Dosen Fasilitator :
Disusun Oleh :
Kelompok 4/Kelas A4
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan YME karena berkat dan rahmat-Nya penyusun masih
diberi kesehatan sehingga makalah yang berjudul “Aplikasi Keperawatan Transkultural
Pada Kelompok Lansia” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah “Psikososial
dan Budaya Dalam Keperawatan” yaitu Ibu Dianis Wulan Sari atas ilmu yang telah
diberikan dalam pembelajaran daring ini. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Psikososial dan Budaya Dalam Keperawatan. Makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu baru bagi pembaca sekaligus
penyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami meminta kritik dan saran yang dapat membangun kami
menjadi lebih baik kedepannya. Terima Kasih
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Setiap budaya memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan ini harus dihormati
dan individu harus dilihat sebagai makhluk yang unik. Individu yang berasal dari etnis
yang sama mungkin berbeda secara budaya. Ras adalah klasifikasi sosial berdasarkan ciri
fisik seperti warna kulit. Demikian pula, ras mengungkapkan keanggotaan budaya
berdasarkan orang-orang yang memiliki identitas budaya yang sama (Albougami,
Pounds, & Alotaibi, 2016). Keanekaragaman budaya dapat menghalangi perawat untuk
memberikan perawatan yang memadai dan efektif, terutama jika perawat kurang
1
memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menilai dan melakukan intervensi dalam
perawatan kesehatan budaya pasien. Akibatnya, hubungan interpersonal yang tidak
memadai dan ketidakseimbangan antara pengobatan dan hasil yang diperoleh (Alizadeh
dan Chavan, 2016).
Hubungan antara budaya dan kesehatan sangatlah erat hubungannya, sebagai salah satu
contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat bertahan dengan cara pengobatan
tertentu sesuai dengan tradisi mereka. Kebudayaan atau kultur dapat membentuk
kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa
memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya
mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses
terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut
hubungannya dengan kesehatan.
2
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan ciri-ciri pada lansia.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
a. Periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis sehingga
motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Contohnya lansia
yang memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan
mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki
motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi
Setiap orang yang menjadi tua pasti berbeda karena mereka mempunyai sifat bawaan
yang berbeda pula, sosioekonomi, latar pendidikan yang berbeda, dan pola hidup yang
berbeda. Perbedaan kelihatan di antara orang-orang yang mempunyai jenis kelamin yang
sama, dan semakin nyata bila pria dibandingkan dengan wanita karena menua terjadi
dengan laju yang berbeda
4
d. Dinilai dengan kriteria yang berbeda
Pada waktu anak-anak mencapai remaja, mereka menilai lanjut usia dalam cara yang
sama dengan penilaian orang dewasa, yaitu dalam hal penampilan diri, apa yang dapat
dan tidak dapat dilakukannya. Hal tersebut merupakan dua kriteria yang amat umum
untuk menilai usia mereka banyak orang berusia lanjut melakukan segala apa yang dapat
mereka sembunyikan atau samarkan yang menyangkut tanda-tanda penuaan fisik dengan
memakai pakaian yang biasa dipakai orang muda dan berpura-pura
Pendapat klise yang telah dikenal masyarakat tentang lanjut usia adalah pria dan wanita
yang keadaan fisik dan mentalnya loyo, usang, sering pikun, jalannya membungkuk, dan
sulit hidup bersama dengan siapa pun, karena hari-harinya yang penuh manfaat telah
lewat, sehingga perlu dijauhkan dari orang-orang yang lebih muda.
- Klien lanjut usia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga dalam kebutuhannya sehari-hari ia masih
mampu melakukannya sendiri.
- Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, keadaan fisiknya mengalami
kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lanjut usia ini,
terutama tentang hal yang terhubung dengan kebersihan perorangan untuk
mempertahankan kesehatannya.
5
2.2.2 Pendekatan Psikis
Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada klien
lanjut usia. Perawat dapat berperan sebagai pendukung dan interpreter terhadap segala
sesuatu yang asing, penampung rahasia pribadi dan sahabat yang akrab. Perawat
hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberi kesempatan dan waktu
yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar lanjut usia merasa
puas. Perawat harus selalu memegang prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan service.
