Anda di halaman 1dari 12

Konstruksi Ramping: Memaksimalkan Value dan

Meminimalkan Waste

MUHAMAD ABDUH
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung

1. PENDAHULUAN

Industri konstruksi Indonesia, dan juga secara umum, masih bergelut dengan
permasalahan ketidakefisienan dalam pelaksanaan proses konstruksinya. Masih terlalu
banyak pemborosan (waste) berupa kegiatan yang menggunakan sumber daya tetapi tidak
menghasilkan nilai yang diharapkan (value). Berdasarkan pada data yang disampaikan oleh
Lean Construction Institute, pemborosan pada industri konstruksi sekitar 57% sedangkan
kegiatan yang memberikan nilai tambah hanya sebesar 10%.

Manufaktur Konstruksi

Value Added,
Waste, 26% 10%

Support
Value Support Activity, Waste, 57%
Added, Activity, 33%
62% 12%

Gambar 1. Perbandingan Porsi Waste pada Industri Manufaktur dan Konstruksi (Lean
Construction Institute)

Masalah yang sering dihadapi dalam proyek konstruksi adalah seberapa baikpun
perencanaan yang telah dilakukan, pada tahap pelaksanaan selalu terjadi perubahan yang
mengakibatkan keterlambatan penyelesaian. Keterlambatan suatu pekerjaan merupakan
efek kombinasi dari ketergantungan antar pekerjaan dan variabilitas dalam setiap proses.
Selain itu masih banyak hasil pekerjaan konstruksi yang harus ditunda, ditambal sulam,
dibongkar dan diulang. Masuk dalam kategori pemborosan ini pula apa yang disebut
sebagai kesalahan yang perlu perbaikan, produk -baik sementara atau akhir- yang
menumpuk tidak digunakan, tahapan kerja yang tidak dibutuhkan, gerakan pekerja yang
tidak perlu, pekerja menunggu dan produk yang tidak sesuai dengan permintaan customer.
Penelitian yang dilakukan Alwi et al., (2002) untuk mengidentifikasi permasalahan
ketidakefisienan di Indonesia menyimpulkan bahwa terdapat ketidakefisienan pada

1
2 Muhamad Abduh

kontraktor di Indonesia berupa keterlambatan jadwal, perbaikan pada pekerjaan finishing,


kerusakan material di lokasi, menunggu perbaikan peralatan dan alat yang belum datang.
Beberapa ketidakefisienan tersebut disebabkan antara lain oleh terlalu banyaknya
perubahan rancangan, rendahnya keahlian pekerjan, keterlambatan dalam pengambilan
keputusan, koordinasi yang tidak baik antar pihak yang terlibat, lemahnya perencanaan
dan pengendalian, keterlambatan delivery material, dan metoda kerja yang tidak sesuai.
Jika dibandingkan dengan industri manufaktur, maka industri konstruksi harus belajar
banyak dari industri manufaktur dalam mengelola proses produksinya sehingga jumlah
waste dapat dikurangi dengan sekaligus meningkatkan value yang didapat. Jika ingin
menjadikan industri konstruksi mengikuti industri manufaktur dalam pengurangan waste,
maka suatu inovasi yang fundamental diperlukan. Dalam hal ini, suatu inovasi dalam teori
dasar dan paradigma di dunia konstruksi dipercaya dapat memberikan dampak yang
menyeluruh dan signifikan. Sebagaimana yang biasa dilakukan, industri konstruksi banyak
mengadopsi dan belajar dari industri manufaktur, maka salah satu inovasi yang
fundamental itu adalah adopsi teori produksi yang dinamakan Lean Production kapada
proses konstruksi, yang selanjutnya disebut Konstruksi Ramping (Lean Construction).
Tentu saja, tidak secara serta merta industri konstruksi dapat menerapkan prinsip-prinsip
lean tersebut pada proyek konstruksi. Tetapi potensi penerapan prinsip-prinsip terdapat
pada proses konstruksi, terutama pada jenis konstruksi yang linier, di mana terdapat
operasi dan proses konstruksi yang berulang. Konstruksi yang linier yang membutuhkan
pekerjaan, proses dan operasi berulang akan memberikan peluang untuk dapat melakukan
perbaikan yang terus menerus (continous improvement). Meskipun terdapat karakteristik yang
berbeda antara industri konstruki dan industri manufaktur, yang membuat pesimis adopsi
konsep lean pada konstruksi, proses dan operasi konstruksi yang berulang meyakinkan
kemungkinan penerapan konsep lean pada konstruksi.

