Amran Saru - 2007 - Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan Di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan
Amran Saru - 2007 - Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan Di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan
AMRAN SARU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Amran Saru
C261040041
ABSTRAK
AMRAN SARU. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, CECEP
KUSMANA, dan SETYO BUDI SUSILO.
Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh stakeholders di Kabupaten Barru berbasis
pada kepentingan individu atau kelompok tertentu, seperti : areal perburuan beberapa jenis
burung, penebangan hutan mangrove untuk bahan bangunan, konversi hutan mangrove
menjadi areal budidaya tambak dan pemukiman, dan mengeksploitasi mangrove untuk
dijadikan sebagai kayu bakar. Akibat dari kegiatan tersebut diduga menimbulkan konflik
kepentingan dan kerusakan ekosistem yang tidak terkendali. Mengingat fungsi ekologi
ekosistem mangrove dan stabilitas ekosistem pesisir, maka sangat diperlukan suatu
penelitian tentang kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten
Barru.
Kajian ilmiah tentang kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove
sudah sering dilakukan jauh sebelum Instruksi Menteri Pertanian nomor 13 tahun 1975,
tentang pembinaan kelestarian hutan mangrove. Namun kebijakan pengelolaan dan
pemanfaatan ekosistem mangrove yang selama ini dilakukan masih bersifat parsial.
Sedangkan kajian ini dirancang dengan mengadopsi dan meramu metode analisis yang
bersifat komprehensif korelasional, seperti : analisis ekologi hutan mangrove, valuasi
ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove, kesesuaian pemanfaatan lahan, analisis
SWOT untuk strategi pemanfaatan, dan analisis prioritas dengan bantuan software MAHP
untuk mendukung analisis tersebut di atas, dilakukan pengumpulan data primer seperti :
aspek ekologi mangrove, parameter biofisik ekosistem mangrove, dan data sosial
ekonomi, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara ekologi daya dukung dan stabilitas ekosistem mangrove masih
cukup baik, ekosistem mangrove di sepanjang pantai dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kegiatan budidaya tambak, penangkapan ikan, eksploitasi kayu, konsevasi dan rehabilitasi,
secara ekonomi manfaat langsung ekosistem mangrove sebesar Rp. 30.512.882.
Selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan pada setiap titik sampling dengan
mangacu pada matriks kesesuian lahan yang baku, maka terdapat delapan bentuk
kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat 6 jenis kegiatan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Barru,
dengan skala prioritas dan persentase setiap alternatif, yaitu konservasi 23.79%, budidaya
ikin/tambak 20.26%, wisata pantai 18.65%, pelabuhan 13.83%, industri 11.80% dan
pemukiman 11.58%.
Hasil analisis prioritas merekomendasikan pemanfaatan ekosistem mangrove di
Kabupate Barru sebagai berikut : (a) ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di
Kabupaten Barru ditetapkan sebagai kawasan konservasi temasuk rehabilitasi dan
ekowisata, (b) pemanfaatan untuk pengembangan wisata pantai dapat dilakukan di
Kecamatan Mallusetasi, Balusu dan Kecamatan Barru, (c) pemanfaatan ekosistem
mangrove untuk budidaya ikan/tambak dapat dilakukan di semua kecamatan di Kabupaten
Barru dengan model pengembangan tambak tumpang sari (silvofishery), (d)
pengembangan dan pembangunan pelabuhan dapat dilakukan disekitar areal mangrove
khususnya di Kecamatan Soppengriaja dan Kecamatan Barru, (e) pengembangan kawasan
industri hatchery dapat dilakukan di belakang mangrove di Kecamatan Mallusetasi dan
Kecamatan Balusu, dan (f) sedangkan untuk pengembangan pemukiman dapat dilakukan
di Kecamatan Balusu dan Barru.
Kata kunci : ekosistem mangrove, kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove,
pembangunan terpadu berkelanjutan.
ABSTRACT
AMRAN SARU. The Policy of Integrated Sustainable Utilization of Mangrove
Ecosystem in Barru Regency, South Sulawesi. Under the supervision of FREDINAN
YULIANDA, CECEP KUSMANA, and SETYO BUDI SUSILO.
The utilization of mangrove ecosystem by stakeholders in Barru Regency is
based on individual or group interests, such as hunting birds, cutting mangrove
trees for house construction, converting mangrove forest for aquaculture ponds and
settlements, and exploiting mangrove for firewood. These activities have created
conflict of interests and uncontrolled ecosystem destruction. Considering the
ecological function of mangrove ecosystem and the stability of coastal ecosystem,
it is highly crucial to conduct a research on policy analysis of integrated
sustainable utilization of mangrove ecosystem, particularly in Barru Regency.
Scientific assessment towards management and utilization policy of
mangrove ecosystem has long been carried out prior to the enactment of the
Agricultural Minister’s Instruction No. 13/1975 on managing sustainable
mangrove forest. However, nowadays the management and utilization policies of
mangrove ecosystem have only been done partially. This study is designed to
adopt an analytical method that is correlative comprehensive, such as mangrove
ecology analysis, economic valuation of mangrove utilization, land utilization
suitability, SWOT analysis for developing a strategy for mangrove utilization, and
priority analysis using MAHP software. In order to support the analysis, the study
carried out a primary data collection on mangrove ecology, biophysical
characteristics of mangrove ecosystem, and social economy, as well as a secondary
data collection that taken from respective institutions.
The study shows that the ecolo gical carrying capacity and stability of
mangrove ecosystem are moderately good. Mangrove ecosystem along the coast
has been utilized by the community for aquaculture, fishing, firewood,
conservation, and rehabilitation. The economic valuation of direct utilization of
mangrove ecosystem is Rp 30,512,882. The analysis of land suitability was carried
out at each sampling site according to a standardized land suitability matrix, and
resulted in eight types of suitability utilization of mangrove ecosystem. The study
shows that there are six types of mangrove utilization in Barru Regency, in which
each alternative has different priority scale and percentage, namely conservation
23.79%, fishery aquaculture 20.26%, coastal tourism 18.65%, seaport 13.83%,
industry 11.80%, and settlements 11.58%.
The results of the priority analysis recommend that the utilization of
mangrove ecosystem in Barru Regency is as follows: (a) mangrove ecosystem in
each sub-district of Barru Regency is designated for conservation area including
rehabilitation and ecotourism; (b) coastal tourism can be developed in Mallusetasi,
Balusu and Barru Sub-districts; (c) fishery aquaculture can be built in all sub-
districts of Barru Regency using a silvofishery model; (d) development of seaport
can be done in Soppengriaja and Barru Sub-districts; (e) development of a
hatchery industrial area can be situated in Mallusetasi and Balusu Sub-districts;
and (f) settlements can be developed in Balusu and Barru Sub-districts.
Amran Saru
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Disertasi : Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan
di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.
Nama : Amran Saru
NIM : C261040041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui
Dr. Ir. Sulistiono , M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Amran Saru
RIWAYAT HIDUP
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir Indonesia memiliki luasan dan potensi ekosistem mangrove
yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di
dunia, sekitar 27 % atau sekitar 4.293 juta ha berada di Indonesia (Kusmana
1995). Namun demikian luas hutan mangrove di Indonesia terus menyusut, hal
ini sesuai dengan hasil penapsiran potret udara dan survei lapangan, yang
menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tahun 1982 sekitar
4.251.011 ha (Direktorat Bina Program 1982). Hasil penapsiran 1991 dari Citra
Landsat MSS liputan tahun 1986 – 1991 (luas areal liputan hutan 150 juta ha) dan
data referensi lainnya seperti peta RePProt, data SPOT dan potret udara yang
dilakukan (Intag 1993), luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia
diperkirakan seluas 3.735.250 ha, artinya bahwa luas mangrove di Indonesia telah
mengalami degradasi sekitar 13 % atau sekitar 515.761 ha dalam waktu kurang
lebih 11 tahun.
Luas ekosistem mangrove yang terdapat di Sulawesi Selatan pada tahun
1982 sekitar 66.000 ha, kemudian pada tahun 1993 mengalami penambahan
sekitar 57.6 % (sekitar 104.030 ha). Sedangkan hasil pemantauan terakhir (Ditjen
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1994), bahwa eksploitasi hutan mangrove di
Sulawesi Selatan sekitar 75 % atau sekitar 78.022 ha, umumnya tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan dan kondisi ekologis hutan mangrove.
