadaan
hutan mangrove, menyadari bahwa dengan adanya hutan mangrove dapat menjadi
tamen dari gempuran gelombang dan genangan air pasang terhadap tambak. Oleh
karena itu, tambak di Kabupaten Barru umumnya di bangun di belakang hutan
mangrove. Pengembanga n kawasan tambak di Kabupaten Barru dapat dilakukan
selama tidak merusak ekosistem mangrove, kegiatan pertambakan dapat dilakukan
di beberapa Kecamatan diantaranya : Kecamatan Mallusetasi, Soppengriaja,
Balusu dan Kecamatan Barru. Salah satu alternatif untuk pengembangan tambak di
Kabupaten Barru yaitu tambak tumpangsari (silvofishery) yaitu tambak yang
dibangun hasil konversi hutan mangrove dangan menebang mengrove sebanyak 20
% untuk parit tambak dan 80 % mangrove tetap dipertahankan, karena sistem
tambak seperti ini dapat mempertahankan keberadaan mangrove dan tingkat
kesuburan tanah. Adapun strategi yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan
ekosistem mangrove sebagai areal budidaya tambak adalah sebagai berikut : (1)
penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik
untuk peruntukan dan pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai areal
pertambakan, (2) pemanfaatan ekosistem mangrove, para stakeholders harus
mempunyai visi, misi, dan tujuan pengelolaan yang jelas sesuai peraturan dan
kebijakan pemerintah daerah yang berlaku, (3) peningkatan akses informasi dan
sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem
mangrove, (4) membuat master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di
wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal
disekitarnya, (5) mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi,
dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (6) luasan
areal dan potensi ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan, sehingga tidak
mengurangi fungsi fisik, kimia dan biologis hutan mangrove.

Wisata Pantai, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang


berada pada skala prioritas ketiga dengan nilai prioritas 18.65 %, pemanfaatan
ekosistem mangrove untuk tujuan wisata pantai dapat dilakukan di sekitar hutan
mangrove tanpa menggangu ekosistem mangrove tersebut. Kabupaten Barru
sebagai suatu kabupaten yang berada di wilayah pesisir dengan dukungan sarana
129

dan prasarana seperti akses transfortasi, informasi, administrasi, dukungan


masyarakat lokal dan panjang garis pantai sekitar 18.550 km sehingga sangat
strategis untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai. Kegiatan wisata
pantai dapat dikembangkan dibeberapa Kecamatan diantaranya : Kecamatan
Soppengriaja, Balusu dan Kecamatan Barru.
Pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan ekowisata dan wisata pantai
merupakan salah satu peluang bisnis yang sangat menggembirakan bagi para
stakeholders, untuk membangun kawasan ekowisata alam khususnya pada areal
hutan konservasi, sehingga terjadi perpaduan yang sinergi antara kegitatan wisata
dengan pelestarian ekosistem mangrove. Demikian juga dengan pengembangan
wisata pantai dapat direncanakan dan dibangun di sekitar ekosistem mangrove di
daerah pantai yang sesuai dengan kriteria pengebangan kawasan wisata pantai,
pada kawasan ini dapat direncankan pembangunan berbagai sarana dan prasarana
wisata, seperti : villa, mandi, selam, parasailing dan lain- lain. Hal tersebut di atas
juga memberikan nilai estetika tersendiri khususnya bagi para pengunjung maupun
penduduk setempat. Penetapan ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata
dan wisata pantai dapat terealisasi dengan baik apabila diimplementasikan sesuai
dengan strategi pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai berikut : (1) penyusunan
kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik untuk
ekowisata dan wisata pantai sesuai peruntukan dan pemanfaatan ekosistem
mangrove (2) pemanfaatan ekosistem mangrove harus tetap mengacu dan
mempertimbangkan kelestarian dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove, (3)
peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk
pemanfaatan ekosistem mangrove, (4) melakukan pemantauan pasar dan promosi
potensi sumberdaya mangrove baik di tingkat regional maupun internasional, (5)
membuat master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di wilayah pesisir
khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal disekitarnya, (6) memicu
daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di wilayah pesisir melalui
promosi potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan peruntukan ruang secara
spesifik untuk pengembangan usaha tertentu.