2. KARAKTERISTIK PROSES PRODUKSI DI KONSTRUKSI

Dalam pelaksanaan konstruksi suatu fasilitas fisik, dikenal hierarki lingkup konstruksi
yang digunakan untuk melakukan pembagian wewenang dan sumber daya dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian. Perbedaan pokok antara industri konstruksi
dengan industri manufaktur terletak pada proses produksi, yang dilakukan di lapangan
atau di ‘lantai produksi’. Jika mengacu kepada hierarki lingkup konstruksi, hal ini terjadi
pada tingkatan operasi, proses dan tugas.
Konstruksi Ramping : Memaksimalkan Value dan Meminimalkan Waste 3

Gambar 2. Hierarki Lingkup Konstruksi

Di lantai produksi, suatu kegiatan produksi dilakukan sebagaimana tergambarkan pada


Gambar 3. Dalam hal ini, pekerja akan menunggu pelaksanaan tugas, yang sangat
spesifik untuk setiap pekerja, sejalan dengan keberadaan produk setengah jadi yang
datang kepadanya melalui sistem ban berjalan. Setiap pekerja akan memberikan
kontribusi penambahan komponen atau kualitas kepada produk akhir.

Gambar 3. Proses Produksi di Industri Manufaktur

Di lapangan, suatu proses konstruksi dilakukan sebagaimana tergambar pada Gambar 4.


Dalam hal ini, suatu tim kerja atau pekerja akan datang ke lokasi di mana pelaksanaan
tugas akan dilakukan. Satu tim kerja dengan tugas spesifik tersebut akan meninggalkan
produk setengah jadi hasil tugasnya untuk selanjutnya menjadi lokasi pelaksanaan tugas
tim kerja selanjutnya. Setiap tim kerja tetap akan memberikan kontribusi penambahan
komponen atau kualitas kepada produk akhir. Proses produksi seperti ini yang kemudian
disebut sebagai ’Parade of Trades’.

Gambar 4. Proses Produksi di Industri Konstruksi

Dalam parade ini, terlihat bahwa suatu tim kerja akan menyediakan tempat kerja kepada
tim kerja selanjutnya. Jika tempat kerja ini tidak ada, karena pekerja sebelumnya belum
selesai bekerja atau tidak sempuna melaksanakan tugasnya, maka suatu tim kerja jelas
tidak akan dapat menjalankan tugasnya. Hal ini merupakan idle atau kegiatan menunggu,
yang tidak lain merupakan bagian dari waste. Jika proses konstruksi ini berulang, misalnya
4 Muhamad Abduh

membuat beberapa kolom beton pada suatu lantai, maka akan dapat dihitung seberapa
banyak idle untuk setiap tim kerja. Dalam hal ini, keseragaman dan variasi kecepatan
bekerja atau produktivitas tim kerja menjadi permasalahan. Tentunya waste akan menjadi
lebih besar jika produk hasil pekerja tersebut tidak dapat diterima (kualitas buruk), yang
berarti secara fisik merupakan waste, yang ditolak dan dibuang, serta membutuhkan
pekerjaan perbaikan atau pekerjaan ulang yang membutuhkan sumber daya tambahan.

3. KONSEP KONSTRUKSI RAMPING

Pada intinya, konstruksi ramping merupakan penerapan lean principles yang diterapkan
pada industri manufaktur kepada industri konstruksi dengan tujuan untuk meningkatkan
value dan mengurangi waste. Prinsip-prinsip lean adalah sebagai berikut (Womack dan
Jones, 1996):
1. Value. Pendefinisian nilai harus sangat spesifik dan dilakukan oleh customer akhir.
2. The Value Stream. Harus didesain sedemikian rupa sehingga terdapat perpindahan
nilai yang terdefinisi dari suatu kegiatan ke kegiatan yang lain, mulai dari kegiatan
problem-solving di awal, kemudian ke kegiatan pengelolaan informasi, dan kepada
kegiatan transformasi dari material mentah hingga produk akhir.
3. Flow. Perpindahan nilai tersebut harus dilakukan secara mengalir, tidak ada
hambatan.
4. Pull. Untuk menghindari produk yang tidak terpakai, dan mengurangi waste, maka
produk sebaiknya diproduksi ketika diminta oleh pengguna.
5. Perfection. Kegiatan memperbaiki semua proses dengan terus menerus harus
dilakukan untuk mencapai kesempurnaan.