Bila ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat
bisa melakukannya secara perlahan dan bertahap. Perawat harus mendukung mental
mereka kearah pemuasan pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak
menambah beban. Bila perlu, usahakan agar mereka merasa puas dan bahagia di masa
lanjut usianya.
6
b. Non-maleficence and beneficence : Pelayanan geriatri didasarkan pada
keharusan untuk mengerjakan yang baik untuk penderita dan harus menghindari tindakan
yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere
(yang penting jangan membuat seseorang menderita). Dalam pengertian ini, upaya
pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik
(kalau perlu dengan derivat morfin) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan
merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.
e. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang
diberikan pada seorang penderita.
7
adalah Transcultural Nursing Theory (Leininger, 1978). Teori ini berasal dari disiplin
ilmu antropologi dan dikembangkan dalam konteks keperawatan. Dasar teori adalah
pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam
masyarakat. Leininger beranggapan penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan
nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien oleh perawat, bila tidak
terjadi cultural shock. Cultural shock akan dialami klien ketika kondisi perawat tidak
mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan ini menyebabkan
munculnya rasa ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi seperti pada
kasus nyeri.
Keperawatan transkultural merupakan area baru yang akhir-akhir ini sedang ditekankan
pentingnya budaya terhadap pelayanan keperawatan. Aplikasi teori dalam keperawatan
transkultural mengharapkan adanya kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan budaya.
Perbedaan budaya memberikan pengaruh dalam pemberian asuhan keperawatan yang
Asumsi mendasar dari teori transkultural keperawatan adalah perilaku peduli. Tindakan
peduli dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh.Perilaku peduli
semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan
pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Bentuk kepedulian
orang-orang di sekitar pasien/klien baik perawat yang bertugas, keluarga, dan masyarakat
di sekitar dapat mengembalikan semangat sembuh. Kesehatan fisik selalu berkorelasi
dengan kondisi manusia sebagai makhluk psikologis.
8
2.5 Perawatan Menjelang Ajal
Setiap makhluk hidup termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan.
Kehidupan manusia yang dimulai dari dalam kandungan, kelahiran hingga manusia
menjalani kehidupannya dan berakhir pada kematian. Perkembangan kehidupan manusia,
mulai dari lahir hingga mati merupakan hal yang dibutuhkan dalam mengidentifikasi
masalah kesehatan manusia.
Menurut KBBI, definisi mati adalah sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi
sedangkan kematian adalah perihal mati. Kematian adalah proses psikosomatis yang
melibatkan seluruh jiwa & raga pasien. Menurut Elisabeth Kuebler-Ross (EKB: 1926-
2004), tanda psikosomatis kematian adalah sekitar dua minggu menjelang kematian,
pasien bisa memperlihatkan tanda-tanda psikis berupa disorientasi mental: kekacauan dan
kekeliruan dalam daya pemikiran, perasaan dan pengamatannya, sehingga ia bisa
mengalami tiga gejala berikut:
1. Ilusi adalah kesalahan dalam membaca atau menafsirkan kesan atau stimulus
indrawi eksternal. Misalnya: bunyi angin dipersepsi sebagai suara orang menangis, harum
parfum sebagai bau mayat, rasa gatal sebagai adanya serangga di balik selimut, ada cacing
kecil dalam gelas susu, dll.
