WJES Paper Upload Akhir. Revisi Grand Final (AB017)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Untuk Pemulihan dan Pertumbuhan Ekonomi Propinsi

Jawa Barat

Analysis of Regional Financial Capability for Economic Recovery and Growth in West Java
Province

Handri1, Achmad Kemal Hidayat2


1
Universitas Islam Bandung, Taman Sari 1, Bandung, 40116, Jawa Barat, Indonesia
2
Universitas Padjadjaran, Cimandiri, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Email correspondence: handrif2@unisba.ac.id

ABSTRACT

The Covid 19 pandemic forced the Regional Government to make a policy of refocusing the budget, especially in terms of income in
tackling the economy of the people affected by Covid 19. This condition is reflected in the budget deficit of the West Answer
Province of Rp. 3.6 trillion in 2020, in addition to that the routine ability index also fell from the category of very good to be good
at the 48% level. Meanwhile, in terms of fiscal space, it is in the low category because all regional revenues must bear large expenses
and routine costs. From the combination of total income, routine expenditure and development expenditure, there was a very
drastic decline. This study aims to determine the extent to which the current regional financial capacity of West Java Province is
based on the rules of public finance both from the PAD and Non-PAD side, besides that it also sees the extent of regional dependence
in terms of Fiscal Availability, Fiscal Needs, and the independence of the West Java region. The method used to measure the capacity
of the region is a ratio that includes dependence, independence, routine ability index, harmony, growth, personnel expenditure,
capital expenditure, goods and services expenditure, financing, surplus/deficit, loans, and SiLPA for the West Java Province. By
knowing the fiscal posture of the APBD, optimization can be achieved, so that economic recovery and growth is achieved through
the Real sector, this achievement provides a positive contribution to regional income , especially Regional Original Revenue.

Keywords: Regional Financial Capability; Fiscal Space; Regional Financing; Compatibility Ratio.

ABSTRAK

Pandemi Covid 19 memaksa Pemerintah Daerah membuat kebijakan recofusing anggaran terutama dari sisi pendapatan dalam
penanggulangan ekonomi rakyat yang terdampak Covid 19. Kondisi ini tercermin dari defisitnya anggaran Propinsi Jawaba Barat
sebesar Rp 3,6 triliun pada tahun 2020, selain itu indeks kemampuan rutinpun turun dari kategori sangat baik menjadi baik pada
level 48%. Sedangkan dari sisi ruang fiskal berada pada kategori rendah dikarenakan seluruh pendapatan daerah harus menanggung
pengeluaran serta biaya rutin yang cukup besar. Dari kombinasi total pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan terjadi
penurunan yang sangat drastis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana kemampuan keuangan daerah Propinsi
Jawa Barat saat sekarang berdasarkan kaidah-kaidah keuangan publik baik dari sisi PAD maupun NonPAD, selain itu juga melihat
sejauhmana tingkat ketergantungan daerah dari sisi Fiscal Avaibility, Fiscal Needs serta kemandirian daerah Jawa Barat. Metode
yang digunakan untuk mengukur kemampuan daerah adalah rasio yang melingkupi dari ketergantungan, kemandirian, indeks
kemampuan rutin, keserasian, pertumbuhan, belanja pegawai, belanja modal, belanja barang dan jasa, pembiayaan, surplus/defisit,
pinjaman serta SiLPA daerah Propinsi Jawa Barat. Dengan diketahuinya postur keuangan APBD optimalisasi bisa tercapai, sehingga
pemulihan dan pertumbuhan ekonomi tercapai melalui sektor Riil, pencapaian ini memberikan kontribusi positif terhadap
pendapatan daerah terutama Pendapatan Asli Daerah.

Kata Kunci : Kemampuan Keuangan Daerah; Ruang Fiskal; Pembiayaan Daerah; Rasio Keserasian.

1
INTRODUCTION
Pandemi penyakit corona virus 2019 (COVID-19), sebagai pandemi global yang telah menyebar di seluruh
dunia, telah menyebabkan krisis di seluruh dunia. Tidak sampai dalam waktu 3 tahun pandemi telah menyebabkan
gangguan ekonomi global terbesar sejak Depresi Hebat (Nicola et al., 2020). Mengingat skala dan kedalaman
dampak krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, gagasan ketahanan telah menerima banyak perhatian para
penelitian di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Sebagai upaya menanggulangi meningkatnya angka Covid-19 di Indonesia, pemerintah mengambil
kebijakan pembatasan pergerakan orang dan barang. Kebijakan pembatasan wilayah gerak pertama kali dilakukan
pada 5 Juni 2020 di beberapa tempat secara tidak serentak yang disebut dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB). Lonjakan kedua dari Covid-19 terjadi pada bulan Mei 2021. Adanya kebijakan PSBB dan PPKM yang telah
dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia memiliki dampak pada perdagangan komoditas pertanian. Komoditas
pertaian yang terganggu mulai dari sub-sistem hulu seperti perdagangan benih hingga subsistem hilir berupa
barang jadi/siap konsumsi ataupun bahan baku industry (Rangga D. Yofa, Erwidodo, dan Erma Suryani 2020).
Komoditas pertanian merupakan pondasi utama dalam penuhan kebutuhan pangan manusia, sehingga apabila
perdagangan komoditas pertanian terganggu maka dikhawatirkan stabilitas pangan juga akan terganggu.
Dalam rangka pemulihan dan pertumbuhan ekonomi baik Nasional maupun Internasional telah dilakukan
penelitian untuk melihat dampak dan bagaimana kesiapan suatu negara maupun suatu daerah menyikapinya pasca
pandemik ini. Menurut penelitian (IDB, 2021) Kebijakan yang ramah pertumbuhan akan membantu wilayah
mengurangi kemiskinan dan mengurangi risiko fiskal yang disebabkan oleh pandemi, bantuan fiskal sebagian besar
mencerminkan ruang fiskal yang tersedia dan bervariasi di seluruh negara. Paket rata-rata adalah 8,5% dari PDB
dibandingkan dengan 19% dari PDB di negara maju. Tetapi dua pertiga negara di kawasan ini menerapkan paket
yang lebih sederhana sekitar 3% dari PDB. Bantuan fiskal termasuk transfer yang lebih tinggi ke rumah tangga dan
pengurangan pajak untuk keduanya keluarga dan perusahaan. (Li, Cheng and Yang, 2017) Dampak positif dari
implementasi kebijakan fiskal dalam konteks desentralisasi ditonjolkan, serta ketidakseimbangan tertentu di
daerah-daerah tertentu yang memicu kebijakan-kebijakan fiskal koordinasi intra-daerah.
Selama dua dekade terakhir, kota semakin terpapar pada berbagai risiko dan krisis dari berbagai skala
geografis yaitu geografis ekonomi (Giannakis and Bruggeman, 2017), (Bristow and Healy, 2014) ketahanan lebih
dianggap sebagai proses multi-faktor yang terlibat, kontekstual dan non-ekuilibrium. Ini melibatkan lembaga
reaktif dan proaktif serta lembaga dinamis yang mungkin tidak hanya bertahan atau menyerap guncangan tetapi
juga mencari "memantul ke depan" untuk kemampuan beradaptasi dan pertumbuhan lebih lanjut. (Li, Zhang and
Wang, 2022) ketahanan ekonomi regional memiliki karakteristik yang mudah dibentuk dan tidak pernah berakhir
dan dengan demikian merupakan proses pembangunan menjadi rawan goncangan.
Tiga tren penelitian utama yang saling terkait dapat diidentifikasi. Pertama, ketahanan semakin dipahami
sebagai proses multi-dimensi yang tidak tunduk pada pemulihan dan perlawanan yang berpusat pada kejutan.
Perkembangan epistemologisnya saat ini menekankan pada kerentanan atau sensitivitas pra-guncangan ekonomi
regional dengan karakteristik sosial dan kelembagaan yang terlibat, dan pada kemampuan beradaptasi untuk
pengembangan jalur industri baru selama dan setelah guncangan(Martin, Sunley and Tyler, 2015).
Ketahanan bukan tentang sesuatu yang Anda miliki tetapi lebih tentang sesuatu atau cara Anda bereaksi.
Dengan kata lain, meskipun elemen dan aset struktural yang diwarisi secara historis di suatu wilayah dapat
memengaruhi ruang lingkup dan kemampuan agensi terhadap guncangan, peran agensi manusia dianggap sebagai
salah satu faktor terpenting dalam memahami perubahan dan ketahanan (Bristow et al., 2021). Ketahanan regional
dengan demikian adalah tentang dinamisme dan kemampuan beradaptasi daerah di bawah tekanan konteks yang
terus berubah (Martin et al., 2016). Ini memang mewujudkan sifat kolektif dan kemampuan dinamis wilayah yang
didukung oleh interaksi multi-skalar antara struktur, agensi, dan konteks (Gulati and Puranam, 2009); (Hu, Dao and
Hu, 2019).
Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal tahun 2020 ini telah berdampak pada perubahan tatanan
kehidupan sosial serta menurunnya kinerja ekonomi di sebagian besar negara di dunia, tak terkecuali Indonesia,
termasuk Jawa Barat yang merupakan salah satu sentra ekonomi. Turunnya kinerja ekonomi Jawa Barat ini terjadi
sejak triwulan I tahun 2020, yang tercermin dari laju pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2020 yang hanya
mencapai 2,73 persen (y-o-y), dan hingga triwulan IV 2020 masih mengalami kontraksi 2,98 persen (y-o-y) BI.id.
Namun demikian, penurunan kinerja ekonomi yang juga terjadi secara global ini dapat menjadi momentum bagi
Indonesia untuk melakukan pembenahan dan mengejar ketertinggalan, sebagaimana yang disampaikan oleh
Presiden. Pembenahan perekonomian secara fundamental dengan melakukan transformasi, menjalankan strategi
yang tepat untuk pulih dan kesiapsiagaan di masa depan pada kondisi krisis sejenis pada seluruh pelaku usaha dan
juga pemerintah menjadi kunci untuk memperkuat pembangunan ekonomi kita.
1
Pandemi Covid19 sangat berdampak terhadap kemampuan fiskal propinsi Jawa Barat, terutama dari sisi
pendapatan yang sangat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah, kondisi ini memaksa Pemerintah
propinsi Jawa Barat membuat kebijakan recofusing anggaran untuk penanggulangan ekonomi masyarakat yang
terdampak covid19. Kemampuan fiskal daerah yang berdasarkan kaidah-kaidah keuangan publik, sangat berkaitan
erat dengan PAD, pendapatan-pendapatan non-PAD serta seberapa besar tingkat ketergantungan dan Kesehatan
keuangan daerah yang lazim dipergunakan yang dilihat dari sisi penerimaan, derajat desentralisasi fiskal, Sisi
Pengeluaran, Sisi Pengeluaran dan Kemandirian daerah.
Untuk mengetahui proyeksi keuangan sederhana terhadap pendapatan dan belanja, yang dapat
menggambarkan SILPA Besar setelah dikaitkan dengan kewajiban-kewajiban dan pinjaman yang telah dilakukan
pada pihak ketiga, khususnya setelah adanya pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai langkah tindak
penyelamatan ekonomi nasional di tingkat Daerah.
Dengan adanya Pandemi Covid 19 yang melanda Indonesia, pemerintah pusat menyalurkan dana pinjaman
kepada daerah dalam bentuk pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dapat dipastikan mengurangi Sisa
anggaran pendapatan yang biasa disebut SILPA Besar. Adapun besaran SILPA didapat dari seluruh pendapatan
daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah maupun sumber-sumber lainnya yang berasal dari pemerintah
pusat, dikurangi dengan seluruh pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Perlu diketahui bersama, bahwa
SILPA Besar bukan merupakan surplus yang disimpan, namun besaran tersebut akan dipergunakan pada anggaran
tahun mendatang yang dikucurkan pada saat anggaran perubahan. Berkaitan dengan besaran SILPA besar yang
ada dimasa mendatang akan tergerus oleh pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di daerah disaat jatuh
tempo yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, adapun pembayaran terhadap pinjaman tersebut akan
berpengaruh pada ketersediaan dana Pemerintah Daerah.
Dari berbagai penelitian tersebut diatas baik nasional maupun internasional, belum ada yang meneliti
tentang kemampuan keuangan pemerintah regional (Pemerintah daerah) dari dua sisi penerimaan fiskal serta non
fiskal (investasi pemerintah) yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019
tentang Investasi Pemerintah serta pembiayaan daerah. Diharapkan hasil penelitian memberikan kontribusi bagi
pemerintah daerah untuk mengoptimalkan investasi dimasa yang akan datang yang berdasarkan Best Practices
pengeloaan investasi. Maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis Kemampuan Keuangan Daerah Untuk
Pemulihan dan Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Jawa Barat.