Fabrication Commisioning Alteration &


Purposes Design Product
& Logistics Decommissionin
Concepts Design g

Design Process Detailed Instalation Operations


Criteria Engineering &
Design Maintenanc

Project Lean Lean Lean Use


Definition Design Supply Assembly

PRODUCTION CONTROL

WORK STRUCTURING

LEARNING
LOOPS
Konstruksi Ramping : Memaksimalkan Value dan Meminimalkan Waste 5

Gambar 5: Lean Project Delivery System (Ballard, 2000a)

Beberapa aplikasi konsep konstruksi ramping yang telah dikembangkan dan juga telah
dicoba implementasinya pada proyek-proyek real baik di dunia maju maupun dunia
berkermbang dapat terlihat dari Gambar 5, yang menggambarkan Lean Project Delivery
System (LPDS). Terlihat pada konsep LPDS ini, bahwa konstruksi ramping diaplikasikan
pada seluruh daur hidup proyek konstruksi mulai dari definisi proyek, lalu desain, supply,
assembly, serta penggunaan.
Untuk melaksanakan konstruksi ramping pada setiap tahap, terdapat aspek-aspek yang
perlu diperhatikan dan menjadi antarmuka antar tahapan, serta terdapat alat (tools) yang
dibutuhkan untuk menciptakan rangkaian value dan flow yang baik dengan alat Work
Structuring dan Production Control. Di dalam setiap tahap dan juga aspek terdapat pula tools
lain yang dikembangkan agar setiap tahap dan aspek dapat mendukung penciptaan value
yang diinginkan, menciptakan flow yang baik serta mengurangi waste. Beberapa alat yang
dimaksud adalah alat manajemen yang sudah ada sejak lama di dunia manufaktur dan
telah diterapkan dengan berhasil, seperti supply chain management, pre-fabrication, pre-assembly,
standardization, constructability, just in time dan lain-lain.
Jika kita analogikan lalu lintas di suatu jalan tol kepada proses konstruksi, maka rangkaian
tugas dalam proses konstruksi merupakan kendaraan-kendaraan berbagai jenis tetapi
harus melalui satu lajur dan tidak bisa saling mendahului. Jika ada lajur lain di sebelahnya,
itu pun telah terisi oleh kendaraan-kendaraan lain, yang merupakan tugas paralel lain
dalam proses konstruksi tersebut. Rangkaian tugas-tugas di dalam proses konstruksi
mungkin merupakan suatu jaringan yang kompleks yang terkait satu dengan lainnya.
Untuk suatu jaringan tugas yang terkait, maka tim kerja di hilir sebelumnya akan
menyediakan tempat kepada tim kerja selanjutnya di hulu untuk bekerja, sebagaimana
kendaraan di depan akan menyediakan lokasi jalan yang dilintasinya kepada kendaraan
lain dibelakangnya.
Suatu proses konstruksi akan mengalir (flow), idealnya, jika setiap pekerja mengerjakan
tugasnya secara konsisten dengan kecepatan bekerja atau produktivitas yang konstan.
Dengan demikian tidak akan ada pekerja yang idle dan dengan demikian waste dapat
dikurangi. Seorang manajer proyek konstruksi ketika melakukan perencanaan operasi atau
proses konstruksi di lapangan perlu memperhatikan hal ini, terutama untuk operasi
konstruksi yang baru dan belum ada contohnya, atau dalam usaha untuk memperbaiki
produktivitas suatu operasi konstruksi. Variabilitas produktivitas masing-masing tim kerja
yang melaksanakan tugas dalam suatu operasi konstruksi harus dipahami dan menjadi
catatan penting dalam upaya membuat proses konstruksi tersebut mengalir. Yang
6 Muhamad Abduh