Dari 78.022 ha luas hutan mangrove yang telah dieksploitasi, sekitar 40.000 ha
atau sekitar 38 % dikonversi jadi tambak, sedangkan sekitar 38.022 ha atau
sekitar 37 % dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti : kayu bakar, bahan
industri, dan kebutuhan lainya. Hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi
lahan tambak berdasarkan estimasi hanya 30 % yang berfungsi produktif
sedangkan sisanya terlantar dan selalu mengalami pengikisan oleh ombak karena
tidak adanya reboisasi atau penanaman kembali pada areal tambak hasil konversi
yang tidak produktif. Oleh karena itu, kondisi hutan mangrove di Sulawesi
Selatan sangat memprihatinkan termasuk di Kabupaten Barru.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pantai disamping
terumbu karang dan lamun. Secara ekologis hutan mangrove dapat berfungsi
sebagai stabilitas atau keseimbangan ekosistem, sumber unsur hara, sebagai
2
daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan
daerah pemijahan (spawning ground). Secara ekonomis ekosistem mangrove
dapat dijadikan sebagai areal budidaya, penangkapan, obyek wisata, dan sumber
kayu bagi masyarakat. Selain hal tersebut di atas, mangrove merupakan salah satu
hutan alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang cukup
tinggi, dapat menghasilkan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan
industri seperti : kayu bakar, arang, kertas, dan rayon yang dalam konteks
ekonomi mengandung nilai komersial tinggi. Mengacu pada realitas tersebut di
atas, maka akan dicari suatu solusi atau strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, yang diharapkan menghasilkan suatu
konsep baru untuk menjadi acuan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya
di Kabupaten Barru.
Kabupaten Barru secara administratif terdiri dari lima kecamatan yang
berada di wilayah pantai, empat diantaranya memiliki atau ditumbuhi hutan
mangrove dengan luas sekitar 113.02 ha yaitu : Kecamatan Mallusetasi dengan
luas mangrove sekitar 3.57 ha; Kecamatan Soppengriaja dengan luas sekitar 6.85
ha; Kecamatan Balusu dengan luas sekitar 96.37 ha; dan Kecamatan Barru
dengan luas sekitar 6.23 ha. Dari luas tersebut di atas, untuk memenuhi penetapan
jalur hijau sesuai standar nasional yaitu 130 meter dikalikan dengan tinggi rata-
rata muka air pada saat pasang, masih diperlukan sekitar 202.11 ha. (Badan Pusat
Statistik 2003). Berdarkan data kondisi ekosistem mangrove tersebut, pemerintah
Kabupaten Barru telah mengadopsi kebijakan – kebijakan nasional pengelolaan
dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berpedoman kepada landasan strategi
dan dasar hukum sebagai berikut : Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1990,
tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan hutannya; UU no. 9 tahun 1990,
tentang pariwisata; UU no. 24 tahun 1992 tentang, penataan ruang; UU no. 41
tahun 1999, tentang kehutanan; UU no. 7 tahun 2004, tentang sumberdaya air;
Peraturan Pemerintah (PP) no. 28 tahun 1985, tentang perlindungan hutan; PP no.
18 tahun 1994, tentang penguasaan pariwisata alam; PP no. 47 tahun 1997,
tentang rencana tata ruang kawasan nasional; PP no. 32 tahun 2002, tentang tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; UU no. 31 tahun 2004, tentang
perikanan. Berdasarkan undang – undang nomor 22 tahun 1999, tentang
pemerintah daerah dan undang – undang nomor 25 tahun 2000, tentang
3
Kebijakan Pemanfaatan
Ekosistem Mangrove
Potensi Sumberdaya
Mangrove yang tersedia
1.3.1 Tujuan
a. Mengetahui kondisi ekosistem, perilaku dan interaksi masyarakat terhadap
ekosistem mangrove di Kabupaten Barru.
b. Untuk mengetahui tingkat degradasi dan eksploitasi ekosistem mangrove
berdasarkan kondisi ekologis dan sosial ekonomi.
c. Untuk membuat zonasi pemanfaatan secara spesifik ekosistem mangrove
berdasarkan klasifikasi potensi dan sumberdaya mangrove.
d. Merekomendasikan konsep kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove
secara terpadu dan berkelanjutan (sustainable) di Kabupaten Barru.
8
1.3.2 Manfaat
a. Memberikan informasi dan pengetahuan bagi stakeholders dalam
pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan
berkelajutan.
b. Untuk mengembangkan strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan dan teknologi.
c. Dapat memformulasikan suatu bentuk kebijakan pemanfaatan ekosistem
mangrove di Kabupaten Barru.
I
Analisis SDA Ekosistem Mangrove
Analisis Sosial Masyarakat
Analisis Valuasi Ekonomi
IV
KEBIJAKAN PEMANFAATAN
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
TERPADU BERKELANJUTAN
II III
Analisis Kesesuian Lahan Analisis Prioritas
utk Pemanfaatan Mangrove Pemanfaatan Mangrove
(Software Arcview ver 3.2) (A’WOT)
1.5 Hipotesis
Pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan secara berkesinambungan,
seharusnya dilakukan dengan pendekatan integral dari berbagai aspek, termasuk
aspek ekologi, sosial, dan aspek ekonomi. Ketiga aspek tersebut saling terkait dan
mempengaruhi satu dengan lainnya, apabila dalam pemanfaatan wilayah pesisir
khususnya ekosistem mangrove yang mengutamakan aspek ekologi, maka
keseimbangan ekosistem berjalan dengan baik, akan tetapi disisi lain
kemungkinan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat terganggu. Oleh karena itu
diperlukan adanya suatu konsep pemanfaatan yang dapat meramu dan
mempertemukan ketiga aspek tersebut, sehingga kondisi sosial ekonomi
masyarakat bertumbuh dengan baik, demikian pula ekosistem tetap terpelihara.
Hal ini dapat terealisasi apabila :
10
tanah, salinitas, frekuensi genangan oleh pasang surut, dan ketahanan suatu jenis
terhadap terpaan gelombang dan arus (Anwar et al. 1984).
Gambar 3. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove yang umum ditemukan di
Indonesia (Bengen 2002).
dan mengolah bahan limbah, (2) secara biologis, merupakan tempat pemijahan
dan pembesaran benih – benih ikan, udang dan kerang – kerangan, tempat
bersarang dan mencari makan burung – burung, dan habitat alami bagi
kebanyakan biota, (3) secara ekonomi, merupakan salah satu daerah pesisir yang
cocok untuk tambak, tempat pembuatan garam, rekreasi, dan produksi kayu.
Sedangkan Sumana (1985) membagi fungsi dan manfaat hutan mangrove sebagai
berikut : (1) secara fisik ekologi, secara fisik hutan mangrove merupakan
pelindung hutan daratan yang banyak dihuni oleh berbagai jenis biota perairan
serta beberapa jenis satwa. Zona pesisir bervegetasi hutan mangrove bagi
daratan, merupakan filter intrusi air laut dan polusi industri yang mengeluarkan
limbah ol gam berat yang dapat menggagu kehidupan masyarakat manusia dan
hewan. Vegetasi mangrove dengan tajuk dan perakarannya yang khas, secara
fisik mampu menahan dan melindungi daratan dari pengaruh gelombang, arus air
dan angin yang dapat menyebabkan topan, banjir dan erosi daratan, (2) secara
biologis, dalam sistem mata rantai makanan hutan mangrove merupakan produsen
primer, energi hidup melalui serasah dihasilkannya, serasah mangrove yang telah
mengalami proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme akan
menghasilkan detritus dan berbagai jenis fitoplankton yang akan dimangsa oleh
konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan, dan krustacea (udang,
kepiting, kerang – kerangan), selanjutnya manusia sebagai konsumer utama, (3)
secara sosial ekonomi, hasil hutan mangrove berupa kayu digunakan untuk
keperluan industri chips, pull, kertas, penyamak kulit, bahan bangunan, dan arang.
