Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

RUMAH SAKIT

di

RUMAH SAKIT UMUM SEMBIRING


DELI TUA

Disusun oleh:
Jun Kristiani Waruwu, S.Farm.
21.24.167

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA
DELI TUA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg

untuk usia 60 tahun pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit

dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang

berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan

pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak

(menyebabkan) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang

memadai (Kemenkes RI, 2014).

Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi

masalah kesehatan penting di seluruh dunia karena prevalensinya yang tinggi

sebesar 22% pada kelompok usia ≥18 tahun pada tahun 2014 dan terus meningkat,

serta hubungannya dengan penyakit kardiovaskuler, stroke, retinopati, dan

penyakit ginjal. Hipertensi juga menjadi faktor risiko ketiga terbesar penyebab

kematian dini. The Third National Health and Nutrition Examination Survey

mengungkapkan bahwa hipertensi mampu meningkatkan risiko penyakit jantung

koroner sebesar 12% dan meningkatkan risiko stroke sebesar 24%.

Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada

kelompok umur ≥18 tahun sebesar 25,8%. Prevalensi hipertensi pada setiap

propinsi di Indonesia pada kelompok umur ≥18 tahun tergolong cukup tinggi.

Sebagai contoh prevalensi hipertensi di beberapa provinsi antara lain Bangka

Belitung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Jawa Barat pada tahun 2013

rata rata diatas 29,4%. Sedangkan prevalensi hipertensi pada kelompok umur ≥18
tahun di Jawa Tengah pada tahun 2013 sebesar 26,4%. Jika saat ini penduduk

Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yang

menderita hipertensi. Suatu kondisi yang cukup mengejutkan. Terdapat 13

provinsi yang persentasenya melebihi angka nasional, dengan tertinggi di Provinsi

Bangka Belitung (30,9%) atau secara absolut sebanyak 30,9% x 1.380.762 jiwa =

426.655 jiwa (Kemenkes RI, 2014).

Kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang diperkirakan

sekitar 80,0% pada tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000,

diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan

pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini.

Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang, tetapi 4,0%

yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6,0%-15,0% pada orang dewasa,

50,0% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka

cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak

mengetahui faktor risikonya, dan 90,0% merupakan hipertensi esensial. Orang

yang memiliki bakat hipertensi esensial harus hati-hati karena tekanan darahnya

cenderung meningkat secara tiba-tiba, misalnya setelah melakukan aktvitas berat

atau akibat stress emosional mendadak. Data Riskesdas 2013 setiap propinsi di

Indonesia, di Sulawesi Selatan prevalensi hipertensi pada kelompok umur ≥18

tahun sebesar 28,1% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).


1.2 Tujuan

Tujuan dilakukan studi kasus ini adalah

a. Untuk mengetahui pemantauan penggunaan terapi obat pada pasien

Hipertensi.

b. Untuk mengetahui apakah obat Hipertensi memiliki interaksi obat terhadap

pasien.

1.3 Manfaat

Manfaat dilakukan studi kasus ini adalah

a. Mengetahui pemantauan penggunaan terapi obat pada pasien Hipertensi.

b. Mengetahui apakah obat Hipertensi memiliki interaksi obat terhadap pasien.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekakan darah sistolik lebih dari 140 mmHg

dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan

selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat. Tekanan sistolik

menunjukkan fase darah yang dipompa oleh jantung dan tekanan diastolik

menunjukkan fase darah kembali ke dalam jantung (Kemenkes RI, 2013).

Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu keadaan dimana

seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang ditunjukkan

oleh angka sistolik (bagian atas) dan diastolik (angka bawah) pada pemeriksaan

tensi darah dengan menggunakan alat ukur tekanan darah. Hipertensi juga berarti

tekanan tinggi didalam arteri-arteri. Arteri-arteri adalah pembuluh darah yang

mengangkut darah dari jantung yang memompa keseluruh jaringan dan

organ-organ tubuh (Pudiastuti, 2011).

2.2 Patofisiologi Hipertensi

Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin

II dari angiotensin I oleh Angiotensin I Converting Enzyme (ACE). ACE

memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah

mengandung angiotensinogen yang di produksi di hati. Selanjutnya oleh hormon

renin akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,

angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (Alfa Sylvestris, 2014).

Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat dan memiliki

efek-efek lain yang juga memepengaruhi sirkulasi. Selama angiotensin II ada

dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat
meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh utama, yaitu vasokontsriksi, timbul degan

cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lemah pada vena.

Cara kedua dimana angiotensin II meningkatkan tekanan arteri adalah dengan

bekerja pada ginjal untuk menurunkan ekskresi garam dan air (Alfa Sylvestris,

2014).

Vasopresin, disebut juga Antidiuretic Bormone (ADH), bahan lebih kuat

dari pada angiotensin sebagai vasokonstriktor, jadi kemungkinan merupakan

bahan vasokonstriktor yang paling kuat dari tubuh. Bahan ini dibentuk di

hipotalamus tetapi diangkut menuruni pusat akson ke saraf ke glandula hipofise

posterior, dimana akhirnya dieskresi ke dalam darah (Alfa Sylvestris, 2014).

Aldosteron yang disekresikan oleh-oleh zona glomerulosa pada korteks

adrenal, adalah suatu regulator penting bagi reabsorbsi natrium (Na+ ) dan sekresi

kalium (K+ ) oleh tubulus ginjal. Tempat kerja utama aldosteron adalah pada

sel-sel prinsipal di tubulus koligentes kortikalis. Mekanisme dimana aldosteron

meningkatkan reabsorbsi natrium sementara pada saat yang sama meningkatkan

sekresi kalium adalah dengan merangsang pompa netrium-kalium ATPase pada

sisi basolateral dari membran tubulus koligentes kortikalis. Aldosteron juga

meningkatkan permeabilitas natrium pada sisi luminal membran (Alfa Sylvestris,

2014).