METHOD
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan melihat seberapa besar
kemampuan fiskal Propinsi jawa barat terutama setelah terjadinya covid19, pendekatan ini merupakan metode
yang mengukur kemampuan keuangan daerah (fiskal) yang secara umum di ukur dari Pendapatan Daerah, Belanja
Daerah dan Pembiayaan Daerah dan melihat peluang lain untuk menambah pendapatan daerah lain selain fiskal.
Karena kondisi covid19 yang terjadi ini sangat berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah
terutama dari sisi pendapatan, terlihat dari kebijakan yang diambil untuk penanggulangan ekonomi masyarakat
yang terdampak covid19 pemerintah propinsi Jawa barat, yaitu melakukan kebijakan recofusing anggaran.
Untuk melakukan analisis kinerja keuangan pemerintah ini, perlu beberapa hal yang harus diperhatikan
antara lain :
1. Kaidah-kaidah keuangan publik yang dipergunakan dari Sisi Penerimaan (Fiscal Availability), Sisi Pengeluaran
(Fiscal Needs), derajat desentralisasi fiskal (DDF) dan Kemandirian daerah.
2. Dalam mendapatkan gambaran SILPA besar perlu memperhatikan kewajiban-kewajiban dan pinjaman yang
telah dilakukan pada pihak ketiga, khususnya setelah adanya pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional
sebagai langkah tindak penyelamatan ekonomi nasional di tingkat Daerah.
3. Kebijakan pemerintah pusat dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui dana pinjaman ke
pemerintah daerah dapat dipastikan mengurangi Sisa anggaran pendapatan yang biasa disebut SILPA
Besar.
Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut diatas, selanjutnya akan diukur berapa besar rasio
ketergantungan, kemandirian, indeks kemampuan rutin, ruang fiskal, keserasian dalam struktur APBD propinsi
Jawa Barat dengan rumus sebagai berikut .
1. Rasio ketergantungan daerah
𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟 𝑃𝑢𝑠𝑎𝑡
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑔𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

2
Tabel 1. Kriteria Penilaian Ketergantungan Keuangan Daerah
Ketergantungan (%) Kategori
0,00 – 10,00 Sangat Rendah
10,01 – 20,00 Rendah
20,01 – 30,00 Sedang
30,01 – 40,00 Cukup Tinggi
40,01 – 50,00 Tinggi
>50,00 Sangat Tinggi
Sumber : Bangga (2017)

2. Rasio kemandirian daerah

𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ (𝑃𝐴𝐷)


𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑎𝑛 = 𝑋 100%
𝐵𝑎𝑛𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑛𝑡𝑎ℎ 𝑃𝑢𝑠𝑎𝑡/𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖 + 𝑃𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛

Tabel 2. Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah


Kemampuan Kemandirian Pola
Keuangan (%) Hubungan
Rendah Sekali 0 - 25 Instruktif
Rendah 25 - 50 Konsultatif
Sedang 50 - 75 Partisipatif
Tinggi 75 - 100 Delegatif
Sumber : Indonesian Treasury Review (2020)
3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
PAD
Indeks Kemampuan Rutin (IKR) = X 100%
Total Pengeluaran Rutin
Tabel 3. Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin Daerah
Kemampuan Rutin(%) Kategori
0,00 – 10,00 Sangat Kurang
10,01 – 20,00 Kurang
20,01 – 30,00 Cukup
30,01 – 40,00 Sedang
40,01 – 50,00 Baik
>50,00 Sangat Baik
Sumber : Tumilar dalam Tangkilisan (2005)

4. Rasio Keserasian
Secara sederhana rasio keserasian ini dapat diformulasikan sebagai berikut :

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛


𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛 = 𝑥 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐴𝑃𝐵𝐷

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛


𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 = 𝑥 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐴𝑃𝐵𝐷