Pelabuhan, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang


berada pada skala prioritas keempat dengan nilai prioritas 13.38 %, sudah menjadi
tradisi atau kebiasaan para nelayan memanfaatkan hutan mangrove sebagai
130

pelabuhan rakyat atau tempat menyandarkan perahu pada saat selesai melaut, agar
terlindung dari badai angin kencang dan hempasan gelombang, seperti yang
dijumpai di Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu, Kelurahan Mangempang dan
Siawung Kecamatan Barru. Tradisi ini sebenarnya dapat merusak tatanan
ekosistem mangrove atau merusak mangrove pasca-rehabilitasi. Namun disadari
bahwa untuk mengembangkan sistem perekonomian dan perdangangan lewat laut
dibutuhkan pelabuhan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan,
keberadaan pelabuha n dapat dibangun disekitar hutan mangrove dengan
pertimbangan tertentu, misalnya : kedalaman perairan, tidak merusak hutan
mangrove, mudah dijangkau dan cukup terlindung. Ada beberapa daerah yang
dapat direkomendasikan untuk pengembangan pelabuhan yaitu : Kecamatan
Soppengriaja dan Kecamatan Barru. Adapun strategi yang dapat dilakukan untuk
mengimplementasikan perencanaan dan pengembagan pelabuhan di sekitar areal
ekosistem mangrove adalah sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang
pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik untuk pelabuhan, (2)
peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk
pemanfaatan ekosistem mangrove, (3) membuat master plan (rencana pengelolaan
dan rencana aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove
dan areal disekitarnya, (4) menghindari terjadinya konflik kepentingan dari
berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan
melakukan penataan pemanfaatan ruang secara spesifik, (5) mencegah kerusakan
lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem mangrove, (6) melakukan studi kelayakan untuk kesesuain
lahan dan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) meliputi RKL
(rencana pengelolaan lingkungan) dan RPL (rencana pemantauan lingkungan)
untuk setiap kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove, (7) melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap setiap implementasi kegiatan pemanfaatan ekosistem
mangrove secara berkala.

Industri, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang


berada pada skala prioritas kelima dengan nilai prioritas 11.90 %, pengembangan
kawasan industri di Kabupaten Barru cukup strategis, khususnya pengembangan
industri hatchery skala makro dan hatchery mini (skala rumah tangga). Kawasan
131

industri hatchery ini dapat di kembangkan di sekitar ekosistem mangrove, olehnya


itu kegiatan ini tidak memberikan konstribusi merusak ekosistem mangrove.
Kegiatan ini dapat dikembangkan dibeberapa Kecamatan di Kabupaten Barru,
diantaranya : Kecamatan Mallusetasi dan Kecamatan Balusu. Adapun strategi
untuk pengembangan industri di sekitar areal ekosistem mangrove adalah sebagai
berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove
secara spesifik untuk peruntukan industri, (2) pemanfaatan ekosistem mangrove,
para stakeholders harus mempunyai visi, misi, dan tujuan pengelolaan yang jelas
sesuai peraturan dan kebijakan pemerintah daerah yang berlaku, (3) peningkatan
akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan
ekosistem mangrove, (4) melakukan pemantauan pasar dan promosi potensi
sumberdaya mangrove baik di tingkat regional maupun internasional, (5)
menghindari terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor dalam
pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan pemanfaatan ruang
secara spesifik, (6) memicu daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di
wilayah pesisir melalui promosi potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan
peruntukan ruang secara spesifik untuk penge mbangan usaha tertentu, (7)
melakukan studi kelayakan untuk kesesuain lahan dan AMDAL (analisis nengenai
dampak lingkungan) meliputi RKL (rencana pengelolaan lingkungan) dan RPL
(rencana pemantauan lingkungan) untuk setiap kegiatan pemanfaatan ekosistem
mangrove, (8) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap implementasi
kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkala.