Ekspor kayu di wilayah hutan mangrove cukup memberikan andil dalam
perolehan devisa negara walaupun hanya ada dua spesies saja yang memenuhi
selera konsumen yaitu : Rhizophora spp dan Bruguiera spp.
Soejarwo (1978) menyatakan bahwa vegetasi mangrove dapat berfungsi
sebagai pendaur ulang hara tanah yang dibutuhkan oleh tanaman, penelitian di
Florida menyebutkankan bahwa sekitar 90 % kotoran dari hutan mangrove dapat
menghasilkan sekitar 35 % – 60 % unsur hara yang terlarut di pantai. Selanjutnya
Helald (1971) menyatakan bahwa daun bakau (Rhizophora spp) pada awal
pertumbuhannya mengandung protein sekitar 3.1 % dan setelah satu tahun
meningkat menjadi 21 %. Kadar N (nitrogen) daun kering mangrove, sekitar
0.55 % dan diperkirakan setelah satu tahun meningkat menjadi 47 kg N
15
Manfaat dari suatu barang dan jasa mempunyai nilai yang sama dengan kesediaan
penduduk untuk membayarnya WTP (willingness to pay), dalam menilai
lingkungan harus dilihat dari fungsi kerusakan marginal yang menunjukkan
perubahan penderita kerusakan oleh orang lain dari ekosistem ketika terjadi
perubahan dalam lingkungan tersebut. Pemikiran harus dalam kerangka yang luas
karena perubahan lingkungan hutan mangrove akan banyak berdampak kepada
masyarakat sekitar, baik berupa dampak fisik, dampak degradasi lingkungan
mangrove, dan kualitas estetika. Apabila ingin dilihat WTP dari masyarakat maka
akan dapat digambarkannya dalam kurva permintaan (demand), dimana gabungan
dari beberapa permintaan merupakan total WTP.
Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti : penebangan untuk
kayu bakar, bahan bangunan, pengambilan kulit mangrove untuk pembuatan
bahan pengawet jaring, dan untuk keperluan lainnya oleh masyarakat khususnya
nelayan secara belebihan. Kondisi dari perilaku masyarakat tersebut berdampak
pada kondisi hutan mangrove yang semakain kritis baik dari segi kuantitas dan
kualitas, demikian pula dengan areal mangrove yang semakin berkurang, dimana
pada gilirannya berdampak kepada menurunnya kualitas lingkungan dan kualitas
sumberdaya pesisir.
ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan atau
pengambilan keputusan.
Analisis kebijakan mengandung dua kata yaitu analisis dan kebijakan.
Analisis adalah suatu pekerjaan intelektual untuk memperoleh pengertian dan
pemahaman, sedangkan kebijakan adalah suatu upayah atau tindakan untuk
mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu dalam
analisis pekerjaan intelektual tersebut merupakan suatu proses memilah dan
mengelompokkan obyek kedalam bagian yang lebih rinci sehingga diperoleh
pengetahuan tentang ciri dan cara kerja dari obyek tersebut. Di lain pihak dalam
kebijakan upaya atau tindakan tersebut bersifat peka untuk mempengaruhi kerja
sebuah sistem, oleh karena sasarannya mempengaruhi sistem maka tindakan
tersebut bersifat strategis yaitu bersifat jangka panjang dan menyeluruh
(Muhammadi et al. 2001).
Menurut Dunn (1994) proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas
intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan pada dasarnya bersifat politis,
aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan kemudian
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap dan saling bergantung menurut urutan
waktu, yaitu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Tabel 1).
24
ANALISIS PEMBUATAN
KEBIJAKAN KEBIJAKAN
Perumusan Penyusunan
Masalah Agenda
Formulasi
Peramalan Kebijakan
Adopsi
Rekomendasi Kebijakan
Implementasi
Pemantauan Kebijakan
Evaluasi Evaluasi
Kebijakan
Saat y (1991) me nge mukak a n t iga pr ins ip dasa r proses hirark i a na lit ik ya it u
: (1 ) Me ngga mbarka n da n me ngura ika n secara hir ark is, ya it u me meca h- meca h
persoa la n me njad i uns ur- uns ur te rp is a h, (2) pe mbed aa n pr io r itas da n s intes is ata u
pene tapa n pr io r itas, ya it u me ne nt uka n per ingka t e le me n- e le me n me nur ut re lat if
pent ingnya, (3 ) ko ns iste ns i lo gis, ya it u me nja min ba hwa se mua e le me n
dik e lo mpokk a n secara lo gis da n d ipe r ingka tka n secara ko ns ist e n ses ua i de nga n
sua t u kr iter ia lo gis.
Poerwowida gdo (2004) me nge mukaka n ba hwa ta hapa n das ar pe lak sa naa n
PHA s eba ga i be r ik ut : (1) Penentuan level dilaksanakan dengan memilah- milah
permasalahan dalam level- level secara hirarkis sesuai relevansinya. Level
pertama, yang tertinggi merupakan fokus atau sasaran menyeluruh, berjenjang
secara hirarkis ke level- level berikutnya sesuai faktor penentu yang relevan
dengan sasaran menyeluruh pada level 1, (2) pada model aslinya, Saaty
memberikan nilai numerik pada tiap level dengan perbandingan pasangan antar
faktor. Dengan proses matriks dan eigen value akan diperoleh bobot prioritas tiap
faktor terhadap kriteria di level atasnya (modifikasi terhadap metode dengan
menyederhanakan ‘pembobotan’ bertahap tak langsung), (3) untuk menguji
konsistensi pembandingan, digunakan alat uji Consistency Ratio yang diharapkan
kurang dari 0.1 (dengan modifikasi, rasio konsistensi tidak diperlukan).
Asumsi - asumsi yang dapat digunakan oleh AHP (Budiharsono 2003)
sebagai berikut : (1) harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan
tindakan atau penilaian yakni : 1, 2, . . . wn . yang nilainya positif, n adalah yang
terbatas, (b) responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas
untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atribut-atribut, (3) skala yang
dipergunakan tergantung dari pandangan responden dan situasi yang relevan,
walaupun demikian tetap mengikuti pendekatan AHP dipergunakan metode skala
Saaty, mulai dari menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya
sama-sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai
dengan sembilan yang menggambarkan satu atribut ekstrim penting terhadap
atribut lainnya.
Saaty (1991) mengemukakan bahwa keuntungan dalam menggunakan PHA
(proses hirarki analisis) sebagai alat untuk menganalisis suatu keputusan atau
kebijakan sebagai berikut :
29
1. Kesatuan : PHA memberi suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes
untuk aneka macam persoalan tak terstruktur.
2. Kompleksitas : PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan
berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks.
3. Konsistensi : PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan
yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
4. Saling ketergantungan : PHA dapat menangani saling ketergantungan elemen-
elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
5. Sintesis : PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan
setiap alternatif.
6. Pengukuran : PHA memberi suatu skala untuk mengukur variabel sehingga
terwujud suatu metode untuk menentukan atau menetapkan prioritas.
7. Pengulangan proses : PHA memungkinkan orang memperhalus definisi
mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian
mereka melalui pengulangan.
8. Penyusunan hirarki : PHA mencerminkan kecenderungan alami pemikiran
untuk memilah- milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat
yang berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
9. Penilaian dan konsensus : PHA tidak memaksakan konsensus tetapi
mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang
berbeda-beda.
10. Tawar menawar : PHA mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari
berbagai faktor dari sistem dan memungkinkan orang untuk memilih alternatif
terbaik berdasarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
30
secara optimal dan lestari, sehingga terjadi degradasi dan penurunan kualitas
lingkungan (ekosistem mangrove) tersebut. Untuk mendapatkan suatu strategi
pemanfaatan dan alternatif pemanfaatan yang bersifat holistik dan kompetitif,
maka dalam penelitian ini akan dilakukan pengambilan data sumberdaya
ekosistem mangrove untuk mengkaji stabilitas ekosistem mangrove, data sosial
ekonomi dari masyarakat dan instansi terkait untuk mengkaji dan menyusun
strategi kebijakan pemanfatan dari ekosistem mangrove secara terpadu
berkelanjutan.