membuat tugas manajer proyek ini lebih berat adalah sifat hubungan antar tugas-tugas
dalam operasi yang sudah pasti, sulit untuk dirubah-rubah, dan kompleks.
Perencanaan operasi konstruksi yang mempertimbangkan terjadinya value of stream,
merupakan usaha perencanaan operasi konstruksi dan ini adalah salah satu isu penting
dan tantangan bagi implementasi konsep konstruksi ramping. Berbagai alat perencanaan
telah dikembangkan untuk hal ini seperti penggunaan penjadwalan dengan basis
produktivitas nyata tim kerja serta keterkaitan antar tugas dan operasi yang ada.
Namun hal ini belum sepenuhnya selesai, perencanaan hanya bagian awal usaha
minimalisasi waste. Yang lebih penting adalah implementasinya. Pengendalian variabilitas
untuk menjaga flow suatu operasi konstruksi, seperti yang tergambar dalam analogi jalan
tol di atas, merupakan usaha selanjutnya dalam konstruksi ramping. Usaha pengendalian
dalam konstruksi ramping menyangkut siklus kecil perencanaan dan pelaksanaan yang
berulang. Jika pada tahap perencanaan telah dirancang suatu proses konstruksi dengan
tahapan tugas dan estimasi produktivitas tertentu, maka dalam konstruksi ramping sesaat
sebelum pelaksanaan proses konstruksi tersebut perlu dilakukan penilaian sejauh mana
keberhasilan rancangan tersebut sesuai dengan kondisi dan kompleksitas yang ada di
lapangan. Jika diperlukan maka akan dilakukan perancangan ulang untuk mendapatkan
hasil yang lebih baik.
Pada saat pelaksanaannya, maka suatu proses konstruksi akan dievaluasi apakah sesuai
dengan yang telah dirancang. Jika masih terdapat ketidak sesuaian antara yang
direncanakan dengan yang terealisai, dalam hal tahapan dan produktivitas, maka untuk
memperbaikinya maka perlu dilakukan rancangan ulang untuk proses konstruksi yang
sama berikutnya, untuk menuju kesempurnaan (perfection).

4. BEBERAPA APLIKASI KONSTRUKSI RAMPING

Beberapa aplikasi konstruksi ramping telah banyak dikembangkan oleh institusi seperti
Lean Construction Institute (LCI) dan International Group for Lean Construction
(IGLC). Beberapa aplikasi pentingdalam konstruksi ramping, tentunya masih banyak
aplikasi lainnya, disampaikan selanjutnya pada sub-bab di bawah ini meliputi konsep work
structuring, supply chain management, dan production control.
4.1. Work Structuring
Work Structuring (WS) adalah terminologi yang diciptakan oleh Lean Construction Institute
(LCI) untuk kegiatan pengembangan rancangan proses dan operasi yang dilakukan
bersamaan seiring dengan perancangan produk, penentuan struktur supply chain,
pengalokasian sumber daya dan usaha perancangan untuk pelaksanaan. Tujuan dari WS
ini adalah untuk membuat aliran kegiatan yang lebih andal dan cepat tanpa mengurangi
value kepada customer. Dalam perancangan proses tersebut, variasi produktivitas antar
pekerjaan dan juga interaksi antar pekerjaan harus dipertimbangkan. Dengan demikian
akan diharapkan dapat meminimalkan waste baik berupa inventory maupun work in process.
Konstruksi Ramping : Memaksimalkan Value dan Meminimalkan Waste 7

WS ini merupakan hal yang biasanya tidak banyak dilakukan pada saat tahapan
perancangan (design) berlangsung. Karena biasanya perancang (designer) hanya melakukan
perancangan produk (product design) saja yang harus sesuai dengan kebutuhan customer atau
owner, namun tidak merancang bagaimana proses produksinya. Biasanya diasumsikan
bahwa pihak kontraktor yang akan melakukannya. Ini merupakan praktek dan
permasalahan fragmentasi di dunia konstruksi yang terpecah belah menjadi banyak pihak
yang terlibat pada seluruh daur hidup proyek konstruksi. Waste banyak terjadi karena hasil
rancangan tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pelaksana karena terjadinya
miskomunikasi.
Sebenarnya terdapat praktek yang telah dilakukan saat ini bahwa perancang melakukan
juga kajian kemampu-laksanaan suatu proyek konstruksi yang biasa disebut constructability
dan usulan metoda pelaksanaan dari perancang untuk rancangan yang dibuatnya. Tetapi
hal ini terkadang masih belum memadai, karena tidak dibarengi dengan antisipasi hal-hal
penting lainnya seperti perancanaan sumber daya serta struktur supply chain-nya. Pada
konsep konstruksi ramping hal tersebut menjadi kunci untuk mengurangi variasi dan
tentunya ketidakpastian yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan di lapangan.
Sebagai contoh dari aplikasi WS ini dapat dilihat pada Gambar 6. Pada gambar tersebut
terlihat jadwal yang disusun dengan menggunakan metoda linear scheduling (hanya terbatas
3 pekerjaan) yang dapat menggambarkan perlunya WS dilakukan. Pada gambar ini, WS
merupakan usaha perubahan penjadwalan dengan memperhatikan keseimbangan
produktivitas antar pekerjaan untuk menciptakan aliran yang baik.

Gambar 6. Penyeimbangan Pekerjaan dengan WS

Garis yang solid pada Gambar 6 menunjukkan jadwal awal yang hanya direncanakan
dengan menggunakan perkiraan produktivitas masing-masing pekerjaan tanpa melihat
keterkaitannya dengan pekerjaan lain dan keseimbangan antar pekerjaan. Terlihat bahwa
terdapat pemborosan karena sumber daya yang akan melakukan pekerjaan pile cap pada
8 Muhamad Abduh

seksi A2 harus menunggu lahan selesai digunakan oleh sumber daya yang mengerjakan
pekerjaan bored pile yang belum selesai. Di lain pihak, pekerjaan pile cap meninggalkan
tempat kerja yang kosong untuk beberapa lama sebelum pekerjaan pier dapat dilaksanakan
di seksi A2. Konsep penyeimbangan dilakukan untuk mengurangi pemborosan tersebut
di atas yang digambarkan dengan penyeimbangan produktivitas seluruh pekerjaan.
Tentunya penyeimbangan ini tidak hanya ada di atas kertas dalam bentuk perencanaan
jadwal, tetapi juga harus dibarengi dengan pembagian tim kerja yang baik,
mempertimbangkan kondisi lapangan, perencanaan produktivitas yang ditentukan serta
supply chain yang baik.
Salah satu alat yang banyak digunakan dalam work structuring ini adalah simulasi. Simulasi
ini bertujuan untuk mencari kemungkinan permasalahan perancangan proses, misalnya
mencari bottle neck, mencari jumlah sumber daya yang optimal, mencari keseimbangan
antar pekerjaan, serta mencari produktivitas yang diharapkan. Simulasi ini akan lebih
memberikan kepastian kepada rencana yang dikembangkan.
4.2. Supply Chain Management
Supply Chain Management (SCM) dalam konteks proyek konstruksi adalah kegiatan
mengatur, mengkoordinasikan, dan mengintegrasikan aliran material dengan aliran
informasi di antara seluruh pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi. Kondisi
konstruksi ramping dalam SCM dicapai bila setiap stakeholder telah memiliki kesamaan visi
dalam mencapai tujuan proyek. Pada kondisi ini terlihat bahwa waste yang berhubungan
dengan aliran material dan aliran informasi dapat diminimalkan bahkan dihilangkan.
Hubungan antar stakeholder diikat dalam bentuk relational contract sehingga koordinasi antar
stakeholder baik secara horizontal maupun secara vertical dapat berlangsung dengan lebih
baik lagi.
Dengan demikian SCM merupakan pengelolaan seluruh pihak yang terlibat dalam
mensuplai sumberdaya mulai dari hulu hingga hilir rantai kegiatan. Pengelolaan tersebut
ditekankan agar dapat menghindari penumpukan sumber daya yang tidak berguna (waste)
dan terjadi flow antara kegiatan yang memerlukan sumber daya tersebut. Sehingga SCM
akan sangat erat kaitannya dengan sistem outsourcing dan procurement serta hubungan antar
pihak yang terkait.
Pada Gambar 7 yang dikembangkan oleh O’Brien et al., (2002), terlihat keterlibatan
beberapa pihak dalam proses produksi yang terjadi di dalam site (in site production), juga
menunjukkan adanya rangkaian pihak yang menunjukkan proses produksi yang terjadi
luar site (off site production). Rangkaian aktifitas subkontraktor sebagai pihak yang
memberikan input pada site konstruksi dipahami sebagai pihak yang dapat melakukan
proses produksinya diluar site.
Konstruksi Ramping : Memaksimalkan Value dan Meminimalkan Waste 9

