Anda di halaman 1dari 1
Pandangan Islam terhadap Relativisme Beragama* & PEMIKIRAN ISLAM © 20/0 Hasib, MA, Peneliti InPAS Surabaya ivisme kini telah menjadi tantangan nyata dalam kehidupan beragama manusia modern. Statemen umum yang dilentarkan biasanya adalah kalimat "Pemikiran manusia itu relative, yang absolut hanya Tuhan’. Pham yang meyakini bahwa kebeneran itu relatif tergantung subjek ini, teleh memesuki kepada bidang filsefat, akidah dan bahkan matedolagi studi keilmuan. Dalam bidang filsafat, doktrin ralativisme menyentuh pembahasan epistemologi — sumber-sumber ilmu, Ta juga mendobrak dinding-dinding akidah. Sebab, mengajarkan bahwe keyakinan tiap-tiap agama dan kepercayaan itu relatif, tidak ada satu agama atau keyakinan yang absolut benar. Karena telah menyentuh bidang epistemologi, maka selanjutnya relativisme juga mempengaruhi metodologi studi keilmuan. Produk paling nyata adalah penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur'an dan teks-teks keislaman lainnya. Sikep ‘netral agama’ dalam studi perbandingan agama juga merupakan pengaruh dari relativisme. Fenomena Relativisme dalam Beragama Baik di tingkat mahasiswa, dosen ataupun masyarakat biasa kita sering mendengar kata-kata atau tulisan yang berbunyi; “kebenaran itu relatif’, “kebenarana itu tidak memihak”. “Pemikiran manusia itu relative yang absolute hanya Tuhan”, “manusla tidak dapat mengetahul kebenaran absolute”, "agama itu mutlak sedang pemikiran keagamaan itu relatif", dan lain sebagainya. Seperti ditulis oleh seorang dosen di LAIN Bandung, “Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, keparcayaan, atau ajaran-ajaran Tunan itu, yang tentu saja menjadi hersitat relative, dan sudah pasti kebenarannya bernilai relatif”[1] Tulisan ini menggiring kepada pemaheman anti-otoritas. Penafian ctoritas keagamaan merupakan salah satu implikasi dari paham relativisme. Tampak dari keterangannya bahwa manusia dengan akalnya tidaklah mampu mencapai kepada kebenaran mutlak. Akibat berikutnya adalah, ulema’ adalah menusia, maka para ulema’ kita -termasuk Sehabat- pendapainya tidak bisa menjadi pegangan hukum. Nurcholich Madjid dalam bukunya “Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemenusiaan dan Kemodernan” mengatakan: “Hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisi belaka. Jadi, absolutism, lebih-labih lagi, seharusnya tidak terjedi di kelangan kaum Muslim. Apalagi Islam selalu dilukiskan sebagai jalan, sebagaimana dipahami dari istilah-istilah yang cigunakan dalam Kitab Suci. Kesemua itu mengandung makna ‘jalan’ dan merupakan metafor-metafor yang menunjukkan bahwa Islam adelah jalan menuju kepada perkenan Allah dengan segala sifat-Nya"[2_ Paham seperti tersebut di atas meracuk ke dalam studi Islam. Schingga menjadi semacam framework dalam mengkaji agama Islam. Dalam buku-buku Studi Islam -di perguruan Tinggi Islam - diajarkan penggunzan istilah “slam Historie” dan “Islam Mormatif’, Islam Normatif adalah Islam sebagai wahyu dan Iclam Historis adalah Islam sebagai produk sejarah. Pembaglan ini bersifat dikotomik, Sebagal wahyu, tslam merupakan wahyu tlahi yang diturunkan kepada abl Muhammad saw kepada dunia dan akhirat. Sedangkan Islam Historis merupakan agama Islam sebagai produk sejarah yang dipahami manusia, dipraktikkan kaum Musimin di seluruh penjuru dunia, hingga saat ini{3} Bentuk Islam yang histeris ini diyakini sebagal pemahaman yang relat. sika begitu, pemahaman para tabiin dan para ulama setelahnya adalah relat, Jika relative, tidak bisa dijadikan pegangan. Islam, dari zaman Rasulullah saw tetaplah Islam. memiliki Komponen ushul dan furu’. Yang tetap dalam Islam adalah ushul. adapun furu’ menyangkat kepada dalil-dali dzanniyat, dimana para ulama berbeda. Dimana perbedaan tersebut tidak sampai kepada hal-hal yang prinsip. slam yang dipraktikkan manusia bisa saja bertentangan dengan pokck-pokok ajaran Islam itu sendiri. Misalnya seorang mengaku Muslim mempraktikkan menyembah berhala. Ini bukan “Islam Historia”. ‘Yang tepat, pamahaman tersebut Bukan Islam. Kekeliruan berikutnya, meletakkan Islam yang bersifat final, sebagai bagian dari sejarah. Islam bukanlah agama budaya, hasil kreasi manusia, Ia agama wahyu yang sempurna sejak awal. Dari pemahaman seperti inilah lahir statemen bahwa pemiliran dan penafsiran terhadap keagamaan itu relative ketika dijelmakan ke dalam kehidupan sehari-hari Statemen tersebut belumlah jelas. Apakeh yang dimeksud penafsiran dalam hal ini? Perbedaan penafsiran tidak selalu bermasalah asalkan tidak kontradiktit dengan pilar-pilar ushullyah. Salah satu contoh secernana tentang status Umar bin Khattab RA. Beliau merupakan Khalifah kedua, seorang Sahabat Nabi saw, seorang ayah, seorang lolaki. Perbedaan kita ketika menyebut Umar - seperti kita sebut seorang Sanabat, yang lain manulis Khalifah dan yang lain menulis sebagai seorang lelaki - tidak menjadikan eksistensi Umar menjadi relative, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan logika reletivisme ini. Ia menulis, "Pernyataan bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolute, mempunyai banyak kerancuannya. Partama, jika dikatakan bahwa manusia tidak mengetahui kebenaran absolute tentu tidak bener, sebab hitungan matemetis 2x2=4 adalah absolute. Nabi Muhammad saw parnah hidup dan mambawa risalah Islam kemudian wafat adalah pengetshuan absolute, Kedua, jika maksudnya adalah kita tidak mengetahui kebenaran absolute seperti yang dimaksud Tuhan, ini berarti la tidak percaya kepada kenablan Muhammad saw, manusia yang dipercaya Allah dapat menyampaikan risalah. Mustahil Allah menurunkan wahyu yang tidak biea difshami oleh Rasul-Nya sendiri. Ketiga, seseorang yang menyatakan bahwa yang benar hanya Tuhan, maka orang tersebut mestinya telah ‘mengetahui kebenaran yang diketahul Tuhan Itu. Jika dla dak tahu maka mustahil ia dapat menyatakan bahwa yang benar sacara absolute hanya Tuhan. Jika dia tahu maka pengetahuannya itu absolute. Jaci dengan demikian pemikiran dan pengetahuan manusia itu bisa relative dan bisa absolute. Keempat, pernyataan bahwa “kebenaran Itu relative” sebenarnya juga kontradiktif (self-contradiction). Sebab jika demikian maka pernyataan itu sendiri juga termasuk relative alias belum tentu benar. Karena pernyataan “kebenaran itu relative” belum tentu benar, maka dimungkinkan ada pernyataan lain yang berbunyl “kebenaran itu bisa absolute dan bisa juga relative”, dan pernyataan ini juga dapat dianggap benar. Kelima, dari perspektif epistemologi Islam, pernyataan behwa pe relative dan yang absolute hanya Tuhan dapat diterima dalam perspektif ontologis dan tidak dapat dibawa ke dalam ranah epistemologis. Benar, secara ontologis Tuhan itu absolute dan menusia itu relative. Namun secara epistemologis kebenaran dari Tuan yang absolute itu telah diturunkan kepada manusia melalui Nabi dalam bentuk wahyu. Kebenaran wahyu yang absolute itu difahami oleh Nabi dan disampaikan kepada manusia. Manusia yang memahami risalah Nabi itu dapat memahami yang absolute! Relativisme dan Problem Keimanan Paham rolativisme tidak hanya menjadi tren manusia modern, namun juga telah lama ditamukan akarnya dalam peradaban kun, khususnya di Yunani, Para ulama’ salaf sepert| al-Taftazani, al-Ghazall dan al-Baghdadi telah membahasnya. Ulama’ kontemporer yang mengkajinya di antarsnys Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dalam istilah par ulama salaf kelompok yang menganut tren paham ini disebut sufasta jyyah (sopist). Darl kaum sopist inilah akar pamikiran relativis berkembang, Kaum Sepist dibagi menjadi tiga. Pertama, kelompok al-la adriyah (agnestik) yaitu orang yang selalu ragu- ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang meralh llmu pengetahuan. Kedua, ai-indiyah yaitu mereka yang selalu bersikap subjektif. Mereka menolak tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran. agi mereka, riujuan limi pengerahuan dan kehenaran adalah suhjektif, hecgantung kenada nendapat masing- macing. Ketiga, kelompok a/-inadiyah, yaitu meraka yang keras kepala, yang menafikan realitas segala sesuatu dan menganggapny sebagai fantasi dan khayalan semata-mata.(5] Mereka Ini disebut golongan anti-limu. tImu tidak ada kaltan dengan agama dan amal. Seperti tersebut dalam definisinya, Relativisme adalah bahwa apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tap! senantiasa berubah-ubah dan bersifat relative tergantung kepada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. Paham ini yang kemudian melahirkan paham-paham liberal lainnya, seperti pluralisme, feminisme dan sekularisme. Mereka kaum /2 adriyah kantemporer cenderung menyempitkan ruang lingkup agama pada permasalahan ‘an saja, tanpa amal. Mereka percaya bahwa iman adalah masalah hati, dan kerenanya bersifat pribadi. Artinya tidak seorangpun yang dapat mengatakan kepada orang lain bahwa imannya salah atau benar. Sedangkan para ulama berpendapat behwa din (agama) adalah gabungan antara iman dengen Islem dan menerima bahwa ilmu pengetahuan can amal sholeh merupakan bagian yang tak tarpisahkan dari iman. Penjelasan ini dapat dibaca dalam firman Allah svt: "Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah orang- orang yang perceye kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-regu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah” (QS. Al-Hujarat: 15) Syed Naquib al-Attas mengatakan definisi ilmu bahwa imu dalam Islam itu menghasilkan amal, dan semua dikendalikan oleh kepercayean. Ie mengatekan: “e/-Ilm husul mana al-Syai’ fi el-Nafs wa wusul al-Nafs ila rma‘na al~ Syaii[}6]. seorang mu'min yang percaya kepada Allah tidak berbeda dengan yang diamalkannya. Kepercayaan dan pengamalan itu karena ia memiliki pengetahuan yang benar yang merasuk ke dalam hatinya. Karena itulh Imam Ghazali mendefinisiian imu sebagai berikut, ‘a/-i!mu ma'rifatu al-Syai’ ‘ala ma huwa bihi"(7] Orang yang mengetahui hakikat sesuatu pasti akan memahami konsekuensi dari sesuatu itu. Orang yang mengamalkan shalat lima waktu secara rutin dengan benar adalah orang yang mengetahui apa itu shalat. Banna shalat lima waktu itu kewajiban tiap individu Muslim, jika dikerjakan mendapatkan pahals, dan paham akan siksa yang menimpa jika meninggalkannya. Tnilah pengetahuan yang menurut al-Attas merasuk ke dalam att Dalam kaitan ini, paham relativisme menolak otoritas keagamaan. Setiap orang dengan perbedaan intelektual dan kapabilitasnya, berhak memberikan pemaknaan ayat-ayat al-Qur'an maupun Hadis dan masing-masing berhak sebebas-bebasnya memaknai keduanya, dan masing-masing tidak berhak mengklaim dirinya lebih benar dari lainnya, Dalam ayat al-Qur'an dijelaskan: "Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang-orang yang meyakini. Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan (Dialah) Tuhanmu den Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu. Tetapi mereka bermain-main dalam keraguan” (QS. Al-Dukhan: 7-9), Ayat terakhir yang berbunyi “Bal hum fi syaggin yal'abun". Merupakan tepat untuk menggambarkan kaum relativis. Mereka meragukan terhadap kebenaran agama. Meragukan terhadap kepastian iman yang final. Keragu- raguan selamanya tidak akan menunjukkan kepada pengetahuan pasti, terlebih di dalam masalan keagamaan yang sifatnye fundamental. Imam al-Ghazali menyebut golongan yang menolak ilmu dengan kejahilan tingkat tinggi yang suszh untuk menyembuhkannya. Ia mengatakan bahwa kejahilan paling besar adalah rojulun la yadr, wa Ja yadri annahu la yadri (orang yang bedoh, tapi tidak tahu bahasannya dia itu tidak tahu). Terhadap golongan i saran agar seorang Muslim tidak mendekatinya. Atau tinggalkanlah[3] i, Imam al-Ghazali memberi Dalam Islam, ilmu berkaitan dengan iman. Timu pengethuan adalah salah satu dasar bagi semua keutamaan amel, Keutamaan emal dalam Islam ditandai dengan keharusen menguasai ilmu delam setiap amelan ibadah yang akan dikerjakan. Dengan dem jImu berkaitan dengan akidah[9) n, posisi Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan: “Mangetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah akan mendatangkan banyak manfaat. Kata perintah dalam ayat “fam annahu [ela ila Allah” objek pertamanya adalah Rasulullah sav, padahal beliau cudah mengetahui makna kalimat tauhid. Lalu apa makna kata perintah tersebut? Ada dua hal: Pertama, hendaklah tetap teguh dan konsisten dengan apa yang telah engkau (Rasulullah saw) ketabul, Kedua, ‘objeknya adalah orang-orang yang bersama Raculullah caw yaitu semua umatnya. Allah manyuruh Rasulullah saw tetap istigamah dalam mengamelkan apa yang telah menjadi pengetahuan Rasululish saw dan tetap memohon ampunan untuk umatnya, Sehingga ada dua sifat yang telah dicapai, yaitu istigamah dan tidak larut dalam kesedihan terhadap kondisi umatnya"[10] Jadl, manusia sangat mungkin mengetahui hakikat sesuatu yakni melalul wahyu. Setelah manusla mendapat pengetahuan melalui wahyu tersebut, manusia diperintah kensisten dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah itu, dengan mengamalkan apa yang menjadi pengetahuannya. Di sini penting ciketahui, ilmu, iman dan amal itu harus menyatu, Otoritas Islam dan Kesesatan Agama Pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat mengeluerkan fatvra behwa Ahmadiyah dan peham ‘Sepilis' [sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) adalah haram. Kelompok liberalis mengecam dengan berargumen, “Siapapun tidak berhak menyatakan sesuatu sesat atau tidak terhadap suatu kelompok”, "Kalau MUI sekerang mengatakan Anmadiyah sesat, berarti MUI telah melampaui kewanangan Tunan”, “Siapapun tidak tahu mana sesat dan mana yang tidak’ Peinyataan protes tersebut terus diuterakan untuk menyerang otoritas ulama. Inilah cri kaum berpaham relativisma. Dalam timbangan akidah Islam, parnyataan di atas maruntuhkan konsep-konsep Islam yang telah mapen. Allah menurunkan webyu, melalui Nabl Muhammad saw dengan misi untuk menjelaskan kepada manusia agar mamahami mana perkara yang bonar dan mana porkara yang sesat. Otoritas tertinggi dalam Islam yaitu al- Qur'an dan Hadis. Maka setiap Muslim berkewajiban mengikuti ketentuan yang tertera dalam kedua sumber hukum tersabut agar tidak tarsesat. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat tentang kesesatan (dhaialah). Al-Que’an turun untuk memberi petunjuk kepada manusia. agar manusia bisa membedakan mana yang dhalal dan mana yang haq. Allah swt berfirman: ENE GuID0 sb -anakE/@ t)aDSISSlcIp sO i8iaBe 4 “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh- jauhnya’[11] Al-Qur’an merupakan pembimbing manusia. Di sini, al-Qur‘an membari pengarahan bahwa kebensran itu jelas den kesesatan itu pun juga jelas. Nabi Muhammad san, para Sahabat, tabi'n den para ulama setelahnye tidak pernah mamberi penjelasan bahwa kebenaran dan kesesatan itu tidak ada. Hanya kaum Liberal yang mengajarkan relativisme. Al-Qur’an secara lugas member! pelabelan dhalalah tanga mengaburkan. Allah swt berfirman EpHB GeO 0 =B—mxKE=Cqs(vealoeSlaCyel Eat ot CO xp TaesIEMIo Zhe "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, benar-benar telah tersesat sejauh-jauhnya"[12]. Jadi, apa yang difatwakan oleh para ulama’ tentang kesesatan Ahmadiyah, ‘'Sepilis', dan Syiah itu memiliki dasar otoritas yang diakul dalam Islam. Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan (petunjuk) dan furgan (pembeda antara aq dan bathil) Untuk memahami al-Qur’an, tidak diperkenanken oreng-orang yang tidak memiliki kemampuan ilmu_ untuk ‘mentafsirkan. Rasulullah saw bersabda: [1B] eee Al gO “Barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an berdasarkan rasionya saja, maka hendaklah dia mempersiapken tempat duduknya di neraka” (QS. al-Tirmizi). Islam mamiliki konsap otoritas, tidak seperti paham liberalisme yang mancaba menghapus otoritas, sebagaimana paham relativisme. Dalam al-Qur'an Allah memberintehukan: Effgnst>atiggbnyD aYGcOohibes!toet oStaes-@Cs durmeqbels “maka bertanyaieh kevaua orang yany mempunyal penyetatuan jike karnu Gdek mengetafiut TA), Imam al-Qurtubi menjelaskan, bahw2 yang dimaksud “sh! a/Dzikri" dalam ayat tersebut adalah manusia yang memilili ilmu, Ibnu Abbas mengatakan “ahlu! Dzikr” adalah orang memiliki pengetahuan tentang al-Qur'an, yakni pengetahuan-pengetahuan dari Rasulullah saw tentang hukum-hukum[151 KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risaiah ahi al-Sunnah wal Jama’eh tanpa ada sikap keragu-raguan menyatakan perbedaan antara Islam dan pemikiran yang menyimpang. Mengutip pendapat Qadhi Iyadh beliau menulis: "Sesungguhnya setiap pernyataan yang secara jelas menafikan ketuhanan Allah, atau ke-Esa-anflya atau beribadah selain kepada-Nya maka dia kufur’[16]. Ketika menjelaskan tentang orang yang menolak kenabian Nabi