Data sumberdaya mangrove, biofisik lingkungan, dan sosial ekonomi yang
telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan bantuan beberapa software,
selanjutnya akan dilakukan analisis dan interpretasi data untuk mendapatkan
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan
berkesinambungan yang siap diterapkan pada obyek kajian. Adapun output yang
dihasilkan dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut adalah rekomendasi kebijakan
pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan sustainable (Gambar 6).
Oleh karena itu dengan tersedianya pilihan-pilihan kebijakan dari hasil penelitian
ini diharapkan pemerintah daerah dapat menentukan suatu kebijakan pemanfaatan
ekosistem mangrove yang berbasis pada tatanan ekologi dan sosial ekonomi
masyarakat.
32
Kebijakan Pemanfaatan
Sumberdaya Ekosistem Mangrove
oleh stakeholders
GIS (Geography
Information System)
10 m c a c
a garis rintis
b
10 m
Keterangan :
Petak a : Sub-plot untuk semaian, ukuran 1 m x 1 m
Petak b : Sub-plot untuk pancang/anakan, ukuran 5 m x 5 m
Petak c : Sub-plot untuk pohon, ukuran 10 m x 10 m
Gambar 8. Bagan transek cuplikan vegetasi mangrove di lapangan.
Populasi penduduk di
Lokasi Penelitian
(93.947 jiwa)
Pengambil Hasil Nelayan Tangkap Petani Ikan /Tambak Pengambil Satwa (15
Hutan (17 responden) (80 responden) (60 responden) responden)
Kayu (4), Arang (4) Ikan (6), Udang (6) Monokultur (12) Burung (2)
Bibit Mangrove (2) Kepiting (6), Kerang (2) Polikultur (6) Kelelawar (2)
Kriteria Penilaian :
Indikator Penilaian dari Aplikasi Kebijakan : Perubahan luas areal mangrove,
1. Tingkat kerusakan dan degradasi mangrove kuantitas kegiatan, tingkat
2. optimalisasi kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan mangrove kesejahteraan masyarakat.
3. pencapaian target dan penyelesaian masalah lingkungan dan sosial
ekonomi masyarakat.
ni ni
Di = dan
RDi = X 100 %
A ?
n
dimana : Di = Kerapatan jenis i (Ind iv/m2 ), ni = Jumlah total tegakan jenis i,
A = Luas total area pengamatan sampel (m2 ), RDi = Kerapatan relatif Jenis i
(%), dan ∑ n = Jumlah total tegakan seluruh jenis
2. Frekuensi Jenis i (Fi) adalah peluang jenis i dalam plot, dapat dihitung dengan
rumus :
Pi Fi
dan RFi = X 100 %
Fi =
?p ?
F
Dimana, Fi = Frekuensi Jenis I, pi = Jumlah plot ditemukannya jenis I,
Σp = Jumlah total plot yang diamati, RFi = Frekuensi relatif jenis i (%),
ΣF = Jumlah frekuensi seluruh jenis.
3. Penutupan Jenis i (Ci) adalah Luas penutupan jenis i dalam plot yang dihitung
dengan rumus :
?BA Ci
dan RCi = X 100 %
Ci = ?
C
A
dimana: Ci= Penutupan jenis dalam satu unit area, A = Luas total plot (m2 ),
ΣC = Jumlah penutupan dari semua jenis, RCi = Penutupan relatif jenis i
(%), DBH = Lingkar batang (m), dimana : BA = π DBH2 / 4
4. Jumlah nilai Kerapatan relatif jenis (RDi), Frekuensi relatif jenis (RFi), dan
Penutupan relatif jenis (RCi) menunjukkan Nilai Penting Jenis (NPi) dengan
rumus :
NPi = RDi + RFi + RCi
dimana : nilai penting jenis mangrove berkisar antara 0 - 300 (Bengen 2002).
40
10000
K = x ΣXi
nxa
S Ni Ni
H’ = - ? Ln
I=1 N N
NML = ML Hi + ML Pi + ML Si + ML Ti + ML Wi +
41
n
ML Hi = ? Hi
i=1
n
ML Pi = ? P i
i=1
∑ S iB i
S = i=1
n
∑ i=1
B i
43
Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai kategori wisata
mangrove.
No Parameter Bobot Kategori dan Skor
S1 Skor S2 Skor N Skor
1 Kedalaman 2 0 -5 3 5 - 10 2 > 10 1
perairan (m)
2 Material dasar 3 Pasir 3 Karang 2 Lumpur 1
berpasir
3 Fisiografi pantai 3 Dataran 3 Delta pasut 2 Perbukita 1
pasut n
4 Amlitudo pasut 3 0,8-1 3 1-1,5 2 > 1,5 1
5 Kecepatan arus 5 10 – 13 3 3,8 - 10 2 < 3,8 1
(m/det)
6 Kecerahan 5 Tinggi 3 Sedang 2 Rendah 1
perairan (%) (>75) (50-75) (< 25)
7 Jarak dari pantai 4 < 100 3 100 - 200 2 > 200 1
(m)
8 Jarak dari sungai 3 < 500 3 500 - 2000 2 > 2000 1
(m)
9 Jarak dari 3 < 5000 3 2000 - 5000 2 < 2000 1
sumber
pencemar (m)
10 Obyek biota 3 Ikan, udang, 4 Ikan, udang, 2 Salah satu 1
kepiting kepiting biota air
moluska, moluska
reptile dan
burung
11 Ketebalan 5 >500 4 >200-500 3 >50-200 1
mangrove (m)
12 Penutupan lahan 6 Mangrove 3 Semak 2 Kelapa 1
pantai (vegetasi) belukar, lahan
savana terbuka.
Sumber : Poernomo 1992, Bakosurtanal 1996, Yulianda 2007 (modifikasi)
Evaluasi Kelayakan :
= 2.33 : Sangat Sesuai
1.67 – 2.33 : Sesuai
= 1.67 : Tidak Sesuai
2. Penyusunan basis data digital, pekerjaan ini bertujuan untuk merubah data
analog yang berupa peta-peta di atas menjadi format digital. Selain itu juga
merubah data-data digital yang sudah tersedia menjadi format yang diinginkan,
sehingga terbentuk keseragaman format data digital.
Digitasi dilakukan terhadap data berupa peta-peta yang masih dalam format
analog (kertas).
Input data tabular, dilakukan secara paralel dengan input data spasial, dimana
sebelumnya sudah terdapat kesesuaian kodefikasi yang jelas antara data spasial
dan data tabular, hal ini penting agar tidak terjadi miss-linked data.
Tagging, dilakukan untuk memberikan tanda atau atribut pada spasial agar dapat
link dengan data tabular. Hal yang harus diperhatikan pada saat tagging
kesesuaian kode yang telah dibuat pada saat persiapan.
Proyeksi/Tranformasi, proses ini berfungsi agar data spasial yang ada sesuai
dengan keadaan sesungguhnya di bumi (real world). Ada banyak sistem proyeksi
peta yang dapat diterapkan, tergantung dari wilayah cakupannya. Indonesia,
48
QC (quality control ), hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah masih terdapat
kesalahan-kesalahan yang bersifat prinsip, baik terhadap data spasial maupun
tabularnya, agar diperoleh hasil yang sebaik mungkin.
Pemanfaatan
Ekosistem Mangrove
Matrik SWOT
Tahap analisis data untuk menyusun faktor- faktor strategi, diolah dalam
bentuk matriks SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
50
9 Elemen satu mutlak lebih penting dari Kompromi diperlukan antara dua
elemen yang lain. pertimbangan.
Resiprokal/ Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan
Kebalikan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikan dari i
Aw = ?w ….………………………………………. (1)
Bila matrik A diketahui dan ingin diperoleh w, maka dapat deselesaikan melalui
persamaan berikut :
| A – ?I | w = 0 ……………………………………. (2)
Selanjutnya dilakukan perhitungan akar ciri, vektor ciri, dan hasil yang
diperoleh tidak konsisten maka diulangi atau dikoreksi kembali. Untuk
mendapatkan (w) divalidasi dengan menggunakan rata-rata aritmetik/ geometrik,
selanjutnya dapat dihitung berdasarkan matriks berikut :
| A – ?I | = 0 ………………………………………. (3)
Sedangkan untuk mendapatkan niali vektor ciri (w) yang merupakan bobot
setiap elemen, untuk mensintesis judgement (pendapat) yang digunakan dalam
menentukan prioritas untuk mendapatkan akar ciri (?), sedangkan akar ciri
maksimum (? max ) diperoleh dari hasil perkalian vektor ciri yang mempunyai nilai
tertinggi melalui normalisasi matriks, yang disubtitusikan melalui persamaan 2
dan persamaan 3 di atas.