Dalam menilai rasio belanja rutin dan belanja pembangunan, digunakan skala menurut Mardiasmo dalam
Widodo:65 (1999) yang ditunjukkan sebagai berikut berikut :
Tabel 1 Kriteria Tingkat Belanja Rutin
Belanja Rutin (%) Kriteria
< 40,00 Baik
40 – 80 Cukup Baik

3
Belanja Rutin (%) Kriteria
80 – 100 Kurang Baik
Sumber : Mardiasmo dalam Widodo:65 (1999)
Tabel 2 Kriteria Tingkat Belanja Pembangunan
Kemampuan Rutin (%) Kategori
0 – 10 Kurang Baik
10 – 40 Cukup Baik
➢ 40 Baik
Sumber : Mardiasmo dalam Widodo:65 (1999)

5. Rasio Pertumbuhan

𝑃𝑛 − 𝑃0
𝑟= 𝑥 100%
𝑃0
Dimana :
𝑟 = 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛
𝑃𝑛 = 𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑘𝑒 − 𝑛
𝑃0 = 𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑘𝑒 − 0

6. Rasio Belanja Pegawai


Belanja pegawai yang dihitung dalam rasio ini meliputi belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak
langsung. Semakin sedikit porsi belanja APBD yang digunakan untuk belanja aparatur maka APBD dapat
dioptimalkan untuk mendukung jenis belanja lain yang lebih terkait dengan pelayanan publik seperti belanja
modal untuk pembangunan fasilitas masyarakat atau untuk mendukung belanja yang efektif mendorong roda
perekonomian daerah seperti peningkatan konektivitas.
7. Rasio Belanja Modal
Rasio belanja modal digunakan untuk mengukur porsi belanja modal yang dibelanjakan terhadap total belanja
daerah dalam rangka pemberian layanan kepada masyarakat. Belanja modal merupakan jenis belanja yang
digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai
nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan,
8. Rasio Belanja Barang dan Jasa
Rasio belanja barang dan jasa digunakan untuk mengukur porsi belanja barang dan jasa terhadap total belanja
daerah. Belanja barang dan jasa merupakan jenis belanja yang digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang
memiliki masa manfaat kurang dari 12 (dua belas) bulan dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah
9. Analisa Deskripsi Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah yang meliputi Penggunaan SILPA, Pinjaman Daerah, Penggunaan Dana Cadangan,
Penggunaan Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Penerimaan Kembali Penerimaan Pinjaman.
Pembiayaan daerah digunakan untuk menutup defisit anggaran daerah yang merupakan selisih kurang
pendapatan daerah dengan belanja daerah.
10. Rasio Surplus/Defisit Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Keseimbangan umum atau Surplus / Defisit APBD adalah selisih lebih / kurang antara pendapatan daerah dan
belanja daerah dalam tahun anggaran yang sama. Besaran defisit menunjukkan tingkat belanja yang tidak dapat
dipenuhi oleh pendapatan daerah, atau dengan kata lain belanja lebih besar dari pendapatan
11. Rasio SiLPA Tahun Sebelumnya Terhadap Total Penerimaan Pembiayaan
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan
pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran
12. Rasio Pinjaman Daerah Terhadap Total Penerimaan Pembiayaan
Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan semua transaksi yang mengakibatkan daerah
menerima sejumlah uang dari pihak lain (termasuk obligasi) sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban
untuk membayar kembali

4
RESULT AND DISCUSSION
Secara umum Struktur APBD Pemerintah Propinsi jawa Barat yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja
Daerah dan Pembiayaan Daerah. Dengan uraian bahwa Pendapatan Daerah terbagi atas Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan dan Lain-lain. Sedangkan Belanja daerah terdiri dari belanja langsung dan tidak langsung.
Untuk Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Namun untuk alasan
penyeragaman dan penyederhanaan analisis maka dilakukan modifikasi pengelompokan komponen-komponen
dalam struktur APBD sebagaimana sebagai berikut :.

1. Sisi Penerimaan (Fiscal Availability)


a. Pendapatan Daerah
Total pendapatan daerah Provinsi Jawa Barat murni, perubahan maupun realisasi dari tahun 2015 hingga
2019 secara umum mengalami peningkatan, namun pada tahun 2020 dan 2021 realisasinya mengalami
penurunan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Pandemi Covid 19. Total pendapatan daerah realisasi Provinsi
Jawa Barat tahun 2020 adalah sebesar Rp 34,5 triliun masih dibawah tahun 2019 sebesar Rp 36 triliun, yang
dapat diartikan menurun secara materiil, sehingga secara nyata dampak dari Covid 19 menurunkan
kemampuan fiskal Provinsi Jawa Barat. Namun pada tahun 2021 kondisi realisasi pendapatan melebihi tahun
2019 sebesar Rp 36,9 triliun. Hal ini dapat diartikan bahwa Provinsi Jawa Barat telah terjadi recovery
pendapatan.
Gambar 1. Ruang Fiskal APBD Propvinsi Jawa Barat 2015-2021

Sumber : Data APBD Provinsi Jawa Barat

b. Pendapatan Asli Daerah


Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jawa Barat dari tahun 2015-2019 mengalami kenaikan yang bersifat
konstan merata sekitar Rp 1 triliun, dan mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2020 dan kembali
meningkat pada tahun 2021 yang diduga imbas dari Pandemi Covid. Secara prosentase, PAD terhadap Total
Pendapatan pada APBD Provinsi Jawa Barat dari tahun 2015 – 2021 secara rata-rata diatas 55% seperti terlihat
pada Gambar 1.
Tabel 1. Realisasi Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan
APBD Provinsi Jawa Barat 2015 -2021
Realisasi
Uraian
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021
Pendapatan Asli Daerah 16,0T 17,0T 18,3T 19,6T 21,2T 18,5T 20,2T
Jumlah Pendapatan 24,0T 27,7T 32,4T 33,9T 36,0T 34,5T 36,9T
Sumber : Data APBD Provinsi Jawa Barat
Dari Gambar 1.
Tabel dapat dijelaskan bahwa realisasi PAD pada tahun 2015 adalah sebesar Rp 16 triliun terhadap Total
Pendapatan Rp 24 triliun. Sedangkan pada tahun 2021 PAD adalah sebesar Rp 20 triliun terhadap Total
Pendapatan Rp 36 triliun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa secara rata-rata kenaikan PAD
mendekati Rp 1 triliun. Dana Perimbangan atau Transfer Pusat ke Daerah Provinsi Jawa Barat meningkat
secara material dari 2015 – 2021. Peningkatan ini dikarenakan suntikan dana Pemerintah Pusat kepada

5
Provinsi Jawa Barat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan infrastruktur yang menjadi
prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan pelayanan antar
bidang. Dapat dilihat bahwa besaran DAK Provinsi Jawa Barat memberikan kontribusi yang cukup besar
pada Dana Perimbangan Provinsi Jawa Barat yang secara rata-rata berkisar pada angka Rp 10 triliun atau
70% dari total dana perimbangan APBD Provinsi Jawa Barat pada periode tersebut. Besaran Dana
Perimbangan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat memberikan kontribusi yang cukup materiil secara
rata-rata yaitu sebesar 40% terhadap Total Pendapatan dalam APBD Provinsi Jawa Barat pada periode 2015
– 2021 seperti yang terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Realisasi Dana Perimbangan terhadap Total Pendapatan


APBD Provinsi Jawa Barat 2015 -2021
Realisasi
Uraian
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021
Dana Perimbangan 2,5T 10,6T 14,0T 14,2T 14,7T 15,9T 16,6T
Jumlah 24,0T 27,7T 32,4T 33,9T 36,0T 34,5T 36,9T
Pendapatan
Sumber : Data APBD Provinsi Jawa Barat

c. Lain-Lain Pendapatan Daerah


Untuk besaran lain-lain pendapatan yang sah pada APBD Provinsi Jawa Barat periode 2015 – 2021 terlihat
pada gambar 1, bahwa telah terjadi kenaikan yang sangat besar pada tahun 2015 yaitu sebesar Rp 5,4 triliun
yang disumbang dari pos anggaran Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus. Besaran anggaran dimaksud
diatas merupakan dana penyesuaian yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka
melaksanakan kebijakan tertentu sesuai peraturan perundangan yang bersumber dari APBN dalan rangka
membangun desa miskin, membangun lingkungan hidup, dan pencegahan / penanggulangan bencana alam.
Pada tahun 2016 hingga 2021, Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Provinsi Jawa Barat besarannya dinamis
sesuai dengan besaran pendapatan hibah, dana penyesuaian, dan bantuan keuangan dari
provinsi/kabupaten/kota/ lainnya.