Pemukiman, merupakan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang


berada pada skala prioritas keenam dengan nilai prioritas 11.58 %, pemanfaatan
ekosistem mangrove untuk pengembangan kawasan pemukiman di Kabupaten
Barru dapat dilakukan di Kecamatan Balusu dan Kecamatan Barru. Bila ditinjau
dari profil wilayah Kabupaten Barru yang sebahagian besar wilayahnya adalah
daerah dataran rendah berupa tambak, persawahan, dan perkebunan, sehingga
lokasi untuk kawasan pemukiman cukup luas tersedia. Namun demikian
masyarakat nelayan yang sudah menyatu dengan laut, memilih membuka kawasan
pemukiman dan membuat rumah di daerah pesisir pantai, mereka membangun
rumah di belakang ekosistem mangrove dengan pertimbangan agar terhindar dari
132

badai angin topan dan gelombang. Rumah yang cocok dibangun di kawasan ini
adalah jenis rumah panggung, supanya terhindari genangan air pada saat pasang
dan juga pada bagian bawah atau kolom rumah dapat dijadikan sebagai tempat
menyimpan berbagai macam alat tangkap dan perlenkapan lainnya. Adapun
strategi yang dapat dilakukan untuk mengimplementasikan kebijakan pemanfaatan
ekosistem mangrove untuk pengembangan pemukiman penduduk adalah sebagai
berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove
secara spesifik untuk peruntukan perumahan atau pemukiman, (2) membuat
master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di wilayah pesisir khususnya
pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal disekitarnya, (3) menghindari
terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan
ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan pemanfaatan ruang secara
spesifik, (4) sosialisasi dan pemahaman terhadap masyarakat tentang program
pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah disepakati dan ditetapkan sebagai
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove.
133

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Kondisi dan potensi sumberdaya ekosistem mangrove di Kabupaten Barru


masih dalam kategori ekosistem yang mempunyai stabilitas tinggi ditinjau dari
hasil inventarisasi komposisi jenis mangrove diantaranya : Rhizophora stylosa,
R. apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicennia alba, Ceriops
decandra, Nypa fruticans, Acanthus ilicifolus, dan beberapa jenis mangrove
ikutan diantaranya Ipomea pescaprae dengan kerapatan jenis yang tinggi,
demikian juga dengan organisme yang berasosiasi seperti : Marozoobentos,
ikan, udang, burung dan mamalia masing – masing mempunyai nilai
kelimpahan dan keanekaragamam masih dalam kategori sedang sampai tinggi.

2. Analisis kesesuaian pemanfaatan lahan khususnya ekosistem mangrove dengan


menggunakan beberapa parameter lingkungan seperti : kondisi geomorfologi
pantai, dinamika oseanografi (arus, gelombang, dan pasang surut), suhu,
salinitas, disolved oxygen (DO), pH, Eh tanah, N, P dan sedimen (substrat)
yang diacu terhadap matriks kesesuaian lahan yang baku, maka di Kabupaten
Barru khususnya empat kecamatan didapatkan 6 (enam) jenis kesesuaian
pemanfaatan ekosistem mangrove, yaitu : kawasan konservasi, wisata pantai,
budidaya ikan/tambak, kawasan pemukiman, pelabuhan dan kawasan industri.

3. Pengembangan dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara efisien dan


optimal dapat dilakukan dengan pendekatan konsep keterpaduan antar
beberapa bentuk kegiatan pemanfaatan potensi sumberdaya ekosistem
mangrove, untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan suatu analisis
prioritas kegiatan pemanfaatan sesuai dengan kondisi aktual ekosistem
mangrove baik secara internal maupun eksternal. Hasil analisis prioritas
dengan menggunakan A’WOT didapatkan prioritas kegiatan pemanfaatan
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, yaitu Konservasi sebagai prioritas
pertama, kedua budidaya ikan/tambak, ketiga wisata pantai, keempat
pengembangan kawasan pelabuhan, kelima pengembangan kawasan industri
dan prioritas terkhir pengembangan kawasan pemukiman.
134

