Putusan - Sidang - 1669 - 31 PUU 2013-Telahucap-3april2014 - FINAL - WM Opt PDF
Putusan - Sidang - 1669 - 31 PUU 2013-Telahucap-3april2014 - FINAL - WM Opt PDF
Nomor 31/PUU-XI/2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
Norma UUD 1945 yang dijadikan batu uji di dalam permohonan ini
sebanyak 4 (empat) norma, yaitu:
1. Pasal 1 ayat (3)
Negara Indonesia adalah Negara Hukum
2. Pasal 22E ayat (1)
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali
3. Pasal 22E ayat (5)
Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
4. Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat
diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah:
a. Menjelaskan kedudukannya dalam permohonannya, yaitu apakah yang
sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum
adat, badan hukum, atau lembaga negara;
b. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kedudukan
sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukanya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian
Atas dasar ketentuan tersebut maka Pemohon perlu terlebih dahulu
menjelaskan kedudukannya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta
kerugian spesifik yang akan dideritanya secara sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia, yang
sebelumnya bekerja sebagai Ketua dan Anggota Panitia Pengawas
Pemilihan Umum (Panwaslu) Pemilihan Umum Kepala Daerah
6
C. POSITA
Adapun alasan-alasan Pemohon dengan diterapkan Pasal 112 ayat (12) juncto
ayat (10), sebagai berikut:
Alasan 1) Pasal 28 ayat (3) sepanjang frasa “Dalam hal rapat pleno DKPP
memutuskan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud ayat (1)…”; 2)
Pasal 28 ayat (4) sepanjang frasa “…pengambilan putusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) oleh DKPP diatur lebih lanjut dengan Peraturan
DKPP”; 3) Pasal 100 ayat (4) sepanjang frasa “Dalam hal rapat pleno DKPP
memutuskan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2)…”; 4) Pasal 101 ayat (1) sepanjang frasa “…pengambilan putusan
oleh DKPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan DKPP”; 5) Pasal 112 ayat (9) sepanjang frasa “DKPP menetapkan
Putusan…”; 6) Pasal 112 ayat (10) sepanjang frasa “Putusan DKPP …”; 7)
Pasal 112 ayat (12) sepanjang frasa “Putusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (10) bersifat final”; 8) Pasal 112 ayat (13) sepanjang frasa “…wajib
melaksanakan putusan DKPP”; 9) Pasal 113 ayat (2) sepanjang frasa
“Pengambilan putusan terhadap pemeriksaan…” Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945.
11
dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan
perundangan (lex stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan
atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan
secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan.
Dikarenakan sudah tegas dan nyata bahwa DKPP hanya dapat
menjatuhkan putusan berupa sanksi atau rehabilitasi.
28. Bahwa Keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat menyebabkan
Pemohon tidak dapat mengajukan upaya hukum yang dapat dilakukan
terhadap Putusan DKPP. Pemohon hanya dapat melakukan upaya hukum
ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor registrasi
23/G/2013/PTUN Jakarta tanggal 13 Februari 2013 atas Putusan Bawaslu
Nomor 712/KEP Tahun 2012 tertanggal 16 November 2012 tentang
pemberhentian Ramdansyah dan akan dilakukan sidang dismissal proses
hari Selasa, 5 Maret 2013 (vide bukti terlampir).
29. Bahwa dikarenakan pertanggungjawaban Putusan DKPP yang bersifat final
dan mengikat hanya kepada Tuhan, ditambah lagi DKPP secara politik
dipimpin oleh orang-orang yang berpengaruh dalam bidang Pemilu
sehingga secara psikologis sangat terasa nuansa untuk menjadikan DKPP
seperti layaknya Mahkamah Konstitusi dalam membuat terobosan hukum,
padahal DKPP hanya berperan dalam ranah etik tidak seperti Mahkamah
Konstitusi yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman.
