Anda di halaman 1dari 44

BAB II

KEBUDAYAAN : PROSES ENKULTURASI DAN AKULTURASI

Untuk memahami akulturasi komunitas Sabu di Sumba Timur, maka terlebih dahulu

penulis akan mengkaji secara teoritis beberapa konsep mengenai masyarakat dan

kebudayaan, dan teori akulturasi. Adapun teori-teori ini diharapkan dapat menjadi suatu

rujukan untuk menganalisa materi empiris sebagai hasil dari temuan-temuan penelitian, yang

mana berkaitan dengan topik penelitian yang ditelah ditetapkan sebelumnya.

A. Masyarakat dan Kebudayaan

Masyarakat dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat. Terdapat hubungan

timbal balik antara masyarakat dan kebudayaan. Sebuah kebudayaan itu tidak mungkin

ada tanpa masyarakat dan sebuah masyarakat itu pasti memiliki kebudayaan.Masyarakat

menunjuk pada sejumlah manusia dan kebudayan merupakan pola-pola perilaku yang khas

dari sejumlah manusia tersebut yang kemudian memberikan arah dalam masyarakat.

Untuk memahami kebudayaan, maka kita harus mengerti tentang seluk beluk terjadinya

sebuah masyarakat, dan sebaliknya untuk mendapatkan wawasan yang luas tentang

masyarakat kita harus memahami hakekat kebudayaan.

Adapun masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu dwi tunggal, yang artinya

kebudayaan itu selalu berlangsung dalam suatu masyarakat dan masyarakat merupakan

jaringan kelompok-kelompok manusia yang memangku kebudayaan itu dan menjadi

wadah dari padanya.1Ketika sebuah kebudayaan mengalami perjumpaan dan pengaruh

dari kebudayaan lain, maka hal tersebut terjadi dalam kehidupan sebuah masyarakat yang

1
Koentjaraningrat, Antropologi Kebudayaan, (Jakarta: Aksara Baru, 1976), h. 98

12
sedang mengalami perkembangan. Demikianlah masyarakat dan kebudayaan saling

mempengaruhi satu dengan yang lain.

1. Masyarakat

Masyarakat mencakup pengertian yang luas. Terdapat beberapa definisi mengenai

masyarakat. Menurut Linton, masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang hidup

dan bekerja sama dalam jangka waktu cukup lama, sehingga mereka dapat

mengorganisasir-diri dan sadar, bahwa mereka merupakan suatu kesatuan sosial dengan

batas-batas yang jelas.2 Berdasarkan defenisi Linton ini, kita dapat memahami bahwa

dasar landasan dari setiap masyarakat ialah adanya kelompok manusia yang telah hidup

bersama jangka waktu yang lama, dimana terjalin interaksi dan hubungan sosial yang

erat antar setiap anggota masyarakat, sehingga membentuk suatu kesatuan sosial dengan

batasan yang jelas menandai kekhasan dari kehidupan bersama.

Definisi Linton di atas cukup jelas memberikan batasan-batasan mengenai

pengertian masyarakat. Adapun dalam proses pembentukan menjadi sebuah masyarakat

itu, kelompok individu akan mengalami dua buah proses yang fundamental: 3

(1) Adaptasi dan organisasi tingkah laku dari individu-individu yang menyatukan diri;

(2) Berkembangnya suatu kesadaran kelompok, suatu kesatuan perasaan, “spirit de

corps” (kesatuan psikologis dan emosional inilah yang membangkitkan dan

menyebabkan si individu rela mengorbankan kepentingannya sendiri demi

kepentingan seluruh kesatuan).

Terdapat beberapa definisi lainnya lagi mengenai masyarakat, seperti yang diberikan

oleh M. J. Herskovits, yang menulis bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang

2
Ralph Linton, The study of Man – Antropologi Suatu Penyelidikan tentang Manusia, (Bandung:
Jemmars, 1984), h.118
3
Ibid., h. 120

13
diorganisasikan yang mengikuti satu cara hidup tertentu. J.L Gillin dan J.P. Gillin

mengatakan, bahwa masyarakat itu adalah kelompok manusia yang terbesar yang

mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu

meliputi pengelompokkan-penggelompokkan yang lebih kecil. Selanjutnya seorang ahli

sosiologi Belanda, S. R. Steinmetz memberikan batasan tentang masyarakat sebagai

kelompok manusia yang terbesar yang meliputi pengelompokan-penggelompokan

manusia yang lebih kecil yang mempunyai perhubungan erat dan teratur.4 Defenisi-

defenisi di atas memiliki beberapa kekhasan tersendiri, misalnya Herskovits yang

memandang masyarakat dari aspek organisasi yang memiliki suatu pola kehidupan yang

telah ditetapkan dan diharuskan untuk diikuti oleh para anggotanya. Gillin dan Gillin

melihat masyarakat dari unsur penyatuan kelompok-kelompok kecil yang didasarkan atas

kesamaan dalam hal seperti kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan. Adapun dalam

pandangan Steinmetz memahami masyarakat sebagai gabungan kelompok-kelompok

kecil yang dieratkan oleh suatu hubungan yang teratur. Keteraturan dalam hubungan

antar kelompok itu pun dapat terjadi ketika terdapat suatu kesepakatan bersama. Adapun

para ahli di atas, sama-sama memberikan defenisi masyarakat yang dilihat dari proses

terbentukdan bagaimana proses itu berlangsung dalam sebuah masyarakat, serta dampak

dari proses sosial yang terjadi, yang mempengaruhi segi kehidupan dari setiap individu

maupun kelompok.

Koentjaraningrat merumuskan bahwa, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia

yang berinteraksi menurut suatu adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang

terikat oleh suatu rasa identitas bersama.5 Hampir merangkum pandangan para ahli

sebelumnya, Koentjaraningrat juga menekankan pentingnya interaksi sosial sebagai

syarat terbentuknya suatu ikatan sosial masyarakat. Adapun interaksi sosial


4
Harsono, Pengantar Antropologi, (Bandung : Binacipta, 1967), h.144-145
5
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h.118

14
ituberlangsung dalam waktu yang lama dan terjadi disesuaikan dengan adat istiadat dari

setiap anggota masyarakat yang terikat dalam rasa identitas bersama.

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis antara individu dan

individu, antara individu dan kelompok atau antara kelompok dan kelompok dalam

bentuk kerja sama, persaingan maupun pertikaian. Interaksi sosial merupakakn hubungan

yang tertata dalam bentuk tindakan-tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma-

norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.6Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin

terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu (1) adanya kontak sosial (social -

contact), dan (2) adanya komunikasi.7

Selain interaksi sosial sebagai bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat,

berikut ini beberapa ciri-ciri yang menandai sebuah masyarakat, yakni:8

(1) Memiliki wilayah dan batas yang jelas

(2) Merupakan satu kesatuan penduduk

(3) Terdiri atas kelompok-kelompok fungsional yang heterogen dan bekerja sama guna

mencapai kepentingan bersama.

(4) Mengemban fungsi umum, yaitu mengusahakan kepentingan bersama (bonum

commune)

(5) Memiliki kebudayaan yang sama

Adapun ciri-ciri masyarakat di atas, dimaksudkan untuk menjadi penunjuk kekhasan

dari sebuah masyarakat, sehingga para pengamat dapat membedakan suatu kelompok

sosial atau masyarakat yang satu dengan masyarakat lain, karena setiap masyarakat telah

memiliki batasan dan kekhasan tersendiri.

6
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 64
7
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996),h. 58
8
D. Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 75-78

15
Para Sarjana sosiologi pernah mengadakan klasifikasi antara masyarakat-masyarakat

statis dan dinamis. Dengan masyarakat yang statis dimaksudkan masyarakat yang sedikit

sekali perubahannya dan berjalan dengan lambat. Masyarakat yang dinamis adalah

masyarakat-masyarakat yang mengalami pelbagai perubahan yang cepat. 9 Dalam

menalaah masyarakat secara keseluruhan, konsepsi Selo Soemardjan mengenai tiga bentuk

masyarakat berdasarkan kriteria ciri-ciri struktur sosial dan kebudayaan dapat dijadikan

pedoman. Klasifikasi tiga bentuk masyarakat atas dasar kriteria tersebut adalah sebagai

berikut : 10

a. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana yang mempunyai ciri-ciri

utamanya adalah sebagai berikut :

1) Hubungan dalam keluarga dan masyaakat setempat amat kuat.

2) Organisasi sosial pada pokoknya didasakan atas adat istiadat yang terbentuk menurut

tradisi

3) Kepercayaan kuat terhadap kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan manusia,

tetapi tidak dapat dikuasai olehnya

4) Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberikan pendidikan dalam bidang

teknologi, ketrampilan yang diwariskan orang tua kepada anak sambil

mempraktikkan dengan sedikit teori dan pengalaman, dan tidak dari hasil pemikiran

atau eksperimen

5) Hukum yang berlaku tidak tertulis, tidak kompleks serta pada pokok-pokoknya

diketahui dan dimengerti oleh semua anggota dewasa masyarakat

6) Ekonominya sebagian besar meliputi produksi untuk keperluan keluarga sendiri atau

buat pasaran kecil setempat, sedangkan uang sebagai alat tukar dan alat pengukur

harga berperan terbatas

9
Soerjono Soekanto, Op. Cit.,h.305
10
Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2013), h.139-140

16
7) Kegiatan ekonomi dan sosial yang memerlukan kerja sama orang banyak dilakukan

secara tradisional dengan gotong royong tanpa hubungan kerja antara buruh dan

majikan.

b. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya, yang ciri-ciri utamanya

adalah sebagai berikut :

1) Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam masyarakat setempat

sudah mengendor dan menunjukkan gejala-gejala hubungan atas dasar perhitungan

ekonomi

2) Adat istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyrakat mulai terbuka akan pengaruh

dari luar

3) Dengan timbulnya rasionalitas dalam cara berpikir, maka kepercayaan-

kepercayaan pada kekuatan gaib baru timbul apabila orang sudah mulai kehabisan

akal untuk menanggulangi suatu masalah

4) Di dalam masyarakat timbul lembaga-lembaga pendidikan formal sampai tingkat

lanjutan dan masih jarang sekali ada lembaga pendidikan keterampilan dan

kejujuran

5) Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis

6) Ekonomi masyarakat memberi kesempatan lebih banyak kepada produksi buat

pasar, di mana mulai menimbulkan diferensiasi dalam struktur masyarakat dan

dengan sendirinya peranan uang meningkat

7) Gotong royong tinggal hanya untuk keperluan sosial di kalangan keluarga besar

dan tetangga, tetapi gotong royong buat keperluan umum dan kegiatan ekonomi

dilakukan atas dasar uang.

c. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pramodern atau modern, yang

mempunyai ciri-ciri utamanya berikut :

17
1) Hubungan antar manusia didasarkan terutama atas kepentingan pribadi

2) Hubungan dengan masyarakat lainnya dilakukan secara terbuka dalam suasana

saling pengaruh-mempengaruhi, kecuali dalam penjangan rahasia penemuan baru

dalam industri

3) Kepercayaan kuat kepada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana

untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan masyarakat

4) Masyarakat tergolong menurut macam-macam profesi secara keahlian yang

masing-masing dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga-lembaga

pendidikan keterampilan dan kejujuran

5) Tingkat pendidikan formal tinggi dan merata

6) Hukum yang berlaku pada pokoknya adalah hukum tertulis yang amat kompleks

adanya

7) Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasakan atas

penggunaan uang dan alat pembayaran lain.