4. Hasil analisis ekologis, sosial ekonomi, kesesuaian pemanfaatan lahan, dan


analisis skala prioritas kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove, maka
pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru direkomendasikan
sebagai berikut : (a) ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di Kabupaten
Barru ditetapkan sebagai kawasan konservasi (termasuk ekowisata dan
rehabilitasi), (b) pemanfaatan untuk pengembangan wisata pantai dapat
dilakukan di Kecamatan Mallusetasi, Balusu dan Kecamatan Barru, (c)
pemanfaatan ekosistem mangrove untuk budidaya ikan/tambak dapat
dilakukan di semua kecamatan di Kabupaten Barru dengan model
pengembangan tambak tumpang sari (silvofishery), (d) pengembangan dan
pembangunan pelabuhan dapat dilakukan di sekitar areal hutan mangrove
khususnya di Kecamatan Soppengriaja dan Barru, (e) pengembangan kawasan
industri hatchery dapat dilakukan di belakang hutan mangrove di Kecamatan
Mallusetasi dan Kecamatan Balusu, dan (f) untuk pengembangan pemukiman
dapat dilakukan di Kecamatan Balusu dan Kecamatan Barru.

5.2 Saran

1. Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh para stakeholders khususnya di


Kabupaten Barru, diharapkan mengacu pada kebijakan pemanfaatan
ekosistem yang telah ditetapkan dan mengacu pada skala prioritas kegiatan,
sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap stabilitas ekosistem
mangrove.

2. Konsep kebijakan ekosistem mangrove yang dihasilkan pada penelitian ini,


diharapkan dapat diadopsi dan diimplementasikan oleh pengambil kebijakan
dalam rangka pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan
berkelanjutan.

3. Apabila stakeholders ingin mengimplementasikan alternatif kegiatan yang


merupakan skala prioritas dalam penelitian ini, maka sebaiknya dilakukan
analisis keuntungan dan pembiayaan (benefit cost analysis) pada setiap
kegiatan yang direncanakan.
135

DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L, Azis N. 2006. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Mangrove
Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebuah Pendekatan Permintaan. Malang, 20 – 21 Februari. Fakultas
Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.

Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN.


Bangkok. Thailand.

Anwar J, Sengli J, Damanik, Hasim N, Whitten AS. 1984. Ekologi Hutan


Sumatra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Bahar A. 2005. Kajian Kesesuaian Hutan Mangrove untuk Pengembangan


Ekowisata di Tanakeke Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Jurnal
Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Torani 1 : 10 –
17. Makassar.

Balithut Sul – Sel. 1995. Analisis Ekonomi dan Lingkungan Rehabilitasi


Hutan Bakau Pola Tambak Parit di Sulawesi Selatan. Laporan
Penelitian. Makassar.

Bann C. 1998. The Economic Valuation of Mangrove. A Manual for


Researchers. Economic and Enviromental Program for Southeast
Asia. IDRC.

Bappeda 2000. Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Pantai dan Penetapan
Jalur Hijau Hutan Mangrove Kabupaten Barru. Rancangan
Rencana. Pemerintah Daerah Kab. Barru. Sulawesi Selatan.

Barton N, David. 1994. Economis Factor and Valuation of Tropical Coastal


Resources SMR . Report 14/94 – Center for Studies of Enviromental
and Resources. University of Norway.

Bengen GD. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.
Pusat kajian sumberdaya pasisir dan lautan. Institu Pertanian Bogor.

____________2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Hutan


Mangrove. PKSPLIPB. Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2003. Koordinator Statistik Kabupaten Barru. Badan


Pusat Statistik Kabupaten Barru (Central Board of Statistic of Barru
Regency. Barru. Sulawesi Selatan.

BPS. 2004. Koordinator Statistik Kabupaten Barru. Badan Pusat Statistik


Kabupaten Barru. Barru. Sulawesi Selatan.

Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine.


Kupang Nusa Tenggara Timur. Pusbina-Inderasig. Cibinong.
136

Barus B dan U.S. Wiradisastra, 2000. Sistem Informasi Geografis. Laboratorium


Penginderaan Jauh dan Kartograi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Budiharsono S. 2003. Analisis Prioritas Alokasi Anggaran Monitoring Dan
Evaluasi Proyek Pembangunan. Pelatihan Perencanaan dan
Pemanfaatan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZPM). Kerjasama DKP
dengan PKSPL Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Brotonegoro S, Abdulkadir S. 1978. Penelitian Pendahuluan Kecepatan


Kecepatan Gugur Daun dan Pengurainya dalam Hutan Bakau
Pulau Rambut. Prosiding Seminar I, Hutan Hutan Mangrove.
Jakarta.

Dahuri R, Ginting SRP, Rais J, dan Sitepu JG. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Paradyna
Paramitha, Jakarta.