3. Delusi adalah produk dari “wrong thinking” (false belief). Pasien bisa mendadak
mempunyai “fixed ideas” bahwa ia sudah sembuh, lalu berusaha turun dari ranjang dan
menolak segala bantuan medis; atau ia merasa ada konspirasi tersembunyi untuk
meracuninya, bukan mengobatinya; atau ia akan sembuh bila pergi ke tempat/orang/obat
keramat tertentu padahal kondisinya jelas tidak memungkinkan. Ketiga gejala itu timbul
karena kondisi mental pasien yang makin menurun hingga ia kerap berada dalam kondisi
setengah sadar, seakan-akan setengah bermimpi. Selain tanda-tanda psikis di atas terdapat
juga tanda-tanda somatis yang menunjukkan bahwa saat ajal itu sudah semakin mendekat
beberapa di antaranya:
9
- Kulit kebiruan dan pucat, mulai dari ujung jari, kaki dan bibir lalu menjalar ke
bagian tubuh yang lains
EKB juga mengamati bahwa kematian adalah suatu proses. Dalam proses itu,
pasien cenderung mengalami lima tahap pergolakan emosional tertentu, yaitu :
Salah satu peran perawat menurut Potter dan Perry (2010) adalah peran pemberi
perawatan dimana perawat memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan pasien secara
holistik, meliputi upaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Sejalan
dengan tujuan dari perawatan paliatif, bahwa peran perawat dalam mempersiapkan pasien
menjelang ajal adalah pembimbing spiritual pasien, komunikator, fasilitator, dan pemberi
dukungan emosional keluarga. Bimbingan spiritual yang dimaksudkan adalah bimbingan
rohani dengan membacakan doa-doa sesuai dengan agama informan dan pasien. Sejalan
dengan pendapat Kozier, dkk. (2010), bahwa perawat memiliki tanggung jawab untuk
memastikan bahwa kebutuhan spiritual pasien diberikan baik melalui intervensi langsung
ataupun dengan mengatur akses terhadap individu yang dapat memberikan perawatan
spiritual. Milligan (2011) mengungkapkan pengkajian dan perawatan spiritual adalah
merupakan bagian integral dari peran perawat.
Perawat juga berperan dalam memberikan dukungan kepada keluarga pasien yang
menjelang ajal. Sejalan dengan penelitian Wright, Bourbonnais, Brajtman, Gagnon
(2011), menggambarkan bahwa kepuasan yang didapatkan perawat perawatan kritis pada
saat merawat pasien dan keluarga dalam perawatan akhir hidup adalah dengan hadir
10
mendampingi keluarga dan memberikan dukungan melewati fase tersebut. Penelitian Mc
Ilfatrick, Mawhinney, dan Gilmour (2010) mengatakan pendidikan dan pelatihan sangat
penting untuk meningkatkan kualitas paliatif dan perawatan akhir hidup bagi pasien.
Pengembangan perawat profesional perawatan paliatif memiliki potensi untuk mengatasi
beberapa tantangan yang ada dalam pemberian perawatan paliatif dan membantu
menjembatani kesenjangan antara spesialis juga generalis penyedia perawatan paliatif,
hal ini sangat penting untuk memberikan perubahan yang nyata dan berkelanjutan dalam
praktek.
End of life care (EOLC) adalah terminologi yang dipakai untuk mendeskripsikan
dukungan dan perawatan medis yang diberikan kepada pasien dalam menghadapi akhir
hayatnya. EOLC tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
ketika pasien tiba-tiba mengalami henti napas dan henti jantung. Pada umumnya,
tindakan yang diberikan hanya berfokus pada protap teknis untuk mempertahankan hidup
pasien. Tidak jarang, upaya penyelamatan yang dilakukan tidak berhasil. Maka proses
kematian yang dialami oleh pasien yang seyogyanya lebih humanistik dan bermartabat
menjadi hilang. Pada fase akhir hayat, baik pasien maupun keluarga mengalami
penderitaan fisik dan psikis. Pasien mungkin saja mengalami rasa sakit yang hebat,
kesulitan bernapas, delirium, perasaan yang tidak berdaya, putus asa, rapuh dan tidak
menentu bahkan mengalami distress spiritual. Hal-hal tersebut tentu akan berdampak
pada kesejahteraan serta menjadi hambatan bagi pasien untuk melewati akhir hayat yang
bermakna.
Tujuan EOLC adalah meringankan penderitaan baik fisik, psikologis dan spiritual yang
dialami oleh pasien dan keluarganya melalui pengkajian secara komprehensif dan proses
kuratif yang agresif. Dengan mengurangi penderitaan misalnya mengurangi nyeri,
diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien yang sekarat untuk bisa
menghadapi kematian dengan tenang. Sedangkan bagi keluarga, mendapat informasi
yang adekuat serta mendapat dukungan psikologis akan membuat mereka lebih terbuka
dalam menerima kehilangan. Peran perawat dalam EOLC adalah memberikan perawatan,
memberikan informasi dan advokasi pasien dan keluarganya, mendorong refleksi dan
implikasi dari perawatan akhir hayat. Namun perawat sering menghadapi kesulitan
melaksanakan EOLC, khususnya dalam mengidentifikasi kapan fase menjelang ajal
11
dimulai, hambatan komunikasi dalam tim, dan perasaan bersalah karena gagal
menyelamatkan nyawa pasien.
Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan End of Life Care (EOLC) Oleh Perawat
2. Faktor Pasien dan Keluarga Karakteristik pasien yang meliputi keadaan umum
pasien serta keterlibatan keluarga dan nilai-nilai kepercayaan yang dianut oleh pasien dan
keluarganya mempengaruhi perawat dalam melakukan perawatan EOLC. Nilai-nilai dan
kepercayaan pasien dan keluarga menentukan preferensi dalam penentuan perawatan
pasien menjelang ajal. Faktor yang mempengaruhi perawatan EOLC adalah faktor relasi
antara pasien, keluarga, perawat dan tim kesehatan dengan membangun kepercayaan,
memberikan informasi yang akurat, melibatkan dalam pengambilan keputusan serta
menghargai dan menghormati pasien dan keluarga. Melakukan EOLC di ruang intensif
berbeda dengan di ruang perawatan lain karena perbedaan karakteristik pasien dan situasi.
12
Kondisi yang diharapkan dalam proses menghadapi kematian adalah dengan tidak
berlarut-larut, khusnul khotimah, dan pasrah. Hasil ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Hansdottir dan Halldorsdottir (2008) yang menyebutkan bahwa lansia
ingin mati secara natural, dalam kedamaian dan bermartabat. Tidak jarang jika pasien
lansia membutuhkan dukungan keluarga saat proses menjelang ajalnya sehingga
menginginkan rumah mereka untuk menghadapi kematian. Hal ini didukung oleh
penelitian Lee (2009) yang mengungkapkan bahwa lansia di Amerika berharap
meninggal di rumah mereka. Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa lansia ingin
menjalani tahap kematian dengan mudah tanpa penderitaan, menghindari ketergantungan
dan menghindari baring ditempat tidur dalam waktu yang lama. Lansia ingin menghadapi
kematian di rumah mereka sendiri dan menginginkan bersama anggota keluarga dalam
menghadapi kematiannya atau ada seseorang yang mau mendengarkan kisahnya sebelum
ajal menjemput. Peran perawat dalam membantu pasien menjelang ajal untuk meraih
kembali martabatnya dapat menjadi salah satu penghargaan terbesar dalam proses
keperawatan. Klien menjelang ajal harus dirawat dengan respek dan perhatian. Perawat
dapat berbagi penderitaan klien menjelang ajal dan melakukan intervensi untuk dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
13
BAB III
KASUS
Klien Tn. D berusia 67 tahun, tinggal bersama istri dan kedua orang anaknya di Tegal,
Jawa Tengah. Pendidikan terakhir klien adalah SMP. Istri klien bernama Ny. E berusia
56 tahun, pendidikan terakhir SD. Klien dan sang istri adalah seorang petani dengan
penghasilan kurang lebih 1.500.000 setiap bulannya. Klien dan keluarganya beragama
Islam. Setiap harinya klien selalu melaksanakan shalat berjamaah bersama keluarga
kecilnya. Sehari-hari klien menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia. Gaya hidup klien
terbilang kurang sehat, ia lebih menyukai makanan bersantan bahkan hampir setiap hari
ia mengkonsumsi makanan berbahan santan dan tidak suka mengkonsumsi air putih.
Tn. D terkena serangan stroke non hemoragik dan dirawat di ruang perawatan semi
intensif sebuah rumah sakit. Kesadaran pasien baik, namun pasien mengalami
kelumpuhan sisi kanan tubuhnya dan mengalami kesulitan bicara. Pasien menolak
bantuan perawat untuk memenuhi perawatan hariannya. Pasien merasa tidak percaya
dengan semua tindakan medis yang dilakukan perawat, dia lebih mempercayai orang
pintar yang berada di daerah asalnya. Pasien juga selalu ingin dirawat oleh istrinya,
sedangkan kebijakan rumah sakit anggota keluarga menunggu di ruang perawatan. Istri
pasien hanya boleh menemui pasien pada saat kunjungan. Istri pasien selalu menunggu
di luar ruang perawatan dan ingin membantu merawat suaminya.
14
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
1. Faktor Teknologi
Identitas Klien:
Nama : Tn. D
Usia : 67 tahun
Pekerjaan : Petani
15
● Pasien merasa tidak percaya dengan semua tindakan medis yang dilakukan
perawat, dia lebih mempercayai orang pintar yang berada di daerah asalnya.
5. Faktor Politik
Terdapat Kebijakan rumah sakit yang melarang anggota keluarga menunggu di dalam
ruang perawatan.
6. Faktor Ekonomi
Sumber biaya pengobatan Biaya dari penghasilan klien dan istrinya, karena klien tidak
mengikuti asuransi kesehatan.
7. Faktor Pendidikan
4.3. Intervensi
Untuk mengubah kepercayaan klien terkait perawat. Pola rencana dalam melaksanakan
restrukturisasi budaya adalah:
1. Beri informasi pada klien menggunakan bahasa yang mudah dipahami klien
16
4.4 Rencana Asuhan Keperawatan
Terapeutik:
● Gunakan metode
komunikasi alternatif
17
(mis: menulis, mata
berkedip, papan
komunikasi dengan
gambar dan huruf,
isyarat tangan, dan
komputer)
● Sesuaikan gaya
komunikasi dengan
kebutuhan (mis:
berdiri di depan
pasien, dengarkan
dengan seksama,
tunjukkan satu
gagasan atau
pemikiran sekaligus,
bicaralah dengan
perlahan sambal
menghindari teriakan,
gunakan komunikasi
tertulis, atau meminta
bantuan keluarga
untuk memahami
ucapan pasien)
● Modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan
bantuan
● Ulangi apa yang
disampaikan pasien
● Berikan dukungan
psikologis
● Gunakan juru bicara,
18
jika perlu
Edukasi:
● Anjurkan berbicara
perlahan
● Ajarkan pasien dan
keluarga proses
kognitif, anatomis,
dan fisiologis yang
berhubungan dengan
kemampuan bicara
Kolaborasi:
19
m pendampingan
perawat keluarga untuk
an atau bergantian menemani
pengob pasien selama
atan menjalani program
mening pengobatan, jika perlu.
kat ● Dokumentasikan
● Verbali aktivitas selama
sasi menjalani proses
mengik pengobatan.
uti ● Diskusikan hal-hal
anjuran yang dapat
mening mendukung atau
kat menghambat
● Perilak berjalannya program
u pengobatan.
mengik ● Libatkan keluarga
uti untuk mendukung
progra program pengobatan.
m
perawat
Edukasi
an/peng
obatan ● Informasikan program
k dijalani.
20
k selama menjalani
program pengobatan.
● Anjurkan pasien dan
keluarga melakukan
konsultasi ke
pelayanan kesehatan
terdekat, jika perlu.
21
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dalam membangun hubungan dengan klien, komunikasi yang kurang biasanya terjadi
pada hubungan interkultural, sehingga keterampilan manajemen impresi merupakan hal
penting bagi perawat. Dalam proses penegakan asuhan keperawatan, perawat harus
memperhatikan latar belakang pasien dalam hal budaya. Khususnya pada pasien yang
lanjut usia atau pasien terminal, mereka akan lebih menjunjung tinggi nilai nilai budaya
dalam kehidupan sehari-hari. Asuhan keperawatan yang direncanakan oleh perawat harus
disesuaikan dengan latar belakang budaya pasien masing-masing. Hal tersebut dapat
memudahkan pasien dalam menerima asuhan keperawatan. Sehingga diharapkan dapat
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil makalah yang telah kami buat mengenai Aplikasi Keperawatan
Transkultural Pada Kelompok Lansia, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
a. Bagi Pembaca
Dengan adanya makalah ini, kami berharap pembaca dapat memahami mengenai
aplikasi keperawatan transkultural pada kelompok lansia. Selain itu, diharapkan makalah
22
ini dapat menjadi manfaat bagi para pembaca sebagai sarana pembelajaran selain dari
sumber-sumber yang ada (jurnal, internet, buku, dan lain-lain).
b. Bagi Perawat
23
DAFTAR PUSTAKA
24