Anda di halaman 1dari 7

POTENSI SAPI PESISIR DAN UPAYA

PENGEMBANGANNYA DI SUMATERA BARAT

Adrial

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Jalan G. Obos Km 5, Kotak Pos 122, Palangkaraya 73111
Telp. (0536) 3229662, Faks. (0536) 3231416, E-mail: kalteng_bptp@yahoo.com, adri-yal@yahoo.com

Diajukan: 25 November 2009; Diterima: 11 Maret 2010

ABSTRAK
Sapi pesisir merupakan salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang berpotensi sebagai penghasil daging. Walaupun
ukuran badannya lebih kecil dibanding sapi lokal lainnya, sapi pesisir memiliki keunggulan yaitu daya adaptasinya
tinggi terhadap pakan berkualitas rendah, sistem pemeliharaan ekstensif tradisional, dan tahan terhadap beberapa
penyakit dan parasit. Sapi pesisir berkontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan daging bagi masyarakat
Sumatera Barat. Populasi sapi pesisir mencapai 20% dari total populasi sapi di Sumatera Barat. Pada tahun 2008,
populasi sapi pesisir tercatat 89.995 ekor. Jumlah tersebut jauh menurun dibanding tahun 2004 yang mencapai
104.109 ekor. Penurunan populasi diduga berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang bersifat ekstensif tradisional,
tingginya tingkat pemotongan ternak produktif, terbatasnya pakan, makin menyempitnya padang penggembalaan,
serta terjadinya penurunan mutu genetik. Untuk meningkatkan populasi, produktivitas, dan reproduksi sapi pesisir
perlu dilakukan perbaikan kualitas genetik ternak melalui seleksi, persilangan dengan bangsa sapi unggul, perbaikan
mutu pakan, penyuluhan kepada peternak agar tidak memotong ternak produktif, dan perbaikan manajemen
pemeliharaan.
Kata kunci: Sapi pesisir, pengembangan, Sumatera Barat

ABSTRACT
The potential of pesisir cattle and its development in West Sumatra

Pesisir cattle is one of the Indonesian local cattle commonly found in West Sumatra and has a potential for
producing meat. Although their bodies are smaller compared to other local cattle, pesisir cattle have high adaptation
to low quality feed, extensive traditional raising system, and resistance to diseases and parasites. Pesisir cattle
contribute greatly to the meat supply for West Sumatra community as indicated by its population number which
achieved 20% of the total cattle population in West Sumatra. In 2008, total population of pesisir cattle was about
89,995 heads which was lower than that in 2004 with a total number of 104,109 heads. The decrease in population
is influenced by extensive traditional raising system, highly slaughtering level of productive livestock, limited
feeding and pasture areas as well as decreasing genetic quality. To increase pesisir cattle population, efforts are
needed by improving genetic quality through selection and cross breeding with superior race, increasing feed
quality, extension to farmers to avoid slaughtering the productive female, and improving raising management.
Keywords: Pesisir cattle, development, West Sumatra

T ernak lokal berperan penting dalam


kehidupan masyarakat pedesaan
serta memiliki beberapa sifat unggul
utama di Kabupaten Pesisir Selatan, seba-
gai ternak potong. Populasi sapi potong
di Sumatera Barat tahun 2008 tercatat
dan parasit. Sapi pesisir memiliki potensi
besar dalam penyediaan daging untuk
memenuhi gizi masyarakat dan sebagai
dibandingkan dengan ternak impor. Sapi 469.859 ekor (Dinas Peternakan Provinsi ternak kurban.
lokal, misalnya, memiliki keunggulan daya Sumatera Barat 2008). Sekitar 20% dari Sapi pesisir berperan penting dalam
adaptasi yang tinggi terhadap pakan populasi tersebut terdapat di Kabupaten meningkatkan pendapatan masyarakat
berkualitas rendah, sistem pemeliharaan Pesisir Selatan dan sebagian besar berupa Pesisir Selatan dan memenuhi kebutuhan
ekstensif tradisional, dan tahan terhadap sapi pesisir. daging masyarakat Sumatera Barat.
beberapa penyakit dan parasit. Namun, Menurut Saladin (1983), sapi pesisir Namun, keberadaan sapi pesisir belum
produktivitas sapi lokal lebih rendah termasuk bangsa sapi berukuran kecil. mendapat perhatian yang semestinya dari
dibanding sapi impor. Namun, sapi pesisir dapat beradaptasi peneliti, masyarakat, dan pemerintah,
Sapi pesisir merupakan salah satu dengan baik terhadap pakan berkualitas bahkan populasinya cenderung menurun
bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara rendah, pemeliharaan secara sederhana, karena tergusur oleh sapi-sapi eksotik
petani-peternak di Sumatera Barat, ter- dan tahan terhadap beberapa penyakit impor yang mempunyai sifat-sifat unggul.

66 Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010


Dinas Peternakan Provinsi Sumatera sebagai sisa sapi asli yang pada mulanya dari sifat produksi ternak tidak akan
Barat (2008) melaporkan bahwa populasi berkembang di Kabupaten Pesisir Selatan. tercapai, demikian juga sebaliknya.
sapi pesisir pada tahun 2008 jauh menurun Namun, saat ini sapi pesisir ditemukan Sapi pesisir jantan dewasa (umur 46
dibandingkan tahun 2004. Populasi sapi pula di Kabupaten Padang Pariaman dan tahun) memiliki bobot badan 160 kg, jauh
pesisir pada tahun 2008 tercatat 89.995 Agam (Anwar 2004). lebih rendah dibandingkan dengan bobot
ekor, jauh menurun dibanding tahun 2004 badan sapi bali (310 kg), sapi PO (388 kg),
yang mencapai 104.109 ekor (Gambar 1). sapi aceh (302 kg), dan sapi madura (248
Penurunan populasi diduga berkaitan KARAKTERISTIK SAPI kg). Dengan bobot badan yang kecil, sapi
dengan sistem pemeliharaan yang bersifat PESISIR pesisir berpeluang dijadikan sebagai
ekstensif tradisional, tingginya jumlah hewan kesayangan bagi penggemar sapi
pemotongan ternak produktif, terbatasnya Sapi pesisir memiliki bobot badan dan mini. Penampilan bobot badan merupakan
pakan, menyempitnya areal penggemba- ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan salah satu penciri suatu bangsa sapi
laan, dan kurang tersedianya pejantan. dengan sapi lokal lainnya (Tabel 1 dan 2). (breed). Dengan demikian, sapi pesisir
Salah satu upaya yang dilakukan Peme- Bobot badan dan ukuran tubuh sapi di- merupakan sumber daya genetik (plasma
rintah Provinsi Sumatera Barat untuk pengaruhi oleh faktor genetik dan ling- nutfah) nasional yang perlu dilestarikan
meningkatkan populasi dan produktivitas kungan, terutama pakan (Parker dalam dan dikembangkan.
sapi pesisir adalah melestarikan dan Adrial 2002). Betapapun tingginya potensi Pertambahan bobot badan harian sapi
mengembangkannya. Upaya pelestarian genetik ternak, tanpa diikuti pemberian pesisir jantan dari lahir sampai sapih rata-
ini terutama bertujuan untuk memper- pakan yang baik, maka penampilan optimal rata 0,32 kg/ekor/hari, lepas sapih sampai
tahankan kemurnian genetik sapi pesisir
sebagai cadangan plasma nutfah untuk
pengembangan ternak di masa yang akan
datang. Pengembangan sapi pesisir
dilakukan di sentra-sentra populasi
Populasi (000 ekor)
dengan memperbaiki manajemen peme-
120
liharaan, pemanfaatan teknologi, dan
pengendalian pengeluaran ternak. Tulisan 100
ini menelaah potensi sapi pesisir dan 80
upaya pengembangannya di Sumatera
60
Barat.
40

20
PENYEBARAN SAPI PESISIR 0
2004 2005 2006 2007 2008
Sejarah dan asal usul sapi pesisir belum
Tahun
diketahui secara pasti. Diduga sapi ini
berasal dari India yang dibawa bangsa
Hindu ke Indonesia, atau merupakan sapi Gambar 1. Perkembangan populasi sapi pesisir di Sumatera Barat, 20042008 (Dinas
liar Indonesia seperti banteng (Bos Peternakan Provinsi Sumatera Barat 2008).
sondaicus dan Bos indicus), yang dijinak-
kan. Sapi ini sama dengan sapi jawa dan
sapi sumatera (Fakultas Peternakan
Universitas Andalas 1980).
Sugeng (1992) menyatakan bahwa Tabel 1. Bobot badan dan ukuran tubuh rata-rata sapi pesisir dan simpangan
banteng merupakan sumber sapi asli bakunya menurut umur dan jenis kelamin.
Indonesia. Sapi yang ada sekarang meru-
Bobot badan dan Umur (tahun)
pakan keturunan banteng (Bos bibos)
yang dewasa ini dikenal dengan nama sapi ukuran tubuh 2 3 4 5
bali, sapi madura, sapi jawa, sapi suma- J an ta n
tera, dan sapi lokal lainnya. Otsuka et al. Bobot badan (kg) 104,7 ± 21,2 140,0 ± 2,0 160,5 ± 16,0 160,0 ± 21,0
(1982) telah menyelidiki asal usul dan Panjang badan (cm) 97,0 ± 7,2 107,0 ± 3,1 114,7 ± 6,2 112,4 ± 3,2
hubungan genealogi beberapa sapi asli Lingkar dada (cm) 112,2 ± 8,9 124,2 ± 9,1 127,2 ± 6,3 126,2 ± 6,3
Tinggi pundak (cm) 91,8 ± 6,1 98,2 ± 5,2 100,2 ± 8,2 100,0 ± 4,2
Asia Timur dan menyimpulkan bahwa sapi
aceh, sapi padang (sapi lokal Sumatera Betina
Barat), sapi thai, dan sapi cebu (sapi asli Bobot badan (kg) 104,6 ± 29,0 139,8 ± 19,5 154,4 ± 18,0 152,7 ± 17,6
Filipina) termasuk dalam kelompok yang Panjang badan (cm) 95,9 ± 9,0 106,7 ± 6,1 112,1 ± 5,8 110,7 ± 7,5
sama. Lingkar dada (cm) 109,9 ± 11,8 122,6 ± 6,5 125,6 ± 6,8 125,3 ± 5,7
Tinggi pundak (cm) 90,4 ± 7,0 97,8 ± 4,0 99,9 ± 3,8 99,6 ± 3,7
Sapi pesisir merupakan sapi asli yang
berkembang di kawasan pesisir Sumatera Sumber: Adrial (2002).
Barat. Saladin (1983) menduga sapi pesisir

Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010 67


Tabel 2. Perbandingan bobot badan dan ukuran tubuh rata-rata sapi lokal Indonesia dan simpangan bakunya menurut
umur dan jenis kelamin.

Sapi bali Sapi PO Sapi madura Sapi aceh


Bobot badan dan
ukuran tubuh Muda Dewasa Muda Dewasa Muda Dewasa Muda Dewasa
(1 tahun) (4,50 tahun) (1 tahun) (4,50 tahun) (1,50 tahun) (4 tahun) (1 tahun) (4 tahun)

J an ta n
Bobot badan (kg) 164,7 ±63,6 310,0 ± 95,5 195,3 ±45,1 388,9 ±67,2 171,0 ± 49,5 248,1 ±55,9 132,0 ±56,0 302,0 ± 41,0
Panjang badan (cm) 97,5 ±10,0 120,7 ± 7,6 111,9 ±13,7 134,9 ± 7,6 107,8 ± 10,4 123,6 ± 6,1 79,0 ± 9,0 100,0 ± 4,0
Lingkar dada (cm) 126,2 ±16,0 169,0 ± 11,3 131,5 ±12,8 168,9 ± 9,4 132,7 ± 15,4 150,9 ± 9,8 127,0 ±10,0 165,0 ± 15,0
Tinggi pundak (cm) 101,3 ± 8,1 117,2 ± 12,6 114,8 ± 9,6 130,0 ± 5,6 114,8 ± 6,6 118,9 ± 6,4 87,0 ±12,0 120,0 ± 10,0

Betina
Bobot badan (kg) 149,1 ±56,6 247,0 ± 45,6 195,8 ±45,9 361,7 ±53,7 154,2 ± 42,4 203,5 ±28,4 122,0 ±50,0 145,0 ± 30,0
Panjang badan (cm) 93,5 ±10,1 113,9 ± 5,6 110,2 ±13,3 131,7 ± 7,0 106,0 ± 12,5 117,0 ± 6,7 77,0 ±11,0 88,0 ± 70,0
Lingkar dada (cm) 122,2 ±12,4 152,3 ± 11,3 131,2 ±13,5 165,0 ± 7,9 127,5 ± 12,2 141,2 ± 8,2 121,0 ±14,0 140,0 ± 10,0
Tinggi pundak (cm) 98,9 ± 7,6 111,7 ± 5,6 113,9 ± 9,4 128,7 ± 5,5 106,0 ± 7,3 112,5 ± 5,1 90,0 ±10,0 105,0 ± 70,0
Sumber: Fakultas Peternakan IPB dan Direktorat Bina Produksi Peternakan (1985).

umur 2 tahun 0,21 kg/ekor/hari, dan umur tersebut menyebabkan kontribusi sapi Data Direktorat Jenderal Peternakan
34 tahun 0,12 kg/ekor/hari. Untuk sapi potong terhadap produksi daging nasional (2009c) menunjukkan bahwa impor sapi
pesisir betina, pertambahan bobot badan masih rendah (Mersyah 2005; Santi 2008) bibit pada tahun 2008 mencapai 1.300 ekor
dari lahir sampai sapih rata-rata 0,26 kg/ sehingga terjadi kesenjangan yang makin atau setara dengan US$2.647.100, bakalan
ekor/hari, lepas sapih sampai umur 2 tahun lebar antara permintaan dan penawaran 570.100 ekor (US$ 378.106.600), daging
0,19 kg/ekor/hari, dan umur 34 tahun 0,12 (Setiyono et al. 2007). sapi 45.708.500 ton (US$ 126.149.900), dan
kg/ekor/hari (Saladin 1983). Pemerintah memproyeksikan tingkat hati sapi 34.436.000 ton (US$ 3.803.800).
Anwar (2004) melaporkan bahwa konsumsi daging pada tahun 2014 Impor sapi sebanyak itu tentu akan
warna bulu sapi pesisir memiliki pola sebesar 467.000 ton (Direktorat Jenderal menguras devisa negara. Oleh karena itu,
tunggal. Warna bulu dikelompokkan men- peternakan 2009a). Populasi sapi potong sudah selayaknya sapi lokal seperti sapi
jadi lima warna utama, yaitu merah bata pada tahun 2008 tercatat 11,869 juta ekor bali, sapi madura, dan sapi pesisir men-
(34,35%), kuning (25,51%), coklat (19,96%), (Direktorat Jenderal Peternakan 2009b; dapat perhatian untuk dikembangkan
hitam (10,91%), dan putih (9,26%). Tabel 3). Populasi tersebut belum mampu sebagai penghasil daging.
Sapi pesisir bersifat jinak sehingga mengimbangi laju permintaan daging sapi Bangsa sapi lokal terbukti memiliki
mudah dikendalikan saat pemeliharaan. yang terus meningkat. Untuk mengan- keunggulan mampu beradaptasi dengan
Sapi memiliki tanduk kecil, pendek, dan tisipasinya, pemerintah melakukan impor lingkungan tropis, memiliki ketahanan
mengarah ke luar seperti tanduk kambing. daging sapi dan sapi bakalan untuk cukup baik terhadap penyakit daerah
Sapi jantan memiliki kepala pendek dan digemukkan (Priyanti et al. 1998). Kebi- tropis, dan dapat beradaptasi pada kondisi
membulat, sedangkan sapi betina mempu- jakan impor tersebut dilakukan karena pakan (hijauan) yang terbatas dan bergizi
nyai kepala agak panjang dan tipis, kemudi produksi daging lokal belum mampu rendah. Sapi lokal juga berperan penting
miring, pendek dan tipis (Saladin 1983). mengejar laju peningkatan permintaan dalam sistem usaha tani di pedesaan dan
dalam negeri, baik kuantitas maupun kuali- telah dipelihara peternak dalam waktu
tas ( Priyanti et al. 1998; Yusdja et al. 2003). yang lama.
POTENSI SAPI PESISIR
SEBAGAI PENGHASIL
DAGING

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus Tabel 3. Populasi dan produksi sapi potong di Indonesia, 20042008.
meningkat, namun peningkatan tersebut
Tahun
belum diimbangi dengan penambahan Indikator
produksi yang memadai. Pada periode tiga 2004 2005 2006 2007 2008
tahun terakhir, sejak 2007 sampai dengan Populasi (ekor) 10.532.889 10.569.312 10.875.125 11.514.871 11.869.158
2009, laju pertumbuhan penyediaan Produksi (kg) 358.667.577 358.704.000 395.843.000 339.480.000 392.511.000
daging dari produksi lokal lebih rendah
dibandingkan konsumsinya (Direktorat Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009b).
Jenderal Peternakan 2009a). Kondisi

68 Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010


Populasi sapi potong di Sumatera hewan kurban, selain dipelihara sebagai Sapi memperoleh hijauan pada areal
Barat pada tahun 2008 tercatat 469.859 ekor tabungan yang sewaktu-waktu dapat persawahan yang tidak ditanami padi atau
(Tabel 4). Sebagian terdapat di Pesisir diuangkan jika diperlukan. yang sudah dipanen, daerah perkebunan,
Selatan (sekitar 20%), yang terdiri atas sapi Sapi pesisir mampu melahirkan anak lahan bera, semak belukar, pekarangan atau
lokal asli setempat (sapi pesisir) dan sapi setiap tahun sehingga masyarakat Suma- tepi jalan. Pada waktu musim tanam,
lokal pendatang seperti sapi bali, PO, dan tera Barat menyebutnya dengan nama sebagian sapi diikat oleh pemiliknya di
hasil persilangan sapi lokal lainnya, serta lokal jawi ratuih atau bantiang ratuih, suatu tempat untuk merumput agar tidak
sebagian kecil sapi impor, seperti simmen- yang artinya sapi yang melahirkan banyak mengganggu tanaman. Selain itu, petani
tal, charolais, beefmaster, dan persilang- anak. Meskipun berukuran kecil, sapi membuat pagar pada areal pertanaman
annya dengan ternak lokal (Tabel 5). pesisir memiliki persentase karkas cukup agar tidak diganggu oleh ternak yang
Populasi sapi pesisir pada tahun 2008 tinggi. Menurut Saladin (1983), persentase dibiarkan berkeliaran. Di samping men-
tercatat 89.995 ekor dengan jumlah rumah karkas sapi pesisir adalah 50,60%, lebih dapatkan hijauan dari merumput, sebagian
tangga peternak yang terlibat lebih dari tinggi dari persentase karkas sapi ongole peternak mencari rumput untuk diberikan
30.000 KK (Dinas Peternakan Provinsi (48,80%), sapi madura (47,20%), sapi PO kepada ternak pada sore hari, terutama
Sumatera Barat 2008). Data ini menun- (45%), dan kerbau (39,30%), namun sedikit pada musim tanam padi. Jenis rumput yang
jukkan bahwa usaha ternak sapi pesisir lebih rendah dibanding sapi bali (56,90%). ada di padang penggembalaan terbatas,
berperan penting sebagai sumber pen- Persentase karkas yang tinggi menunjuk- yang dominan adalah rumput pahit
dapatan masyarakat di Kabupaten Pesisir kan kemampuan sapi pesisir dalam mem- (Axonopus compresus) dan rumput saruik
Selatan yang sebagian besar bergantung bentuk daging. (Elisina indica), dengan kandungan gizi
pada sektor pertanian. yang rendah. Menurut Ginting (1995) dan
Sapi pesisir berperan penting sebagai Djaenudin et al. (1996), untuk memacu
sumber daging bagi masyarakat Sumatera KARAKTERISTIK USAHA peningkatan produktivitas dan repro-
Barat. Setiap tahun diperkirakan 7.500– TERNAK SAPI PESISIR duktivitas ternak diperlukan daya dukung
8.000 ekor sapi atau 16% dari populasi pakan baik kualitas maupun kuantitasnya.
ternak yang dipotong untuk konsumsi Potensi sapi pesisir sebagai sapi potong Perkawinan sapi pesisir umumnya
daging di Sumatera Barat berasal dari belum dimanfaatkan secara optimal melalui terjadi secara alami waktu sapi dilepas
Kabupaten Pesisir Selatan (Dinas Peter- perbaikan manajemen pemeliharaan. mencari pakan di lapangan. Pejantan yang
nakan Provinsi Sumatera Barat 2002) dan Sistem pemeliharaan sapi pesisir masih dijadikan pemacek rata-rata berumur muda
didominasi oleh sapi pesisir. Di Kota bersifat ekstensif tradisional. Ternak (< 2 tahun) karena jumlah pejantan tidak
Padang, 75% sapi yang dipotong di Ru- dilepas sepanjang hari tanpa ada perhatian seimbang dengan jumlah induk yang ada.
mah Potong Hewan (RPH) Kota Padang khusus dari pemiliknya. Hanya sebagian Bahkan perkawinan sering terjadi antara
adalah sapi pesisir. Selain itu, sapi pesisir kecil peternak yang menggembalakan sapi induk dan anak dan antarsaudara dengan
merupakan ternak yang populer untuk pesisir dan membuatkan kandang. frekuensi silang dalam yang tinggi (Adrial
2002).

PELUANG DAN KENDALA


Tabel 4. Populasi ternak ruminansia di Sumatera Barat, 20042008. PENGEMBANGAN SAPI
PESISIR
Populasi (ekor)
Jenis ternak
2004 2005 2006 2007 2008 Sifat-sifat unggul sapi pesisir diharapkan
dapat dimanfaatkan dalam upaya pening-
Sapi potong 597.294 419.353 440.641 450.823 469.859
Sapi perah 606 714 608 688 713 katan produksi daging. Bobot badan yang
Kerbau 322.692 201.421 211.531 192.148 197.335 kecil sangat efisien dalam pemanfaatan
Kambing 195.176 210.532 223.334 227.003 243.733 ruang, selain daya adaptasi yang baik
Domba 5.128 6.052 6.806 5.874 7.275 terhadap lingkungan tropis dan pakan
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat (2008). berkualitas rendah, serta berperan penting
bagi peternak di kawasan pesisir Sumatera
Barat. Kemampuan beradaptasi terhadap
Tabel 5. Populasi, produksi daging, dan rumah tangga pemelihara sapi kondisi lingkungan pesisir yang miskin
potong di Kabupaten Pesisir Selatan, 20042008. hijauan pakan membuka peluang pe-
ngembangan sapi ini di kawasan pesisir
Tahun di seluruh Indonesia.
Indikator Pengembangan sapi pesisir di Suma-
2004 2005 2006 2007 2008
tera Barat dihadapkan pada berbagai
Populasi (ekor) 109.589 79.442 82.396 84.198 89.995 masalah, antara lain penurunan populasi,
Produksi (kg) 1.273.696 1.351.850 2.942.250 1.332.590 1.692.418 penurunan kualitas genetik, dan ancaman
Peternak (KK) 21.968 28.360 28.696 29.270 30.323
kepunahan. Hal ini diduga berkaitan de-
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat (2008). ngan sistem pemeliharaan yang bersifat
ekstensif tradisional, di mana sapi dilepas-

Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010 69


kan sepanjang hari tanpa perhatian tahun yang lalu (Tabel 6). Sulin (2008) upaya perlindungan, pelestarian, dan
khusus dari peternak. Padang penggem- melaporkan selama 22 tahun (1982–2004), pengelolaan sapi pesisir melalui pemur-
balaan makin menyempit sebagai akibat bobot hidup dan ukuran tubuh sapi pesisir nian genetik, peningkatan mutu genetik,
dari bertambahnya jumlah penduduk dan menurun 35%. Hal ini diduga karena pembatasan pengeluaran ternak, dan
pergeseran penggunaan lahan usaha terjadinya penurunan mutu genetik. Sapi perbaikan manajemen pemeliharaan.
tan i. Dengan makin menyempitnya yang memiliki potensi genetik baik
padang penggembalaan, jumlah ternak umumnya dikeluarkan dari populasi
yang ada di areal penggembalaan tidak sehingga ternak yang ada di masyarakat Pemurnian Genetik
sebanding dengan luas lahan dan daya merupakan ternak pada kisaran di bawah
dukung pakan. Akibatnya, tidak jarang rata-rata. Perbandingan bobot badan rata- Keragaman genetik ternak lokal perlu
sapi berkeliaran masuk ke halaman rumah rata dan ukuran tubuh sapi pesisir serta dipertahankan untuk tujuan seleksi atau-
penduduk, pasar, terminal, bahkan tidur simpangan bakunya pada tahun 1983 dan pun pemanfaatan gen tertentu untuk
di jalan raya. Kondisi ini menyebabkan 2002 disajikan pada Tabel 6. mendapatkan produktivitas yang diingin-
kinerja produksi dan reproduksi sapi Penurunan mutu genetik juga terjadi kan. Oleh karena itu, mempertahankan
pesisir makin rendah. akibat perkawinan acak antarindividu keragaman genetik melalui konservasi
Tingginya permintaan pasar, desakan ternak dengan frekuensi silang dalam penting dilakukan, baik dari aspek keil-
kebutuhan, dan adanya kebiasaan masya- yang tinggi. Hal ini sesuai dengan muan maupun sosial-ekonomi. Kemurnian
rakat Pesisir Selatan untuk menjual ternak pendapat Lasley (1979), Falconer (1981), genetik sapi pesisir perlu dipertahankan
terbaiknya pada hari raya Idul Adha dan Warwick et al. (1983) dalam Prasetyo sebagai cadangan plasma nutfah untuk
menyebabkan tingkat pengeluaran ter- et al. (1992) yang menyatakan bahwa pengembangan peternakan di masa yang
nak produktif cukup tinggi. Knaap (1934) silang dalam secara terus-menerus pada akan datang tanpa mengurangi kesem-
melaporkan bahwa penurunan produk- ternak akan menurunkan penampilan patan perbaikan mutu genetiknya, melalui
tivitas ternak disebabkan oleh pengaruh produksi dan reproduksi. Selanjutnya penetapan kawasan khusus untuk pemur-
perdagangan ternak yang berlebihan serta Wello dan Liwa (1991) dalam Hendrik nian genetik sapi pesisir. Untuk itu, pada
kurangnya ketersediaan sumber daya (1994) menyatakan bahwa penurunan tahun 2009 Pemerintah Provinsi Sumatera
pakan. Selanjutnya Hidajati dalam kualitas genetik disebabkan oleh silang Barat telah menetapkan program pengem-
Syamsu et al. (2003) menyatakan bahwa dalam dan pengeluaran bibit yang banyak bangan plasma nutfah sapi pesisir di
pengurasan sumber daya ternak akan tanpa disertai seleksi untuk bibit dalam Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir
berakibat pada penurunan kualitas ternak daerah sendiri. Selatan.
yang ada di masyarakat karena ternak
yang berkualitas baik tidak tersisakan
untuk pembibitan. STRATEGI Peningkatan Mutu Genetik
Masalah lain dalam pengembangan PENGEMBANGAN SAPI
sapi pesisir adalah terjadinya penurunan PESISIR Pola perkawinan yang tidak terkontrol atau
mutu genetik. Hal ini terlihat dari makin terlalu ketat dapat menyebabkan erosi
mengecilnya ukuran tubuh sapi yang ada Untuk meningkatkan produktivitas dan materi genetik. Upaya memperbaiki mutu
sekarang dibandingkan dengan beberapa eksistensi sapi pesisir perlu dilakukan genetik dilakukan melalui seleksi yang

Tabel 6. Perbandingan bobot badan dan ukuran tubuh rata-rata sapi pesisir dan simpangan bakunya tahun 1983 dan
2002 menurut umur dan jenis kelamin.

Umur (tahun)
Bobot badan dan
ukuran tubuh 2 3 4 5
1983 2002 1983 2002 1983 2002 1983 2002

J an ta n
Bobot badan (kg) 190,9 ±1,7 104,7 ±21,2 233,1 ±1,9 140,0 ±2,0 277,1 ± 1,6 160,5 ±16,0 289,6 ± 3,2 160,0 ± 21,0
Panjang badan (cm) 110,2 ±1,6 97,0 ± 7,2 113,4 ±2,1 107,0 ±3,1 120,2 ± 0,9 114,7 ± 6,2 123,2 ± 1,1 112,4 ± 3,2
Lingkar dada (cm) 124,9 ±1,7 112,2 ± 8,9 135,3 ±1,4 124,2 ±9,1 142,1 ± 0,9 127,2 ± 6,3 143,7 ± 1,4 126,2 ± 6,3
Tinggi pundak (cm) 107,0 ±1,3 91,8 ± 6,1 110,4 ±1,9 98,2 ±5,2 114,1 ± 0,8 100,2 ± 8,2 117,2 ± 1,1 100,0 ± 4,2

Betina
Bobot badan (kg) 168,0 ±4,1 104,6 ±29,0 169,9 ±4,9 139,8 ±19,5 239,6 ±2,0 154,4 ±18,0 248,8 ± 4,3 152,7 ± 17,6
Panjang badan (cm) 106,2 ±1,2 95,9 ± 9,0 109,1 ±1,2 106,7 ± 6,1 117,8 ±1,1 112,1 ± 5,8 119,5 ± 0,9 110,7 ± 7,5
Lingkar dada (cm) 119,1 ±1,1 109,9 ±11,8 129,5 ±1,0 122,6 ±6,5 138,2 ±1,1 125,6 ± 6,8 139,8 ± 1,2 125,3 ± 5,7
Tinggi pundak (cm) 104,6 ±1,1 90,4 ± 7,0 107,7 ±1,0 97,8 ±4,0 109,4 ±0,7 99,9 ± 3,8 112,2 ± 1,3 99,6 ± 3,7
Sumber: Saladin (1983); Adrial (2002).