Gambar 7. Konseptual Supply Chain Proyek Konstruksi (O’Brien et al., 2002)

Pada intinya, SCM harus dilaksanakan untuk menjamin value yang sudah ditetapkan tidak
akan berkurang sehubungan dengan terdapatnya banyak pihak yang terkait yang
terkadang berada di luar pengendalian. Pihak-pihak yang berada dalam pengendalian,
tetap memerlukan pengelolaan yang baik agar terdapat kesamaan tujuan dalam
penciptaan rangkaian value dan terjadi aliran yang diharapkan sebagaimana yang telah
dirancang dalam work structuring. Bagi pihak-pihak yang berada di luar kendali, yang tidak
ada ikatan kerja sama, memang berat untuk dikelola, tetapi seharusnya lewat pihak yang
ada ikatan kerja sama, pesan kebutuhan pemenuhan prinsip lean harus dapat dilakukan,
misalnya dengan pendekatan partnering maupun kontrak relational. Terdapat banyak kasus,
owner ataupun kontraktor melakukan kontrak kerjasama jangka panjang dengan supplier
(seperti material beton ready-mix dan material semen) untuk mendukung logistik proyek
meskipun suatu pekerjaan yang dipasok logistiknya tersebut dilakukan oleh sub-
kontraktor. Bahkan SCM ini lebih jauh dapat dilakukan dengan pemilikan, akuisisi, atau
integrasi vertikal oleh perusahaan owner atau kontraktor (misalnya diversifikasi produk
beton precast). Dengan semakin dapat dikendalikannya pihak-pihak yang terlibat dalam
supply chain proyek maka work structuring yang dibuat dapat lebih andal untuk
dilaksanakan dan pencapaian tujuan konstruksi ramping dapat terlaksana.
4.3. Production Control
Pada praktek yang sering dilakukan pengendalian hanya berupa penilaian pelaksanaan
pekerjaan dan membandingkanya dengan perencanaan yang dilakukan. Padahal terkadang
perencanaan yang dilakukan, misalnya dengan work structuring, belum tentu dapat
diandalkan. Sehingga ada kemungkinan deviasi yang terjadi bukan karena kinerja
pelaksanaan yang buruk, tetapi lebih kepada perencanaan yang tidak realistis. Dalam
sistem pengendalian produksi dengan konsep konstruksi ramping, praktek tersebut dapat
diperbaiki dengan menggunakan sistem the Last Planner (Ballard, 2000b).
Sistem the Last Planner ini merupakan usaha melihat kembali apa yang telah direncanakan
sebelum dieksekusi oleh personil yang paling kompeten akan pekerjaan yang
direncanakan dan akan melaksanakan pekerjaan tersebut. Personil tersebut selanjutnya
sebagai the last planner. Dengan adanya sistem ini, akan terdapat penilaian kondisi lapangan
yang ada baik sumber daya maupun lokasi yang akan memberikan input untuk evaluasi
perencanaan yang sudah ada sebelum perencanaan tersebut dilaksanakan. Hasil koreksi
10 Muhamad Abduh

tersebut kemudian yang akan dilaksanakan di lapangan. Dengan adanya sistem the Last
Planner, maka prinsip push (di mana pekerja lapangan harus melaksanakan apa yang
direncanakan) yang biasa dilakukan akan digantikan dengan sistem pull sesuai dengan
konsep konstruksi ramping.
Dalam sistem ini, terdapat indicator kinerja yang digunakan untuk mengukur sejauh mana
aliran pekerjaan dapat tercapai dengan baik, yaitu Percent Planned Completed (PPC). PPC
merupakan ukuran sejauh mana flow yang direncanakan dapat berjalan. Sistem the Last
Planner akan berhasil jika PPCnya tinggi. Untuk mendukung sistem ini terdapat
penambahan detail perencanaan sebagai alat untuk dapat mendeteksi keandalan rencana
dan kemungkinan terjadinya aliran yang diharapkan di lapangan. Jadwal detail mingguan,
jadwal bulanan (look ahead plan), dan jadwal utama (master schedule) menjadi kombinasi yang
dinamis dan penting dalam sistem ini.

Gambar 8. Sistem Push (Kiri) dan Pull (Kanan) pada Production Control (Ballard 2000b)

5. MENUJU KONSTRUKSI RAMPING DI INDONESIA

Sebagai lingkup keilmuan baru dalam Manajemen dan Rekayasa Konstruksi (MRK),
konstruksi ramping masih memerlukan banyak pengkajian dan penelitian agar dapat
diaplikasikan dalam industri konstruksi di Indonesia. Untuk itu peranan lembaga
pendidikan sangat diharapkan dalam memasyarakatkan, mengaplikasikan, dan
mengembangkan konsep konstruksi ramping melalui kegiatan penelitian yang
dilakukannya. Sebuah agenda penelitian dalam upaya untuk menuju konstruksi ramping
di Indonesia telah dilakukan. Abduh et all., (2005) mencoba membuat agenda penelitian,
untuk suatu kelompok keahlian di bidang manajemen dan rekayasa konstruksi di ITB
untuk tahun 2005-2010, yang dikembangkan berdasarkan suatu roadmap untuk menuju
konstruksi ramping di Indonesia. Agenda penelitian ini lebih untuk kepentingan internal
kelompok keahlian yang dimaksud, namun metoda identifikasi pembuatan agenda
penelitian serta roadmap yang telah dikembangkan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak
yang ingin turut berpartisipasi dalam usaha mewujudkan konstruksi ramping di
Indonesia.
Konstruksi Ramping : Memaksimalkan Value dan Meminimalkan Waste 11

Selanjutnya Abduh dan Roza (2006a) berusaha melakukan assessment terhadap beberapa
kontraktor besar di Indonesia untuk menilai kesiapan kontraktor di Indonesia menuju
konstruksi ramping. Assessment dilakukan berdasarkan suatu model yang dikembangkan
berdasarkan prinsip-prinsip konstruksi ramping seperti pengurangan waktu siklus,
pengurangan variabilitas, peningkatan transparansi, serta perbaikan yang terus menerus.
Dihasilkan dari assessment ini bahwa kontraktor besar Indonesia telah cukup siap dalam
usaha menuju konstruksi ramping di Indonesia. Namun demikian, terlihat bawa prinsip-
prinsip konstruksi ramping yang sudah banyak dilakukan oleh kontraktor besar di
Indonesia lebih kepada prinsip-prinsip yang terkait dengan pengelolaan perusahaan dan
tingkatan proyek. Sedangkan yang terkait dengan prinsip-prinsip yang lebih detail, dalam
hal ini tingkatan proyek hingga tugas masih relatif lebih rendah tingkat kesiapannya.
Penelitian tersebut, selanjutnya menunjukkan pula titik lemah kontraktor Indonesia, yaitu
dalam hal perencanaan pekerjaan. Kelemahan ini berakibat pada lemahnya pula proses
pengendalian dan evaluasi pekerjaan di lapangan.
Tabel 1. Kesiapan Kontraktor Indonesia Menuju Konstruksi Ramping (Abduh & Roza, 2006a)
Weighted
Major Principles Weights Level of Readiness
Readiness
Reducing Cycle Time 0.24 68% 16%
Reducing Variability 0.23 77% 18%
Increasing Transparency 0.21 89% 19%
Continuous Improvement 0.32 91% 29%
1.00 82%
Berdasarkan hasil assessment tersebut, terutama berdasarkan nilai yang relatif terendah
dalam tingkat kesiapannya, maka Abduh dan Roza (2006b) mengusulkan agenda
perbaikan ke depan untuk kontraktor di Indonesia. Agenda ini dihasilkan atas analisa
tingkat kepentingan prinsip-prinsip konstruksi ramping yang relatif rendah kesiapannya
serta seberapa besar upaya yang dibutuhkan untuk memperbaikinya.
Tabel 2. Agenda Kontraktor Menuju Konstruksi Ramping (Abduh dan Roza, 2006b)
No Topics Proposed Programs Division in Priority
Charge
1 Planning - Development of productivity standard Engineering High
Production - Task analysis (work structuring)
Processes - Detailed plans of production processes
- Productivity planning and estimation
2 Making the - Supervise and analyze the use of material Production Moderate
Processes and equipment
flow - Procedures and techniques for
productivity measurement
3 Analysis and - Analysis of productivity and cycle time Engineering Low
Evaluation of - Use of Percent Plan Complete Indicator
Processes and Analysis
- Waste identification: delays and idles
- Constraint analysis and identification of
non-value adding activity
12 Muhamad Abduh

