Anda di halaman 1dari 31

KASUS 1: Infeksi 

Trichuris trichiuria (cacing cambuk)

Sebuah keluarga dengan satu anak (anak laki-laki berusia tiga tahun) telah bekerja dengan
lembaga bantuan internasional di pedalaman Papua selama lebih dari setahun. Mereka
ditempatkan di desa yang sangat terpencil dan sangat miskin. Penduduk setempat menanam
sebagian besar bahan makanan mereka sendiri dan seperti yang biasa terjadi di daerah
tersebut, mereka sering menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk. Putra dari keluarga
tersebut sudah cukup akrab dengan anak-anak setempat, sehingga ia sering bermain bersama
di luar ruangan dan dapat berbicara dengan dialek setempat dengan cukup baik. Keluarga
tersebut dalam keadaan sehat ketika mereka tiba di desa dan selama tinggal mereka tidak
mengalami masalah kesehatan yang berarti. Beberapa minggu lalu, sang anak mulai
mengeluhkan nyeri perut dan diare.  Seiring waktu nyeri yang dirasakan perlahan-lahan
semakin memburuk dan diare yang seringkali berdarah, belum juga mereda. Terlebih lagi
anak laki-laki tersebut menjadi anoreksia, sangat lemah, dan berat badan menurun. Keluarga
tersebut kemudian membawa putra mereka ke fasilitas medis terdekat, di sebuah kota kecil
sekitar 200 mil dari desa tempat mereka bekerja. Dokter melakukan anamnesis, melakukan
pemeriksaan fisik, dan mengumpulkan spesimen feses dan darah untuk dianalisis.

 HASIL LAB DIGUNAKAN SEBAGAI PEMBANTU DALAM SKENARIO


- Hasil darah menunjukkan adanya eosinofilia ringan. 
- Sampel tinja diperiksa secara mikroskopis dan ditemukan bile-stained eggs,
berukuran sekitar 22 μm x 50 μm dan mempunyai gambaran kutub yang khas
(distinctive-looking polar plugs). 

TUJUAN PEMBELAJARAN:

Kecacingan adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing kelas nematode usus khususnya yang
penularan melalui tanah, diantaranya Ascaris lumbricoides, Trichuri strichiura, cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), Skistosomiasis, Taeniasis dan
Strongyloides stercoralis. Skenario ini bertujuan agar mahasiswa mampu:

- Menggunakan pengetahuan dasar ilmu kedokteran (Anatomi, Fisiologi, Hitologi dan


Biokimia) dan mengintegrasikannya pada blok gangguan sistem gastrointestinal,
hepatobilier dan pankreas, berdasarkan gejala pasien, temuan klinis dan hasil investigasi
kasus.
- Mengetahui berbagai sumber, manifestasi klinis dan etiologi Gastroenteritis serta
mendapatkan rasionalitas pemeriksaan diagnostik dan konsep dasar manajemen kasus
tersebut.
- Mampu membedakan infeksi cacing yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, Trichuri
strichiura, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus),
Skistosomiasis, Taeniasis dan Strongyloides stercoralis.

FRAMEWORK

Trichuriasis (Cacing Cambuk)


KECA CIN G A N

Askariasis (Cacing Gelang)

Ankilostomiasis (Cacing Tambang)

Strongiloidasis

Taeniasis (Cacing Pita)

Skistosomiasis

PANDUAN DISKUSI PBL:

Pertanyaan 1: Apa agen penyebab yang paling mungkin?


Ditemukannya telur dalam tinja menujukkan beberapa jenis infeksi cacing. Tidak ada
gangguan pada kulit menyingkirkan kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh parasit yang
menyerang melalui kulit (misalnya Strongyloides atau Ankilostomiasis). Sejumlah parasit
cacing yang menjadi agen penyebab dapat dipikirkan kemungkinannya berdasarkan gejala
yang ada. Dalam kasus ini, laboratorium mengidentifikasi telur Trichuris trichiura dalam
tinja, sejenis nematoda yang umumnya dikenal sebagai cacing cambuk.
Pertanyaan 2: Bagaimana siklus hidup agen penyebab ini?
T. trichiura memiliki siklus hidup yang relatif sederhana. Infeksi melalui rute oral. Telur yang
tertelan menetas menjadi cacing larva di usus kecil dan kemudian bermigrasi ke sekum,
menembus mukosa dan berkembang menjadi cacing dewasa. Organisme ini tidak bermigrasi
ke paru-paru, sehingga tidak ada tahap infeksi di organ paru. Sekitar tiga bulan setelah
bermigrasi ke sekum, cacing betina yang telah dibuahi mulai bertelur, memungkinkan
produksi 3.000 hingga 10.000 telur per hari. Cacing betina dapat hidup hingga 8 tahun. Telur
dikeluarkan melalui tinja dan ketika material tinja terdeposit dalam tanah, telur tersebut
menjadi matang di tanah dan menjadi bentuk infektif dalam waktu tiga minggu. Telur T.
trichiura  memiliki morfologi yang khas, dark bile staining, berbentuk seperti jeruk lemon,
dan mempunyai kutub yang menonjol di kedua ujungnya (prominent polar plugs at each end
of the cell).

Pertanyaan 3: Apa konsekuensi yang lazim ditemukan dan kemungkinan komplikasi


dari penyakit ini?
Reaksi jaringan terhadap cacing cambuk biasanya ringan. Sebagian besar individu yang
terinfeksi tidak menunjukkan gejala atau memiliki eosinofilia ringan. Infeksi berat dapat
menyebabkan gejala abdominal (nyeri, anoreksia, diare berdarah, dll.) seperti yang
digambarkan dalam kasus ini. Gejalanya sering menyerupai penyakit radang usus (IBD/
inflammatory bowel disease). Seperti kebanyakan parasit cacing lainnya, infeksi berat
memerlukan paparan berulang terhadap telur bentuk infektif dan infeksi berulang pada saluran
GI. Prolaps rektal dapat terjadi pada anak-anak akibat infeksi yang masif, akibat iritasi dan
mengejan saat buang air besar. Infeksi cacing cambuk yang cukup berat juga dapat
menghambat proses pertumbuhan (growth retardation).

Pertanyaan 4: Bagaimana penyakit ini ditularkan?


Penyakit dimulai ketika seseorang menelan telur dalam bentuk infektif yang paling sering
ditemukan di tanah yang dipupuk dengan kotoran manusia. Prevalensinya berhubungan
langsung dengan sanitasi yang buruk dan higienitas yang buruk pada anak kecil. Parasit ini
tersebar secara global di daerah tropis dan subtropis, tetapi paling sering terlihat di antara
anak-anak yang tinggal di daerah miskin. Tidak diketahui hewan apa yang menjadi inang
untuk T. trichiura, sehingga infeksinya tidak bersifat zoonosis.

Pertanyaan 5: Bagaimana parasit ini diidentifikasi oleh laboratorium?


Telur cacing cambuk berbentuk buah lemon yang khas mudah dideteksi pada pemeriksaan
spesimen tinja ketika kasusnya bergejala. Cacing dewasa dengan panjang 3-5 cm terkadang
dapat terlihat pada proktoskopi.

Pertanyaan 6: Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan pada penyakit ini?


Mebendazole atau albendazole keduanya aman dan efektif. Pencegahan infeksi cacing
cambuk dapat tercapai dengan edukasi yang baik kepada masyarakat mengenai personal
hygiene yang baik, sanitasi yang memadai, dan menghindari penggunaan kotoran manusia
sebagai pupuk.

SUMBER BACAAN:

 Harrison's Principles of Internal Medicine 


 Cecil Essentials of Medicine
 Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer, tentang Keracunan makanan.
A. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
1. Morfologi dan Siklus Hidup
Cacing jantan mempunyai panjang 10-30 cm sedangkan
cacing betina 22-35 cm. Cacing betina dapat bertelur 100 000 -
200 000 butir sehari, terdiri atas telur dibuahi dan telur tidak
dibuahi. Di tanah yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih tiga minggu.
Bila telur infektif tertelan, telur akan menetas menjadi larva
di usus halus. Selanjutnya larva menembus dinding usus halus
menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu terbawa aliran
darah ke jantung dan paru. Di paru, larva menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus,
kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari
trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan rangsangan di
faring sehingga penderita batuk dan larva tertelan ke dalam
esofagus, lalu ke usus halus. Di usus halus larva berubah
menjadi cacing dewasa. Sejak telur infektif tertelan sampai
cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan
(Gambar 1).
Gambar 1. Siklus Hidup Cacing Gelang
2. Gejala Klinis
a. Fase migrasi larva
Pada fase migrasi, larva dapat mencetus timbulnya reaksi
pada jaringan yang dilaluinya. Di paru, antigen larva menimbulkan
respons inflamasi berupa infiltrat yang tampak pada foto toraks
dan akan menghilang dalam waktu tiga minggu. Terdapat gejala
pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering,
demam dan pada infeksi berat dapat timbul dahak yang disertai
darah. Pneumonia yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE
disebut sindrom Loeffler.Larva yang mati di hati dapat
menimbulkan granuloma eosinofilia.
b. Fase intestinal
Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang
menimbulkan gejala klinis. Jika terdapat gejala klinis biasanya
tidak khas yaitu mual, nafsu makan berkurang, diare atau
konstipasi, lesu, tidak bergairah, dan kurang konsentrasi. Cacing
Ascaris dapat menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin
A dan mikronutrisi. Pada anak infeksi kronis dapat menyebabkan
kegagalan pertumbuhan akibat dari penurunan nafsu makan,
terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi.
Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam
usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).Selain itu cacing
dewasa dapat masuk ke lumen usus buntu dan dapat menimbulkan
apendisitis (radang usus buntu) akut atau gangren.Jika cacing
dewasa masuk dan menyumbat saluran empedu dapat terjadi
kolik, kolesistitis (radang kantong empedu), kolangitis (radang
saluran empedu), pangkreatitis dan abses hati.Selain ke bermigrasi
ke organ, cacing dewasa juga dapat bermigrasi keluar melalui
anus, mulut atau hidung. Migrasi cacing dewasa dapat terjadi
karena rangsangan seperti demam tinggi atau obat- obatan.

3. Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A.lumbricoides
pada sediaan basah tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja
dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
berat ringannya infeksi. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing
dewasa keluar sendiri melalui mulut,hidung atau anus.
4. Pengobatan
Albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk
askariasis. Dosis albendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2
tahun adalah 400 mg per oral. WHO merekomendasikan dosis 200
mg untuk anak usia 12 – 24 bulan. Dosis mebendazol untuk dewasa dan
anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg. Albendazol dan mebendazol
diberikan dosis tunggal. Pirantel pamoat dapat digunakan untuk
ascariasis dengan dosis 10–11 mg/kg BB per oral, dosis maksimum 1
gram.
Tindakan operatif diperlukan pada keadaan gawat darurat
akibat cacing dewasa menyumbat saluran empedu dan
apendiks.Pengobatan askariasis harus disertai dengan perubahan
perilaku hidup bersih sehat dan perbaikan sanitasi.

B. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)


1. Morfologi dan siklus hidup
Cacing betina panjangnya ± 5 cm, sedangkan cacing jantan ± 4
cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya ± 3/5 dari
panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk;
pada cacing betina bulat tumpul sedangkan pada cacing jantan
melingkar dan terdapat satu spikulum. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari sebanyak 3.000 -10.000
butir.

Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja.


Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6
minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu di tanah yang lembab
dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan
merupakan bentuk infektif. Bila telur matang tertelan, larva akan
keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.
Sesudah menjadi dewasa cacing akan turun ke usus bagian distal
dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Cacing dewasa hidup
di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya yang
seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. T. trichiura tidak
mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan
sampai cacing dewasa betina bertelur ± 30 - 90 hari (Gambar 2).
Gambar 2. Siklus Hidup Cacing Cambuk

2. Patofisiologi dan gejala klinis


T. trichiura menyebabkan penyakit yang disebut trikuriasis. Trikuriasis
ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama
sekali tanpa gejala. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing
tersebar di seluruh kolon dan rektum sehingga dapat menimbulkan
prolapsus rekti (keluarnya dinding rektum dari anus) akibat Penderita
mengejan dengan kuat dan sering timbul pada waktu defekasi. Selain
itu Penderita dapat mengalami diare yang diselingi sindrom disentri atau
kolitis kronis, sehingga berat badan turun.Bagian anterior cacing yang
masuk ke dalam mukosa usus menyebabkan trauma yang menimbulkan
peradangan dan perdarahan.T. trichiura juga mengisap darah hospes,
sehingga mengakibatkan anemia.

3. Diagnosis
Diagnosis trikuriasis ditegakkan dengan menemukan telur pada
sediaan basah tinja langsung atau menemukan cacing dewasa pada
pemeriksaan kolonoskopi. Telur T. trichiura memilki karakteristik seperti
tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih di kedua kutub
sehingga mudah untuk diidentifikasi(Tabel1.) Penghitungan telur per gram
tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk
menentukan berat ringannya infeksi.
4. Pengobatan
Obat untuk trikuriasis adalah albendazol 400 mg selama 3
hari ataumebendazol 100mg 2x sehari selama 3 hari berturut-turut.

C. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)


1. Morfologi dan Siklus Hidup
Dua spesies utama cacing tambang yang menginfeksi manusia
adalah
A. duodenale dan N. americanus. Cacing betina berukuran panjang ±
1 cm sedangkan cacing jantan berukuran ± 0,8 cm. Cacing jantan
mempunyai bursa kopulatriks. Bentuk badan N. americanus
biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale
menyerupai huruf C.

N. americanus tiap hari bertelur 5.000-10.000 butir, sedangkan


A. duodenale 10.000-25.000 butir. Rongga mulut N. americanus
mempunyai benda kitin, sedangkan A. duodenale mempunyai dua
pasang gigi yang berfungsi untuk melekatkan diri di mukosa usus.

Telur dikeluarkan bersama feses dan pada lingkungan yang sesuai


telur menetas mengeluarkan larva rabditiform dalam waktu 1- 2
hari. Larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform dalam waktu
± 3 hari. Larva filariform bertahan hidup 7 - 8 minggu di tanah dan
dapat menembus kulit. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga dapat terjadi dengan
menelan larva filariform.
Bila larva filariform menembus kulit, larva akan masuk ke
kapiler darah dan terbawa aliran darah ke jantung dan paru. Di paru
larva menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus,
kemudian masuk rongga alveolus, dan naik ke trakea melalui
bronkiolus dan bronkus menuju ke faring. Di faring larva akan
menimbulkan rangsangan sehingga penderita batuk dan larva
tertelan masuk ke esofagus. Dari esofagus, larva menuju ke usus
halus dan akan tumbuh menjadi cacing dewasa (Gambar 3).
2. Patofisiologi dan Gejala Klinis
a. Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit,
maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch yaitu reaksi
lokal eritematosa dengan papul-papul yang disertai rasa gatal.
Infeksi larva filariform A. duodenale secara oral
menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi
faringeal, batuk, sakit leher, dan suara serak. Larva cacing di paru
dapat menimbulkan pneumonitis dengan gejala yang lebih ringan
dari pnemonitis Ascaris.

Gambar 3. Siklus hidup cacing tambang

b. Stadium dewasa
Manifestasi klinis infeksi cacing tambang merupakan akibat
dari kehilangan darah karena invasi parasit di mukosa dan
submukosa usus halus. Gejala tergantung spesies dan jumlah
cacing serta keadaan gizi Penderita. Seekor N. americanus
menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 - 0,1 cc/hari,
sedangkan A. duodenale 0,08 - 0,34 cc/hari. Biasanya terjadi
anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia. Cacing tambang
biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan
berkurang dan prestasi kerja turun.
3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Morfologi
dan karakteristik talur cacing tambang dapat di lihat pada Tabel 1.
Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai
sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi
4. Pengobatan
Obat untuk infeksi cacing tambang adalah albendazol dosis tunggal
400 mg oral atau mebendazol 2X100mg/hari atau pirantel pamoat 11 mg
/ kgBB, maksimum 1 gram. Mebendazol dan pirantel pamoat diberikan
selama 3 hari berturut-turut. WHO merekomendasikan dosis albendazol
yaitu 200 mg untuk anak usia 12 – 24 bulan. Untuk meningkatkan
kadar haemoglobin perlu diberikan asupan makanan bergizi dan
suplementasi zat besi.

KASUS 2: Gastroenteritis terkait makanan cepat saji (Campylobacter jejuni)

Sebuah keluarga beranggotakan lima orang (dengan masing-masing anak berusia 3, 4, dan 5 tahun)
memutuskan pergi ke restoran cepat saji favorit mereka untuk makan siang. Semua orang memesan
ayam, kentang goreng dan soft drink berukuran besar. Sang ibu memperhatikan bahwa potongan
ayam berwarna agak merah muda di tengahnya dan ingin mengembalikannya ke konter. Karena
anak-anak sudah sangat lapar dan mulai ribut di dalam mobil, sang Ibu khawatir mereka akan
mengamuk jika ditunda lagi, sehingga Ibu tidak jadi mengembalikannya. Selain itu, rasa ayam
tersebut juga enak, sehingga sang ibu memutuskan untuk tidak perlu khawatir tentang apa pun.
Keesokan harinya, ibu dan dua anaknya mulai mengalami demam, sakit kepala, mialgia, dan
malaise. Mereka tidak segera mencari pertolongan medis karena menganggap gejalanya tidak
terlalu berat. Gejalanya terus berlanjut di hari berikutnya, ketiganya mulai mengeluhkan diare cair,
kram perut, dan demam terus-menerus. Keesokan paginya, ketiganya buang air besar sekitar 10 kali
dan merasa diarenya akan terus berlanjut, sehingg akhirnya mereka memutuskan untuk menemui
dokter keluarga. Pada pemeriksaan, tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali suhu badan yang
berkisar antara 38-38,5ºC. Pemeriksaan fisik secara umum tidak ditemukan tanda-tanda yang berat,
kecuali kedua anaknya menunjukkan tanda-tanda dehidrasi ringan. Spesimen apusan tinja diperiksa
secara mikroskopis dan ditemukan mengandung darah segar (fresh blood) dan PMN (paling jelas
terlihat pada spesimen kedua anak). Tidak ada tanda-tanda kista atau telur protozoa. Sang ibu
khawatir terkait ayam yang mereka makan sebelumnya, tetapi tidak sepenuhnya yakin karena hanya
tiga anggota keluarga yang sakit.

TUJUAN PEMBELAJARAN:

Gastroenteritis merupakan suatu proses infeksi pada sistem gastrointestinal dengan berbagai macam
etiologi. Skenario ini bertujuan agar mahasiswa mampu:

- Menggunakan pengetahuan dasar ilmu kedokteran (Anatomi, Fisiologi, Hitologi dan


Biokimia) dan mengintegrasikannya pada blok gangguan sistem gastrointestinal, hepatobilier
dan pankreas, berdasarkan gejala pasien, temuan klinis dan hasil investigasi kasus.
- Mengetahui berbagai sumber, manifestasi klinis dan etiologi Gastroenteritis serta
mendapatkan rasionalitas pemeriksaan diagnostik dan konsep dasar manajemen kasus
tersebut.
- Mampu membedakan Gastroenteritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Campylobacter
jejuni, Salmonella (Thypoid), Shigella (Disentri Basiler), Entamoeba Histolytica (Disentri
Amoeba), Giardia Lamblia (Giardiasis), Vibro Cholera (Kolera).

FRAMEWORK
G A STR O EN TERITIS BA KTERI
Campylobacter jejuni

Salmonella (Thypoid)

Shigella (Disentri Basiler) 

Entamoeba Histolytica (Disentri Amoeba)

Giardia Lamblia (Giardiasis)

Vibro Cholera (Kolera)

PANDUAN DISKUSI PBL:

Pertanyaan 1: Apa diagnosis awal Anda?


Kombinasi demam, leukosit dan eritrosit pada tinja merupakan indikasi diare inflamasi.
Diagnosis banding termasuk infeksi Salmonella (Thypoid), Shigella (Disentri
Basiler),  Campylobacter jejuni, Giardia Lamblia (Giardiasis), Entamoeba Histolytica
(Disentri Amoeba), Vibro Cholera (Kolera), dan patogen GI lainnya. Sulit untuk secara akurat
membedakan penyakit-penyakit ini berdasarkan gejalanya saja karena gejalanya hampir sama.
Diagnosis definitif harus didasarkan pada kultur dan identifikasi agen penyebab.

Pertanyaan 2: Tes apa yang harus dilakukan?


Sampel tinja harus diperiksa untuk mengetahui kemungkinan agen penyebab. Kultur tinja
juga harus dimintakan, dan petugas lab harus diberi tahu berbagai kemungkinan yang
dicurigai, sehingga mereka dapat menggunakan media yang sesuai.
Hasil tes
Pewarnaan Gram dari sampel tinja menunjukkan adanya basil melengkung Gram-negatif pada
masing-masing sampel. Isolat diperoleh dari masing-masing sampel feses dan diidentifikasi
sebagai Campylobacter jejuni.

Pertanyaan 3: Bagaimana laboratorium mendeteksi dan mengidentifikasi agen penyebab ini?


Ketika enteritis Campylobacter dicurigai atas dasar temuan yang menunjukkan diare inflamasi
(demam, leukosit tinja), dokter dapat meminta pemeriksaan laboratorium untuk mencoba
memvisualisasikan bakteri dengan morfologi karakteristik vibrioid dengan pemeriksaan
mikroskopis tinja secara langsung baik dengan pewarnaan Gram atau dengan mikroskop medan
gelap untuk mengamati karakteristik "darting motility” Campylobacter. Untuk Konfirmasi
diagnosis memerlukan identifikasi isolat bakteri yang dibiakkan dari tinja, darah, atau sampel
lainnya. Media khusus Campylobacter harus digunakan untuk mengisolasi organisme ini. Deteksi
organisme dalam sampel tinja hampir selalu menandakan infeksi.

Pertanyaan 4: Bagaimana agen penyebab ini menyebabkan diare?


Patogenesis infeksi tidak diketahui secara pasti. Motilitas dan kemampuan C. jejuni untuk
menempel pada jaringan inang yang tampaknya berperan menyebabkan penyakit, sedangkan
enterotoksin dan sitotoksin klasik (yang telah dijelaskan) tampaknya tidak memainkan peran
penting dalam menyebabkan cedera jaringan atau produksi penyakit. Organisme tersebut telah
divisualisasikan dalam sel epitel, meskipun dalam jumlah yang sedikit. Dokumentasi respon
jaringan yang signifikan dan bakteremia C. jejuni yang sesekali terjadi lebih lanjut menunjukkan
bahwa invasi jaringan berimplikasi signifikan secara klinis. Terlepas dari mekanisme apa yang
terlibat, lokasi cedera jaringan meliputi jejunum, ileum, dan usus besar. Biopsi menunjukkan reaksi
peradangan nonspesifik akut, dengan neutrofil, monosit, dan eosinofil di lamina propria. Terdapat
juga kerusakan pada epitel, termasuk hilangnya mukus, degenerasi kelenjar, dan abses kriptus
(crypt abscesses).

Pertanyaan 5: Bagaimana epidemiologi pada penyakit ini?


C. jejuni adalah penghuni umum sistem pencernaan berbagai hewan dan burung, sehingga sebagian
besar infeksi pada manusia bersifat zoonosis. Manusia mendapatkan infeksi setelah mengkonsumsi
air, makanan, atau susu yang terkontaminasi. Produk unggas yang terkontaminasi (termasuk telur)
bertanggung jawab atas lebih dari separuh infeksi C. jejuni pada negara maju, terutama bila
makanan tersebut tidak dimasak dengan matang (jelas menjadi faktor dalam kasus ini). Infeksi juga
bisa berasal dari daging yang kurang matang, produk susu, dan paparan hewan peliharaan yang
terinfeksi. C.jejuni adalah penyebab paling sering gastroenteritis bakterial di AS. Jumlah kasus
sebenarnya tidak diketahui (karena penyakit ini tidak dilaporkan secara khusus), tetapi diperkirakan
> 2,5 juta kasus terjadi setiap tahun (lebih banyak bila dibandingkan dengan kombinasi total jumlah
kasus infeksi Salmonella dan Shigella).
Pertanyaan 6: Mengapa hanya ada tiga anggota keluarga saja yang sakit?
Kemungkinan besar, potongan ayam yang dikonsumsi oleh ayah dan anak satunya lagi yang
tidak sakit dimasak cukup matang hingga dapat membunuh kontaminan C. jejuni pada
ayam. Sedangkan tiga potong ayam lainnya dimasak kurang matang.

Pertanyaan 7: Bagaimana penanganan kasus ini?


Penyakit ini biasanya sembuh dalam 7 hari, namun rekurensi penyakit dapat mungkin terjadi.
Pengobatan dengan regimen eritromisin atau siprofloksasin mungkin dapat bermanfaat pada
kasus diare Campylobacter sedang atau berat.

SUMBER BACAAN:

 Harrison's Principles of Internal Medicine 


 Cecil Essentials of Medicine
 Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer, tentang Keracunan makanan.

 DEMAM TIFOID
Keluhan (Subjective)
1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam
kontinu) hingga minggu kedua.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal
3. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual,
muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.
Faktor Risiko
o Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.
o Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,
makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
o Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
o Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari- hari.
o Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
o Kondisi imunodefisiensi.
Pemeriksaan Fisik (Objective)
1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.
2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang ringan,
seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma)
3. Demam, suhu > 37,5C.
4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
denyut per menit setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius.
5. Ikterus
6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis
7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali
8. Delirium pada kasus yang berat
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran seperti
berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan
gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis dapat menunjukkan: leukopenia/
leukositosis/ jumlah leukosit normal, limfositosis relatif, monositosis,
trombositopenia (biasanya ringan), anemia.
2. Serologi
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex- TF) Hanya dapat mendeteksi antibody
IgM Salmonella typhi. Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)
1) Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi
2) Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi
Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari. Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin
O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5 – 7 hari. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang
dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan
standaridisasi kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya
dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang dapat
mengakibatkan over-diagnosis dan over-treatment.
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard) Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carriertyphoid
4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar lipase dan
amilase
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Suspek demam tifoid (Suspect case) jika dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam, gangguan saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya
dibuat pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Demam tifoid klinis (Probable case)
jika Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.
 DISENTRI BASILER DAN DISENTRI AMUBA
1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan buang air besar encer secara terus menerus
bercampur lendir dan darah
2. Muntah-muntah
3. Sakit kepala
4. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae dengan
gejalanya timbul mendadak dan berat, dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong.
5. Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab.
KASUS 3: Pasien dengan Diare (Rotavirus)

Pasien anak laki-laki berusia 1 tahun dirawat di rumah sakit karena dehidrasi. Orang tuanya
melaporkan bahwa dia memiliki riwayat demam, diare, emesis, dan penurunan produksi urin
selama 1 hari. Saat masuk, tanda vitalnya menunjukkan suhu 39,5C, takikardia dengan denyut
nadi 126 kali/menit, dan pernapasan 32 kali/menit. Tidak seperti biasanya, anak tampak
kurang aktif saat ini. Pemeriksaan fisik secara umum tampak mulut kering, air mata
berkurang saat menangis dan suara usus hiperaktif. Urinalisis signifikan untuk berat jenis dan
keton yang tinggi. Sampel feses, darah, dan urin dikirim untuk kultur. Sampel tinja juga
diperiksa untuk sel telur dan parasit. Tidak ditemukan leukosit pada feses. Pasien diberi saline
normal intravena dan tidak mendapat asupan oral. Selama 48 jam berikutnya emesisnya
mereda. Begitu dia direhidrasi dan mentolerir pemberian makan oral, dia dipulangkan ke
rumah. Semua biakan rutin memberikan hasil negatif.

TUJUAN PEMBELAJARAN:

Saat ini, Gastroenteritis akut (GEA) atau diare masih menjadi salah satu penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada anak di negara berkembang. Skenario ini bertujuan agar
mahasiswa mampu:

- Menggunakan pengetahuan dasar ilmu kedokteran (Anatomi, Fisiologi, Hitologi dan


Biokimia) dan mengintegrasikannya pada blok gangguan sistem gastrointestinal,
hepatobilier dan pankreas, berdasarkan gejala pasien, temuan klinis dan hasil investigasi
kasus.
- Mengetahui berbagai sumber, manifestasi klinis dan etiologi GEA serta mendapatkan
rasionalitas pemeriksaan diagnostik dan konsep dasar manajemen kasus tersebut.
G A S T R O E N T E R IT IS

FRAMEWORK

DIARE AKUT

DIARE KRONIK

VIRUS

BAKTERI
PANDUAN DISKUSI PBL:

1. Anamnesis yang perlu ditanyakan pada pasien dengan keluhan diare.


 Bandingkan frekuensi dan pola pasien yang biasa atau normal dengan pola
atau frekuensi saat ini.
 Tanyakan tentang ciri-cirinya
 Encer, besar, berwarna, adanya darah atau nanah/ lendir
 BAB berbau busuk, berminyak
 Perubahan bau
 Perubahan waktu
 Frekuensi, durasi
 Berkelanjutan, terputus-putus
 Waktu siang atau malam
 Diare bergantian dengan konstipasi : Irritable bowel syndrome, Kanker
usus besar
 Peristiwa pencetus seperti makanan atau obat-obatan
 Hal yang dapat membantu Mengurangi Gejala
 Membaik dengan puasa : Diare osmotik
 Tanyakan tentang gejala terkait
 Demam, mual, muntah, sakit perut, anoreksia  Diare inflamasi
 Perut kembung dan kembung : Penyakit mukosa usus
 Tanyakan tentang faktor predisposisi seperti perjalanan, diet, riwayat obat,
riwayat keluarga, masalah bedah dan medis lainnya.

2. Pemeriksaan Fisik yang perlu dilakukan pada pasien dengan keluhan diare.
 Penilaian dehidrasi dan derajatnya,
 Status gizi,
 Darah di tinja,
 Bising usus
 Distensi abdomen,

3. Definisi BAB normal.


 Frekuensi buang air besar yang normal berkisar tiga kali seminggu atau tiga
kali sehari
 Berat 200 g/hari
4. Definisi Diare
- Definisi diare agak kontroversial tergantung pada pasien serta perspektif dokter.
 Pasien biasanya menganggap diare sebagai peningkatan frekuensi harian,
cairan, atau volume feses. Juga urgensi untuk buang air besar.
 Secara ilmiah, diare terjadi jika lebih dari 300 gram feses dikeluarkan setiap
hari.
 Secara klinis, dapat didefinisikan sebagai buang air besar lebih dari 3 hari.
 Berkaitan dengan kebiasaan BAB pasien sebelumnya.
- Penting untuk melakukan anamnesis yang baik dan mengajukan pertanyaan yang
tepat mengenai kebiasaan BAB pasien. Jangan hanya fokus pada pernyataan
pasien tentang diare.

5. Bagaimana kita mengklasifikasikan Diare secara klinis?


 Diare yang berlangsung selama dua minggu atau kurang dianggap sebagai
Diare Akut.
 Diare yang berlangsung lebih dari dua minggu atau intermiten selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun dianggap sebagai Diare Kronis.

6. Apa perbedaan diare akut dan kronis?


 Diare Akut
 berlangsung dua minggu atau kurang
 tidak memerlukan pemeriksaan diagnostik
 pengobatan simtomatik (cairan)
 Diare akut harus diselidiki jika ditemukan
 bukti invasi jaringan seperti darah atau nanah/lendir di tinja
 demam
 leukositosis
 Dehidrasi berat disertai kehilangan cairan dan elektrolit yang signifikan
 Diare kronis
 bertahan lebih dari dua minggu
 atau terputus-putus selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun
 memerlukan pemeriksaan diagnostik dan strategi perawatan

7. Klasifikasikan diare kronis.


- Diare kronis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
 Steatorrhea : Keluarnya feses yang mengandung banyak lemak (>7 gram lemak
feses/24 jam atau lebih dari 10% lemak yang dicerna)
 Diare berair
 Diare osmotik. Konsekuensi dari peningkatan jumlah zat terlarut yang sulit
diserap dan aktif secara osmotik di lumen usus
 Defisiensi disakarida/defisiensi laktase
 Menelan obat-obatan seperti obat pencahar dan antasida yang
mengandung magnesium atau fosfat
 Permen karet (sorbitol)
 Diare sekretorik: Sekresi elektrolit dan air melebihi absorpsi atau absorpsi
elektrolit dan air terganggu
 Obat pencahar/minyak jarak tertentu
 Toksin/infeksi bakteri
 Peradangan eksudatif pada mukosa usus dapat menyebabkan nanah, lendir,
darah, protein
 E. histolytica
 Giardia
 Dismotilitas usus
 Peningkatan motilitas/hipertiroidisme
 Waktu transit yang tertunda disertai pertumbuhan bakteri

8. Etiologi GEA pada Kasus ini


BAB Hampir 80% kasus GEA yang terjadi pada anak disebabkan oleh infeksi
virus. Sisanya disebabkan oleh bakteri dan parasit. Umumnya virus penyebab GEA
adalah Rotavirus, Adenovirus enteric, dan virus Norwalk. Virus penyebab lainnya
yang lebih jarang yaitu calicivirus dan astrovirus. Rotavirus merupakan penyebab
pada 1/3 kasus GEA, termasuk yang rawat inap. Meskipun jauh lebih jarang dari virus,
bakteri penyebab GEA Antara lain Campylobacter jejuni, Salmonella spp, Shigella
spp, Yersinia enterocolica dan spesies Eschericia coli.

9. Tatalaksana apa yang perlu dihindari pada kasus ini


 ANTI DIARE
Obat-obatan anti diare tidak memiliki manfaat dan tidak pernah disarankan untuk
pengobatan diare akut, terutama pada anak. Obat-obatan tersebut tidak mencegah
dehidrasi atau memperbaiki status nutrisi, yang merupakan tujuan pengobatan
diare. Beberapa di antara obat-obatan tersebut berbahaya karena risiko efek
samping yang berat. Adsorbents (kaolin, pectin, activated charcoal) tidak
bermanfaat untuk terapi GEA. Adsorben hanya sedikit mengubah konsistensi tinja
tetapi tidak bisa mengurangi kehilangan cairan dan garam. Kaolin tidak boleh
diberikan pada infeksi E coli, salmonella, shigella. Pada kasus diare yang ada
darahnya serta bila ada kecurigaan obstruksi usus dan berbagai kasus bedah
lainnya, kaolin juga tidak boleh diberikan. Efek samping yang dapat ditimbulkan
dari pemberian kaolin yaitu terkumpulnya dan terperangkapnya tinja di usus besar
sehingga racun-racun yang seharusnya dikeluarkan oleh tubuh kita akan meracuni
tubuh kita yang biasa disebut sebagai Toxic megacolon. Garam Bismuth umumnya
disediakan dalam bentuk pepto- bismol. Penelitian menunjukkan risiko terjadinya
Sindrom Reye pada bayi dan anak.

 ANTI MOTILITAS (Tinktur Opium atau Loperamid)


Obat-obatan jenis ini berbahaya, terutama untuk anak-anak < 5 tahun. Untuk
sementara obat ini akan mengurangi kram dan nyeri tetapi obat ini menunda
dibuangnya organisme penyebab diare dan memperpanjang penyakitnya. Obat-
obatan ini berbahaya dan berakibat fatal bila diberikan pada bayi.

 ANTIEMETIK (Ondansetron)
Adanya kecenderungan pemberian ondansetron yang sangat tinggi saat ini untuk
kasus-kasus mual/muntah, baik pada kehamilan maupun pada kasus GEA. Sampai
saat ini, ondansetron terregistrasi hanya diindikasikan untuk kasus mual/muntah
pada kemoterapi, radioterapi, dan pasca operasi (tidak rutin).
KASUS 4: Keracunan makanan akibat bakteri (Bacillus cereus)

Tiga mahasiswa kedokteran makan siang di warung lokal yang terkenal dengan harganya
yang murah dibandingkan kualitas makanannya. Mereka makan dengan menu sayur asam,
lumpia, nasi goreng, dan tiga jenis makanan pembuka lainnya. Karena porsi makanannya
banyak, mereka membawa pulang sisa makanan yang tidak mereka habiskan dan disimpan
dalam lemari es. Dua hari kemudian mereka menghangatkan kembali makanan tersebut untuk
makan siang. Dua jam setelah makan, tepat di tengah jam pelajaran blok Gangguan
Gastrointestinal, Hepatobilier dan Pankres, ketiga mahasiswa tersebut mengeluh ingin muntah
dan segera keluar dari kelas. Gejala mual, muntah, dan kram perut yang berat pun dirasakan
oleh ketiganya, namun hanya satu dari mereka yang mengalami diare (yang mana relatif
ringan). 
Menjadi mahasiswa kedokteran dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan berdedikasi untuk
selalu melatih keterampilan diagnostik mereka, akhirnya mereka pun saling memeriksa tanda-
tanda vital satu sama lain, yang ternyata masih dalam batas normal. Konsistensi feses
mahasiswa yang mengalami diare tampak encer, tidak terlihat adanya darah atau
lendir. Gejala-gejala yang dirasakan ketiga mahasiswa tersebut mereda dengan sendirinya
dalam waktu 10 jam, tanpa pengobatan dan tanpa gejala sisa. Tidak satu pun dari ketiganya
yang pernah bepergian ke luar kota dalam enam bulan terakhir. Makanan yang dihangatkan
kembali adalah satu-satunya makanan yang mereka makan bersama sejak makan siang
mereka di restoran 2 hari yang lalu. Gejala ketiga korban mereda dalam waktu 10 jam, tanpa
pengobatan dan tanpa gejala sisa yang nyata. 
TUJUAN PEMBELAJARAN:

Keracunan makanan merupakan salah satu permasalahan serius pada gangguan


gastrointestinal dan sering kali terjadi dalam kelompok. Skenario ini bertujuan agar
mahasiswa mampu:

- Menggunakan pengetahuan dasar ilmu kedokteran (Anatomi, Fisiologi, Hitologi dan


Biokimia) dan mengintegrasikannya pada blok gangguan sistem gastrointestinal,
hepatobilier dan pankreas, berdasarkan gejala pasien, temuan klinis dan hasil investigasi
kasus.
- Mengetahui berbagai sumber, manifestasi klinis dan etiologi Keracunan makanan serta
mendapatkan rasionalitas pemeriksaan diagnostik dan konsep dasar manajemen kasus
tersebut.
- Mampu membedakan keracuanan makanan terkait infeksi Bacillus cereus dan Clostridium
botulinum, juga kemungkinan lain seperti keracunan racun alam, dan insektisida.

FRAMEWORK

KERACUNAN
MAKANAN

Bacillus Clostridium Keracunan


Insektisida
Cereus Botulinum racun alam

PANDUAN DISKUSI PBL:

Pertanyaan 1: Bagaimana insiden penyakit ini dapat terjadi?


Fakta bahwa ketiga mahasiswa tersebut mulai bergejala pada saat yang sama menunjukkan
kesamaan sumber penyakit yang mereka alami. Air atau makanan yang terkontaminasi
merupakan sumber paling umum penyebab keluhan gastrointestinal.  Tidak ada riwayat
melakukan perjalanan ke luar daerah menyingkirkan dugaan adanya kejadian Traveler's
diarrhea yang kerap menyerang para pelancong atau seseorang yang sedang bepergian ke
daerah tertentu. Kemungkinan besar penyebab kasus ini adalah makanan yang
terkontaminasi. Kurangnya bukti adanya infeksi mikroba aktif menunjukkan beberapa jenis
toksin yang berhubungan dengan keracunan makanan. Makanan di warung makan adalah
sumber masalah yang paling mungkin pada kasus ini, dikarenakan makanan tersebut yang
secara bersama-sama dimakan oleh ketiganya selama beberapa hari terakhir. Secara teoritis
mereka bisa saja terinfeksi saat memakan makanan yang disajikan pertama kali di warung saat
itu, tetapi makanan yang disimpan dan kemudian dihangatkan kembali akan lebih
mengarahkan akan etiologi dari kasus tersebut.
Pertanyaan 2: Apa agen penyebab yang paling mungkin?
Dengan asumsi bahwa makanan yang dihangatkan kembali yang menjadi penyebab keluhan
pada kasus ini, kita dihadapkan pada fakta bahwa masa inkubasinya yang sangat singkat
(hanya sekitar 2 jam). Bentuk keracunan makanan oleh karena mikroba yang muncul dalam
waktu singkat biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Bacillus cereus. (Perlu
diingat bahwa tidak selalu pasti mendiagnosis keracunan makanan akibat bakteri hanya
berdasarkan waktu inkubasi; karena waktu inkubasi dapat bervariasi tergantung pada jumlah
organisme atau jumlah toksin yang dikonsumsi). Nasi goreng yang dihangatkan kembali
dicurigai menjadi penyebab masalah pada kasus ini, dan organisme yang paling sering
diasosiasikan dengan makanan tersebut adalah Bacillus cereus. Faktanya, sebagian besar
kasus keracunan makanan akut B. cereus dengan masa inkubasi singkat (< 6 jam)
berhubungan dengan nasi goreng yang dihangatkan kembali.

Pertanyaan 3: Bagaimana agen penyebab ini menghasilkan suatu penyakit?


B. cereus merupakan jenis bakteri pembentuk spora yang umumnya terdistribusi luas di
lingkungan alami. Jika nasi telah terkontaminasi dengan spora B. cereus, teknik menggoreng
dalam kurun waktu singkat (flash fry) yang sering digunakan untuk menyiapkan hidangan
nasi tertentu (misalnya nasi goreng), tidak dapat mencapai suhu yang cukup untuk
menghancurkan spora (yang mana spora tersebut sangat tahan panas). Faktanya, memasak
sebenarnya dapat mengaktivasi spora, yang kemudian dapat berkecambah dan tumbuh pada
nasi goreng saat disimpan dalam lemari es. Saat organisme tersebut mulai tumbuh, ia akan
menghasilkan enterotoksin stabil yang tidak dapat dinonaktifkan dengan pemanasan ulang.

Kontaminasi nasi dengan B. cereus juga dikaitkan dengan praktik yang digunakan di banyak
restoran Asia, di mana porsi besar nasi rebus ditiriskan/ dikeringkan tanpa proses refrigerasi
untuk menghindari penggumpalan. Perebusan secara alami mengaktivasi spora B. cereus yang
ada di dalam nasi, kemudian berkecambah, tumbuh, dan menghasilkan enterotoksin tahan
panas di dalam nasi yang tidak didinginkan saat dikeringkan. Teknik menggoreng nasi dalam
kurun waktu singkat tidak dapat menonaktifkan toksin saat akan disiapkan. Dalam kasus ini,
ketiga mahasiswa tersebut sakit akibat makanan yang mereka makan saat berada di warung,
bukan karena makanan sisa yang dibawa pulang.

Beberapa eksotoksin yang dihasilkan oleh strain B. cereus dapat berkontribusi pada


patogenisitasnya. Salah satunya menghasilkan gejala muntah ketika diberikan ke monyet
rhesus, tetapi tidak menyebabkan akumulasi cairan di usus kelinci, dan tidak merangsang
sistem adenylate cyclase-AMP (seperti halnya toksin kolera).

Pertanyaan 4: Apakah agen penyebab ini menghasilkan penyakit GI lain?


B. cereus sedikitnya menghasilkan dua bentuk keracunan makanan. Bentuk emetik yang
diperlihatkan dalam kasus ini memiliki masa inkubasi yang relatif singkat (1-6 jam) dan
terutama menyebabkan mual, muntah, dan kram perut. Diare dapat mungkin terjadi, tetapi
hanya pada 1/3 pasien. Bentuk emetik melibatkan Staphylococcus aureus-like enterotoxin,
yang kemungkinan besar merupakan toksin emetik penyebab muntah yang dijelaskan di
atas. Penyakit ini hampir selalu dikaitkan dengan nasi goreng yang dihangatkan kembali,
terutama setelah didinginkan terlebih dulu.
Bentuk diare dari keracunan makanan B. cereus memiliki masa inkubasi yang lebih lama (8-
16 jam) dan terutama menyebabkan diare cair dan kram perut. Beberapa pasien dapat
mengeluhkan muntah, tetapi sebagian besarnya tidak. Bentuk diare melibatkan enterotoksin
yang mirip dengan E. coli. Toksin tersebut merangsang sistem adenylate cyclase-AMP dalam
sel epitel usus, sehingga menyebabkan kehilangan cairan. Penyakit ini paling sering dikaitkan
dengan nasi yang digoreng, tetapi juga dikaitkan dengan daging, sayuran, kacang kering, dan
sereal.

Pertanyaan 5: Bagaimana talalaksana penyakit ini?


Pada umumnya tidak diperlukan perawatan khusus untuk kasus keracunan makanan akibat B.
cereus.  Gejalanya hilang dengan sendirinya dalam waktu yang relatif singkat, seperti yang
terjadi pada kasus ini. Penggantian cairan mungkin diperlukan jika kasusnya berat dan
menyebabkan dehidrasi.

Pertanyaan 6: Bagaimana edukasi untuk pencegahan pada kasus ini agar tidak
berulang?
Caranya mudah, jangan biarkan nasi matang dalam suhu ruangan lebih dari satu jam. Nasi
sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin, dan pastikan mengonsumsinya dalam waktu 24
jam. Ketika dipanaskan kembali, penting untuk tak hanya memanaskannya sampai hangat.
Akan tetapi, harus “menguap” sampai matang untuk dimakan kembali.

SUMBER BACAAN:
 Harrison's Principles of Internal Medicine 
 Cecil Essentials of Medicine
 Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer, tentang Keracunan makanan.

Keracunan makanan merupakan suatu kondisi gangguan pencernaan yang disebabkan oleh
konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan zat patogen dan atau bahan kimia,
misalnya Norovirus, Salmonella,Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
Staphylococcus aureus.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

1. Diare akut; Pada keracunan makanan biasanya berlangsung kurang dari 2


minggu.Darah atau lendir pada tinja; menunjukkan invasi mukosa usus atau kolon.
2. Nyeri perut.
3. Nyeri kram otot perut; menunjukkan hilangnya elektrolit yang mendasari, seperti pada
kolera yang berat.
4. Kembung.

Faktor Risiko

1. Riwayat makan/minum di tempat yang tidak higienis


2. Konsumsi daging/unggas yang kurang matang dapat dicurigai untuk Salmonella spp,
Campylobacter spp, toksin Shiga E coli, dan Clostridium perfringens.
3. Konsumsi makanan laut mentah dapat dicurigai untuk Norwalk- like virus, Vibrio spp,
atau hepatitis A.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

 Pemeriksaan Fisik Patognomonis


Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk menilai keparahan dehidrasi.
1. Diare, dehidrasi, dengan tanda-tanda tekanan darah turun, nadi cepat, mulut kering,
penurunan keringat, dan penurunan output urin.
2. Nyeri tekan perut, bising usus meningkat atau melemah.
 Pemeriksaan Penunjang
1. Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari feses untuk telur cacing dan parasit.
2. Pewarnaan Gram, Koch dan metilen biru Loeffler untuk membantu membedakan
penyakit invasifdari penyakitnon-invasif.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

 Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
 Diagnosis Banding
1. Intoleransi
2. Diare spesifik seperti disentri, kolera dan lain-lain.
 Komplikasi : Dehidrasi berat

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

 Penatalaksanaan
1. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis akut adalah self-limiting, pengobatan
khusus tidak diperlukan. Dari beberapa studi didapatkan bahwa hanya 10% kasus
membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan utamanya adalah rehidrasi yang cukup dan
suplemen elektrolit. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian cairan rehidrasi oral
(oralit) atau larutan intravena (misalnya, larutan natrium klorida isotonik, larutan
Ringer Laktat). Rehidrasi oral dicapai dengan pemberian cairan yang mengandung
natrium dan glukosa. Obat absorben (misalnya, kaopectate, aluminium hidroksida)
membantu memadatkan feses diberikan bila diare tidak segera berhenti.
2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus ditentukan dengan
melakukan kultur tinja. Untuk itu harus segera dirujuk.
3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga kebersihan diri.

Konseling dan Edukasi

Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga higiene keluarga dan pasien.

 Kriteria Rujukan
1. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3 hari ditangani dengan adekuat.
2. Pasien mengalami perburukan.
Dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder dengan spesialis penyakit dalam atau spesialis
anak.

Peralatan
1. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
2. Infus set
3. Antibiotik bila diperlukan

Prognosis

Prognosis umumnya bila pasien tidak mengalami komplikasi adalah bonam.

Anda mungkin juga menyukai