2. Sisi Pengeluaran (Fiscal Needs)


a. Belanja Daerah
Seperti halnya pada pendapatan daerah, besaran realisasi belanja daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2015 –
2021 juga mengalami peningkatan yang searah. Hal ini terlihat dari gambar 1, dimana besaran realiasi belanja
daerah tahun 2015 adalah sebesar Rp 24,4 triliun dan secara konstan mengalami kenaikan hingga tahun 2020
menjadi Rp 38 triliun, yang kemudian menurun menjadi Rp 37 triliun di tahun 2021. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat melakukan belanja di tahun 2020 lebih tinggi dibandingkan
tahun 2021 karena tidak terlepas dari penanganan shock Pandemi Covid 19 terhadap perekonomian
masyarakat Jawa Barat. Realisasi angaran pada APBD Provinsi Jawa Barat pada periode 2015 – 2021
berdasarkan pada besaran belanja daerah terhadap total pendapatan mengalami surplus pada tahun 2016,
2018, dan 2019, namun mengalami defisit pada tahun 2015, 2017, 2020, dan 2021. Defisit terbesar terjadi pada
tahun 2020 yaitu sebesar Rp -3,6 triliun. Hal ini patut diduga merupakan imbas dari Pandemi Covid 19.
Besaran deviasi belanja daerah terhadap total pendapatan APBD Provinsi Jawa Barat 2015 – 2021 dapat
dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Realisasi Total Pendapatan terhadap Total Belanja Daerah APBD Provinsi Jawa Barat 2015 -2021
Realisasi
Uraian
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021
Jumlah Pendapatan 24,0T 27,7T 32,4T 33,9T 36,0T 34,5T 36,9T
Jumlah Belanja 24,4T 27,6T 32,9T 33,3T 35,8T 38,1T 37,7T
Surplus/Defisit -407,6B 72,1B -553,0B 585,2B 204,8B -3.623,3B -788,5B
Sumber : Data APBD Provinsi Jawa Barat

b. Pembiayaan Daerah
Dengan adanya defisit anggaran APBD seperti yang telah dijelaskan akan ditutupi dari Pembiayaan Daerah
atau Pembiayaan Netto, yaitu Penerimaan Pembiayaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan

6
Anggaran Daerah Tahun Sebelumnya (SiLPA), Pinjaman Daerah, dan Penerimaan Kembali Dana Bergulir
dikurangi dengan Pengeluaran Pembiayaan yang dipergunakan untuk Pembentukan Dana Cadangan,
Penyertaan Modal / Investasi, Dana Bergulir, dan Pembayaran Bunga Pinjaman Daerah. Besaran pembiayaan
netto inilah yang diandalkan untuk menutupi defisit anggaran daerah. Pembiayaan Netto APBD Provinsi
Jawa Barat periode tahun 2015 – 2021 menunjukkan besaran rata-rata adalah Rp 3 triliun dengan tren yang
cenderung menurun seperti terlihat gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa penerimaan
pembiayaan dari tahun 2015 hingga 2018 berkecenderungan menurun demikian pula dengan pengeluaran
pembiayaan. Sehingga berakibat pada pembiayaan netto cenderung menurun dari tahun 2015 – 2018,
namun pada tahun 2019 hingga 2021 pengeluaran pembiyaan cenderung menurun secara material sehingga
pembiyaan netto meningkat dengan besaran cukup material terutama ditahun 2020. Hal ini dapat difahami
karena pada tahun tersebut pemerintah daerah melakukan refocusing terhadap belanja daerahnya dalam
menghadapi situasi pandemic Covid 19.

3. Derajat desentralisasi fiskal (DDF) dan Rasio Kemandirian Daerah


Derajat ketergantungan keuangan daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada periode tahun 2015 – 2021
terus mengalami peningkatan dengan tingkat ketergantungan rata-rata sebesar 42%. Tingkat ketergantungan
keuangan daerah Provinsi Jawa Barat yang rendah hanya terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 10% yang masuk
dalam kategori rendah. Dengan besaran tingkat ketergantungan sebesar 42% dapat dikatakan bahwa tingkat
ketergantungan keuangan daerah Provinsi Jawa Barat terhadap Pemerintah Pusat dalam kurun waktu 2016 –
2021 masuk dalam kategori yang tinggi.
Derajat kemandirian yang disajikan pada gambar 2 dapat dijelaskan bahwa kemandirian keuangan daerah
setiap tahunnya mengalami penurunan yang cukup signifikan dengan rerata diatas 100% dari tahun 2015–2021
yang berarti kemampuan keuangan daerah Provinsi Jawa Barat berada pada level yang tinggi dengan pola
hubungan delegatif terhadap pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwasanya selama tahun 2015 hingga
2021, PAD Provinsi Jawa Barat kontibusinya masih lebih besar dibandingkan dengan bantuan pemerintah pusat
dan pinjaman pada APBD Provinsi Jawa Barat.

Gambar 2 Grafik Derajat Ketergantungan dan Rasio Kemandirian Daerah terhadap Pusat
APBD Provinsi Jawa Barat 2015 - 2021

Sumber : Data APBD Provinsi Jawa Barat - Diolah

4. Analisis Rasio
Kinerja keuangan daerah Provinsi Jawa Barat berdasarkan derajat kemandirian bahwa kemandirian keuangan
daerah setiap tahunnya mengalami penurunan yang cukup signifikan dengan rata-rata diatas 100% dari tahun
2015 – 2021 yang berarti kemampuan keuangan daerah Provinsi Jawa Barat berada pada level yang tinggi
dengan pola hubungan delegatif terhadap pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa selama tahun 2015
hingga 2021, PAD Provinsi Jawa Barat kontibusinya masih lebih besar dibandingkan dengan bantuan
pemerintah pusat dan pinjaman pada APBD Provinsi Jawa Barat. Dari gambar 2, dapat dijelaskan bahwa ruang
fiskal Provinsi Jawa Barat pada periode 2015 – 2021 berada pada rentang 13,5% - 66,7% dan secara rata-rata angka
rasio fiskal adalah sebesar 47,4%, masih berada diatas ruang fiskal nasional sebesar 16,3%. Mengacu pada
gambar 3, dengan rentang rasio 13,5% - 66,7% dan rata-rata rasio fiskal 47,4% pada periode 2015 - 2021, maka
ruang fiskal pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat masuk dalam kategori rendah.
a. Rasio Belanja Rutin