Dahuri R. 2003. Paradikma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.


Orasi Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Darsidi A. 1984. Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia. Prosiding


Seminar II Pemanfaatan Hutan Mangrove.

Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Laporan Statistik Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Barru. Sulawesi Selatan.

Direktorat Bina Program Kehutanan. 1982. Keadaan Hutan Indonesia.


Direktorat Jenderal Kehutanan Deprtemen Kehutanan Pertanian
Republik Indonesia. Jakarta.

Djojobroto S. 1998. Pedoman Perencanaan dan Pemanfaatan Zona Pesisir


Terpadu. Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal
Pembangunan Daerah.

Dunn W. 1994. Public Policy Analysis. An Introduction Second Edition.


University of Pittsburgh.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine


Resource. Australian Intitute of Marine Science. ASEAN- Australian
Marine Science Project Living Coastal Resource.

Fork A. 1999. Modeling the Enviromental. An Introduction to System


Dynamics Models of Enviromental Systems. Island Press.
Washington DC. Covelo. California.

Giesen W, Baltzer M, Baruadi, Rudin. 1991. Integrating Conservating With


Land Use Development in Wet Land Of South Sulawesi. PHPA.
AWB. BP-Indonesia. Bogor Indonesia.
137

Haris A. 2003. Analisis Kesesuaian lahan dan Kebijakan Pemanfatan Ruang


Wilayah Pesisir Teluk Kayeli Kabupaten Buru. Tesis Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Harris JM dan Godwin. 2002. A Survey of Sustainable Development: Social and


Economic Dimensions. The Global Developtmen and Environment
Institute Tufts University.

Helald E. 1971. The Production of Organic Detritus in The South Florida


Estuary. University of Miami. Sea Grant Technical Bulletin. Florida.

Hunger DJ, Wheelen TL. 1996. Strategic Management. Edisi Bahasa Indonesia
diterbitkan oleh Penerbit Andi, 2003. Yogyakarta.

Hutabarat S, Evans MS. 1984. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas


Indonesia. UI- Press.

Hutagalung PH, Deddy S, Riyanto HS. 1997. Metode Analisis Air Laut,
Sedimen dan Biota. Pusat penelitian dan pengembangan oseanologi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

http://www.dkp.go.id/ 2005. Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia.


Departeman Kalautan dan Perikanan. Jakarta. Indonesia.

Intag. 1993. Hasil Penapsiran Luas Areal Mangrove dari Citra Lansat MSS
Liputan 1986 – 1991. Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna
Hutan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Kartadinata K, Adisoemarto S, Soemihardjo S, Tantra IGM. 1978. Status


Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar I Hutan
mangrove. Jakarta.

Kramadibrata S. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Ganesa Exact Bandung.

Kusmana C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Lab. Ekologi


Hutan. Fak. Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

__________ 1995. Teknik Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove. Lab.


Ekologi Hutan. Fak. Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

__________ 1997. Metode Susvey Vegetasi. Diterbitkan Oleh PT. Institut


Pertanian Bogor. Bogor.

__________ 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan


Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lugo AE, Suhendar SC. 1974. The Ecology of Mangrove. Animal Review of
Ecological System.
138

Ludwig JA, Reynolds JF. 1998. Statistical Ecology. A Primer on Methods and
Computing. A Wiley-International Publication. New York

Muhammadi A, Erman, Budhi S. 2001. Analisis Sistem Dinamik. Lingkungan


Hidup, Sosial Ekonomi Manajemen. Penerbit UMJ Press. Dicetak
Oleh CV. Gajahmada Mandiri. Jakarta.

Munir M. 1996. Geologi dan Mineral Tanah. Pustaka Jaya. Jakarta.

Natzir M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia - Indonesia

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (terjemahan). PT.
Gramedia, Jakarta.

Noor YR, Khazali M, Suryadiputra, 1999. Panduan Mengenai Hutan Mangrove


di Indonesia. Ditjen PKA. Jakarta.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Third Editio. WB. Saunders Co.
Toronto.

Paryono TJ, Kusumastanto T, Dahuri R, Bengen DG. 1999. Kajian Ekonomi


Pengelolaan Tambak Di Kawasan Mangrove Segara Anakan
Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan volume 2 nomor 3 : 8-15. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Poernomo A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan


Lingkungan. Balitbang Pertanian, Balitbang Perikanan. Kerjasama
United Stated Agency for International Developmen Fisheries and
Development Project (USAID/FRDP).