Demikianlah kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat itu merupakan sebuah

kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi dalam waktu yang cukup lama dan

memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.

2. Kebudayaan

Setiap masyarakat merupakan kesatuan hidup tersendiri dan mempunyai kekhususan

sendiri. Kekhasan masyarakat itu dikenal dari corak kebudayaan yang dimiliki oleh

masyarakat tersebut. Demikianlah kebudayaan itu merupakan bagian dari masyarakat

yang memberikan ciri khas bagi suatu kesatuan sosial. Oleh karena itu, ketika kita

berbicara sebuah masyarakat, maka pembicaraan itu tidak terlepas dari pembahasan

mengenai kebudayaan. Seperti halnya masyarakat, maka terdapat pula beberapa definisi

mengenai kebudayaan.

18
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan itu berarti keseluruhan gagasan dan karya

manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi

dan karyanya.11 Seorang antropolog lain, yaitu E.B. Taylor mencoba memberikan

defenisi mengenai kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-

kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota

masyarakat.12 Definisi lain dikemukakan oleh Ralph Linton, yang menyebut, bahwa

kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil dari tingkah

laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota-anggota

masyarakat tertentu. Lowie mengemukakan defenisi dari kebudayaan lebih pendek lagi,

yaitu sebagai seluruh tradisi sosial.13 Jadi dapat dikatakan bahwa kebudayaan itu meliputi

semua hal yang dimiliki oleh anggota masyarakat seperti perilaku, perasaan dan akal

pikiran yang dihasilkan, dipelajari, dianut dan diwarisi dalam kehidupanbermasyarakat.

Malinowski melihat kebudayan sebagai unsuryang mempunyai fungsi serta

pelembagaan/lembaga dalam setiap masyarakat. Ia mendefinisikan kebudayan : “Culture

is an integral composed of partly autonomous, partly coordinated institutions. It is

integrated on a series of principles such as the community of blood through procreation;

the continuity in space related to cooperation. The specialization of activities and last

but not least, the use of power in political organization”.14Berdasarkan pengertian di

atas, maka dapat dipahami bahwa kebudayaan tidak terlepas dari kehidupan

berkelompok, yaitu karena kebudayaan merupakan unsur pengorganisasian antar

individu dan membentuknya menjadi suatu kelompok, dimana di dalam pengelompokkan

11
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974), h.19
12
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 188
13
Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung: Universitas Negeri Padjadjaran, 1964), h. 90
14
Phil. Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Putra A bardin, 1999),
h.123

19
itu akan terdapat usaha untuk mempertahankan eksistensi manusia sesuai dengan

keadaan lingkungan hidupnya. Jelaslah pula bahwa setiap kebudayaan mempunyai ciri

khasnya, yaitu penyesuaian manusia terhadap lingkungan hidupnya sesuai dengan

keadaan yang menurut pengalamannya (unsur tradisi) adalah yang terbaik.

Berdasarkan defenisi-defenisi di atas, maka dapat ditemukan inti dari pengertian

kebudayaan dalam pokok-pokok seperti di bawah ini:15

a) Bahwa kebudayaan yang terdapat antara umat manusia itu sangat beranekaragam

b) Kebudayaan itu didapat dan diteruskan secara sosial dengan proses belajar

c) Kebudayaan itu terjabarkan dari komponen-komponen biologi, komponen psikologi

dan sosiologi dari eksistensi manusia

d) Kebudayaan itu berstruktur

e) Kebudayaan itu terbagi dalam aspek-aspek

f) Kebudayaan itu dinamis

g) Nilai-nilai dalam kebudayan itu relatif

Ditinjau dari dimensi wujudnya, menurut Koentjaraningrat kebudayaan mempunyai

tiga wujud, yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-

nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan sebagai suatu

kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, serta (3) wujud

kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal

dari kebudayan. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam

suatu masyarakat, meberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan ini selalu

berkaitan menjadi suatu sistem (sistem budaya /cultural system, atau istilah dalam bahasa

Indonesianya adat atau adat istiadat). Wujud kedua ialah sistem sosial yang bersifat

konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, di foto dan

15
Harsono, op. cit., h.111

20
didokumentasikan. Wujud ketiga disebut kebudayaan fisik berupa seluruh total dari hasil

fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. 16 Adapun

ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling terkait

satu dengan yang lain sebagai suatu kesatuan yang utuh. Misalnya, gagasan mengilhami

manusia untuk beraktivitas dan berkarya menghasilkan sesuatu yang baru dan bersifat

konkrit dalam kehidupannya di masyarakat.

Dapat dikatakan, bahwa kebudayaan itu merupakan cara hidup yang membentuk

dan dibentuk, yang selalu berkesinambungan dengan komunitas manusia dari generasi ke

generasi sehingga kebudayaan dari satu kelompok manusia itu merupakan hal yang asasi

sebagai warisan yang sulit dihilangkan.17

Para sarjana antropologi mengetahui bahwa dalam kebudayaan manusia itu

terdapat unsur-unsur yang universal, artinya unsur-unsur kebudayaan yang bisa didapat

dalam semua kebudayaan di manapun di dunia. Unsur-unsur ini disebut cultural

universal. Berikut ini, pokok-pokok khusus yang merupakan isi lebih lanjut dari ketujuh

cultural universals:18

1. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia, terdiri dari: a). alat-alat produktif,

b). alat-alat distribusi dan transpor, c). wadah-wadah dan tempat-tempat untuk

menaruh, d). makanan dan minuman, e). pakaian dan perhiasaan, f). tempat

berlindung dan perumahan, g). senjata

2. Sistem mata pencaharian hidup, terdiri dari: a). berburu dan meramu, b). perikanan,

c). bercocok tanam di ladang, d). bercocok tanam menetap, e). peternakan, f).

perdagangan

16
Koentjarannigrat,op. cit., h.186-188
17
Paursen Van, C. A., Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 23
18
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1972), h. 6-9

21
3. Sistem Kemasyarakatan, terdiri dari: a). sistem kekerabatan, b). sistem kesatuan hidup

setempat, c). asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan, d). sistem kenegaraan

4. Bahasa, terdiri dari: a). bahasa lisan, b). bahasa tertulis.

5. Kesenian, terdiri dari: a). seni patung, b). seni relief, c). seni lukis dan gambar, d).

seni rias, f). seni vokal, g). seni intrumental, h). seni keusteraan, i). seni drama.

6. Sistem pengetahuan, terdiri dari: a). pengetahuan tentang sekitaraan alam, b).

pengetahuan tentang alam flora, c). sistem tentang zat-zat dan bahan-bahan mentah,

d). pengetahuan tentang tubuh manusia, e). pengetahuan tentang kelakuan sesama

manusia, f). pengetahuan tentang kelakuan sesama manusia, g). pengetahuan tentang

ruang, waktu, dan bilangan.

7. Sistem religi dan kehidupan kerohanian, terdiri dari: a). sistem kepercayaan, b).

kesusteraan suci, c). sistem upacara keagamaan, d). komuniti keagamaan, e).ilmu

gaib, f). sistem nilai dan pandangan hidup.

Demikianlah kebudayaan itu kompleks, karena tersusun dari banyak unsur di atas.

Unsur-unsur budaya tersebut saling terkait satu sama lain dan dapat juga berubah seiring

dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan yang bersifat dinamis. Maka tampaklah

bahwa setiap unsur kebudayaan itu dapat mempunyai tiga wujud kebudayaan yaitu

sistem budaya, sistem sosial dan sistem kebudayaan fisik atau konkrit, seperti yang telah

dibahas sebelumnya.

Meskipun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang saling berbeda satu

dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan dari setiap masyarakat akan mempunyai

sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan di manapun juga. Adapun sifat

hakikat kebudayaan tersebut ialah sebagai berikut:19

1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

19
Soerjono Soekanto, op. Cit., h.182

22
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu,

dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-

tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-

tindakan yang dizinkan.

Keberadaan kebudayaan mempunyai nilai dan fungsi yang besar bagi kehidupan

manusia dan masyarakat. Leslie White secara eksplisit menyebutkan tiga fungsi

kebudayaan yaitu: 20

1. Memberikan keamanan dan melestarikan kehidupan manusia

2. Menghubungkan manusia dengan lingkungannya di satu pihak dan manusia yang satu

dengan manusia yang lainnya

3. Memenuhi kebutuhan manusia, baik melalui pengolahan sumber daya alam maupun

sumber daya manusia sendiri.

3. Identitas Budaya

Kata identitas berasal dari bahasa Inggris “identity” yang berarti ciri, tanda atau

jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan

dengan yang lain. Identitas juga merupakan keseluruhan atau totalitas yang

menunjukkan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri dari faktor-faktor

biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.21Secara

umum, identitas dibagi menjadi dua dunia kategori utama, yakni: identitas budaya dan

identitas politik. Identitas budaya menentukan posisi subjek di dalam relasi atau

interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam

20
Leslie White, The Evoulution of Cuture, (London: MaqGraw-Hill Book Comp, 1959), h.8-9
21
J.W.M. Bakker SJ. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 47

23
suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus

menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness).22

Dalam artian sederhana, identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-

ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-

batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang

lain . ini berarti pula bahwa kalau kita ingin mengetahui dan menetapkan identitas

budaya maka kita tidak sekedar menerntukan karakteristik atau ciri fisik/biologis

semata-mata, tetapi mengkaji identitas kebudayaan sekelompok manusia melalui

tatanan berpikir (cara berpikir, orientasi berpikir), perasaan (cara merasa dan

orienetasi perasaan), dan cara bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan).23

Stuart Hall (dalam Erniwati) membagi identitas budaya atas dua definisi yang

berbeda, yaitu pertama, identitas budaya berhubungan dengan persamaan budaya

pada suatu kelompok tertentu di mana anggota-anggotanya memiliki sejarah dan

nenek moyang yang sama. Identitas budaya pada definisi ini, menggambarkan

persamaan pengalaman sejarah dan berbagai lambang-lambang budaya yang membuat

mereka menjadi satu komunitas yang stabil, tidak berubah dan melanjutkan kerangka

acuan dan pemaknaan di bawah perubahan sejarah. Kedua, definisi identitas budaya

adalah identifikasi yang dibentuk oleh sejarah dan unsur-unsur kebudayaan. Identitas

budaya disini kemudian mengandung identitas politik, yaitu politik penentuan posisi

dalam masyarakat tertentu.24

Daphne A. Jameson menyebutkan bahwa identitas budaya memiliki atribut.25

22
Chris. Baker, Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 169-190
23
Dr. Alo Liliweri, M. S.Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya, (Yogyakarta : PT LkiS Pelangi
Aksara, 2003), 72
24
Erniwati, China Padang dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau: dari Revolusi Sampai Reformasi,
(Jakarta: Universitas Indonesia,2011), h. 21-22
25
Jameson, Daphne A. 2007. Reconceptualizing Cultural Identity and Its Role in Intercultural Business
Communication. Journal of Business Communication, Vol. 44, July 2007, 281-285.

24
1. Cultural identity is affected by close relationship (identitas budaya dipengaruhi

oleh hubungan dekat). Hubungan dekat seseorang dengan orang lain seperti,

anggota keluarga atau teman.

2. Cultural identity changes over time (identitas budaya berubah sesuai dengan

waktu). Perubahan yang dialami seseorang dalam hidupnya dapat mengubah

identitas budaya yang ia miliki. Misalnya, perubahan status sosial, kelas ekonomi,

profesi, status kewarganegaraan ataupun agama. Perubahan tersebut membuat

masyarakat melakukan hal yang sebenarnya tidak mereka suka.

3. Cultural identity is closely intertwined with power and privilege (identitas budaya

erat kaitannya dengan kekuasaan dan hak istimewa). Hal ini dapat menjadikan

masyarakat memiliki kekuasaan dan hak istimewa di kehidupan bermasyarakat.

4. Cultural identity may evoke emotions (identitas budaya bisa membangkitkan

emosi). Setiap orang mungkin memiliki perasaan positif, negatif, netral atau

ambigu terhadap komponen identitas budaya mereka sendiri. Ketika orang tersebut

mendapatkan tanggapan yang positif dari budaya orang lain, beberapa

kemungkinan bisa saja terjadi. Mulai dari mengubah cara pandangnya, menghargai

sikap tersebut, atau bisa juga ikut dalam kelompok yang berhubungan dengan hal

tersebut.

5. Cultural identity can be negotiated through communication (identitas budaya bisa

dinegosiasikan melalui komunikasi).

Demikianlah identitas memiliki peran pentingyang mana dapat membantu

masyarakat luas untuk dapat mengenal individu atau kelompok baik dari segi budaya,

agama, ataupun politik dan berbagai aspek kehidupan yang lain. Identitas juga dapat

memandu seseorang dalam memilah perjalanan dari tujuan hidupnya.

25
B. Pewarisan Budaya (Enkulturasi)

Dalam mempelajari kebudayaan sebuah masyarakat dan dalam meneliti akulturasi

budaya, perlu juga untuk memahami mengenai Enkulturasi. Enkulturasi berkaitan erat

dengan proses pengintegrasian budaya dalam kehidupan seseorang sebagai bagian dari

sebuah masyarakat. Dengan pemahaman enkulturasi ini diharapkan dapat memberi

gambaran perbedaan yang khas antara enkulturasi dan akulturasi.

Defenisi enkulturasi menurut Herskovits yang dikutip oleh J. W. M. Baker SJ dalam

bukunyaFilsafat Kebudayaan26 :

Enculturation is in essence a process of conscious or unconscious conditioning,


exercised within the limits sanctioned by a given body of customs. From this process not
only is all adjustment to social living achieved, but also all those satisfactions that,
though they are of course a part of social experience, derive from individual expression
rather than association with others in the group. Every human being goes through a
process of enculturation, for without the adaption it describes he could not live as a
member of Society.

Dalam defenisi di atas, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya, enkulturasi

merupakan sebuah proses sosial yang harus dialami oleh setiap individu dalam sebuah

masyarakat, baik secara sadar ataupun tidak. Enkulturasi bukan hanya menyangkut sebuah

tindakan penyesuaian seseorang dalam masyarakatnya akan tetapi juga proses

memperlajari budaya sebagai anggota dalam masyarakat.

Enkulturasi berarti proses mempelajari kebudayaan oleh seseorang secara umum dan

dalam waktu panjang. Jadi Enkulturasi boleh dikatakan proses pembudayaan, baik melalui

media formal seperti sekolah maupuninformal seperti di lingkungan sosial secara tidak

sengaja dan berjalan wajar.27

Istilah yang sesuai untuk kata ‘enkulturasi’ adalah ‘pembudayaan’ (dalam bahasa

Inggris digunakan istilah Institutionalization). Proses enkulturasi adalah proses seorang

26
J. W. M. Bakker. SJ., Filsafat Kebudayaan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014), h.103
27
Tri Widiarto, Pengantar Antorpologi Budaya, (Salatiga: Widya Sari Press, 2007), h. 53

26
individu mempejalari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem

norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi sudah dimulai

sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat; mula-mula dari orang-orang di

dalam lingkungan keluarganya, kemudaian dari teman-temannya bermain. Dengan

berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang

mengatur tindakan “dibudidayakan”.28

Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur itu

ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok teman,

sekolah, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan merupakan guru-guru di bidang

kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.29

J. W. Bakker memaparkan kutipan pemahaman mengenai proses enkulturasi sebagai

berikut :30

The process of enculturation is never ending. The human capability to learn the
appropriate cultural responses also makes possible cultural change. Learning occurs
when appropriate behavior is rewarded or approval is withheld. Even when the
socializing and enculturating process fails and when the individual may be said to be
socially or mentally ill, rebellion is manifested in term of his own culture and society.
The individual acquires his culture within the ever - expanding network of social
relationship. Culture may be thought of as the medium in which the personality develops.
Thus the techniques and ideas that individuals learn have a lasting effect on the adult
person; yet these cultural behaviors differ between groups, communities, and societies. It
is possible to say that different norms and social institutions produce different
personality structures; and if they are widely shared in a population, the result is refered
to as basic to as basic personality.

Demikianlah enkulturasi dipahami sebagai sebuah proses pembelajaran atau

pembudayaan yang terjadi dalam hubungan sosial yang terus berkembang di sebuah

masyarakat, dimulai sejak kecil melalui sosialisasi dalam keluarga, pergaulan, teman,

28
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 189
29
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, (Jakarta : Professional Books, 1997), h. 534
30
J. W. M. Bakker. SJ., h. 105

27
sekolah hingga lembaga keagamaan dan lembaga pemerintahan yang diatur sesuai norma

dan aturan yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Proses enkulturasi itu tidak akan

berakhir, tetapi akan terus berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, dan dapat

menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan. Hal ini dikarenakan kemampuan individu

dalam merespon kebudayaan yang diterima. Adapun dengan proses enkulturasi itu dapat

berjalan dengan baik, jika ada penghargaan terhadap budaya, dan enkulturasi menjadi

gagal ketika ada penolakan dan pemberontakan dari individu tersebut.

C. Pelestarian Budaya

Pelestarian dalam Kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar lestari, yang

artinya adalah tetap selama-lamanya tidak berubah. Kemudian, dalam kaidah penggunaan

Bahasa Indonesia, pengunaan awalan pe- dan akhiran –an artinya digunakan untuk

menggambarkan sebuah proses atau upaya (kata kerja).Jadi berdasarkan kata kunci lestari

ditambah awalan pe- dan akhiran –an, maka yang dimaksud pelestarian adalah upaya

untuk membuat sesuatu tetap selama-lamanya tidak berubah. Bisa pula didefinisikan

sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu supaya tetap sebagaimana

adanya.31Merujuk pada definisi pelestarian dalam Kamus Bahasa Indonesia diatas, maka

dapat didefinisikan pelestarian budaya (ataupun budaya lokal) sebagai upaya untuk

mempertahankan agarsupaya budaya tetap sebagaimana adanya.

Lebih rinci A.W. Widjaja dalam Jacobus mengartikan pelestarian sebagai kegiatan

atau yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan

tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes,

dan selektif.Mengenai pelestarian budaya lokal, Jacobus Ranjabar mengemukakan bahwa

pelestarian norma lama bangsa (budaya lokal) adalah mempertahankan nilai-nilai seni

31
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006)

28
budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis,

luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan

berkembang.32Pelestarian budaya lokal juga mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai

gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan identitas.33

Salah satu tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah juga untuk melakukan

revitalisasi budaya (penguatan). Mengenai revitalisasi budaya Prof. A. Chaedar Alwasilah

mengatakan adanya tiga langkah, yaitu :(1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran,

(2) perencanaan secara kolektif, dan (3) pembangkitan kreativitas kebudyaaan.Revitalisasi

kebudayaan dapat didefinisikan sebagai upaya yang terencana dan sinambung agar nilai-

nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan juga

membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam

menghadapi berbagai tantangan.34

D. Perubahan Sosial dan Budaya dalam kaitan Akulturasi

Masyarakat dan kebudayaan dimanapun selalu berada dalam keadaan berubah.

Dalam setiap masyarakat dan kebudayaan, selalu terjadi perubahan sosial-budaya. Hal ini

dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan

kontak dengan kebudayaan lain. Budaya sebagai sebuah sistem tidak pernah berhenti

tetapi mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dari

dalam maupun dari luar sistem tersebut. Perubahan ini logis terjadi karena aspek proses

adaptasi dan belajar manusia sehingga selalu menuju pada tataran serta tuntutan yang lebih

baik.

32
Jacobus Ranjabar,Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bogor :Ghalia Indonesia, 2006), h. 114-115
33
M. Lewis,. “Conservation: A Regional Point of View” dalam M. Bourke, M. Miles dan B. Saini (eds).
Protecting the Past for the Future. (Canberra: Austraalian Government Publishing Service : 1983), h.4
34
Alwasilah, A. Chaedar, Pokoknya Sunda : Interprestasi Untuk Aksi, (Bandung: Kiblat, 2006), h.18

29
Perubahan sosial budaya yang dialami oleh setiap kelompok masyarakat terjadi

akibat adanya reaksi setiap orang dalam merespons berbagai interaksi dengan

lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Setiap respon yang

diberikan akan melahirkan konsekuensi dalam kehidupan selanjutnya, baik positif maupun

negatif.35 Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan tersebut merupakan perubahan

fungsi sosial dan masyarakat yang menyangkut perilaku manusia dalam masyarakat dari

keadaan tertentu ke keadaan lainnya. Perubahanperubahan dalam pola kehidupan terutama

perubahan nilai-nilai sosial, normanorma sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial,

lembaga-lembaga kemasyarakatan, stratifikasi sosial, kekuasaan, tanggung jawab,

kepemimpinan, perpolitikan, bahkan berlaku juga dalam bidang keagamaan.

Menurut Usman Pelly,36 perubahan terjadi karena faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal antara lain : (1) pengetahuan masyarakat semakin luas sehingga

menggunakan teknologi maju yang kemudian mengubah kehidupannya, (2) jumlah

penduduk yang semakin banyak sehingga terjadi persaingan dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya, dan menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam kehidupan yang bersifat

indvidual, (3) pertentangan (konflik) dalam nilai dan norma-norma politik, etnik dan

agama juga dapat menimbulkan perubahan sosial budaya. Hal ini terjadi karena adanya

kontak langsung antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya sehingga

menyebabkank saling mempengaruhi.

Proses penerimaan perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau

tidaknya suatu unsur kebudayaan baru di antaranya : 37

35
James P. Spradley, Metode Etnografi (penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth), (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), h. 120-121
36
Usman Pelly dan Asiah Menanti, Teori-teori Sosial Budaya, (Jakarta : Depdikbud. 1994), h. 191-193
37
Dr. M. M. Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2012), h. 61

30
1. Terbiasanya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan

dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.

2. Jika pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan

ditentukan oleh nilai agama, dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata

yang ada, maka penerimaan unsur baru itu mengalami kelambatan dan harus

disensor dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan ajaran agama yang berlaku

3. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan

kebudayaan baru. Misalnya, sistem otoriter akan sukar menerima unsur

kebudayaan baru

4. Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur

kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang

baru tersebut

5. Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat

dengan mudah dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang

bersangkutan.

Demikianlah perubahan sosial budaya dapat terjadi karena adanya faktor dari dalam

kebudayaan itu sendiri, dalam arti para pendukungnya merasa bahwa pranata

kebudayaannya harus dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan obyektif di dalam

kehidupan sosialnya. Perubahan sosial budaya dapat pula terjadi dari luar kebudayaan itu

yaitu karena adanya pengaruh kebudayaan lain yang secara lambat dan cepat

mempengaruhi kebudayaan tersebut, terutama dapat terjadi karena adanya kontak-kontak

kebudayaan dengan pendukung kebudayaan lain (akulturasi).

31
Akulturasi dan perubahan sosial budaya pada umumnya dapat terjadi karena adanya

beberapa alasan, antara lain sebagai berikut :38

1. Apabila pranata kebudayaannya bukanlah pranata kebudayaan yang dianggap

sebagai inti kebudayaan dan menjadi pusat orientasi dari seluruh pranata

kebudayaan lainnya, atau tidak bertentangan dengan pranata kebudayaan yang

dianggap sebagai inti kebudayaan tersebut

2. Kebudayaan pranata tersebut dirasakan manfaatnya dan memberi keuntungan

bagi peningkatan kesejahteraan hidup, khususnya yang berkaitan dengan

pemenuhan kebutuhan dasarnya

3. Warga yang mendukung perubahan lebih kuat terutama kekuatan politik

dibandingkan dengan yang menentang, demikian sebaliknya warga yang

menentang suatu perubahan mempunyai kekuatan untuk menolak suatu

pembaharuan. Warga semacam ini, biasanya adalah warga yang bersifat

konservatif yang umumnya menguasai secara penuh dari sumber daya yang

berharga dan terbatas, dan dalam kehidupan sosial mereka menempati posisi

paling atas dalam sistem pelapisan masyarakatnya.

4. Perubahan sosial budaya dapat terjadi secara faktual dalam hubungan-hubungan

sosial yang terwujud dalam interaksi sosial.

Demikianlah pembahasan mengenai masyarakat dan kebudayaan, sehingga dapat

disimpulkan bahwa kebudayaan terjadi dalam sebuah masyarakat, sebagai semua hal yang

terus dilakukan, dipelajari dan diwarisi oleh para anggota masyarakat sehingga dengan

tindakan itu menimbulkan kemampuan berkarya dalam diri anggota masyarakat yang

menghasilkan adanya berbagai unsur yang berupa suatu gagasan (idea), peralatan

38
M. Yamin Sani, Dimensi Sosial Budaya dan Religi Komunitas Peladang Berpiindah di Daratan Tinggi
Tutallu Kabupaten Polmas Sulawesi Selatan. (Ujung Pandang : Penelitian Kerjasama Dikti – Unhas, 2000), h.
15-20

32
(teknology) dan kelembagaan (institutional), dan sebagainya. Adapun kebudayaan itu terus

berkembang menjadi suatu keteraturan sosial, yang mana dalam masyarakat itu terdapat

suatu pola dan aturan kehidupan yang menjadi dasar dan penentu kebudayaan suatu

bangsa seperti adanya sistem pemerintahan dan sebagainya. Sebagaimana masyarakat itu

bersifat statis dan dinamis, demikianlah kebudayaan dalam masyarakat pun bersifat

dinamis, cenderung mengalami perubahan karena berbagai faktor internal dan eksternal

yang terjadi dalam masyarakat.

E. Akulturasi

Terkait dengan perubahan kebudayaan dalam masyarakat akibat perjumpaan dan

kontak dengan kebudayaan yang berbeda, maka akulturasi merupakan salah satu fenomena

yang terjadidan mempengaruhi perkembangan kebudayaan suatu masyarakat.

1. Pengertian Akulturasi

Istilah akulturasi diadopsi dari istilah asing, acculturation atau culture contact,

yang ternyata memiliki pengertian yang beragam di kalangan para ahli antropologi.

Sebuah Komite dari Social Science Research Council pada tahun 1935 telah

merumuskan sebuah defenisi yang sistematis tentang akulturasi dan yang dapat

digunakan sebagai pedoman bagi penelitian tentang akulturasi. Bunyi defenisi yang

dimaksud ialah sebagai berikut : akulturasi meliputi fenomena yang timbul sebagai

hasil, jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-

beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus menerus, yang

kemudian menimbulkan perubahan dalam pola-pola kebudayaan yang original dari

salah satu kelompok atau pada kedua-duanya.39Defenisi di atas memberikan suatu

gambaran mengenai batasan konsep akulturasi. Di mana akulturasi itu dipahami

39
Harsono, op. cit., h. 185

33
sebagai suatu hasil dari perjumpaan dan kontak dari kelompok-kelompok kebudayaan

yang berbeda, yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang tidak

terbatas. Hasil kontak antar kelompok yang berbeda tersebut mengakibatkan

terjadinya perubahan dalam unsur-unsur kebudayaan asli yang dimiliki oleh kelompok

tersebut.

Definisi akulturasi lainnya dikutipoleh John Kha Lee and Katherine Green

dalamHmong Studies Journal:40

Acculturation is a “phenomena which results when groups of individuals


having different cultures come into continuous first-hand contact with
subsequent changes in the original culture patterns of either or both
groups”(Amer, 2005, p. 5-6). It is also known as the “social interaction and
communication response styles (both competency and ease/comfort in
communicating) that individuals adapt when interacting with individuals and
groups from other cultures” (Barry, 2001, p. 193).

Adapun akulturasi dipahami sebagai sebuah fenomena yang disebabkan karena

terjadinya kontak secara terus menerus antar kelompok individu yang

berbedabudayanya dan perubahan yang dialamioleh salah satu atau kedua budaya

yang berbeda tersebutsebagai hasil dari respon dalam interaksi antar dua budaya.

Gilin dan Gilin dalam bukunya “Curtural Sosiology” (dikutip oleh Harsono)

memberikan definisi akulturasi sebagai “proses di mana masyarakat–masyarakat yang

berbeda–beda kebudayaannya mengalami perubahan oleh kontak yang lama dan

langsung, tetapi dengan tidak sampai kepada percampuran yang komplit dan bulat dari

kedua kebudayaan itu.” Atau dalam kalimat yang lebih sederhana seperti yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat, dan mempunyai arti hampir sama dengan Gillin

dan Gillin, bahwa proses akulturasi itu timbul bila suatu kelompok manusia dengan

suatu kebudayaan yang tertentu tentu dihadapkan dengan unsur–unsur kebudayaan

40
John Kha Lee and Katherine Green, Acculturation Processes of Hmong in Eastern Wisconsin, Hmong
Studies Journal, Vol. 11, December, 2010, 2, diunduh dari http://hmongstudies.org/LeeandGreenHSJ11.pdf

34
asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa

menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri.41

Tidak hanya menekankan pada persoalan perjumpaan dan kontak dua atau lebih

kebudayaan yang berbeda, tetapidari kedua defenisi berikutnya juga melihat bahwa

perubahan sebagai hasil kontak kebudayaan, dapat terwujud dengan melewati proses

penerimaan dan pengolahan dalam waktu yang cukup lama dan pengertian perubahan

itu tidak berarti tindakan menghapus atau mencampur kebudayaan, namun lebih

kepada pengadopsian unsur kebudayaan baru ke dalam kehidupan sendiri. Jadi dalam

proses akulturasi itu, berlangsung juga tindakan adaptasi dan adopsi unsur-unsur

kebudayaan baru ke dalam kehidupan budaya sendiri.

Untuk lebih jelas, akulturasi digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1. Pola akulturasi42

Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan

unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur

tersebut, namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih

tampak. Akulturasi merupakan suatu proses dimana pendatang menyesuaikan diri

dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses komunikasi mendasari proses

41
Harsono, op. cit., h. 187
42
Diunduh dari http://gumilang-kitty.blogspot.com/2012/11/alkulturasi-dan-relasi-internakultural.html

35
akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi

lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan.43Dapat dikatakan bahwa

migrasi dan komunikasi antara imigran dan penduduk asli mempermudah

berlangsungnya prosesakulturasi dalam kehidupan masyarakat.

Terdapat beberapa masalah mengenai akulturasi, dapat diringkas menjadi lima

golongan masalah, yaitu:44

1. Masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan

melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat;

2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan asing apa yang mudah diterima, dan

unsur-unsur kebudayaan asing apa yang sukar diterima oleh masyarakat

penerima.

3. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau

diubah, dan unsur-unsur kebudayaan asing apa yang tidak mudah diganti atau

diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing;

4. Masalah mengenai individu-individu apa yang suka dan cepat menerima, dan

individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan

asiing;

5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial yang timbul

sebagai akibat akulturasi

Terkait dengan masalah-masalah akulturasi di atas, maka ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan, diantaranya mengenai unsur-unsur kebudayaan dan peran individu

dalam proses akulturasi. Para sarjana antropologi mencoba mengidentifikasikan

unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima ialah (a) unsur-unsur yang konkrit

seperti unsur-unsur kebudayaan jasmani, benda-benda, alat-alat yang mudah ditiru


43
Mulyana, Deddy, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, h. 139
44
Koentjaraningrat, op. cit., h. 251

36
pemakaiannya dan sebagainya; (b) Unsur-unsur yang terbukti mempunyai guna yang

besar bagi kelompok yang menerima unsur tadi; (c) Unsur-unsur yang mudah dapat

disesuaikan dengan susunan keadaan dari masyarakat yang menerima unsur tadi.

Sedangkan unsur-unsur kebudayaan yang sukar diterima atau diganti mempunyai sifat

sebaliknya dari apa yang dijelaskan di atas, seperti (a) unsur-unsur yang mempunyai

fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat seperti sistem kepercayaan (ideologi,

falsafah hidup, dan lain-lain); (b) unsur-unsur yang dipelajari dari tingkat paling

dahulu dalam proses sosialisasi dari individu dalam masyarakat.45

Demikianlah, proses akulturasi itu bersifat kompleks. Ketika kita berbicara

mengenai akulturasi, maka ada banyak aspek yang perlu mendapat perhatian, antara

lain mengenai peranan migrasi dan kontak sosial yang terjadi dalam perjumpaan,

keadaan masyarakat sebelum terjadinya proses akulturasi, unsur-unsur budaya yang

diterima dan ditolak, agen akulturasi serta perubahan yang terjadi sebagai hasil dari

proses akulturasi. Untuk lebih jelas lagi, maka berikut ini akan dibahas mengenai

bagaimana proses akulturasi itu dapat terjadi dan berlangsung dalam kehidupan

manusia di suatu masyarakat.

2. Proses Akulturasi

Proses akulturasi bisa dikatakan juga sebagai proses perubahan kebudayaan

yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan kebudayaan itu tidak dapat ditentukan

jangka waktunya. Ada yang memakan waktu lama, ada pula yang hanya memerlukan

waktu sebentar saja. Dalam hal ini, akulturasi yang termasuk salah satu proses

perubahan kebudayaan yang memerlukan jangka waktu yang lama. Karena anggota

masyarakat yang ada di dalamnya harus bersosialisasi, berinteraksi dengan lingkungan

atau kebudayaan baru, bahkan bukan hanya sosialisasi dan interaksi saja, tapi juga

45
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Djakarta, 1964), h. 153-154

37
beradaptasi dan mempelajari kebudayaan baru tersebut. Betapapun terdengar sulit,

namun hal itu akan menghasilkan suatu kebudayaan baru tanpa meninggalkan atau

menghilangkan kebudayaan lama.

Menurut studi akulturasi klasik yang memusatkan perhatian pada sejenis kontak

khusus, menganggap bahwa akulturasi itu terjadi sebagai akibat pengaruh kebudayaan

yang kuat dan bergengsi atas kebudayaan yang lemah dan terbelakang. Akulturasi

bukan hanya dihasilkan dari interaksi saja, tetapi dari rencana yang disengajakan oleh

kebudayaan yang kuat. Hasil akhir dari proses akulturasi adalah lenyapnya

kebudayaan yang lemah dan terbelakang. Agak berbeda dengan pandangan

sebelumnya muncul dari perkembangan studi yang dilakukan oleh Dohrenwend dan

Smith, yang mendasarkan pandangannya terhadap ide yang menyatakan bahwa

akulturasi dapat terjadi selain dari melalui pengintegrasian aspek kebudayaan yang

kuat ke dalam kebudayaan yang lemah. Kedua tokoh ini menawarkan satu perspektif

yang memungkin orang menganalisis proses akulturasi menurut jenis kontak antara

kedua kebudayaan yang terlibat dan menurut jenis akibat yang mungkin timbul dari

kontak kebudayaan itu. Mengenai jenis kontak, kedua kebudayaan dapat

dikategorikan sebagai yang kuat dan yang lemah atau sama kuatnya (atau menurut

kemampuan masyarakat pendukung satu kebudayaan tertentu untuk memaksakan

aktivitas tertentu terhadap anggota masyarakat pendukung kebudayaan kedua).

Akulturasi juga dapat terjadi bila kedua kebudayaan relatif setara. Meskipun satu

kebudayaan tidak dominan atas kebudayaan lain, namun akulturasi pun dapat terjadi.

Kita tak perlu beranggapan bahwa proses akulturasi terutama menunjukkan hubungan

‘atas-bawah’ antara dua kebudayaan. Mereka mengemukakan arah perubahan yang

dapat dihasilkan dari kontak antara dua kebudayaan:46

46
Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h.405-406

38
(1) Pengasingan, menyangkut pembuangan cara-cara tradisional oleh anggota

pendukung satu kebudayaan tanpa menerima cara-cara kebudayaan lain;

(2) Reorientasi, menyangkut perubahan kearah penerimaan struktur normatif

kebudayaan lain;

(3) Penguatan kembali (reaffirmation), kebudayaan tradisional diperkokoh kembali;

(4) Penataan kembali, kemunculan bentuk-bentuk baru.

Terkait dengan proses akulturasi yang berlangsung dalam kontak antar

kebudayaan yang berbeda, Berry memberikan pemaparan sebagai berikut :47

There are two fundamental dimensions of acculturation: maintenance of


original cultural identity and maintenance of relations with other groups. If
evaluative responses to these two dimensions are dichotomized, then four
acculturation attitudes or strategies may be distinguished: integration,
separation, assimilation, and marginalization. More specifically, individuals
who value both cultural maintenance and intergroup relations are seen to
endorse an integrationist approach. Those who cherish cultural maintenance
but do not value intergroup relations are believed to adopt a separatist position.
By contrast, those who value intergroup relations but are relatively
unconcerned with cultural maintenance may be classified as assimilation.
Finally, those individuals who value neither cultural maintenance nor
intergroup relations are said to be marginalized. These four strategies have
been found to relate in a predictable fashion to other features of the
acculturation process such as changes in socioeconomic status, education,
friendship patterns, and language use (Berry, 1989).

Keempat strategi proses akulturasi ini digambarkan mode sebagai berikut :

47
Colleen Ward and Arzu Rana-Deuba, Acculturation and Adaptation Revisited. Journal of Cross-
Cultural Psychology, Western Washington University, Vol. 30, No. 4, July, 1999, 422-442 diunduuh dari
http://www.uk.sagepub.com/thomas2e/study/articles/section3/Article68.pdf

39
Gambar 2. Empat Strategi Akulturasi berdasarkan dua dimensi dasar48

Dari pemaparan di atas menunjukkan bahwa terdapat dua dimensi yang

mendasari proses akulturasi yakni terkait dengan pemeliharan warisan indentitas

budaya asli dan pemeliharaan hubungan atau kontak dengan kelompok budaya lain.

Selanjutnya berdasarkan dua dimensi tersebut, maka proses akulturasi tersebut dapat

terwujud dalam empat strategi berupa integrasi, separasi, asimilasi, and marginalisasi.

Strategi integrasi terwujud ketika seseorang memiliki ketertarikan untuk memelihara

budaya aslinya selama membangun interaksi harian dengan kelompok lain. Mode

strategi ini dalam masyarakat disebut dengan nama multikulturalisme. Strategi

separasi terjadi manakala seseorang menghidupi nilai-nilai yang ada pada budaya

aslinya dan pada waktu yang bersamaan menghindari berinteraksi dengan yang

lain.Dalam perilaku masyarakat mode strategi ini dikenal dengan nama

Segregasi.Strategi asimilasi terjadi manakala seseorang tidak berkeinginan

memelihara identitas kultural mereka dan mencari interaksi harian dengan budaya

lain. Proses asimilasiyang terjadi dalam masyarakat ini disebut meltingpot.Strategi

marginalisasi terjadi ketika kemungkinan untuk memelihara budaya aslinya dan

48
John W. Berry, Acculturation: Living successfully in two cultures,International Journal of Intercultural
Relations,Vol. 29, 2005, 697–712 diunduh dari http://isites.harvard.edu/fs/docs/icb.topic551691.files/Berry.pdf

40
kemungkinan untuk berinteraksi dengan kelompok lain sangat kecil.Proses

marginalisasi disebut dengan nama Exclusion.

Meskipun tak biasa terjadi, ada kemungkinan kontak antara dua kebudayaan,

benar-benar tidak menghasilkan akulturasi. Salah satu kemungkinan penyebabnya

adalah karena perbedaan orientasi mata pencaharian antara suku-suku. Masing-masing

suku mempunyai pusat perhatiannya sendiri, dan kecil sekali kontribusinya terhadap

yang lain. Terlebih lagi jika interaksi sosial antara suku-suku diatur oleh norma yang

ketat, sehingga menghalangi jenis kontak tertentu yang dapat mempermudah

akulturasi. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa akulturasi itu tak mesti

terjadi semata-mata karena adanya kontak. Ringkasnya, akulturasi adalah satu pola

perubahan di mana terdapat tingkat penyatuan antara dua kebudayaan. Penyatuan ini

dapat menimbulkan perubahan dalam kedua kebudayaan atau terutama dalam salah

satu di antara kedua kebudayaan itu. Penyatuan di sini tak berarti bahwa kesamaannya

lebih banyak dari pada perbedaannya, tetapi hanya berarti bahwa kedua kebudayaan

menjadi semakin serupa dibanding keadaan sebelum terjadinya kontak antara

keduanya.49

Dalam kaitannya dengan proses penyebaran kebudayaan yang disebabkan

karena akibat perpindahan penduduk (migrasi), akulturasi itu dapat terjadi setelah

melewati masa yang relatif lama setelah terjadi, jika dua kebudayaan yang saling

bertemu mengalami proses pencampuran. Ini berarti bahwa individu-individu dari

masing-masing kelompok sadar atau tidak sadar, mengambil unsur-unsur kebudayaan

dari satuan budaya lain, kemudian dijadikan miliknya. Namun dalam hal ini akulturasi

masih didapati ciri khas yang menonjol, yakni bahwa perbedaan antara unsur

kebudayaan asli dan kebudayaan asing masih tampak jelas. Bersamaan dengan proses

49
Robert H. Lauer, op.cit., h. 407

41
akulturasi terjadi pula suatu proses sejenis, namun diberi istilah teknis lain, yaitu

adaptasi atau penyesuaian diri. Jelasnya, kelompok-kelompok sosial, yang saling

berjumpa dan saling menerima, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan

lingkungan kultural satu dengan yang lain. Hal ini diperlukan agar kedua kelompok

dalam situasi dan kondisi yang baru itu dengan cepat dapat menemukan tempatnya

yang mapan.50

Proses akulturasi merupakan suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan

yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan

sosio-budaya yang baru.51 Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi

dapat mempermudah akulturasi yang dialami dalam masyarakat Pribumi. Potensi

akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut : 52

a. Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya Pribumi

b. Usia pada saat berimigrasi

c. Latar belakang pendidikan

d. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi

e. Pengetahuan tentang budaya Pribumi sebelum berimigrasi

Dengan demikian dapat dipahami ketika seorang imigran memasuki budaya

pribumi, proses akulturasi mulai berlangsung. Proses akulturasi akan terus

berlangsung selama imigran mengadakan kontak langsung dengan sistem sosio-

budaya pribumi hingga menimbulkan perubahan akulturatif.

Proses akulturasi terjadi di mana individu sebagai anggota masyarakat

dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Reaksi dari individu dapat

50
Hendropuspito, op.cit., h. 365-366
51
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 140
52
Ibid., 146

42
bermacam-macam. Ada yang mengambil alih atau menerima secara selektif beberapa

unsur kebudayaan dari luar itu, tetapi ada juga yang menolak. Bagaimanapun, ada

unsur kebudayaan luar yang lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan

sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan sendiri itu. Jadi dalam akulturasi

ini terjadi pengambil-alihan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan

yang berasal dari pertemuan dari dua atau beberapa unsur kebudayaan.53

Berikut ini empat syarat yang harus dipenuhi supaya proses akulturasi dapat

berjalan dengan baik:54

a. Syarat persenyawaan/affinity:penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut

b. Syarat keseragaman/homogenity: adanya nilai baru yang tercerna akibat

keserupaan tingkat dan corak budayanya

c. Syarat fungsi : adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak

penting atau hanya tampilan

d. Syarat seleksi : adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebudayaan

asing yang datang

Redfield, Linton dan Herskovits beranggapan bahwa akulturasi harusnya

dianggap sebagai proses dua arah (two-way process) atau saling mempengaruhi dua

kelompok yang saling mengadakan hubungan. Fernando Ortiz memperkenalkan

istilah ‘transculturation’ untuk menunjuk suatu sifat hubungan timbal balik dalam
55
situasi kontak. Pater Jan Bakker menempatkan proses akulturasi ini ditengah dua

kutub yang saling bertentangan masing-masing adalah konfrontasi – fusi dan

archaisme – futurisme. Akulturasi berada di antara konfrontasi dan fusi, yaitu situasi

di mana dua kebudayaan saling berhadapan dan bersaing sehingga terjadi konflik, dan

53
Tri Widiarto, Pengantar Antorpologi Budaya, h. 57
54
J. W. M. Bakker. SJ., Filsafat Kebudayaan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014), h. 116
55
Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 107

43
situasi di mana kebudayaan yang satu luluh sama sekali bersama kebudayaan lain

menjadi kebudayaan baru. Selain itu akulturasi juga merupakan peristiwa yang berada

di antara archaisme yaitu usaha mempertahankan kelangsungan hidup zaman baheula

yang baik dan futurisme yang merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap zaman

sebagai faktor yang menentukan berhasilnya pertumbuhan. 56

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui

kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (misalnya melalui media masa).

Sebagai contoh, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Indonesia (kultur tuan

rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini.

Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan

rumah semakin menjadi bagian dari kultur imigran itu. Pada waktu yang sama, tentu

saja, kultur tuan rumah berubah juga. Tetapi pada umumnya, kultur imigranlah yang

lebih banyak berubah.57

Foster (dikutip oleh Koentjaraningrat) mencoba menguraikanmengenai proses

akulturasi suatu kebudayaan terhadap kebudayaan asing sebagai berikut:58 (1) hampir

semua proses akulturasi dimulai dari golongan atas yang biasanya tinggal di kota, lalu

menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di daerah pedesaan. Proses ini

biasanya terjadi dengan perubahan sosial dan ekonomi; (2) perubahan dalam sektor-

sektor ekonomi hampir selalu menyebabkan perubahn yang penting dalam asas-asas

kehidupan kekarabatan; (3) penanaman tanaman untuk eksport dan perkembangan

ekonomi uang merusak pola-pola gotong royong tradisional, dan karena itu

berkembanglah sistem pengerahan tenaga kerja yang baru; (4) perkembangan sistem

ekonomi uang juga menyebabkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan makan,

56
J. W. Bakker. SJ., Filsafat Kebudayaan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014), h. 137
57
Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, h. 479
58
Koentjaraningrat,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,(Jakarta: Djembatan, 1990), h. 100-102

44
dengan segala akibatnya dalam aspek gizi, ekonomi maupun sosial; (5) proses

akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran sosial yang

tidak seragam dalam semua unsur dan sektor masyarakat, sehingga terjadi keretakan

masyarakat; (6) gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu

tahap dalam proses akulturasi.

Dalam beberapa pandangan mengenai defenisi akulturasi di atas, nampak bahwa

kontak dalam relasi antar anggota masyarakat memiliki peran yang penting. Adapun

bentuk–bentuk dari kontak kebudayaan yang menimbulkan proses akulturasi itu ada

bermacam–macam:59

1. Kontak dapat terjadi antara seluruh masyarakat, atau antara bagian–bagian saja

dari masyarakat, malahan dapat pula terjadi semata–mata antara individu –

individu dari dua kelompok. Adapun unsur – unsur kebudayaan yang saling

dipresentasikan itu tergantung dari jenis – jenis kelompok sosial ataupun status

daripada individu yang bertemu.

2. Kontak dapat pula diklasifikasikan antara golongan yang bersahabat dengan

golongan yang bermusuhan. Dalam banyak kejadian kontak antara bangsa atau

suku bangsa pada mulanya lebih bersifat permusuhan.

3. Kontak dapat pula timbul antara masyarakat yang menguasai dan masyarakat

yang dikuasai, secara politik atau ekonomi dalam negara–negara jajahan, kita

dapati bentuk kontak seperti tersebut di atas. Dalam suasana penindasan itu

biasanya timbul pergerakan contra–akulturasi, di mana masyarakat yang dijajah

berusaha memberikan nilai lebih tinggi kepada kebudayaan sendiri dan bergerak

secara agresif atau secara berkhayal utnuk mengembangkan kembali cara–cara

59
Harsono, op. cit., h.188-189

45
hidup yang lama dan yang bersifat mengagungkan, dan berusaha dengan jalan

apapun untuk mengenyahkan penjajah.

4. Kontak kebudayaan dapat terjadi antara masyarakat yang:

a) Sama besarnya,

b) Berbeda besarnya.

5. Kontak kebudayaan dapat terjadi antara aspek–aspek yang materiil dan non-

materiil dari kebudayaan yang sederhana dengan kebudayaan kompleks, dan

antara kebudayaan yang kompleks dengan yang kompleks pula.

Demikianlah pada kenyataannya,akulturasi tidak serta merta dapat terjadi atau

terbentuk begitu saja, ada beberapa hal atau beberapa faktor yang dapat mendorong

atau bahkan menghambat akulturasi. 60

a. Faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya akulturasi, diantaranya ialah :

1. Kontak dengan kebudayaan lain

Faktor ini menjelaskan bahwa jika kita berdampingan dengan orang yang

berbeda kebudayaan dengan kita, maka tidak menutup kemungkinan kita akan

mengetahui atau mungkin bahkan mempelajari kebudayaan tersebut, terlebih

jika itu terjadi dalam ruang lingkup masyarakat yang cukup besar. Hal itu dapat

menimbulkan proses akulturasi dan akan terciptalah kebudayaan yang baru,

walaupun semuanya terjadi karena ketidaksengajaan.

2. Sikap menghargai hasil karya seseorang

Dalam kehidupan bermasyarakat, sejatinya kita mempunyai sikap saling

mengharagai satu sama lain, terlebih menghargai kebudayaan orang lain yang

berbeda kebudayaan dengan kita. Jika kita bisa menghargai kebudayaan orang

lain, maka orang lain pun akan menghargai kebudayaan kita, bahkan tidak
60
Diunduh dari http://sansanice.blogspot.com/2010/08/akulturasi.html.diambil pada Selasa 10 Oktober
2011, pukul 10.00 WIB

46
menutup kemungkinan mereka akan segan terhadap kebudayaan kita karena

sikap menghargai yang kita tunjukkan terhadap mereka.

3. Toleransi

Kita harus memiliki sikap toleransi terhadap sesama, terlebih kepada orang lain

yang memiliki kebudayaan yang berbeda, jika kita mempunyai sikap toleransi

yang tinggi, dan juga sikap saling menghargai, maka proses akulturasi pun akan

tercipta dengan sendirinya.

4. Migrasi

Seringkali kita mendengar istilah migrasi, atau perpindahan penduduk. Ternyata

ini juga merupakan salah satu faktor pendorong terciptanya akulturasi.

Contohnya, jika ada masyarakat yang berpindah ke pulau lain, dan menetap

selama bertahun-tahun, secara tidak langsung masyarakat tersebut pasti akan

beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan dengan kebudayaan yang baru

pula. Jika mereka (para pendatang dan warga asal) memiliki sikap toleransi juga

integritas yang tinggi, maka akulturasi pun akan tercipta.

b. Faktor-faktor yang menghambat dan menyebabkan sulitnya terjadi akulturasi di

masyarakat, antara lain:

1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain

Jika ada sekelompok masyarakat tinggal di suatu tempat terpencil, bahkan

jarang sekali tersentuh budaya luar, maka sulit sekali proses akulturasi tercipta

dalam masyarakat tersebut.

2. Sikap masyarakat yang sangat tradisional

Masih banyak terdapat sikap dan sifat beberapa masyarakat yang tertutup

dengan kebudayaan lain, atau masyarakat yang masih sangat tradisional. Pada

47
umumnya, mereka masih berpikir secara tradisional. Hal ini dapat menghambat

proses akulturasi, bahkan mungkin sulit agar proses akulturasi itu terjadi.

3. Sikap etnosentrisme

Sikap etnosentrisme adalah sikap di mana menganggap bahwa kebudayaan

sendiri lebih baik dari kebudayaan lain. Hal ini sangat menyulitkan proses

akulturasi tercipta. Bahkan, sikap ini dapat menjadi penyebab perpecahan yang

mengarah ke disintegrasi antarbudaya.

3. Akibat Akulturasi

Dalam International Journal of Intercultural Relations, J.W. Berry memberikan

gambaran umum mengenai sebuah proses berlangsungnya akulturasi hingga pada

akibat dari proses akulturasi, sebagai berikut:61

Acculturation is the dual process of cultural and psychological change that


takes place as a result of contact between two or more cultural groups and their
individual members. At the group level, it involves changes in social structures
and institutions and in cultural practices. At the individual level, it involves
changes in a person’s behavioral repertoire. These cultural and psychological
changes come about through a long-term process, sometimes taking years,
sometimes generations, and sometimes centuries.Acculturation is a process of
cultural and psychological changes that involve various forms of mutual
accommodation, leading to some longer-term psychological and sociocultural
adaptations between both groups. Contact and change occur for a number of
reasons, including colonization, military invasion, migration, and sojourning
(such as tourism, international study, and overseas posting); it continues long
after initial contact in culturally plural societies, where ethnocultural
communities maintain features of their heritage cultures. While acculturation
is a process that continues for as long as there are culturally different groups in
contact, some longer-term adaptation to living in culture-contact settings takes
various forms usually resulting in some form of longer-term accommodation
among the groups in contact. This often entails, for example, learning each
other’s languages, sharing each other’s food preferences, and adopting forms
of dress and social interactions that are characteristic of each group.
Sometimes these mutual adaptations take place rather easily (through
processes of culture shedding and culture learning; see Berry, 1992), but they

61
John W. Berry, Acculturation: Living successfully in two cultures,International Journal of Intercultural
Relations,Vol. 29, 2005, 697–712, diunduh dari http://isites.harvard.edu/fs/docs/icb.topic551691.files/Berry.pdf

48
can also create culture conflict and acculturative stress during intercultural
interactions.

Dalam uraian J. W. Berry di atas, dijelaskan mengenai proses akulturasi sebagai

prosesperubahanbudayadan psikologisjangka panjangyang terjadi sebagai akibat dari

kontak antara dua atau lebih kelompok budaya dan anggota masing-masing.Pada

tingkat kelompok, perubahan struktur dan lembaga-lembaga sosial dan praktik

budaya. Sedangkan perubahan pada individu terkait perubahan dengan perilaku

seseorang. Karena alasan kontak dan perjumpaan terjadi dalam berbagai alasan

sepertipenjajahan, invasi militer, migrasi, danmerantau, maka proses adaptasi pun

membutuhkan jangka waktu yang lama hingga terjadinya perubahan akulturatif.

Adapun Proses adaptasi tersebut dapat terjadi dengan mudah (melalui proses

pelepasan budaya dan pembelajaran budaya), tetapi dapat juga menciptakan konflik

budaya dan stres akulturatif selama interaksi antarbudaya.

Karena akulturasi itu adalah satu proses antara akomodasi dan asimilasi, dengan

sendirinya kesulitan dalam penyesuaian adalah merupakan masalah pokok, bagi orang

– orang yang terlibat dalam proses aklturasi. Mereka yang kurang fleksibel akan

merasa terganggu akan datangnya unsur–unsur kebudayaan baru dan asing.

Sebaliknya mereka yang fleksibel akan mudah menanggapi perubahan–perubahan dan

lebih mudah serta tepat menentukan sikapnya. Kemampuan semacam itu

menyebabkan bahwa orang – orang mudah mengadakan penyesuaian itu sering

diserahi untuk memegang pimpinan di dalam masyarakat. Dilihat dari sudut pengaruh

akulturasi pada kebudayaan, jika yang bertemu itu kebudayaan yang sama kuatnya,

masing–masing akan saling mempengaruhi, dalam suatu proses seleksi. Yang

mengalami perubahan atau pergantian biasanya adalah unsur yang tidak penting dari

masing–masing kebudayaan. Dalam hal seperti tersebut, yaitu jika kontak kebudayaan

itu terjadi antara dua kelompok masyarakat dengan kebudayaan yang sama kuatnya,

49
masing–masing kepribadian kebudayaan tidak mengalami perubahan. Dengan

perkataan lain, seperti sistim kekerabatan, kebiasaan yang diperoleh dengan proses

enkulturasi sejak kecil, seperti sistim kepercayaan dan pandangan hidup, dalam proses

akulturasi tidak banyak mengalami perubahan–perubahan.62Dalam proses akulturasi,

perubahan itu pada dasarnya adalah pengetahuan, cita-cita, tingkah laku, kebiasaan

individu yang mengalami proses tersebut. Perubahan individu ini melalui

representations collective63 menjadi perubahan kesatuan sosial yang dibentuk oleh

individu yang berubah.64

Para ahli antropologi menggunakan istilah-istilah berikut untuk menguraikan

apa yang terjadi dalam akulturasi : 65

1. Substitusi, di mana unsur atau kompleks unsur-unsur kebudayaan yang ada

sebelumnya diganti oleh memenuhi fungsinya, yang melibatkan perubahan

struktural yang hanya kecil sekali

2. Sinkretisme, di mana unsur-unsur lama bercampur dengan yang baru dan

membentuk sebuah sistem baru, kemungkinan besar dengan perubahan

kebudayaan yang berarti

3. Adisi, di mana unsur atau kompleks unsur-unsur baru ditambahkan pada yang

lama. Di sini dapat terjadi atau tidak terjadi perubahan struktural.

4. Dekulturasi, di mana bagian substansial sebuah kebudayaan mungkin hilang

62
Harsono, op. cit., h. 189-190
63
Mula-mula terjadi perubahan individu dalam proses akulturasi (representations individuelles). Salah
satu hukum kesatuan sosial adalah saling mepengaruhi antar pribadi. Individu yang lain dipengaruhi oleh
individu yang sudah berubah itu. Makin banyak individu yang berubah. Jumlah mereka yang makin banyak itu,
membentuk anggapan umum. Anggapan umum ini mempengaruhi masyarakat dan isi anggapan umum itu
akhirnya dimiliki masyrakat. Dengan demikian terbentuklah representations collectives.
64
Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara, 1968), h.120
65
Willam A. Haviland diterjemahkan R. G. Soekadijo, Antropologi, (Jakarta : Erlangga, 1988), h. 263

50
5. Orijnasi, unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang

timbul karena perubahan situasi

6. Penolakan, di mana perubahan mungkin terjadi begitu cepat, sehingga sejumlah

besar orang tidak dapat menerimanya. Ini menimbulkan penolakan sama sekali,

pemberontakan atau gerakan kebangkitan.

Sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut, akulturasi dapat

tumbuh melalui beberapa jalur. Pencampuran atau asimilasi terjadi kalau dua

kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan menjadi satu kebudayaan.

Inkorporasi terjadi kalau sebuah kebudayaan kehilangan otonominya, tetapi tetap

mempunyai identitas sebagai subkultur, seperti kasta, kelas atau kelompok etnis. Ini

untuk daerah takluk atau di mana terdapat perubahan. Ekstinksi atau kepunahan

adalah gejala di mana sebuah kebudayaan kehilangan orang-orang yang menjadi

anggotanya sehingga tidak berfungsi lagi, dan di mana anggota punah karena mati

atau bergabung dengan kebudayaan lain. Dalam adaptasi dapat tumbuh sebuah

struktur baru dalam keseimbangan yang dinamis. Dalam contoh yang terakhir ini

perubahan dapat berjalan terus, tetapi dalam bentuk pertumbuhan bersama yang

lamban.66

Proses akulturasi yang berjalan dengan baik, dapat menghasilkan integrasi

antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri. Dengan

demikian, unsur-unsur kebudayaan asing tidak lagi dirasakan sebagai hal yang berasal

dari luar, akan tetapi dianggap sebagai unsur-unsur kebudayaan sendiri. Unsur-unsur

asing yang diterima, tentunya terlebih dahulu mengalami pengolahan, sehingga

bentuknya tidak asli lagi seperti semula. Namun tidak mustahil timbul kegoncangan

kebudayaan (cultural shock), sebagai akibat masalah-masalah yang dijumpai dalam

66
Ibid.

51
proses akulturasi. Kegoncangan kebudayaan terjadi, apabila warga masyarakat

mengalami disorientasi dan frustasi, di mana muncul perbedaan yang tajam antara

cita-cita dengan kenyataan yang disertai dengan terjadinya perpecahan-perpecahan di

dalam masyarakat tertentu.67

Dengan demikian, berbicara mengenai akulturasi, maka dapat disimpulkan

bahwa istilah ini digunakan untuk menerangkan baik proses kontak antar kebudayaan

yang berbeda maupun hasil dari kontak semacam itu. Sebagai proses kontak

kebudayaan, akulturasi mungkn melibatkan baik interaksi sosial langsung maupun

pengenalan terhadap kebudayaan lain melalui media komunikasi. Sebagai hasil dari

kontak semacam itu, akulturasi merujuk pada asimilasi oleh kelompok budaya lain

yang memodifikasi budaya yang telah ada sehingga mengubah identitas kelompok.

Mungkin akan ada ketegangan antara budaya lama dan baru menuju adaptasi bagi

kedua budaya tersebut.68

Merangkum seluruh uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa akulturasi

itu dapat terjadi ketika adanya perjumpaan dan kontak serta usaha adaptasi dari

kebudayaan yang berbeda dalam jangka waktu yang tidak dapat dibatasi dalam sebuah

masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi tindakan pengadopsian atau

penolakan unsur-unsur budaya dan pengolahan atas unsur-unsur budaya lain tanpa

menghilang nilai budaya asli. Dampak dari tindakan tersebut dapat memperkaya

budaya itu sendiri, terjadinya perubahan dalam budaya tetapijuga dapat

menyebabkankonflik dan stres yang dialami individu dalam masyarakat.

67
Soerjono Soekanto, op. cit., h. 195
68
Nicholas Abercrombie, dkk., Kamus Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.2

52
F. Inkulturasi

Dalam rangka memahami perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba dan

proses akulturasi, penulis mencoba untuk memaparkan mengenai pengertian inkulturasi

guna menunjukkan perbedaan antara penggunaan istilah dan proses akulturasi, enkulturasi

dan inkulturasi yang terjadi pada budaya Sabu di kelurahan Kambaniru dan Kecamatan

Umalulu.

Istilah inkulturasi diungkapkan pertama kali oleh J. Masson pertama kali dengan

istilah Chatolicisme inculture(inkulturasi paham Katolik) pada 1962; kemudian

didefinisikan oleh Robert Schreiter sebagai suatu proses yang menggabungkan “prinsip

teologis tentang penjelmaan dengan konsep ilmu sosial tentang akulturasi (hal

menyesuaikan diri dengan suatu budaya).”69 J. H. Bavinck mendefinisikan inkulturasi

sebagai proses melepaskan unsur-unsur suprakultural Injil dari satu kebudayaan dan

mengkontekstualisasikannya dalam bentuk kultural dan lembaga-lembaga sosial

kebudayaan lain, setidaknya beberapa tingkatan transformasi dari bentuk dan lembaga-

lembaga itu.70Saat ini kata “kontekstualisasi” telah dipakai secara luas di dalam literatur

misiologi dan teologi.

Lebih lanjut defenisi inkulturasi digambarkan oleh Sybertz dan Healey sebagai

berikut:71

Inculturation is the process of incarnating the good news in a particular


cultural context. Most specifically it is a process by which people of a
particular culture become able to live, express, celebrate, formulate and
communicate their Christian faith and their experience of the Paschal Mystery
in terms (linguistic, symbolic, social) that make the most sense and best
convey life and truth in their social and cultural environment.

69
David J. Bosch,Transformasi Misi Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009),h. 297
70
David J.Hesselgrave, Communicating Christ Cross-Culturally, (terj. Mengkomunikasikan Kristus
Secara Lintas Budaya), (Malang : Literatur SAAT, 2004), h. 128
71
Joseph Healey& Donald Sybertz, Towards An African Narrative Theology,(Nairobi: Pauline, 1996),
h.26

53
Berdasarkan defenisi di atas, inkulturasi digambarkan sebagai sebuah proses

penjelmaan Injil dalam konteks budaya tertentu.Proses inkulturasi ini mendorong individu

sebagai anggota kebudayaan tertentu untuk dapat menjalani kehidupan, mengungkapkan,

merayakan, dan mengungkapkaniman kristen dan makna misteri Paskah untuk dapat

dipahami dengan baik dan masuk akal sebagai sebuah kebenaran ke dalam lingkungan

sosial dan budaya sekitar.

Inkulturasi juga dipahami sebagai hasil dari interaksi antara budaya dengan gereja.

Sebagaimana dalam pemaparanrumusan inkulturasi menurutA. Roest Crollius SJ yang dikutip

oleh Supriyanto sebagai berikut :72

Inkulturasi gereja adalah integrasi pengalaman kristen sebuah gereja lokal ke


dalam kebuadayaan bangsa tertentu sedemikian rupa sehingga pengalaman itu
tidak hanya mengungkapkan dirinya dalam elemen-elemen kebudayaan bangsa
itu, melainkan menjadi kekuatan atau daya yang menjiwai, mengarahkan dan
membaharui kebudayaan itu, dan dengan itu menciptakan satu persekutuan
baru bukan saja dalam kebudayaan tertentu melainkan juga sumbangan untuk
gereja universal.

Demikianlah inkulturasi dipahami sebagaisuatu bentuk integrasiimanKristendan

budayalokal yang menunjuk pada peristiwa keagamaan terkait dengan pewartaan iman

Kristen dalam budaya lokal.

Dalam proses inkulturasi, perlu mengkaji tiga matra budaya yang terlibat di

dalamnya: budaya pemberita Injil (pemberitan terikat pada konteks budayanya), budaya

konteks Injil (budaya hebraic-helenistic) dan penerima Injil; dan konteks budaya

totalnya, yang merupakan budaya baru yang terbentuk setelak proses inkulturasi. Dalam

proses tersebut, yang akan berlangsung adanya inkulturasi oleh penerima Injil, akulturasi

budaya Injil yang dibawa oleh pembawa berita Injil (yang juga terikat pada konteks

72
Mathias,Supriyanto, Inkulturasi Tari Jawa di Yogyakarta dan Surakarta, (Surakarta : Citra Etnika,
2002), h. 56

54
budayanya), kemudian sesungguhnya yang akan berlangsung adalah interkulturasi

(perpaduan antara proses akulturasi dan inkulturasi).73

Demikianlah penjelasan mengenai inkulturasi yang menunjukkan hubungan antara

agama Kristen dan budaya. Sehingga nampaklah perbedaan mengenai akulturasi,

enkulturasi dan inkulturasi. Dalam antropologi kebudayaan terdapat dua istilah tekhnis

yang berakar kata sama, yaitu ‘akulturasi’ dan ‘enkulturasi’. Akulturasi sinonim dengan

‘kontak-budaya’, yaitu pertemuan antara dua budaya berbeda dan perubahan yang

ditimbulkannya. Enkulturasi menunjuk pada proses inisiasi seorang individu ke dalam

budayanya.Sedangkan ‘Inkulturasi’ sebagai proses pengintegrasian pengalaman iman

Gereja ke dalam suatu budaya tertentu. Adapun hubungan antara Gereja dan budaya

tertentu tidak sebatas kontak dan bukan merupakan bentuk kontak antar-budaya. Sebab

Gereja yang dimaksud disini ialah mengenai misi dan hakekatnya.Sehingga proses

inkulturasi itu merupakan sebuah proses penyisipan mendalam, yang dengannya Gereja

menjadi bagian dari sebuah masyarakat tertentu. Demikian juga ‘inkulturasi’ berbeda

dari ‘enkulturasi’. Karena ‘inkulturasi’ ialah proses yang dengannya Gereja menjadi

bagian dari budaya tertentu, dan bukan sekedar inisiasi seorang individu ke dalam

budayanya.

Demikianlah pemaparan landasan teori mengenai kebudayaan dan akulturasi serta

segala aspek yang berkaitan, yang mana akan digunakan sebagai ‘pisau bedah’ dalam

analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian unsur budaya Sabu dan unsur-unsur

budaya Sabu yang mengalami perubahan akulturatif dalam masyarakat Sumba Timur.

Diharapkan melalui analisa yang nantinya akan dilakukan, dapat menambahkan wawasan

mengenai perubahan sosial budaya yang terjadi pada komunitas orang Sabu di Sumba

Timur.

73
Dr. Y. Tomatala, D. Mis., Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), (Malang : Gandum Mas, 1993),
h.7-8

55

Anda mungkin juga menyukai