7
Dilihat pada gambar 3, menunjukkan persentase alokasi dana belanja rutin terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) pada Provinsi Jawa Barat selama tahun anggaran 2015 - 2021 menunjukkan tren
meningkat dengan rata-rata persentase adalah sebesar 43,8% dengan hasil yang cukup baik. Dari gambar 3
terlihat bahwa prosentase belanja rutin terhadap total belanja APBD cenderung meningkat sehingga dapat
diduga kriteria cukup baik yang dimilikinya akan sulit berubah menjadi kriteria baik.
b. Rasio Belanja Pembangunan
Dapat dilihat pada gambar 1 menunjukkan persentase alokasi dana pembangunan terhadap APBD Provinsi
Jawa Barat tahun anggaran 2015 -2021 menunjukkan tren yang stabil cenderung menurun dengan fluktuasi
yang masih dalam kisaran kurang dari 1%, dengan rata-rata persentase sebesar 20,7% dengan hasil yang
cukup baik. pertumbuhan PAD, pertumbuhan total pendapatan, pertumbuhan belanja rutin, dan
pertumbuhan belanja pembangunan.
c. Rasio Pertumbuhan PAD
Dalam kurun waktu 2015 – 2021, pertumbuhan PAD Provinsi Jawa Barat menunjukkan tren positif meningkat
kecuali pada tahun 2020 yang negatif sebesar 12,8% dari tahun 2019 yang diduga akibat dari adanya
penanganan Pandemi Covid 19. Namun pada tahun 2021 kembali meningkat 9,1% yang menandakan adanya
aksi recovery yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap perekonomian daerah. Hal ini
berarti kemampuan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat dalam mempertahankan dan
mengoptimalkan kemampuannya dalam meningkatkan perolehan PAD yang ditunjukan dengan kenaikan
dari sektor Pajak Daerah dan Lain-lain PAD.
d. Rasio Pertumbuhan Total Pendapatan
Rasio pertumbuhan total pendapatan Provinsi Jawa Barat menunjukkan pertumbuhan yang positif dari
tahun 2015 – 2021 kecuali pada tahun 2020 pertumbuhannya negative 4,3% terhadap tahun 2019 hal ini
merupakan imbas dari penanganan Pandemi Covid 19. Dan pertumbuhan positif kembali terjadi pada tahun
berikutnya yaitu tahun 2021 sebesar 6,9%. Hal ini berarti kemampuan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa
Barat dalam mempertahankan dan mengoptimalkan kemampuannya dalam meningkatkan perolehan
pendapatan.
e. Rasio Pertumbuhan Belanja Rutin
Sementara itu, Pertumbuhan belanja rutin daerah Provinsi Jawa Barat pada medio 2015 – 2021 cenderung
menunjukkan tren pertumbuhan yang positif, kecuali pada tahun 2018 dan tahun 2021 menunjukkan
pertumbuhan belanja rutin negative dengan besaran masing-masing secara berurutan adalah negative 2,4%
dan negative 11,8%. Pertumbuhan negatif pada tahun tersebut dipengaruhi oleh naiknya Belanja Aparatur
Publik dan Belanja Aparatur Daerah.
f. Rasio Pertumbuhan Belanja Pembangunan
Dengan melihat rasio pertumbuhan belanja pembangunan daerah Provinsi Jawa Barat pada periode 2015 –
2021 menunjukkan tren pertumbuhan yang masih positif kecuali pada tahun 2020 pertumbuhan belanja
pembangunan negative 13,9% yang diindikasikan akibat adanya Pandemi Covid 19. Pertumbuhan belanja
pembangunan yang positif di setiap tahunnya menandakan keberhasilan pembangunan di Provinsi Jawa
Barat dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

Gambar 3 Rasio-Rasio APBD Propvinsi Jawa Barat 2015-2021

8
Sumber : Data APBD Provinsi Jawa Barat

Pembahasan
Komposisi belanja daerah pada APBD secara nasional dibagi ke dalam 4 (empat) bagian utama yaitu
belanja pegawai, belanja modal, belanja barang dan jasa dan belanja lainnya. Dari gambar 2 terlihat bahwa rasio
belanja pegawai daerah Provinsi Jawa Barat pada periode tahun anggaran 2015 – 2021 secara rata-rata berada pada
besaran 14%. Merujuk pada batasan belanja pegawai daerah sebesar 30% seperti yang telah dijelaskan diatas, dapat
diartikan bahwa belanja pegawai daerah Provinsi Jawa Barat masuk dalam kategori rendah.
Pada periode tahun 2015 – 2021 rasio belanja modal daerah Provinsi Jawa Barat secara rata-rata berada
pada besaran 7,6%. Besaran angka ini masih dibawah rata-rata nasional yaitu sebesar 21,1%, yang dapat diartikan
bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih kurang dalam belanja infrastruktur pelayanan publik. Merujuk pada
gambar 2 terlihat bahwa rasio belanja barang dan jasa Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat pada periode tahun
anggaran 2015 – 2021 secara rata-rata adalah sebesar 13,1%. Besaran angka ini masih dibawah rata-rata nasional
yaitu sebesar 22,2%, yang dapat diartikan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih kurang dalam belanja
barang pakai habis, perjalanan dinas, dan pemeliharaan gedung.
Sedangkan rasio surplus/defisit terhadap total pendapatan daerah Provinsi Jawa Barat pada periode
tahun 2015 – 2021 dapat dijelaskan bahwa dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 rasio surplus/defisit
besarannya bernilai positif yang diartikan bahwa defisit anggaran APBD dapat tertutupi oleh pembiayaan daerah
yang diterima sebagai pendapatan daerah. Sementara pada tahun 2020 besaran rasio surplus/defisit adalah negatif
7,5% dapat diartikan bahwa defisit anggaran APBD tahun 2020 belum bisa tertutupi oleh pembiayaan, dan diduga
pula akibat adanya penanganan Pandemi Covid 19 ataupun besaran pendapatan yang tidak tercapai akibat situasi
perekonomian yang dapat dikatakan berhenti (adanya PPKM, lockdown, dan berbagai kebijakan yang membatasi
aktivitas masyarakat dalam menjalankan roda perekonomian). Selanjutnya pada tahun 2021 defisit dapat diatasi
dengan mulainya aktivitas perekonomian khususnya semester 2 (dua) tahun 2021. Dengan demikian arah perbaikan
dari rasio surplus/defisit diharapkan semakin baik atau setidaknya sama dengan pada tahun 2019 dimana
perekonomian mulai bergerak. Kondisi ini dapat diharapkan akan memperbaiki kinerja keuangan pada Provinsi
Jawa Barat. Sehingga di tahun mendatang rasio surplus/defisit diharapkan lebih baik dari tahun 2019.
Dapat dijelaskan melalui gambar 2 dibawah ini bahwa rasio SiLPA terhadap total pembiayaan pada APBD
Provinsi Jawa Barat pada periode 2015 hingga tahun 2019 menunjukkan angka diatas 90% dapat diartikan bahwa
semakin besar dana idle dari tahun anggaran sebelumnya yang termanfaatkan. Sementara pada tahun 2020 dan
tahun 2021 besaran rasio SiLPA terhadap total pembiayaan pada APBD Provinsi Jawa Barat masing-masing secara
berurutan adalah 67,5% dan 38,9% yang dapat diartikan bahwa pada tahun tersebut dana idle pada tahun anggaran
sebelumnya tidak seluruhnya terserap untuk dimanfaatkan.
Rasio pinjaman daerah terhadap penerimaan pembiyaan Provinsi Jawa Barat terlihat pada tahun 2015
hingga tahun 2019 menunjukkan rasio 0% yang dapat diartikan bahwa pada medio tahun tersebut Pemerintah Jawa
Barat tidak merealisasikan pinjaman daerah. Baru pada tahun 2020 dan tahun 2021, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
merealisasikan pinjaman daerah dengan rasionya secara berurutan masing-masing besarannya adalah 31,5% dan
61,1% terhadap penerimaan pembiayaan daerah. Pinjaman yang didapat berasal dari pemerintah pusat melalui PT
SMI berupa pinjaman untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di daerah Jawa Barat pada kondisi Pandemi Covid
19. Untuk rasio penyertaan modal terhadap pengeluaran pembiayaan daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada
periode tahun 2015 angka rasio sebesar 92,4% menunjukkan bahwa dari total pengeluaran pembiayaan daerah
Provinsi Jawa Barat, porsi penyertaan modal / investasi daerah adalah 92,4%. Sedangkan pada periode tahun 2016
– 2021 terlihat bahwa dari 100% total pengeluaran pembiayaan daerah seluruhnya dipergunakan untuk penyertaaan
modal / investasi daerah Provinsi Jawa Barat.

