Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 6 (2) (2014): 125-131

Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial


Available online http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jupiis

Pengarusutamaan Gender dalam Program Pembangunan

Waston Malau*

Program Studi Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, Indonesia

Diterima Oktober 2014; Disetujui November 2014; Dipublikasikan Desember 2014

Abstrak
Berbagai isu ketidakadilan gender di masyarakat masih belum mendapat perhatian nyata dari semua komponen masyarakat.
Wanita lebih banyak mengalami ketidakberuntungan dibandingkan dengan pria dalam bidang pendidikan, kesehatan, kete-
nagakerjaan, penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti yang bisa dilihat bahwa masih kerap terjadi
kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan dan anak, pornografi, tenaga kerja perempuan seperti problem buruh
migran dan TKW di luar negeri, rendahnya partisipasi perempuan bidang politik, dan di bidang pendidikan terutama pada level
SMA dan perguruan tinggi. Untuk itu harus terus menerus dilakukan upaya menghapus diskriminasi gender dan pengembangan
potensi yang dapat mendukung kesetaraan dan keadilan gender. Meskipun dalam UUD 45 negara telah menjamin kesetaraan
akses perempuan dan laki-laki, namun di dalam penerapannya masih mengalami banyak hambatan. Budaya patriarkhi yang
sebagian besar masih dianut oleh masyarakat Indonesia turut melanggengkannya. Oleh karena itu, peningkatan peranan wanita
dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti penting
dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita atau mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Kata Kunci : Gender, Pembangunan, Pengarusutamaan, Program

Abstract
Many issues of gender inequality surrounding us still not yet seriously solved by all elements of society. Women have more experience
in disadvantages rather than men in the fields of education, health, employment, having and using science and technology. As may be
seen with the still frequently occur violence against women, trafficking of women and children, pornography, the employment of
women as problems of migrant workers and migrant workers abroad, lower participation of women in politics, and in the field of
education, especially at the senior high school and higher education. For solving that, efforts in eradicating gender discrimination
and developing potency which can support gender equality must be conducted continuously. Despite Constitution of 1945 ensures
equality between men and women in accessing the fields, but in application still faced by many obstacles, for instance culture of
patriarchy still remained and perpetuated by most of Indonesian people. Therefore increasing the women’s role in gender-based
development as integral part of national development, has important meaning as effort to realize harmonious equal partnership
between men and women, which in other word, to realize gender equity and equality in various fields of life and development.

Keywords: Gender, Development, Mainstreaming, Program

How to Cite: Malau, W. (2014). Pengarusutamaan Gender dalam Program Pembangunan. Jurnal Pendidikan Ilmu-
Ilmu Sosial, 6 (2): 125-131

*Corresponding author: p-ISSN 2085-482X


E-mail: wastonmalau@gmail.com e-ISSN 2407-7429

125
Waston Malau. Pengarusutamaan Gender dalam Program Pembangunan

PENDAHULUAN pembangunan. Hal ini tentu memunculkan


Pembangunan adalah proses perubahan pertanyaan: “mengapa terjadi ketertinggalan
yang mencakup seluruh sistem sosial seperti kedudukan dan peranan wanita dalam program
politik, ekonomi, infrastuktur, pertahanan, pembangunan”.
teknologi, kelembagaan dan budaya, yang
dilaksanakan secara terencana dan terarah. PEMBAHASAN
Artinya, ini semua mencakup segala sendi Umumnya kebudayaan masyarakat di
kehidupan sebuah negara yang menuju kepada negara- negara berkembang didominasi kuat
kemajuan. Kemajuan-kemajuan yang tentu saja peran laki-laki atau disebut budaya patriarkhi,
dilaksanakan dengan terencana dan terarah sehingga posisi perempuan terhadap laki-laki
melalui proses bertahap. Seperti yang tidak setara. Masyarakat beranggapan bahwa
diungkapkan oleh Kartasasmita (1997) bahwa perempuan memiliki ciri-ciri lemah, halus atau
pembangunan adalah proses perubahan ke arah lembut, emosional, dan sebagainya, sedangkan
kondisi yang lebih baik melalui upaya yang laki-laki memiliki ciri-ciri kuat, kasar, rasional
dilakukan secara terencana. dan sebagainya. Akibat dari pandangan yang
Pada awalnya program pembangunan demikian maka muncullah pembedaan status
yang dijalankan di negara negara berkembang dan peranan laki-laki dan perempuan di dalam
termasuk Indonesia, adalah untuk mencapai masyarakat yang disebut gender. Jadi gender
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ternyata adalah konstruksi masyarakat tentang
strategi pembangunan yang demikian ini tidak perbedaan status dan peranan antara laki-laki
memberikan hasil yang memuaskan terutama dan perempuan sesuai dengan kebudayaan
karena terlalu memusatkan perhatian pada yang mereka miliki.
pembangunan aspek fisik tetapi melupakan Istilah gender berasal dari bahasa Latin
pembangunan aspek manusia. Hal inilah yang (genus), artinya jenis atau tipe. Kemudian istilah
menyebabkan munculnya paradigma baru ini dipergunakan untuk jenis kelamin (laki-laki
dalam strategi pembangunan yang disebut atau perempuan). Dalam kamus bahasa Inggris
people centered development, artinya manusia istilah ini juga diberi arti jenis kelamin. Istilah
(rakyat) merupakan tujuan utama dari gender belum masuk dalam perbendaharaan kata
pembangunan. (Kartasasmita, 1996) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tetapi dalam
Penempatan manusia sebagai subjek dan objek pemakaian berikutnya istilah ini selalu dikaitkan
pembangunan menekankan pentingnya dengan budaya. Istilah gender lebih banyak
pemberdayaan (enpowerment) manusia, yaitu menunjuk kepada perbedaan status dan peranan
kemampuan manusia dalam laki-laki dan perempuan yang terbentuk dalam
mengaktualisasikan segala potensinya. proses sosial dan budaya yang panjang.
Kedudukan manusia dalam proses (Sinulingga, 2006:47).
pembangunan adalah sebagai subjek dan Umar (1999: 35), memberikan
sekaligus sebagai objek dari pembangunan. pengertian gender sebagai suatu konsep yang
Dengan demikian pria dan wanita digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
mempunyai kedudukan dan peranan yang sama laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial
dalam merencanakan, melaksanakan, budaya. Dengan demikian, Gender berkaitan
mengevaluasi dan menikmati hasil dengan konsepsi bagaimana seharusnya laki-
pembangunan dalam berbagai bidang. Jadi laki dan perempuan berperan sesuai dengan
berdasarkan kondisi normatifnya maka pria nilai-nilai dalam kebudayaannya, berbeda
dan wanita mempunyai kedudukan dan dengan konsep jenis kelamin, meskipun kata
peranan yang sama, tetapi bila dilihat dalam gender berasal dari bahasa Inggris yaitu
kondisi objektifnya terlihat bahwa wanita “gender” yang berarti jenis kelamin. Konsep
mengalami ketertinggalan yang lebih besar dari gender mengakibatkan adanya perbedaan
pria dalam berbagai bidang kehidupan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan

126
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 6 (2) (2014): 125-131

yang dapat berubah dari waktu ke waktu atau Laki-laki dan perempuan pada dasarnya
dari satu tempat ke tempat lain. Perubahan ini mempunyai persamaan kedudukan, hak,
dipengaruhi oleh kemajuan pendidikan, kewajiban dan kesempatan, baik dalam
teknologi, ekonomi, lingkungan dan sebagainya. kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
Di dalam buku yang berjudul Sex and berbangsa dan bernegara maupun dalam
Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips, kegiatan pembangunan di segala bidang. Tetapi
mengartikan bahwa gender adalah harapan- karena adanya konsep perbedaan gender yang
harapan budaya terhadap laki-laki dan masih demikian kuatnya dalam pandangan
perempuan. Hal ini dapat dilihat, misalnya masyarakat, mengakibatkan adanya perbedaan
bahwa perempuan dikenal dengan lemah peran sosial antara laki-laki dan perempuan.
lembut, cantik, emosional dan keibuan. Masyarakat menempatkan status dan peranan
Sementara laki-laki sebaliknya, yaitu dianggap laki-laki di sektor publik yaitu sebagai kepala
kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari keluarga dan pencari nafkah, sedangkan
sifat itu merupakan sifat yang dapat perempuan ditempatkan di sektor domestik
dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang yaitu sebagai ibu rumah tangga dan
lemah lembut, ada perempuan yang kuat, melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga.
rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat- Akibatnya adalah kaum perempuan
sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu mengalami eksklusi sosial yaitu proses yang
dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih menghalangi atau menghambat individu dan
1999: 8-9). keluarga, kelompok dan kampung dari sumber
Peran gender juga dapat dipertukarkan daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi
antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam kegiatan sosial, ekonomi dan politik di
mengasuh anak, mencuci pakaian yang dalam masyarakat dengan utuh.
biasanya dilakukan oleh perempuan (ibu) dapat Eksklusi sosial adalah proses yang
digantikan oleh laki-laki (ayah). Sebaliknya menghalangi atau menghambat individu dan
pekerjaan seperti mencangkul, menebang keluarga, kelompok dan kampung dari sumber
pohon yang biasanya dilakukan oleh laki-laki daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi
(ayah) dapat dilakukan oleh wanita (ibu). dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di
Konsep perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat dengan utuh. Proses ini
mengakibatkan adanya perbedaan sifat dan terutama sebagai konsekuensi dari kemiskinan
peran kodrati sebagai ciptaan Tuhan sehingga dan penghasilan yang rendah, tetapi bisa juga
tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dampak dari faktor lain seperti diskriminasi,
dapat dipertukarkan antara laki-laki dan tingkat pendidikan yang rendah, dan
perempuan. Sifat kodrati perempuan adalah merosotnya kualitas lingkungan. Melalui proses
mensturasi, menopause dan peran kodratinya inilah individu atau kelompok masyarakat
adalah mengandung, melahirkan, menyusui, untuk beberapa periode waktu kehidupan
sedangkan peran kodrati laki-laki adalah terputus dari layanan, jejaring sosial, dan
membuahi sel telur. peluang berkembang yang sebenarnya
Konsep perbedaan jenis kelamin dinikmati sebagian besar masyarakat (Pierson,
mengakibatkan adanya perbedaan sifat dan 2002).
peran kodrati sebagai ciptaan Tuhan sehingga Dari paparan di atas, ketika eksklusi
tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak sosial ada, mengakibatkan salah satunya yaitu
dapat dipertukarkan antara laki-laki dan deskriminasi terhadap perempuan, yaitu
perempuan. Sifat kodrati perempuan adalah rendahnya peranan perempuan di dalam
mensturasi, menopause dan peran kodratinya pembangunan, karena hak dan kewajiban yang
adalah mengandung, melahirkan, menyusui, dijalankan kaum perempuan di dalam
sedangkan peran kodrati laki-laki adalah pembangunan baik pembangunan di bidang
membuahi sel telur. politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan

127
Waston Malau. Pengarusutamaan Gender dalam Program Pembangunan

keamanan yang sangat berbeda. Maka mendapat prioritas utama. Praktek seperti ini
terciptalah ketidaksetaraan gender atau tentunya berasal dari suatu ketidakadilan
ketidakadilan gender dalam pembangunan, terhadap posisi peempuan terhadap laki-laki
sehingga merupakan bias gender dalam atau suatu praktek subordinasi.
program pembangunan. Fakih (1999:12) Ketiga adalah stereotype. Miller dalam
akibatdari ketidakadilan gender tersebut (Haslam, et.al., 1994: th) menyatakan bahwa
antara lain : 1) marginalisasi perempuan, 2) stereotip memiliki dua macam konotasi:
penempatan perempuan pada subordinat, 3) rigiditas dan duplikasi atau kesamaan, ketika
stereotype perempuan, 4) kekerasan (violence) dikaitkan dengan sikap dan perilaku manusia.
terhadap perempuan, dan 5) beban kerja tidak Dengan demikian stereotip merupakan sesuatu
proposional. yang rigid yang merangkum keragaman sikap
Pertama adalah marjinalisasi. dan perilaku tersebut ke dalam sebuah
Marjinalisasi yaitu suatu proses peminggiran karakteristik yang sama atas dasar etnisitas,
akibat perbedaan jenis kelamin yang nasionalitas maupun gender. (Zaduqisti, 2009:
mengakibatkan kemiskinan, misalnya kaum 74)
perempuan yang bekerja di sektor publik sering Perlakuan stereotype tersebut, misalnya
diberi upah yang lebih rendah dari laki-laki perempuan dianggap cengeng dan suka digoda.
karena dianggap hanya sebagai pencari nafkah Selanjutnya juga banyak hal yang terjadi
tambahan. Meskipun kemiskinan merupakan dengan anggapan tentang perempuan di
pengalaman hidup yang dapat dialami oleh masyarakat, adanya anggapan bahwa tugas
siapapun namun pemiskinan secara sistemik utama perempuan adalah melayani suami.
justru sering dialami oleh perempuan. Bentuk Dengan demikian, maka posisi perempuan
subordinasi terhadap perempuan yang dikontruksikan sebagai makhluk yang lemah
menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang sehingga perlu dilindungi, kelihatan sedemikian
dikategorikan sebagai reproduksi dianggap kurang mandiri, tidak rasional, dalam
lebih rendah dan menjadi subordinasi dari menghadapi persoalan selalu hanya
pekerjaan produksi yang dikuasai kaum lelaki mengandalkan perasaan, dan lain-lain.
(Sugiarti 2002:16-17). Akibat adanya stereotipi (pelabelan) ini
Kedua adalah subordinasi. Subordinasi banyak tindakan yang seolah-olah sudah
yaitu suatu anggapan yang memandang bahwa merupakan kodrat. Misalnya: karena secara
perempuan itu irasional dan emosional sosial budaya laki-laki dikonstruksikan sebagai
sehingga tidak dapat memimpin. Istilah ini kaum yang kuat, maka laki-laki mulai kecil
mengacu kepada peran dan posisi perempuan biasanya terbiasa atau berlatih untuk menjadi
yang lebih rendah dibandingkan peran dan kuat. Perempuan yang sudah terlanjur
posisi laki-laki. Subordinasi perempuan mempunyai label lemah lembut, maka
berawal dari pembagian kerja berdasarkan perlakuan orang tua mendidik anak seolah-olah
gender dan dihubungkan dengan fungsi memang mengarahkan untuk terbentuknya
perempuan sebagai ibu. perempuan yang lemah lembut (Sugiarti
(http://www.koalisiperempuan.or.id/subordin 2002:17-18).
asi/) Konsekuensi demikian itu, menyebabkan
Oleh sebab itu perempuan harus munculnya batasan-batasan dengan
ditempatkan pada posisi yang tidak penting, menempatkan perempuan pada ruang yang
misalnya perempuan tidak perlu sekolah tinggi- penuh aturan-aturan baku dan harus
tinggi karena nanti akan mengurusi dapur. dijalankan. Konsep pembakuan peran gender
Sering kita dengar bahwa jika keuangan suatu yang mengotak-kotakkan peran laki-laki atau
rumah tangga terbatas dan mereka harus suami dan perempuan atau istri ini hanya
mengambil keputusan untuk menyekolahkan memungkinkan perempuan berperan di
anak-anaknya, maka anak laki-laki akan wilayah domestik yakni sebagai pengurus

128
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 6 (2) (2014): 125-131

rumah tangga sementara laki-laki di wilayah untuk hal tersebut adalah membagikan ranah
publik sebagai kepala keluarga dan pencari pekerjaan tersebut kepada perempuan lain,
nafkah utama. Padahal, banyak sisi positif dari seperti pembantu rumah tangga atau anggota
perempuan yang membedakannya dengan laki- keluarga perempuan lainnya. Namun demikian,
laki dan jarang diekspos, misalnya watak dan tanggung jawabnya masih tetap berada di
karakter perempuan yang mampu pundak perempuan.
mengendalikan diri, penuh dengan kekuatan Kurang berhasilnya program
emosi, dan punya kelebihan akan kepekaan pembangunan yang dilaksanakan di negara-
sosial. negara berkembang mengakibatkan
Keempat adalah timbulnya kekerasan dilakukannya evaluasi terhadap program-
yang merupakan tindak kekerasan baik yang program yang telah dilakukan. Salah satu faktor
bersifat fisik maupun non fisik, ekonomi yang ditemukan adalah karena rendahnya
maupun seksual oleh laki-laki terhadap partisipasi kaum perempuan di dalam program
perempuan karena dianggap sebagai mahluk pembangunan. Hal ini mendorong pemerintah
lemah. Kekerasan yang timbul diakibatkan di negara-negara berkembang untuk
dariketiga factor sebelumnya, juga karena memunculkan paradigma baru di dalam
anggapan bahwa laki-laki mendominasi dan program pembangunan mereka yaitu
pemegang utama dari berbagai sector pembangunan yang berwawasan gender.
kehidupan. Untuk konteks pembangunan, isu tentang
Kekerasan fisik tersebut bisa dilihat perempuan dan pembangunan menjadi
adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga sedemikian penting karena selama ini
(KDRT). Kekerasan seksual seperti pelecehan perempuan pada umumnya termarjinalkan. Hal
seksual, pencabulan, pemerkosaan, tersebut dikarenakan negara masih kurang
eksploitasi seksual pada dunia kerja, tepat dalam menempatkan perempuan
pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan perempuan pada peran tradisional begitu juga
pengrusakan organ reproduksi. Kekerasan aktifitas-aktifitas yang dilakukan perempuan.
psikis seperti penghinaan, sikap, ungkapan Selain itu, negara juga secara relatif tidak
melalui verbal atau perkataan yang dapat diperhitungkan dalam usaha-usaha
menyebabkan sakit hati dan hal-hal yang pembangunan tidak menikmati hasil-hasilnya
dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. sebagaimana yang didapat oleh laki-laki.
Kelima adalah beban ganda. Beban ganda (Antrobus, 2004: 47).
(double burden) artinya beban pekerjaan yang Beberapa pendekatan yang
diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak menginginkan keikutsertaan kaum perempuan
dibandingkan jenis kelamin lainnya. di dalam program pembangunan atau
(http://worldhealth- pembangunan yang berwawasan gender, antara
bokepzz.blogspot.com/2012/04/pengertian- lain:
beban-ganda-double-burden.html). Jika dilihat Pertama adalah Perempuan Dalam
secara natural, pada dasarnya yang melahirkan Pembangunan (Women In Development-WID).
adalah seorang perempuan, masih dianggap Pendekatan WID muncul pada dekade 70-an
sebagai sebuah peran yang statis dan sebagai produk dari gerakan kaum feminis
permanen. Meskipun pada perkembangan liberal Amerika yang melihat bahwa kaum
berikutnya sudah mulai adanya peningkatan perempuan diabaikan dan tereksklusi dari
jumlah perempuan yang bekerja di wilayah program pembangunan. Para penganut
public. Akan tetapi hal tersebut tidak diiringi pendekatan WID yakin bahwa pembangunan
dengan berkurangnya beban mereka namun tidak akan terjadi jika perempuan tidak
tidak diiringi dengan berkurangnya beban dimasukkan di dalam proses pembangunan.
mereka di wilayah domestic, akan tetapi justru Oleh sebab itu untuk mengatasi marjinalisasi
berada di dua wilayah tersebut. Upaya mereka perempuan, mereka memperjuangkan

129
Waston Malau. Pengarusutamaan Gender dalam Program Pembangunan

penerapan proyek pembangunan terpisah atau peran reproduksi (melahirkan dan merawat
terintegrasi untuk kaum perempuan. Asumsi anak) para ibu rumah tangga dapat
yang mereka kemukakan adalah jika kaum memberikan manfaat pada rumah tangga dan
perempuan mendapat akses pada sumber daya industri. Tujuan akhir pendekatan GAD adalah
seperti kredit, pelatihan, kegiatan peningkatan terjadinya pergeseran hubungan kekuasaan
penghasilan maka kaum perempuan akan yang akan memberikan otonomi lebih besar
mampu meningkatkan posisinya sejajar dengan terhadap kaum perempuan. Kesetaraan dan
laki-laki. Penerapan konsep WID ini ternyata keadilan gender masih sulit untuk dinikmati
tidak membawa perubahan yang signifikan oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya
terhadap partisipasi perempuan dalam kaum perempuan. Oleh sebab itu pemerintah
pembangunan. Hal ini disebabkan oleh budaya telah mengambil kebijakan, tentang perlu
patriarkhi yang membelenggu kebanyakan adanya strategi yang tepat sehingga dapat
penduduk negara berkembang, menimbulkan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
peran sosial budaya dan ekonomi kaum Strategi ini disebut Pengarusutamaan
perempuan tersubordinasi oleh laki-laki Gender (Gender Mainstreaming) yang tertuang
Kedua adalah Perempuan dan di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 9
Pembangunan (Women And Development- tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
WAD), Kegagalan pendekatan WID dalam dalam Pembangunan Nasional sampai daerah.
memperjuangkan perbaikan posisi kaum Dengan strategi Pengarusutamaan Gender ini,
perempuan perempuan dalam pembangunan, pemerintah dapat melahirkan kebijakan-
menyebabkan perlunya pendekatan lain yang kebijakan yang adil bagi seluruh lapisan
disebut pendekatan Perempuan Dan masyarakat, baik pria maupun wanita. Melalui
Pembagunan (Women And Development-WAD). stratetgi ini, diharapkan program
Para pendukung pendekatan WAD berpendapat pembangunan yang akan dilaksanakan akan
bahwa kaum perempuan tidak akan pernah menjadi lebih sensitif atau responsif gender,
mendapatkan bagian dari manfaat sehingga mampu menegakkan hak-hak dan
pembangunan yang adil dan merata jika kewajiban kaum perempuan atas kesempatan
pengaruh budaya patriarkhi belum dapat yang sama, pengakuan yang sama dan
diatasi. Mereka melihat bahwa mengatasi penghargaan yang sama di masyarakat secara
kemiskinan dan dampak kolonialisme juga operasional.
penting untuk mempromosikan persamaan Pengarusutamaan gender dapat diartikan
gender dalam proses pembangunan. sebagai suatu upaya yang dibangun untuk
Pendekatan WAD ternyata juga gagal dalam mengintegrasikan kebijakan gender dalam
mempengaruhi akses kaum perempuan dalam program pembangunan mulai dari
program pembangunan. perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
Ketiga adalah Gender dan Pembangunan (monitoring) dan evaluasi. Pengarusutamaan
(Gender And Development-GAD). Kegagalan Gender, bertujuan untuk terselenggaranya
pendekatan WID dan WAD menyebabkan pada perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
tahun 1980-an muncul pendekatan Gender dan evaluasi atas kebijakan dan program
Pembangunan (Gender And Development-GAD). pembangunan nasional yang berperspektif
Para pendukung pendekatan GAD melihat gender.
bahwa terjadi subordinasi perempuan di bawah
pengaruh ayah dan suami mereka. Oleh sebab SIMPULAN
itu dengan meningkatkan akses perempuan Meskipun strategi Pengarusutamaan
pada layanan publik dapat mengatasi persoalan Gender (PUG), memang sudah dilaksanakan di
subordinasi tersebut. Pendukung pendekatan berbagai kebijakan pemerintah, baik ditingakt
GAD berpendapat bahwa nilai peran produksi nasional maupun daerah, namun sampai saat
(kerja berbayar dan kerja tak berbayar) serta ini, tidak semua bisa terlaksanakan dan sesuai

130
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 6 (2) (2014): 125-131

dengan harapan. Evaluasi memang terus Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan
menerus dilakukan oleh Kementerian Teknik Penelitian Gender. Malang:
Pemberdayaan Perempuan tentang Universitas Muhammadiyah Press.
Haslam, et.al., Stereotyping and Social Reality. (UK:
pelaksanaan PUG. Sepertinya kendala yang
Basil Blackwell Limited, 1994).
dihadapi justru berada pada wilayah struktural
Ihromi, T.O. 1999. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Obor
politik dari pemerintah sendiri tidak responsif Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang
gender dan ditunjang pula oleh aparat yang Pengarusutamaan Gender dalam
belum sensitif gender. Pembangunan Nasional.
Di sisi lain, konsep gender juga masih Kartasasmita, G. 1997. Kemiskinan. Jakarta: Balai
belum menyeluruh terintegrasi ke dalam proses Pustaka
pembangunan. Budaya lokal, etnisitas, ______________________. 1996. Pembangunan Untuk
kesukuan, status sosial, agama, masih Rakyat (Memadukan Pertumbuhan Dan
Pemerataan), CIDES, Jakarta, 1996.
merupakan hambatan yang dapat
Mosse, J. C. 2007. Gender & Pembangunan.
mempengaruhi kesetaraan perempuan di dalam
Yogyakarta: Pen. Pustaka Pelajar
proses pembangunan. Oleh sebab itu kaum Nugroho, R. 2011. Gender dan Pengarusutamaannya
perempuan masih perlu berusaha untuk Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
memperjuangkan kesetaraan posisinya dengan Sinulingga, R. 2006, Jurnal Wawasan, Juni, Volume
kaum laki-laki di dalam setiap program 12, Nomor 1. Medan: USU.
pembangunan. Utama, A.S dkk, “Review Social Exclusion: A Concept In
Need Of Definition?” Robin Peace,” paper dari
DAFTAR PUSTAKA http://xa.yimg.com/kq/groups/69248363/1
Abdullah, I, ed. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi 972656777/name/Paper+presentasi+part+1.
Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang. docxs.
Antrobus, P. 2004, The Global Women’s Movement, Pierson, J. 2002. Tackling Social Exclusion. London
Bangladesh: The University Press, and New York: Routledge.
Echols, J.M. dan Hassan S. 1995. Kamus Inggris– Umar, N. 1999. Argumen Kesetaraan Gender Jakarta:
Indonesia, Cet. XXI, Jakarta: Gramedia Paramadina
Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Zaduqisti, E. 2009. Jurnal Muwâzâh, Vol. 1, No. 1,
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Januari-Juni 2009, STAIN Pekalongan.
http://www.koalisiperempuan.or.id/subordinasi/

131

Anda mungkin juga menyukai