Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia menerapkan berbagai macam sistem
pemerintahan dan yang paling mengemuka adalah sistem demokrasi liberal dan demokrasi
terpimpin. Indonesia memasuki masa demokrasi liberal pada awal pengakuan kedaulatan,
masa ini berlaku antara tahun 1950-1959. Masa demokrasi liberal atau parlementer ditandai
dengan tumbuh suburnya partai politik dan berlakunya kabinet parlementer. Prestasi politik
dan kemelut politik merupakan hal yang terjadi pada masa demokrasi liberal. Prestasi politik
berupa pemberlakuan sistem multipartai dan penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Kemelut politik berupa kabinet yang silih berganti dan perdebatan berkepanjangan dalam
konstituante.
Perjalanan sejarah Indonesia pada masa demokrasi liberal diwarnai oleh
pemerintahan dengan tujuh masa kebinet yang berbeda. Sistem pemerintahan pada masa
demokrasi liberal menetapkan bahwa kabinet-kabinet ini bertanggung jawab secara langsung
kepada parlemen. Kondisi Indonesia di masa demokrasi liberal sangatlah rentan karena
dalam kurun pemerintahan ketujuh kabinet tersebut, kinerja kabinet sering mengalami
deadlock (jalan buntu) dan ditentang oleh parlemen. Hal tersebut terjadi karena adanya
kelompok oposisi yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam
proses perumusan dan pembuatan kebijakan negara.
Demokrasi liberal mewariskan ketidakstabilan politik yang cukup parah dan
membuahkan berbagai pergolakan serta pemberontakan dalam negeri yang mengancam
persatuan bangsa. Melihat keadaan tersebut, Presiden Soekarno terdorong untuk
menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistis yang berpusat di tangan presiden yang
dikenal dengan Demokrasi Terpimpin ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli
1959. Keputusan tersebut diambil atas pertimbangan menempatkan kesatuan bangsa sebagai
yang utama.

B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian demokrasi liberal ?
2) Bagaimana sejarah demokrasi liberal di Indonesia ?
3) Apa sajakah hal-hal positif dan negatif selama berlakunya sistem demokrasi liberal ?
4) Bagaimanakah kehidupan politik Indonesia di masa demokrasi liberal ?
5) Bagaimanakah kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi liberal ?
6) Apa saja kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi pada masa demokrasi
liberal ?
7) Bagaimanakah kehidupan pertahanan dan keamanan Indonesia di masa demokrasi
liberal ?

1
8) Bagaimana akhir masa demokrasi liberal di Indonesia ?

C. Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian demokrasi liberal
2) Untuk mengetahui sejarah demokrasi liberal di Indonesia
3) Untuk mengetahui hal-hal positif dan negatif selama berlakunya sistem demokrasi liberal
4) Untuk mengetahui kehidupan politik Indonesia di masa demokrasi liberal
5) Untuk mengetahui kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi liberal
6) Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah ekonomi pada masa
demokrasi liberal
7) Untuk mengetahui kehidupan pertahanan dan keamanan Indonesia di masa demokrasi
liberal
8) Untuk mengetahui akhir masa demokrasi liberal di Indonesia

D. Manfaat
1) Dapat mengetahui pengertian demokrasi liberal
2) Dapat mengetahui sejarah demokrasi liberal di Indonesia
3) Dapat mengetahui hal-hal positif dan negatif selama berlakunya sistem demokrasi liberal
4) Dapat mengetahui kehidupan politik Indonesia di masa demokrasi liberal
5) Dapat mengetahui kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi liberal
6) Dapat mengetahui kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah ekonomi pada masa
demokrasi liberal
7) Dapat mengetahui kehidupan pertahanan dan keamanan Indonesia di masa demokrasi
liberal
8) Dapat mengetahui akhir masa demokrasi liberal di Indonesia
9)

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Demokrasi Liberal


Secara etimologis kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang
berarti rakyat dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara liberalisme adalah
sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman
bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi liberal adalah sistem politik yang menganut
kebebasan individu. Secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.
Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas diberlakukan pada sebagian besar
bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar
keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum
dalam konstitusi. Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada abad pencerahan oleh
penggagas teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques
Rousseau.

B. Sejarah Demokrasi Liberal di Indonesia


Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI melaksanakan demokrasi
parlementer yang liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat, dan masa ini disebut
masa demokrasi liberal. Indonesia dibagi 10 provinsi yang mempunyai otonomi dan
berdasarkan UUDS 1950 yang juga bernafaskan liberal. Akibat pelaksanaan konstitusi
tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh
seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem politik
pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai-partai politik, karena
dalam sistem kepartaian menganut sistem multipartai.
Demokrasi liberal berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataannya rakyat
Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem demokrasi liberal tidak cocok dan tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengumumkan dektrit mengenai pembubaran konstituante dan berlakunya kembali UUD
1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena dianggap tidak cocok dengan keadaan
ketatanegaraan Indonesia.

C. Hal-hal Positif dan Negatif Selama Berlakunya Sistem Demokrasi Liberal


Menurut Herbert Feith, selama berlakunya sistem parlementer, terdapat hal-hal
negatif yang terjadi, antara lain sebagai berikut.

3
a. Kebijakan pemerintahan jangka panjang banyak yang tidak dapat terlaksana akibat masa
kerja kabinet rata-rata pendek.
b. Meningkatnya ketegangan sosial di masyarakat akibat masa kegiatan kampanye pemilu
yang berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1953 hingga tahun 1955.
c. Kebijaksanaan beberapa perdana menteri yang cenderung menguntungkan partainya
sendiri.

Herbert Feith juga mencatat beberapa hal positif dalam pelaksanaan demokrasi
liberal pada masa 1950-1959, antara lain sebagai berikut.

a. Pemerintah berhasil melaksanakan program-programnya seperti dalam bidang


pendidikan, peningkatan produksi, peningkatan tingkat ekspor, dan mengendalikan
inflasi.
b. Kabinet dan ABRI berhasil mengatasi pemberontakan-pemberontakan, seperti Republik
Maluku Selatan (RMS) dan DI/TII di Jawa Barat.
c. Pesatnya jumlah pertumbuhan sekolah-sekolah.
d. Indonesia mendapat nama baik di dunia internasional karena berhasil menyelenggarakan
Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955.
e. Pers menikmati kebebasan yang cukup sehingga banyak variasi dalam pemberitaan,
serta hadirnya kritik dari pers, terutama dalam kolom kartun dan pojok.
f. Badan-badan pengadilan menikmati kebebasan yang besar dalam menjalankan
fungsinya.
g. Hanya terdapat sedikit ketegangan diantara umat beragama.
h. Minoritas Tionghoa mendapat perlindungan dari pemerintah.

D. Kehidupan Politik
Hasil Konferensi Meja Bundar pada 2 November 1949 di Den Haag melahirkan
terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah itu, diangkatlah Soekarno dan
Hatta sebagai presiden dan perdana menteri yang pertama, dan dibentuk pula kabinet.
Namun, pada Agustus 1950, RIS dibubarkan karena sebagian negara-negara federal Belanda
membubarkan diri dan menginginkan kembali ke pengakuan Republik Indonesia. Kemudian
pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani rancangan UUD NKRI (RI dan
RIS) yang kemudian lebih dikenal dengan UUDS 1950 sehingga pada periode ini bentuk
negara Indonesia yang semula federal beralih pada bentuk negara kesatuan dimana
kekuasaannya dipegang oleh pemerintah pusat dan menganut sistem pemerintahan
parlementer.
Tetapi, praktik sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada masa
berlakunya UUDS 1950 ini ternyata tidak membawa bangsa Indonesia ke arah kemakmuran,
keteraturan, dan kestabilan politik. Hal ini tercermin dari jatuh bangunnya kabinet dalam kurun
waktu antara 1950-1959, telah terjadi 7 kali pergantian kabinet, yaitu.
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-18 April 1951)

4
Program kerja:
1) Meningkatkan keamanan dan ketertiban.
2) Menguatkan konsolidasi, penyempurnaan susunan pemerintahan.
3) Penyempurnaan angkatan perang.
4) Memperjuangkan masalah Irian Barat.
5) Memusatkan perhatian pada ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi nasional.
Hasil kerja:
1) Memetakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
2) Masuknya Indonesia menjadi anggota PBB.
3) Dilaksanakannya perundingan masalah Irian Barat dengan pihak Belanda.
Kegagalan:
Gagalnya perundingan dengan Belanda tantang masalah Irian Barat, mengakibatkan
munculnya mosi (tidak percaya) pada kabinet Natsir di parlemen.
b. Kabinet Sukiman (26 April 1951-1952)
Program kerja:
1) Penerapan tindakan tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
2) Memperjuangkan keamanan dan kesejahteraan rakyat dengan memperbarui hukum
agrarian untuk kesejahteraan petani.
3) Mempersiapkan segala usaha untuk pemilu.
4) Memperjuangkan Irian Barat dalam wilayah Indonesia.
Hasil Kerja:
Banyaknya hambatan dalam kabinet Sukiman membuat hasil kerja kabinet ini tidak
maksimal. Hambatannya, antara lain kondisi keamanan negara yang belum stabil, adanya
perseteruan antar berbagai elemen politik, dan adanya permasalahan dengan politik luar
negeri Indonesia.
Kegagalan:
Kegagalan kabinet ini, yaitu dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri,
memihaknya Indonesia kepada blok barat dengan menandatangani Mutual Security Act
dengan pemerintah Amerika Serikat.
c. Kabinet Wilopo (19 Maret 1952-2 Juni 1953)
Program kerja:
1) Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu.
2) Meningkatkan taraf kemakmuran, pendidikan, dan keamanan rakyat.
3) Berusaha menyelesaikan masalah Irian Barat, memperbaiki hubungan dengan
Belanda, dan konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.
Hasil kerja:
Kabinet ini menghadapi banyak hambatan dalam melaksanakan tugasnya, antara
lain:
1) Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah.

5
2) Adanya konflik di tubuh angkatan darat yang mengakibatkan terjadinya peristiwa 17
Oktober 1952.
3) Adanya peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara.
Kegagalan:
Dengan adanya hambatan tersebut, kabinet ini melahirkan mosi tidak percaya dari
kelompok oposisi pemerintah bernama Sarekat tani Indonesia dan diakhiri dengan
pengembalian mandat oleh Wilopo.
d. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953-24 Juli 1955)
Program kerja:
1) Mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang rencananya diadakan pada tengah
tahun 1955.
2) Mengatasi gangguan keamanan dan pemberontakan di daerah.
3) Melaksanakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan turut berperan dalam
menciptakan perdamaian dunia.
Hasil kerja:
1) Disusunnya kerangka panitia pelaksanaan pemilu.
2) Suksesnya pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
3) Membaiknya hubungan dengan Cina.
Kegagalan:
1) Memperjuangkan Irian Barat ke dalam negara Indonesia.
2) Munculnya pemberontakan di berbagai daerah.
3) Masih berlanjutnya konflik di tubuh Angkatan Darat, yaitu dengan mundurnya A.H.
Nasution yang digantikan oleh Bambang Sugeng.
e. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-3 Maret 1956)
Program kerja:
1) Memerintahkan polisi militer untuk menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas kasus
korupsi di departemen kehakiman.
2) Melaksanakan pemilu secara baik, maksimal, dan secepat mungkin.
3) Mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD pada 28 Oktober 1955.
Hasil kerja:
1) Diselenggarakannya pemilu tahun 1955.
2) Dibubarkannya Uni Indonesia-Belanda.
3) Berhasil menentukan sistem parlemen Indonesia.
Kegagalan:
Banyak perseteruan antara pemenang pemilu yang menyebabkan sidang parlemen
menjadi deadlock.
f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-14 Maret 1957)
Program kerja:
1) Memperjuangkan masuknya Irian Barat ke Indonesia.
2) Mempercepat proses pembentukan daerah otonom di Indonesia.

6
3) Meningkatkan kesejahteraan kaum buruh dan pegawai negeri serta menyehatkan dan
menyeimbangkan anggaran belanja dan keuangan negara.
4) Mengganti sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
Hasil kerja:
1) Ditandatanganinya undang-undang pembatalan KMB oleh Presiden Soekarno.
2) Beralihnya perusahaan Belanda menjadi milik warga Tionghoa.
3) Kepentingan Belanda diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kegagalan:
Munculnya sentimen anti-Cina dalam masyarakat, munculnya kekecewaan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, tidak stabilnya kondisi pemerintah dengan
banyaknya partai politik, dan munculnya gerakan separatis di berbagai daerah.
g. Kabinet Djuanda atau Kabinet Karya (9 April 1957-10 Juli 1959)
Program kerja:
1) Pembentukan dewan nasional.
2) Normalisasi keadaan Republik.
3) Memperjuangkan lancarnya pelaksanaan pembatalan hasil KMB.
4) Memperjuangkan kembali Irian Barat ke wilayah Indonesia.
5) Mempercepat dan mengintensifkan program pembangunan.
Hasil kerja:
1) Dibentuknya dewan nasional untuk menampung aspirasi rakyat yang tergabung
dalam non partai.
2) Pembersihan pejabat-pejabat yang melakukan korupsi.
3) Dilaksanakannya konsolidasi dengan daerah-daerah yang melakukan
pemberontakan dengan tujuan agar dapat menormalisasi keamanan negara.
4) Ditetapkannya peraturan kelautan yang tertuang dalam Deklarasi Djuanda tanggal
13 Desember 1957. Hal itu merupakan bukti keberhasilan diplomasi Indonesia dalam
memperjuangkan wilayah teritorial laut Indonesia.
Kegagalan:
Terjadi banyak pemberontakan separatis di daerah-daerah.

E. Kehidupan Ekonomi
Pada masa Kabinet Sukiman, salah satu perubahan kehidupan ekonomi yang terjadi
adalah adanya proses nasionalisasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah. Proses
nasionalisasi ekonomi itu menyangkut tiga bidang, yaitu:
1. Pembentukan Bank Negara Indonesia
Sebelum dilaksanakan nasionalisasi de Javasche Bank, terjadi proses pembentukan
Bank Negara Indonesia sebagai bank nasional pertama Indonesia dan dikukuhkan di
dalam peraturan pemerintah pengganti UU No. 2/1946. Proses itu terjadi pada 5 Juli
1946.
2. Nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia

7
Setelah Bank Negara Indonesia terbentuk pemerintah mengeluarkan UU No. 24/1951
yang berisi tentang pelaksanaan nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia (BI) yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.. Undang-undang
tersebut diperkuat dengan UU No. 11/1953 dan Lembaran Negara No. 40 yang
menyatakan bahwa jabatan presiden Bank Indonesia berubah menjadi Gubernur Bank
Indonesia. Menteri keuangan, menteri perekonomian, dan gubernur bank menjadi direksi
yang berfungsi melancarkan percepatan peningkatan taraf ekonomi dan moneter negara.

3. Pemberlakuan Oeang Repoeblik Indonesia


Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi mata uang Republik Indonesia dengan
menukar mata uang Jepang ke mata uang Indonesia yang disebut dengan Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI). Proses itu terjadi pada 1 Oktober 1946 yang dikukuhkan
dengan UU No. 17/1946 dan UU No. 19/1946. Kondisi masyarakat Indonesia pada masa
awal kemerdekaan, berangsur-angsur membaik. Kebijakan pemerintah untuk mengajak
rakyat Indonesia agar menabung di bank menjadi awal sehatnya kondisi perekonomian
bangsa.

Pada masa demokrasi liberal, proses nasionalisasi ekonomi Indonesia tidak berjalan
mulus karena konflik kepentingan politik antar kelompok di dalam tubuh konstituante dan
parlemen. Berbagai kebijakan pada masa demokrasi liberal menunjukkan hal itu. Contohnya,
proyek nasionalisasi ekonomi pada masa kabinet Ali I yang menekankan nasionalisasi sektor
perekonomian dan mendukung tumbuh kembangnya para pengusaha pribumi. Proses
nasionalisasi sektor perekonomian itu merupakan salah satu upaya dari pemerintahan kabinet
Ali I dalam meningkatkan taraf perekonomian bangsa Indonesia.
Perubahan perekonomian negara juga terlihat pada masa kabinet Ali II.
Ditandatanganinya UU Pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) oleh Presiden Soekarno
pada 3 Mei 1956 berakibat pada berpindahnya aset-aset modal yang dimiliki para pengusaha
Belanda ke tangan pengusaha nonpribumi. Hal itu berdampak pada munculnya kondisi sosial
yang timpang.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pada 19 Maret 1956, Kongres Nasional Importir
Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan yang dinamakan Gerakan Assaat. Gerakan itu
mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang dapat melindungi pengusaha
pribumi dalam berdaya saing terhadap pengusaha-pengusaha non pribumi.