70 Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010


diikuti dengan sistem perkawinan dengan dapat menghambat laju penurunan mutu 4) Manajemen reproduksi dengan me-
memanfaatkan teknologi reproduksi. genetik sapi pesisir. lakukan seleksi terhadap induk dan
Permasalahan dalam sistem reproduksi pejantan, mencegah terjadinya per-
sapi pesisir adalah kurangnya ketersediaan kawinan keluarga (inbreeding), dan
pejantan unggul sehingga pejantan yang menerapkan teknologi IB.
Perbaikan Manajemen
dijadikan pemacek adalah sapi-sapi muda 5) Pencegahan dan pengendalian pe-
yang berumur < 2 tahun. Untuk mengatasi Pemeliharaan nyakit secara periodik, terutama pe-
masalah tersebut perlu dilakukan regulasi nyakit menular, vaksinasi, pemberan-
Perbaikan manajemen pemeliharaan ber-
pengeluaran ternak jantan dari populasi tasan vektor penyakit, menyiagakan
peluang memacu peningkatan produk-
dan seleksi terhadap pejantan yang petugas lapang (tenaga medis vete-
tivitas dan populasi sapi pesisir. Arzil
mempunyai sifat-sifat unggul untuk riner), serta melaporkan kejadian
(2000) melaporkan bahwa ukuran tubuh
digunakan sebagai pemacek. penyakit kepada petugas dan dinas
sapi pesisir yang dipelihara secara semi-
Perkawinan silang (cross breeding) peternakan setempat.
intensif di Kecamatan Bayang dan
dengan bangsa sapi unggul perlu dila-
Batang Kapas lebih besar dibanding sapi
kukan untuk meningkatkan produktivitas
yang dipelihara secara tradisional. Susila-
dan reproduksi sapi pesisir tanpa merusak KESIMPULAN
wati et al. (2005) melaporkan bahwa pene-
kemurnian genetiknya. Wijono et al.
rapan teknologi usaha tani terpadu di
dalam Suryana (2009) menyatakan Sapi pesisir merupakan sapi lokal Suma-
lahan pasang surut dapat meningkatkan
perbaikan mutu genetik sapi bertujuan tera Barat yang berpotensi sebagai peng-
pertambahan bobot badan harian sapi 37
untuk meningkatkan bobot badan, laju hasil daging. Bobot badan dan ukuran
kg/ekor/siklus pemeliharaan. Sulin et al.
pertumbuhan, dan efisiensi reproduksi tubuh yang kecil merupakan salah satu
(2006) menyatakan bahwa pemeliharaan
melalui seleksi. Peningkatan produktivitas penciri bangsa sapi tersebut. Bobot badan
sapi pesisir pada peternakan rakyat
diupayakan melalui penyediaan pejantan yang kecil sangat efisien dalam peman-
memberikan pendapatan yang lebih baik
berkualitas, memperbaiki performa induk faatan ruang. Daya adaptasi yang baik
dibanding usaha ternak yang dilakukan
dan sistem perkawinan, penyediaan pakan terhadap kondisi lingkungan pesisir yang
melalui perkawinan dengan IB, dengan
yang cukup, dan manajemen pemeliharaan miskin hijauan pakan membuka peluang
keuntungan usaha setiap periode peng-
yang memadai. Hasil penelitian Sulin sapi ini untuk dikembangkan di seluruh
gemukan sapi pesisir Rp844.000 dan
(2008) menunjukkan bahwa perbaikan kawasan pesisir Indonesia.
untuk sapi silangan dengan IB Rp606.250.
manajemen reproduksi melalui inseminasi Masalah dalam pengembangan sapi
Agar usaha peternakan sapi pesisir
buatan (IB) antara sapi pesisir dan sapi pesisir adalah rendahnya produktivitas
mampu meningkatkan pendapatan pe-
unggul mampu meningkatkan performa dan terjadinya penurunan mutu genetik.
tani, perlu dilakukan pendekatan budi
produksi dan reproduksi sapi pesisir. Untuk meningkatkan produktivitas dan
daya melalui sistem produksi berkelan-
jutan. Sistem produksi berkelanjutan bisa eksistensi sapi pesisir perlu dilakukan
diterapkan pada tingkat peternak dengan perlindungan, pelestarian, dan penge-
Pembatasan Pengeluaran skala pemeliharaan 46 ekor sapi/KK lolaan sapi pesisir melalui pemurnian
Ternak yang terdiri atas 23 ekor sapi jantan genetik, peningkatan mutu genetik,
dewasa untuk penggemukan dan 23 ekor pengaturan pengeluaran ternak, dan
Tingginya permintaan pasar dan desakan sapi betina dewasa untuk pembibitan. perbaikan manajemen pemeliharaan.
kebutuhan hidup menyebabkan tingginya Sapi hasil penggemukan dapat dijual Peningkatan produktivitas dapat dila-
tingkat pengeluaran ternak dari populasi, sewaktu-waktu untuk memenuhi kebu- kukan dengan penerapan manajemen
terutama ternak yang berproduktivitas tuhan, sedangkan sapi betina tetap lestari terpadu usaha peternakan sapi pesisir
tinggi, sehingga ternak yang tersisa rata- sebagai bibit. melalui pemilihan bibit/bakalan unggul,
rata mempunyai kinerja produktivitas Teknologi budi daya untuk mening- perbaikan manajemen kandang, mana-
yang rendah. Bila kondisi ini tidak teratasi katkan produktivitas sapi pesisir men- jemen pakan gizi seimbang, perbaikan
pada beberapa generasi mendatang, di- cakup penerapan manajemen usaha manajemen reproduksi, dan pengendalian
khawatirkan akan terjadi penurunan ternak terpadu melalui: penyakit.
produktivitas ternak. Pemecahan masalah
ini harus melibatkan berbagai pihak, 1) Pemilihan bibit atau bakalan unggul
seperti Dinas Peternakan, perguruan berdasarkan umur, ciri-ciri fisik,
tinggi, lembaga penelitian, pemerintah riwayat keturunan, dan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA
daerah, asosiasi, pedagang, dan peternak. 2) Manajemen perkandangan dengan
Adrial. 2002. Karakteristik Genetik Eksternal
Penegakan peraturan pemerintah/un- teknologi kandang standar. Sapi Lokal Pesisir Selatan. Skripsi. Fakultas
dang-undang yang disertai dengan 3) Manajemen pakan melalui introduksi Peternakan Universitas Andalas, Padang.
pengawasan dan peningkatan kesadaran hijauan makanan ternak unggul,
Anwar, S. 2004. Keragaman Karakter Eksternal
berbagai pihak terkait perlu ditumbuh- pemanfaatan bahan pakan lokal dan dan DNA Mikrosatelit Sapi Pesisir Sumatera
kembangkan untuk melestarikan dan hasil ikutan produk pertanian, sistem Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Ins-
meningkatkan produktivitas sapi pesisir. integrasi tanaman-ternak, dan tekno- titut Pertanian Bogor.
Upaya pemerintah melalui Dinas Peter- logi ransum seimbang berbasis low Arzil. 2000. Identifikasi Sifat Kualitatif dan
nakan yang mengatur pengeluaran ternak, external input sustainable agri- Kuantitatif Sapi Pesisir. Skripsi. Fakultas
terutama ternak produktif diharapkan culture (LEISA). Peternakan Universitas Andalas, Padang.

Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010 71


Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Provinsi Sumatera Barat. Disertasi. Fakultas
2002. Statistik Peternakan Sumatera Barat. Padang. hlm. 2025. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat,
Ginting, S.P. 1995. Supplementation on pro- Santi, W.P. 2008. Respons Penggemukan Sapi
Padang. 9 hlm.
ductive of sheep: principle, strategy and PO dan Persilangannya sebagai Hasil IB
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat. utilize. Wartazoa 4(12): 1217. terhadap Pemberian Jerami Padi Fermentasi
2008. Database Peternakan Provinsi Suma- dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi.
Hendrik, M.J. 1994. Pengamatan Populasi dan
tera Barat Tahun 1999 s/d 2008. Dinas Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Ukuran Fenotipik Sapi Bali dan Sapi Silangan
Peternakan Provinsi Sumatera Barat, Bogor.
Bali di Sulawesi Utara. Tesis. Program Pasca-
Padang, Padang. hlm. 119.
sarjana Institut Pertanian Bogor. Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat,
Direktorat Jenderal Peternakan 2009a. Blue Print dan R. Syarief. 2007. Strategi suplementasi
Knaap, W.R. 1934. De Kwantitative ontwik-
Program Swasembada Daging Sapi 2014. protein ransum sapi potong berbasis jerami
keling van den sunderstapel in de residentie
Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. dan dedak padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan
Madoera gedurende delaatste twintig jaren
http://www.ditjennak.go.id/regulasi%5 C Teknologi Peternakan 30(3): 207217.
(Perkembangan kualitatif ternak sapi di
blueprint.pdf. [10 Januari 2010].
Keresidenan Madura selama dua puluh tahun Sugeng, B.Y. 1992. Sapi Potong. Penebar Swa-
Direktorat Jenderal Peternakan 2009b. Populasi terakhir). Dalam Sapi, terjemahan karangan daya, Jakarta. hlm. 57.
Ternak Tahun 20052009. Direktorat mengenai sapi di Madura dan Sumba (Pener-
Sulin, I. 2008. Identifikasi performa produksi
Jenderal Peternakan, Jakarta. http://www. jemah R.P. Utoyo). Lembaga Ilmu Penge-
dan service period sapi pesisir dan hasil
ditjennak.go.id/t-bank2.asp.?id=4&ket= tahuan Indonesia, Jakarta. 1979.
persilangan inseminasi buatan di Kabupaten
POPULASI. [10 Januari 2010].
Mersyah, R. 2005. Desain Sistem Budi Daya Sapi Pesisir Selatan Sumatera Barat. Jurnal Embrio
Direktorat Jenderal Peternakan 2009c. Per- Potong Berkelanjutan untuk Mendukung 1: 2934.
kembangan Volume Impor Ternak dan Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten
Sulin, I., Saladin, Suardi, Z. Udin, dan K. Mudikdjo.
Hasil Ternak Tahun 20042008. Direktorat Bengkulu Selatan. Disertasi. Sekolah Pasca-
2006. Kontribusi pendapatan usaha peter-
Jenderal Peternakan, Jakarta. http://www. sarjana Institut Pertanian Bogor.
nakan rakyat sapi lokal pesisir dan sapi silang
ditjennak.go.id/t-bank2.asp.?id=2&ket=
Otsuka, J., T. Namikawa, K. Nozawa, and H. pesisir hasil IB. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan
EKSPOR IMPOR. [10 Januari 2010].
Martojo. 1982. Statistical Analysis on the IX(2): 138148.
Djaenudin, D., H. Subagio, dan S. Karama. 1996. Body Measurements of East Asian Native
Suryana, A. 2009. Pengembangan Usaha Ternak
Kesesuaian lahan untuk pengembangan Cattle and Bantengs: The Origin and Phylo-
Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan
peternakan di beberapa Provinsi di Indonesia. geny of Indonesia Native Livestock (Part
Pola Kemitraan. Jurnal Penelitian dan
hlm. 165174. Dalam S. Hastiono, B. III). The Research Group of Overseas Scien-
Pengembangan Pertanian 28(1): 2937.
Haryanto, Arnold P. Sinurat, I.K. Sutama, tific Survey.
T.D. Soedjana, Soebandrio, P. Ronohardjo, Susilawati, M. Sabran, R. Ramli, D.D. Siswansyah,
Prasetyo, S., I P. Sudrana, L.M. Kasip, Lestari,
S. Patoutomo, S. bahri, S. Hardjoutomo, dan Rukayah, dan Koesrini. 2005. Pengkajian
dan R. Jan. 1992. Pengamatan Sifat Kuali-
Supar (Ed.). Prosiding Seminar Nasional sistem usaha tani terpadu padi-kedelai,
tatif dan Kuantitatif pada Sapi Bali. Laporan
Peternakan dan Veteriner, Cisarua, Bogor sayuran-ternak di lahan pasang surut. Jurnal
Penelitian, Fakultas Peternakan Universitas
78 November 1995. Pusat Penelitian dan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Mataram. hlm. 2527.
Pengembangan Peternakan, Bogor. Pertanian 8(2): 176191.
Priyanti, A., T.D. Soedjana, R. Matondang, dan
Fakultas Peternakan IPB dan Direktorat Bina Syamsu, A.J., L.A. Sofyan, K. Mudikdjo, dan G.
P. Sitepu. 1998. Estimasi sistem permintaan
Produksi Peternakan. 1985. Standarisasi Said. 2003. Daya dukung limbah pertanian
dan penawaran daging sapi di Provinsi
Bibit Sapi Lokal. Kerja Sama antara Fakultas sebagai sumber pakan ternak ruminansia di
Lampung. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner
Peternakan IPB dan Direktorat Bina Pro- Indonesia. Wartazoa 13(1): 3037.
3(2): 7177.
duksi Peternakan, Jakarta. hlm. 3538.
Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil
Saladin, R. 1983. Penampilan Sifat-sifat Produksi
Fakultas Peternakan Universitas Andalas. 1980. dan permasalahan peternakan. Forum
dan Reproduksi Sapi Lokal Pesisir Selatan di
Case Study Sapi Lokal Pesisir Selatan. Penelitian Agro-Ekonomi 21(1): 4546.

72 Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010

Anda mungkin juga menyukai