Anda di halaman 1dari 100

PENUNTUN PRAKTIKUM

SISTEM RESPIRASI
EDISI 4

Editor
Dr. Oeij Anindita Adhika, dr., MKes.
Grace Puspasari, dr., M Gizi
Dr. Meilinah Hidayat, dr., MKes.

i
Kata Sambutan

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa dan Pengasih, sumber segala ilmu dan
pengetahuan, atas berkat-Nya Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha dapat terus
menerbitkan buku-buku Materi Pengetahuan, Ketrampilan Klinik, dan Penuntun Praktikum
yang diperuntukkan khusus bagi mahasiswa FK UK Maranatha. Buku-buku tersebut ditulis
dan disusun oleh para Staf Pendidikan FK UKM, untuk itu kami Pimpinan sangat menghargai
dan mengucapkan banyak terima kasih kepada semua kontributor dan editor.
Semoga buku-buku ajar ini dapat dimanfaatkan dalam menunjang dan meningkatkan
pengetahuan para peserta didik menuju terciptanya dokter yang profesional dan kompeten
(Five Star Doctor). Namun tentunya tidaklah cukup jika hanya mengandalkan buku-buku ajar
ini saja, para peserta didik tetap harus melengkapi dari sumber lain dan terus mengikuti
perkembangan pengetahuan kedokteran yang melaju pesat.
Akhir kata, Pimpinan dan seluruh Pendidik Fakultas Kedokteran mengucapkan selamat
belajar. Tuhan memberkati.

“Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi


orang bodoh menghina hikmat dan didikan”
(Amsal 1:7)

Studio est Orare


Integrity, Care, and Excellence (ICE)

Bandung, Januari 2020


Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha

Lusiana Darsono, dr., MKes.

ii
Kata Sambutan

Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas diterbitkannya buku penunjang pembelajaran
di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha yang merujuk pada Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Dalam penerapan KKNI, Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning
(PBL).
Melalui sistem pembelajaran PBL, mahasiswa dituntut aktif, mandiri, dan belajar sepanjang
hayat. Metode-metode pembelajaran diarahkan untuk memancing keingintahuan, memotivasi
mahasiswa untuk belajar secara mandiri, melatih untuk berpikir kritis yang berguna baik pada
saat berkuliah maupun ketika sudah terjun di masyarakat sebagai dokter. Pembelajaran ini akan
berhasil apabila mahasiswa aktif dalam mencari materi pengetahuan dari berbagai sumber yang
dapat dipercaya dan dengan demikian melalui pembelajaran mandiri mahasiswa akan lebih
mengingat apa yang telah mereka pelajari sekaligus menguasai keahlian untuk belajar.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha menerbitkan panduan belajar berupa
buku dengan maksud menjembatani tujuan pembelajaran dengan materi dunia kedokteran yang
sangat banyak, dinamis, dan kompleks. Tidak ada buku yang dapat menjelaskan kompleksitas
dan pengembangannya, hanya seorang pembelajar yang dapat menjawab tantangan ini di masa
depan. Isi buku ini hanya mencakup panduan umum dari materi yang harus dipelajari oleh
mahasiswa secara individual. Mahasiswa wajib mencari sumber pustaka lain untuk menambah
wawasan ilmu pengetahuan mereka. Melalui buku ini diharapkan mahasiswa dapat lebih
terarah dan termotivasi untuk mempelajari lebih dalam lagi berbagai topik baik materi
pengetahuan, praktikum, dan ketrampilan klinik.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan buku ini.

Bandung, Januari 2020


Ketua MEU Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha

July Ivone, dr., MKK, MPd.Ked.

iii
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa, berkat kasih dan bimbingan-
Nya maka buku ini dapat disusun dan diterbitkan. Buku ini diterbitkan sebagai salah satu
pegangan bagi peserta didik dalam menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Maranatha, dengan materi yang telah disesuaikan dengan standar kompetensi sebagai
dokter layanan primer.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para mahasiswa Fakultas Kedokteran dalam
mempersiapkan diri untuk melayani pasien nyata kelak. Pada kesempatan ini, kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan buku ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
buku ini, sehingga kami mengharapkan masukan-masukan untuk perbaikan di kemudian hari.

Editor

iv
Daftar Kontributor

Cindra Paskaria, dr., MKM


Dr. Diana Krisanti Jasaputra, dr., MKes.
Endang Evacuasiany, Dra., Apt., MS, AFK
Fanny Rahardja, dr., MSi.
Hartini Tiono, dr., MKes.
Johan Lucianus, dr., MSi.
Jo Suherman, dr., MS, AIF
Laella K Liana, dr., Sp.PA, MKes.
Lusiana Darsono, dr., MKes.
Dr. Oeij Anindita Adhika, dr., MKes.
Penny Setyawati M, dr., Sp.PK, MKes.
Dr. Sugiarto Puradisastra, dr., MKes.
Triswaty Winata, dr., MKes.

v
Daftar Isi

Kata Sambutan ........................................................................................................................ ii


Daftar Kontributor .................................................................................................................. v
Daftar Isi.................................................................................................................................. vi
Anatomi Systema Respiratorium …...………………………………………………………3
Farmakologi Sistem Respirasi
P-drug Antibiotika untuk Saluran Pernapasan ………………………………….. 9
Pengaruh Sistemik Beberapa Obat Asma ………………………………………...11
Penulisan Resep Obat Untuk Penyakit Saluran Napas ………………………… 13
Fisiologi Sistem Respirasi
Pernapasan Pada Orang ………………………………………………………….. 19
Pemeriksaan Fungsi Paru Dengan Spirometer ……………………………...….. 21
Histologi Systema Respiratorium …………………………………………...…………… 25
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Pencatatan Dan Pelaporan Tuberkulosis ………………………………………... 35
Mikrobiologi Sistem Respirasi
Diagnosis Laboratorium Mikroba Yang Berhubungan Dengan Infeksi Traktus
Respiratorius ………………………………………………………………………. 43
Patologi Anatomi Sistem Respirasi ………………………………………………………. 59
Patologi Klinik Sistem Respirasi
Analisis Sputum …………………………………………………………………… 69
Analisis Cairan Pleura ……………………………………………………………. 79

vi
PENUNTUN
PRAKTIKUM
ANATOMI

1
ANATOMI

SYSTEMA RESPIRATORIUM
Oeij Anindita Adhika

I. Dinding Thorax

Thorax adalah bagian truncus yang berada di antara collum dan abdomen. Di superior,
apertura thoracis superior berbatasan dengan collum; di inferior, apertura thoracis inferior
berbatasan dengan cavitas abdominis.
Cavitas thoracis dan dindingnya berbentuk “kerucut terpotong”, paling sempit di superior,
membesar ke inferior, dan mencapai ukuran maksimal di junctio dengan abdomen. Dasar
cavitas thoracis (diaphragma) diinvaginasi di inferior oleh viscera abdomen, sehingga hampir
separuh bawah dinding thorax melingkupi dan melindungi viscera abdomen; dengan demikian,
thorax dan cavitas thoracis lebih kecil daripada yang terlihat dari luar.

1. Dinding thorax meliputi cavea thoracis dan musculi yang berjalan antar costae, juga cutis,
tela subcutanea, musculi, dan fascia yang menutupi aspek anterolateralisnya. Struktur yang
sama yang menutupi aspek posterior dianggap milik dorsum.
Pelajari pada rangka:
a. Sebutkan tulang-tulang yang membentuk cavea thoracis.
b. Sebutkan tulang-tulang yang membentuk apertura thoracis superior dan apertura
thoracis inferior.
c. Apa yang dimaksud dengan arcus costalis?
d. Gambarkan lineae yang penting untuk pemeriksaan fisik pada dinding thorax depan
dan belakang.
e. Di manakah proyeksi papilla mammaria pada dinding thorax?

2. Costae
a. Ada berapa jumlah costae dan bagaimana susunannya? Perhatikan hubungan costae
dengan sternum. Apa yang dimaksud dengan costae verae, costae spuriae, dan costae
fluctuantes?
b. Sebutkan bagian-bagian dari costa. Di manakah didapatkan sulcus costae?
c. Apakah yang dimaksud dengan costae yang tidak khas (atipikal)?
d. Apa ciri khas costa 1, costa 2, dan costae10–12?
e. Bagaimana hubungan costa 2 dengan angulus sterni? Apakah kepentingannya?

3. Sternum
a. Sternum terdiri dari tiga bagian, sebutkan! Apa yang dimaksud dengan symphysis
manubriosternalis dan symphysis xiphosternalis?
b. Sebutkan tulang-tulang yang bersendian dengan sternum! Apa nama sendi-sendi
tersebut?
c. Carilah incisura jugularis, incisura clavicularis, incisurae costales, angulus sterni, dan
processus xiphoideus.

3
ANATOMI

d. Pada bagian mana dari sternum, contoh sumsum tulang paling baik diambil?

4. Vertebra Thoracica
a. Apa yang menjadi ciri khas vertebra thoracica?
b. Sebutkan bagian-bagian vertebra thoracica dan bagian mana dari vertebra yang
bersendian dengan costa?
c. Bagaimana cara menghitung atau menentukan urutan vertebrae thoracicae?
d. Bagaimana pergerakan vertebrae thoracicae? Apa keuntungannya?

5. Juncturae Thoracis
a. Apa yang dimaksud dengan symphysis intervertebralis? Sebutkan struktur yang
menghubungkan corpora vertebrae tersebut.
b. Articulatio costovertebralis merupakan persendian antara costae dan vertebrae
thoracicae, terdiri dari articulatio capitis costae dan articulatio costotransversaria.
Sebutkan bagian dari costa dan vertebra thoracica yang membentuk masing-masing
sendi tersebut?
c. Apakah sendi ini selalu bergerak? Ada berapa aksis gerakan pada sendi tersebut?
Bagaimana gerakan pada sendi ini dapat menambah diameter dari cavitas thoracis.
d. Perhatikan gerakan costa maupun sternum pada gerakan inspirasi maupun ekspirasi.

6. Otot di dinding thorax dapat dibagi menjadi otot intrinsik dan ekstrinsik. Otot ekstrinsik
adalah musculi membri superioris (axioappendicular), musculi colli, musculi abdominis
anterolateralis, dan musculi dorsi yang melekat pada dinding thorax, misalnya musculus
pectoralis major, musculus serratus anterior, dan musculus sternocleidomastoideus.
a. Sebutkan otot-otot intrinsik dinding thorax.
b. Otot apa yang membantu gerakan inspirasi? Otot apa yang membantu gerakan
ekspirasi?
c. Apa peranan musculi intercostales dan diaphragma untuk pernafasan?
d. Pada pernafasan dalam atau paksa, selain otot intrinsik dinding thorax, otot apa lagi
yang dapat membantu gerakan pernafasan?

7. Pembuluh darah dinding thorax berasal dari aorta thoracica, arteria subclavia, dan arteria
axillaris.
a. Arteriae apa saja yang menyuplai dinding thorax?
b. Bagaimana arteriae intercostales terbentuk, berapa jumlahnya, dan bagaimana
perjalanannya?
c. Di manakah terjadinya anastomosis antara arteria intercostalis anterior dan arteria
intercostalis posterior. Apakah kepentingannya?
d. Di mana letak arteria thoracica interna? Arteria thoracica interna berakhir sebagai
arteria epigastrica superior dan arteria musculophrenica, cari di preparat.

8. Saraf Dinding Thorax


a. Apa yang dimaksud dengan nervus intercostalis? Bagaimana terbentuknya?
b. Berapa jumlah nervi intercostales? Apakah yang dimaksud dengan nervus subcostalis?

4
ANATOMI

c. Bagaimana perjalanannya dalam sulcus costae atau spatium intercostale?


d. Apakah nervus intercostalis juga mempersarafi dinding abdomen? Terangkan!
e. Rasa nyeri pada dinding thorax dapat juga berasal dari organ lain di dalam cavitas
thoracis, misalnya?

II. Pleura dan Pulmo

Tiap pulmo dibungkus dan diliputi oleh kantung pleura yang serosa yang terdiri dari 2
membrana yang kontinu: pleura visceralis (pleura pulmonalis) yang melapisi seluruh
permukaan pulmo dan pleura parietalis yang melapisi cavitas pulmonalis.

1. Pleura
Pada preparat yang tersedia:
a. Apa yang dimaksud dengan pleura dan cavitas pleuralis? Bagaimana proyeksi pleura
parietalis dan pleura visceralis pada dinding thorax? Apa bedanya dengan batas paru?
b. Pleura parietalis terdiri dari 3 bagian: pars costalis, pars mediastinalis, dan pars
diaphragmatica. Pelajari bagian-bagian tersebut dan garis refleksi pleura (sternal,
costal, dan vertebral).
c. Apakah pleura parietalis meliputi seluruh permukaan depan cor? Tunjukkan cupula
pleurae, recessus costodiaphragmaticus, dan recessus costomediastinalis.
d. Apakah yang dirasakan bila pleura parietalis atau pleura pulmonalis ditusuk? Terangkan
persarafan pleura.
e. Apa yang terjadi bila ada hubungan antara cavitas pleuralis dan udara luar?

2. Cavitas pleuralis dapat terisi cairan akibat peradangan pleura atau sebab lain (misalnya
pada gagal jantung).
a. Cairan di dalam cavitas pleuralis dapat dikeluarkan dengan menggunakan jarum.
Bagaimana cara melakukan aspirasi cairan pleura?
b. Apa yang perlu diperhatikan pada waktu menusuk spatium intercostale?
c. Sebutkan lapisan dinding thorax yang ditembus jarum sampai mencapai cavitas
pleuralis.