F. Kebijakan Pemerintah Untuk Mengatasi Masalah Ekonomi Pada Masa Demokrasi


Liberal

8
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan
tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi
ekonomi adalah sebagai berikut.
1. Gunting Syafruddin terbengkalai
Akibat dari perang kemerdekaan selama 5 tahun perekonomian di Indonesia dan kacau
sehingga Menteri Keuangan Indonesia Syafruddin Prawiranegara mengeluarkan
kebijakan sanering atau pengguntingan uang dengan tujuan menyehatkan keuangan
negara. Dari kebijakan tersebut, uang kertas dengan nilai Rp 5.000 ke atas dinyatakan
bernilai setengahnya. Sebagai tindak lanjut dari pengguntingan uang tersebut,
dikeluarkan uang kertas baru berdasarkan undang-undang darurat No. 21 Th. 1950
tentang uang kertas baru. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950
berdasarkan SK Menteri Keuangan No. PU/1/19 Maret 1950, tujuannya untuk
menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp 1,5 miliar. Melalui kebijakan ini jumlah uang
yang beredar dapat dikurangi dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah
Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp 200 juta..
2. Sistem ekonomi gerakan benteng
Sistem ekonomi gerakan benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia
untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional yang
dilakukan pada masa Kabinet Natsir dan direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo
(Menteri Perdagangan). Program ini bertujuan untuk menumbuhkan kelas pengusaha di
kalangan bangsa Indonesia dengan memberi bimbingan, bantuan kredit, serta
kesempatan bagi para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah untuk berpartisipasi
dalam pembangunan ekonomi nasional. Program ini dimulai pada April 1950, hasilnya
selama 3 tahun ± 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari
program ini. Namun, tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik dan
mengakibatkan beban keuangan pemerintah makin besar.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada akhir tahun 1951, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche
Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian
kredit harus dikonsultasikan pada pemrintahan Belanda. Hal ini menghambat pemerintah
dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuan dari nasionalisasi De
Javasche adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan.
4. Sistem Ekonomi Ali Baba
Pada pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954-Agustus 1955), Menteri
Perekonomian Mr. Iskaq Tjokroadisurjo memprakarsai sistem ekonomi yang dikenal
dengan nama sistem Ali Baba. Sistem ini merupakan bentuk kerja sama ekonomi antara
pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan pengusaha nonpribumi (khususnya
Cina) yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini bertujuan mendorong tumbuh
dan berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Dalam

9
pelaksanaannya, sistem ekonomi Ali Baba tidak berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini
disebabkan para pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman daripada pengusaha
pribumi. Akibatnya, para pengusaha pribumi hanya dijadikan sebagai alat bagi para
pengusaha nonpribumi untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
5. Devaluasi mata uang rupiah
Dalam usaha memperbaiki kondisi ekonomi, pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah
mendevaluasi mata uang Rp 1.000 dan Rp 5.00 menjadi Rp 100 dan Rp 50. Pemerintah
juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi
jumlah Rp 25.000. Tujuan kebijakan devaluasi ini adalah untuk meningkatkan nilai rupiah
dan rakyat kecil tidak dirugikan. Namun, kebijakan pemerintah ini ternyata tidak dapat
mengatasi kemunduran ekonomi secara keseluruhan.
6. Mengeluarkan deklarasi ekonomi
Deklarasi ekonomi (dekon) dikeluarkan pada tanggal 26 Mei 1963. Pemerintah
menganggap bahwa untuk menanggulangi kesulitan ekonomi, satu-satunya jalan adalah
dengan sistem ekonomi terpimpin. Namun, dalam pelaksanaan ekonomi terpimpin,
pemerintah lebih menonjolkan unsur terpimpinnya daripada unsur ekonomi efisien.
Sektor ekonomi ditandatangani langsung oleh presiden. Akibatnya, kegiatan ekonomi
sangat bergantung pada pemerintah pusat dan kegiatan ekonomi pun mengalami
penurunan.
7. Rencana pembangunan lima tahun (RPLT)
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang
pembangunan jangka panjang. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional.
Biro ini berhasil menyusun RPLT yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun
1956-1961 dan disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957
sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap), pembiayaan RPLT diperkirakan Rp 12,5 miliar. RPLT tidak dapat berjalan
dengan baik disebabkan karena:
a. Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957
dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
b. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
c. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
8. Musyawarah nasional pembangunan
Masa kabinet Djuanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah
tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Tujuan diadakannya Munap adalah untuk mengubah rencana
pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk

10
jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan baik karena:
a. Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
b. Terjadi ketegangan politik yang tidak dapat diredakan.
c. Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
d. Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI atau Permesta
sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
e. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia-Belanda menyangkut masalah Irian
Barat mencapai konfrotansi bersenjata.

G. Kehidupan Bidang Pertahanan dan Keamanan


a. Masalah-Masalah Angkatan Perang
1) Peristiwa 17 Oktober 1952
Pada hakikatnya, peristiwa 17 Oktober 1952 mempunyai fator-faktor
penyebab pada masa-masa sebelumnya. Setelah perang kemerdekaan berakhir,
Indonesia menghadapi banyak persoalan antara lain:
a. Keadaan sosial ekonomi yang semakin memburuk dan korupsi yang semakin
meluas.
b. Keadaan politik yang labil dengan sistem yang liberal model Eropa Barat
(khususnya Belanda).
c. Persoalan pembebasan Irian Barat yang tidak cepat selesai.
d. Kemorosotan integritas dan kemampuan aparatur pemerintah akibat
pertentangan antar dan intern partai-partai serta pergolakan intern angkatan
perang.
Akibat peristiwa 17 Oktober ini AD mengalami perpecahan yang memerlukan
waktu beberapa tahun untuk mengatasinya. KSAP Jenderal Mayor T.B Simatupang
diberhentikan dan jabatan KSAP (kepala staf angkatan perang) dihapuskan,
sedangkan KSAD (kepala staf angkatan darat) Kolonel A.H. Nasution mengajukan
permintaan berhenti, sebagai pertanggungjawaban atas terjadinya peristiwa
tersebut. Ia digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng. Pemerintah pada tanggal 22
November 1952 mengeluarkan keterangan bahwa pada tanggal 17 Oktober tidak
terjadi coup atau percobaan coup.

2) Masalah Intern Angkatan Darat


Peristiwa yang hampir serupa dengan yang terjadi di Angkatan Darat pada
tanggal 27 Juni 1955 terjadi pula di Angkatan Udara. Di pangkalan Udara Cililitan
(Halim Perdanakusuma) pada tanggal 14 Desember 1955 terjadi keributan

11
menjelang dilantiknya wakil kepala staf angkatan udara komodar muda Hubertus
Suyono. Tidak lama sebelum komodar Suyono dilantik, secara tiba-tiba 25 orang
prajurit dari pasukan kehormatan pembawa panji-panji AU bersama-sama maju
serta berteriak, “tidak setuju”.
Secara beramai-ramai mereka meninggalkan barisan, upacara pelantikan
mengalami kegagalan karena Menteri Pertahanan Burhanudin Harahap menolak
melantik Komodar Suyono tanpa panji-panji. Sementara itu, pada tanggal 2 Juli dan
12 Juli 1952 di Pangkalan Cililitan diselenggarakan rapat yang membahas masalah
pendidikan dan penerbangan yang dipimpin oleh Komodar Muda Suyono.
Terjadinya rentetan rapat-rapat itu menunjukkan bahwa di kalangan perwira AURI
terdapat dua kelompok, sebagian mendukung KSAU dan sebagian lagi menentang
kebijakan KSAU.