6. PENUTUP

Konstruksi ramping merupakan bidang kajian yang relatif baru dan membutuhkan usaha
yang banyak, keras dan panjang agar dapat diaplikasikan pada dunia konstruksi di
Indonesia. Dalam hal ini, tentunya, partisipasi semua masyarakan jasa konstruksi sangat
penting keberadaannya. Tidak mungkin konstruksi ramping di Indonesia dapat tercapai
hanya oleh suatu institusi yang melakukannya. Setiap pihak yang terlibat di jasa konstruksi
memiliki andil yang penting sesuai dengan kapasitasnya.
Agenda untuk mewujudkan konstruksi ramping di Indonesia baik itu dalam penelitian
maupun dalam praktek selayaknya didukung oleh semua pihak. Apalagi, sementara ini
status kesiapan yang sudah bisa diidentifikasi baru pada sebagian kecil pihak yang terkait
dalam industri konstruksi di Indonesia. Agenda lebih besar lagi masih menunggu, karena
sebagian besar kontraktor di Indonesia adalah tergolong dalam ukuran kecil yang relatif
lebih tidak siap dibandingkan kontraktor besar yang telah dinilai kesiapannya. Dengan
demikian usaha promosi dan sosialisasi konsep konstruksi ramping di Indonesia masih
menjadi isu yang strategis dan menantang baik bagi kalangan akademik, peneliti, dan
praktisi industri konstruksi Indonesia pada saat ini dan tahun-tahun yang akan datang.

7. DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M., Syahrani, S., dan Roza, H.A., “Agenda Penelitian Konstruksi Ramping”
Prosiding 25 tahun Pendidikan Manajemen dan Rekayasa Konstruksi di Indonesia,
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB, 2005.
Abduh, M., dan Roza, H.A. “Indonesian Contractors’ Readiness towards Lean Construction”
Proceedings of the 14th Annual Conference of International Group for Lean
Construction, Santiago, Chile, 2006a.
Abduh, M., dan Roza, H.A. “Toward Lean Construction: An Agenda for Indonesian Contractors”
Proceedings the 10th EASEC, Bangkok, Thailand, 2006b.
Alwi, S., Hampson, K., Mohamed, S. (2002). “Non Value-Adding Activities: A Comparative
Study of Indonesian and Australian Construction Projects.” Proceedings of the 10th annual
conference of the IGLC, Gramado, Brazil.
Ballard, G., “Lean Project Delivery System”, White Paper 8, Lean Construction Institute,
2000a.
Ballard, G., “The Last Planner System of Production Control.” Ph.D. Dissertation, School of
Civil Engineering, Faculty of Engineering, the University of Birmingham, 2000b.
O’Brien, London, Vrijhoef. “Construction Supply Chain Modeling: A Research Review and
Interdisciplinary Research Agenda”, Proc.10th Annual Conf. of the International Group
for Lean Construction, 2002.
Womack, J.P., Jones, D.T. “Lean Thinking”, Prentice.

Anda mungkin juga menyukai