2.3 Penyebab Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya atau etiologinya hipertensi dibagi menjadi 2

golongan, yaitu hipertensi esensial (hipertensi primer) dan hipertensi sekunder

(hipertensi renal).
a. Hipertensi Esensial

Hipertensi esensial terjadi pada 90% dari penderita hipertensi (Kemenkes

RI, 2013). Faktor yang mempengaruhi seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas

sistem simpatis, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas,

alkohol, merokok, serta polisistemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada

kelompok umur 30-50 tahun (Pudiastuti, 2011).

b. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal yaitu hipertensi yang tidak

diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya

adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan hormon

atau pemakaian obat tertentu misalnya pil KB (Kemenkes RI, 2013).

2.4 Gejala Hipertensi

Menurut Pudiastuti (2011), gejala dari penyait hipertensi adalah

penglihatan kabur karena kerusakan retina, nyeri pada kepala, mual muntah akibat

meningkatnya tekanan intra kranial, edema dependent, adanya pembengkakan

akibat adanya peningkatan kapiler.

2.5 Faktor Resiko Hipertensi

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipertensi dapat dibedakan

menjadi dua yaitu faktor yang dapat di kontrol dan faktor yang tidak dapat di

kontrol.

2.5.1 Faktor yang Tidak Dapat Dikontrol

1. Umur

Semakin bertambahnya umur elastisitas pembuluh darah semakin menurun

dan terjadi kekakuan dan perapuhan pembuluh darah sehingga aliran darah
terutama ke otak menjadi terganggu, seiring dengan bertambahnya usia dapat

meningkatkan kejadian hipertensi (Gama, dkk., 2014).

2. Jenis Kelamin

Faktor gender berpengaruh pada kejadian hipertensi, dimana pria lebih

beresiko menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan risiko sebesar 2,29 kali

untuk meningkatkan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang

cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita.

Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita

meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, hal ini terjadi diakibatkan oleh faktor

hormon yang dimiliki wanita. Berdasarkan penelitian cross sectional di Kosovo

menunjukkan bahwa pria lebih berisiko menderita hipertensi dengan nilai OR=

1,4 hal ini berarti laki-laki lebih berisiko terkena hipertensi 1,4 kali dibandingkan

dengan perempuan (Aripin, 2015).

3. Keturunan

Riwayat hipertensi yang di dapat pada kedua orang tua, akan

meningkatkan risiko terjadinya hipertensi esensial. Orang yang memiliki keluarga

yang menderita hipertensi, memiliki risiko lebih besar menderita hipertensi

esensial. Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan

keluarga tersebut memiliki risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan

dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya antara potassium

terhadap sodium.
2.5.2 Faktor yang Dapat Dikontrol

1. Obesitas

Berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT) berkolerasi langsung dengan

tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukan satu-satunya

penyebab hipertensi namun prevalensi hipertensi pada orang dengan obesitas jauh

lebih besar, risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali

lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal

(Widyaningtyas, 2009).

Berdasarkan penelitian case control yang dilakukan pada laki-laki dewasa

di Puskesmas Petang I Kabupaten Badung didapakan hasil pada hasil analisis

regresi logistik diperoleh nilai OR=1.664. Hal ini berarti laki-laki dewasa yang

menderita obesitas di wilayah kerja Puskesmas Petang I mempunyai risiko 1.664

kali untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan laki-laki dewasa yang tidak

obesitas. Obesitas Meningkatkan pengeluaran insulin, suatu hormon yang

mengatur gula darah. Insulin dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah dan

karenanya meningkatkan resistensi perifer. Pada orang-orang yang kegemukan

rasio lingkar pinggang terhadap pinggul yang lebih tinggi sering dikaitkan dengan

hipertensi (Widyaningtyas, 2009).

Penelitian cross sectional yang dilakukan di Tegal Murni, Cikarang Barat

pada Tahun 2012 dengan 75 responden didapatkan hasil bahwa ada hubungan

yang bermakna antara IMT dengan hipertensi (p<0,05) dengan nilai OR 51.1 hal

ini berarti orang yang mengalami obesitas 51.1 kali lebih berisiko terkena

hipertensi dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas. Penelitian tersebut


menunjukkan bahwa ada hubungan antara berat badan dengan kejadian hipertensi

(Anggara, F & Nanang, 2013).

2. Diabetes Melitus

Diabetes Militus (DM) adalah suatu penyakit dimana kadar gula darah

(gula sederhana) di dalam darah tinggi. Di Indonesia DM dikenal juga dengan

istilah penyakit kencing manis yang merupakan salah satu penyakit yang

prevalensinya kian meningkat. Seseorang dikatakan menderita diabetes jika

memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan pada tes sewaktu >200 mg/dL

(Pudiastuti, 2011).

3. Konsumsi Alkohol

Awalnya alkohol merupakan minuman rutin (staple drink), karena lebih

aman dan lebih bersih dari air bahkan alkohol juga digunakan sebagai pengobatan

medis. Namun menjelang akhir abad kesembilan belas alkohol dipandang sebagai

ancaman bagi kesehatan karena dapat menyebabkan kecanduan (White, 2012).

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.

Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun,

diduga pengikatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta

kekentalan darah berperan dalam meningkatkan tekanan darah. Beberapa studi

menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan konsumsi alkohol,

efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengonsumsi alkohol sekitar 2

3 gelas ukuran stadar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika, konsumsi

alkohol yang berlebih berpengaruh terhadap kejadian hipertensi. Sekitar 10%

hipertensi di Amerika disebabkan oleh asuman alkohol yang berlebih dikalangan

pria separuh baya (Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, 2006).


4. Kebiasaan Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap

melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel

pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan tekanan darah tinggi. Merokok juga

dapat menyebabkan meningkatnya denyut nadi jantung dan kebutuhan oksigen

untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi

semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes RI,

2006).

Berdasarkan hasil penelitian case control yang dilakukan di Puskesmas

Baturiti II terhadap hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi pada

laki-laki umur 40 tahun keatas, berdasarkan analisis chi square diperoleh nilai OR

2,925. Hal ini berarti laki-laki umur 40 tahun ketas sebagai perokok berat

mempunyai risiko 2,952 kali lebih besar menderita hipertensi dibandingkan

dengan perokok ringan/ tidak merokok untuk menderita hipertensi. Secara teoritis

beberapa zat kimia dalam rokok bersifat kumulatif, suatu saat dosisi racun akan

mencapai titik toksin sehingga mulai kelihatan gejala yang ditimbulkan, maka hal

ini bagi perokok berat akan merasakan dampak lebih cepat dibandingkan perokok

ringan (Widya, 2012).

5. Aktivitas Fisik

Berdasarkan penelitian case control yang dilakukan di Puskesmas Petang I

Kabupaten Badung terhadap 100 orang wanita usia lanjut didapatkan hasil pada

wanita lansia yang aktivitas fisiknya tidak aktif sebagian besar menderita

hipertensi dengan derajat ringan (51,4%) dengan nilai OR= 2,912. Artinya wanita

usia lanjut yang memiliki aktivitas fisik tidak aktif memiliki risiko 2,912 kali
untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan wanita usia lanjut yang aktif

secara fisik (Sucipta, 2009).

6. Konsumsi Garam

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik

cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan menyebabkan peningkatan

volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi (esensial) terjadi

respons penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Pada

masyarakat yang mengonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan

darah rata-rata rendah, sedangkan pada mayarakat asupan garam sekitar 7- 8 gram

tekanan darah rata-rata lebih tinggi (Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak

Menular, 2006).

Berdasarkan penelitian case control yang dilakukan di Petang Kabupaten

Badung terhadap 100 orang wanita usia lanjut didapatkan hasil pada wanita lansia

yang konsumsi garamnya tinggi sebagian besar menderita hipertensi dengan

derajat berat, yaitu sebanyak 84,2% dengan nilai OR 5.467. Artinya wanita usia

lanjut yang konsumsi garamnya tinggi 5.467 kali lebih berisiko menderita

hipertensi derajat berat dibandingkan dengan wanita lanjut usia yang konsumsi

garamnya rendah (Sucipta, 2009).

2.6 Diagnosis dan Kriteria Hipertensi

Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥ 40 mmHg dan/atau TDD ≥ 90

mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Berdasarkan

pengukuran TDS dan TDD di klinik, pasien digolongkan menjadi sesuai dengan

tabel 1 berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Klinik

Kategori TDS TTD


(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 <180
Normal 120-129 80-84
Normal-tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajad 1 140-159 90-99
Hipertensi derajad 2 160-179 100-109
Hipertensi derajad 3 ≥180 ≥110
Hipertensi sistolik ≥140 <90
terisoslasi
TDS = tekanan darah sistolik; TDD = tekanan darah diastolik (PERHI, 2019).

2.7 Komplikasi Hipertensi

Menurut Direktorat Bina Farmasi komunitas dan Klinik (2006) hipertensi

adalah faktor risiko utama untuk penyait serebrovasuler (stroke, trasient ischemic

attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dan atrial

ibrilasi. Tekanan darah tinggi dalam waktu lama akan merusak endothel arteri dan

mempercepat atherosklerosis. Kompilkasi dari hipertensi termasuk rusaknya

organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah.

a. Otak

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan penyumbatan atau

terputusnya pembuluh darah pada otak. Tekanan darah yang tinggi secara

signifikan meningkatkan peluang untuk mengalami stroke.

b. Jantung

Selama bertahun-tahun, ketika arteri menyempit dan menjadi kurang lentur

sebagai akibat dari hipertensi, jantung makin sulit memompa darah secara efisien

ke seluruh tubuh. Beban kerja yang meningkat ini akhirnya merusak jantung dan

menghambat kerjanya. Terjadilah gagal jantung, bisa juga terjadi serangan


jantung. ini terjadi jika arteri koronari menyempit, kemudian darah menggumpal.

Kondisi ini berakibat bagi otot jantung yang bergantung pada arteri koronaria

mati, serangan jantung pun terjadi.

c. Ginjal

Hipertensi yang tidak terkontrol juga berdampak pada ginjal, yang dapat

memperlemah dan mempersempit pembuluh darah yang menyuplai ginjal. Hal ini

bisa menghambat ginjal untuk berfungsi secara normal.

d. Mata

Pembuluh darah pada mata juga bisa terkena dampaknya yaitu terjadi

penebalan, penyempitan atau sobeknya pembuluh darah pada mata. Kondisi ini

dapat menyebabkan hilangnya pengelihatan.

2.8 Pengobatan Hipertensi

Menurut Pudiastuti (2011), pengobatan pada hipertensi bertujuan untuk

mengurangi morbiditas dan mortalitas serta mengontrol tekanan darah artinya

tekanan darah harus diturunkan serendah mungkin yang tidak menggangu fungsi

ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup. Dalam pengobatan hipertensi ada

dua cara yang dilakukan yaitu pengobatan nonfarmakologik dan pengobatan

farmakologik.

2.8.1 Pengobatan Non Farmakologik

Pengobatan non farmakologi lebih berfokus pada perubahan gaya hidup,

Adapun yang dapat di lakukan adalah:


a. Pengurangan berat badan

Penderita hipertensi yang menderita obesitas dianjurkan untuk

menurunkan berat badan, membatasi asupan kalori dengan latihan fisik yang

teratur.

b. Berhenti merokok

Merokok berhubungan langsung dengan hipertensi tetapi merupakan

faktor utama penyebab penyakit kardiovaskuler. Penderita hipertensi sebaiknya

dianjurkan untuk berhenti merokok.

c. Menghindari alkohol

Alkohol meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan resistensi

terhadap obat anti hipertensi. Penderita hipertensi yang meminum alkohol

sebaiknya membatasi asupan etanol sekitar satu ons per hari.

d. Membatasi asupan garam

Kurangi asupan garam hingga kurang dari 100 mmol perhari atau kurang

dari 2,3 gram nitrat. Penderita hipertensi juga dianjurkan untuk menjaga asupan

kalsium dan magnesium.

e. Melakukan aktivitas fisik

Penderita hipertensi tanpa komplikasi dapat meningkatkan aktivitas fisik

secara aman, sedangkan penderita hipertensi dengan kompilkasi seperti penyakit

jantung atau masalah kesehatan lainnya yang memerlukan pemeriksaan yang lebih

lengkap misalnya dengan exercise test dan bila perlu mengikuti program

rehabilitasi dibawah pengawasan dokter.


2.8.2 Pengobatan Farmakologi

1. Diuretika

Diuretika merupakan golongan obat hipertensi dengan proses pengeluaran

cairan tubuh (natrium) melalui urin sehingga dapat mengurangi volume cairan

dalam tubuh, dengan turunnya kadar natrium maka tekanan darah juga akan turun.

Tetapi karena kemungkinan potassium juga akan terbuang dalam cairan urin,

maka pengontrolan konsumsi potassium harus dilakukan. Contoh obat golongan

ini misalnya golongan Loop diuretik (Furosemid), golongan tiazid

(Hydrochlorotiazide), golongan hemat kalium (Spirinolactone).

2. ACE Inhibitor

ACE Inhibitor bekerja menghambat perubahan angiostensin 1 menjadi

angiostensin 2 sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.

Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah sedangkan

berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium serta retensi

kalium. Contoh obat golongan ACE Inhibitor adalah captropil, ramipril, imidapril,

enalapril, lisinopril.

3. Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)

Mekanisme kerja ARB adalah memblokade reseptor AT1 sehingga

menyebabkan vasodilatasi, peningkatan ekskresi natriuman cairan (mengurangi

volume plasma), menurunkan hipertrofi vaskular. ARB memiliki efek yang mirip

dengan ACE Inhibitor. Perbedaannya adalah ARB tidak mempengaruhi

metabolisme bradikinin sehingga ARB tidak memiliki efek samping batuk kering
dan angioedema seperti yang terjadi dengan ACE Inhibitor. Contoh obat golongan

ini adalah Losartan, Valsartan, Candesartan, Irbesartan, Telmisartan.

4. Calcium Channel Blocker (CCB)

CCB bekerja dengan cara memblokade kanal kalsium pada membran

sehingga menghambat kalsium masuk kedalam sel. Kalsium merupakan zat yang

tersebar di seluruh tubuh dan merupakan intracellular messenger untuk

menjembatani suatu rangsangan menjadi respon. Sebuah sel dapat berkontraksi

apabila terjadi peningkatan kalsium intra sel. Jika tidak ada kalsium, maka sel

kontraktil seperti miokard dan sel otot polos pembuluh darah tidak dapat

berkontraksi. Pemberian CCB akan menghambat kalsium masuk kedalam sel

sehingga salah satu efeknya adalah menyebabkan vasodilatasi, memperlambat laju

jantung dan menurunkan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan tekanan

darah. Contoh obat golongan ini adalah Nifedipine, Amlodipine, Nicardipine.

5. -Blocker

-Blocker bekerja dengan memberikan hambatan terhadap reseptor . Obat

golongan ini bekerja dengan cara menurunkan frekuensi denyut jantung dan

kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung. Contoh obat golongan

ini yaitu Atenolol, Bisoprolol, Metoprolol, Propanolol.


BAB III
STUDI KASUS

3.1 Identitas Pasien

Tabel 3.1 Identifikasi Pasien

IDENTITAS PASIEN

Nama Ny. H
Tanggal Lahir 15 Juni 1973
Umur 48 Tahun
Jenis Kelamin Perempuan
Status Sudah Menikah
Agama Islam
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
Alamat No. 5 GG Sandimin, Deli tua Barat
Kabupaten Deli Serdang
Berat Badan -
Tinggi Badan -
Ruangan 12 IVI
Tanggal Masuk 11 Oktober 2022
Pukul 21.25 WIB

3.1.1 Ringkasan Pasien Masuk RSU Sembiring

Pasien masuk ke RSU Sembiring melalu instalasi gawat darurat (IGD)

pada tanggal 11 Oktober 2022 dengan kondisi lemas, sakit kepala, pusing,

penglihatan kabur.

3.1.2 Pemerikasaan Penunjang

Selama di rawat di RSU Sembiring, pasien telah menjalani beberapa

pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan Laboratorium.

3.1.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien di RSU Sembiring

meliputi pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, pernafasan, nadi, suhu.


Tabel 3.2 Data Hasil Pemeriksaan Fisik

No Data Hasil 11 12 13 14 15 16 17
Pemeriksaan Ruju Satuan Okt Okt Okt Okt Okt Okt Okt
Fisik kan 2022 2022 2022 2022 2022 2022 2022
1 Tekanan 120/ mmHg 180/ 140/ 130/ 130/ 130/ 120/ 120/
Darah 80 90 80 80 70 90 80 80
0
2 Temperatur 37 C 36,7 38 37,5 36,5 36,9 36,6 36

3 Pernapasan 20 Kali/ 23 21 21 21 21 22 21
(RR) Menit
4 Nadi (HR) 60-8 Kali/ 121 81 80 82 80 82 80
0 Menit

3.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu

Dijelaskan di dalam status pasien dan stelah melakukan wawancara

dengan pasien dan keluarga pasien tidak mempunyai riwayat penyakit terdahulu.

3.1.5 Diagnosa

Setelah melakukan pemeriksaan awal di RSU Sembiring Deli Tua pasien

didiagnosa menderita hipertensi.

3.1.6 Pemeriksaan Laboratorium

Selama di rawat di RSU Sembiring, pasien telah menjalani beberapa

pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan Laboratorium.

Tabel 3.3 Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada 11 Oktober 2022

No Pemeriksaan Normal Satuan Hasil


Laboratorium
1 Glukosa Ad Random <200 mg/dl -
2 HbA1c <7 % -
3 Eritrosit 3,50-5,50 10 /mm3
3
4,12
4 Leukosit 4,00-10,00 103/mm3 7,79
5 Trombosit 150-450 103/mm3 437
6 Hemoglobin 11,0-16,0 g/dl 11,8
7 Ureum 13-43 mg/dl 26,4
8 Kreatinin 0,8-1,3 mg/dl 0,9
9 Asam urat 3,5-7,2 mg/dl 4,5
10 Glucose 2 jam PP 140-200 mg/dl -
11 GOT Up to 40 U/L -
12 GPT Up to 40 U/L -
13 Na- 136,0-145,0 mmol/L 137,2
14 K- 3,50-5,20 mmol/L 3,33
15 Cl- 96,0-108,0 mmol/L 95,6

Tabel 3.4 Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada 12 Oktober 2022

No Pemeriksaan Normal Satuan Hasil


Laboratorium
1 Glukosa Ad Random <200 mg/dl 187,0
2 HbA1c <7 % -
3 Eritrosit 3,50-5,50 103/mm3 -
4 Leukosit 4,00-10,00 103/mm3 -
5 Trombosit 150-450 103/mm3 -
6 Hemoglobin 11,0-16,0 g/dl -
7 Ureum 13-43 mg/dl -
8 Kreatinin 0,8-1,3 mg/dl -
9 Asam urat 3,5-7,2 mg/dl -
10 Glucose 2 jam PP 140-200 mg/dl -
11 GOT Up to 40 U/L -
12 GPT Up to 40 U/L -

Tabel 3.5 Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada 13 Oktober 2022

No Pemeriksaan Normal Satuan Hasil


Laboratorium
1 Glukosa Ad Random <200 mg/dl -
2 HbA1c <7 % -
3 Eritrosit 3,50-5,50 10 /mm3
3
-
4 Leukosit 4,00-10,00 103/mm3 -
5 Trombosit 150-450 103/mm3 -
6 Hemoglobin 11,0-16,0 g/dl -
7 Ureum 13-43 mg/dl -
8 Kreatinin 0,8-1,3 mg/dl -
9 Asam urat 3,5-7,2 mg/dl -
10 Glucose 2 jam PP 140-200 mg/dl -
11 GOT Up to 40 U/L 40,9
12 GPT Up to 40 U/L 23,6
Tabel 3.6 Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada 14 Oktober 2022

No Pemeriksaan Normal Satuan Hasil


Laboratorium
1 Glukosa Ad Random <200 mg/dl 194,0
2 HbA1c <7 % -
3 Eritrosit 3,50-5,50 10 /mm3
3
-
4 Leukosit 4,00-10,00 103/mm3 -
5 Trombosit 150-450 103/mm3 -
6 Hemoglobin 11,0-16,0 g/dl -
7 Ureum 13-43 mg/dl -
8 Kreatinin 0,8-1,3 mg/dl -
9 Asam urat 3,5-7,2 mg/dl -
10 Glucose 2 jam PP 140-200 mg/dl -
11 GOT Up to 40 U/L -
12 GPT Up to 40 U/L -
No Nama Obat Dosis TANGGAL
11 12 13 14 15 16 17
P S M P S M P S M P S M P S M P S M P S M
1 Infus RL 20 ggt/m
2 Injeksi Ceftriaxon 1 g/12 jam
3 Injeksi Ranitidin 1 ampl/12 jam
4 Amlodipine 3x10 mg
5 Candersartan 3x8 mg
6 Injeksi Ketorolak 1 ampl/12 jam
7 Injeksi 1 g/8 jam
Ondansetron
8 Paracetamol 3x500 mg
3.2 Catatan Perkembangan Pasien

SOAP FARMASI

Hari ke-1 tanggal 11 Oktober 2022

Subjek Pasien mengeluh lemas, pusing, mual, sakit kepala


Objek TD: 180/90 mmHg
HR: 121 x/menit
RR: 23 x/menit
T : 36,70C
Assesment Tidak ada interaksi obat
Planing • Disarankan pada pasien agar menjaga pola makan diet
yang sudah ditentukan oleh Ahli Gizi RSU Sembiring.
• Disarankan untuk melakukan pemeriksaan KGD
• Disarankan untuk memantau efek samping obat
• Disarankan agar injeksi ondansetron diganti dengan
domperidon tablet
• Disarankan pemberian obat amlodipin dapat dikombinasi
dengan obat hipertensi lainnya seperti HCT atau
golongan lain
• Disarankan agar pasien banyak istirahat

Hari ke-2 tanggal 12 Oktober 2022

Subjek Pasien mengeluh lemas, pusing, mual, sakit kepala, demam


Objek TD: 140/90 mmHg
HR: 81 x/menit
RR: 21 x/menit
T : 380C
Assesment Tidak ada interaksi obat
Planing • Disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah
secara rutin
• Disarankan agar injeksi ondansetron diganti dengan
domperidon tablet
• Disarankan agar pasien banyak istirahat
• Disarankan untuk melanjutkan terapi dan pantau kondisi
pasien.
Hari ke-3 tanggal 13 Oktober 2022

Subjek Pasien mengeluh lemas, sakit kepala, demam


Objek TD: 130/80 mmHg
HR: 80 x/menit
RR: 21 x/menit
T : 37,50C
Assesment Tidak ada interaksi obat
Planing • Disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah
secara rutin
• Disarankan agar injeksi ondansetron diganti dengan
domperidon tablet
• Disarankan agar pasien banyak istirahat
• Disarankan untuk melanjutkan terapi dan pantau kondisi
pasien.

Hari ke-4 tanggal 14 Oktober 2022

Subjek Pasien mengeluh lemas, pusing, mual, sakit kepala, demam


Objek TD: 130/70 mmHg
HR: 82 x/menit
RR: 21 x/menit
T : 36,50C
Assesment Tidak ada interaksi obat
Planing • Disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah
secara rutin
• Disarankan agar injeksi ondansetron diganti dengan
domperidon tablet
• Disarankan agar pasien banyak istirahat
• Disarankan untuk melanjutkan terapi dan pantau kondisi
pasien.
• Disarankan agar paracetamol tidak perlu diberikan
kepada pasien karena pasien tidak lagi mengalami
demam
Hari ke-5 tanggal 15 Oktober 2022

Subjek Pasien mengeluh lemas, mual,


Objek TD: 130/90 mmHg
HR: 80 x/menit
RR: 21 x/menit
T : 36,90C
Assesment Tidak ada interaksi obat
Planing • Disarankan untuk melanjutkan terapi dan pantau kondisi
pasien
• Disarankan agar injeksi ondansetron diganti dengan
domperidon tablet
• Disarankan agar pemberian injeksi ketorolak dapat
dihentikan
• Disarankan agar pasien banyak istirahat
• Disarankan agar parasetamol tidak perlu diberikan
kepada pasien karena pasien tidak lagi mengalami
demam

Hari ke-6 tanggal 16 Oktober 2022

Subjek Tidak ada keluhan yang disampaikan pasien


Objek TD: 120/80 mmHg
HR: 82 x/menit
RR: 22 x/menit
T : 36,60C
Assesment Tidak ada interaksi obat
Planing • Disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah
secara rutin
• Disarankan agar injeksi ondansetron diganti dengan
domperidon tablet
• Disarankan agar pasien banyak istirahat
• Disarankan agar parasetamol tidak perlu diberikan
kepada pasien karena pasien tidak lagi mengalami
demam

Hari ke-7 tanggal 17 Oktober 2022

Subjek Pasien mengatakan mulai membaik


Objek TD: 120/80 mmHg
HR: 80 x/menit
RR: 21 x/menit
T : 360C
Assesment Tidak ada interaksi obat
Planing Pasien PBJ (Pasien Berobat Jalan)
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Pasien masuk Rumah Sakit Umum Sembiring Deli Tua melalui IGD pada

tanggal 11 Oktober 2022 pukul 21.25 WIB. Kemudian di periksa oleh dokter,

dengan keluhan utama lemas, pusing, sakit kepala dan mual. Hal ini di alami sejak

3 hari terakhir, Diagnosa awal pasien adalah Hipertensi stage 3. Kemudian pasien

mengisi biodata dibagian informasi dan melengkapi berkas administrasi untuk

mendapatkan medical record (MR) dan untuk pemeriksaan selanjutnya pasien

menjalani rawat inap di kamar N0.12 IVI.

Pada tanggal 11 Oktober 2022 dilakukan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan KGD pada pasien, yang menunjukan TD: 180/90 mmHg,

HR:121X/mnt, RR: 23X/mnt, T: 36.7 ˚C. Dengan hasil tersebut dokter

memberikan terapi obat Infus RL 20 tetes/menit, Injeksi Ranitidin 1 ampul/12

jam, Injeksi Ceftriaxon 1g/12 jam, Amlodipin 3x10 mg dan injeksi Ketorolak 1

ampul/12 jam, injeksi ondansetron 1 ampul/8 jam. Disarankan untuk melakukan

pemeriksaan tekanan darah secara rutin, disarankan pemberian obat hipertensi

amlodipin agar dikombinasi dengan obat hipertensi golongan lain seperti HCT,

pemberian injeksi ondansetron agar diganti dengan tablet domperidon, disarankan

agar pasien melakukan pemeriksaan KGD di laboratorium.

Pada tanggal 12 Oktober 2022 Pasien mengeluh lemas, sakit kepala,

pusing, mual, demam. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

KGD pada pasien, yang menunjukan TD 140/80 mmHg, HR:81X/mnt, RR:

21X/mnt, T: 38 ˚C, KGD :187 mg/dl. Dengan hasil tersebut dokter memberikan

terapi obat Infus RL 20 tetes/menit, Injeksi Ranitidin 1 ampul/12 jam, Injeksi


Ceftriaxone 1g/12 jam, Amlodipin 3x10 mg dan injeksi Ketorolak 1 ampul/12

jam, injeksi ondansetron 1 ampul/8 jam, Candesartan 3x8 mg, Parasetamol 3x500

mg. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah secara rutin,

pemberian injeksi ondansetron agar diganti dengan tablet domperidon, disarankan

agar pasien banyak istirahat.

Pada tanggal 13 Oktober 2022 Pasien mengeluh lemas, sakit kepala, mual,

demam. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium

pada pasien dengan hasil TD: 130/80 mmHg, HR:80X/mnt, RR: 21X/mnt, T: 37.5

˚C. Dengan hasil tersebut dokter memberikan terapi obat Infus RL 20 tetes/menit,

Injeksi Ranitidin 1 ampul/12 jam, Injeksi Ceftriaxone 1g/12 jam, Amlodipin 3x10

mg dan injeksi Ketorolak 1 ampul/12 jam, injeksi ondansetron 1 ampul/8 jam,

Candesartan 3x8 mg, Parasetamol 3x500 mg. Disarankan untuk melakukan

pemeriksaan tekanan darah secara rutin, pemberian injeksi ondansetron agar

diganti dengan tablet domperidon, disarankan agar pasien banyak istirahat.

Pada tanggal 14 Oktober 2022 pasien mengatakan lemas, sakit kepala,

mual. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan KGD pada pasien,

yang menunjukan TD: 130/70 mmHg, RR: 21 x/menit, HR = 82 x/menit T:

36,50C, KGD : 194 mg/dl. Dengan hasil tersebut dokter memberikan terapi obat

Infus RL 20 tetes/menit, Injeksi Ranitidin 1 ampul/12 jam, Injeksi Ceftriaxone

1g/12 jam, Amlodipin 3x10 mg dan injeksi Ketorolak 1 ampul/12 jam, injeksi

ondansetron 1 ampul/8 jam, Candesartan 3x8 mg, Parasetamol 3x500 mg.

Disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah secara rutin, pemberian

injeksi ondansetron agar diganti dengan tablet domperidon, disarankan agar

pasien banyak istirahat.


Pada tanggal 15 Oktober 2022 pasien menyatakan lemas dan mual.

Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien, TD: 130/90 mmHg, RR: 21

x/menit, HR = 80 x/menit T: 36,9 0C. Dengan hasil tersebut dokter memberikan

terapi obat Infus RL 20 tetes/menit, Injeksi Ranitidin 1 ampul/12 jam, Injeksi

Ceftriaxone 1g/12 jam, Amlodipin 3x10 mg dan injeksi Ketorolak 1 ampul/12

jam, injeksi ondansetron 1 ampul/8 jam, Candesartan 3x8 mg, Parasetamol 3x500

mg. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah secara rutin,

pemberian injeksi ondansetron agar diganti dengan tablet domperidon, disarankan

agar pemberian injeksi ketorolak dapat dihentikan, disarankan agar pasien banyak

istirahat.

Pada tanggal 16 Oktober 2022 pasien menyatakan tidak ada keluhan.

Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan KGD pada pasien TD:

120/80mmHg, RR: 22 x/menit HR : 82 x/menit T: 36,6 0C. Dengan hasil tersebut

dokter memberikan terapi obat Infus RL 20 tetes/menit, Injeksi Ranitidin 1

ampul/12 jam, Injeksi Ceftriaxone 1g/12 jam, Amlodipin 3x10 mg dan injeksi

Ketorolak 1 ampul/12 jam, injeksi ondansetron 1 ampul/8 jam, Candesartan 3x8

mg, Parasetamol 3x500 mg. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan

darah secara rutin, pemberian injeksi ondansetron agar diganti dengan tablet

domperidon, disarankan agar pemberian injeksi ketorolak dapat dihentikan,

disarankan agar pasien banyak istirahat.

Pada tanggal 17 Oktober 2022 pasien sudah membaik, Kemudian

dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien TD: 120/80 mmHg HR: 80 x/menit RR:

21 x/menit T: 36 0C. Dengan hasil tersebut dokter memberikan ijin kepada pasien

untuk pulang karena kondisi pasiean yang sudah membaik, dan dokter
meresepkan obat pulang Amlodipin 3x10 mg, Candesartan 8 mg 3xsehari,

Parasetamol 500 mg 3xsehari, Domperidon 10 mg 3 x sehari. Pasien pulang pukul

15.35 WIB.

4.2 Pengkajian Tepat Pasien

Berdasarkan pengamatan, gelang yang dipakai pasien telah sesuai dengan

nama, tanggal lahir, serta nomor Rekam Medis (RM) pasien. Obat yang diberikan

kepada pasien juga sesuai dengan nama dan nomor rekam medik yang tertera pada

lembar pemberian obat/etiket, serta pasien telah diidentifikasi dengan cara

meminta menyebutkan nama dan tanggal lahirnya.

4.3 Pengkajian Tepat Indikasi dan Tepat Obat

Pengkajian tepat indikasi dilakukan untuk memantau apakah obat yang

diberikan kepada pasien sesuai dengan indikasi (gejala yang dialami pasien) dan

pengkajian tepat obat dilakukan untuk memantau apakah obat yang diberikan

kepada pasien kurang tepat menurut algoritma terapi berdasarkan ilmu

farmakoterapi.