3. Pulmo
Pelajari pada preparat atau model yang tersedia.
a. Tiap pulmo mempunyai apex pulmonis, basis pulmonis, tiga facies (facies costalis,
facies mediastinalis, dan facies diaphragmatica), dan tiga margo (margo anterior, margo
inferior, dan margo posterior).
b. Pulmo dexter terbagi menjadi tiga lobi yaitu lobus superior, lobus medius, dan lobus
inferior, sedangkan pulmo sinister terbagi menjadi lobus superior dan lobus inferior.
c. Pelajari pada pulmo yang masih terletak di dalam cavitas thoracis:
• Lobus mana yang tampak dari depan dan dari samping? Lobus mana yang
berbatasan dengan diaphragma? Cari dan pelajari pembagian menjadi lobus
tersebut oleh fissurae. Apakah yang disebut lingula pulmonis sinistri?

5
ANATOMI

• Apakah perbedaan fissurae pada pulmo dexter dan pulmo sinister?


• Apakah yang dimaksud dengan incisura cardiaca? Apa perbedaan margo anterior
pulmonis dextri dan margo anterior pulmonis sinistri?
d. Pelajari pada model atau pulmo yang sudah dilepas.
• Berapa jumlah segmenta bronchopulmonalia pada pulmo dexter dan pulmo sinister?
• Sebutkan nama masing-masing segmen pada pulmo dexter dan pulmo sinister.
• Apa yang dimaksud dengan lobulus pulmonis?
• Pada facies mediastinalis pulmonis terdapat hilum pulmonis. Apa yang dimaksud
dengan radix pulmonis? Bagaimana perbedaan susunan radix pulmonis pada hilum
pulmonis dextri dan hilum pulmonis sinistri?
• Facies mediastinalis berhubungan atau berbatasan dengan organ mediastinum.
Dengan organ apa saja facies mediastinalis pulmonis dextri dan facies mediastinalis
pulmonis sinistri berbatasan? Apa nama pembuluh darah yang melingkari hilum
pulmonis sinistri?
e. Di mana saja dapat ditemukan nodi lymphoidei paru?

4. Bronchus
Pelajari pada preparat:
a. Trachea berbifurcatio menjadi bronchus principalis dexter dan bronchus principalis
sinister, masing-masing bercabang menjadi bronchus lobaris yang selanjutnya
bercabang menjadi bronchus segmentalis. Cari pada preparat!
b. Apa yang dimaksud dengan bronchus eparterialis dan bronchus hyparterialis?

6
PENUNTUN
PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI

7
FARMAKOLOGI

Farmakologi 1
P-DRUG ANTIBIOTIKA UNTUK SALURAN PERNAPASAN
Diana Krisanti Jasaputra, Sugiarto Puradisastra,
Lusiana Darsono, Endang Evacuasiany

KASUS FIKTIF PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

KASUS A
Seorang Satpam, laki-laki berumur 45 tahun datang dengan keluhan nyeri dada di sebelah
kanan. Penderita panas tinggi selama 5 hari ini. Sebelum nyeri dada, mula-mula penderita
hanya batuk berdahak berwarna hijau, kadang-kadang berwarna merah seperti karat.
Pada pemeriksaan laboratorium: jumlah leukosit meningkat; pada pemeriksaan sputum
ditemukan Streptococcus pneumoniae.

Pemeriksaan fisik:
Tanda vital
Tensi: 120/80 mmHg
Suhu: 38,2°C
Respirasi: 28 x/menit
Nadi: 100 x/menit

Kepala : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, sianosis (-)


Leher : tidak jelas kelainan
Thoraks : bentuk dan pergerakan simetris, VBS +/+, wheezing -/-, ronchi +/+
Abdomen : tidak jelas kelainan
Ekstremitas : sianosis (-)

PERTANYAAN
1. Apa kemungkinan diagnosis untuk penderita tersebut?
2. Apa tujuan terapi?
3. Inventarisasi obat apa saja yang bermanfaat untuk pengobatan sesuai dengan diagnosis
Saudara!
4. Untuk penderita tersebut obat utama mana yang Saudara pilih?
5. Tentukan obat tambahan yang harus diberikan!
6. Tuliskan resep untuk penderita tersebut!
7. Beri informasi yang berhubungan dengan pengobatan yang Saudara berikan!

9
FARMAKOLOGI

KASUS B
Anak laki-laki dari seorang PNS, berumur 6 tahun datang dengan keluhan nyeri dada di
sebelah kanan, napas penderita pendek-pendek. Penderita panas tinggi selama 5 hari ini.
Sebelum nyeri dada, mula-mula penderita hanya batuk berdahak berwarna hijau.
Pada pemeriksaan fisik: KU penderita tampak sakit sedang, suhu 39°C, sesak napas tampak
adanya retraksi. Perkusi ada daerah dull pada dada kanan. Auskultasi: daerah dada kanan
dijumpai rhonki basah. Pada pemeriksaan laboratorium: jumlah leukosit meningkat. Pada
pemeriksaan sputum ditemukan Streptococcus pneumoniae. Pada pemeriksaan foto roentgen
thoraks: tampak adanya infiltrat pada paru kanan.

PERTANYAAN
1. Apa kemungkinan diagnosis untuk penderita tersebut?
2. Apa tujuan terapi?
3. Inventarisasi obat apa saja yang bermanfaat untuk pengobatan sesuai dengan diagnosis
saudara!
4. Untuk penderita tersebut obat utama mana yang saudara pilih?
5. Tentukan obat tambahan yang harus diberikan!
6. Tuliskan resep untuk penderita tersebut!
7. Beri informasi yang berhubungan dengan pengobatan yang saudara berikan!

10
FARMAKOLOGI

Farmakologi 2
PENGARUH SISTEMIK BEBERAPA OBAT ASMA
Diana Krisanti Jasaputra, Sugiarto Puradisastra,
Lusiana Darsono, Endang Evacuasiany

PENDAHULUAN
Asma bronkiale adalah penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai oleh periode
bronkospasme yang menimbulkan penderita sukar bernapas dan mengi. Bronkospasme atau
bronkokonstriksi terjadi ketika jaringan paru terpapar oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik yang
merangsang respon bronkokonstriksi.
Bronkokonstriksi dapat diatasi dengan pemberian obat-obatan tertentu yang berefek
bronkodilatasi, seperti : agonis a-adrenergik (epinefrin), b2-adrenergik (salbutamol), dan metil
xantin (aminofilin). Obat-obatan ini, selain berefek bronkodilatasi, juga memberikan efek
sistemik. Percobaan ini bertujuan memperlihatkan efek sistemik beberapa obat asma, yaitu
epinefrin, salbutamol, dan aminofilin.

Obat-obatan yang digunakan:


1. Epinefrin (sediaan adrenalin bitartat 1 mg/ml dalam ampul 1 cc)
Dosis untuk manusia dewasa: 0,2–1 ml subkutan/intramuskuler
Dosis untuk kelinci 1,5 kg: 0,07 X 0,2 ml = 0,014 ml
Diencerkan 10 X menjadi 0,1 mg/ml
Diberikan pada kelinci 1,5 kg: 0,14–0,15 ml dengan spuit tuberkulin
2. Salbutamol sulfat (sediaan 0,5 mg/ml X 2 ml dalam vial)
Dosis untuk manusia dewasa: 0,5–1 ml subkutan
Dosis untuk kelinci 1,5 kg: 0,07 X 0,5 ml = 0,035 ml
Diencerkan 10 X menjadi 0,05 mg/ml
Diberikan pada kelinci 1,5 Kg: 0,35–0,36 ml dengan spuit tuberkulin
3. Aminofilin = theophylline ethylenediamine
(sediaan 24 mg/ml X 10 ml dalam ampul)
Dosis untuk manusia: 10–20 ml intravena perlahan-lahan
Dosis untuk kelinci 1,5 kg: 0,07 X 10 ml = 0,7 ml

ALAT-ALAT YANG DIGUNAKAN


1. Jam dengan jarum detik
2. Penggaris
3. Penampung saliva
4. Penampung defekasi

HEWAN COBA
Kelinci

11
FARMAKOLOGI

PROSEDUR KERJA
1. Timbang hewan coba.
2. Hitung dosis untuk hewan coba disesuaikan dengan berat badan.
3. Sebelum pemberian obat, catat:
a. Frekuensi nadi
b. Frekuensi pernapasan
c. Ukuran pupil
4. Berikan obat, dosis, dan cara pemberian yang sesuai.
5. Sesudah pemberian obat pada menit ke-20, 40, 60, catat:
a. Frekuensi nadi
b. Frekuensi pernapasan
c. Ukuran pupil
6. Amati adakah peningkatan atau penurunan produksi saliva dan defekasi.

12
FARMAKOLOGI

Farmakologi 3
PENULISAN RESEP OBAT UNTUK
PENYAKIT SALURAN NAPAS
Diana Krisanti Jasaputra, Sugiarto Puradisastra,
Lusiana Darsono, Endang Evacuasiany

KASUS FIKTIF PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

KASUS C
Tuan A, 26 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan sesak napas berbunyi mengi.
Keluhan ini dirasakan sejak 2 hari yang lalu, pasien berbicara kalimat demi kalimat, dan
mengatakan lebih enak posisi duduk dibandingkan posisi berbaring. Napas lebih cepat dari
biasanya. Pasien mengatakan sebelumnya membersihkan kamar yang berdebu.
Keluhan ini disertai batuk, tanpa demam. Pasien tidak mengeluhkan adanya pilek.
Dalam 4 minggu terakhir pasien menggunakan inhaler hampir setiap hari, karena sesak.
Pasien mengeluh kadang sesak sampai malam, dan merasa terganggu aktivitasnya karena
sering sesak.
BAB dan BAK normal
RPD: menderita asma
RPK: nenek menderita asma
Riwayat alergi: alergi debu
Kebiasaan: tidak merokok

Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: kesadaran compos mentis, sesak
BB : 55 kg TB: 160 cm
Tensi : 130/80 mmHg
Suhu : 37,2°C
Respirasi : 28 x/menit
Nadi : 104 x/menit
Kepala : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik
Leher : retraksi suprasternal (-)
Toraks :
Pulmo
Inspeksi : bentuk dan pergerakan kanan=kiri; retraksi sela iga -/-
Palpasi : tactile fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor, kanan=kiri
Auskultasi : suara napas: ekspirasi memanjang, kanan=kiri; wheezing expiratoir,
kanan=kiri; ronki -/-
Cor : batas jantung normal; bunyi jantung S1, S2, regular; murmur (-)
Abdomen : datar, lembut

13
FARMAKOLOGI

hepar: tidak teraba lien: tidak teraba


bising usus (+) normal
Ekstremitas : tidak jelas kelainan

Laboratorium
Hb: 15,1 g/dL
PCV/hematokrit: 45%
Leukosit: 10.000/mm3
LED: 20 mm/1 jam
Hitung jenis: Basofil: 0/Eosinofil: 10/Netrofil batang: 2/Netrofil segmen: 60/Limfosit:
26/Monosit: 1
Urine rutin: tak ada kelainan

PERTANYAAN
1. Apa kemungkinan diagnosis untuk pasien tersebut?
2. Apa tujuan terapi?
3. Inventarisasi obat apa saja yang bermanfaat untuk pengobatan sesuai dengan diagnosis
saudara!
4. Untuk pasien tersebut, obat utama mana yang saudara pilih?
5. Tentukan obat tambahan yang harus diberikan!
6. Tuliskan resep untuk penderita tersebut!
7. Berikan informasi yang berhubungan dengan pengobatan yang saudara berikan!

14
FARMAKOLOGI

KASUS D
Tuan X, 35 tahun datang ke Poliklinik RS dengan keluhan utama batuk. Batuk dirasakan
sejak 3 minggu yang lalu, batuk disertai dahak yang berwarna hijau, pernah juga mengalami
batuk berdarah. Penderita juga mengeluh sesak napas yang dirasakan sejak 7 hari yang lalu,
sesak tidak disertai napas berbunyi mengi. Penderita mengeluhkan adanya demam yang
dirasakan kira-kira sejak 3 minggu yang lalu, yang tidak sembuh dengan pemberian
parasetamol. Penderita juga mengeluh kadang berkeringat pada malam hari dan lemah badan.
Penderita mengalami penurunan berat badan kira-kira 3 kg dalam 3 minggu ini. Nafsu
makan juga berkurang.
Penderita menyangkal adanya oedem tungkai. Keluhan lain tidak ada. BAB dan BAK
lancar.
Riwayat penyakit dahulu: batuk pilek biasa yang sembuh dengan obat dari warung.
Riwayat penyakit keluarga: nenek penderita juga mempunyai riwayat penyakit seperti ini dan
dikatakan oleh dokter terkena penyakit paru-paru.
Kebiasaan: penderita tidak merokok.
Riwayat alergi: tidak ada alergi.
Usaha berobat: hanya minum parasetamol bila ada panas badan dan obat batuk dari warung.

Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: kesadaran compos mentis, sesak, gelisah
BB : 42 kg TB: 160 cm
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi : 96 kali/menit
Respirasi : 24 kali/menit
Temperatur : 38°C
Kepala : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik
Leher : retraksi suprasternal (+)
Toraks:
Pulmo
Inspeksi : bentuk dan pergerakan kanan=kiri; retraksi sela iga -/-
Palpasi : tactile fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor, kanan=kiri
Auskultasi : suara napas: VBS, kanan=kiri, wheezing -/-, ronki + di apeks
kanan
Cor : batas jantung normal; bunyi jantung S1, S2, regular; murmur (-)
Abdomen : datar, lembut
hepar: tidak teraba lien: tak teraba
bising usus (+) normal
Ekstremitas : tidak jelas kelainan

Laboratorium:
Hb: 15,1 g/dL
PCV/Hematokrit: 45%
Leukosit: 12.000/mm3

15
FARMAKOLOGI

LED: 40 mm/1 jam


Hitung jenis: Basofil: 0/Eosinofil: 2/Netrofil batang: 2/Netrofil segmen: 68/Limfosit:
26/Monosit: 1
Urine rutin: tak ada kelainan
Pemeriksaan BTA: sputum SPS +/+/+

PERTANYAAN
1. Apa kemungkinan diagnosis untuk penderita tersebut?
2. Apa tujuan terapi?
3. Inventarisasi obat apa saja yang bermanfaat untuk pengobatan sesuai dengan diagnosis
saudara!
4. Untuk penderita tersebut, obat utama mana yang saudara pilih?
5. Tentukan obat tambahan yang harus diberikan!
6. Tuliskan resep untuk penderita tersebut!
7. Berikan informasi yang berhubungan dengan pengobatan yang saudara berikan!

