Skenario PBL 2 Blok Gangguan Gihbp
Skenario PBL 2 Blok Gangguan Gihbp
Sebuah keluarga dengan satu anak (anak laki-laki berusia tiga tahun) telah bekerja dengan
lembaga bantuan internasional di pedalaman Papua selama lebih dari setahun. Mereka
ditempatkan di desa yang sangat terpencil dan sangat miskin. Penduduk setempat menanam
sebagian besar bahan makanan mereka sendiri dan seperti yang biasa terjadi di daerah
tersebut, mereka sering menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk. Putra dari keluarga
tersebut sudah cukup akrab dengan anak-anak setempat, sehingga ia sering bermain bersama
di luar ruangan dan dapat berbicara dengan dialek setempat dengan cukup baik. Keluarga
tersebut dalam keadaan sehat ketika mereka tiba di desa dan selama tinggal mereka tidak
mengalami masalah kesehatan yang berarti. Beberapa minggu lalu, sang anak mulai
mengeluhkan nyeri perut dan diare. Seiring waktu nyeri yang dirasakan perlahan-lahan
semakin memburuk dan diare yang seringkali berdarah, belum juga mereda. Terlebih lagi
anak laki-laki tersebut menjadi anoreksia, sangat lemah, dan berat badan menurun. Keluarga
tersebut kemudian membawa putra mereka ke fasilitas medis terdekat, di sebuah kota kecil
sekitar 200 mil dari desa tempat mereka bekerja. Dokter melakukan anamnesis, melakukan
pemeriksaan fisik, dan mengumpulkan spesimen feses dan darah untuk dianalisis.
TUJUAN PEMBELAJARAN:
Kecacingan adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing kelas nematode usus khususnya yang
penularan melalui tanah, diantaranya Ascaris lumbricoides, Trichuri strichiura, cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), Skistosomiasis, Taeniasis dan
Strongyloides stercoralis. Skenario ini bertujuan agar mahasiswa mampu:
FRAMEWORK
Strongiloidasis
Skistosomiasis
SUMBER BACAAN:
3. Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A.lumbricoides
pada sediaan basah tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja
dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
berat ringannya infeksi. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing
dewasa keluar sendiri melalui mulut,hidung atau anus.
4. Pengobatan
Albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk
askariasis. Dosis albendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2
tahun adalah 400 mg per oral. WHO merekomendasikan dosis 200
mg untuk anak usia 12 – 24 bulan. Dosis mebendazol untuk dewasa dan
anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg. Albendazol dan mebendazol
diberikan dosis tunggal. Pirantel pamoat dapat digunakan untuk
ascariasis dengan dosis 10–11 mg/kg BB per oral, dosis maksimum 1
gram.
Tindakan operatif diperlukan pada keadaan gawat darurat
akibat cacing dewasa menyumbat saluran empedu dan
apendiks.Pengobatan askariasis harus disertai dengan perubahan
perilaku hidup bersih sehat dan perbaikan sanitasi.
3. Diagnosis
Diagnosis trikuriasis ditegakkan dengan menemukan telur pada
sediaan basah tinja langsung atau menemukan cacing dewasa pada
pemeriksaan kolonoskopi. Telur T. trichiura memilki karakteristik seperti
tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih di kedua kutub
sehingga mudah untuk diidentifikasi(Tabel1.) Penghitungan telur per gram
tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk
menentukan berat ringannya infeksi.
4. Pengobatan
Obat untuk trikuriasis adalah albendazol 400 mg selama 3
hari ataumebendazol 100mg 2x sehari selama 3 hari berturut-turut.
b. Stadium dewasa
Manifestasi klinis infeksi cacing tambang merupakan akibat
dari kehilangan darah karena invasi parasit di mukosa dan
submukosa usus halus. Gejala tergantung spesies dan jumlah
cacing serta keadaan gizi Penderita. Seekor N. americanus
menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 - 0,1 cc/hari,
sedangkan A. duodenale 0,08 - 0,34 cc/hari. Biasanya terjadi
anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia. Cacing tambang
biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan
berkurang dan prestasi kerja turun.
3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Morfologi
dan karakteristik talur cacing tambang dapat di lihat pada Tabel 1.
Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai
sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi
4. Pengobatan
Obat untuk infeksi cacing tambang adalah albendazol dosis tunggal
400 mg oral atau mebendazol 2X100mg/hari atau pirantel pamoat 11 mg
/ kgBB, maksimum 1 gram. Mebendazol dan pirantel pamoat diberikan
selama 3 hari berturut-turut. WHO merekomendasikan dosis albendazol
yaitu 200 mg untuk anak usia 12 – 24 bulan. Untuk meningkatkan
kadar haemoglobin perlu diberikan asupan makanan bergizi dan
suplementasi zat besi.
Sebuah keluarga beranggotakan lima orang (dengan masing-masing anak berusia 3, 4, dan 5 tahun)
memutuskan pergi ke restoran cepat saji favorit mereka untuk makan siang. Semua orang memesan
ayam, kentang goreng dan soft drink berukuran besar. Sang ibu memperhatikan bahwa potongan
ayam berwarna agak merah muda di tengahnya dan ingin mengembalikannya ke konter. Karena
anak-anak sudah sangat lapar dan mulai ribut di dalam mobil, sang Ibu khawatir mereka akan
mengamuk jika ditunda lagi, sehingga Ibu tidak jadi mengembalikannya. Selain itu, rasa ayam
tersebut juga enak, sehingga sang ibu memutuskan untuk tidak perlu khawatir tentang apa pun.
Keesokan harinya, ibu dan dua anaknya mulai mengalami demam, sakit kepala, mialgia, dan
malaise. Mereka tidak segera mencari pertolongan medis karena menganggap gejalanya tidak
terlalu berat. Gejalanya terus berlanjut di hari berikutnya, ketiganya mulai mengeluhkan diare cair,
kram perut, dan demam terus-menerus. Keesokan paginya, ketiganya buang air besar sekitar 10 kali
dan merasa diarenya akan terus berlanjut, sehingg akhirnya mereka memutuskan untuk menemui
dokter keluarga. Pada pemeriksaan, tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali suhu badan yang
berkisar antara 38-38,5ºC. Pemeriksaan fisik secara umum tidak ditemukan tanda-tanda yang berat,
kecuali kedua anaknya menunjukkan tanda-tanda dehidrasi ringan. Spesimen apusan tinja diperiksa
secara mikroskopis dan ditemukan mengandung darah segar (fresh blood) dan PMN (paling jelas
terlihat pada spesimen kedua anak). Tidak ada tanda-tanda kista atau telur protozoa. Sang ibu
khawatir terkait ayam yang mereka makan sebelumnya, tetapi tidak sepenuhnya yakin karena hanya
tiga anggota keluarga yang sakit.
TUJUAN PEMBELAJARAN:
Gastroenteritis merupakan suatu proses infeksi pada sistem gastrointestinal dengan berbagai macam
etiologi. Skenario ini bertujuan agar mahasiswa mampu:
FRAMEWORK
G A STR O EN TERITIS BA KTERI
Campylobacter jejuni
Salmonella (Thypoid)
SUMBER BACAAN:
DEMAM TIFOID
Keluhan (Subjective)
1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam
kontinu) hingga minggu kedua.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal
3. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual,
muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.
Faktor Risiko
o Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.
o Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,
makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
o Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
o Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari- hari.
o Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
o Kondisi imunodefisiensi.
Pemeriksaan Fisik (Objective)
1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.
2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang ringan,
seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma)
3. Demam, suhu > 37,5C.
4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
denyut per menit setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius.
5. Ikterus
6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis
7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali
8. Delirium pada kasus yang berat
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran seperti
berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan
gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis dapat menunjukkan: leukopenia/
leukositosis/ jumlah leukosit normal, limfositosis relatif, monositosis,
trombositopenia (biasanya ringan), anemia.
2. Serologi
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex- TF) Hanya dapat mendeteksi antibody
IgM Salmonella typhi. Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)
1) Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi
2) Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi
Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari. Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin
O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5 – 7 hari. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang
dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan
standaridisasi kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya
dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang dapat
mengakibatkan over-diagnosis dan over-treatment.
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard) Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carriertyphoid
4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar lipase dan
amilase
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Suspek demam tifoid (Suspect case) jika dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam, gangguan saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya
dibuat pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Demam tifoid klinis (Probable case)
jika Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.
DISENTRI BASILER DAN DISENTRI AMUBA
1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan buang air besar encer secara terus menerus
bercampur lendir dan darah
2. Muntah-muntah
3. Sakit kepala
4. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae dengan
gejalanya timbul mendadak dan berat, dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong.
5. Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab.
KASUS 3: Pasien dengan Diare (Rotavirus)
Pasien anak laki-laki berusia 1 tahun dirawat di rumah sakit karena dehidrasi. Orang tuanya
melaporkan bahwa dia memiliki riwayat demam, diare, emesis, dan penurunan produksi urin
selama 1 hari. Saat masuk, tanda vitalnya menunjukkan suhu 39,5C, takikardia dengan denyut
nadi 126 kali/menit, dan pernapasan 32 kali/menit. Tidak seperti biasanya, anak tampak
kurang aktif saat ini. Pemeriksaan fisik secara umum tampak mulut kering, air mata
berkurang saat menangis dan suara usus hiperaktif. Urinalisis signifikan untuk berat jenis dan
keton yang tinggi. Sampel feses, darah, dan urin dikirim untuk kultur. Sampel tinja juga
diperiksa untuk sel telur dan parasit. Tidak ditemukan leukosit pada feses. Pasien diberi saline
normal intravena dan tidak mendapat asupan oral. Selama 48 jam berikutnya emesisnya
mereda. Begitu dia direhidrasi dan mentolerir pemberian makan oral, dia dipulangkan ke
rumah. Semua biakan rutin memberikan hasil negatif.
TUJUAN PEMBELAJARAN:
Saat ini, Gastroenteritis akut (GEA) atau diare masih menjadi salah satu penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada anak di negara berkembang. Skenario ini bertujuan agar
mahasiswa mampu:
FRAMEWORK
DIARE AKUT
DIARE KRONIK
VIRUS
BAKTERI
PANDUAN DISKUSI PBL:
2. Pemeriksaan Fisik yang perlu dilakukan pada pasien dengan keluhan diare.
Penilaian dehidrasi dan derajatnya,
Status gizi,
Darah di tinja,
Bising usus
Distensi abdomen,
ANTIEMETIK (Ondansetron)
Adanya kecenderungan pemberian ondansetron yang sangat tinggi saat ini untuk
kasus-kasus mual/muntah, baik pada kehamilan maupun pada kasus GEA. Sampai
saat ini, ondansetron terregistrasi hanya diindikasikan untuk kasus mual/muntah
pada kemoterapi, radioterapi, dan pasca operasi (tidak rutin).
KASUS 4: Keracunan makanan akibat bakteri (Bacillus cereus)
Tiga mahasiswa kedokteran makan siang di warung lokal yang terkenal dengan harganya
yang murah dibandingkan kualitas makanannya. Mereka makan dengan menu sayur asam,
lumpia, nasi goreng, dan tiga jenis makanan pembuka lainnya. Karena porsi makanannya
banyak, mereka membawa pulang sisa makanan yang tidak mereka habiskan dan disimpan
dalam lemari es. Dua hari kemudian mereka menghangatkan kembali makanan tersebut untuk
makan siang. Dua jam setelah makan, tepat di tengah jam pelajaran blok Gangguan
Gastrointestinal, Hepatobilier dan Pankres, ketiga mahasiswa tersebut mengeluh ingin muntah
dan segera keluar dari kelas. Gejala mual, muntah, dan kram perut yang berat pun dirasakan
oleh ketiganya, namun hanya satu dari mereka yang mengalami diare (yang mana relatif
ringan).
Menjadi mahasiswa kedokteran dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan berdedikasi untuk
selalu melatih keterampilan diagnostik mereka, akhirnya mereka pun saling memeriksa tanda-
tanda vital satu sama lain, yang ternyata masih dalam batas normal. Konsistensi feses
mahasiswa yang mengalami diare tampak encer, tidak terlihat adanya darah atau
lendir. Gejala-gejala yang dirasakan ketiga mahasiswa tersebut mereda dengan sendirinya
dalam waktu 10 jam, tanpa pengobatan dan tanpa gejala sisa. Tidak satu pun dari ketiganya
yang pernah bepergian ke luar kota dalam enam bulan terakhir. Makanan yang dihangatkan
kembali adalah satu-satunya makanan yang mereka makan bersama sejak makan siang
mereka di restoran 2 hari yang lalu. Gejala ketiga korban mereda dalam waktu 10 jam, tanpa
pengobatan dan tanpa gejala sisa yang nyata.
TUJUAN PEMBELAJARAN:
FRAMEWORK
KERACUNAN
MAKANAN
Kontaminasi nasi dengan B. cereus juga dikaitkan dengan praktik yang digunakan di banyak
restoran Asia, di mana porsi besar nasi rebus ditiriskan/ dikeringkan tanpa proses refrigerasi
untuk menghindari penggumpalan. Perebusan secara alami mengaktivasi spora B. cereus yang
ada di dalam nasi, kemudian berkecambah, tumbuh, dan menghasilkan enterotoksin tahan
panas di dalam nasi yang tidak didinginkan saat dikeringkan. Teknik menggoreng nasi dalam
kurun waktu singkat tidak dapat menonaktifkan toksin saat akan disiapkan. Dalam kasus ini,
ketiga mahasiswa tersebut sakit akibat makanan yang mereka makan saat berada di warung,
bukan karena makanan sisa yang dibawa pulang.
Pertanyaan 6: Bagaimana edukasi untuk pencegahan pada kasus ini agar tidak
berulang?
Caranya mudah, jangan biarkan nasi matang dalam suhu ruangan lebih dari satu jam. Nasi
sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin, dan pastikan mengonsumsinya dalam waktu 24
jam. Ketika dipanaskan kembali, penting untuk tak hanya memanaskannya sampai hangat.
Akan tetapi, harus “menguap” sampai matang untuk dimakan kembali.
SUMBER BACAAN:
Harrison's Principles of Internal Medicine
Cecil Essentials of Medicine
Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer, tentang Keracunan makanan.
Keracunan makanan merupakan suatu kondisi gangguan pencernaan yang disebabkan oleh
konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan zat patogen dan atau bahan kimia,
misalnya Norovirus, Salmonella,Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
Staphylococcus aureus.
Keluhan
Faktor Risiko
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Diagnosis Banding
1. Intoleransi
2. Diare spesifik seperti disentri, kolera dan lain-lain.
Komplikasi : Dehidrasi berat
Penatalaksanaan
1. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis akut adalah self-limiting, pengobatan
khusus tidak diperlukan. Dari beberapa studi didapatkan bahwa hanya 10% kasus
membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan utamanya adalah rehidrasi yang cukup dan
suplemen elektrolit. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian cairan rehidrasi oral
(oralit) atau larutan intravena (misalnya, larutan natrium klorida isotonik, larutan
Ringer Laktat). Rehidrasi oral dicapai dengan pemberian cairan yang mengandung
natrium dan glukosa. Obat absorben (misalnya, kaopectate, aluminium hidroksida)
membantu memadatkan feses diberikan bila diare tidak segera berhenti.
2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus ditentukan dengan
melakukan kultur tinja. Untuk itu harus segera dirujuk.
3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga kebersihan diri.
Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga higiene keluarga dan pasien.
Kriteria Rujukan
1. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3 hari ditangani dengan adekuat.
2. Pasien mengalami perburukan.
Dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder dengan spesialis penyakit dalam atau spesialis
anak.
Peralatan
1. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
2. Infus set
3. Antibiotik bila diperlukan
Prognosis