4.4 Pengkajian Waspada Efek Samping Obat

Setiap obat memiliki efek samping dan interaksi obat yang tidak

diinginkan dalam terapi sehingga pengkajian terhadap efek samping dan interaksi

obat oleh apoteker menjadi sangat penting untuk membantu dalam

mengoptimalkan terapi pasien.


Tabel 4.1 Mekanisme Kerja dan Efek Samping Obat

No Nama Obat Mekanisme Kerja Efek Samping


Reaksi-reaksi yang mungkin
terjadi karena larutannya,
1 Ringer Obat ini bekerja sebagai sumber termasuk timbulnya panas,
lactat cairan dan elektrolit tubuh. infeksi pada tempat
penyuntikan, thrombosis atau
flebitis yang meluas dari tempat
penyuntikan dan ekstravasasi.
Obat ini bekerja dengan cara
menghambat kerja dari enzim
2 Injeksi siklooksigenase (COX) dimana
ketorolak enzim ini berfungsi dalam Kenaikan berat badan, mual dan
pembentukan prostaglandin yang muntah.
dapat menyebabkan rasa nyeri dan
peradangan.
Obat ini bekerja dengan cara
menghambat kalsium masuk
3 Amlodipine kedalam sel sehingga dapat Pembengkakan tungkai, mual
menyebabkan terjadinya dan merasa lelah.
vasodilatasi,memperlambat laju
jantung
Obat ini bekerja dengan cara
Nyeri, Bengkak dan kemerahan
4 Injeksi menghambat kerja histamin secara
ditempat suntikan, Reaksi alergi,
ranitidine kompetitif pada reseptor H2 dan
Mual muntah
mengurangi sekresi asam lambung
Obat ini bekerja dengan cara
Gastrointestinal: diare, mual,
5 Ceftriaxone membunuh bakteri dengan cara
muntah, Sakit kepala, Pusing,
menginhibisi sintesis dinding sel
Demam
bakteri
Obat ini bekerja dengan cara
Gastrointestinal: diare, mual,
6 Candesartan menghambat reseptor angiotensin II
muntah, Sakit kepala, Pusing,
sehingga dapat menyebabkan
Demam
vasodilatasi
Obat ini bekerja dengan cara
7 Ondansetron menghambat ikatan serotonin pada Nyeri dada, kram dan kaku pada
reseptor 5HT3 sehingga tidak terjadi otot
mual dan muntah
Obat ini bekerja dengan cara Reaksi alergi, ruam kulit,
8 Paracetamol menghambat produksi prostaglandin hipotensi, kerusakan hati
di SSP (MIMS, 2018)
4.5 Edukasi Pasien

Edukasi kepada pasien oleh Apoteker dimaksudkan agar pasien

menggunakan obat dengan tepat baik jenis obat maupun waktu pemberiannya dan

menjaga pola makan dan gaya hidup untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Penggunaan obat pada pasien dengan diagnose Hipertensi dilakukan dengan

memperhatikan kesesuaian meliputi tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat,

tepat dosis dan waspada efek samping obat pada pasien.

2. Pemilihan obat pada pasien Hipertensi kurang tepat yaitu seperti pemberian

terapi injeksi ondansetron dapat diganti dengan tablet domperidon untuk

mengatasi mual dan muntah pada pasien.

3. Visite dilakukan di ruangan IVI No.12 dengan melakukan pengkajian resep

dan memberikan pelayanan informasi obat kepada pasien serta pemantauan

terapi obat dan memonitoring efek samping obat dengan melihat dari Rekam

Medik (RM) pasien.

5.2 Saran

Sebaiknya mengikut sertakan apoteker dalam mempertimbangkan

obat-obat yang diberikan kepada pasien serta melakukan visite bersama dokter

dan perawat untuk memberikan konseling kepada pasien/keluarga pasien sehingga

tercapai
DAFTAR PUSTAKA

Anggara, Febby H. D., & Nanang Prayito. (2013). Faktor-faktor yang


Berhubungan dengan Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni,
Cikarang Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Jakarta.

Aripin. (2015). Pengaruh Aktivitas Fisik, Merokok dan Riwayat Penyakit Dasar
Terhadap Terjadinya Hipertensi di Puskesmas Sempu Kabuapten
Banyuwangi Tahun 2015. Tesis. Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Denpasar.

Departemen Kesehatan RI. (2006). Buku Pedoman Teknis Penemuan dan


Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. (2006). Pharmaceutial Care


Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta

Gama, I. K., Sarmadi, & IGA. Harini. (2013). Faktor Penyebab Ketidakpatuhan
Kontrol Penderita Hipertensi. Politeknik Kesehatan Denpasar. Denpasar.

Kementrian Kesehatan RI. (2013). Hipertensi. Pusat Data dan Informasi


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

MIMS. (2018). The Monthly Index of Medical Specialities Electronic. Pudiastuti,


R. D. (2011). Penyakit Pemicu Stroke; Dilengkapi dengan Posyandu dan
Posbindu PTM). Nuha Media. Yogyakarta

Sucipta, adhi. (2009). Pengaruh Kebiasaan Hidup Terhadap Derajat Hipertensi


Pada Wanita Usia Lanjut di Puskesmas Petang II Kecamatan Petang
Kabupaten Badung Tahun 2009. Skripsi. Universita Udayanan. Denpasar

White, Kevin. (2012). Pengantar Sosiologi Kesehatan dan Penyakit Edisi Ketiga.
PT RajaGrafindo Persada. Jakarta

Widyaningtyas, Mego. (2009). Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Hipertensi


Pada Laki-laki Dewasa di Puskesmas Petang I Kabupaten Badung Tahun
2009. Skripsi. Universitas Udayana. Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai