Anda di halaman 1dari 13

,Laporan parktikum

Dasar-Dasar Agronomi

KOMPOS

Nama : Riski Amalia


Nim : G041171007
Kelas : Dasar dasar agronomi G.
Kelompok :4
Asisten ` : Reynaldi

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sampah bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, pasar, perkantoran,
ruamh penginapan, hotel, rumah makan, industri, atau aktivitas manusia lainnya.
Sampah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak terpakai
(Nurhidayat, 2006).Sampah juga merupakan bagian terintim dari diri manusia yang
hingga saat ini masalahnya selalu menarik untuk dibicarakan tetapi menakutkan
untuk dijamah. Berawal dari keberadaan sampah tersebut maka estetika akan
berkurang nilainya jika sampah dibiarkan ada dimana-mana. Semua riset mengatakan
bahwa pertambahan jumlah sampah sama dengan pertambahan jumlah penduduk
sehingga, semakin banyak penduduk yang menghuni bumi maka jumlah sampah juga
akan semakin bertambah.
Kesadaran masyarakat tentang hidup bersih dan teratur perlu terus ditumbuhkan,
salah satunya dalam penanganan sampah dari skala rumah tangga karena sampah juga
merupakan bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat. Untuk mengubah kebiasaan
membuang sampah menjadi mengelola sampah perlu upaya yang dimulai secara
individual di setiap rumah untuk menjaga lingkungan bersih bebas dari sampah salah
satu solusinya mengubah kebiasaan membuang sampah untuk
mengolah sampah menjadi kompos dimulai dari sampah rumah tangga karena
sebagian sampah yang dihasilkan merupakan sampah organik (sampah basah), yaitu
mencapai 60-70% dari total volume sampah, yang berasal dari dapur dan halaman.
Sampah organik ini, jika pengelolaannya tidak secara benar maka akan memberikan
bau busuk (H2S dan FeS) dan akan menjadi sumber lalat, bahkan dapat menjadi
sumber lebih dari (Sutanto, 2002).
Sampah organik yang masih mentah, apabila diberikan secara langsung ke dalam
tanah, justru akan berdampak menurunkan ketersediaan hara tanah, disebabkan
sampah organik langsung akan disantap oleh mikroba. Populasi mikroba yang tinggi,
justru akan memerlukan hara untuk tumbuh dan berkembang, dan hara tadi diambil
dari tanah yang seyogyanya digunakan oleh tanaman, sehingga mikroba dan tanaman
saling bersaing merebutkan hara yang ada. Berdasarkan keadaan tersebut, justru akan
terjadi gejala kekurangan hara nitrogen (N) yang sering ditunjukan oleh daun
berwarna kekuning-kuningan (clorosis) (Sutedjo, 2002).
Alam memiliki andil besar  dalam pengolahan sampah secara otomatis
terutama sampah organik. Akan tetapi kerja keras alam dalam
pengolahan sampah secara natural sangat tidak berimbang dibanding berjuta ton
volume sampah yang diproduksi. Selain itu sampah tidak selalu harus dibuang karena
dengan sedikit kreatifitas dan kerja keras manusia, sampah yang tidak layak pakai
dapat berubah menjadi barang kaya manfaat. Beragam jenis sampah,
terutama sampah organik dapat dengan mudah dan sederhana diaplikasikan menjadi
bahan olahan (Sutedjo, 2002).
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Mahasiswa mangetahui cara pengolahan sampah sederhana melalui pembuatan
kompos dengan menggunakan bahan dasar sampah sayur  dengan perlakuan
pemberian EM4.
Mahasiswa mampu mengaplikasikan sampah menjadi bahan yang bisa
dimanfaatkan yaitu proses pengomposan sebagai pupuk bagi tanaman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kompos


Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-
bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai
macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab , dan aerobic atau
anaerobik (J.H. Crawford, 2003).
Menurut Sutedjo (2002), kompos merupakan zat akhir suatu proses fermentasi,
tumpukan sampah/ seresah tanaman dan ada kalanya pula termasuk bingkai binatang.
Sesuai dengan humifikasi fermentas suatu pemupukan, dirincikan oleh hasil bagi C/N
yang menurun. Perkembangan mikrobia memerlukan waktu agar tercapai suatu
keadaan fermentasi yang optimal. Pada kegiatan  mempercepat proses dipakai
aktifator, baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak, yaitu bahan dengan
perkembangan mikrobia dengan fermentasi maksimum. Aktifator misalnya: kotoran
hewan. Akhir fermentasi untuk C/N kompos 15 – 17.
2.2 Metode Pengomposan
Proses pengomposan baik secara aerob dan anaerob dapat diterapkan dalam
pengolahan sampah kota. Umumnya proses anaerob lebih komplek dibandingkan
proses aerob. Proses anaerob memungkinkan produksi energi dalam bentuk gas metan
yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Sebaliknya proses aerob memerlukan energi
karena suplay oksigen harus diberikan agar proses penguraian sampah berlangsung
optimum. Namun demikian, proses aerob memiliki kelebihan yakni mudah
pengoperasiannya dan bila dilakukan dengan benar dapat mereduksi volume sampah
kota khususnya materi organiknya.
Pengomposan aerob merupakan proses penguraian secara biologis yang paling
banyak diterapkan dalam merubah materi organik sampah kota menjadi materi yang
stabil menyerupai humus atau lebih dikenal kompos. Bahan kompos yang paling
banyak diterapkan adalah :
1. Sampah kebun atau halaman.
2. Sampah kota telah dipisahkan materi organiknya.
3. Komposting bersama lumpur air buangan.

2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan


Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan
dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut
akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya
kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke
tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses
pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain:

1. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga
40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N
untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan
cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi,
mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan
lambat.
2. Ukuran Partikel
Aktifitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area
yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses
dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya
ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan
dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen(aerob).
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang
menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air
bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang
akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas
dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-
rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses
pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan
berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
5. Kelembaban (Moisture content)
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme
mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada ketersediaan oksigen.
Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut
larut di dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme
mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktifitas mikroba akan mengalami
penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban
lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktifitas
mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan
bau tidak sedap.
6. Temperatur/suhu
Panas dihasilkan dari aktifitas mikroba. Ada hubungan langsung antara
peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan
semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi.
Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur
yang berkisar antara 30-60oC menunjukkan aktifitas pengomposan yang cepat. Suhu
yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba
termofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan
membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
7. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. H yang optimum
untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak
umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai
contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan
penurunan pH, sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung
nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang
sudah matang biasanya mendekati netral.
8. Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya
terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh
mikroba selama proses pengomposan.
9. Kandungan bahan berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi
kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, dan Cr adalah
beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami
imobilisasi selama proses pengomposan.
10. Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposakan, metode pengomposan yang digunakan dan dengan atau tanpa
penambahan aktivator pengomposan. Secara alami, pengomposan akan berlangsung
dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.

2.4 Indikator Kematangan Kompos


Untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan uji
dilaboratorium untuk atau pun pengamatan sederhana di lapang. Berikut ini
disampaikan cara sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan kompos
(fahruddin dan as’adi abdullah2010) :
Penyusutan Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan
tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila
penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai
dan kompos belum matang.
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan.

Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50oC, berarti proses pengomposan
masih berlangsung aktif.
Kandungan air kompos Kompos yang sudah matang memiliki kandungan kurang
lebih 55-65%. Cara mengukur kandungan air kompos adalah sebagai berikut:
Ambil sampel kompos dan ditimbang, kompos dikeringkan di dalam oven atau
microwave hingga beratnya konstan, kompos ditimbang kembali. Kandungan air
kompos dihitung dengan rumus sebagai berikut :

2.5 Manfaat Kompos

Manfaat kompos Kompos ibarat multivitamin bagi tanah dan tanaman. Rachman
Sutanto (2002) mengemukakan bahwa dengan pupuk organik sifat fisik, kimia dan
biologi tanah menjadi lebih baik. Selain itu Kompos memiliki banyak manfaat yang
ditinjau dari beberapa aspek:

Aspek Ekonomi, Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah.