16
PENUNTUN
PRAKTIKUM
FISIOLOGI

17
FISIOLOGI

PERNAPASAN PADA ORANG


Jo Suherman

I. PENDAHULUAN
Pada latihan ini akan dipelajari:
Gerakan pernapasan pada berbagai keadaan: bernapas normal, saat berbicara, menelan,
hiperventilasi dengan acapnia dan tanpa acapnia.

II. ALAT-ALAT YANG DIPERLUKAN


1. Pneumograf dan tambur pencatat
2. Kimograf dan kertas asap
3. Satu gelas air minum
4. Kantong plastik

III. TATA KERJA


A. Persiapan Percobaan:
1. Pasanglah pneumograf pada dada orang percobaan sedemikian rupa sehingga didapatkan
gerakan-gerakan terbesar (amplitudo) setelah dihubungkan dengan tambur pencatat.
2. Buatlah interval 5 detik pada kertas asap berputar dengan kecepatan tertentu di bawah
pneumogram yang akan dibuat. Interval tersebut digunakan untuk mengukur frekuensi
pernapasan.
3. Di atas interval waktu 5 detik tempat mencatat pneumogram, jarum pencatat diatur
sehingga menempel pada kertas asap pada kimograf sedemikian rupa hingga didapatkan
gambar dengan amplitudo paling besar.
4. Orang percobaan duduk tenang membelakangi alat-alat dan harus memikirkan hal-hal lain
yang tidak bersangkutan dengan pernapasannya. Siap melakukan gerakan napas pada
berbagai keadaan.

B. Percobaan:
1. Pengaruh berbicara:
- Buatlah pencatatan pernapasan normal secukupnya di atas interval waktu 5 detik.
- Kemudian bacalah dari buku petunjuk ± 5 kalimat berturut-turut.
- Bernapaslah normal kembali.
- Beri tanda pada kertas asap saat mulai membaca dan saat selesai 1 kalimat.
- Di atas pneumogram ditulis dengan jarum tumpul: Pengaruh berbicara.

2. Pengaruh menelan:
- Buatlah pencatatan pernapasan normal secukupnya.
- Minumlah air segelas penuh sekaligus perlahan-lahan tanpa terhenti.
- Bernapaslah normal kembali.
- Beri tanda pada kertas asap saat mulai minum dan saat selesai.
- Di atas pneumogram ditulis dengan jarum tumpul: Pengaruh menelan.

19
FISIOLOGI

3. Hyperventilasi dengan Acapnia:


- Perlambatlah putaran kimograf dan buatlah pencatatan pernapasan normal seperlunya.
- Kemudian bernapaslah yang dalam dan cepat kurang lebih 1–2 menit lamanya atau
sampai orang percobaan merasa pusing dan melupakan pernapasannya.
- Lanjutkan pencatatan pernapasan sampai terlihat grafik pernapasan normal kembali.
- Beri tanda pada kertas asap saat mulai hiperventilasi dan saat selesai.
- Di atas pneumogram ditulis dengan jarum tumpul: Pengaruh hiperventilasi dengan
Acapnia.
- Bandingkan gerakan pernapasan sebelum hiperventilasi dan setelahnya.

4. Hyperventilasi tanpa Acapnia:


Setelah pernapasan normal kembali, ulangi percobaan nomor 3 sambil hiperventilasi
dengan mulut dan hidung di dalam kantong plastik yang ditutup rapat ke wajah.

Kertas asap dilepaskan dari tromol kimograf dan difiksasi dengan lak dan keringkan.
Interpretasikan hasil semua percobaan.

Pertanyaan:
1. Apa kriteria pernapasan normal berdasarkan pneumogram?
2. Apa yang terjadi pada gerakan napas saat orang berbicara?
3. Apa yang terjadi pada gerakan napas saat orang menelan?
4. Apa yang dimaksud dengan acapnia dan apa pengaruhnya pada pernapasan?
5. Apa yang dimaksud dengan hipercapnia dan apa pengaruhnya pada pernapasan?

20
FISIOLOGI

PEMERIKSAAN FUNGSI PARU


DENGAN SPIROMETER
Jo Suherman

I. PENDAHULUAN
Dalam percobaan ini akan dilakukan pemeriksaan fungsi paru orang percobaan dengan
spirometer. Fungsi yang diukur adalah Forced Vital Capacity (FVC) dan Forced Expiratory
Volume in one second (FEV1) untuk menentukan apakah terjadi obstruksi pernapasan, restriksi
pernapasan, atau fungsi parunya normal.

II. ALAT-ALAT YANG DIPERLUKAN


Spirometer Cardiotouch 3000

III. TATA KERJA


1. Nyalakan spirometer.
2. Pasang mouthpiece pada handle dengan benar dan posisikan switch pada “on”.
3. Sentuh gambar paru pada layar monitor, kemudian sentuh menu PAT (patient info).
4. Masukkan data OP:
- ID dengan NRP mahasiswa.
- Nama, umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, ras, dan merokok atau tidak.
5. Siapkan OP dengan latihan sebagai berikut:
Bernapas normal 3 kali à inspirasi maksimal hingga sebanyak-banyaknya udara masuk
paru à ekspirasi paksa secepat-cepatnya, sekuat-kuatnya, dan sehabis-habisnya à
inspirasi paksa secepat-cepatnya dan sekuat-kuatnya.
6. Pilih menu FVC, mouthpiece dimasukkan ke dalam mulut, dan tutup rapat-rapat dengan
bibir; pasang penjepit hidung.
7. Sentuh “start” dan lakukan nomor 5, setelah selesai sentuh “stop”.
8. Lihat hasilnya di layar monitor. Bila sudah benar sentuh “yes”.
9. Pemeriksaan ke-2 dilakukan setelah menyentuh “new”.
10. Pemeriksaan dilakukan 3 kali.
11. Setelah selesai, sentuh “print”.
12. Kembalikan ke menu awal dengan menekan tombol EKG/Spiro.
13. Matikan mesin spirometer.
14. Baca hasilnya dan buat kesimpulannya.

Catatan:
Fungsi Paru Normal: Nilai FEV1/FVC ≥80 %, FVC >80%, dan nilai FEV 1% >80%
- PFR (PEAK EXPIRATORY FLOW RATE : Unit liter /min)
- FEV1 (FORCED EXPIRATORY VOLUME 1 sec : Unit liter)
- FEV3 (FORCED EXPIRATORY VOLUME 3 sec : Unit liter)
- FVC (FORCED VITAL CAPACITY : Unit liter)
- VC pred. (PREDICTED VITAL CAPACITY : Unit liter)

21
FISIOLOGI

- % VC (VITAL CAPACITY in percentage : Unit %)


- FEV1% (FEV1 in percentage : Unit %)
- FEV3% (FEV3 in percentage : Unit %)

PERTANYAAN
1. Sebutkan kriteria fungsi paru normal pada spirometri.
2. Sebutkan kriteria restriksi paru pada spirometri.
3. Sebutkan kriteria obstruksi paru pada spirometri.
4. Sebutkan kriteria campuran restriksi dan obstruksi paru pada spirometri.

ALGORITMA DIAGNOSTIK

22
PENUNTUN
PRAKTIKUM
HISTOLOGI

23
HISTOLOGI
SYSTEMA RESPIRATORIUM
Hartini Tiono

EPIGLOTTIS
Sediaan : Epiglottis Homo
Pewarnaan : HE
No. sediaan : 115

Uraian :
Dengan pembesaran 10X telusurilah permukaan epiglottis, cari pars laryngea dan pars
lingualis.
Pars laryngea dilapisi oleh epithelium respiratorium (epithelium pseudostratificatum
columnare ciliatum) dengan sel goblet.
Pars lingualis dilapisi epithelium stratificatum squamosum noncornificatum.
Di dalam lamina propria mucosae dari kedua permukaan tersebut didapatkan glandula
seromucosa.
Perhatikan pula tempat peralihan kedua jenis epitel tersebut.
Rangka epiglottis berupa lempeng cartilago elastica yang terdapat di bagian tengah organ ini.

Gambar 1. Epiglottis (objektif 4X)

25
HISTOLOGI

TRACHEA (POTONGAN MELINTANG)


Sediaan : Potongan melintang trachea Felis
Pewarnaan : HE
No. sediaan : 65

Objektif 10X:
Bedakan antara cartilagines tracheales (pars cartilaginea) dan paries membranaceus (pars
membranacea).
Pars cartilaginea terdiri dari cartilago hyalina yang membentuk huruf C.
Pars membranacea merupakan daerah di mana terdapat otot polos musculus trachealis yang
terletak di antara kedua cartilagines.

1. Pars cartilaginea terdiri dari:


• Tunica mucosa
Epitel = epitel respirasi
Lamina propria terdiri dari textus connectivus laxus (jaringan pengikat longgar) yang
mengandung banyak fibra elastica (serabut elastis). Fibra elastica pada lapisan yang
lebih dalam membentuk membrana elastica.
• Tela submucosa
Terdapat lamina elastica yang berisi fibra collageni (serabut kolagen) yang melekatkan
membrana elastica ke perichondrium. Sekeliling cartilago hyalina terdapat glandula
trachealis, jenis seromucosa. Kelenjar terdapat terutama di bagian posterior menembus
musculus trachealis memasuki tunica adventitia.
• Tunica adventitia
Terdiri dari cartilago hyalina dan textus connectivus compactus collagenus (jaringan
pengikat padat kolagen).

2. Pars membranacea:
Tunica mucosa berlipat-lipat. Musculus trachealis berinsersi pada perichondrium. Glandula
trachealis merupakan glandula seromucosa, terdapat pada tunica submucosa bahkan
terkadang sampai tunica adventitia.

Gambar 2. Trachea potongan melintang (objektif 4X)

26
HISTOLOGI

Gambar 3. Trachea potongan melintang (objektif 4X)

Gambar 4. Trachea potongan melintang (objektif 4X)

TRACHEA (POTONGAN MEMANJANG)


Sediaan : Potongan memanjang trachea Homo
Pewarnaan : HE
No. sediaan : 116

Uraian:
Kerangka cartilago hyalina di sini hanya terlihat sebagi penggalan tulang rawan yang satu sama
lain dihubungkan oleh berkas jaringan pengikat.

27
HISTOLOGI

PULMO (PARU DEWASA)


Sediaan : Pulmo dewasa Homo
Pewarnaan : HE

Tampak jaringan spongiosa di mana permukaannya dilapisi epitel selapis gepeng


(mesothelium) yang disebut pleura visceralis.
Pelajari semua bagian paru. Perhatikan ciri khas masing-masing bagian.

Bronchus
• Tunica mucosa tampak berkelok-kelok, disusun oleh:
- Epitel = epithelium respiratorium
- Lamina propria mucosae terdiri dari jaringan pengikat padat yang banyak mengandung
fibra elastica, fibra collageni, dan fibra reticularis. Di bawahnya terdapat otot polos
yang berjalan sirkuler, di bawah lapisan otot terdapat glandula bronchialis (kelenjar
campur) dan lempeng cartilago bronchialis (cartilago hyalina).
• Tunica submucosa: terdapat limfosit dan nodulus lymphaticus.
• Tunica adventitia: bagian terluar yang disusun oleh jaringan pengikat padat.
Bronchus biasanya diikuti oleh cabang arteria dan vena pulmonalis. Pada dinding bronchus
sendiri dapat ditemukan arteria dan vena bronchialis yang berfungsi menghantarkan nutrien
dan drainase dinding bronchus.

Gambar 5. Epitel Respirasi (objektif 40X)

Gambar 6. Bronchus (objektif 4X)

28
HISTOLOGI

Bronchiolus
- Epitel = epitel respirasi dengan sedikit sel goblet yang tersebar.
- Lamina propria tipis mengandung serat elastis. Di bawahnya terdapat otot polos yang
sirkuler, pada cabang terbesar otot polos sangat menonjol. Tidak terdapat cartilago atau
kelenjar campur.
- Dinding luar merupakan jaringan pengikat padat.

Bronchiolus berangsur-angsur mengalami perubahan epitel dan ketebalan otot polos; dari
epithelium respiratorium ® epithelium simplex columnare ciliatum ® epithelium simplex
cuboideum ciliatum

Gambar 7. Bronchiolus

29
HISTOLOGI

Bronchiolus Terminalis
- Epitel: epithelium simplex cuboideum ciliatum tanpa sel goblet.
- Pada lamina propria terdapat otot polos yang tipis. Cartilago dan kelenjar tidak ada. Epitel
juga mengandung Clara cell, yaitu sel yang tidak mempunyai cilia

Gambar 8. Epitel Bronchiolus Terminalis (objektif 40X)

Gambar 9. Bronchiolus Terminalis (objektif 10X)

Bronchiolus Respiratorius
- Epitel: epithelium simplex cuboideum ciliatum atau simplex squamosum yang tinggi.
terdapat Clara cell, pneumocytus I, dan pneumocytus II. Tidak ada sel goblet, kelenjar, dan
cartilago.
- Di bawah epitel terdapat jaringan pengikat elastis. Otot polos tipis.
- Pada dinding ada hubungan dengan alveolus. Pada bagian distal cilia menghilang.

Gambar 10. Bronchiolus Respiratorius Gambar 11. Perbandingan Bronchiolus


(objektif 10X) Respiratorius dan Bronchiolus

30
HISTOLOGI

Ductus Alveolaris
Berupa pintu-pintu masuk ke alveoli, seluruh dinding terdiri dari alveoli.
- Epitel: epithelium simplex squamosum yang masih tinggi selnya (tanpa cilia).
- Alveolus dan ductus alveolaris dilapisi pneumocytus typus I dan II.
- Dalam lamina propria alveolus terdapat sel otot. Berkas otot mirip sphincter, tampak
sebagai simpul di antara alveolus yang berdekatan.

Gambar 12. Ductus Alveolaris (objektif 10X)

Sacculus Alveolaris
Terdiri dari beberapa alveoli. Beberapa alveoli mempunyai muara bersama disebut atrium

Alveolus
Dilapisi oleh epithelium simplex squamosum, terdapat 2 jenis sel yaitu:
- Pneumocytus typus I (sel alveolus tipe I) yang berbentuk gepeng, mengisi 97%.
- Pneumocytus typus II (sel alveolus tipe II) yang berbentuk kuboid.
Di antara alveoli terdapat kapiler darah yang dindingnya berbatasan dengan dinding alveoli.

31
HISTOLOGI

Gambar 13. Sacculus Alveolaris

PULMO FETUS
Sediaan : Pulmo fetus Homo
Pewarnaan : HE
No sediaan : 117

Tampak jaringan yang lebih padat. Dinding alveoli belum teratur sehingga tampak tebal
dan melipat-lipat. Dapat ditemukan bakal bronchus dan bronchiolus. Bedakan antara pulmo
fetus dan dewasa.

Gambar 14. Pulmo Fetus (tampak bakal bronchus dan alveolus)

32
HISTOLOGI

Macrophagocytus Alveolaris (Sel Debu)


Sediaan : Pulmo Homo
Pewarnaan : AgNO3
No. sediaan : 118

Tampak dinding alveoli dengan batas sel berwarna hitam dan sitoplasma kuning. Sel debu
terdapat di sekitar epitel dinding atau dalam lumen. Sitoplasma tampak mengandung butir-butir
berwarna hitam (debu).
Cari juga porus septalis (porus alveolaris), yaitu lubang yang terdapat pada dinding di antara
dua alveoli. Lubang atau stigma.

Gambar 15. Sel Debu (objektif 40X)

Gambar 16. Porus Alveolaris (objektif 40X)

33
PENUNTUN
PRAKTIKUM
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

35
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PENCATATAN DAN PELAPORAN TUBERKULOSIS
Cindra Paskaria

NOTIFIKASI WAJIB (MANDATORY NOTIFICATION)

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas
kesehatan yang memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang
ditemukan dan/atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang ditentukan.
Pelanggaran atas kewajiban ini bisa mengakibatkan pemberian sanksi administratif sampai
pencabutan izin operasional fasilitas kesehatan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pencatatan dan pelaporan tuberkulosis (TB) di fasilitas kesehatan menggunakan formulir baku:
a) Kartu Pengobatan Pasien (TB.01)
b) Kartu Pengobatan Pencegahan TB (TB.01 P)
c) Kartu Identitas Pasien TB (TB.02)
d) Register TB Fasilitas Kesehatan (TB.03 faskes)
e) Register Laboratorium TB untuk Laboratorium Faskes Mikroskopis dan Tes Cepat (TB.04)
f) Register Laboratorium TB untuk Rujukan Tes Cepat, Biakan, dan Uji Kepekaan (TB.04
Rujukan)
g) Formulir Permohonan Pemeriksaan Bakteriologis TB (TB.05)
h) Daftar atau Buku Register Terduga TB (TB.06)
i) Formulir Rujukan/Pindah Pasien TB (TB.09)
j) Formulir Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Pindahan (TB.10)
k) Formulir Triwulan Uji Silang Sediaan TB Fasilitas Kesehatan Mikroskopis (TB.12 Faskes)
l) Laporan Pengembangan Ketenagaan Program Penanggulangan TB Fasilitas Kesehatan
(TB.14 Faskes)
m) Pelacakan Kontak Anak (TB.15)
n) Register Kontak Tuberkulosis (TB.16)

KLASIFIKASI PASIEN TUBERKULOSIS

Berdasarkan lokasi anatomi:


- Tuberkulosis paru
TB yang berlokasi pada parenkim paru. Pasien yang menderita TB paru sekaligus juga
menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
- Tuberkulosis ekstra paru
TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran
kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang. Bila proses TB terdapat di beberapa organ,
penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses TB terberat.

37
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


- Pasien baru TB
Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah
menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< 28 dosis).
- Pasien yang pernah diobati TB
Pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a. Pasien kambuh
Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini
didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena
benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal
Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up)
Pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.
d. Lain-lain
Pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.

Berdasarkan status HIV:


- Pasien TB dengan HIV positif
a. Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ARV, atau
b. Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB
- Pasien TB dengan HIV negatif
a. Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
b. Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB
- Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui
Pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.

PADUAN OAT YANG DIGUNAKAN DI INDONESIA

Paduan yang digunakan adalah:


a) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
- Pasien TB paru terdiagnosis klinis
- Pasien TB ekstra paru
b) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang), yaitu:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat

38
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
c) Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR
d) Paduan OAT untuk pasien TB resisten obat terdiri dari OAT lini ke-2

HASIL PENGOBATAN PASIEN TB

a) Sembuh
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan yang
hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu
pemeriksaan sebelumnya.
b) Pengobatan lengkap
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap di mana salah satu
pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil
pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
c) Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama masa pengobatan, atau kapan saja dalam masa pengobatan
diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.
d) Meninggal
Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau sedang dalam
pengobatan.
e) Putus berobat
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus terus-
menerus selama 2 bulan atau lebih.
f) Tidak dievaluasi
Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.

Daftar Pustaka
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis

39
PENUNTUN
PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI

41
MIKROBIOLOGI
DIAGNOSIS LABORATORIUM MIKROBA
YANG BERHUBUNGAN DENGAN
INFEKSI TRAKTUS RESPIRATORIUS
Triswaty Winata, Fanny Rahardja, Johan Lucianus

Streptococcus pneumoniae

Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang secara normal dapat dijumpai pada
traktus respiratorius manusia, dapat diisolasi dari nasofaring dan tenggorokan. Streptococcus
pneumoniae merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat seperti lanset dengan susunan
berpasangan aksis memanjang, ukuran 0,80–1µm, tidak bergerak, tidak membentuk spora,
strain yang patogen memiliki kapsul.
Bakteri ini bersifat α-hemolitik (tidak dapat dibedakan dengan Streptococcus viridans),
tumbuh baik pada medium yang mengandung darah atau serum, fakultatif anaerob dengan suhu
pertumbuhan 25°C–40°C. Salah satu faktor virulensi yang terkait dengan patogenesis yang
dimiliki mikroba ini adalah adanya kapsul polisakarida yang akan melindungi bakteri dari
proses fagositosis.

Prosedur laboratorium untuk identifikasi Streptococcus penumoniae


Bahan pemeriksaan:
1. Sputum
2. Darah
3. Likuor
Koleksi dan transportasi bahan pemeriksaan tidak memerlukan teknik khusus.

Identifikasi dilakukan berdasarkan:


1. Pemeriksaan mikroskopis
2. Pembiakan
3. Tes cakram optokin
4. Tes inulin
5. Tes kelarutan empedu
6. Serologis dan typing: tes Quellung
7. Tes percobaan binatang

Prosedur kerja:
HARI 1
1. Pemeriksaan Mikroskopis
• Buat preparat dan diwarnai dengan pewarnaan Gram.
• Amati bentuk, susunan, dan sifat pewarnaannya.
• Buat preparat dan warnai dengan pewarnaan Gins Burri.
• Amati susunan kuman dan ada tidaknya kapsul.

43
MIKROBIOLOGI

2. Pembiakan
• Tanam bahan pemeriksaan pada Lempeng Agar Darah (LAD; Blood Agar Plate).
• Inkubasi pada 37°C selama 24 jam.

HARI 2
1. Pengamatan Pembiakan
Identifikasi mikroba yang tumbuh pada LAD secara makroskopis, mikroskopis, dan
bagaimana reaksi terhadap LAD.
Koloni pada medium LAD:
• Streptococcus pneumoniae: kecil, kelabu, berkilau, mukoid (bila berkapsul), hemolisis
tipe α.
• Streptococcus viridans: kecil, kelabu, hemolisis tipe α atau γ.

Tes diferensiasi Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus viridans


Tes diferensiasi dilakukan dengan:
• Tes cakram optokin
• Tes fermentasi inulin
• Tes kelarutan empedu

2. Tes Cakram Optokin (ethylhydrocupreine dihydrochloride)


• Siapkan cakram optokin yang mengandung 0,02 ml larutan optokin.
• Letakkan cakram pada LAD yang telah ditanami suspensi kuman.
• Inkubasi pada 37°C 24 jam.

3. Tes Fermentasi Inulin


• Tanam koloni kuman pada medium inulin.
• Inkubasi pada 37°C selama 24 jam.
• Hasil: jika terjadi fermentasi medium berwarna kuning.

4. Tes Kelarutan Empedu


• Masukkan ke dalam tabung Na-taurocholate 10% dalam NaCl 0,9%.
• Tambahkan kultur mikroba dan campurkan hingga merata.
• Inkubasi selama15 menit.
Hasil yang diamati: ada tidaknya kekeruhan dalam tabung.
Streptococcus pneumoniae: larut (tabung tampak jernih).
Streptococcus viridans: tidak larut (tabung tampak keruh).

HARI 3
1. Pengamatan Tes Cakram Optokin
Amati zona inhibisi yang terbentuk di sekitar cakram optokin
Sensitif: diameter zona inhibisi >14 mm

2. Pengamatan Tes Fermentasi Inulin

44
MIKROBIOLOGI

Amati perubahan warna yang terjadi yang menunjukkan terjadinya fermentasi inulin
(indikator: merah fenol).
Streptococcus pneumoniae: memfermentasikan inulin.
Streptococcus viridans: tidak memfermentasikan inulin.

3. Tes Quellung
Prinsip: ikatan antigen kapsul polisakarida dengan antiserum spesifik.
• Pada kaca objek campurkan suspensi Streptococcus pneumonia dengan antiserum
spesifik.
• Lihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x.
Hasil: positif bila tampak kapsul membengkak.

4. Tes Sensitivitas Antibiotika


• Inokulasikan mikroba uji pada medium dengan metode “spread plate”.
• Letakkan cakram antibiotika ampisilin, kloramfenikol, dan golongan kuinolon pada
medium.
• Inkubasikan pada 37°C 24 jam.
• Lihat zona inhibisi yang terbentuk dan tentukan sensitivitasnya.

Setelah prosedur identifikasi selesai, dilakukan tes virulensi

5. Tes Percobaan Binatang


Tujuan: mengetahui virulensi Streptococcus pneumoniae.
Cara kerja:
• Ambil 5 ekor tikus putih dewasa.
• Buat suspensi kuman dalam NaCl 0,9% steril.
• Suntikkan suspensi kuman sebanyak 0,2–0,5 ml pada 3 ekor tikus secara
intraperitoneal. Dua tikus lain digunakan sebagai kontrol.
• Amati tikus setiap hari selama 7 hari.
• Bila tikus mati, bedah dengan gunting, pisau, dan pinset steril.
• Buat preparat dari jantung, ginjal, hati, limpa, dan cairan intraperitoneal; dan lakukan
pewarnaan Gram dan Gins Burri.
Catatan: bila virulen, tikus yang disuntik akan mati dalam 24–48 jam setelah penyuntikan.

Corynebacterium diphtheriae

Genus Corynebacterium sp. merupakan golongan bakteri batang Gram positif, “irregularly
staining”, fakultatif aerob, tidak berspora, tidak bergerak, dan tidak berkapsul.
Corynebacterium diphtheriae merupakan spesies yang patogen bagi manusia.
Corynebacterium diphtheriae mempunyai morfologi yang bervariasi dalam bentuk dan
ukuran namun rata-rata mempunyai ukuran 5 µ x 0,4 µ. Karakteristik yang dimilikinya adalah
susunannya yang menyerupai huruf kanji dan granula metakromatik voluntin yang nampak
sebagai “pembengkakan” pada satu atau kedua ujung sel dengan gambaran “club-shaped

45
MIKROBIOLOGI

appearance”. Granula ini akan terlihat jelas pada pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan
Albert di mana koloni yang diambil berasal dari medium yang mengandung serum (medium
penyubur).

Bahan pemeriksaan:
1. Apusan tenggorok/hidung
2. Lesi kulit terinfeksi

Identifikasi mikroba dilakukan berdasarkan:


1. Pemeriksaan mikroskopis
2. Pembiakan
3. Tes biokimiawi
4. Tes virulensi

Cara kerja:
HARI 1
1. Pemeriksaan Mikroskopis
• Buat preparat dan warnai dengan pewarnaan Gram.
• Amati bentuk, susunan, dan sifat pewarnaannya.
• Buat preparat dan warnai dengan pewarnaan Albert/Neisser.
Cara kerja pewarnaan Albert:
- Buat preparat kering dan fiksasi.
- Tambahkan larutan Albert dan diamkan selama 5 menit, cuci dengan air mengalir.
- Tambahkan lugol dan diamkan selama 3 menit, cuci dengan air mengalir.
- Keringkan dan lihat pada mikroskop dengan pembesaran 1000x.

2. Pembiakan
Tanam bahan pemeriksaan pada agar darah, medium selektif yang mengandung telurit
(modified Tinsdale medium atau cystine-tellurite agar), dan medium Loeffler. Lingkungan
yang diperlukan untuk inkubasi adalah suhu 35°C–37°C, dengan atau tanpa CO2.

HARI 2
1. Pengamatan Pembiakan
Identifikasi koloni yang tumbuh secara makroskopis dan mikroskopis. Pada pembiakan
dengan agar darah telurit dapat ditentukan 3 tipe Corynebacterium diphtheriae yaitu:
• Tipe mitis : hemolitik, kecil, hitam, glossy, konveks.
• Tipe gravis : non hemolitik, besar, abu-abu, ireguler.
• Tipe intermedius: sangat kecil, flat, hitam, sentral papil.

2. Tes Biokimiawi
• Tanam koloni tersangka pada medium untuk fermentasi gula yang mengandung
glukosa dan sukrosa dengan indikator bromcresol purple.
• Inkubasikan pada 37°C 24 jam.

46
MIKROBIOLOGI

Tes biokimiawi berguna untuk membedakan Corynebacterium diphtheriae dengan spesies


Corynebacterium lainnya.

HARI 3
1. Pengamatan Tes Biokimiawi
Amati perubahan warna yang terjadi pada medium yang menunjukkan ada tidaknya
fermentasi

Fermentasi
Mikroba
Glukosa Sukrosa
C. diphtheriae positif negatif
C. xerosa positif positif
C. pseudodiphtheriae negatif negatif

2. Tes Sensitivitas Antibiotika


• Inokulasikan mikroba uji pada medium dengan metode “spread plate”.
• Letakkan cakram antibiotika golongan kuinolon, penisilin, aminoglikosida, dan
kloramfenikol pada medium.
• Inkubasikan pada 37°C 24 jam.
• Lihat zona inhibisi yang terbentuk dan tentukan sensitivitasnya.

3. Tes Virulensi
Tes ini dilakukan setelah diagnosis Corynebacterium diphtheriae dipastikan. Tujuan tes ini
adalah untuk mengetahui strain Corynebacterium diphtheriae yang menghasilkan toksin.
Metode yang dapat digunakan untuk tes virulensi:
a. Lethal method
b. Intradermal method
c. Plate virulence test/Elek’sTest
Prinsip: tes presipitasi
Cara kerja: kertas saring yang telah diberi antitoksin diletakkan pada pelat agar yang
mengandung 20% serum darah. Biakan yang diuji digoreskan tegak lurus dengan kertas
saring, inkubasi 24 jam 37°C.

47
MIKROBIOLOGI

A = kontrol –

B = kontrol +

C = strain nontoksin

D = strain toksin +

Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis adalah penyebab penyakit tuberkulosis, suatu penyakit infeksi


granulomatosa. Mikroorganisme berbentuk batang dan bersifat tahan asam ini masuk ke dalam
paru melalui inhalasi droplet nuclei infektif, yang kemudian menyebar ke organ lain secara
hematogen, limfogen, melalui saluran pernafasan atau kontak langsung. Tuberkulosis pulmonal
adalah bentuk penyakit yang paling sering, lebih dari 80% dan bentuk ini infeksius.
Tuberkulosis ekstrapulmonal adalah tuberkulosis pada organ lain di luar paru, paling sering
pada pleura, lymphnodes, vertebra, sendi, traktus genitourinarius, sistem saraf, atau abdomen.
Pasien dengan tuberkulosis infeksius akan mengeluarkan mikroorganisme ke udara waktu
batuk, bersin, atau tertawa. Droplet kecil mengandung mikroorganisme akan mengering
dengan cepat dan dapat bertahan di udara dalam beberapa jam.
Pemeriksaan spesimen klinis yang dicurigai mengandung mycobacterium dengan metode
konvensional meliputi: pemeriksaan mikroskopik, kultur, identifikasi isolat, dan tes sensitivitas
obat.

Spesimen klinis:
- Sputum
- Urine, cairan serebrospinal, cairan pleura, material purulen dari needle aspiration atau
abses, atau specimen biopsi. Spesimen biopsi, dimasukkan ke dalam larutan NaCl steril,
tidak menggunakan formalin.

Cara pengambilan sputum:


Biasanya diambil 3 spesimen sputum: 2 “spot” spesimen dan 1 “morning” spesimen. Untuk
mendapatkan sampel sputum, pasien diminta untuk menarik nafas dalam 2–3 kali, lalu batuk,
kemudian sputum sebanyak 3–5 ml ditampung dalam wadah bermulut lebar dan steril.

48
MIKROBIOLOGI

Wadah steril untuk menampung sputum, harus diberi label.

Pengolahan Spesimen
Sebelum diperiksa, spesimen yang berasal dari bagian tubuh yang tidak steril (sputum, urine,
dan faeces) memerlukan dekontaminasi dan konsentrasi. NaOH sebagai decontaminating
agent, N-acetyl-L-cycteine (NALC)=mucolytic agent.

Prosedur pengenceran dan dekontaminasi specimen dengan “N-acetyl-L-cysteine (NALC)-


NaOH method”:
Sputum sebanyak 1–2 ml dicampurkan dengan digestant-decontamination (campuran NaOH
4% dengan trisodium citrate, NALC powder dan H2O) sama banyak. Campuran diinkubasikan
pada suhu kamar selama 15 menit sambil digoyang (vortex), kemudian ditambahkan 8 ml
akuades, dinetralisasi dengan phosphate buffer, lalu disentrifuga pada 3600 X G selama 15
menit. Supernatan dibuang, sedimen diambil dan diperiksa dengan Ziehl-Neelsen method (ZN
merupakan metode konvensional).

1. Diagnosis Mikroskopik
Mycobacterium dikelilingi oleh waxy fats (mycolic acid). Zat warna biasanya sulit berpenetrasi
ke dalam dinding sel, kecuali digabungkan dengan phenol. Mikroorganisme ini bersifat tahan
asam, setelah diwarnai carbol fuchsin (carbol = phenol, fuchsin = derivat aniline) warna merah
tidak dilepas oleh asam alkohol (95% ethanol dengan 3% HCl). Sediaan mikroskopik akan
mudah dilihat bila latar belakang diwarnai dengan warna yang berbeda. Methylene blue atau
malachite green, digunakan sebagai counterstain. Metoda pengecatan ini adalah Ziehl-Neelsen
(Frans Ziehl dan Friedrich Neelsen, German bacteriologists). Pada pengecatan Gram, bakteri
ini tidak dapat diwarnai dengan sempurna.

Tehnik Pewarnaan Ziehl-Neelsen:


- Buat sediaan apus dari spesimen sputum (sedimen), biarkan mengering.
- Fiksasi dengan api.
- Teteskan larutan carbol fuchsin, panaskan bagian bawah slide dengan api selama 1 menit,
lalu diamkan selama 4–5 menit tanpa pemanasan.
- Cuci dengan air.
- Dekolorisasi dengan asam alkohol selama 2 menit.

49
MIKROBIOLOGI

- Cuci dengan air.


- Teteskan reagen methylene blue (0,3%) 1 menit
- Cuci dengan air, biarkan mengering di udara. Amati dengan mikroskop pembesaran 1000x.

Hasil pengamatan mikroskopik:


Mycobacterium tuberculosis terlihat sebagai batang tipis berwarna merah (acid fast
bacilli=AFB= BTA), ukuran 0,2–0,4 X 2–4 µm, susunan: serpentine cord.

Buat sediaan apus Biarkan mengering Fiksasi

Teteskan carbol fuchsin Panaskan jangan sampai mendidih

50
MIKROBIOLOGI

Cuci dengan air Dekolorisasi dengan asam alkohol

Cuci dengan air

Counterstain dengan methylene blue

Cuci dengan air, dikeringkan

51
MIKROBIOLOGI

Lihat dengan mikroskop pembesaran1000x

Interpretasi hasil pemeriksaan mikrokopik:

Jumlah BTA yang ditemukan dengan ZN Nilai


0 Tidak ada BTA
1–2/300 Lp Meragukan
1–9/100 Lp 1+
1–9/10 Lp 2+
1–9/Lp 3+
>9/Lp 4+

Diagnosis mikrokopik dapat juga menggunakan mikroskop fluoresensi dengan auramine-


rhodamine.

2. Kultur
Isolasi pada media yang mengandung telur, asam oleat, dan albumin, ditambah hijau malakhit
untuk menekan pertumbuhan kuman lain.

Media padat:
- Egg-based media (inspissated egg media): Lowenstein Jensen medium:
mengandung telur, kentang, garam, kolesterol, hijau malakhit.
koloni baru tampak setelah 4–6 mingguàcauliflower-like

52
MIKROBIOLOGI

- Agar based medium (semisynthetic agar media):


Middlebrook 7H10 dan 7H11 agar: microcolony detection (<7 hari)

Media cair:
- Kirschner’s atau Middlebrook 7H9 broth
- Radiometric BACTEC 460 TB method (deteksi dalam 12 hari)
Mengukur 14CO2 dari metabolismo 14C palmitic acid pada Middlebrook 7H12
culture medium dengan Bactec system à grow index (GI) value
- MGIT 960 Mycobacterium Detection System
= Metode Fluorometrik: Bactec MGIT 960 (deteksi 17 hari)
Mycobacterium Growth Indicator Tube mendeteksi pertumbuhan mycobacterium dengan
menggunakan silicon rubber yang diresapi dengan senyawa fluoresen, bila terdapat
oksigen, tidak terjadi fluoresensi. Bila Mycobacterium tumbuh dalam medium cair, oksigen
dalam tabung akan digunakan, akibatnya reaksi fluoresensi positif, tiap 60 menit,
fluoresensi meningkat.
- MB/Bac T System
= metode colorimetric: “MBRedox Tube System (16 hari)
Non-radiometric continous monitoring system with computerized database management,
sistem ini untuk mendeteksi CO2 berdasarkan kolorimetrik.
Tabung yang mengandung Kirschner medium dan garam tetrazolium yang tak berwarna,
bila direduksi oleh mycobacterial redox system menjadi warna pink, merah, dan violet.
Warna akan diakumulasikan pada permukaan sel sehingga mikrokoloni nampak sebagai
partikel berwarna.

3. Tes Sensitivitas Terhadap Antituberkulosis


Isolat dari M. tuberculosis complex diperiksakan sensitivitasnya terhadap first-line
antituberculosis agent: isoniazid, rifampin, streptomycin, ethambutol, dan pyrazinamide,
kemudian pemeriksaan dilakukan terhadap second line drugs seperti amikacin, capreomycin,
clofazimine, cycloserine, ethionamide, kanamycin, ofloxacin, dan rifabutin. Untuk
mendapatkan hasil cepat (satu minggu), digunakan BACTEC 460 rapid radiometric method.

Aspergillus sp.

Aspergillus sp. adalah opportunistic mycoses, termasuk dalam golongan hyaline, septate,
monomorphic molds. Fungi saprofit, tumbuh di alam bebas, tersebar di seluruh dunia. Pada
manusia, opportunistic mycoses biasanya mempunyai tempat predileksi di paru, sehingga
manusia terinfeksi oleh jamur ini melalui inhalasi airborne conidia.
Spesies yang paling patogen bagi manusia adalah Aspergillus fumigates, spesies lainnya, A.
flavus, A. niger, dan A. terreus juga dapat menyebabkan penyakit pada manusia.

Manifestasi Klinik
1. Pulmonary Aspergillosis

53
MIKROBIOLOGI

- Allergic aspergillosis: pada individu dengan riwayat alergi (atopik), bila konidia
terinhalasi akan terjadi extrinsic asthma, extrinsic allergic alveolitis, allergic
bronchopulmonary aspergillosis (ABPA).
- Noninvasive aspergillosis atau aspergilloma (fungus ball): disebabkan terjadinya
kolonisasi saprofitik dalam rongga (cavity) pada paru, biasanya sekunder dari penyakit
tuberkulosis atau sarkoidosis.
- Acute invasive pulmonary aspergillosis
- Chronic necrotizing aspergillosis
2. Disseminated aspergillosis
3. Paranasal sinuses aspergillosis
4. Cutaneous aspergillosis: terjadi akibat penyebaran dari paru atau karena trauma dan
kolonisasi.

Diagnosis Laboratorium
Spesimen: Sputum

Cara Pengambilan Spesimen


Sputum harus diambil pagi hari segera setelah bangun tidur. Mulut pasien dibilas dengan
air. Pasien diminta untuk mengeluarkan sputum dengan cara menarik nafas dalam 2–3 kali,
lalu batuk, kemudian sputum ditampung dalam wadah steril. Bila pasien tidak batuk produktif,
pengeluaran sputum dapat dirangsang dengan NaCl nebulizer ke dalam bronkus. Bila
diperlukan spesimen dari saluran nafas yang lebih bawah dapat dilakukan bronchoalveolar
lavage (bronchoscopic).
Sputum harus diproses secepatnya, tidak boleh lebih dari 2 jam, bila belum dapat diproses,
sputum harus disimpan pada suhu 4°C (untuk pemeriksaan mikologi tidak dianjurkan spesimen
sputum 24 jam, karena overgrowth bakteri dan fungi kontaminan).

Pemeriksaan Mikroskopik
Buat sediaan basah pada gelas objek, tetesi dengan KOH 10%, tutup dengan gelas penutup,
lihat dengan mikroskop pembesaran 10x atau 40x.
Hasil: potongan hyphae berseptum dan bercabang
(dichotomous branching membentuk sudut 45°)

54
MIKROBIOLOGI

Kultur
Inokulasikan sampel pada Sabouraud's dextrose agar dengan chloramphenicol dan gentamicin
(Aspergillus sensitif terhadap cycloheximide), inkubasikan duplikat kultur pada suhu 26°C dan
35°C, koloni Aspergillus biasanya tumbuh cepat (fast growing), sporulasi terjadi dalam waktu
7 hari.
Amati koloni yang tumbuh: morfologi koloni, conidial head, dan pigmentasi.
Aspergillus fumigatus: rapid growing mold (2–6 hari), tampak koloni fluffy granuler warna
putih sampai biru–hijau. Koloni yang mature sporulating: blue-green powdery appearance.
Pengamatan mikroskopik dari koloni yang tumbuh:
Hyphae berseptum dan bercabang dengan konidiofor dengan“footcell” pada dasar, bagian
terminal berbentuk vesikel (20–30 µm), ditutupi oleh lapisan palisade-like phialides/sterigmata
tunggal (uniseriate), dan membentuk konidia one-celled (2,5–3,0 µm) dengan permukaan
smooth atau rough, berwarna abu-abu, hijau/biru hijau. Tersusun berderet membentuk rantai
panjang divergen (radiate).

Mengingat bahwa pemeriksaan mikroskopik dari kultur jamur kurang berhasil, karena hyphae,
konidia, dan elemen jamur menjadi rusak waktu pengambilan untuk pembuatan sediaan, maka
sering dilakukan pemeriksaan biakan dengan metode mikrokultur.

Slide culture method of Riddell (Ito-Refai culture method), suatu teknik gabungan kultur
dengan observasi mikroskopis dengan cara:
Sepotong agar Sabouraud's dextrose tipis dengan lebar 1 cm diletakkan pada gelas sediaan.
Dengan menggunakan jarum inokulasi steril, tiap sisi balok agar diinokulasikan dengan sedikit
isolate, lalu ditutup dengan gelas penutup. Gelas sediaan tersebut diletakkan dalam pinggan
petri yang sudah diberi kertas filter basah (kondisi menjadi lembab), pinggan petri ditutup dan
diinkubasikan pada suhu 30°C–35°C, kemudian kultur diamati secara mikrokopis setiap hari.
Hasil pengamatan akan ditemukan hyphae yang lengkap dengan sporulasi.

55
MIKROBIOLOGI

Pemeriksaan lain adalah biopsi jaringan:


Hasil biopsi jaringan paru dengan pengecatan methanamine silver.

Tampak: hyphae berseptum, bercabang dichotomous, conidial head.

Daftar Pustaka
1. Forbes BA, Sahm DF, Weissfeld AS. 2002. Bailey & Scott’s Diagnosis Microbiology. Eleventh
edition. St Louis Missouri: Mosby Inc. 2002.
2. Kwon-Chung KJ, Benett JE. Medical Mycology.Pennsylvania: Lea & Febiger. 1992.
3. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection. Diagnosis and Management. Blackwell Scientific
publication. 1994.
4. Shimed LA. Essential of Diagnostic Microbiology. Delmar Publishers. 2010.

56
PENUNTUN
PRAKTIKUM
PATOLOGI ANATOMI

57
PATOLOGI ANATOMI
SISTEM RESPIRASI
Laella K Liana

PARU-PARU BAYI YANG BELUM BERNAPAS

Makroskopis:
Paru-paru dengan warna pucat dan konsistensi kenyal, tidak teraba krepitasi. Pada Tes Apung
Paru didapatkan hasil negatif, yaitu paru-paru tenggelam dalam air. Tes Apung Paru negatif
palsu bisa didapatkan pada bayi yang dilahirkan hidup, tapi kemudian berhenti bernapas,
sehingga udara dalam alveoli diresorpsi, padahal jantung masih aktif berdenyut, sehingga hasil
uji Tes Apung Paru yang negatif tidak dapat menjadi acuan bahwa bayi lahir dalam keadaan
mati.

Mikroskopis:
Sediaan terdiri dari rongga-rongga alveoli yang berukuran kecil dengan septum interalveolar
yang tebal. Epitel alveoli terdiri dari pneumocytes tipe I dan tipe II. Septum interalveolare
terdiri dari jaringan fibrokolagen yang elastis, sel-sel spindel fibroblast-like, sel otot polos, sel
makrofag, dan sel limfosit.

Gambar:

59
PATOLOGI ANATOMI

ASBESTOSIS PULMONUM

Makroskopis:
Pleura visceralis permukaan lateral dan diafragmatika tampak menebal, menimbulkan adhesi
antara paru-paru dengan dinding thorax. Paru-paru dengan fibrosis difus, terutama lobus
inferior, menyebabkan distorsi arsitektur normal.

Mikroskopis:
Sediaan memberikan gambaran fibrosis pulmo difus, dengan sebaran asbestos bodies warna
kecoklatan bentuk fusiform/batang dengan badan yang transparan.

Gambar:

60
PATOLOGI ANATOMI

EMPHYSEMA PULMONUM

Terdapat empat tipe emphysema, yaitu centriacinar, panacinar, distal acinar, dan ireguler.

Makroskopis:
Pada panacinar emphysema, paru-paru tampak pucat, berukuran sangat besar, sehingga
mendesak jantung.

Mikroskopis:
Sediaan menunjukkan destruksi dinding alveoli tanpa fibrosis, menyebabkan rongga alveoli
membesar. Kapiler alveoli menghilang. Jaringan elastis di septa alveoli menghilang, sehingga
terjadi kolaps saat ekspirasi. Sel-sel radang dan fibrosis akan ditemukan pada emphysema yang
lanjut.

Gambar:

61
PATOLOGI ANATOMI

PNEUMONIA LOBARIS

Pneumonia bakterialis memiliki dua pola distribusi anatomi, yaitu lobular bronchopneumonia
dan pneumonia lobaris. Pada pneumonia lobaris, terdapat konsolidasi solid pada satu lobus
paru. Terdapat empat stadium respons inflamasi, terdiri dari kongesti, hepatisasi merah,
hepatisasi kelabu, dan resolusi.

Makroskopis:
Pada stadium kongesti, paru-paru bertambah berat dan berwarna merah.
Pada stadium hepatisasi merah, lobus paru berwarna merah, mengeras, menyerupai konsistensi
hepar (sehingga disebut hepatisasi).
Pada stadium hepatisasi kelabu, warna lobus paru menjadi keabuan.
Pada stadium resolusi, timbul reaksi fibrinosa yang menyebabkan pleuritis, penebalan pleura,
dan adhesi permanen.

Mikroskopis:
Pada stadium kongesti, pembuluh darah membengkak dan terdapat cairan dan sel-sel radang
polimorfonuklear di dalam alveoli.
Pada stadium hepatisasi merah, di dalam alveoli bersebukan masif sel-sel radang
polimorfonuklear, sel-sel eritrosit, dan fibrin.
Pada stadium hepatisasi kelabu, sel-sel eritrosit mengalami disintegrasi secara progresif dan
tampak eksudat fibrinosupuratif.
Pada stadium resolusi, eksudat dihancurkan melalui reaksi enzimatik, menghasilkan debris
yang diingesti oleh makrofag, atau diorganisasi oleh fibroblast.

Gambar:

Stadium kongesti pneumonia lobaris

62
PATOLOGI ANATOMI

Stadium awal hepatisasi kelabu

Stadium resolusi

63
PATOLOGI ANATOMI

TUBERKULOSIS PARU

Merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,


biasanya menyerang paru, tetapi sering juga menyerang organ lain.

Makroskopis:
Lesi awal berupa fokus konsolidasi yang berukuran kecil <2 cm, berbatas tegas, warna kuning
keabuan pada apex pleura. Pada kasus yang progresif, lesi apex akan membesar dan area
nekrosis kaseosa meluas. Erosi pada pembuluh darah menyebabkan hemoptysis.

Mikroskopis:
Sediaan menunjukkan gambaran kelompokan alveoli paru dengan di antaranya tampak
kelompokan sel-sel epiteloid yang membentuk granuloma, nekrosis kaseosa, dan sebaran sel-
sel datia Langhans. Tampak pula sebukan sel-sel radang limfosit.

Gambar:

64
PATOLOGI ANATOMI

CARCINOMA PARU

Carcinoma paru merupakan penyebab angka kematian akibat kanker tertinggi di negara-
negara maju. Empat tipe major carcinoma paru adalah adenocarcinoma, squamous cell
carcinoma, small cell carcinoma, dan large cell carcinoma. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan carcinoma kombinasi dari tipe-tipe tersebut. Carcinoma paru yang tersering
didapatkan adalah tipe adenocarcinoma.

Histologic Classification of Malignant Epithelial Lung Tumors


(2015 WHO Classification, Simplified Version)

• Adenocarcinoma
Acinar, papillary, micropapillary, solid, lepidic predominant, mucinous subtypes
• Squamous cell carcinoma
• Large cell carcinoma
• Neuroendocrine carcinoma
Small cell carcinoma
Large cell neuroendocrine carcinoma
Carcinoid tumor
• Mixed carcinomas
Adenosquamous carcinoma
Combined small cell carcinoma
• Other unusual morphologic variants
Sarcomatoid carcinoma
Spindle cell carcinoma
Giant cell carcinoma

Makroskopis:
Adenocarcinoma biasanya muncul di perifer, atau di sekitar hilus, membentuk massa tumor
yang berukuran kecil apabila dibandingkan dengan tipe yang lain, tetapi mudah bermetastasis
luas.

Mikroskopis:
Sediaan berupa massa tumor yang terdiri dari sel-sel epitelial anaplastik yang menyusun
struktur kelenjar, papilifer, mucinous, dan solid. Inti sel polimorfik, hiperkromatis, mitosis
ditemukan.

65
PATOLOGI ANATOMI

Gambar:

Gland-forming adenocarcinoma. Inset shows thyroid transcription factor 1


(TTF-1) positivity, which is seen in a majority of pulmonary adenocarcinomas.

Daftar Pustaka
1. https://embryology.med.unsw.edu.au/embryology/index.php/Respiratory_System_-_Histology
2. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 10th ed. Elsevier. 2018.

66
PENUNTUN
PRAKTIKUM
PATOLOGI KLINIK

67
PATOLOGI KLINIK
ANALISIS SPUTUM
Penny Setyawati M

Infeksi saluran napas secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu infeksi saluran napas
bagian atas dan infeksi saluran napas bagian bawah. Bahan pemeriksaan yang digunakan untuk
identifikasi mikroorganisme pada ke dua jenis infeksi saluran napas tersebut berbeda.
Identifikasi mikroorganisme penyebab infeksi saluran napas atas umumnya menggunakan
bahan pemeriksaan dari saliva, apus hidung, dan apus tenggorok, sedangkan untuk infeksi
saluran napas bagian bawah umumnya menggunakan bahan pemeriksaan sputum, tetapi untuk
penderita anak-anak umumnya digunakan bahan pemeriksaan air cucian lambung karena anak-
anak umumnya tidak dapat berdahak.
Sputum adalah sekret yang berasal dari bronkhus, bukan berasal dari tenggorokan, hidung
atau mulut, dan bukan ludah (saliva). Bahan pemeriksaan sputum dapat diperoleh bila kita
dapat menjelaskan kepada penderita secara jelas dan benar tentang prosedur pengambilan
sampel sputum secara benar.

Pokok Bahasan
I. Pemeriksaan Apus Tenggorok/Apus Nasofaring
II. Pemeriksaan Basil Tahan Asam
III. Pemeriksaan TB Ag Rapid Test Device

Tugas
• Tugas harus dikerjakan di rumah dengan tulisan tangan pada kertas folio bergaris
dan diserahkan sebelum praktikum dimulai.
• Bagi mahasiswa/i yang tidak menyerahkan tugas, tidak diijinkan mengikuti
praktikum.

1. Jelaskan secara sistematik bagaimana anda menjelaskan kepada penderita anda tentang
”prosedur pengumpulan dahak secara benar”!
2. Apa kriteria World Health Organization/WHO untuk menegakkan diagnosis tbc paru?
Sebutkan ketentuan-ketentuannya secara lengkap!
3. Bagaimana cara pengambilan bahan pemeriksaan apus tenggorok/nasofaring?
4. Bagaimana prosedur pembuatan preparat BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan
bagaimana interpretasinya berdasarkan Kriteria International Union Against Tuberculosis
and Lung Diseases (IUATLD)?
5. Bagaimana prosedur pembuatan preparat dengan pewarnaan Gram dan KOH?
6. Apa tujuan masing-masing sediaan/preparat?

Alat-alat dan Reagen


1. Alat-alat untuk apus nasofaring/tenggorok:
Dacron swab atau kapas lidi steril dibasahi NaCl 0,9% dan tongue spatel.

69
PATOLOGI KLINIK

2. Wadah penampungan sputum harus bermulut cukup lebar dengan diameter minimal 35 mm
bertutup ulir, dan terbuat dari bahan plastik transparan sehingga memudahkan penilaian
makroskopik sputum.
3. Alat-alat untuk identifikasi mikroorganisme:
Sarung tangan, slide glass, cover glass, ose, lampu, mikroskop, dan kertas saring.
4. Reagen:
• Preparat Gram:
- Larutan Kristal violet.
- Larutan Gram’s iodine.
- Methanol 95%.
- Larutan Safranin
• Preparat Ziehl Neelsen:
- Larutan Carbol fuchsin.
- Ethanol-HCl 3%.
- Methilene blue 0,1%.
• Preparat KOH: KOH

Syarat pengiriman bahan pemeriksaan (BP) harus disertai identitas penderita (labelling)
dan surat pengantar (formulir pemeriksaan).
• Formulir permintaan pemeriksaan laboratorium harus mencantumkan:
1. Tanggal permintaan.
2. Tanggal dan jam pengambilan BP.
3. Identitas penderita (nama, umur, jenis kelamin, dan alamat) dan identitas BP.
4. Identitas pengirim (nama, alamat, dan nomor telepon).
5. Diagnosis kerja/keterangan klinik.
6. Obat-obatan yang telah diberikan dan lama pemberian.
7. Jenis bahan pemeriksaan (BP).
8. Lokasi pengambilan BP.
9. Volume BP.
10. Pemeriksaan laboratorium yang diminta.
11. Nama yang mengambil BP.

• Label pada wadah BP harus disertai keterangan:


1. Tanggal dan jam pengambilan.
2. Identitas penderita dan nomor/kode BP pada wadah BP.
3. Jenis bahan pemeriksaan (BP).

I. Pemeriksaan Apus Tenggorok/Apus Nasofaring

Pengambilan BP apus nasofaring/tenggorok umumnya dilakukan masing-masing sebanyak 2


kali, satu untuk pemeriksaan preparat direk dengan mikroskop dan satu untuk BP pemeriksaan
kultur.

70
PATOLOGI KLINIK

• Pengambilan BP dari apus nasofaring:


1. Penderita dipersilakan duduk (kalau anak-anak dipangku).
2. Petugas berdiri di samping kanan penderita.
3. Kepala penderita ditegakkan, tangan kiri petugas memegang bagian belakang kepala
penderita.
4. Lidi dacron steril dimasukkan ke dalam rongga hidung penderita dengan gerakan searah
putaran jarum jam hingga menyentuh dinding belakang nasofaring, lalu lidi dacron
ditarik keluar dengan arah putaran yang sama yaitu searah jarum jam.
5. Lidi dacron dimasukkan ke dalam media transpor atau langsung diinokulasikan pada
media isolasi dan dibuat sediaan apus.
6. BP diberi label yang mencantumkan identitas penderita.

• Pengambilan BP dari apus tenggorok:


1. Penderita dipersilakan duduk (kalau anak-anak dipangku).
2. Petugas berdiri atau duduk di depan penderita.
3. Penderita diperintahkan untuk membuka mulutnya.
4. Lidah penderita ditekan dengan tongue spatel dengan tekanan ringan.
5. Lidi kapas steril yang telah dibasahi dengan NaCl 0,9% steril disentuhkan pada dinding
faring bagian belakang.
6. Lidi kapas steril diusapkan ke dinding faring sebelah kanan dan kiri, serta diusapkan ke
tonsil penderita, lalu ditarik keluar dengan hati-hati tanpa menyentuh bagian mulut yang
lain.
7. Lidi kapas tersebut dimasukkan ke dalam media transpor atau langsung diinokulasikan
pada media isolasi dan dibuat sediaan apus.
8. BP diberi label yang mencantumkan identitas penderita.

• Pemeriksaan Mikroorganisme “Direct Preparat”


Prosedur pewarnaan Gram:
1. BP diambil menggunakan ose yang telah dibakar di nyala api lebih dahulu.
2. Sediaan apus dibuat pada permukaan kaca objek (jangan terlalu tebal/tipis).
3. Sediaan difiksasi dengan melewatkan pada nyala api bunsen sebanyak 3 kali.
4. Sediaan diwarnai dengan pewarnaan Gram:
a. Sediaan digenangi larutan Kristal violet 1 menit, dibilas dengan air mengalir.
b. Sediaan digenangi larutan Gram’s Iodine 1 menit, dibilas dengan air mengalir.
c. Sediaan dibilas alkohol 95% tetes demi tetes hingga sisa zat warna bersih.
d. Sediaan dibilas alhohol untuk membersihkan sisa warna, lalu dibilas air mengalir.
e. Sediaan diwarnai dengan counterstain Safranin 30 detik, lalu dibilas air mengalir.
f. Sediaan Gram dikeringkan dengan kertas saring.
g. Sediaan diperiksa dengan mikroskop pada perbesaran:
o Perbesaran 100x untuk identifikasi lekosit > atau <25/LPK dan epitel > atau
<10/LPK.
o Perbesaran 1000x untuk identifikasi bakteri atau fungi:
- Bakteri berbentuk batang atau kokus.
- Fungi dilaporkan sebagai miselium atau monilia.

71
PATOLOGI KLINIK

- Gram positif berwarna ungu kebiruan.


- Gram negatif berwarna merah muda (pink).

II. Pemeriksaan Basil Tahan Asam

CARA BATUK YANG BENAR

A. Dahak yang baik:


1. Dahak kental warna kuning kehijauan (bukan ludah).
2. Jumlah dahak paling sedikit 3 cc, bila kurang diminta lakukan batuk ulang.

B. Waktu pengumpulan dahak:


1. Sewaktu : saat pasien datang pertama kali.
2. Pagi : dahak pagi hari segera sesudah bangun tidur.
3. Sewaktu : saat pasien mengirimkan sputum pagi, diminta berdahak lagi.

C. Cara batuk:
1. Persiapan untuk pasien yang sulit berdahak:
Malam hari sebelum tidur dianjurkan untuk:
Minum 1 gelas teh manis atau minuman manis lain
atau
Minum obat batuk tablet gliseril guayakolat (GG) 200 mg (2 tablet)

2. Pengambilan dahak:
- Pasien harus berkumur dahulu.
- Tarik nafas dalam beberapa kali lalu tahan nafas dahulu beberapa saat, bila terasa
ingin batuk, batukkan kuat-kuat dan tahan dahak dalam rongga mulut.
- Buka tutup ”pot sputum steril”, letakkan di bawah bibir.
- Masukkan dahak ke dalam pot
- Tutup ”pot sputum steril”.
- Serahkan kepada petugas Laboratorium.

Pemeriksaan sputum terdiri dari:

I. Pemeriksaan makroskopik sputum:


1. Volume.
Volume bahan pemeriksaan sputum yang diperlukan 3–5 ml, minimal 3 ml. Volume
sputum normal hanya sedikit sekali. Volume sputum pada edem paru, abses paru,
bronkhiektasi dapat melebihi 100 ml, bahkan lebih dari 500 ml dalam waktu 24 jam. Bila
sputum tersebut didiamkan akan terpisah menjadi 3 lapisan, bagian atas berbusa, bagian
tengah keruh, dan bagian bawah yang terdapat endapan jaringan nekrotik, sel-sel, dan
bakteri.

72
PATOLOGI KLINIK

2. Bau.
Sputum segar yang berbau busuk menandakan adanya gangren atau abses paru. Sputum
dapat berbau feses bila ada fistula abses subphrenic yang menembus diagframa.

3. Warna.
Warna sputum dapat bervariasi, bisa keabu-abuan bila ada jaringan nekrotik. Berwarna
kuning kehijauan bila terdapat infeksi kuman, berwarna merah segar bercampur busa bila
terdapat perdarahan pulmonal atau merah kecoklatan seperti pada pneumonia lobaris atau
kehitaman bila terdapat asbestosis.

4. Konsistensi.
Konsistensi sputum bisa serosa, mukoid, atau mukopurulen bergantung pada kelainan atau
infeksi paru-paru.

5. Unsur-unsur khusus dalam sputum (sputum dituangkan ke dalam cawan petri lalu dilihat
dengan kaca pembesar/loupe), antara lain:
• Butir-butir perkejuan, yaitu potongan-potongan jaringan nekrotik kecil berwarna
kuning yang dapat ditemukan pada sputum penderita tuberkulosis pulmonal,
ganggren paru, abses paru, atau actinomycosis.
• Spiral Cruschmann, yaitu benang-benang kuning berulir pada sputum penderita asma
bronkhial.
• Sumbat Dittrich, yaitu benda yang dibentuk dari fibrin-fibrin dan sel-sel yang rusak
dalam bronkhus/bronkhiolus penderita asma bronkhial, bronkhitis, bronkhiektasi.
• Benang-benang fibrin, pada sputum pasien bronkhitis fibrinosa atau pneumonia.

II. Pemeriksaan mikroskopik sputum:


Pemeriksaan mikroskopik sputum biasanya untuk identifikasi mikrobiologik. Identifikasi
bakteriologik dengan pewarnaan Gram atau Ziehl Neelsen, sedangkan identifikasi fungi
dengan reagen KOH.
Pemeriksaan bakteriologik tuberkulosis pulmonal yang paling mudah dan murah adalah
“pemeriksaan mikroskopik BTA sputum dengan pewarnaan Ziehl Neelsen”, tetapi
sensitivitasnya hanya 25–65% dan pada tuberkulosis pulmonal anak dan ekstrapulmonal lebih
rendah lagi sensitivitasnya. Pemeriksaan mikroskopik BTA baru menunjukkan hasil BTA
positif bila dalam sputum terdapat 5.000–10.000 kuman/ml sputum. Pemeriksaan BTA sputum
pada kasus tuberkulosis paru seperti yang direkomendasikan oleh WHO adalah dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen atau Fluorochrome yaitu Auramine-O atau Auroamine-Rhodamine
dengan menggunakan tiga bahan pemeriksaan (sampel) sputum yang diambil pada saat yang
berbeda yaitu “sewaktu - pagi – sewaktu” (SPS) dan standar interpretasi/pembacaan BTA yaitu
dengan “Skala International Union Againts Tuberculosis and the Lung’s Diseases” (IUATLD,
WHO 1998).

73
PATOLOGI KLINIK

Pemeriksaan sputum direct smear dengan pewarnaan Ziehl Neelsen

1. Sampel sputum diambil dengan ose yang sudah


dibakar dalam nyala api dan tunggu sebentar
hingga pijar api pada ose padam.
2. Sputum dioleskan pada permukaan sebuah kaca
objek dengan gerakan spiral mulai dari bagian
tepi ke arah tengah sesuai dengan pola bentuk
oval dengan ukuran 2 x 3 cm yang diletakkan di
bawah kaca objek dan BP sputum disebarkan
agar tidak bertumpuk-tumpuk.
3. Sediaan apus pada kaca objek dilewatkan dalam
nyala api 2–3 kali untuk tujuan fiksasi.
4. Sediaan apus digenangi dengan carbol fuchsin,
lalu nyalakan api di bawah kaca objek hingga
cairan berasap tapi jangan sampai mendidih,
lalu biarkan selama 5 menit supaya zat warna
meresap pada kuman BTA.
5. Cairan dibuang, lalu cuci pakai air mengalir.
6. Sisa-sisa warna dibersihkan dengan larutan
asam alkohol, lalu dibilas dengan air mengalir.
7. Sediaan digenangi dengan larutan counterstain
methylene blue 0,1% selama 10–20 detik.
8. Cairan dibuang dan dicuci dengan air mengalir.
9. Keringkan sediaan pada suhu ruang.
10. Identifikasi BTA dengan mikroskop dan

Prosedur Pembuatan Apus Sputum

74
PATOLOGI KLINIK

Cara Pembacaan Sediaan BTA Apus Sputum:

Gambaran BTA pada pewarnaan Ziehl Neelsen

Skala International Union Againts Tuberculosis and the Lung’s Diseases (IUATLD)
Jumlah BTA Lapang Pandang (LP) Pelaporan
Tidak ada BTA per 100 LP Tidak ditemukan BTA
Scanty/dilaporkan jumlah BTA yang
1–9 BTA per 100 LP
ditemukan
10–99 BTA per 100 LP 1+
1–10 BTA per LP 2+
>10 BTA per LP 3+
Keterangan: per LP adalah pemeriksaan mikroskopik yang dilakukan per lapang pandang besar yaitu
dengan perbesaran 1000x.

Pemeriksaan BTA dengan 3 sampel SPS dapat meningkatkan sensitivitas deteksi BTA,
sensitivitas sampel pertama 80–83%, dengan sampel kedua maka sensitivitasnya meningkat
10–14%, bila ditambah sampel ke tiga maka sensitivitasnya akan meningkat sekitar 5–8% lagi
tetapi dengan syarat sampel sputum yang diperiksa adekuat. Sputum yang adekuat untuk
pemeriksaan hanya dapat diperoleh dengan prosedur pengumpulan sputum atau dahak secara
benar dengan cara batuk yang benar. Cara pengumpulan dahak/sputum secara benar perlu
diinformasikan secara benar kepada penderita sebelum penderita dirujuk ke laboratorium oleh
seorang dokter, agar hasil pemeriksaan dapat memberikan informasi seperti yang diharapkan.

75
PATOLOGI KLINIK

III. Pemeriksaan TB Ag Rapid Test Device

Metode: Rapid double chromatographic lateral flow immunoassay


Prinsip: Double antibody sandwich ELISA

Bahan pemeriksaan: Sputum


Reagen dan alat:
1. Cassette Kit TB Antigen device

2. Larutan buffer trisHCl NaN3 0,1%, pH 7,5.


3. Shaker
4. Tabung sampel dan penutup tabung
5. Pipet.
6. Pot sputum dengan tutup berulir
7. Sarung tangan.
8. Masker

76
PATOLOGI KLINIK

Prosedur Pemeriksaan Rapid ICT–TB Antigen:

1. Siapkan larutan buffer dalam tabung sebanyak 1,5mL.


2. Sampel sputum sebanyak 0,2–0,3 mL ditambahkan ke dalam larutan buffer.
3. Sampel dalam larutan buffer dihomogenisasi menggunakan shaker 30–60 detik.
4. Sampel dalam buffer diinkubasikan pada suhu ruang selama 30 menit.
5. Sampel sputum yang telah diinkubasikan pada suhu ruang diteteskan ke dalam sample cup
sebanyak 2–4 tetes (100–200 μL).
6. Hasil dibaca dalam 15 menit.
Interpretasi hasil pemeriksaan, dinyatakan:
- Reaktif bila muncul garis pink pada garis tes T.
- Nonreaktif bila hanya muncul garis pink pada kontrol C.
Bila pada garis kontrol C tidak muncul garis pink maka tes dinyatakan invalid dan tidak
dapat diinterpretasi dan pemeriksaan perlu diulang.

Daftar Pustaka
1. Badan Pusat RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis, Jakarta; 2016.
2. Kemenkes RI. National Strategic Plan of Tuberculosis Control 2016-2020, Jakarta; 2016
3. Fischbach F & Dunning III MB. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests, 8th Edition.
Philadelphia Baltimore New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
4. Wallach J. In: MA Williamson & LM Snyder (Eds.), Wallach’s Interpretation of Diagnostic Tests,
10th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincot Williams & Wilkins; 2014.
5. Strasinger SK, Di Lorenso MS. Fecal analysis. In: Urinalysis and body fluids, 6th edition.
Philadelphia: F.A. Davis Company; 2014.
6. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Sustainability Development Goals; 2017.
7. WHO. Global Tuberculosis Report 2017, Jenewa; 2017.

77
PATOLOGI KLINIK

ANALISIS CAIRAN PLEURA


Penny Setyawati M

Cairan pleura adalah cairan hasil ultrafiltrasi plasma yang terdapat dalam rongga pleura
yang tertutup, dibentuk oleh lapisan membran serosa, yaitu pleura visceralis yang melapisi
paru-paru dan pleura parietalis yang melapisi cavitas thoracica. Jumlah cairan pleura, pada
keadaan normal hanya sedikit, kira-kira 1–10 ml. Jumlahnya dipertahankan konstan oleh tubuh
karena terdapat keseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan pleura. Efusi cairan pleura
terjadi apabila jumlah cairan di dalam rongga pleura meningkat dan terakumulasi akibat proses
transudasi atau eksudasi.

Pokok Bahasan
I. Pemeriksaan Makroskopik Cairan Pleura
II. Pemeriksaan Mikroskopik Cairan Pleura
III. Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura: Tes Rivalta

Tugas:
• Tugas harus dikerjakan di rumah dengan tulisan tangan pada kertas folio bergaris
dan diserahkan sebelum praktikum dimulai.
• Bagi mahasiswa/i yang tidak menyerahkan tugas tidak diijinkan mengikuti
praktikum.

1. Jelaskan fisiologi pembentukan cairan pleura.


2. Jelaskan patofisiologi terjadinya efusi pleura.
3. Sebutkan klasifikasi efusi pleura berdasarkan timbulnya efusi.
4. Sebutkan perbedaan antara transudat dan eksudat.
5. Apa yang dimaksud dengan ADA (Adenosine Deaminase)?
6. ADA merupakan parameter pemeriksaan untuk penunjang diagnosis apa?

Tujuan Pemeriksaan Cairan Pleura


Pemeriksaan cairan pleura digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis kelainan
pleura dan diagnosis bandingnya serta mengetahui etiologi efusi pleura.

Prosedur torakosintesis:
Pungsi cairan pleura dilakukan dalam ruang tindakan khusus
1. Penderita duduk dengan posisi tegak atau bahunya disandarkan pada bantal atau duduk
memeluk bantal.
2. Tentukan tinggi cairan pleura dengan tindakan perkusi dinding toraks belakang.
3. Tentukan tempat pungsi yaitu ruang interkostal/ICS 6, 7, atau 8 pada linea aksilaris
posterior (ICS 8 biasanya terletak setinggi ujung skapula).

79
PATOLOGI KLINIK

4. Pakailah sarung tangan steril, lalu lakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada daerah
tempat yang akan dipungsi dengan larutan betadine dan alkohol 70%.
5. Tutup daerah yang akan dipungsi dengan doek steril.
6. Tusuk dinding toraks dengan jarum (abbocath) nomor 16, lalu pungsi cairan pleura
menggunakan syringe sebanyak 50 ml dan masukkan ke dalam botol-botol steril.
(Pengambilan cairan pleura tidak boleh >1000 ml/kali aspirasi)

Pemeriksaan cairan pleura terdiri dari:


I. Pemeriksaan makroskopik:
1. Volume
2. Warna
3. Kejernihan
4. Bau
5. pH
6. Berat jenis ( BJ )
7. Bekuan

II. Pemeriksaan mikroskopik:


1. Jumlah eritrosit
2. Jumlah lekosit
3. Hitung jenis lekosit

III.Pemeriksaan kimia:
1. Protein total
2. Glukosa
3. Laktik dehidrogenase (LDH)
4. Adenosine deaminase (ADA)
5. Tes Rivalta

IV. Pemeriksaan penanda tumor: Carcino-Embryonic Antigen ( CEA )

V. Pemeriksaan mikrobiologi:
1. Sediaan dengan pewarnaan Gram
2. Sediaan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen
3. Kultur mikroorganisme
4. Kultur basil tahan asam (BTA)

I. Pemeriksaan Makroskopik

Dilakukan pengamatan cairan pleura secara visual terhadap warna, kejernihan, dan ada atau
tidaknya bekuan (bekuan dinilai setelah cairan pleura didiamkan selama 1 jam).

80
PATOLOGI KLINIK

Beberapa macam gambaran makroskopik cairan pleura:

Hemorhagik Eksudat Transudat

Tentukan volume cairan pleura menggunakan gelas ukur, BJ diukur dengan refraktometer dan
pH ditentukan dengan kertas pH-meter.

II. Pemeriksaan Mikroskopik

1. Jumlah Eritrosit
Prinsip: cairan pleura diencerkan dengan larutan Hayem lalu dimasukkan ke dalam
hemositometer lalu dihitung seluruh eritrosit yang ada di dalam kamar hitung
untuk eritrosit kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran.
Alat-alat:
- Hemositometer Improved Neubauer
- Pipet Thoma eritrosit dan selang pengisapnya
- Cover glass
- Mikroskop
Reagen: larutan Hayem
Prosedur kerja:
• Isap cairan pleura dengan pipet Thoma eritrosit sampai tanda 0,5.
• Isap larutan Hayem diisap sampai tanda 101 (pengenceran 200x).
• Kocok larutan dalam pipet Thoma dengan gerakan angka 8 selama 3 menit.
• Siapkan hemositometer dengan melekatkan cover glass di atasnya secara benar (sampai
tampak bayangan cincin Newton yang tampak seperti pelangi).
• Buang 3-4 tetes isi pipet Thoma, lalu isi hemositometer.
• Isi hemositometer lalu diamkan selama 3 menit.
• Siapkan mikroskop dan letakkan hemositometer pada meja preparat.
• Gunakan mikroskop dengan perbesaran kecil 10 x 10, tentukan letak 5 kamar hitung
sedang untuk hitung eritrosit lalu perbesaran diubah menjadi 10 x 40.
• Hitung jumlah seluruh eritrosit pada 5 bidang eritrosit seperti hitung eritosit pada
pemeriksaan hematologi, lalu hasilnya dikalikan 10.000.
Nilai rujukan normal: jumlah eritosit <10.000/mm3.

81
PATOLOGI KLINIK

2. Jumlah Lekosit
Prinsip: cairan pleura diencerkan dengan larutan Turk lalu dimasukkan ke dalam
hemositometer lalu hitung seluruh lekosit yang ada di dalam kamar hitung untuk
lekosit kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran.
Alat-alat:
- Hemositometer Improved Neubauer
- Pipet Thoma eritrosit dan selang pengisapnya
- Cover glass
- Mikroskop
Reagen: larutan Turk atau larutan NaCl 0,9%
Prosedur kerja:
• Isap cairan pleura dengan pipet Thoma lekosit sampai tanda 0,5.
• Isap larutan Turk sampai tanda 11 (pengenceran 20x). Bila dengan larutan Turk
menggumpal maka cairan pleura diencerkan dengan larutan NaCl 0,9%.
• Kocok larutan dalam pipet Thoma dengan gerakan angka 8 selama 3 menit.
• Siapkan hemositometer dengan cover glass dilekatkan di atasnya secara benar (sampai
tampak bayangan cincin Newton yang tampak seperti pelangi).
• Buang 3-4 tetes isi pipet Thoma, lalu hemositometer diisi.
• Isi hemositometer lalu diamkan selama 3 menit.
• Siapkan mikroskop dan letakkan hemositometer pada meja preparat.
• Gunakan mikroskop dengan perbesaran kecil 10 x 10, tentukan letak 4 kamar hitung
besar untuk hitung lekosit lalu perbesaran diubah menjadi 10 x 40.
• Hitung jumlah seluruh lekosit pada 4 bidang lekosit seperti hitung lekosit pada
pemeriksaan hematologi, lalu hasilnya dikalikan 50.
Nilai rujukan normal: jumlah lekosit <1.000/mm3.

3. Hitung Jenis Leukosit


Prinsip : cairan pleura yang telah disentrifusi dibuat sediaan apus pada kaca objek, lalu
diwarnai dengan Giemsa/Wright/May-Grunwald Giemsa (MGG).
Alat-alat:
- Alat sentrifus
- Kaca objek
- Timer
- Mikroskop
Reagen:
- Methanol 96%
- Larutan Giemsa/Wright/May-Grunwald Giemsa (MGG)
- Larutan buffer pH 6,4
- Minyak emersi
Prosedur kerja:
• Cairan pleura disentrifusi dengan kecepatan 500–800 rpm selama 5 menit.
• Buang supernatannya dan sisakan sebanyak 0,5 ml untuk meresuspensikan.

82
PATOLOGI KLINIK

• Buat sedian apus cairan pleura, lalu biarkan mengering di suhu kamar.
• Fiksasi sediaan apus dengan methanol 96% selama 3–5 menit.
• Genangi sediaan dengan larutan Giemsa yang telah diencerkan dengan buffer, diamkan
selama 15–20 menit.
• Bilas dengan air mengalir, lalu keringkan.
• Baca sediaan apus cairan pleura di bawah mikroskop pada perbesaran 10x100
menggunakan minyak emersi.
Nilai rujukan normal: jumlah netrofil <25%
Interpretasi:
• Predominansi PMN umumnya berhubungan dengan pneumonia, pankreatitis, infark
paru, tumor, dan penyakit kolagen vaskuler.
• Limfositosis pada cairan pleura tidak selalu karena tuberkulosis tetapi dapat akibat
infeksi kronis atau keganasan.
• Eosinofilia pada cairan pleura diakibatkan penyakit atopik seperti asma atau penyakit
akibat parasit, atau pneumonia dalam masa penyembuhan.

III. Tes Rivalta

Tujuan: membedakan jenis cairan tubuh, apakah suatu transudat atau eksudat.

Prinsip: seromusin dalam suasana asam akan membentuk kekeruhan.

Alat-alat:
- Gelas ukur 100 ml
- Pipet Pasteur

Reagen :
- Akuades
- Asam asetat glasial

Prosedur kerja:
• Isi gelas ukur dengan 100 ml akuades.
• Tambahkan 1–2 tetes asam asetat glasial ke dalam akuades tersebut.
• Teteskan cairan pleura dari pipet dengan ketinggian pipet 1 cm di atas permukaan cairan.
• Amati ada atau tidak ada kekeruhan pada akuades dalam gelas ukur tersebut.
Nilai rujukan normal: Negatif à tidak tampak kekeruhan seperti kabut pada cairan.
Interpretasi: Positif à timbul kekeruhan ringan hingga seperti kabut (kualitatif).

83
PATOLOGI KLINIK

Perbedaan antara transudat dan eksudat:


Parameter Transudat Eksudat
Warna Kuning muda Purulen/darah/chyloid
Bau Tidak berbau Kadang berbau busuk
Kejernihan Jernih Keruh hingga menggumpal
Berat Jenis ( BJ ) <1,018 ³1,018
(1,005–1,015)
Bekuan Tidak ada Membeku spontan
Karena adanya fibrinogen
Protein <3 mg/dl ³ 3 mg/dl
Glukosa ± sama dengan plasma Kurang dari glukosa plasma
LDH <200 IU/l ³200 IU/l
Tes Rivalta Negatif Positif
Lekosit <1.000/mm3 >1.000/mm3
25% Netrofil * Netrofil pada infeksi akut
* Limfosit pada infeksi kronis
Bakteri Negatif Positif

Laporan Praktikum:

Parameter Hasil Praktikum Nilai Rujukan


Normal
Pemeriksaan Makroskopik:
Warna Kuning muda
Kejernihan Jernih
Bau Tak berbau
pH 6,8–7,6
BJ 1,010–1,026
Bekuan Negatif
Pemeriksaan Mikroskopik:
Eritrosit <10.000/mm3
Lekosit <1.000/mm3
Hitung Jenis Lekosit 25% netrofil
Pemeriksaan Kimia:
Tes Rivalta Negatif

Kesimpulan:

84
PATOLOGI KLINIK
Daftar Pustaka
1. Wallach J. In: MA Williamson & LM Snyder (Eds.), Wallach’s Interpretation of Diagnostic Tests.
10th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincot Williams & Wilkins; 2014.
2. Strasinger SK, Di Lorenso MS. Fecal analysis. In: Urinalysis and body fluids. 6th Edition.
Philadelphia: F.A. Davis Company; 2014.
3. Sedor FA. Body Fluid Analysis. In: ML Bishop, EP Fody, LE Schoef (Eds.), Clinical Chemistry
Principles, Procedures, Correlation. 5th Edition. Philadelphia Baltimore New York: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.
4. Jeffrey LK. Disorder of the Immune System. In: SJ McPhee, WF Ganong (Eds.), Pathophysiology
of Disease An Introduction to Clinical Medicine. 5th Edition. New York Chicago San Francisco:
Lange Medical Books / McGraw-Hill; 2006.
5. Prendergast TJ, Ruoss SJ. Pulmonary Disease. In: SJ McPhee, WF Ganong (Eds.), Pathophysiology
of Disease An Introduction to Clinical Medicine. 5th Edition. New York Chicago San Francisco:
Lange Medical Books / McGraw-Hill; 2006.

85

Anda mungkin juga menyukai