Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak Dalam
Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak Dalam
1. Wilayah Kerja
- Pengadilan negeri wilayah DKI Jakarta dan tangerang;
- Mahkamah Agung RI;
- Mahkamah konstitusi R;
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
- Badan Arbitrase Nasional;
- Arsip Nasional RI; dan
- Tempat – tempat lain yang berkaitan seperti pusat dokumentasi hukum dan
perpustakaan.
2. Sumber Data
- Mahkamah Agung RI;
- Arsip Nasional RI;
- Mahkamah konstitusi RI;
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
- Badan Arbitrase Nasional;
- Pengadilan Negeri Jakarta Barat;
- Pengadilan Negeri Jakarta Timur;
- Pengadilan Negeri Jakarta Utara;
- Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
- Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
- Pengadilan Negeri Jakarta Tangerang;
1
4. Ruang Lingkup Perolehan Data
- Terbatas pada lembaga yudisial dalam lingkup peradilan umum, seperti Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
- Analisis hanya terhadap produk pengadilan yang termasuk dalam lingkup perdata.
Sehingga sulit untuk menentukan kecapakan secara nyata yang melekat pada seorang
individu, mengingat kondisi individu masing-masing berbeda.
Salah satu standar yang sering digunakan untuk menilai batasan kecakapan adalah Buku
III Pasal 1330 BW, yang menyebutkan bahwa “Tidak cakap adalah mereka yang belum
dewasa, dibawah pengampuan, serta orang-orang perempuan yang terikat
perkawinan”.
Sebagai subjek hukum, manusia adalah pengemban hak dan kewajiban hukum. Hak dan
kewajiban yang melekat pada manusia, oleh hukum kemudian dijewantah kedalam
2
bentuk kewenangan hukum. Terkait dengan hak terdapat kewenangan untuk
menerima, sedangkan terkait dengan kewajiban terdapat kewenangan bertindak.
Umur merupakan salah satu parameter yang digunakan sebagai syarat bagi subjek
hukum untuk memiliki kewenangan bertindak. Salah satu bentuk kewenangan bertindak
berdasarkan batasan umur adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
perkawinan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun”.
Meskipun memiliki batasan ukuran yang sama, yaitu umur, kewenangan bertindak tidak
dapat disamakan dengan kecakapan. Dalam beberapa kondisi, seseorang yang
mencapai umur tertentu memiliki kewenangan bertindak dan juga memiliki kecakapan.
Namun tidak berarti, bahwa setiap yang memiliki kewenangan bertindak pasti cakap
dalam hukum, atau setiap yang cakap dalam hukum pasti memiliki kewenangan
bertindak.
Dalam praktiknya tidak mudah membuat batas antara kewenangan bertindak dan
kecakapan, meski keduanya memilki ranahnya sendiri.
3
c. Kecakapan berdasarkan Batasan Umur 21 Tahun
- Terdapat 18 putusan dan 28 penetapan pengadilan yang menggambarkan
kecapakan berdasarkan batasan umur.
- Salah satu putusan pengadilan dimana hasil pertimbangan hakim yang mendasarkan
kecakapan pada batasan umur dewasa yang digunakan 21 tahun, antara lain adalah:
1) Gugatan Ganti Rugi karena Perbuatan melawan Hukum : Putusan Pengadilan
Negeri Tondano No.118/PDT.G/1990/PN.TDO Tanggal 7 Agustus 1991 jis.
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara di Manado No.84/PDT/1992/PT.MDO
Tanggal 15 April 1993 jis. Putusan MA RI No.441/K/Pdt/1994 Tanggal 19 Januari
1995.
Majelis Hakim berpandangan bahwa anak tergugat I dan II belum dewasa, dalam
arti belum mencapai 21 tahun atau pernah kawin, mengenai hal mana,
Pengadilan menunjuk ketentuan di dalam ordonansi 31 Januari 1931 9L.N. 1931
No.54) jo pasal 330 KUH Perdata. Dengan demikian, karena anak tergugat I dan
II belum dewasa, karenanya berdasarkan Pasal 1367 BW, tergugat I dan II
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan anaknya.
Dalam hal ini, meskipun anak lelaki tergugat I dan II telah berumur 19 tahun,
yang menurut hukum telah cukup umur memperoleh Surat izin Mengemudi
(oleh karenanya dianggap cakap mengemudikan kendaraan bermotor), namun
majelis hakim berpandangan bahwa batasan umur untuk dapat memperoleh
surat Izin Mengemudi tidak berrati menjadi batasan umur untuk menilai
kecakapan dalam berbuat hukum. Dengan demikian umur 19 tahun belum
dewasa sehingga orang tuanya masih harus bertanggung jawab mengganti
kerugian yang timbul.
4
Penetapan diatas menunjukkan adanya inkonsistensi hakim dalam menentukan
batasan umur untuk menetapkan seseorang belum dewasa atau masih di bawah
umur. Pertimbangan hakim tersebut menunjukkan adanya kekosongan hukum
untuk seseorang yang berumur diatas 18 tahun dan di bawah 21 tahun.
Bagaimana bisa, seorang yang tidak lagi berada di bawah kekuasaan wali (atau
orang tuanya), namun masih dianggap belum dewasa ?
5
kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah mampu
bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap.
6
tanah yang dimiliki anaknya, terleih lagi saat ini, anak tersebut berada dalam
hadhanah penggugat.
Hasil Penelusuran Produk Sebagian besar menyatakan kondisi di bawah umur atau
belum dewasa pada pertimbangannya, tanpa menguraikan
batasan umur yang digunakan untuk menyatakan kondisi
di bawah umur atau belum dewasa, dan juga tidak
mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai
pertimbangan untuk menyatakan kondisi di bawah umur
ata belum dewasa tersebut. Produk-produk tersebut
antara lain:
7
yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan hakim dalam
memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
- Sebagian besar hanya menyatakan suatu kondisi “di bawah umur”, tanpa
menguraikan lebih lanjut batasan umur yang digunakan atau dasar hukum yang
digunakan untuk menentukan kondisi di bawah umur tersebut.
- Dalam putusan yang memuat pertimbangan tentang kewenangan bertindak
berdasarkan batasan umur, tampak bahwa pada umur 15 tahun seseorang telah
dapat dilimpahi kewenangan untuk menjadi pihak dalam berperkara di pengadilan
guna mempertahankan hak mewarisnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada umur 15
tahun seorang subjek hukum telah memiliki cukup kemampuan untuk diberikan
kewenangan bertindak.
- Terkait dengan kecapakan berdasarkan batasan umur, persoalan perbedaan
pandangan antara BW dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ternayata
membawa dampak pada penerapan hukum di pengadilan. Produk pengadilan
menunjukkan adanya perbedaan pandangan antar hakim dalam mendasarkan
pertimbangannya pada kedua aturan hukum tersebut.
- Menurut BW, kecakapan dipengaruhi oleh kondisi dewasa, yang menurut Pasal 330
BW adalah telah berumur 21 tahun. Sementara itu, menurut UU No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan, kecapakan dipengaruhi oleh suatu kondisi dimana seseorang
tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian, yaitu telah berumur
18 tahun.
- Meskipun UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menggantikan pengertian
dewasa dalam BW, tidak berarti tidak terjadi pergeseran umur dalam menentukan
8
kecakapan. Pasal 47 dan 50 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan maka dapat
ditarik pemahaman bahwa kecakapan berdasarkan batasan umur, kini didasarkan
apda umur dimana seseorang sudah tidak berada pada kekuasaan orang tua
maupun perwalian (18 tahun), tidak lagi didasarkan pada umur dewasa (21 tahun).
- Dengan demikian, kecakapan tidak lagi tergantung pada terminologi “tidak berada di
bawah umur atau dewasa”, tetapi tergantung pada terminologi tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua atau perwalian.
- Dari produk yang dianalisis terlihat sebagian besar hakim tidak menggunakan
metodologi yang sistematis dalam menerapkan konsep hukum “kecakapan dan
kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur”. Sebagian besar dalam
pertimbangannya hakim hanya menyatakan kondisi dibawah umur tanpa
menguraikan apa yang dimaksud dengan di bawah umur, batasan umur yang
dikategorikan sebagai di bawah umur, serta dasar hukum yang digunakan untuk
menetukan suatu kondisi di bawah umur.
- Dalam jumlah relatif lebih kecil, beberapa hakim menggunakan metode penafsiran
secara gramatikal terhadap peraturan perundang-undangan dalam menerapkan
hukum. Terkait dengan kecakapan dalam hukum yang oleh Pasal 1330 BW
ditentukan suatu kondisi “tidak berada di bawah umur”, hakim kemudian merujuk
pada Pasal 330 BW yang mengatur tentang batasan umur untuk menentukan kondisi
“di bawah umur”, yaitu belum genap berumur 21 tahun. Hakim tampaknya
menafikan ketentuan dalam Pasal 47 dan 50 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, karena tidak satu pun ketetentuan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang mengatur tentang “kondisi dewasa” ataupun “di bawah umur”
sehingga eksistensi Pasal 330 BW dianggap masih tetap berlaku. Hal ini dapat dilihat
pada pertimbangan hakim yang mendasarkan kecakapan pada batasan umur 21
tahun.
- Dalam jumlah yang paling kecil, beberapa hakim menggunakan metode penafsiran
secara konseptual terhadap peraturan perundang-undangan dalam menerapkan
hukum. Terkait dengan kecakapan hukum, hakim merujuk pada ketentuan Pasal 47
dan 50 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hal ini, dapat dianalisis
bahwa hakim berpandangan dengan berlakunya UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan maka suatu kondisi kecakapan dalam hukum adalah kondisi di mana
9
seseorang mampu bertanggung jawab secara penuh, tidak lagi berada di bawah
kekuasaan orang tua ataupun perwalian, yaitu telah berumur 18 tahun.
- Meski tidak satu pun ketentuan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan tidak berlakunya Pasal 330 BW, dengan Pasal 47 dan 50, telah terjadi
perubahan batasan umur untuk menentukan kecakapan dalam hukum secara
yuridis, yaitu 21 tahun menjadi 18 tahun.
10
4. Aliran Mazhab yang Digunakan Hakim dalam Menerapkan Konsep Hukum Kecakapan
dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan Umur dalam Produk Pengadilan
c. Mazhab Historis
Hakikat dari sistem hukum adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang
mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang. (Friedrich Carl
Von Savigny)
Masyarakat progresif adalah masyarakat yang mampu mengembangkan hukum
melalui tiga cara, yaitu fiksi, equity dan perundang-undangan. (Sir Henry Maine)
d. Mazhab Utilitariansm
Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu agar tujuannya
sesuai dengan tujuan masyarakat di mana mereka menjadi warganya. Hukum
merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-
perubahan sosial.
Tokoh : Jeremy Bentham dan Rudolf von Jhering
11
ilmu hukum untui mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-
kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.
C. Kesimpulan
1. Hakim dalam memberikan putusan, baik penetapan maupun putusan terhadap
perkara, belum memiliki keseragaman terhadap pengertian belum dewasa.
Sebagian hakim memberi batasan 21 tahun dan sebagian lagi umur 18 tahun.
2. Penggunaan istilah belum dewasa sama dengan anak sebagai batasan umur
digunakan dalam putusan
3. Akibat dari perbuatan hukum terhadap tanggung jawab seseroang yang dianggap
memiliki umur tertantu ebrbeda-beda, ada putusan yang telah memberikan
tanggung jawab keperdataan kepada seseorang yang telah berumur 18 tahun, ada
yang setelah genap 21 tahun.
12
3. Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai kecakapan dan kewenangan
bertindak adalah berdasarkan batasan umur. Namun demikian, terkait dengan
kecakapan dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur, sebagian besar
putusan hakim yang kami telusuri menggunakan lembaga “di bawah umur” tanpa
menguraikan dasar hukum maupun dasar pertimbangan yang digunakan untuk
menentukan klasifikasi “di bawah umur.” Dengan demikian, akan menjadi sulit untuk
menilai ketepatan penerapan hukum oleh hakim, yang pada akhirnya akan
menimbulkan hukum di masyarakat.
13