Langkah terakhir yang dilakukan yaitu perhitungan indeks konsistensi atau
Consistensi Indeks (CI), menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan
ukuran tentang tingkat konsisten suatu penilaian atau pembobotan perbandingan
berpasangan, dapat dihitung dengan persamaan berikut :
? max – n
CI = ………………………….. (4)
n - 1
CI
CR = ....………………………… (5)
RI
Tabel 10. Standarisasi nilai Random Indeks (Budiharsono 2003 dan Saaty 1991)
n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
RI 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.54 1.56
Level 2
Kriteria
Strengths Weaknesses Opportunities Treaths
Level 3
Subkriteria
a b c d e f g h i j k l m n o p q
Keterangan :
Kemiringan Lereng
Tabel 12. Stasiun pengamatan dan luas wilayah penelitian dirinci berdasarkan
kecamatan dan desa / kelurahan.
KECAMATAN GEOLOGI
a B C d e f G
Tanete Rilau 3.348 2.976 - - 453 573 565
Barru 3.650 4.823 - 6.885 1.650 1.935 2.975
Tanete Riaja 11.235 7.380 11.235 8.785 9.574 - 246
Soppengriaja 4.358 2.675 - 536 9.537 - -
Mallusetasi 2.985 14.554 - 1.156 2.963 - -
Kab. Barru (ha) 25.576 32.408 11.235 17.362 24.177 2.508 3.785
Persentase (%) 21.77 27.59 9.56 14.78 20.85 2.13 3.22
Sumber : Bappeda dan LPPM-Unhas (2000)
Keterangan :
a = aluminium endapan pantai dan sungai, lumpur, lempung, lava dan kerikil.
b = seri dari endapan gunung api tua terdiri dari tufa buputia, halus sampai kasar, beraksi algomerat, lava dengan
endapan sisipan batu pasir atau lempung.
c = aliran lava basal, percikan oleh limpahan kandungan lensit.
d = batu gamping terumbu berlapis, berisi batu gamping pasiran atau taufan berbutir halus sampai kasar, breksi batu
gamping, nepal, batu lempung, tufa
e = batu sediment bersifat flis serta batuan sediment laut berselingan dengan batu gunung api terdiri dari batu pasir,
batu lava, batu lempung nepal
f = batuan beku bersifat basa, terutama batuan basal
g = batuan beku serobosan bersifat ultra basa, terutama peridesit
berbeda, tunggang pasang surut yang terjadi di lokasi penelitian berkisar antara 0
cm sampai dengan 159 cm (Tabel 14), tunggang pasang surut tersebut dapat
mencapai genangan air la ut ke wilayah pesisir pantai hingga ke arah daratan
melalui sungai – sungai, kondisi ini merupakan salah satu faktor yang mendukung
pertumbuhan mangrove dan ekstensifikasi pertambakan.
Gelombang merupakan suatu proses rambatan naik turunnya permukaan air
yang terjadi di pantai pada dasarnya dibangkitkan oleh angin. Mula- mula angin
membangkitkan ombak, kemudian ombak menepi ke pantai. Selama penjalaran
ombak menuju pantai yang membias akan membangkitkan arus susur pantai
(longshore current) atau arus tolak pantai (rip current), arus tersebut yang dapat
mengubah bentuk garis pantai, karena dapat menyebabkan angkutan sedimen
susur pantai (longshore transport) atau angkutan sedimen lintas pantai (cross-
shore transport).
hembusan angin, pada musim barat ombak terjadi sangat besar sehingga saat tiba
di pantai ombak tersebut akan menghempas dan melepaskan energi yang cukup
besar, menyebabkan kerusakan material pantai termasuk mangrove pasca
rehabilitasi yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini dinas kehutanan
bekerjasama dengan LMS (lembaga swadaya masyarakat) dan masyarakat lokal,
disisi lain tumbuhan mangrove dapat berfungsi sebagai penghalang untuk
meredam energi gelombang yang menghantam pantai.
Arus yang terukur di sekitar pantai umumnya arus pasang surut (tidal
current), sehingga pada saat pasang naik maka arah arus umumnya menuju ke
pantai, arus ini memungkinkan terjadinya arus susur pantai (longshore current)
dan arus tolak pantai (rip current). Arus pasang surut dibangkitkan oleh pasang
surut air laut yang terjadi di daerah sebelum ombak pecah, sedangkan arus susur
pantai dan tolak pantai dibangkitkan oleh ombak setelah pecah. Besar kecepatan
arus di sepanjang pantai daerah penelitian berkisar antara 0.02045 m/detik sampai
0.05556 m/detik, seperti disajikan pada Tabel 14. Kecepatan arus di lokasi
penelitian dapat digolongkan sebagai arus dengan kecepatan lemah, kondisi ini
terjadi karena pada saat pengukuran dilakukan tepat pada musim pancaroba
dimana angin sebagai pembangkit utama arus cukup tenang.
Tabel 15 . Data hasil pengamatan kualitas air di sekitar ekosistem mangrove pada lokasi
penelitian
cukup rapat, hal ini mengindikasikan bahwa jenis pohon mangrove tersebut di atas
berpotensi untuk dikembangkan di daerah penelitian.
Tabel 17. Rekapitulasi areal ekosistem mangrove pada setiap kecamatan dan desa /
kelurahan di Kabupaten Barru.
Tabel 19. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Mallusetasi
diikuti oleh Avicennia alba kerapatan jenis untuk kategori pohon 22 indiv/100 m2 ,
anakan 22 indiv/100 m2 , semaian 32 indiv/100 m2 , dan Rhizophora mucronata
kerapatan jenis kategori pohon dan semaian tidak ditemukan, anakan 6 indiv/100
m2 (Tabel 20).
Tabel 21. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Soppengriaja
Tabel 23. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Balusu
Tabel 25. Indeks nilai penting jenis (%) mangrove di Kecamatan Barru
4.2.2.1 Makrozoobentos
Makrozoobentos merupakan salah satu organisme yang hidup berasosiasi
dengan vegetasi mangrove, organisme ini biasanya ditemukan hidup pada bagian
substrat (akar mangrove). Golongan organisme ini umumnya hidup menetap pada
dasar perairan, karena organisme bentos tidak mempunyai kemampuan bergerak
secara bebas untuk berpindah tempat, sehingga organisme ini biasanya membuat
lobang untuk menghindar dari predator dan fluktuasi faktor fisik lingkungan.
Organisme bentos adalah semua jenis organisme yang hidup dan berasosiasi
dengan sedimen dasar perairan termasuk tumbuhan dasar (benthic plants) disebut
juga sebagai fitobentos dan hewan dasar (benthic animals) disebut juga sebagai
zoobentos (Hutabarat dan Evans 1984).
Komposisi jenis organisme di lokasi penelitian masih memperlihatkan
tingkat kemerataan pada semua ekosistem mangrove di Kabupaten Barru. Secara
umum nilai kelimpahan bentos masih cukup tinggi dengan kisaran nilai 85 - 456
indivi/m2 pada setiap stasiun / kecamatan. Kelimpahan makrozoobentos tertinggi
ditemukan di stasiun IV Kecamatan Barru dengan kisaran antara 400 – 456
indiv/m2 , tingginya nilai kelimpahan di stasiun ini diduga disebabkan oleh kondisi
dan keberadaan ekosistem mangrove yang terdapat di sekitar muara sungai
sehingga faktor – faktor lingkungan seperti salinitas, suhu, bahan organik dan
sirkulasi air tidak memperlihatkan fluktuasi yang berarti terhadap keberadaan
bentos. Sedangkan kelimpahan bentos pada stasiun I, II dan III tidak
memperlihatkan nilai yang signifikan, sehingga nilai kelimpahan yang diperoleh
masih dalam kategori stabil dengan kisaran 135 – 325 indiv/m2 , kecuali pada
stasiun III Kecamatan Balusu khususnya pada sub-stasiun Desa/Kelurahan
Madello menunjukkan niali kelimpahan yang cukup rendah yaitu 85 indiv/m2 ,
rendahnya nilai kelimpahan di stasiun ini diduga disebabkan oleh keberadaan
ekosistem mangrove yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk.
Secara umum hasil pengamatan mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove di
setiap kecamatan masih cukup baik, artinya masih cukup layak dihuni oleh
beberapa spesies organisme (Gambar 19 dan Lampiran 6).
77
500
456 415
Kelimpahan Organisme
450 400
400
(K = indiv/m2)
350 325
300
250 220 225
250
200 170
135 155 160
150
85
100
50
0
Mal Sop Balu Bar
luse pen su ru
tasi gria
ja
Stasiun Pengamatan
KELIMPAHAN (K = indiv/m2)
2.5
58
2.4
68
68
2.0
49
2.0
Keanekaragaman (H')
1.9
23
15
21
2
1.8
1.8
62
1.7
63
66
1.6
1.6
1.5
54
38
1.4
1.3
1.5
0.5
0
Mallusetasi Soppengriaja Balusu Barru
Stasiun Pengamatan
KEANEKARAGAMAN (H’ )
4.3.1 Penduduk
Kondisi sosial dan kependudukan merupakan salah suatu faktor yang sangat
penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk pemanfaatan ekosistem
mangrove. Kondisi sosial masyarakat dapat memberikan gambaran tentang
ketersedian tenaga kerja, pengembangan sumberdaya manusia, tingkat
kesejahtraan masyarakat, budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat lokal.
Penyebaran penduduk di empat kecamatan pada lokasi penelitian hampir merata
dengan jumlah total penduduk sebanyak 93.947 jiwa, masing – masing di
Kecamatan Mallusetasi sebanyak 23.502 jiwa, Kecamatan Soppengriaja 17.467
jiwa, Kecamatan Balusu 17.908 jiwa, dan Kecamatan Barru sebanyak 35.070 jiwa
(Tabel 26 dan Gambar 21).
Tabel 26. Jumlah penduduk di lokasi penelitian dirinci menurut Kecamatan dan
jenis kelamin.
Mallusetasi
23.502 jiwa
35.07 jiwa Soppengriaja
Balusu
Barru
17.467 jiwa
17.908 jiwa
20
Jumlah Penduduk
15
Laki - Laki
10
Perempuan
5
0
Mallusetasi Soppeng Balusu Barru
Riaja
Kecamatan
3%2% 8%
18%
13%
56%
Tabel 27. Jumlah rumah tangga nelayan dan petani tambak disetiap kecamatan
25%
44%
15%
16%
Gambar 24. Jumlah rumah tangga penduduk yang berprofesi sebagai nelayan di
setiap kecamatan di lokasi penelitian
Tabel 28. Estimasi responden (nelayan) berdasarkan jenis alat tangkap yang di
gunakan
Bagan Bagan
No Kecamatan Jaring Pancing Parit Tancap Perahu Jumlah
(unit) (unit) (unit) (unit) (unit) (unit)
1 Mallusetasi 7 9 3 1 - 20
2 Soppengriaja 4 11 3 - 2 20
3 Balusu 10 7 3 - - 20
4 Barru 6 12 2 - - 20
Total 27 39 11 1 2 80
Persentase (%) 33.75 48.75 13.75 1.25 2.50 100
Sumber : Hasil analisis data primer (2006)
Hasil estimasi alat tangkap dan jumlah yang umum dipergunakan oleh
nelayan pada setiap stasiun pengamatan atau kecamatan menunjukan penggunaan
alat tangkap yang berbeda tergantung dari musim dan jenis organisme yang akan
ditangkap, adapun persentase jumlah dan jenis alat tangkap (Gambar 25).
85
14
JumlahAlatTangkap
12
(Unit/Kecamatan)
10
8
6
4
2
0
Jaring Pancing Parit Bagan Tancap Bagan Perahu
Jenis Alat Tangkap
Gambar 25. Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada setiap
kecamatan di lokasi penelitian.
tertentu berdasarkan asumsi - asumsi penilaian yang dapat diterima dan dianalisis
untuk mengetahui besarnya biaya pengelolaan dan manfaatnya yang diterima.
Penilaian ekosistem mangrove di lokasi penelitian secara umum dapat
diidentifikasi dengan kategori penilaian manfaat sebagai berikut : (1) nilai
manfaat langsung (direct use value); (2) nilai manfaat tidak langsung (indirect use
value); (3) nilai manfaat pilihan (option value); dan (4) nilai manfaat keberadaan
(existence value). Namun pada penelitian ini nilai ekonomi difokuskan pada nilai
manfaat langsung (direct use value) mengingat tujuan dari valuasi ini hanya untuk
memenuhi kriteria penyusunan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove, oleh
karena itu nilai valuasi ekonomi yang tercantum pada penelitian ini tidak
mengevaluasi total nilai ekonomi dari ekosistem mangrove. Adapun hasil
analisis valuasi ekonomi komponen manfaat ekosistem mangrove dapat
dijabarkan sebagai berikut.
Keuntungan /
No Jenis Pemanfaatan Biaya NilaiManfaat Manfaat Optimal
(Rp/ ha /thn) (Rp /ha/thn) (Rp /ha/thn)
1 Kayu 162.825.16 251.946.56 89.121.40
2 Arang 154.928.33 163.577.24 8.648.91
3 Bibit mangrove 865.333.57 2.468.589.63 1.603.256.06
3 Burung 44.461.16 59.723.94 15.262.78
4 Kelelawar 497.699.52 564.059.46 66.359.94
5 Ikan 7.105.133.72 7.249.454.37 144.320.65
6 Udang 8.070.154.66 27.605.733.5 19.535.578.84
7 Kepiting 682.121.16 3.651.743.05 2.969.621.89
8 Kerang 1.999.646.08 2.350.734.38 351.088.30
9 Tambak Udang+Ikan 1.665.078.80 6.447.500.00 4.782.421.20
10 Tambak Udang 115.031.69 534.720.81 419.689.12
11 Tambak Ikan 127.661.21 655.175.00 527.513.79
Jumlah 21.490.075.06 52.002.957.94 30.512.882.88
Sumber : Hasil analisis data primer(2006)
per tahun, maka diperoleh keuntungan sekitar Rp. 1.603.256.06 per hektar per
tahun (Tabel 29 dan Lampiran 11).
Manfaat Burung, salah satu komponen ekosistem mangrove yang hidup
berasosiasi dengan mangrove khususnya ditemukan pada wilayah atmospir atau
bagian batang dan daun mangrove yaitu burung, berbagai jenis burung dapat
dijumpai di lokasi penelitian, baik burung yang sifatnya hidup dengan membuat
sarang di pohon mangrove maupun burung yang sifatnya datang untuk mencari
makan di sekitar hutan mangrove, sehingga ekosistem mangrove sangat ramai
dengan kicauan burung yang berbeda jenis dan berwarna – warni. Kondisi ini
yang menarik perhatian para stakeholders sehingga menimbulkan keinginan untuk
menangkap dan memiliki jenis burung tertentu. Sekitar tahun 1990-an kegiatan
perburuan atau penangkapan burung sering dilakukan oleh masyarakat atau
pengunjung yang sengaja datang untuk berburu di hutan mangrove, namun
setelah ditetapkannya kebijakan konservasi hutan mangrove pada tahun 2001,
maka kegiatan perburuan atau penangkapan burung sudah jarang dilakukan. Hasil
indentifikasi di lapangan didapatkan bahwa kegiatan penangkapan burung bukan
lagi sebagai suatu pekerjaan utama, akan tetapi hanya merupakan kegiatan
tambahan yang sifatnya temporer dan lebih mengarah kepada pemenuhan hobbi
atau kesenangan saja, namun demikian kadang – kadang masyarakat juga
melakukan trangsaksi kepada peminat tertentu yang kebetulan tertarik dengan
burung yang dipelihara oleh nelayan, biasanya nilai jual seekor burung tergantung
dari jenisnya dengan kisaran harga antara Rp. 5.000 s/d Rp. 15.000 per ekor.
Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi untuk menghitung nilai manfaat
langsung burung didapatkan sekitar Rp. 15.262.78 per hektar per tahun (Tabel 29
dan Lampiran 12).
dipasang di atas areal hutan mangrove, jaring dirancang sedemikian rupa sehingga
kelelawar dapat terperangkap didalamnya. Penangkapan kelelawar dilakukan oleh
masyarakat dengan frekuensi penangkapan rata – rata 150 trip per tahun, hasil
tangkapan rata – rata 750 ekor per tahun, nilai jual berkisar Rp. 5.000 s/d 12.000
per ekor, pendapatan rata – rata nelayan penangkap kelelawar sekitar
Rp. 3.750.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi didapatkan
nilai manfaat langsung kelelawar sekitar Rp. 66.359.94 per hektar per tahun
(Tabel 29 dan La mpiran 13).
Rp. 39.000.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang
dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang
tertangkap disekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 19.535.578.84 per hektar per
tahun (Tabel 29 dan Lampiran 15).
nelayan rata – rata sekitar Rp. 3.321.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis
valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat
langsung kerang-kerangan yang tertangkap di sekitar ekosistem mangrove sebesar
Rp. 351.088.3 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 17).
dengan mudah penelitian ini dapat dilaksanakan. Hasil survei terhadap beberapa
parameter, seperti : parameter ekologis, biofisik lingkungan, sosial, parameter
ekonomi masyarakat dan parameter geomorfologi, nilai yang diperoleh dari hasil
survei dan analisis setiap parameter tersebut di atas, selanjutnya dilakukan
analisis dan interpretasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan mangacu pada
matriks standar kesesuaian pemanfaatan lahan. Berdasarkan hasil analisis dan
interpretasi kriteria kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, didasarkan pada
empat kelas kesesuaian lahan, yaitu : (1) kelas S1 kategori sangat sesuai (higly
suitable), (2) kelas S2 ketegoti sesuai (suitable), (3) kelas S3 kategori tidak sesuai
saat ini (currently not suitable), dan (4) kelas N kategori tidak sesuai permanen
(permanently not suitable), sesuai dengan kelasifikasi tersebut menunjukkan
bahwa di Kabupaten Barru khususnya di daerah perairan pantai dengan vegetasi
mangrove, dapat dilakukan beberapa kegiatan pamanfaatan yaitu : konservasi,
wisata pantai, budidaya ikan/tambak, pembangunan pelabuhan,
pemukiman, dan kawasan industri.
Kegiatan pemanfatan ekosistem mangrove sebagaimana dijelaskan pada
pendahuluan penelitian ini, bahwa ekosistem mangrove yang terdapat di pesisir
pantai dan pulau – pulau di Kabupaten Barru mempunyai potensi sumberdaya
yang cukup besar untuk pengembangan berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan
ekosistem tersebut, kegitan pemanfaatan lahan sudak sejak lama dilakukan
walaupun tidak sesuai dengan peruntukannya, akibat dari lemahnya pengetahuan
masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang
lestari dan berkelanjutan, belum adanya kebijakan pemerintah daerah yang
sepenuhnya mengatur prioritas kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem
mangrove. Oleh karena itu, konsep kebijakan pembangunan untuk pemanfaatan
ekosistem mangrove secara berkelanjutan seharusnya diterapkan untuk
menghindari terjadinya konflik kepentingan antar sektor dan degradasi ekosistem
mangrove. Menurut Dahuri (2003) pada hakekatnya kebijakan pembangunan
sumberdaya kelautan dihasilkan dari suatu proses politik, dalam pengertian,
bahwa kebijakan tersebut tersusun sesuai kepentingannya dan diimplementasikan
melalui proses negosiasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu,
keberhasilan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan sangat tergantung pada
kemauan dan komitmen segenap stakeholders.
96
PENELITI
-Konservasi - Industri
-Budidaya Ikan/Tambak - Pelabuhan
-Wisata Pantai - Pemukiman
50%
perlindungan atau jalur hijau
-Pengambil satwa
-Penangkapan
-Penebangan Manngrove
-Persawahan
-Industri
-Pemukiman
-Pertambakan
MASYARAKAT
- Konservasi (rehabilitasi,
EXPERT
- KONSERVASI
- BUDIDAYA IKAN/
- Budidaya tambak
hutan mangrove
TAMBAK
25% - WISATA PANTAI 25%
- INDUSTRI
- PELABUHAN
- PEMUKIMAN
ikan/tambak, wisata pantai, industri, pelabuhan, dan pemukiman. Oleh karena itu
untuk mencapai hasil yang optimal dalam mengimplementasikan setiap bentuk
kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove perlu dilakukan analisis lanjutan
tentang strategi dan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di
Kabupaten Barru.
Tabel 35. Hasil analisis dan akumulasi pendapat dari responden untuk komponen
internal SWOT.
Kekuatan :
Kelemahan :
Total 1 -0.693
Tabel 36. Hasil analisis dan akumulasi pendapat dari responden untuk komponen
eksternal SWOT.
Peluang :
Ancaman :
Total 1 1.242
112
Peluang
Kelemahan Kekuatan
Ancaman
Gambar 31. Hasil analais matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan
faktor eksternal.
25.00
20.00
15.53
15.00
10.00
5.00
0.00
1
Keterangan : Prioritas komponen SWOT
70.00
58.80
60.00
50.00
41.20
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Proiritas pemanfaatan
Keterangan :
Keanekaragaman 0.412 P2 Sumberdaya 0.588 P1
40.00 37.93
35.00
30.00
24.69
25.00
20.00 15.98
15.00 10.54 10.86
10.00
5.00
0.00
Prioritas pemanfaatan
Keterangan :
Kebijakan Pemerintah 0.2469 P2 Pendidikan rendah 0.1054 P5
Partisivasi masyarakat 0.1598 P3 Penataan ruang 0.1086 P4
Low inforcement 0.3793 P1
45.00
39.75
40.00
Persentase (%)
35.00
30.00 27.37
25.00
20.00
15.00 11.03 10.98 10.87
10.00
5.00
0.00
Prioritas pemanfaatan
Keterangan :
Pengembangan 0.3975 P1 Informasi & Prasarana 0.2737 P2
Tanaga Kerja 0.1103 P3 Peningkatan PAD 0.1098 P4
Animo Stakeholders 0.1087 P5
40.00
Persentase (%)
36.03
35.00 32.01
30.00
25.00
20.00
15.00 10.59 10.75 10.62
10.00
5.00
0.00
Prioritas pemanfaatan
Keterangan :
Daya Dukung 0.3603 P1 Ego-sektoral 0.1059 P5
Peng. Ekosistem 0.3201 P2 Peluang pasar 0.1075 P3
Laju konversi tinggi 0.1062 P4
25.00 23.79
Persentase (%)
20.26
20.00 18.65
15.00 13.83
11.58 11.90
10.00
5.00
0.00
Prioritas pemanfaatan
Keterangan :
Konservasi 0.237942122 P1 Wisata Pantai 0.186495177 P3
Budidaya Tambak 0.202572347 P2 Pelabuhan 0.138263666 P4
Pemukiman 0.115755627 P6 Industri 0.118971061 P5
komponen yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, oleh karena
output (luaran) dari setiap implementasi elemen-elemen kebijakan dapat terealisasi
sesuai yang diharapan apabila distimulus oleh strategi yang objektif (Tabel 38).
No Strategi Kebijakan
1. a. Kebijakan konservasi Konservasi
b. Pelatihan terhadap masyarakat (P1, 23.79%)
c. Meningkatkan Keterlibatan/partisifasi dan kesadaran
masyarakat
d. Menghindari konversi ekosistem mangrove
e. Mencegah kerusakan lingkungan
f. Pelarangan eksploitasi mangrove
g. Sosialisasi dan penegakan hukum
h. Monitoring dan evaluasi.
2. a. Kebijakan budidaya tambak Budidaya
b. Menetapkan visi misi pemanfaatan mangrove Perikanan
c. Membuat master plan (P2, 20.26%)
d. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara
e. Mencegah kerusakan lingkungan
f. Luasan areal mangrove dipertahankan.