9
Rasio penyertaan modal daerah terhadap SiLPA Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat seperti yang
tersaji pada gambar 3, dapat dijelaskan bahwa penyertaan modal daerah Provinsi Jawa Barat direalisasikan
sepanjang tahun pada periode tahun 2015 – 2021 secara rata-rata rasionya masih dibawah 10%, kecuali pada tahun
2015 porsi rasio sebesar 13,4%. Sedangkan tren rasio penyertaan modal terhadap surplus/defisit pembiayaan
Provinsi Jawa Barat dari periode tahun 2015 – 2021 adalah menurun. Besaran rasio terbesar menunjukkan angka
13,4% pada tahun 2015 dan rasio terkecil berada pada angka 1,1% yang terjadi pada tahun 2020. Dengan rentang
angka rasio dari 1% - 13% dapat diartikan bahwa dari total penerimaan pembiayaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat
masih mencatatkan surplus penerimaan dan nantinya akan dipergunakan untuk menutupi defisit anggaran APBD
Provinsi Jawa Barat tahun berjalan. Untuk tren rasio penyertaan modal terhadap surplus/defisit pembiayaan
menutupi defisit pembiayaan (netto) Provinsi Jawa Barat dari periode tahun 2015 – 2021 adalah menurun. Besaran
rasio terbesar menunjukkan angka 15,7% pada tahun 2015 dan rasio terkecil berada pada angka 1,1% yang terjadi
pada tahun 2020. Dengan rentang angka rasio dari 1% - 13% dapat diartikan bahwa dari total pembiayaan netto
Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih mencatatkan surplus dan nantinya akan dipergunakan untuk menutupi
defisit anggaran APBD Provinsi Jawa Barat tahun berjalan.
Berdasarkan analisis terhadap kemampuan keuangan daerah di wilayah Jawa Barat, dapat dikemukakan
bahwa Postur keuangan APBD Provinsi Jawa Barat secara umum adalah positif yang terlihat dari surplus/defisit
anggaran APBD dapat tertutupi oleh Pembiayaan Netto Daerah. Keterkaitan Postur Keuangan Provinsi Jawa Barat
terhadap Perencanaan Kebutuhan Penyertaan Modal Daerah adalah dalam penggunaan SILPA dari sisi penerimaan
pembiayaan daerah Provinsi Jawa Barat masih dapat dioptimalkan melalui perencanaan yang baik dalam
pengeluaran pembiayaan. Dengan perencanaan pengeluaran pembiayaan yang baik, maka potensi penerimaan
pembiayaan dapat secara optimal penyerapannya dengan mempertimbangkan timbulnya pembayaran bunga
pinjaman sebagai kompensasi dari adanya penerimaan pinjaman daerah di Provinsi Jawa Barat.
Dengan mengoptimalkan penerimaan pembiayaan daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah, maka
akan meningkatkan ruang fiskal daerah Provinsi Jawa Barat yang masih rendah dalam rangka meningkatkan
perekonomian daerah melalui sektor riil yang disalurkan melalui BUMD maupun kewirausahaan masyarakat
melalui perbankan daerah sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif bagi penerimaan pendapatan
daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah.
Melalui sektor riil dengan Penyelenggaraan Penyertaan Modal Daerah perlu dipertimbangkan walaupun
memerlukan tahapan kegiatan yang cukup komplek dan panjang, terlebih dengan penyertaan modal daerah untuk
penambahan setoran modal melalui program Pasar Modal baik program PMTHETD maupun PMHMETD
(Penawaran Umum Terbatas/PUT) terhadap BUMD yang jelas berkontribusi terhadap pendapatan daerah. Namun
dengan perencanaan tahap dan Langkah yang cukup komplek dan Panjang tersebut bisa di lihat dari Langkah-
langkah pada tabel lampiran Rekomendasi.

Kesimpulan
1. Pandemi Covid 19 memaksa Pemerintah Daerah membuat kebijakan recofusing anggaran terutama dari sisi
pendapatan dalam penanggulangan ekonomi rakyat yang terdampak Covid 19, yang tercermin dari defisitnya
anggaran Propinsi Jawa Barat sebesar Rp 3,6 triliun pada tahun 2020. Total pendapatan daerah Provinsi Jawa
Barat murni, perubahan maupun realisasi dari tahun 2015 hingga 2019 secara umum mengalami peningkatan,
namun pada tahun 2020 dan 2021 realisasinya mengalami penurunan. Untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Provinsi Jawa Barat dari tahun 2015-2019 mengalami kenaikan yang bersifat konstan merata sekitar Rp 1 triliun,
dan mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2020 dan kembali meningkat pada tahun 2021. Untuk
besaran lain-lain pendapatan yang sah pada APBD Provinsi Jawa Barat periode 2015 – 2021 telah terjadi kenaikan
yang sangat besar pada tahun 2015 yaitu sebesar Rp 5,4 triliun yang disumbang dari pos anggaran Dana
Penyesuaian dan Otonomi Khusus. Pada tahun 2016 hingga 2021 besarannya dinamis sesuai dengan besaran
pendapatan hibah, dana penyesuaian, dan bantuan keuangan dari provinsi/kabupaten/kota/ lainnya.
2. Realisasi angaran pada APBD Provinsi Jawa Barat pada periode 2015 – 2021 berdasarkan pada besaran belanja
daerah terhadap total pendapatan mengalami surplus pada tahun 2016, 2018, dan 2019, namun mengalami
defisit pada tahun 2015, 2017, 2020, dan 2021. Defisit terbesar terjadi pada tahun 2020 yaitu sebesar Rp -3,6
triliun. Hal ini patut diduga merupakan imbas dari Pandemi Covid 19. Besaran deviasi belanja daerah terhadap
total pendapatan APBD Provinsi Jawa Barat. Penerimaan pembiayaan dari tahun 2015 hingga 2018
berkecenderungan menurun, demikian pula dengan pengeluaran pembiayaan. Hal ini berdampak terhadap
menurun pembiayaan netto dari tahun 2015 – 2018. Namun dari sisi pengeluaran pembiyaan pada tahun 2019
hingga 2021 cenderung menurun secara material, sehingga mengakibatkan meningkatnya pembiayaan netto

10
dengan besaran cukup material terutama ditahun 2020. Hal ini dapat difahami karena pada tahun tersebut
pemerintah daerah melakukan refocusing terhadap belanja daerahnya dalam menghadapi situasi pandemik
Covid 19.
3. Tingkat ketergantungan keuangan daerah Provinsi Jawa Barat yang rendah hanya terjadi pada tahun 2015 yaitu
sebesar 10%. Derajat ketergantungan keuangan daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada periode tahun
2015 – 2021 terus mengalami peningkatan dengan tingkat ketergantungan rata-rata sebesar 42%. Dengan
besaran tingkat ketergantungan sebesar 42% dapat dikatakan dalam kurun waktu 2016 – 2021 masuk dalam
kategori yang tinggi. Sedangkan derajat kemandirian keuangan daerah setiap tahunnya mengalami penurunan
yang cukup signifikan dari tahun 2015–2021, yang berarti kemampuan keuangan daerah Provinsi Jawa Barat
berada pada level yang tinggi dengan pola hubungan delegatif terhadap pemerintah pusat.
4. Kinerja keuangan Propinsi Jawa Barat berdasarkan hasil analisis rasio diketahui, Prosentase belanja rutin
terhadap total belanja APBD cenderung meningkat sehingga dapat diduga kriteria cukup baik yang dimilikinya
akan sulit berubah menjadi kriteria baik. persentase alokasi dana pembangunan terhadap APBD Provinsi Jawa
Barat tahun anggaran 2015 -2021 menunjukkan tren yang stabil cenderung menurun dengan fluktuasi yang
masih dalam kisaran kurang dari 1%, dengan rata-rata persentase sebesar 20,7% dengan hasil yang cukup baik.
pertumbuhan PAD, pertumbuhan total pendapatan, pertumbuhan belanja rutin, dan pertumbuhan belanja
pembangunan. pertumbuhan PAD Provinsi Jawa Barat menunjukkan tren positif meningkat kecuali pada tahun
2020 yang negatif sebesar 12,8% dari tahun 2019 yang diduga akibat dari adanya penanganan Pandemi Covid 19.
Namun pada tahun 2021 kembali meningkat 9,1% yang menandakan adanya aksi recovery yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap perekonomian daerah. Rasio pertumbuhan total pendapatan Provinsi
Jawa Barat menunjukkan pertumbuhan yang positif dari tahun 2015 – 2021 kecuali pada tahun 2020
pertumbuhannya negative 4,3% terhadap tahun 2019 hal ini merupakan imbas dari penanganan Pandemi Covid
19. Dan pertumbuhan positif kembali terjadi pada tahun berikutnya yaitu tahun 2021 sebesar 6,9%. Sementara
itu, Pertumbuhan belanja rutin daerah Provinsi Jawa Barat pada medio 2015 – 2021 cenderung menunjukkan
tren pertumbuhan yang positif, kecuali pada tahun 2018 dan tahun 2021 menunjukkan pertumbuhan belanja
rutin negative dengan besaran masing-masing secara berurutan adalah negative 2,4% dan negative 11,8%.
Dengan melihat rasio pertumbuhan belanja pembangunan daerah Provinsi Jawa Barat pada periode 2015 – 2021
menunjukkan tren pertumbuhan yang masih positif kecuali pada tahun 2020 pertumbuhan belanja
pembangunan negative 13,9% yang diindikasikan akibat adanya Pandemi Covid 19. Pertumbuhan belanja
pembangunan yang positif di setiap tahunnya menandakan keberhasilan pembangunan di Provinsi Jawa Barat
dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
5. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diatas, dalam kaitannya dengan penerimaan pembiayaan daerah
dan pengeluaran pembiayaan daerah kepada BUMD penyumbang pendapatan daerah, investasi yang berfokus
dalam penyertaan modal dan pemberian pinjaman perlu mulai dipertimbangkan dengan baik untuk fokus
kepada investasi dalam bentuk surat berharga. Pemerintah daerah Propinsi Jawa Barat perlu mendorong
kinerja BUMD yang berpotensi terhadap penerimaan daerah. Dengan mengoptimalkan kinerja BUMD melalui
penambahan setoran modal Pemerintah Daerah sebagai pemegang saham, direncanakan dengan baik dari sisi
pelaku serta instrument dengan pengendalian resiko terukur dan fiduciary duties yang jelas. Dengan demikian
investasi ini akan lebih berkontribusi terhadap penerimaan daerah selain fiskal dan memberikan manfaat
ekonomi, sosial serta manfaat lainnya bisa di capai secara optimal.