Poerwowidigdo SJ. 2002. Modifikasi Pendekatan Pembandingan Serentak


Sebagai Pengganti Pembandingan Berpasangan dalam Proses
Hirarki Analisis (PHA). Universitas Hang Tuah. Surabaya.

Rangkuti dan Freddy 1999. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis.
PT. Gramedia. Jakatra.

Ruitenbeek J. 1991. Mangrove Mangement. An Economic Analysis of


Management Options With a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya.
Ministry of The Enviroment. Indonesia.

Saaty TL. 1991. Pengambilan Keputuasan. Bagi Para Pemimpin. Proses


Hirarki Analisis untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang
Kompleks. Seri Manajemen nomor 132. Diterjemahkan PT. Pustaka
Binaman Pressindo. Cetakan Pertama. PT. Dharma Aksdara Perkasa.
Jakarta.
Saru A. 2006. Analisis Hutan Mangrove dengan Pendekatan Model Ekologi di
Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian
139

Perikanan volume 9 nomor 1 Fakultas Perikanan Universitas


Brawijaya Edisi Khusus Seminar Nasional Hasil – Hasil Penelitian di
Bidang Perikanan dan Kelautan. Malang.

Satriago H. 1996. Istilah Lingkungan untuk Manajemen. Institut


Pengembangan Manajemen Indonesia. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Singaribun M, Sofian E. 1995. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi LP3ES.


Jakarta.

Sumana Y. 1985. Hutan Mangrove dan Permasalahannya di Indonesia. Jurnal


Penelitian dan Pengembagan Kehutanan Vol. 1, No. 1. Departemen
Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Sugandhy A. 1993. Pemanfaatan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan .


Makalah Lokakarya Pemantapan Strategi Pemanfaatan Lingkungan
Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Pembangunan Jangka Panjang tahap
kedua. Jakarta.

Sugiarti. 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di


Kotamadya Dati II Pasurua ng Jawa Timur. Tesis, Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sugiono 2003. Metode Penelitian Administrasi. Penerbit Alfabeta. Bandung.

Soejarwo. 1978. Mengoptimalkan Fungsi – Fungsi Hutan Mangrove untuk


Menjaga Kelestariannya demi Kesejahteraan Manusia. Prosiding
Seminar I Hutan mangrove. Jakarta.

Soerianegara. 1987. Mengenal Hutan Mangrove. Panduan teknis di lapngan.


Departemen Kehutanan. Jakarta.

Sorensen JC, Mc. Crary, Hersman M.J. 1984. Instutional Arrangement for
Management of Coastal Resources. Research Planning Institutes,
Inc., Columbia, South Carolina.

Susilo BS. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau – Pulau Kecil : Studi


Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan
Seribu DKI Jakarta. Disertasi Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Tim Revisi Strategi Nasioanl Pengelolaan Hutan Mangrove Indonesia. 2004.


Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove Indonesia.
Makalah Strategi dan Program. Jakarta.

Tomlinson PB, 1986. The Bitany of Mangrove. Cambrodge University Press.


Cambridge. U.K
140

Walter H. 1971. Ecology of Tropical and Sub-Tropical Vegetation. Van


Rostrand Reinhold Company. New York, Cincinnati, Toronto,
London.

Whitten IA, Mustapa M, Handerson SG. 1988. Ekologi Sulawesi . Cetakan ke 2.


Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Widigdo B, Soewardi K. 1999. Kelayakan Lahan Tambak di Proyek Pandu


Tambak Rakyat Karawang. Budidaya Udang (dalam hubungannya
dengan kadar logam berat dan pestisida). PKSPL-IPB. Bogor.

Wightman GM. 1989. Mangrove of the Northern Territory. Noerthern


Territory Botanical Bulletin No. 7. Conservation Commission of the
Northern Territory, Palmerston, N.T. Australia.

Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan


Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Zonasi dan Manajemen Pengelolaan Wilayah Laut Kabupaten Barru. 2003.


Laporan Akhir Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan
Kabupaten Barru. Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.

Anda mungkin juga menyukai