Muhammad saw, atau salah satu Nabl-llabi terdahulu sebagaimana diceritakan dalam al-Qur'an, Kyal Hasim mengatakan bahwa keyakinan itu “kafir bila raybi” (kufur tanpa keraguan)[ 17]. ‘Adapun perbedaan yang berada dalam manhaj ikhtilaf furuiyyah dapat ditolerensi dan tidak dapat dikategorikan dalam kajian relativisme. Sebab, relativisme ini mengatakan bahwa tidak ada kabenaran mutlak, semua sama, tidak salah tidak benar, Sedangkan perbedaan ulama dalam scal furuiyyah dalam kaitannya dengan dalil dzanniyat masin memiliki otoritas, bersatu di dalam kebenaran pokok-pokok Islam (ushuliyah). Jadi paham relativisme membongkar segala perbedaan, baik ushul maupun furu', bahkan ushul dan furu! dinafikan. Kelihatannya doktrin relativisme itu bijak namun sebenarnya bertabrakan dengan imu, Ernest Gellner mengatakan bahwa relativieme itu mengarahkan kepada penyelidikan yang buruk, mengkhawatirkan dan mengkeburkan. Ta berkesimpulan behwa relativisme itu tidak bermanfaat( 18), kesimpulan Doktrin mengenai relativisme telah menjalar dalam bidang-bidang vital dan elementer dalam kehidupan manusia, terutama dalam pemikiran keagamaan. Paham ini terlihat inkonsisten dan kentradiktif ketika diamalkan. Pernyataan bahwa “kebenaran itu tidak memihak", berarti pernyataan itu mengandung keyakinan bahwa kebenaran ada di semua pihak. Rancunya jika di satu pihak ada yang menyataken Tuhan itu ada, dan di pihak lain ada yang menyatakan Tuhan itu tidak ada, maka kebenaran ada pada keduanya, karena kebenaran tidak boleh memihak. Tentu ini secara logis kontradiktif. Karena itu dalam pandangan Islam, relativisme selalu berkontradiksi dengan konsep keimanan. [] *Disampaiken dalam Kajian Counter-Faith JMMI -ITS Surabaya pada Jumat 15 Februari 2013 [1] Adian Husain, irus Liberalisme ai Perguruan Tinggi Islam, (Depok: Gema Insani, 2009), hal. 155 {2] Nurcholish Madjié, Dottrin dan Peradaban: Sebauah Telaah Kritis tontang Masalah Keimanan, Kemarusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal xi [3] Amin Abdullah, Metocologi Studi Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajas, ) [4] Hamid Fahmy Zarkasyi. Lideralisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolomalis), Ponorogo: CIOS-ISID, 2008), hal. 91-93 {5} Wan Mohd 0 No. 5 2005, hal. 53-54 «Wan Daud, Episremologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat dalam Sumal Islamia Thn 1 [6] Syed M Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC. 1995), hal. 14 (7) Imama al-Ghazali, J/pia’ Ulunuddlins Beirut: Dar al-Fiks, 1999), hal. 33 juz 1 [6] Abu Hamid al-Ghazal:, Jhya Ulurauddin: jilid 1, (Beirut: Dar al-Kutvb al-Arabi, 2005), hal. 78 [9] Hemy Shalahuddin, Bahaya Relativisme terhadap Keimanan, www insistsnet com — Jumnal Islamia, No. 5 th 2005 hal. 52 (10) Fakheuddin al-Raai, Mafatih al-Gheid (22) Al-Qur’an surat al-Nisa’: 116 [22] Al-Que’an surat al-Nisa’: 167 [23] Sunan al-Timidzi Juz 5 hadis No. 2951 [24] Al-Que‘an surat al-Nahl ayat 43 (25) Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy, al-Jami’Li Ahkami al-Qu’’an, juz 4, (Beirut: Dar al-Kitab al~Arabiy, 1999), hal 98 (16) Hasyim Asy"ati, Risalah Aid al-Sunnah wal Jama’ah, Jombang: Maktabah al-Turast al-Islami. 1), hal. 13 (a7) Ibid [16] Emest Gellner.Monolak Postmodernisme, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 73

Anda mungkin juga menyukai