11
Daftar Pustaka

For scientific journals :

Akcay, Selcuk. (2011). Causality Relationship Between Total R&D Investment and Economic Growth: Evi-dence
From United States. The Journal of Faculty of Economics and Administrative Sciences,16(1), 79–92.
Atmadja, Adwin S. (1999). Inflasi di Indonesia: Sumber – sumber Penyebab dan Pengendaliannya. Jurnal Akuntansi
dan Keuangan, 1(1), 54-57.
Albrecht, W. G., & Hingorani, V. L. (2004). Effects of governance practices and investment strategies on state and
local government pension fund financial performance. International Journal of Public Administration, 27(8-
9), 673-700.
Andriani, R. N. R., & Wahid, N. N. (2018). Pengaruh pendapatan asli daerah dan dana perimbangan terhadap
kemandirian keuangan daerah (studi kasus pada pemerintah kota tasikmalaya tahun 2006–2015). Jurnal
Akuntansi, 13(1), 30-39.
Bathelt, H. (2001). Regional competence and economic recovery: divergent growth paths in Boston's high
technology economy. Entrepreneurship & Regional Development, 13(4), 287-314.
Brada, J. C., Gajewski, P., & Kutan, A. M. (2021). Economic resiliency and recovery, lessons from the financial crisis
for the COVID-19 pandemic: A regional perspective from Central and Eastern Europe. International Review of
Financial Analysis, 74, 101658.
Bristow, G. et al. (2021) ‘ECR2 Economic Crisis : Resilience of Regions To cite this version : ECR2 Economic Crisis :
Resilience of Regions’.
Bristow, G. and Healy, A. (2014) ‘Building Resilient Regions: Complex Adaptive Systems and the Role of Policy
Intervention’, Raumforschung und Raumordnung | Spatial Research and Planning, 72(2), pp. 93–102. doi:
10.1007/s13147-014-0280-0.
De la Fuente, A. (2021). The economic consequences of Covid in Spain and how to deal with them. Applied
Economic Analysis.
Dewi, M. (2017). Analisis Rasio Keuangan untuk Mengukur Kinerja Keuangan PT Smartfren Telecom, Tbk. Jurnal
Penelitian Ekonomi Akuntansi (JENSI), 1(1), 1-14.
Cavallo, E., & Powell, A. (2021). Opportunities for stronger and sustainable postpandemic growth. IDB: 2021 Latin
American and Caribbean Macroeconomic Report.
Cerra, V., & Saxena, S. C. (2008). Growth dynamics: the myth of economic recovery. American Economic Review,
98(1), 439-57.
Giannakis, E. and Bruggeman, A. (2017) ‘Determinants of regional resilience to economic crisis: a European
perspective’, European Planning Studies. Taylor & Francis, 25(8), pp. 1394–1415. doi:
10.1080/09654313.2017.1319464.
Gulati, R. and Puranam, P. (2009) ‘Renewal through reorganization: The value of inconsistencies between formal
and informal organization’, Organization Science, 20(2), pp. 422–440. doi: 10.1287/orsc.1090.0421.
Halim, A., & Iqbal, M. (2007). Pengelolaan keuangan daerah. Yogyakarta: Upp Stim Ykpn.
Kurihara, J. (2007). Demystifying Japan's economic recovery. Business Economics, 42(3), 29-35.
Hu, X., Li, L., & Dong, K. (2022). What matters for regional economic resilience amid COVID-19? Evidence from cities
in Northeast China. Cities, 120, 103440.
Hu, Yunfeng, Dao, R. and Hu, Yan (2019) ‘Vegetation change and driving factors: Contribution analysis in the loess
plateau of China during 2000-2015’, Sustainability (Switzerland), 11(5). doi: 10.3390/su11051320.

12
IDB (2021) ‘Opportunities for Stronger and Sustainable Postpandemic Growth: 2021 Latin American and Caribbean
Macroeconomic Report’, Inter-American Development Bank. Available at:
https://publications.iadb.org/publications/english/document/2021-Latin-American-and-Caribbean-
Macroeconomic-Report-Opportunities-for-Stronger-and-Sustainable-Postpandemic-Growth.pdf.
Li, L., Zhang, P. and Wang, C. (2022) ‘What Affects the Economic Resilience of China’s Yellow River Basin Amid
Economic Crisis-From the Perspective of Spatial Heterogeneity’, International journal of environmental
research and public health, 19(15). doi: 10.3390/ijerph19159024.
Li, Q., Cheng, K. and Yang, X. (2017) ‘Response pattern of stock returns to international oil price shocks: From the
perspective of China’s oil industrial chain’, Applied Energy. Elsevier Ltd, 185, pp. 1821–1831. doi:
10.1016/j.apenergy.2015.12.060.
Martin, R. et al. (2016) ‘How Regions React to Recessions: Resilience and the Role of Economic Structure’,
Regional Studies, 50(4), pp. 561–585. doi: 10.1080/00343404.2015.1136410.
Martin, R., Sunley, P. and Tyler, P. (2015) ‘Local growth evolutions: Recession, resilience and recovery’, Cambridge
Journal of Regions, Economy and Society, 8(2), pp. 141–148. doi: 10.1093/cjres/rsv012.
Mohamed, Z., Nadzri, F. A. A., Qureshi, S. F., Saad Al-Dhubaib, A. A., Arifin, J., & Yacob, N. (2020). A Panel Data
Analysis of the Roles of Education Level and Financial Capacity on E-government Adoption for Higher
Transparency and Efficiency in ASEAN Countries. Contemporary Economics, 14(4), 532-541.
Muchtar, K. N. H. S. A. Analysis of Financial Performance of Local Government through South Tangerang
Calculation of Realization Regional Budget.
Nicola, M. et al. (2020) ‘The socio-economic implications of the coronavirus pandemic (COVID-19): A review’,
International Journal of Surgery. Elsevier, 78(March), pp. 185–193. doi: 10.1016/j.ijsu.2020.04.018.
Sistiana, M., & Makmur, H. (2010). DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA
TIMUR TAHUN 2006-2010.
Wahyuni, E., & Ardini, L. (2018). Pengaruh Kinerja Pendapatan Asli Daerah Belanja Modal dan Belanja Pegawai
Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. Jurnal Ilmu Dan Riset Akuntansi (JIRA), 7(6).
Zukhri, N. (2020). Kinerja keuangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditinjau dari derajat kemandirian,
ketergantungan, dan desentralisasi fiskal. Indonesian Treasury Review: Jurnal Perbendaharaan, Keuangan
Negara dan Kebijakan Publik, 5(2), 143-149.

For scientific books / essays:

Bangga, W. (2017). Administrasi keuangan negara dan daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Cavallo, E., & Powell, A. (2021). Opportunities for stronger and sustainable postpandemic growth. IDB: 2021 Latin
American and Caribbean Macroeconomic Report.
Devas, N., Booth, A., Binder, B., Davey, K., & Kelly, R. (1989). Keuangan pemerintah daerah di Indonesia.
Hanafi, D. I. (2009). Desentralisasi fisikal [ie fiskal]: kebijakan pertimbangan keuangan pemerintah pusat dan
daerah di Indonesia. UB Press.
Mardiasmo, (2002), Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, ANDI Offset.
Romeo, I. (2011). Eu2's Regional Economic Recovery Solutions Under the Global Crisis.
Stern, N. (2021). G7 Leadership for Sustainable, Resilient and Inclusive Economic Recovery and Growth.