3. a. Kebijakan ekowisata dan wisata pantai Wisata Pantai
b. Kelestarian dan potensi SD-Mangrove (P3, 18.65%)
c. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara
d. Promosi dan pasar
e. Membuat master plan
f. Menarik investor.
4. a. Kebijakan pelabuhan Pelabuhan
b. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara (P4, 13.83%)
c. Membuat master plan
d. Menghindari konflik
e. Mencegah kerusakan lingkungan
f. Studi AMDAL (RKL & RPL),
g. Monitoring dan evaluasi.
5. a. Kebijakan industri Industri
b. Menetapkan visi misi pemanfaatan mangrove (P5, 11.90%)
c. Peningkatan akses informasi, sarana dan prasara
d. Promosi dan pasar
e. Menghindari konflik
f. Menarik investor
g. Studi AMDAL (RKL & RPL)
h. Monitoring dan evaluasi.
6. a. Kebijakan pemukiman Pemukiman
b. Membuat master plan (P6, 11.58%)
c. Menghindari konflik
d. Sosialisasi tentang program pemanfaatan yang
disepakati.
124
secara besar – besaran sekitar tahun 1990-an, masyarakat yang diwawancarai saat
penelitian umumnya sudah mengetahui dan memahami arti pentingnya keberadaan
hutan mangrove, menyadari bahwa dengan adanya hutan mangrove dapat menjadi
tamen dari gempuran gelombang dan genangan air pasang terhadap tambak. Oleh
karena itu, tambak di Kabupaten Barru umumnya di bangun di belakang hutan
mangrove. Pengembanga n kawasan tambak di Kabupaten Barru dapat dilakukan
selama tidak merusak ekosistem mangrove, kegiatan pertambakan dapat dilakukan
di beberapa Kecamatan diantaranya : Kecamatan Mallusetasi, Soppengriaja,
Balusu dan Kecamatan Barru. Salah satu alternatif untuk pengembangan tambak di
Kabupaten Barru yaitu tambak tumpangsari (silvofishery) yaitu tambak yang
dibangun hasil konversi hutan mangrove dangan menebang mengrove sebanyak 20
% untuk parit tambak dan 80 % mangrove tetap dipertahankan, karena sistem
tambak seperti ini dapat mempertahankan keberadaan mangrove dan tingkat
kesuburan tanah. Adapun strategi yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan
ekosistem mangrove sebagai areal budidaya tambak adalah sebagai berikut : (1)
penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik
untuk peruntukan dan pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai areal
pertambakan, (2) pemanfaatan ekosistem mangrove, para stakeholders harus
mempunyai visi, misi, dan tujuan pengelolaan yang jelas sesuai peraturan dan
kebijakan pemerintah daerah yang berlaku, (3) peningkatan akses informasi dan
sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk pemanfaatan ekosistem
mangrove, (4) membuat master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di
wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal
disekitarnya, (5) mencegah kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi,
dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (6) luasan
areal dan potensi ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan, sehingga tidak
mengurangi fungsi fisik, kimia dan biologis hutan mangrove.
pelabuhan rakyat atau tempat menyandarkan perahu pada saat selesai melaut, agar
terlindung dari badai angin kencang dan hempasan gelombang, seperti yang
dijumpai di Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu, Kelurahan Mangempang dan
Siawung Kecamatan Barru. Tradisi ini sebenarnya dapat merusak tatanan
ekosistem mangrove atau merusak mangrove pasca-rehabilitasi. Namun disadari
bahwa untuk mengembangkan sistem perekonomian dan perdangangan lewat laut
dibutuhkan pelabuhan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan,
keberadaan pelabuha n dapat dibangun disekitar hutan mangrove dengan
pertimbangan tertentu, misalnya : kedalaman perairan, tidak merusak hutan
mangrove, mudah dijangkau dan cukup terlindung. Ada beberapa daerah yang
dapat direkomendasikan untuk pengembangan pelabuhan yaitu : Kecamatan
Soppengriaja dan Kecamatan Barru. Adapun strategi yang dapat dilakukan untuk
mengimplementasikan perencanaan dan pengembagan pelabuhan di sekitar areal
ekosistem mangrove adalah sebagai berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang
pemanfaatan ekosistem mangrove secara spesifik untuk pelabuhan, (2)
peningkatan akses informasi dan sarana prasarana untuk mendukung setiap bentuk
pemanfaatan ekosistem mangrove, (3) membuat master plan (rencana pengelolaan
dan rencana aksi) di wilayah pesisir khususnya pemanfaatan ekosistem mangrove
dan areal disekitarnya, (4) menghindari terjadinya konflik kepentingan dari
berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan ekosistem mangrove, dengan
melakukan penataan pemanfaatan ruang secara spesifik, (5) mencegah kerusakan
lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi, dan keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem mangrove, (6) melakukan studi kelayakan untuk kesesuain
lahan dan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) meliputi RKL
(rencana pengelolaan lingkungan) dan RPL (rencana pemantauan lingkungan)
untuk setiap kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove, (7) melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap setiap implementasi kegiatan pemanfaatan ekosistem
mangrove secara berkala.
badai angin topan dan gelombang. Rumah yang cocok dibangun di kawasan ini
adalah jenis rumah panggung, supanya terhindari genangan air pada saat pasang
dan juga pada bagian bawah atau kolom rumah dapat dijadikan sebagai tempat
menyimpan berbagai macam alat tangkap dan perlenkapan lainnya. Adapun
strategi yang dapat dilakukan untuk mengimplementasikan kebijakan pemanfaatan
ekosistem mangrove untuk pengembangan pemukiman penduduk adalah sebagai
berikut : (1) penyusunan kebijakan tentang pemanfaatan ekosistem mangrove
secara spesifik untuk peruntukan perumahan atau pemukiman, (2) membuat
master plan (rencana pengelolaan dan rencana aksi) di wilayah pesisir khususnya
pemanfaatan ekosistem mangrove dan areal disekitarnya, (3) menghindari
terjadinya konflik kepentingan dari berbagai pihak / sektor dalam pemanfaatan
ekosistem mangrove, dengan melakukan penataan pemanfaatan ruang secara
spesifik, (4) sosialisasi dan pemahaman terhadap masyarakat tentang program
pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah disepakati dan ditetapkan sebagai
kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove.
133
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L, Azis N. 2006. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Mangrove
Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebuah Pendekatan Permintaan. Malang, 20 – 21 Februari. Fakultas
Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Bappeda 2000. Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Pantai dan Penetapan
Jalur Hijau Hutan Mangrove Kabupaten Barru. Rancangan
Rencana. Pemerintah Daerah Kab. Barru. Sulawesi Selatan.
Bengen GD. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.
Pusat kajian sumberdaya pasisir dan lautan. Institu Pertanian Bogor.
Dahuri R, Ginting SRP, Rais J, dan Sitepu JG. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Paradyna
Paramitha, Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Laporan Statistik Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Barru. Sulawesi Selatan.
Hunger DJ, Wheelen TL. 1996. Strategic Management. Edisi Bahasa Indonesia
diterbitkan oleh Penerbit Andi, 2003. Yogyakarta.
Hutagalung PH, Deddy S, Riyanto HS. 1997. Metode Analisis Air Laut,
Sedimen dan Biota. Pusat penelitian dan pengembangan oseanologi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Intag. 1993. Hasil Penapsiran Luas Areal Mangrove dari Citra Lansat MSS
Liputan 1986 – 1991. Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna
Hutan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Lugo AE, Suhendar SC. 1974. The Ecology of Mangrove. Animal Review of
Ecological System.
138
Ludwig JA, Reynolds JF. 1998. Statistical Ecology. A Primer on Methods and
Computing. A Wiley-International Publication. New York
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (terjemahan). PT.
Gramedia, Jakarta.
Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Third Editio. WB. Saunders Co.
Toronto.
Rangkuti dan Freddy 1999. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis.
PT. Gramedia. Jakatra.
Sorensen JC, Mc. Crary, Hersman M.J. 1984. Instutional Arrangement for
Management of Coastal Resources. Research Planning Institutes,
Inc., Columbia, South Carolina.