b. Gangguan keamanan
Kembalinya ke Negara Kesatuan juga berdampak pada sebagian tokoh dari negara
bagian ingin tetap mempertahankan sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri dengan
cara mengadakan pemberontakan-pemberontakan. Sehingga hal ini menjadi gangguan
dan ancaman keamanan dalam negeri. Adapun pemberontakan-pemberontakan itu
antara lain:
1) Pemberontakan APRA
2) Pemberontakan Andi Aziz
3) Pemberontakan RMS
4) Pemberontakan DI/TII

H. Akhir Masa Demokrasi Liberal Di Indonesia


Kegagalan konstituante menetapkan UUD membawa Indonesia ke tepi jurang
kehancuran. Keadaan negara yang telah dirongrong sejumlah pemberontakan menjadi
tambah gawat. Faktor-faktor utama yang menjadi penyebab kegagalan konstituante dalam
merancang sebuah UUD bagi Indonesia adalah terdapatnya sikap mementingkan
kepentingan golongan atau partai politik yang berada di dalam konstituante, selain itu terdapat
pula berbagai peristiwa politik yang merembet pada konflik kepentingan masing-masing
kelompok politik di dalam tubuh konstituante. Atas dasar pertimbangan menyelamatkan
negara dari bahaya, Presiden Soekarno terpaksa melakukan tindakan inkonstitusional.
Tindakan presiden tersebut berupa pengeluaran dekrit yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Tindakan itu terutama didukung oleh kalangan militer. Dukungan kalangan militer
terhadap Dekrit Presiden tersebut karena sudah direpotkan oleh sejumlah pemberontakan
akibat krisis politik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisi beberapa keputusan, yaitu:
1. Konstituante dibubarkan.
2. UUD 1945 berlaku kembali sebagai UUD Republik Indonesia.

12
3. Membentuk MPRS dan DPAS dalam waktu singkat.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka masa demokrasi liberal atau
parlementer di Indonesia berakhir dan beralih pada demokrasi terpimpin.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada akhir Desember 1949 secara
hukum internasional Indonesia memiliki prospek sebagai Negara yang dapat menentukan
masa depannya sendiri dan pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani
rancangan UUD NKRI yang dikenal dengan UUDS 1950 yang kemudian mulai diberlakukan
tanggal 17 Agustus 1950.
Dengan diberlakukannya UUDS 1950 Indonesia menerapkan sistem Demokrasi
Liberal sejak tahun 1950 sampai tahun 1959. Pada masa Demokrasi Liberal banyak terjadi
kemelut politik salah satunya adalah silih bergantinya kabinet selama 9 tahun. Selain itu, juga
terjadi prestasi politik yang gemilang seperti terlaksananya Konferensi Asia Afrika pada masa
kerja kabinet Ali Sastroamidjojo I dan terlaksananya pemilu yang pertama.
Namun, kekacauan politik yang terjadi pada masa Demokrasi Liberal tidak kunjung
usai hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 akibat
kegagalan konstituante dalam menetapkan UUD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 menandakan berakhirnya masa Demokrasi Liberal dan berlakunya masa Demokrasi
Terpimpin

B. Saran
Dari sejarah berlakunya masa Demokrasi Liberal semoga kita mendapat pelajaran
dan hikmah dari apa yang telah terjadi juga bisa memperbaiki kesalahan yang ada untuk
kebaikan masa depan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Magdalia, dkk.2007.SEJARAH: untuk SMA dan MA Kelas XII Program Ilmu Pengetahuan
Sosial. Jakarta: Erlangga.

Alfian, Magdalia, dkk.2007.SEJARAH: untuk SMA dan MA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan
Sosial. Jakarta: Erlangga.

Matroji. 2007. SEJARAH: untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Erlangga.

Hapsari, Ratna dan Adil, M. 2015. Sejarah untuk SMA/MA kelas XII Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta: Erlangga.

Kardiman, Yuyus, dkk.2015. Mandiri Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA dan MA
Kelas XII. Jakarta: Erlangga.

Kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia. 2015. Pendidikan Pancasila dan


Kewarganegaraan. Jakarta: Kemdikbud.

http://ariskaputri88.blogspot.co.id/2014/03/kehidupan-politik-ekonomi-sosial-budaya.html

http://awalilmu.blogspot.co.id/2015/12/masalah-ekonomi-masa-demokrasi-liberal-terpimpin-upaya-
mengatasi.html

15

Anda mungkin juga menyukai