13
Худолей, В., Беспалов, M., Тульчинська, С., Тульчинський, Р., & Холявко, Н. (2021). FISCAL STIMULATION OF
SPATIAL DEVELOPMENT: THE EU COUNTRIES’CASES. Financial and credit activity problems of theory and
practice, 1(36), 124-132.

For internet sources without author's name:

https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/lpp/Pages/Laporan-Perekonomian-Provinsi-Jawa-Barat-Juni-2021.aspx
http://dispusipda.jabarprov.go.id/informasi/laporan_keuangan
https://jabar.bps.go.id/publication/2021/11/30/366bcac820c3151b789ed581/statistik-keuangan-pemerintah-daerah-
provinsi-dan-kabupaten-kota-di-provinsi-jawa-barat-2021.html
https://jabar.bps.go.id/indicator/13/478/1/realisasi-penerimaan-pemerintah-provinsi-jawa-barat.html
https://djpk.kemenkeu.go.id/portal/data/apbd
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/121675/pp-no-63-tahun-2019

14
Lampiran Data
No 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021
Uraian
Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi

PENDAPATAN ASLI DAERAH 16.0T 17.0T 18.3T 19.6T 21.2T 18.5T 20.2T
1 Pajak Daerah 14,617,071,393,160 15,727,483,589,791.00 16,482,169,779,732.00 18,153,616,036,193 19,626,352,311,765 17,035,963,236,918 18,847,793,728,565
2 Retribusi Daerah 73,404,322,719 73,564,738,396.00 60,367,341,654.00 49,176,487,699 56,222,370,756 40,220,203,478 43,051,699,952
3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang 281,661,628,120 322,402,263,906.00 345,121,410,237.00 348,537,989,633 386,442,976,038 401,703,315,844 414,780,606,267
dipisahkan
4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 1,060,719,070,346 919,444,521,579.00 1,423,521,044,620.00 1,091,584,935,239 1,175,248,939,459 1,043,995,421,802 905,270,879,756
Persentase PAD terhadap Total Pendapatan 66.78% 61.54% 56.53% 57.91% 58.95% 53.68% 54.81%

DANA PERIMBANGAN 2.5T 10.6T 14.0T 14.2T 14.7T 15.9T 16.6T


1 Dana Bagi hasil Pajak/bagi hasil bukan pajak 1,184,319,132,840 1,778,216,936,253.00 1,851,522,979,677.00 1,804,540,601,862 1,483,785,231,865 2,063,105,718,266 2,594,482,992,137

2 Dana Alokasi Umum 1,303,654,355,000 1,248,112,171,860.00 3,011,001,477,000.00 3,023,552,986,000 3,212,647,404,000 2,964,612,155,000 3,007,926,119,000
3 Dana Alokasi Khusus 18,904,024,000 7,596,342,335,570 9,118,920,857,912.00 9,379,906,815,723 10,018,939,410,784 10,853,697,316,005 10,886,719,042,417
Dana Insentif Daerah 88,165,762,000
LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 5,470.2B 28.5B 101.4B 68.1B 78.3B 101.0B 83.9B
1 Pendapatan Hibah 22,869,295,542 23,468,563,504.00 23,799,491,191.00 22,044,000,000 23,188,473,794 36,459,066,005 33,163,983,828
4 Dana Penyesuaian dan Otonomi khusus 5,447,377,628,500 5,000,000,000.00 7,500,000,000.00 33,750,000,000 42,579,794,000 29,413,272,000 21,936,292,511
Bantuan Keuangan dari 70,089,100,000.00 12,312,180,000 12,487,850,000 35,106,000,000 28,792,400,000
Prov/kab/kota/lainnya

JUMLAH PENDAPATAN 24.0T 27.7T 32.4T 33.9T 36.0T 34.5T 36.9T


Growth Pendapatan (YoY) 15.34% 16.97% 4.71% 6.25% -4.26% 6.86%
Rata-rata (Y0Y) 10.03%
BELANJA TIDAK LANGSUNG 19.3T 21.7T 25.8T 25.6T 28.0T 31.4T 28.6T
1 Belanja Pegawai 1,671,229,142,927 1,835,034,492,249.00 5,155,574,866,248.00 5,543,456,779,986 5,605,436,893,218 5,816,825,233,210 5,900,973,483,089
3 Belanja Bunga 18,123,947,774
4 Belanja Subsidi 18,990,870,500 14,999,772,000.00 14,758,266,000.00 19,359,366,500 19,384,264,000
5 Belanja Hibah 6,826,862,952,000 9,854,923,609,133.00 9,526,147,545,558.00 8,572,522,302,027 8,736,051,702,117 9,948,395,206,015 9,819,461,792,253
6 Belanja Bantuan Sosial 3,048,750,000 9,940,000,000.00 37,696,500,000.00 278,015,390,000 277,421,000,000 206,085,750,000 744,354,400,000
7 Belanja Bagi Hasil kepada Provinsi/ 6,406,192,657,944 6,393,271,239,759.00 6,902,132,882,595.00 7,450,622,081,732 7,901,869,013,400 7,212,501,291,449 7,608,373,465,011
Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa
8 Belanja Bantuan Keuangan Kepada 4,329,955,772,317 3,640,311,644,356.00 4,171,834,088,911.00 3,756,133,209,513 5,493,416,269,647 5,020,674,544,240 4,162,624,993,356
Prov/Kab/Kota dan Pemerintah Desa
9 Belanja Tidak Terduga 19,884,000.00 47,817,000.00 184,163,280 3,154,919,548,515 376,415,565,853

BELANJA LANGSUNG 5.2T 5.9T 7.1T 7.7T 7.8T 6.8T 9.0T


1 Belanja Pegawai 223,252,160,576 233,811,805,839.00 274,343,561,241.00 239,876,746,009 283,317,579,553 280,747,359,080 284,808,749,611
2 Belanja Barang Dan Jasa 2,639,397,429,044 2,780,296,396,345.00 4,311,135,920,577.00 4,327,807,662,454 4,985,841,862,221 4,796,352,354,090 6,879,212,783,098
3 Belanja Modal 2,298,676,125,205 2,859,355,623,561.00 2,553,368,367,234.00 3,145,847,260,323 2,530,347,542,361 1,672,906,514,876 1,884,374,543,133

JUMLAH BELANJA 24.4T 27.6T 32.9T 33.3T 35.8T 38.1T 37.7T


SURPLUS/DEFISIT -407.6B 72.1B -553.0B 585.2B 204.8B -3,623.3B -788.5B

PEMBIAYAAN DAERAH
PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH 4.6T 3.7T 3.3T 2.6T 3.2T 4.9T 3.1T

1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Daerah 4,549,073,508,028 3,485,029,506,541 3,343,922,854,244 2,493,457,111,839 3,060,677,232,835 3,289,300,908,323 1,195,434,414,983
Tahun Sebelumnya (SiLPA)
4 Penerimaan Pinjaman Daerah 1,532,607,660,148 1,881,560,755,969
8 Penerimaan Kembali Dana Bergulir 2,798,116,686 165,397,694,086 70,235,711,273 100,615,038,344 50,131,410,442

PENGELUARAN PEMBIAYAAN 660.0B 378.6B 311.9B 88.2B 76.8B 53.0B 100.0B


DAERAH
1 Pembentukan Dana Cadangan
2 Penyertaan modal (Investasi) Pemerintah 610,000,000,000 378,575,000,000 311,875,000,000 88,199,998,800 76,799,998,800 53,018,000,000 100,000,000,000
Daerah
5 Dana Bergulir 50,000,000,000
Pembayaran Bunga Pinjaman Daerah

PEMBIAYAAN NETTO 3.9T 3.3T 3.0T 2.5T 3.1T 4.8T 3.0T

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun 3,484,246,614,428 3,343,922,854,244.00 2,493,457,111,838.61 3,060,689,894,835 3,289,300,908,323 1,195,765,934,983 2,188,478,901,981
Berjalan (SILPA)

VOLUME APBD 28.6T 31.3T 35.7T 36.5T 39.2T 39.4T 39.9T

16

Anda mungkin juga menyukai