Mengurangi volume/ukuran limbah, Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada
bahan asalnya
Aspek Lingkungan, Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan
pelepasan gas metana dari sampah organik yang membusuk akibat bakteri metanogen
di tempat pembuangan sampah, Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan

Aspek bagi tanah/tanaman, Meningkatkan kesuburan tanah, Memperbaiki struktur


dan karakteristik tanah, Meningkatkan kapasitas penyerapan air oleh tanah,
Meningkatkan aktivitas mikroba tanah, Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai
gizi, dan jumlah panen), Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman, Menekan
pertumbuhan/serangan penyakit tanaman, Meningkatkan retensi/ketersediaan hara.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu


Praktikum Pembuatan Kompos dilaksanakan di Teaching Farm, Fakultas
Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar pada hari Rabu, 24 Oktober 2018 pukul
16.00 WITA sampai selesai.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah 2 karung atau spanduk bekas,
parang/pisau, sekop, dan ember 5 liter.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah 1 liter gula merah, air, EM4, 5
kg rumput gajah, 7 kg eceng gondok, 7 kg dedak, 1 karung pupuk kandang, dan 10 kg
limbah sayur.
1.1 Prosedur Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Membersihkan dan memotong rumput gajah, eceng gondok, dan limbah sayur
sampai berukuran kecil.
3. Mencampur bahan yang telah dipotong dan dicacah dengan pupuk kandang di
atas karung/spanduk.
4. Mengaduk bahan agar tercampur dengan rata.
5. Menambahkan dedak sedikit demi sedikit dan diaduk secara merata.
6. Mencampur EM4 dan air gula merah dengan air.
7. Menyiram bahan kompos dengan larutan EM4 dan gula merah sedikit demi
sedikit sambil mengaduk bahan agar dapat terkena larutan secara menyeluruh.
8. Menutup bahan dengan karung sampai rapat.
9. Mengaduk kompos setiap 1 minggu sekali.
10. Melakukan pengamatan terhadap kompos setiap 1 minggu sekali
Untuk mengetahui mengenai kematangan kompos dapat kita lihat berdasarkan
warnanya yang telah berubah menjadi cokelat kehitaman dengan aroma yang tidak
berbau dan teksturnya yang halus menandakan bahwa pembuatan kompos berhasil
dilakukan. Berdasarkan pendapat Widyarini (2008) menyatakan bahwa apabila
kompos masih seperti dengan warna aslinya dengan aroma yang masih busuk maka
kompos tersebut belum dinyatakan matang.
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan tentang cara pembuatan kompos,
berdasarkan dari hasil pengamatan kompos yang telah dibuat berhasil.
BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-
bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam
mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik
(J.H. Crawford, 2003). Terdapat du acara pengomposan yaitu dengan cara aeraob dan
anaerob dan Pengomposan aerob merupakan proses penguraian secara biologis yang
paling banyak diterapkan dalam merubah materi organik sampah, kompos juga sangat
penting karena Manfaat kompos Kompos ibarat multivitamin bagi tanah dan tanaman.
Rachman Sutanto (2002).
4.2 Saran
Saran saya tentang praktikum pembuatan pupuk kompos ini adalah, sebaiknya
jika melakukan praktik pembuatan semacam ini di tempat yang lebih baik sehingga
dapat memudahkan praktikum serta alat alat yang di gunakan untuk pembuatan
kompos juga lebih lengkap agar hasil yang terbentuk akan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Nurhidayat, 2006. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya.


Crawford,J.H. 2003. KOMPOS. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia
Sutedjo. 2002. Potensi dan Pemanfatan limbah Gula sebagai Bahan Pembuatan
Pupuk Organik Tanah.Jakarta: Nalai industri Indonesia
 
Fahruddin dan As’adi Abdullah 2010, Pendayagunaan sampah Daun di kampus
Unhas sebagai Bahan Pembuatan kompos. Makassar

Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan


Pengembangannya). Kanisius Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai