Anda di halaman 1dari 21

MIQOT Vol. XXXVIII No.

2 Juli-Desember 2014

ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA:


Penegakan dan Problem HAM di Indonesia

Masykuri Abdillah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jl. Ir. Haji Juanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten 15412
e-mail: masykuriabdillah@yahoo.com

Abstrak: Tulisan ini menjelaskan kompatibilitas Islam dan HAM serta upaya-upaya
penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia sebagai salah satu negara Muslim.
Tulisan ini dengan demikian menolak anggapan sejumlah pengamat tentang ketidaksesuai-
an atau pertentangan antara Islam dengan HAM, terutama karena sebagian besar
negara-negara Muslim kini belum sepenuhnya melindungi dan menegakkan HAM.
Sejak awal Islam telah mengakui perlindungan hak asasi manusia (HAM), yang kemudian
dirumuskan oleh para ulama dengan konsep maqâshid al-syarî‘ah (tujuan syari’ah).
Sebagai salah satu negara Muslim, Indonesia di era Reformasi ini telah berkomitmen
untuk melakukan perlindungan dan penegakan HAM sejalan dengan penerapan
sistem demokrasi secara substantif. Hanya saja, kini masih ada sejumlah masalah
atau kendala dalam perlindungan HAM ini, baik yang bersifat substantif, struktural
maupun kultural. Pemerintah, DPR serta civil society dan organisasi-organisasi keagamaan
telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi persoalan dan kendala itu.

Abstract: Islam and Human Right: Its Application and Problems in


Indonesia. This paper explains the compatibility of Islam and human rights as well
as efforts to protect human rights in Indonesia as a Muslim country. This paper thus
rejects the opinion of a number of observers about the incompatibility or conflict
between Islam and human rights just because of the fact that the majority of Muslim
countries does not fully protect and enforce human rights. Since the beginning,
Islam has recognized the protection of human rights, which were then formulated
by the ulama with the concept of maqâsid al-sharî‘ah (objectives of shari’ah). As
a Muslim country, Indonesia in the Reform era has committed to the protection and
enforcement of human rights in line with the implementation of substantive democracy.
Yet there remain a number of problems or obstacles in the protection of human
rights caused by several factors, be they substantive, structural or cultural. The
government, parliament as well as civil society and religious organizations have
conducted efforts to solve the problems and obstacles.

Kata Kunci: hak asasi manusia, Islam, tanggung jawab manusia, maqâsid al-
sharî‘ah, kebebasan
374
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Pendahuluan
Pada saat ini hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi menjadi isu penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan kini perlindungan HAM merupakan pra-
syarat bagi kerja sama internasional. Hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi adalah
dua hal yang saling terkait satu sama lain. Demokrasi tidak bisa eksis tanpa adanya hak
asasi manusia; dan sebaliknya, hak asasi manusia pada umumnya tidak sepenuhnya
terlindungi tanpa adanya demokrasi. Suatu negara yang mengabaikan HAM dapat dipastikan
menjadi sasaran kritik oleh dunia internasional, dan ia pun akan terasing dari pergaulan
internasional. HAM, yang pada dasarnya bersifat moral dan bukan politis ini menjadi
hal yang penting sekali setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Universal Declaration of
Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM), pada 10 Desember
1948, yang didukung oleh sebagian besar anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hanya saja, pelaksanaan HAM di banyak negara kini masih mengalami banyak hambatan,
termasuk di negara-negara Muslim.
Meskipun hampir semua negara Muslim menandatangani piagam tersebut, dalam
pelaksanaannya masih banyak dari negara-negara itu yang belum sepenuhnya melaksanakan
perlindungan dan penegakan HAM. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi hal
ini, baik karena alasan doktrin keagamaan maupun karena tidak adanya political will
dari pemerintah. Sejumlah pengamat bahkan menganggap adanya ketidaksesuaian atau
pertentangan antara ajaran Islam dengan HAM. Namun pendapat ini dibantah oleh
para ulama dan intelektual Muslim yang mengklaim kompatibilitas ajaran Islam dengan
HAM, walaupun mereka juga manyadari adanya hal-hal yang berbeda antara konsep
HAM “universal” yang notabene berasal dari peradaban Barat dan konsep HAM menurut
Islam.
Sebagai salah satu negara Muslim, Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi
HAM sejak awal kemerdekaan, sebagaimana ditunjukkan oleh UUD 1945. Hanya saja,
variasi tergantung political will dari pemerintah satu periode dengan periode lainnya. Di
era reformasi (1998-sekarang) komitmen ini jauh lebih kuat dari pada periode sebelumnya,
yang ditunjukkan oleh kebijakan-kebijakan negara yang pro HAM. Meski demikian, kadang-
kadang masih ada perdebatan mengenai konsep HAM, terutama terkait dengan penyesuaian
hak-hak dalam budaya Indonesia sendiri serta adanya sejumlah masalah dan hambatan
dalam pelaksanaannya. Tulisan ini akan mendeskripsikan dan menganalisis konsep HAM
dalam Islam serta pelaksanaannya di Indonesia beserta problematika dan hambatannya.

Pengertian dan Sejarah HAM


HAM pada hakikatnya merupakan hak moral dan bukan hak politik. Oleh karenanya,
seseorang bisa hidup meski tanpa adanya organisasi politik, seperti yang terjadi pada

375
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

komunitas nomaden dan pemburu,1 yang sampai kini masih bisa dijumpai di sejumlah
tempat yang terisolasi. Terdapat berbagai definisi tentang HAM ini, baik dalam konteks
akademik murni maupun dalam konteks penyesuaian dengan filosofi atau ideologi suatu
negara. Salah satu di antaranya adalah definisi yang kemukakan oleh A.J.M. Milne, yakni:
gagasan bahwa ada hak-hak tertentu yang, apakah diakui atau tidak, menjadi milik
seluruh umat manusia sepanjang waktu dan di semua tempat. Ini adalah hak-hak
yang mereka miliki hanya dalam sifat mereka menjadi manusia, terlepas dari kebangsaan,
agama, seks, status sosial, jabatan, kekayaan, atau perbedaan karakteristik etnis, kultur
atau sosial lainnya.2

Secara historis, gagasan tentang HAM ini berasal dari gagasan tentang hak-hak
alamiah (natural rights). Hak-hak alami ini sering dihubungkan dengan konsep hukum
alam (natural law), sebagaimana yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1705). 3
Sedangkan hukum alam ini digali dari filosofi tentang kebutuhan dasar (basic needs)
manusia. Dalam bentuknya yang lebih kongkret seperti sekarang, HAM ini bermula
dicantumkan dalam Declaration of Independence Amerika Serikat pada tahun 1776 : “...
that all men are created equal, that they are endowed by their Creator by certain unalienable
Rights, that among these are Life, Liberty and pursuit of Happiness...”. Hak-hak ini juga
dinyatakan dalam Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara (Declaration des Droits
de l’Homme at du Citoyen) Prancis pada tahun 1789, dengan slogannya yang populer
pada waktu itu, yakni: liberté (kebebasan), egalité (persamaan) dan fraternité (persaudaraan).
Baru pada 10 Desember 1948 lahir Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi
Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia), yang disetujui oleh Majelis Umum PBB dengan
hasil perhitungan suara 48 negara menyetujui, 8 negara abastain dan tidak ada satu pun
negara yang menolaknya.
Konsep HAM kemudian berkembang, tidak hanya berkaitan dengan hak-hak sipil
dan politik secara tradisional, tetapi juga dengan hak-hak ekonomi dan sosial. Memang
gagasan HAM pada waktu itu muncul sebagai penolakan campur tangan terhadap kepentingan
individu, terutama yang dilakukan oleh negara, yang kini dikenal dengan istilah “negative

1
A.J.M. Milne, Human Rights and Human Diversity, (Houndmills, Basingstoke, Hamsphire
dan London: Macmillan, 1986)h. 154
2
Ibid., h. 1
3
Lihat Norman P.Barry, An Introduction to Modern Political Theory, (New York: St. Martin’s
Press, 1981), h. 182-183. Sebagian ilmuwan menguraikan sejarah HAM, dari segi substansi
berawal dari filsafat Yunani yang dikemukakan Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM)
dan Aristoteles (348-322 SM), sedangkan dalam bentuk piagam, ketentuan HAM pertama kali
dibuat di Inggris dengan munculnya Magna Charta pada 1215 yang berisi pembatasan kekuasaan
raja sehingga tidak lagi absolut dan dapat dipertangguingjawabkan di muka hukum. Sebenarnya
para nabi juga membawa ajaran-ajaran agama yang di dalamnya terdapat substansi HAM, termasuk
Islam yang dibawa Nabi Muhmmad. Bahkan jika dibandingkan, Piagam Madinah yang dibuat
pada masa-masa awal Nabi di Madinah jauh lebih dahulu dari pada Magna Charta.
376
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

rights”. Namun dalam perkembangannya, ia juga diinterpretasikan sebagai pemberi legitimasi


kepada pemerintah untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan rakyat, yang kini dikenal
dengan istilah “positive rights” atau hak-hak ekonomi dan sosial. PBB menyutuji pengembangan
konsep HAM ini, dengan meratifikasi tiga persetujuan, yakni International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights; International Covenant in Civil and Political Rights;
dan Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights pada tahun
1966.4
Namun demikian, dalam praktiknya konsep HAM tersebut tetap mengandung
perbedaan, terutama antara negara-negara liberal dengan negara-negara sosialis dan
negara-negara Muslim. Negara liberal memberikan prioritas kepada hak-hak sipil dan
politik berdasarkan prinsip “individualisme”, sedangkan negara sosialis atau komunis
memberikan prioritas kepada hak-hak ekonomi dan sosial berdasarkan prinsip “kolektivisme”.
Konsep universal HAM ini kemudian juga ditafsirkan lagi oleh beberapa negara berkembang
(dulu sering disebut Dunia Ketiga), dengan maksud untuk menyesuaikan konsep HAM
sesuai dengan kondisi dan budaya lokal atau regional. Banyak elite politik serta para
intelektual di Dunia Ketiga, termasuk di Indonesia, tidak menerima konsep individualisme
maupun sosialisme bagi masyarakat mereka. Mereka merumuskan, mendefinisikan dan
mengadaptasikan budaya-budaya tradisional dan doktrin-doktrin filosofis untuk meng-
gabungkan dan menjustifikasi ide-ide modern tentang hak-hak ke dalam tradisi mereka.
Usaha semacam itu cenderung untuk mengambil bentuk komunalisme dengan menyusun
dan mengubah sistem-sistem nilai komunal secara tradisional yang mengartikulasikan
hubungan timbal balik antarindividu ke tingkat nasional negara modern.5 Hal yang sama
juga dilakukan oleh negara-negara Muslim, yang umumnya tetap menjadikan agama
sebagai unsur penting dalam kehidupan masyarakat dan negara, yang berarti tidak ada
pemisahan sepenuhnya antara agama dan negara.
Oleh karena itu, bisa dipahami jika muncul beberapa deklarasi hak-hak asasi manusia
yang berifat regional, seperti Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms pada tahun 1950 yang didukung oleh negara-negara Eropa, dan African Charter

4
Sebagian pengamat menganggap bahwa lahirnya Universal Declaration of Human Rights
pada tahun 1948 yang menekankan pada hak-hak sipil dan politik merupakan konsep HAM generasi
pertama, sementara pengembangan konsep hak-hak ekonomi dan sosial sebagai perkembangan
konsep HAM generasi kedua. Sedangkan perkembangan konsep HAM generasi ketiga terkait
dengan hak-hak perdamaian dan pembangunan, yang dikenal dengan solidary rights tetapi
deklarasinya hanya didukung oleh negara-negara Dunia Ketiga (negara-negara berekembang).
5
Lihat Adamantia Polis, “Human Right”, dalam Mary Hawkesworth dan Maurice Kogan
(eds.), Encyclopedia of Goverment and Politics, Vol. 2, (London dan New York: Routledge, 1992),
hlm. 1332-1335. Beberapa analis menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia adalah universal,
karena itu membantah klaim bahwa hak asasi manusia relatif secara kultural. Komunalisme
didefinisikan sebagai “teori pemerintahan yang mendukung perluasaan otonomi lokal untuk
setiap komunitas yang dapat dijelaskan secara lokal. Lihat J.A. Simpson dan E.S.C. Weiner,
op. cit., hlm. 576.

377
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

of Human and People’s Rights pada tahun 1981. Dalam hal ini, Asia adalah satu-satunya
wilayah yang belum memiliki piagam HAM yang bersifat regional. Baru pada tahun
1993 pemerintah negara-negara di Asia menandatangani The Bangkok Declaration yang
menegaskan komitmen mereka kepada prinsip-prinsip yang terdapat dalam piagam PBB
dan Universal Declaration of Human Rights. Deklarasi ini dipersiapkan untuk Konferensi
Dunia tentang hak-hak asasi manusia pada bulan Juni 1993 di Wina.6 Pemerintah-pemerintah
di negara-negara berkembang yang membatasi HAM pada umunya beralasan, bahwa
pelaksanaan HAM yang dalam hal-hal tertentu dibatasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan
stabilitas nasional sebagai pra-syarat bagi pembangunan. Pada pertengahan tahun 1980-
an negara Dunia Ketiga mengeluarkan deklarasi hak untuk perdamaian dan pembangunan,
yakni Declaration on the Rights of Peoples to Peace (1984) dan Declaration on the Rights to
Development (1986). Di samping itu, perbedaan juga dimaksudkan untuk meyesuaikan
konsep HAM dengan karakteristik sosial budaya suatu masyarakat di negara-negara
berkembang, termasuk di dunia Islam.
Pada 18 November 2012 lalu negara-negara anggota ASEAN menandatangi ASEAN
Human Rights Declaration di Pnom Phen, Kamboja. Kedua deklarasi di atas diakomodasi
dalam deklarasi ASEAN ini, yakni right to development (hak untuk pembangunan, pasal
35, 36 dan 37) dan right to peace (hak untuk perdamaian, pasal 38). Deklarasi yang sebenarnya
mengacu kepada DUHAM ini menegaskan tentang pelaksanaannya untuk mempertimbang-
kan konteks regional dan nasional masing-masing negara dengan melihat latarbelakang
perbedaan latar politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, sejarah dan agama (pasal 7).
Disamping itu, ekspresi kebebasan juga perlu memperhatikan keamanan nasional, ketertiban
dan kesejahteraan umum serta kesehatan dan moraltas publik (pasal 8).
Memang pemerintah dan masyarakat di negara-negara berkembang pada umumnya
tidak mau mengidentifikasikan masyarakatnya dengan kedua bentuk di atas, melainkan
dengan karakteristik lain yang diangkat dari budaya setempat dan doktrin filosofinya,
seperti “komunalisme”.7 Hanya saja, di balik alasan penyesuaian karaktersitik budaya
lokal ini kadang-kadang upaya penyesuaian HAM dimaksudkan untuk menjustifikasi
sistem politik otoriter yang diterapkan oleh suatu pemerintah tertentu, atau bahkan untuk
melanggengkan kekuasaannya, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru
(1966-1998). Misalnya dengan alasan tidak sesuai dengan budaya masyarakatnya, suatu
pemerintah membatasi kebebasan pers, kebebasan warganya dalam mengekspresikan
pendapatnya atau pilihannya, dan sebagainya. Suatu hal yang dapat mendekatkan antara
HAM Barat dengan HAM yang dipahami oleh umumnya negara-negara berkembang adalah
munculnya wacana tentang kewajiban atau tanggung jawab manusia (human responsibility).

6
Lihat Miriam Budiardjo, “Hak-hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global” dalam Jurnal
Ilmu Politik, Vol. 10, 1990; dan SOA-Informationen, Vol. 1, 1988, hlm. 4-5.
7
Lihat Adamantia Pollis, “Human Rights”, dalam Mary Hawkesworth dan Maurice Kogan
(ed.), Encyclopedia of Government and Politics, Vol. 2, (London dan New York : Routledge, 1992),
h. 1332-1335.
378
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

HAM dalam Islam


Berbeda dengan istilah dan sistem demokrasi yang sampai kini masih diperdebatkan
di antara ulama serta intelektual dan aktivis Muslim, hampir semua mereka setuju dengan
istilah hak-hak asasi manusia (HAM) ini, meskipun konsep yang mereka kemukakan tidak
sepenuhnya sama dengan konsep liberal. Penerimaan ini disebabkan karena essensi dari
HAM ini sudah diakui oleh Islam sejak masa permulaan sejarahnya. Di dalam Al-Quran
dan Hadits disebutkan bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di atas bumi,
yang dikaruniai kemuliaan dan martabat yang harus dihormati dan dilindungi. Di antara
ayat Al-Quran yang menunjukkan hal ini adalah Q.S. Al-Isra’: 70, yakni “Dan sesungguhnya
telah Kami muliakan anak-anak Adam ...”. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia
secara fitrah (natural) memiliki kemulian (karamah) dan oleh karenanya kemulian ini
harus dilindungi.8 Di antara Hadits yang menunjukkan persamaan umat manusia dan
penghormatan martabat mereka adalah “Manusia pada dasarnya adalah sama dan sederajat
bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atas orang non-Arab
kecuali karena ketaqwaannya”.9
Dalam persepektif Islam, konsep HAM itu dijelaskan melalui konsep maqâshid al-
syarî’ah (tujuan syari’ah), yang sudah dirumuskan oleh para ulama masa lalu. Tujuan
syari‘ah (maqâshid al-syarî’ah) ini adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah)
umat manusia dengan cara melindungi dan mewujudkan dan melindungi hal-hal yang
menjadi keniscayaan (dharûriyyât) mereka, serta memenuhi hal-hal yang menjadi kebutuhan
(hâjiyyât) dan hiasan (tahsîniyyât) mereka”.10
Teori maqâshid al-syarî’ah tersebut mencakup perlindungan terhadap lima hal (al-
dharûriyyât al-khamsah), yakni: (1) perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), yang
mengandung pengertian juga hak beragama, (2) perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-
nafs), yang mengandung pengertian juga hak untuk hidup dan memperoleh keamanan,
(3) perlindungan terhadap akal (hifzh al-‘aql), yang mengandung pengertian juga hak

8
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, ada tiga karamah (kemuliaan) yang dianugerahkan Tuhan
kepada manusia terlepas dari latar belakang etnik, agama dan politik mereka, yakni: (1) karamah
fardiyyah (kemuliaan individual) yang berartti bahwa Islam melindungi aspek-aspek kehidupan
manusia baik aspek spiritual maupun meterial., (2) karamah ijtima’iyyah (kemuliaan kolektif)
yang berarti bahwa Islam menjamin sepenuhnya persamaan di antara individu-individu, dan
(3) karamah siyasiyyah (kemuliaan secara politik) yang berarti bahwa Islam memberi hak politik
pada individu-individu untuk memilih atau dipilih pada posisi-posisi politik, karena mereka
adalah wakil Allah. Dikutip dalam Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:
LP3ES, 1
9
Hadits tersebut dilanjutkan dengan ucapan Nabi: “Wahai manusia, sungguh darahmu,
hartamu dan kehormatan (martabat) mu adalah suci, terhormat”. Hadits lain tentang HAM ini
adalah Umar bin Khattab kepada Amr ibn Ash, gubemur Mesir yang memperlakukan seorang
warganya dengan kasar, “Mengapa kamu memperlakukan rakyatmu seperti budak, padahal
mereka dilahirkan oleh ibunya sebagai manusia yang merdeka”.
10
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl Fiqh, (Kuwait : Dâr al-Qalam, cet. 12, 1978), h. 199.
379
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

untuk memperoleh pendidikan, (4) perlindungan terhadap harta (hafizh al-mal), yang
mengandung pengertian juga hak untuk memiliki harta, bekerja dan hidup layak, (5) perlindungan
terhadap keturunan (hifzh al-nasl), yang mengandung pengertian juga hak untuk melakukan
pernikahan dan mendapatkan keturunan. Sebagian ulama menyebutkan perlindungan
terhadap kehormatan (hifzh al-‘irdh) sebagai ganti hifzh al-nasl, yang mengandung pengertian
hak untuk memiliki harga diri dan menjaga kehormatan dirinya.
Eksistensi kemuliaan manusia (karamah insâniyyah) akan terwujud dengan
perlindungan terhadap lima hal tersebut. Tujuan syari’ah (maqâshid al-syari’ah) tersebut
diperkuat dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang meliputi ‘adl (keadilan), rahmah
(kasih sayang), dan hikmah (kebijaksanaan) baik dalam hubungan dengan Allah, dengan
sesama manusia maupun dengan alam.11 Para ulama dan intelektual Muslim kemudian
mengembangkan konsep tersebut dengan berbagai hak sebagaimana yang terdapat dalam
Deklarasi HAM tersebut, terutama: (1) hak untuk hidup, (2) hak kebebasan beragama,
(3) hak kebebasan berpikir dan berbicara, (4) hak memperoleh pendidikan, (5) hak untuk
bekerja dan memiliki harta kekayaan, (5) hak untuk bekerja, dan (6) hak untuk memilih
tempat tinggal sendiri.
Hanya saja, beberapa pengamat, Islamolog dan bahkan banyak intelektual Muslim
sendiri melihat adanya perbedaan atau pertentangan antara Islam dan prinsip-prinsip
HAM dalam hal-hal tertentu. Sebagian ulama dan intelektual Muslim menjelaskan HAM
dalam Islam dengan cara apologetik, dengan menyatakan bahwa Islam merupakan sistem
yang paling sempurna, sehingga jika ada perbedaan atau pertentangan antara HAM dan
ajaran Islam, maka HAM itu harus ditolak. Memang ada di antara intelektual Muslim yang
menganjurkan perlunya reinterpretasi secara bebas terhadap teks-teks Al-Qur’an dan
Hadits serta hasil ijtihad ulama klasik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, walaupun
teks-teks itu bersifat absolut (qath’i). Namun pendapat yang sangat bebas (liberal) ini ditolak
oleh para ulama dan sebagian besar intelektual Muslim.
Berbeda dengan kedua pendapat di atas, cukup banyak intelektual Muslim mencoba
melihat persoalan HAM dalam Islam secara lebih kritis, walaupun tetap konsisten meng-
gunakan metodologi standar yang telah disepakati oleh para ulama. Mereka pun berusaha
untuk melakukan harmonisasi antara Islam dan HAM dengan menjelaskan persoalan
tersebut serasional mungkin dan melakukan reinterpretasi terhadap hal-hal yang secara
lahiriah bertentangan dengan melakukan reinterpretasi dalil-dalil itu secara filosofis
dan sosiologis. Di antara hal-hal yang dinilai tidak kompatibel antara ajaran Islam dan
HAM adalah terkait dengan batas-batas kebebasan dan ketidaksamaan antara Muslim
dan non-Muslim serta antara pria dan wanita. Dalam pasal 1 DUHAM disebutkan: “Semua
orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama”, tetapi di dalam

11
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în, (Beirut: Dar al-Kutub al-”ilmiyyah,
1991), h. 11-12.

380
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Islam terdapat batasan-batasan yang lebih besar dalam mengekspresikan kebebasan ini.
Sebagai sebuah agama yang berarti juga panduan yang mengikat, Islam tentu saja mem-
berikan batasan-batasan yang lebih besar terhadap kebebasan dari pada HAM universal.12
Di samping itu, di dalam Islam terdapat ketidaksamaan tertentu antara Muslim dengan
non-Muslim dan antara pria dan wanita,13 suatu kondisi yang dinilai tidak sesuai dengan
salah satu prinsip HAM yang menyatakan persamaan manusia. Ketidaksesuaian antara
doktrin Islam dan HAM “universal” ini hanya terdapat dalam beberapa hal saja, yakni
terkait dengan batas-batas kebebasan serta ketidaksamaan antara Muslim dan Muslim
dan antara pria dan wanita.
Kebebasan mengandung pengertian, bahwa “seorang dalam batas-batas tertentu
dapat melakukan atau meninggalkan apa yang ia inginkan. Batas-batas ini mungkin bersifat
biologis atau hukum positif”.14 Sedangkan kebebasan beragama diartikan sebagai sebuah
gagasan yang mempromosikan kebebasan individu atau kolektif untuk mengekspresikan
agama mereka dan kepercayaan dalam pengajaran dan praktek, baik dalam kehidupan
pribadi maupun publik. Kebebasan ini juga umumnya mengakui kebebasan untuk mengubah
agama atau tidak mengikuti agama apapun. Dalam hal kebebasan beragama yang merupakan
kebebasan yang paling fundamental, Q.S. al-Baqarah: 256 secara jelas menyebutkan
adanya kebebasan ini, yakni “Tidak ada paksaan dalam agama”. Memang fiqh klasik mengenakan
hukuman mati terhadap orang yang keluar dari Islam (murtad), suatu hal yang tidak
boleh terjadi dalam HAM. Di samping itu, Islam menyuruh umatnya untuk menolak
pihak-pihak yang melakukan penyimpangan secara mendasar dari ajaran-ajaran Islam,
suatu hal yang juga tidak dibenarkan menurut HAM “universal”.
Upaya-upaya harmonisasi ajaran Islam dengan HAM dalam persoalan riddah (keluar
dari Islam) dilakukan dengan melakukan reinterpretasi dalil-dalil yang menunjukkan
adanya hukuman mati terhadap pelakunya, yakni hadits “Barangsiapa merubah agamanya,
maka bunuhlah”. Meski Hadits ini merupakan hadist ahad yang shahih, tetapi sanad hadits

12
Pembatasan tersebut sesuai dengan Hadits: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa
kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan kewajiban itu; dan Allah telah memberikan beberapa
larangan, maka jangan kamu langgar larangan itu; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka
jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya
kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (H.R. Al-Daraquthni).
13
Lihat, antara lain, John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Democratization and Islam”,
dalam Middle East Journal, Vol. 45, No. 3, 1991, h. 428; dan Abdullah Ahmad An-Naim, Nahw
Tathwîr al-Tasyrî‘ al-Islâmî, (Kairo: Sina li Al-Nasyr, 1994), h. 222-224. Di samping tentang
persoalan kedudukan non-Muslim dan wanita, An-Naim juga menyebutkan persoalan perbudakan
yang yang secara literal dibenarkan oleh Syari’ah. Lihat ibid., h. 218-222. Munawir Sjadzali
juga menyebutkan ketiga persoalan ini. Lihat, Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam”,
dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1988), h. 4 dan 9; dan Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
UI-Press, 1990), h. 178.
14
Werner Becker, Die Fretheit, die wer weinem, (Munchen-Zurich: R. Riper & Co., Verlag,
edisi ke-2, 1982), h. 111
381
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

‘amalî yang menyatakan bahwa Nabi melaksanakan hukum mati terhadap orang yang
murtad adalah lemah (dha’îf),15 sementara ayat-ayat al-Quran yang mengungkapkan persoalan
riddah ini tak satu pun memberikan hukuman di dunia terhadap orang murtad.16 Dengan
demikian, dasar hukum tentang hukuman riddah ini tidak qath’i (menunjukkan arti
pasti atau absolut), dan oleh karenanya, pada saat ini perlu ditafsirkan kembali, dengan
memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memeluk Islam atau meninggalkannya
tanpa hukuman. Menurut Mahmud Syaltut, hukuman hudûd (mati) tidak bisa ditetapkan
dengan hadits ahad, sedangkan kekafiran itu sendiri juga tidak menjadi penyebab diperbolehkan
memerangi non-Muslim, melainkan sikap mereka memerangi orang-orang Muslim yang
dapat memperbolehkan Muslim memerangi mereka. 17 Para ulama klasik memberikan
hukuman mati kepada seorang yang murtad sebenarnya tidak terlepas dari realitas sosiologis
dan politis pada waktu itu, dimana hubungan antarkelompok masyarakat didasarkan pada
hubungan konflik. Ketika seseorang keluar dari suatu komunitas (agama) dan bergabung
dengan komunitas (agama) lain, maka ia akan menjadi musuh bagi komunitas awalnya.
Hal ini tidak terjadi pada saat ini, dimana hubungan antarkelompok didasarkan pada
perdamaian yang dikontrol oleh masing-masing negara dan hukum internasional. 18
Mengenai ketidaksamaan kedudukan non-Muslim dengan Muslim tercermin dalam
ilmu fiqh klasik yang membagi warga negara menjadi muslim dan non-Muslim. Kemudian
non-Muslim ini dibedakan menjadi: dzimmî (non-Muslim yang mendapatkan perlindungan),
harbî (non-Muslim yang menjadi warga wilayah non-Muslim) dan musta’min (harbî yang
mendapatkan perlindungan sementara di wilayah Muslim). Dzimmî dan musta’min ini
berkewajiban membayar pajak, dengan imbangan mereka berhak memilki kebebasan beragama
serta keamanan jiwa dan hartanya. Tetapi mereka tidak memiliki hak sepenuhnya seperti
yang dimiliki oleh Muslim, tertama hak untuk ikut serta dalam pertahanan negara dan
agama, serta hak memegang jabatan tertentu dalam organisasi negara, yakni sebagai kepala
negara (imâm) dan sebagai menteri yang memiliki wewenang penuh (wazîr al-tafwîdh).19

15
Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, (Beirut : Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1987), h. 408-409.
Namun seperti sebagian besar ulama pada masa lalu, dia juga setuju dengan hukum mati ini.
16
Hukuman bagi orang murtad akan diberikan nanti di hari kiamat, sebagaimana dikatakan
dalam Al-Qur’an (2: 217): “Barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Dan mereka
itulah penghuni nereka, mereka kekal di dalamnya”; dan Al-Qur’an (4: 137): “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman (pula) kemudian kafir lagi, dan kemudian
sertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka,
dan tidak (pula) menunjukkan mereka kepada jalan yang lurus.”
17
Mahmud Syaltut, Al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h. 289. Di
antara intelektual yang tidak setuju dengan hukuman mati dan menjelaskannya secara lebih
detail adalah Fazlurrahman. Lihat artikelnya, “Non-Muslim Minority on an Islamic State”, dalm
Journal Institute of Muslim Minority Affairs, Vol. 7 No. 1, 1986, p. 16.
18
Mamud Syaltut, op.cit, h. 461.
19
Lihat, misalnya, Abû Ya‘lâ al-Farra’, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Mesir : Mustafâ al-Bâbî
al-Halabî), h. 16.

382
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Pada saat ini para ulama tidak lagi mengklasifikasikan warganegara yang demikian ini,
karena kondisi sosial politik sudah berbeda dengan kondisi pada saat itu. Warga negara
merupakan satu kesatuan bangsa yang telah melakukan kesepakatan atau perjanjian (mu’âhadah)
untuk membangun sebuah negara yang terdiri atas berbagai kelompok masyarakat.
Sedangkan tentang kedudukan wanita, dalam al-Qur’an terdapat tiga ketentuan
yang secara lahirnya terlihat ketidaksamaan kedudukan antara wanita denga pria, yakni
tentang hukum kewarisan (al-Nisa’: 11) dan kesaksian (al-Baqarah: 282) yang menunjukkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan 2:1, dan tentang poligami (al-Nisa: 3)
yang menunjukkan perbandingan 4:1. Pada umumnya ulama dan intelektual Muslim
tetap mempertahankan ketentuan-ketentuan tersebut karena dalil-dalinya bersifat absolut
(qath’i). Memang tidak mudah menjelaskan tentang perbedaan ini secara rasional dan
dalam persepktif HAM. Di antara mereka kemudian menyadari bahwa ketidaksamaan
itu mengandung hikmah yang belum diketahui oleh manusia.20 Dalam konteks ini, yang
bisa dilakakukan dalam konteks kesataraan kedudukan antara wanita dan pria ini adalah
upaya-upaya menghilangkan ketidaksamaan atau diskriminasi yang didasarkan pada
dalil-dalil relatif (zhannî) dan yang disebabkan oleh faktor-faktor sosiologis, seperti kesempatan
memperoleh pendidikan dan pekerjaan serta kesempatan memegang jabatan dalam kehidupan
masyarakat dan negara.21
Letak persoalan dasarnya sebenarnya perbedaan filosofi dan budaya antara negara-
negara Barat yang sekular yang dijadikan sebagai acuan utama dalam pelaksanaan HAM
dengan negara-negara Muslim yang tidak bisa melepaskan aspek agama (syari‘ah). Untuk
menunjukkan, bahwa Islam juga sangat menghargai HAM sekaligus menyusun suatu
rumusan yang sejalan dengan Syari‘ah, pada tahun 1990 negara-negara Muslim yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam mengeluarkan Cairo Declartion of Human Rights in Islam.
Sehubungan dengan hal ini, perlu dikembangkan konsep tentang universalisme dan pertikularisme
HAM, sehingga pelaksaan HAM itu dapat disesuaikan dengan filosofi dan budaya masing-
masing bangsa dan negara. Namun penyesuain atau praktik partikularisme HAM ini harus
terhindar dari manipulasi atau kepentingan politik penguasa.
Deklarasi itu baru dapat disetujui oleh semua anggoatanya setalah 13 tahun terjadi
perdebatan di antara mereka. Deklarasi tersebut terdiri dari 25 pasal, yang mencakup
hak-hak individu, sosial, ekonomi dan politik. Semua hak dan kebebasan yang terdapat
dalam deklarasi ini tunduk kepada Syari‘ah (pasal 25). Hak-hak sipil dan politik terdiri
dari, misalnya, hak memperoleh persamaan martabat manusia serta kewajiban dan tanggung

20
Memang ada beberapa intelektual Muslim yang mengajukan reinterpretasi ayat-ayat
tersebut, yang berarti merubah ketentuan tersebut, namun sejauh ini reinterpretasi mereka
itu tidak dapat diterima oleh mayoritas ulama dan umat Islam.
21
Di antara ketidaksetaraan antara wanita dan pria dalam fikih-fikih klasik adalah larangan
terhadap wanita menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan, yang didasarkan pada sebuah
hadits: “Suatu masyarakat/bangsa tidak akan bahagia apabila dimpimpin oleh seorang wanita”.
383
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

jawab kemanusiaan (pasal 1), hak memperoleh persamaan dalam hukum (pasal 19),
hak untuk hidup yang merupakan pemberian Tuhan (pasal 2), dan hak untuk mengemukakan
pendapat secara bebas sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syari‘ah (pasal
22). Hak-hak sosial dan ekonomi terdiri dari, misalnya, hak untuk memperoleh pendidikan
(pasal 9), hak untuk bekerja (pasal 13), hak untuk memiliki harta (pasal 15), hak untuk
memperoleh kehidupan yang layak (pasal 17), hak untuk hidup dalam keamanan untuk
diri seseorang, agamanya, tanggungannya, kehormatannya dan hartanya (pasal 18), dsb.
Dalam bidang sosial dan ekonomi, deklarasi ini memuat banyak hak-hak yang fundamental,
tetapi dalam bidang politik, ia belum mencakup semua hak yang fundamental, seperti hak
untuk berserikat. Hal ini barang kali disebabkan, karena banyak negera Muslim yang menanda-
tangani deklarasi ini belum sepenuhnya memberikan hak-hak politik kepada warganya.
Dengan demikian, di samping karena perbedaan filosofis antara Barat dengan Islam,
persoalan itu juga disebabkan karena faktor kemauan politik (political will) dari suatu
pemerintah di negara Muslim. Banyak negara Muslim telah berupaya melakukan penyesuaian
praktik HAM yang dimaksudkan agar sesuai dengan budaya masyarakatnya. Namun
dalam kenyataannya, penyesuaian ini lebih banyak dimaksudkan untuk menjustifikasi
sistem politik yang dipromosikan oleh pemerintah negara itu, bukan untuk mendekatkan
konsep HAM ini kepada doktrin Islam. Bahkan ada juga alasan untuk menyesuaikan dengan
konsep Islam, tetapi di balik itu, penyesuaian itu dimaksudkan untuk menjustifikasi sistem
politiknya dan melanggengkan kekuasaannya.22 Di sisi lain, pelaksanaan HAM di negara-
negara Muslim yang belum sesuai dengan Islam serta adanya standar ganda (double standard)
negara-negara Barat dalam beberapa kasus pelaksanaan HAM, mengundang munculnya
gerakan fundamentalisme di beberapa negara Muslim. Gerakan ini bahkan sering bersifat
eksklusif dan menolak semua peradaban Barat, termasuk sistem demokrasi dan HAM,
sehingga mengesankan adanya konflik antara Islam dan Barat. Kondisi ini diperburuk
dengan klaim sebagian besar masyarakat Barat, bahwa peradaban merekalah yang paling
unggul; dan oleh karenanya harus disebarluaskan ke seluruh dunia, tanpa menyadari
bahwa masyarakat lainnya sebenarnya sudah memiliki nilai-nilai sosial dan peradabannya
sendiri yang tak kalah unggulnya.

Kebijakan terhadap HAM


Sebagai salah satu negara muslim, Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk
menghormati dan melindungi hak asasi manusia (HAM) sejak awal kemerdekaan, seperti
yang ditunjukkan oleh UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkannya. Hanya, saja

22
Lihat Ahuddin al-Hilal, dkk., Al-Dimuqratiyya wa Haquq al-Insan fi al-Watan al-‘Arabi,
(Beirut, Lebanon: Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, 1986). Walaupun buku ini ditulis
tiga puluh tahun lalu, tetapi kondisi tentang hak-hak asasi manusia tidak ada perubahan yang
berarti, kecuali di Tunisia, yang telah berhasil melakukan revolusi pada 2011 dan kini sedang
menjalani transisi demokrasi yang sudah menunjukkan keberhasilannya.
384
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

pada masa lalu terdapat perbedaan penafsiran pemerintah terhadap HAM, yang terkait
dengan kecenderungan politiknya. Pemerintahan Orde Baru memahami HAM dalam
konteks masyarakat Indonesia yang “integralistik”, yang tidak terlepas dari upaya-upaya
untuk membatasi hak-hak sipil dan politik warga negara. Karakterisasi ini pertama kali
diungkapkan Soepomo pada sidang BPUPKI tahun 1945 untuk menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia itu merupakan kesatuan hidup, yang antara lain termanifestasi dalam bentuk
tiadanya dualisme antara negara dan masyarakat (Staat und staatsfreie Gesellschaft) serta
antara hak-hak asasi dan kebebasan individual (Grund-und Freiheitsrechte) berhadapan
dengan negara.23 Namun gagasan Soepomo ini ditolak sidang dengan diterimanya usul
Mohammad Hatta memasukkan hak-hak dan kewajiban warga negara dalam UUD 1945.
Dengan lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden, maka konsep masyarakat
integralistik ini pun ikut menghilang.
Munculnya “era reformasi” menyusul jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto pada
tahun 1998 ditandai sebagai titik awal dari transisi menuju demokrasi yang substantif di
Indonesia, yang juga berarti komitmen yang lebih besar untuk perlindungan HAM. Komitmen
itu ditunjukkan dengan terbitnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia, yang kemudian diikuti dengan legislasi UU No. 09/1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Kebijakan ini kemudian ditindaklanjuti dengan
legislasi UU No. 39/1999 tentang HAM, diikuti oleh UU No. 26/2000 tentang Pengadilan
HAM. Pengertian HAM yang terdapat dalam pasal 1 UU No. 39/1999 adalah “seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia”.
Di samping itu, beberapa peraturan telah dicabut atau diubah, seperti UU No. 11/
PnPs/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, karena UU bertentangan dengan
hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan
ketidakpastian hukum. UU ini dicabut dengan UU No. 26/1999 tentang Pencabutan UU
No. 11/PnPs1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Yang lebih penting lagi
adalah amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yang menyebutkan HAM secara
rinci. Penguatan instrument HAM ini dilanjutkan dengan ratifikasi sejumlah perjanjian
internasional tentang HAM. Pada tahun 2005, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meratifikasi
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dengan UU No.
11 tahun 2005, dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dengan
UU No.12 tahun 2005. Ratifikasi ini dianggap sebagai sebuah peristiwa bersejarah, karena
di era Orde Baru banyak intelektual dan aktivis hak asasi manusia menyarankan pemerintah

23
Lihat Muhammad Yamin (ed.), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I,
(Jakarta: Prapanca, 1959), h. 112-113.

385
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

dan DPR untuk meratifikasi kedua covenan (perjanjian) tersebut, tetapi pemerintah selalu
menolak saran itu.
Dengan legislasi HAM dan ratifikasi tersebut, Indonesia merupakan salah satu
negara di dunia yang memiliki instrumen paling lengkap tentang HAM. Konsekuensinya,
pemerintah berkewajiban untuk pelaksanaan instrumen dengan membuat kebijakan
dan langkah-langkah untuk mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak
asasi manusia. Sejalan dengan hal ini, pemerintah dan DPR wajib untuk mereformasi
peraturan negara yang tidak sesuai dengan HAM. Di samping itu, penegakan HAM juga
menjadi program pemerintah yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Sebagai acuan operasionalnya, pemerintah pun
membuat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) tahun 2004-2009 melalui
PP No. 40/2004 dan RANHAM tahun 2011-2014 melalui PP No. 23/2011.
Namun demikian, ratifikasi tersebut kemudian melahirkan perdebatan mengenai
pelaksanaan perlindungan HAM, terutama tentang universalisme dan pertikularisme
HAM. Kelompok liberal umumnya berpendapat, bahwa Indonesia harus melaksanakan
semua ketentuan HAM yang terdapat dalam kovenan tersebut, tanpa disertai dengan
penyesuaian-penyesuaian dengan konteks Indonesia, karena HAM itu bersifat universal.
Sebagaimana diketahui, bahwa konsep universal HAM yang ada sekarang ini, termasuk
yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian tersebut berasal dari budaya dan peradaban
Barat yang sekuler. Jadi, sangat dimungkinkan dan bahkan dibutuhkan untuk memahami
dan menerapkan HAM dalam konteks masyarakat tertentu yang filosofi dan latar belakang
budayanya tidak sama dengan latar belakang budaya Barat. Seperti kita ketahui, Indonesia
yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama.
Dalam hal lembaga-lembaga politik, Indonesia adalah sekuler, tetapi dalam hal filsafat
negara, Indonesia bukanlah negara sekuler, karena ia mengakui keberadaan agama
dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Oleh karena itu, HAM pun didefiniskan dengan penyesuaian ini, sebagaimana
disebutkan pada pasal 1 UU No. 39/1999 tersebut, yakni seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. UUD 1945 pun telah memberikan acuan tentang penyesaian HAM itu dengan
memberikan pembatasan ekspresi HAM yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal
28 (J) UUD 1945. Pembatasan ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
kebutuhan hanya dengan mengambil moralitas, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum menjadi pertimbangan. Pembatasan ini juga dibenarkan oleh ICCRP, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 18: (3). Pembatasan ini merupakan “margin of appreciation”
dalam pelaksanaan HAM, sebuah konsep yang dimunculkan oleh the European Court of

386
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Human Rights.24 Selain itu, pembatasan itu juga tidak bertentangan dengan demokrasi,
karena demokrasi adalah keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban berdasarkan
aturan hukum (law and order).25
Di antara pembatasan yang sampai kini masih menimbulkan perdebatan adalah
terkait dengan agama. Walaupun kebebasan beragama ini merupakan prinsip universal,
pelaksanaan di Indonesia tidak bisa sepenuhnya sama dengan di negara-negara Barat yang
sekuler. Bahkan di negara-negara Barat pun praktik kebebasan beragama ini tidak sama
antara satu negara dengan negara lainnya. Kebebasan beragama ini terutama meliputi hak
seseorang untuk menentukan agama, hak untuk beribadah, hak untuk memiliki tempat
ibadah, hak untuk berpindah agama, hak untuk bebas dari diskriminasi dan hak untuk men-
dapatkan perlindungan dari penyiksaan. Di negara-negara sekuler kebebasan ini bahkan
mencakup hak untuk tidak beragama, yang kemudian diklaim sebagai standar internasional.26
Yang juga menjadi partikularitas pelaksanaan HAM di Indonesia adalah adanya
konsep kewajiban dasar manusia (KDM), yang dalam wacana internasional disebut human
responsibility (tanggung jawab manusia). KDM, yang secara eksplisit disebutkan dalam
UU HAM tersebut, diartikan sebagai “seperangkat kewajiban yang apabila hak dilaksanakan,
tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia”. KAM ini antara lain
disebutkan dalam pasal 69: (1), yakni “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Sedangkan pasal 69: (2) disebutkan “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan
kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain serta menjadi
tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”.
Bahkan KAM ini juga mencakup juga kewajiban terhadap pembatasan HAM sebagaimana
disebutkan dalam pasal 70, yakni “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-undang dengan maksud
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

24
Lihat Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Margin Apresiasi HAM”, dalam Kompas, March
8, 2011.
25
Penyesuaian tersebut juga didukung oleh negara-negara anggota Organisasi Konferensi
Islam (OKI) dengan lahirnya Cairo Declaration of Human Rights in Islam pada tahun 1990, serta
negara-negara anggota ASEAN dengan lahirnya ASEAN Human Rights Declaration pada tahun
2012 sebagaimana disebutkan di atas.
26
Perlindungan dan penegakan HAM merupakan komitmen dan agenda bersama di era
reformasi ini. Hal ini bisa dilihat dari amendemen terhadap UUD yang memasukkan HAM secara
lebih rinci, dan legislasi UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan ratifikasi sejumlah
instrumen HAM PBB., antara lain International Covenant on Civil and Political Rights dengan
UU No 12/2005. Salah satu dari HAM yang disebutkan dalam Universal Declaration of Human
Rights 1948 (UDHR) dan UUD 1945 adalah kebebasan beragama, yaitu pasal 18 UDHR serta
pasal 28 E (1) dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
387
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pemerintah di era reformasi (1998-sekarang) telah mengakui, menghormati dan


melindungi HAM dan menjadikannya sebagai visi dari semua sektor pembangunan nasional.
Berbeda dengan pemerintah Orde Baru yang sangat membatasi kebebasan, pemerintah
di era reformasi sangat mendukung kebebasan sebagai unsur utama bagi penghormatan
dan perlindungan HAM. Pemerintah menjamin kebebasan berekspresi, termasuk dalam
bentuk kritik, oposisi, demonstrasi dan protes yang ditujukan kepada pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya. Pemerintah juga menjamin kebebasan politik, termasuk
pendirian partai agama yang dilarang di era Orde Baru. Yang lebih penting lagi adalah
selama era ini pemerintah telah melakukan pemilihan umum yang bebas, di mana warga
bisa menentukan pilihan mereka dengan bebas partai politik, calon anggota legislatif,
presiden dan kepala daerah sesuai dengan aspirasi mereka sendiri.
Untuk memperkuat perlindungan HAM, UU tentang HAM tersebut mengamanatkan
pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang sebenarnya sudah
pernah didirikan pada tahun 1993 tetapi belum berfungsi secara efektif. Komisi ini memiliki
tugas: (1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan
Pancasila, UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (2) untuk meningkatkan
perlindungan dan penegakan HAM dalam rangka pengembangan kepribadian masyarakat
Indonesia dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Komisi ini memiliki fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantau dan mediasi
tentang HAM (pasal 76:1). Di samping itu, terdapat juga beberapa lembaga negara non-
struktural yang terkait dengan perlindungan HAM, terutama Komnas Perempuan, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ombudsman. Pemerintah juga mendorong peran
civil society, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam melakukan advokasi
dalam bidang HAM, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KONTRAS),
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan sebagainya.
Kemajuan-kemajuan dalam penegakan HAM tersebut telah mendapatkan apresiasi
dari berbagai pihak, termasuk Dewan HAM PBB (Human Rights Council of the United Nations)
sebagaimana disebutkan dalam laporan Universal Periodic Review tahun 2012 lalu. Di
antara langkah-langkah kongkrit yang dilakukan pemerintah adalah penyelenggaraan
pendidikan atau pelatihan tentang HAM, termasuk bagi anggota militer dan polisi, ratifikasi
instrumen HAM internasional, dukungan kepada aktivitas civil society, penghapusan impunitas
(kekebalan hukuman), revisi hukum pidana, dan sebagainya. 27

Problem Penegakan HAM


Namun di samping kemajuan-kemajuan tersebut, kini juga masih ada sejumlah

27
Lihat National Report submitted in accordance with paragraph 5 of the annex to Human
Rights Council resolution 16/21: Indonesia, presented by the Working Group on the Universal
Periodic Review, Human Rights Council, Geneva, on 21 May-4 June, 2012.
388
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

persoalan tentang HAM yang belum diselesaikan, baik yang merupakan warisan periode
sebelumnya maupun yang muncul pada era reformasi ini. Di antara pelanggaran HAM
masa lalu yang masih dituntut untuk diselesaikan adalah kasus Tanjung Priok pada 1984,
penculikan aktivis pada 1997/1998, penembakan mahasiswa Trisakti, dan sebagainya.
Pada era reformasi ini masih terdapat sejumlah masalah dan tantangan dalam praktik
penegakan dan perlindungan HAM, baik yang bersifat substantif (materiil), struktural
maupun kultural.28 Peraturan perundangan atau kebijakan pemerintah umumnya sudah
tidak bertentangan dengan HAM, karena jika hal ini terjadi, ada upaya-upaya hukum
untuk mengontrolnya, baik lembaga legislatif (DPR/DPRD), judicial review di Mahkamah
Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) maupun melalui lembaga pengadilan biasa.
Hanya saja, terdapat permasalahan terkait dengan konsep kebebasan dan batasan-batasannya,
yang berakibat pada munculnya perbedaan tentang penilaian terhadap pelaksanaan HAM.
Kelompok liberal berpendapat bahwa pembatasan dalam ekspresi kebebasan itu tidak
dapat dibenarkan, tetapi UUD 1945 mengakui pembatasan ini, sebagaimana disebutkan
dalam pasal 28 (J) UUD 1945 yang telah diuraikan di atas.
Pada masa Orde Baru memang perdebatan tentang pembatasan kebebasan ini terjadi
di berbagai hal, baik terkait dengan politik, ekonomi maupun sosial budaya. Namun, di
era reformasi ini, perdebatan serius tentang pembatasan kebebasan ini hanya yang berkaitan
dengan kebebasan beragama, karena ajaran-ajaran agama itu sendiri juga menjadi pedoman
umatnya yang berimplikasi kepada pembatasan untuk tidak melakukan hal-hal yang
dilarang agama. Persoalan ekspresi kebebasan dan ekspresi hak untuk mempertahankan
ajaran agama tersebut bisa menimbulkan ketegangan atau konflik di antara para pemeluk
agama, baik internal maupun antarumat beragama. Oleh karena itu, muncul upaya-upaya
pembatasannya melalui ketentuan perundangan (regulasi) untuk mewujudkan ketertiban
serta menghindari munculnya ketegangan dan konflik dalam masyarakat yang disebabkan
oleh ekspresi kebebasan yang berlebihan. Hanya saja, pembatasan kebebasan ini pun
menimbulkan perdebatan, ada yang mendukungnya dan ada pula yang menolaknya.
Sejumlah kelompok agama dan kelompok liberal tidak setuju terhadap regulasi pembatasan,
dengan alasan bahwa regulasi itu hanya akan membatasi kebebasan beragama, yang
sebenarnya merupakan hak yang tidak bisa dikurangi (non-derogable right). Namun
demikian, negara dan kelompok mayoritas mendukung pembatasan itu melalui peraturan
perundangan, dengan alasan bahwa kebebasan beragama secara individual (forum internum)
memang merupakan hak yang tidak bisa dikurangi (non-derogable right), tetapi ekspresinya
di ranah publik (forum externum) merupakan hak yang bisa dikurangi (derogable right) untuk
melindungi moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. UUD 1945 membenarkan
adanya pembatasan ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana

28
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Lawrence M. Friedman, bahwa penegakan
hukum itu bergantung pada tiga hal, yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.

389
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

disebutkan di atas. Pembatasan semacam ini juga dibenarkan oleh International Covenant
on Civil and Political Rights, yang telah diratifikasi oleh DPR pada tahun 2005.29
Persoalan lainnya adalah kebebasan yang berimplikasi kepada penghinaan atau
penodaan agama. Di Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, tidak ada pemisahan sepenuhnya
antara negara dan agama, dan bahwa tanggung jawab negara terhadap agama tidak
hanya terbatas pada perlindungan kebebasan beragama, tetapi juga pelayanan kepada
para pengikut agama, termasuk perlindungan hak warga negara untuk membela kemurnian
ajaran dan praktik keagamaan mereka. Yang terakhir ini terjadi hanya jika ada penyimpangan
mendasar dari prinsip-prinsip agama diperkenalkan oleh kelompok agama tertentu dan
menyebabkan ketidakharmonisan sosial atau konflik, sebagaimana PNPS No. 1/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pada masa Orde Baru
PNPS tersebut diperkuat menjadi UU No. 5/1969, sementara kertentuan hukumnya dimasukkan
ke dalam KUHP, yakni pasal 156a.
Sejumlah kelompok agama dan aktivis LSM menilai PNPS tersebut sebagai peraturan
perundangan yang tidak sejalan dengan HAM dan konstitusi negara; dan oleh karenanya,
pada tahun 2008 mereka mengajukan judicial review terhadap PNPS No. 1/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun Mahkamah Konstitusi
(MK) menolak usulan uji materiil itu melalui Putusannya No. 140/PUU-VII/2009, dengan
alasan karena PNPS ini tidak membatasi kebebasan beragama, sebagaimana yang diargumen-
tasikan pemohon. Sebaliknya, UU ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat
permusuhan, penodaan agama atau pokok-pokok ajaran agama yang ada di Indonesia.30
Hanya saja, karena PNPS No. 1/1965 itu ditetapkan di masa pemerintahan Orde Lama,
yang notabene tidak demokratis, maka penerapannya harus selektif agar tetap sesuai dengan
koridor sistem demokrasi.
Di samping itu, sejumlah inetelektual Muslim, tokoh liberal dan tokoh agama non-
Islam menganggap Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syari’ah di beberapa provinsi
dan kabupaten/kota berpotensi pada perlakukan diskriminatif dan pelanggaran HAM,
khususnya antara laki-laki dan perempuan serta antara Muslim dan non-Muslim.31 Berdasarkan
alasan inilah, pada tahun 2007 tiga warga Tangerang, yaitu Lilis Maemudah, Tuti Rahmawati,
dan Hesti Prabowo mengajukan uji materi (judicial review) Perda Kota Tangerang No. 8/
2005 tentang Pelarangan Pelacuran ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA menolak

29
Dalam ICCPR pasal 18 ayat (3) disebutkan: “Kebebasan menjalankan dan menentukan
agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum,
dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat,
atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain”.
30
Lihat Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama, hlm. 275.
31
Cf. Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim (ed.), Syariah Islam dan HAM, (Jakarta:
CRSC UNI Jakarta dan Konrad Adenaur Stiftung, 2007), hlm. 218-220.
390
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

permohonan ini, dan menyatakan bahwa Perda itu tidak melanggar peraturan yang lebih
tinggi, HAM dan UUD 1945. Keputusan ini kemudian dijadikan sebagai preseden, bahwa
Perda-Perda serupa di daerah-daerah lainnya pun tetap berlaku. Sebenarnya, sebelum
pengundangan Perda-Perda sebenarnya telah dilakukan upaya-upaya sinkronisasi antara
materi Perda itu dengan hukum nasional agar Perda itu tidak bertentangan dengan sistem
hukum nasional dan HAM.
Adapun problem penegakan HAM yang bersifat struktural terkait dengan penegakan
hukum baik oleh polisi, jaksa maupun hakim, yang secara umum masih belum cukup kuat
dan kadang-kadang bahkan menimbulkan ekses yang melanggar HAM. Dalam beberapa
kasus polisi ditengarai telah melanggar HAM, terutama dalam kasus yang berhubungan
dengan demonstrasi yang dilakukan secara brutal atau dalam kaitan dengan tugas
penanggulangan terorisme. Bahkan dalam sejumlah kasus, polisi hanya diam dan tidak
mampu mencegah tindakan warga yang berpotensi melukai HAM, seperti dalam kasus
konflik komunal atau agama. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya kemampuan
personil dan minimnya peralatan polisi untuk menangani demonstrasi yang dilakukan
secara brutal. Di samping itu, hal ini juga disebabkan oleh sikap ketidakpastian (keragu-
raguan) pihak polisi sendiri jika tindakan yang sebenarnya dimaksudkan untuk pencegahan
itu justru dituduh melanggar HAM. Di sisi lain, Komnas HAM tidak memiliki wewenang
yang kuat dalam penegakan HAM, sehingga kedudukannya hanya mirip tim kajian, tim
pencari fakta atau tim mediasi. Meski demikian, lembaga ini cukup kritis terhadap pelanggaran
HAM yang terjadi, baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun kelompok masyarakat.
Apalagi jika kritik lembaga ini juga diperkuat oleh ormas-ormas besar dan LSM-LSM yang
bergerak dalam penegakan HAM, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan
(KONTRAS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan sebagainya.
Sedangkan tantangan dan problem yang bersifat kultural adalah adanya budaya
hukum yang belum sepenuhnya kondusif bagi penegakan HAM. Tingkat kesadaran hukum
warga Indonesia pada saat ini umumnya masih rendah yang tidak lepas dari tingkat
pendidikan mereka yang rata-rata juga masih rendah. Munculnya sejumlah konflik komunal,
baik yang berlatarbelakang ekonomi, politik maupun sosial menunjukkan hal ini. Demikian
pula, munculmya sikap intoleransi beragama serta perselisihan dan konflik tentang pendirian
rumah ibadah serta masih adanya kekerasan atas nama agama, walaupun jumlahnya
sebenarnya sangat sedikit. Intoleransi itu sebenarnya merupakan ekses dari penggunaan
kebebasan berekspresi yang terlalu bersemangat atau berlebihan, sehingga menimbulkan
persoalan dalam masyarakat, seperti konflik atau perselisihan antarkelompok agama
terutama karena persoalan pendirian rumah ibadah serta protes terhadap penodaan
atau penistaan agama. Di antara kasus-kasus yang telah mendapatkan sorotan dari dunia
internasional adalah kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah serta protes terhadap izin
pendirian rumah ibadah yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, yakni Peraturan
Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006,
seperti kasus pendirian gereja GKI Yasmin Bogor.
391
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Sebenarnya kasus-kasus pendirian rumah ibadah ini tidak hanya terjadi di pulau
Jawa yang beberapa kasus mengalami kesulitan mendirikan gereja, tetapi juga di Bali,
Kupang, Manado, Manokwari dan sebagainya, dimana sebagian pendirian masjid juga
mengalami kesulitan.32 Hanya saja, kasus-kasus di wilayah Timur ini tidak mendapatkan
sorotan dari media nasional dan internasional. Intoleransi agama dan kasus-kasus kesulitan
pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas ini juga terjadi di negara-negara maju
yang selama ini dinilai sudah menegakkan HAM. Hal ini terjadi seiring dengan proses
globalisasi dan menguatnya politik identitas (identity politics) di negara-negara itu. Politik
identitas ini kini tidak hanya diekspresikan sebagai perjuangan kelompok minoritas seperti
ketika istilah ini dimunculkan pada awal 1970-an, tetapi juga diekspresikan oleh sebagian
kelompok mainstream atau mayoritas untuk mempertahankan dominasi identitas mereka
dalam kehidupan masyarakat.
Di samping itu, ada juga problem dan kecenderungan pemahaman keagamaan
dan prilaku sebagian kecil kelompok agama yang bersifat eksklusif dan bahkan radikal,
yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan Islam radikal di luar negeri.33 Di era reformasi,
yang mendukung kebebasan dan demokrasi secara substantif ini, radikalisme telah muncul
sebagai ekspresi kebebasan, baik yang berdasarkan agama, etnis, ekonomi atau motif
lainnya. Mereka telah mengambil keuntungan dari iklim kebebasan yang ada untuk meng-
ekspresikan dan menyebarkan ideologi mereka yang radikal dan ekstrem. Kelompok radikal
dan ekstrem itu mengancam perlindungan dan penegakan HAM, karena banyak dari mereka
berperilaku intoleran dan bahkan melakukan kekerasan dan teror terhadap kelompok
lain yang dianggap sebagai musuh. Sebagaimana diatur dalam pasal 28A UUD 1945, bahwa
setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pemerintah dan DPR telah melakukan upaya-upaya serius untuk membatasi dan
memerangi radikalisme dan terorisme bermotif agama melalui pendekatan keamanan
dan pendekatan budaya. Pada tahun 2003 DPR telah menetapkan UU No. 15/2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kemudian pada tahun 2010, pemerintah membentuk
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memperkuat upaya-upaya
memerangi terorisme. Badan ini pun melibatkan tokoh agama dan ulama dalam pelaksanaan
program-programnya, terutama dalam bentuk deradikalisasi dan kontra-radikalisme.

32
Walaupun telah terjadi sejumlah kasus perselisihan tentang pendirian rumah ibadah,
dalam kenyataannya jumlah rumah ibadah untuk kelompok minoritas merupakan terbesar di
dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menunjukkan sebagai berikut: jumlah pemeluk
Islam adalah 207.176.162 orang (87,18 %) dengan jumlah masjid 255.147 (76,42 %) atau
1:812, jumlah pemeluk Kristen Protestan adalah 16.528.513 (6,96 %) dengan jumlah gereja
50.565 (15,15 %) atau 1:327, sedangkan jumlah pemeluk Katolik adalah 6.907.873 (2,91 %)
dengan jumlah gereja 11.191 (3,35 %) atau 1:617.
33
Radikalisme agama disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal (internasional)
terutama ketidakadilan dunia dan persoalan konflik Palestina-Israel dan Perang Afganistan
maupun faktor internal, terutama pemahaman keagamaan yang eksklusif dan literal serta kondisi
suatu negara yang dinilai kurang menunjukkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
392
Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Sejak sekitar 10 tahun terakhir, para tokoh dan organisasi keagamaan, terutama Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah, juga telah melakukan upaya-upaya untuk mencegah dan
membatasi radikalisme agama. Mereka mensosialisasikan pemahaman yang benar tentang
ajaran agama (khususnya Islam), dengan mempromosikan perdamaian dan harmoni sesuai
dengan misi Islam itu sendiri sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmat li al-‘âlamîn).
Mereka juga menjelaskan bahwa perjuangan untuk aspirasi atau protes terhadap setiap
penyimpangan harus dilakukan secara legal dan konstitusional serta melalui cara-cara
yang bijak (hikmah), bukan melalui cara-cara kekerasan dan teror, apalagi jika kekerasan
dan teror yang dilakukan atas nama jihad. Mereka juga mengutuk kekerasan dan teror itu
dan menganggapnya sebagai tindakan yang menodai Islam dan melanggar HAM. Kampanye
tentang Islam rahmat li al-‘âlamîn juga ditujukan kepada pihak non-Muslim, untuk menghindari
kesalahpahaman tentang Islam, terutama setelah serangan WTC pada tahun 2001.

Penutup
Uraian di atas menunjukkan, bahwa sejak awal Islam telah mengakui eksistensi hak
asasi manusia (HAM), karena Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di atas
bumi ini dan menganugerahinya dengan martabat yang tinggi di atas mahluk-mahluk lain.
Islam pun memerintahkan kepada umatnya untuk menghormati dan melindungi harkat
dan martabat manusia itu. Para ulama kemudian merumuskannya dengan konsep maqâshid
al-syarî’ah (tujuan syari’ah), yakni untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang meliputi
keniscayaan (dharûriyyât) dan kebutuhan (hâjiyyât) manusia yang eksistensinya harus
diwujudkan dan dilindungi. Hanya saja, pelaksanaan HAM itu tidak bisa terlepas dari
agama dan budaya suatu masyarakat tertentu, sehingga dalam beberapa kasus pelaksanaan
HAM bersifat partikular dalam rangka penyesuaian ini dan bukan untuk mempertahankan
kekuasaan suatu pemerintahan tertentu.
Meski demikian, pada saat ini masih banyak negara-negara Muslim yang belum
sepenuhnya menegakkan dan melindungi HAM. Sebagai salah satu negara Muslim, seluruh
komponen bangsa Indonesia di era reformasi ini telah berkomitmen untuk melakukan
upaya-upaya perlindungan dan penegakan HAM sejalan dengan penerapan sistem demokrasi
secara substantif, baik dalam bentuk amandemen konstitusi, legislasi tentang HAM, ratifikasi
perjanjian-perjanjian internasional maupun perumusan rencana aksi HAM (RANHAM).
Hanya saja, pada saat ini masih ada sejumlah masalah atau kendala dalam perlindungan
HAM itu yang disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang bersifat substantif, struktural
maupun kultural. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi persoalan,
kendala dan tantangan itu, baik oleh pemerintah, DPR, civil society maupun organisasi-
organisasi keagamaan, terutama melalui peningkatan kapasitas para penegak hukum
serta pendidikan kewarganegaraan yang menekankan pendidikan HAM.

393
MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pustaka Acuan
‘Imarah, Muhammad. Al-Islâm wa Huqûq al-Insân: Darûrât lâ Huqûq. Damaskus: Dar al-
Salam, 2004.
al-Farra’, Abû Ya‘lâ. Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Mesir: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî.
al-Ghazali, Muhammad. Huqûq al-Insân: Ta’âlim al-Islâm wa I’lân al-Umam al-Muttahidah.
Iskandaria: Dar al-Da’wah, 1993.
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I’lâm al-Muwaqqi’în. Beirut: Dar al-Kutub al-”ilmiyyah, 1991.
An-Naim, Abdullah Ahmad. Nahw Tathwîr al-Tasyrî‘ al-Islâmî. Kairo: Sina li Al-Nasyr, 1994.
Barry, Norman P. An Introduction to Modern Political Theory. New York: St. Martin’s Press,
1981.
Becker, Werner. Die Fretheit, die wer Weinem. Munchen-Zurich: R. Riper & Co., Verlag, 1982.
Budiardjo, Miriam. “Hak-hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global” dalam Jurnal Ilmu
Politik, Vol. 10, 1990.
Esposito, John L., dan James P. Piscatori, “Democratization and Islam”, dalam Middle
East Journal, Vol. 45, No. 3, 1991.
Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb. ‘Ilm Ushûl Fiqh. Kuwait : Dâr al-Qalam, cet. 12, 1978.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 2003.
Mawdudi, Abul A’la. Human Rights in Islam. Leicester: The Islamic Foundation, 1976.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda. “Margin Apresiasi HAM”, dalam Kompas, March 8, 2011.
Pollis, Adamantia. “Human Rights”, dalam Mary Hawkesworth dan Maurice Kogan (ed.),
Encyclopedia of Government and Politics, Vol. 2. London dan New York: Routledge, 1992.
Rahman, Fazlur. “Non-Muslim Minority on an Islamic State”, dalam Journal Institute of
Muslim Minority Affairs, Vol. 7 No. 1, 1986.
Sâbiq, Al-Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Jilid II. Beirut : Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1987.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : UI-
Press, 1990.
Syaltut, Mahmud. Al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah. Kairo: Dar al-Qalam, 1966.
Yamin, Muhammad (ed.), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I. Jakarta:
Prapanca, 1959.

394

Anda mungkin juga menyukai