30. Bahwa Putusan DKPP yang melampaui kewenangan (ultra petita) bukan
dikarenakan permasalahan penerapan norma, melainkan dikarenakan
norma Pasal 112 ayat (12) yang menyatakan Putusan DKPP bersifat final.
Sifat putusan yang bersifat final tersebut sudah menciptakan kondisi tidak
adanya mekanisme saling kontrol (check and balances) antara DKPP
dengan KPU dan Bawaslu.
31. Bahwa banyak keputusan DKPP yang melampaui kewenangannya sudah
pernah dieksaminasi oleh sejumlah pihak. Prof Dr. Saldi Isra SH, MH, Refly
Harun SH, MH, LLM, dan Titi Anggraini melakukan eksaminasi Putusan
DKPP Nomor 25-26/DKPP/PKE-I/2012. Dalam kesimpulan perkara Titi
Anggraini menjelaskan kalau DKPP merupakan lembaga yang putusannya
final dan berkekuatan hukum tetap, namun yang menjadi catatan adalah
bahwa DKPP ini adalah lembaga untuk menegakkan etik, namun secara
19
ada identik dengan semangat korps dan kolusi dari lembaga yang
bersangkutan.
36. Bahwa di Indonesia setidaknya ada beberapa komisi etik yang lahir pasca
reformasi seperti Komisi Yudisial, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
pada Mahkamah Konstitusi, Majelis Kehormatan Hakim pada Mahkamah
Agung, BK DPR, Komisi Etik KPK, Komisi Kejaksaan, dan lain-lain.
37. Bahwa sebagai perbandingan dalam proses pemberhentian hakim yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak serta merta hanya Komisi Yudisial yang
memutus melainkan harus melibatkan Mahkamah Agung. Artinya Putusan
Komisi Yudisial tidak final, melainkan harus juga ada keterlibatan
Mahkamah Agung. Sifat Putusan Komisi Yudisial adalah usulan. Ketentuan
Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial menyatakan:
Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf
a, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang
diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung.
38. Bahwa usulan pemberhentian hakim tersebut ditindaklanjuti dengan
membentuk majelis kehormatan hakim yang terdiri dari unsur Mahkamah
Agung. Pasal 22F Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial menyatakan menyatakan:
“Majelis Kehormatan Hakim memeriksa dan memutus adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan
oleh Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima”.
39. Bahwa apabila pembelaan diri hakim ditolak oleh Majelis Kehormatan
Hakim, Majelis Kehormatan Hakim menyampaikan usul pemberhentian
kepada Ketua Mahkamah Agung. Hal ini dinyatakan di dalam Pasal 11A
ayat (10) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahhkamah Agung:
”Dalam hal pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditolak,
Majelis Kehormatan Hakim menyampaikan keputusan usul pemberhentian
21
kepada Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial paling lama 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai”.
40. Bahwa di dalam proses penegakan kode etik hakim konstitusi di Mahkamah
Konstitusi pun melibatkan lembaga Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Putusan dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi pun bersifat
rekomendasi.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah
perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau,
memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi,
yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi
41. Bahwa di lembaga lain yang sama-sama kewenangannya disebut dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan diseleksi (fit and proper test) oleh DPR RI,
sebagai contoh adalah Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Kehormatan
Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dalam menjatuhkan sanksi etik
kepada Anggota Badan Pemeriksa Keuangan hanya bersifat
usulan/rekomendasi sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan juncto
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan.
42. Bahwa berdasarkan perbandingan pemberhentian hakim di Mahkamah
Agung, pemberhentian Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, dan
pemberhentian Anggota BPK, tidak ada satupun Komisi Etik/Majelis
Etik/Dewan Kehormatan dari tiga lembaga tersebut yang mempunyai
putusan yang bersifat final dan mengikat, melainkan keputusannya hanya
berupa rekomendasi/usulan pemberhentian.
43. Bahwa untuk menjaga marwah atau kewibawaan lembaga DKPP sebagai
lembaga penjaga dan penegak kode etik penyelenggara Pemilu, usulan
atau rekomendasi DKPP haruslah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan
oleh penyelenggara Pemilu. Sehingga penyelenggara Pemilu tidak dapat
membuat keputusan pemberhentian di luar dari rekomendasi yang telah
dijatuhkan oleh DKPP.
44. Bahwa berdasarkan uraian di atas, sehingga sangatlah bertentangan
dengan prinsip negara hukum yakni kepastian hukum (het legaliteit
22
beginsel) sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) juncto 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, apabila Putusan DKPP bersifat final.
Dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemohon di atas, Pemohon
memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan
pengujian Undang-Undang ini.
D. PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
Pemohon mohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5246) sepanjang frasa “Dalam hal rapat pleno DKPP memutuskan
pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud ayat (1)…” bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepanjang
tidak dimaknai “Dalam hal rapat pleno KPU memutuskan pemberhentian
anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…”;
Sehingga Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu menjadi “Dalam hal rapat pleno KPU memutuskan
pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota
yang bersangkutan diberhentikan sementara sebagai anggota KPU, KPU
Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota sampai dengan diterbitkannya
keputusan pemberhentian”.
3. Menyatakan Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5246) sepanjang frasa “… pengambilan putusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) oleh DKPP diatur lebih lanjut dengan Peraturan
DKPP” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 sepanjang tidak dimaknai “… pengambilan Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bersama antara DKPP, KPU, dan Bawaslu”;
23
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bersama antara DKPP, KPU, dan
Bawaslu”.
13. Menyatakan Pasal 100 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5246) sepanjang frasa “Dalam hal rapat pleno DKPP memutuskan
pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2)…” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “Dalam hal rapat pleno Bawaslu memutuskan pemberhentian
anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)…”.
14. Menyatakan Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5246) sepanjang frasa “…pengambilan putusan oleh DKPP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan DKPP” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “…pengambilan Keputusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 100 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bersama antara DKPP,
KPU, dan Bawaslu”.
15. Menyatakan Pasal 112 ayat (9) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5246) sepanjang frasa “DKPP menetapkan Putusan…” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “DKPP
menetapkan Rekomendasi…”.
16. Menyatakan Pasal 112 ayat (10) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5246) sepanjang frasa “Putusan DKPP…” tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “rekomendasi
DKPP…”.
17. Menyatakan Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
27
Undangan;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Surat Sanggahan Ketidaknetralan Panwaslu DKI
Dalam Kasus Iklan APPSI;
7. Bukti P-7 : Fotokopi Penanganan Laporan Pengaduan dan Temuan
Panwaslu DKI pada Putaran Pertama dan Kedua;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Penanganan Spesifik Kasus Iklan APPSI;
9. Bukti P-9 : Fotokopi Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
DKI Jakarta Nomor 23/G/2013/PTUN Jakarta;
10. Bukti P-10 : Fotokopi Bagan Struktur Organisasi Panitia Pengawas
Pemilukada Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 dan Surat
Keputusan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 581-
KEP Tahun 2011 tentang Penetapan Anggota Panitia
Pengawas Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Provinsi Darah Khusus Ibukota Jakarta;
11. Bukti P-11 : Fotokopi Surat Pernyataan atas nama Ramdansyah, tanggal
25 Februari 2013:
12. Bukti P-12 : Fotokopi kliping-kliping media;
13. Bukti P-13 : Fotokopi Putusan Eksaminasi Publik Putusan Dewan
Kehormatan Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 25-
26/DKPP-PKE-I/2012;
14. Bukti P-14 : Fotokopi Putusan Dewan Kehormatan Pemilihan Umum
Nomor 01/KE-DKPP/VI/2012 dan Nomor 02/KE-
DKPP/VI/2012;
1. Denny Iskandar
Pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 lalu, saksi menjadi tim kampanye
pasangan Jokowi-Basuki. Pasangan Calon Gubernur Jokowi-Basuki
didukung oleh Partai Politik PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.
29
Saksi berasal dari Partai PDI Perjuangan. Keberanian saksi untuk menjadi
saksi dalam uji materi UU Nomor 15 Tahun 2011 dikarenakan keterlibatan
aktif saksi di setiap fakta yang muncul dalam Pemilukada DKI Jakarta.
Pada pemilukada DKI Jakarta DKI 2012 lalu terkesan sangar dan hiruk
pikuk, khususnya mengenai isu suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA). Berbagai masalah datang bertubi-tubi dalam Pemilu yang warga
Jakarta lalui setahun lalu. Itu adalah kesan yang muncul dari luar karena
munculnya pemberitaan media, terutama televisi. Namun selama
Pemilukada komunikasi yang berlangsung antara penyelenggara dan
peserta Pemilu Gubernur DKI berjalan baik. Hubungan antara KPU,
Panwaslu DKI, enam pasangan calon pada putaran pertama dan akhimya
dua pasangan calon pada putaran kedua suasananya kondusif. Adapun
laporan saksi terkait dugaan pelanggaran pidana maupun pelanggaran etika
yang dilakukan Ketua KPU DKI, Dahlia Umar, terkait daftar pemilih tetap
(DPT) lebih kepada upaya hukum saksi agar DPT lebih diperhatikan
sehingga kualitas demokrasi kita berjalan dengan baik. Putusan bersalah
DKPP terkait masalah DPT DKI terhadap Ketua KPU DKI dalam bentuk
peringatan keras. Putusan DKPP ini berbeda dengan yang dialami oleh
Ketua Panwaslu DKI yang berujung pemecatan karena diduga tidak netral
pasca Pemilukada.
Bahwa pada perjalanan Pemilukada DKI 2012 pihak saksi dilaporkan terkait
dugaan iklan kampanye terselubung APPSl oleh penggugat dari pasangan
Fauzi-Nachrowi kepada Panwaslu DKI adalah hal yang wajar dalam
demokrasi. Saksi sendiri selaku tim kampanye Jokowi-Basuki ditugaskan
memenuhi panggilan klarifikasi Panwaslu DKI atas nama pasangan Calon
Gubernur DKI. Ada pihak lain yang turut dipanggil dalam hal ini lembaga
Asosiasi Pedagang Pasar seluruh Indonesia (APPSI) yang memasang iklan
adalah hal yang lumrah dalam proses Pemilu/Pemilukada.
Dalam kasus iklan APPSI, klarifikasi dan dilanjutkan dengan mediasi
ternyata gagal dan diteruskan oleh Panwaslu DKI kepada Gakkumdu
(Penegakan Hukum Terpadu). Ini adalah langkah prosedural yang menjadi
kewajiban Panwaslu. Saksi tidak melihat ada persoalan terkait laporan
Panwaslu DKI ke Polda Metro Jaya pada saat itu dan ternyata hal ini
menjadi titik pangkal persoalan dugaan ketidaknetralan Sdr. Ramdansyah di
30
Saksi menyadari bahwa forum yang mulia ini ingin mendudukkan persoalan
norma hukum terkait pasal dalam UU Penyelenggara Pemilu.
Bahwa apa yang dilakukan Sdr. Ramdansyah meneruskan suatu peristiwa
hukum sesuai laporan Tim Kampanye Fauzi Bowo-Nachrowi ke Polda Metro
Jaya atau Gakkumdu adalah suatu kewajiban dari penyelenggara Pemilu.
Kalau yang bersangkutan tidak meneruskan peristiwa hukum ini, saksi yakin
tim Kampanye Fauzi Bowo-Nachrowi akan menyeret Ketua Panwaslu DKI
ke DKPP atas penelantaran laporan yang sudah disampaikan kepada
Panwaslu DKI. Apa yang sudah dilakukan oleh Ramdansyah perlu dihargai
dan dihormati. Bahwa semua pihak sudah memberikan penghargaan dan
rasa hormat maka ijinkan saksi menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih atas apa-apa yang sudah dilakukan oleh Sdr. Ramdansyah. Sepak
terjang beliau dalam mengawasi dan menjalankan tugasnya adalah untuk
kepentingan bangsa dan negara. Ini saksi rasakan dan alami selama
Pemilukada DKI 2012. Tidak ada diskriminasi atau ketidakpantasan yang
dilakukan Ramdansyah, namun patut disayangkan pengabdian
Ramdansyah berujung pada pemecatan.
Ketidakadilan yang menimpa Sdr. Ramdansyah dalam Pemilukada DKI dan
mungkin juga penyelenggara Pemilu lainnya di Indonesia harus diakhiri.
Harus ada ruang untuk penyelenggara yang diputus diberhentikan oleh
DKPP. Ketiadaan ruang upaya hukum itu menyebabkan ketidakadilan
menimpa Sdr. Ramdansyah. Hal ini mungkin akan terulang kembali apabila
ruang ini tidak ada.
apa yang adil dan apa yang baik, maka dalam jangka panjang kekuasaan bisa
kehilangan legitimasi.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dipengaruhi aliran
positivisme hukum. Menurut John Austin, untuk mencapai kepastian hukum,
hukum harus dipisahkan dari moral. Pemikir positivis yang lain, Hans Kelsen,
menjadikan positivisme hukum semakin ketat. Bahkan, hukum tidak hanya
dilepaskan dari persoalan moral melainkan juga harus dimumikan dari anasir-
anasir non hukum seperti filsafat, politik, psikologi, ekonomi, dan sosial (reine
rechtslehre).
Pandangan Hans Kelsen yang hendak memurnikan hukum dari anasir-anasir
non hukum dipengaruhi perkembangan Filsafat Ilmu Pengetahuan. Suatu
aliran, termasuk teori hukum murni Hans Kelsen, lahir dari dasar filosofis yang
kuat dan bukan hanya gagasan-gagasan sesaat yang merespon kondisi atau
isu tertentu. Pemikiran Hans Kelsen mampu mempengaruhi pemikiran hukum
di banyak belahan dunia. Sistem pemikiran hukum mulai berbelok tajam
menjadi monistik. Hans Kelsen sepakat dengan ajaran Austin bahwa hukum
harus dipisahkan dari moral. Bahkan, Hans Kelsen konsisten untuk menahan
diri tidak memperbicangkan filsafat hukum yang abstrak, dengan demikian,
hukum harus lepas dari semua pertimbangan politik, ekonomi, psikologi dan
sebagainya. Pergeseran cara pandang sebagian kecil pengemban ilmu hukum
ini dimatangkan keadaan dunia keilmuwan pada akhir abad ke 20, secara
global menghadapi perubahan sangat radikal. Jika sepanjang jaman modern,
ilmu cukup dimaknai dengan hanya melalui pendekatan mekanistik, namun
pada era postmodernisme telah berubah ke arah pluralitas dan organismic
science. Postmodernisme sebagai kritik terhadap modernisme dan keluar dari
tradisi positivistik. Filsafat bernapaskan postmodernisme bersatu dalam
penolakan "cerita-cerita besar" (grand narrative), menolak pemikiran dikotomis
(binary opposition), menolak totalisasi dan obyektivitas ilmu pengetahuan.
Penekanan postmodernisme pada right of different (hak untuk berbeda)
sehingga tidak ada kebenaran tunggal. Dengan gaya dekonstruksinya,
postmodernisme memutus (discontinuity) klaim kebenaran tinggal beserta
seluruh rasionalitas yang membenarkannya. Postmodernisme telah
membalikan cara pandang kaum modernis yang dominan dalam wilayah
hukum.
36
Pada saat ini, positivisme tidak lagi berada dalam keadaan normal science.
Aliran critical legal studies, mengambil peran kritis menantang kemapanan
positivisme hukum. Pada era postmodernisme ini, hukum menjadi wilayah yang
terbuka.
Uraian di atas dimaksudkan untuk meninjau ketentuan Pasal 112 ayat (12) UU
Penyelenggara Pemilu yang menyatakan putusan DKPP terkait pelanggaran
etik bersifat final dan mengikat. Dengan ketentuan ini, Keputusan DKPP wajib
dilaksanakan sehingga tidak ada upaya hukum lain bagi pihak yang diputuskan
bersalah.
Keputusan lembaga penegak etika yang bersifat final dan mengikat berpotensi
bertentangan dengan prinsip keadilan yang menjadi asas negara hukum.
Sebab, apabila penyelenggara pemilu dapat mengajukan bukti-bukti baru,
persidangan sebagai wadah pembuktian tidak akan dapat digelar.
Norma yang tercantum dalam UU Penyelenggara Pemilu lebih banyak
berorientasi pada asas kepastian hukum dan memang sering bertolak belakang
dengan asas keadilan. Padahal, seharusnya asas kepastian hukum
seharusnya linear dengan asas keadilan. Hakikat negara hukum adalah
keadilan lebih dikedepankan dibandingkan dengan asas kepastian hukum.
Kepastian hukum dalam hukum acara haruslah berjalan secara linear dengan
hukum materiil. Keadilan tidak akan tercipta jika hukum hanya mengedepankan
aspek prosedural. Misalnya, dalam mengambil keputusan atas dugaan
pelanggaran etika penyelenggara pemilu, selain dilihat aspek prosedural, juga
harus dilihat keberhasilan penyelenggaraan Pemilu tersebut dan adanya
kerugian yang mungkin diderita oleh peserta Pemilu.
Oleh karena itu, mengingat DKPP kedudukannya sebagai lembaga pembina
eksternal dan bukan pelaku kekuasaan kehakiman, tetapi merupakan lembaga
yang ditujukan untuk menjaga keluhuran serta martabat penyelenggara pemilu
secara independen, bebas dari pengaruh, kehendak ataupun kontrol dari
cabang kekuasaan ekesekutif, maka putusan DKPP hendaknya bersifat
rekomendasi, bukan final dan mengikat.
Putusan tersebut hendaknya menyediakan upaya hukum lain. Sebab, pada
umumnya lembaga kode etik di Indonesia, keputusannya juga tidak bersifat
37
IV. KESIMPULAN
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh DKPP diatur lebih lanjut dengan
Peraturan DKPP”
3. Pasal 100 ayat (4)
“Dalam hal rapat pleno DKPP memutuskan pemberhentian anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), anggota yang
bersangkutan diberhentikan sementara sebagai anggota Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pangawas
Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sampai dengan
diterbitkannya keputusan pemberhentian”
4. Pasal 101 ayat (1)
“Tata cara pengaduan, pembelaan, dan pengambilan putusan oleh DKPP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur lebih lanjut dengan
peraturan DKPP”
5. Pasal 112 ayat (9)
“DKPP menetapkan putusan setelah melakukan penelitian dan/atau
verifikasi terhadap pengaduan tersebut, mendengarkan pembelaan dan
keterangan saksi-saksi, serta memperhatikan bukti-bukti”
6. Pasal 112 ayat (10)
“Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno
DKPP”
7. Pasal 112 ayat (12)
“Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan mengikat”
8. Pasal 112 ayat (13)
“KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS,
KPPSLN, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, PPL dan PPLN wajib melaksanakan putusan DKPP”
9. Pasal 113 ayat (2)
“Pengambilan putusan terhadap pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam rapat Pleno DKPP”
Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4), Pasal
100 ayat (4), Pasal 101 ayat (1), Pasal 112 ayat (9), ayat 10), ayat (12) dan
ayat (13) serta Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (5)
dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Tahun 1945.
46
C. KETERANGAN DPR RI
Bawaslu terkait putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat, DPR
berpendapat bahwa langkah KPU dan Bawaslu yang menurut undang-
undang wajib untuk ditindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Keputusan
yang sifatnya sebatas administratif. Misalnya, DKPP mengeluarkan
putusan memberhentikan anggota Panwaslu suatu provinsi, maka
Bawaslu yang berada di tingkat pusat wajib menindaklanjutinya dengan
menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian yang bersangkutan dari
kedudukannya sebagai anggota Panwaslu. Keputusan Bawaslu itu
hanya bersifat administratif, karena pemberhentian tersebut berlaku
sejak Putusan DKPP dibacakan dalam sidang pleno DKPP yang
diselenggarakan secara terbuka untuk umum. Demikian pula apabila
yang diberhentikan oleh putusan DKPP itu adalah anggota KPU atau
Bawaslu Pusat, maka surat pemberhentiannya secara administratif
harus dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden yang
pemberhentiannya itu berlaku sejak tanggal Putusan DKPP dibacakan
atau diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Mekanisme penanganan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu
ini diatur dengan harapan menjadi sistem dalam penegakan kode etik
dan memperoleh kepastian hukum, sebagai benteng terakhir bagi
mereka para pencari keadilan.
h. Terkait argumentasi Pemohon dalam posita permohonan angka 10 yang
menyebutkan bahwa DKPP tidak tepat apabila dikatakan sebagai badan
lain yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, karena “badan-
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dengan undang-undang”’ yang dimaksudkan adalah badan lain
yang berkaitan fungsinya dengan badan peradilan yaitu kejaksaan dan
kepolisian, DPR berpendapat bahwa Undang-Undang dapat
memberikan kewenangan kepada lembaga manapun, termasuk DKPP
yang merupakan lembaga quasi yudisial, yang memiliki hak pengadilan
secara internal, putusannya bersifat mengikat dan bukan hanya
menghukum orang serta organisasi tetapi juga “memperbaiki proses
yang cacat” atau “remedy the process” sebagaimana dilakukan oleh
pengadilan “quasi yudicial” pada umumnya.
53
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat
(1), Pasal 22E ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945 yang masing-
masing menyatakan:
Pasal 1 ayat (3)
“Negara Indonesia adalah negara hukum”;
Pasal 22E ayat (1)
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali”;
Pasal 22E ayat (5)
“Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri”;
Pasal 28D ayat (1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Pemohon kesulitan dalam hal menjadi pengajar karena selalu dikaitkan dengan
Putusan DKPP;
Pokok Permohonan
2011, tanggal 25 April 2013, yang pada pokoknya DKPP akan menghormati dan
melaksanakan apa saja yang diputuskan terkait Undang-Undang, baik oleh
pembentuk Undang-Undang maupun oleh Mahkamah Konstitusi karenanya DKPP
mempercayakan sepenuhnya kepada Mahkamah yang memeriksa dan memutus
perkara tersebut. Keterangan DKPP selengkapnya termuat dalam bagian Duduk
Perkara;
Pendapat Mahkamah
a. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”;
dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. DKPP sendiri memiliki kewenangan untuk
memutuskan pemberhentian penyelenggara Pemilu hanya jika DKPP telah
melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan, mendengarkan
pembelaan dan keterangan saksi-saksi, serta memperhatikan bukti-bukti yang
diajukan mengenai dugaan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh
penyelenggara Pemilu yaitu sepanjang terkait pelanggaran kode etik oleh
penyelenggara Pemilu [vide Pasal 111 UU 15/2011]. Menurut Mahkamah, DKPP
memiliki wewenang untuk memberikan putusan atas ada atau tidak adanya
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu beserta sanksi
yang dapat dijatuhkan kepada penyelenggara Pemilu tanpa dapat dipengaruhi oleh
lembaga manapun, termasuk Presiden, KPU, maupun Bawaslu. Hal tersebut
merupakan wujud dari independensi dan kemandirian DKPP sebagai salah satu
lembaga yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
4. KONKLUSI
[4.4] Dalil Pemohon untuk selain dan selebihnya tidak beralasan menurut
hukum.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.1. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
1.2. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,
“Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan
mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan
Bawaslu”;
Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, dan
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd ttd
ttd ttd
ttd ttd
ttd ttd
PANITERA PENGGANTI,
ttd
Rizki Amalia