Anda di halaman 1dari 97

BUKTI KUITANSI DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TANAH

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Mia Henika Putri


NIM 11140480000031

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H /2018 M

i
ABSTRAK

Mia Henika Putri. NIM 11140480000031. BUKTI KUITANSI DALAM


TRANSAKSI JUAL BELI TANAH (Analisis Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 673 PK/Pdt/2012. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum
Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 1439 H / 2018 M. Isi: xi + 63 halaman + 27 halaman
lampiran + 3 halaman daftar pustaka.
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai bukti kuitansi
dalam transaksi jual beli tanah dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
673/PK/Pdt/2012 apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dan untuk mengetahui penerapan dan pertimbangan hakim dalam
memutus perkara pada kasus ini. Penelitian ini bertujuan agar setiap orang yang
melakukan suatu perbuatan pemindahan hak baik itu jual beli atau peralihan hak
yang lainnya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana Hukum
Tanah Indonesia mengaturnya. Adanya akta otentik merupakan salah satu syarat
yang harus terpenuhi dalam proses terjadinya jual beli tanah sebagaimana yang
dimaksud oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah. Hal ini dilakukan agar terciptanya kepastian hukum dan mencegah
terjadinya sengketa atas tanah dikemudian hari oleh pihak ketiga.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan bersifat yuridis normatif.
Yuridis normatif adalah yang mana peneliti mengacu pada norma-norma hukum
yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat ahli, makalah-
makalah, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan pembuktian dalam sebuah
perkara.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim dalam Putusan
Nomor 673/PK/Pdt/2012 telah sesuai dalam menerapkan hukum adat atas jual beli
tanah sengketa di dalam pertimbangan putusannya. Hakim mengesahkan jual beli
yang dilakukan oleh Jaswar karena terdapat asas terang dan tunai dalam perbuatan
hukumnya walaupun bukti kepemilikan Jaswar yang dijadikan alat bukti di
pengadilan atas tanah sengketa hanyalah kuitansi dari setiap cicilan
pembayarannya. Hal ini berarti jual beli dengan bukti kuitansi tetaplah sah karena
sudah terpenuhinya syarat sah jual beli menurut hukum adat maupun UUPA dan
menandakan bahwa bukti kuitansi yang merupakan surat di bawah tangan juga
memiliki kekuatan pembuktian walaupun tidak sesempurna akta otentik.

Kata Kunci : Alat Bukti, Kuitansi, Transaksi Jual Beli Tanah,

Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, SH, M. Hum

Daftar Pustaka : Tahun 1971 sampai Tahun 2013

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “BUKTI KUITANSI DALAM
TRANSAKSI JUAL BELI TANAH (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor:
673 PK/Pdt/2012)” dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa
kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya penyusunan skripsi ini bukan merupakan


satu hasil dari usaha segelintir orang, karena manusia adalah makhluk sosial
dimana keberhasilan manusia tidak pernah lepas dari bantuan orang lain. Hal ini
tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala ketulusan, kerendahan
hati dan penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat,S.H., M.H., ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya demi terselesainya skripsi peneliti.
4. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum (Alm), Dosen pembimbing akademik yang
begitu sabar membimbing dan menyemangati peneliti sejak awal perkuliahan,
serta Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH sebagai dosen pembimbing
akademik pengganti yang juga turut membantu dalam terselesainya skripsi ini.
5. Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vi
yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk
peneliti mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Zulhendri dan Ibunda Yeniwarti yang
selalu mencurahkan doa dan memberikan motivasi serta dukungan terbaiknya
selama ini. Terimakasih juga kepada Abang dan Adikku Ziko Medri Saputra
dan Muhammad Rizky Zulny yang selalu menghibur disaat suka maupun
duka. Terima kasih untuk segala doa, curahan dan kasih sayang yang tulus
serta dukungan materiil maupun immateriil yang kalian berikan. Semoga
Peneliti dapat selalu membahagiakan dan membanggakan keluarga serta selalu
dalam ridho Allah SWT.
7. Sahabat-sahabat tersayang, Tina Deviana, Rizko, Kerina, Mutia, dan Bibah
yang selalu mendengar keluh dan kesah peneliti serta Dhaifina, Dalilah,
Marifa, Farah, Vira, Nia, Azhari, Ojo, dan Berlyyana, terimakasih telah hadir
selama 4 tahun ini mengarungi pahit manisnya bangku perkuliahan. Terkhusus
untuk Fajar M. Juanda yang selalu ada di masa-masa sulit peneliti.
Terimakasih untuk doa dan dukungan yang kalian berikan. Semoga kalian
selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
8. Seluruh civitas Ilmu Hukum 2014 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Teman-teman KKN 58 MAURA, terimakasih telah memberi warna dan
kenangan yang terukir selama satu bulan penuh terkhusus untuk Thoyibah Nur
Fitri (Otoy) yang sudah sangat baik memberikan dukungan kepada peneliti
hingga terselesainya skripsi ini.
Demikian peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 7 September 2018

Peneliti

Mia Henika Putri

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... ii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii

ABSTRAK ..................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .............. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 6

D. Metode Penelitian ................................................................ 7

E. Sistematika Penulisan ........................................................... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................ 12

A. Kerangka Konseptual ............................................................ 12

B. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli ........................................ 14

C. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian .................................. 18

D. Tinjauan (Review) Terdahulu ............................................... 28

BAB III DATA PENELITIAN ............................................................... 30

A. Profil Tanah Perkara ............................................................. 30


B. Posisi Kasus .......................................................................... 31

BAB IV ANALISA DATA PENELITIAN ............................................ 39

A. Keabsahan Transaksi Jual Beli Tanah Dengan


Bukti Kuitansi ....................................................................... 39

viii
B. Kekuatan Alat Bukti Kuitansi dalam Jual Beli Tanah .......... 42
C. Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Nomor
673/PK/Pdt/2012 ................................................................... 43

BAB V PENUTUP ................................................................................. 57

A. Kesimpulan ........................................................................... 57
B. Rekomendasi ......................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 59

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Negara Indonesia merupakan Negara agraris yang memiliki sumber
daya alam dan wilayah yang cukup luas. Salah satu sumber daya alam
terpenting yang bergantung pada kehidupan manusia adalah tanah. Dalam
kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak akan akan terlepas dari segala
tindak tanduk manusia itu sendiri,1 sehingga hubungan manusia dengan tanah
sejak dulu memiliki keterkaitan yang erat. Karenanya tanah sangat
dibutuhkan oleh setiap masyarakat baik sekarang maupun dimasa yang akan
datang. Untuk itu keberadaan tanah dalam kehidupan manusia tidak akan
terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri karena hubungannya
yang sangat erat dan saling berkaitan satu sama lain.
Di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Perkataan „dikuasai
oleh Negara‟ dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tersebut sering
menimbulkan salah pengertian, karena banyak orang yang menganggap
bahwa berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut semua tanah di Indonesia
dimiliki oleh Negara, sedangkan kenyataannya Negara hanya menguasai
tetapi tidak memiliki hak milik atas tanah tersebut.
Hak milik menurut Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan
bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah. Arti turun temurun menunjukkan bahwa hak
tersebut dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup, dan jika ia
meninggal dunia maka hak tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

1
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013, Edisi 1, Cetakan 5), h. 31.

1
2

Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) terdapat juga peraturan
tentang hak atau kewenangan yang diberikan kepada seseorang yang
mempergunakan atau mengambil manfaat atas suatu tanah melalui jual beli,
hibah, tukar-menukar, dan hibah wasiat. Dalam permasalahan yang terkait
dengan penelitian ini, pembahasan akan difokuskan ke dalam lingkup jual
beli tanah. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain
untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.2 Selanjutnya Pasal 1457
KUH Perdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yanrg satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain (pembeli) untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.
Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan
pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti
perbuatan pemidahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat
yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya
perbuatan pemindahan hak tersebut. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan
pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak.3
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah bahwa setiap peralihan hak atas tanah baik itu jual beli
ataupun peralihan hak lainnya harus dibuktikan dengan akta yang yang dibuat
oleh Pejabat yang berwenang untuk dapat didaftarkan di Kantor Badan
Pertanahan dan demi terciptanya kepastian hukum bagi para pemegang hak.
Apabila terjadi peralihan hak atas tanah seperti jual beli, maka tanah
harus didaftarkan dan yang wajib mendaftarkan adalah Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Pelaksanaan pendaftaran dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan. Hal ini dilakukan agar seseorang memperoleh sertifikat tanah
sebagai alat bukti. Namun kenyataannya dalam kasus yang peneliti bahas,
2
Gunawan Widjaja, Kartini Muldjadi, Seri Hukum Perikatan Jual Beli , (Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 11.
3
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya…, h. 72.
3

masih ada praktek jual beli tanah yang belum bersertifkat. Terlebih jual beli
tersebut hanya bermodalkan kuitansi atas pembayaran tanah yang dibeli dari
pihak penjual sebagai tanda bahwa tanah tersebut sudah beralih kepada
pembeli. Yang menjadi pertanyaan peneliti adalah bagaimana keabsahan
kuitansi dalam jual beli seperti ini? Apakah dengan adanya kuitansi dan tanpa
dibuatkan akta jual beli oleh PPAT jual beli tersebut dapat dikatakan sah
menurut peraturan yang berlaku? Lalu bagaimana kepastian hukum dari si
pembeli yang hanya memiliki bukti kuitansi atas tanah yang sudah dibelinya?
Dalam konteks ini bukan berarti setiap jual beli yang tidak dilakukan
di hadapan Pejabat tidak sah, melainkan tetap sah karena UUPA berlandaskan
pada Hukum Adat yang mana dalam Hukum Adat sistem yang dipakai adalah
sistem yang nyata/konkret/riil. Tetapi apabila kita berbicara mengenai
kepastian hukum dari jual beli yang dilakukan bukan dihadapan PPAT,
tentulah yang sesuai dengan prosedur dan mempunyai akta otentik lebih kuat
daripada yang tidak sesuai prosedur undang-undang apalagi jual beli tersebut
dibuat di bawah tangan dengan bukti kuitansi sebagai tanda tanah tersebut
sudah dibeli dan beralih ke pihak lain.
Pada transaksi jual beli tanah, hak milik yang bersangkutan beralih
karena penyerahan tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya oleh
penjual kepada pembeli yang pada saat itu juga menyerahkan harganya
kepada penjual. Apabila sudah terjadi kesepakatan antara penjual dan
pembeli, maka akan disepakati harga yang akan dibayarkan, kemudian
dilakukan penyerahan terhadap hak atas tanah yang diperjualbelikan oleh para
pihak yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan pengalihan hak milik dari
yang semula ada ditangan penjual, lalu beralih ke tangan pembeli. Akan
tetapi, sering terjadi persoalan yang berujung ke arah persengketaan, dimana
tanah yang akan diperjualbelikan ternyata tidak hanya milik satu orang saja
sebagai pihak penjual, melainkan milik lebih dari satu orang. Kaitannya
dengan hal tersebut, maka tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan tanah
warisan.
4

Tanah warisan yang akan diperjualbelikan tentu memiliki konsekuensi


dengan para ahli warisnya yakni bahwa setiap ahli waris berhak atas
kepemilikan tanah tersebut. Terlebih apabila tanah warisan tersebut masih
bagian yang tidak terpisahkan dari tanah milik adat atau dalam artian tanah
tersebut belum dipecah secara resmi sesuai hak masing-masing ahli waris.
Ketika ada salah satu ahli waris menjual tanah warisan tersebut dan telah
terjadi kesepakatan antara pihak penjual tanah warisan dengan pihak
pembelinya. Namun, setelah tanah dijual dan dibayar oleh pembeli secara sah
dihadapan saksi, ada ahli waris lain yang mengklaim bahwa tanah yang
diperjualbelikan merupakan hak nya dan mempersengketakan tanah tersebut
walaupun sudah ada bukti yang menunjukkan bahwa jual beli tersebut sudah
dialihkan ke pihak pembeli.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012 pada pokoknya
menggambarkan bahwa tanah warisan yang sudah dibeli oleh Penggugat itu
tidak dinyatakan sah oleh ahli waris lainnya dikarenakan Penggugat tidak
memiliki bukti otentik yang menyatakan bahwa tanah tersebut telah terjual
dan menjadi milik Penggugat karena pada saat itu jual beli hanya dilakukan
antara para pihak saja dan saksi yang turut hadir tanpa dibuatkan akta oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Sehingga Penggugat
hanya memiliki bukti kuitansi sebagai tanda kepemilikan tanah tersebut yang
sudah dialihkan kepada Penggugat dengan cara mencicil. Disamping itu,
karena tanah yang diperjualbelikan tersebut belum dipecah secara resmi, ahli
waris yang lain mengklaim bahwa tanah yang telah dijual merupakan
bagiannya sehingga terjadilah sengketa waris di Pengadilan Agama. Selama
tanah tersebut masih dalam proses upaya hukum, ahli waris yang mengklaim
ternyata telah mengadakan jual beli dengan pihak lain tanpa sepengetahuan
Penggugat dengan disaksikan oleh pejabat yang berwenang sehingga terbitlah
akta jual beli dan sertifikat dari jual beli tanah sengketa tersebut, padahal
bagian dari tanah yang sudah bersertifikat itu sudah dijual dan menjadi milik
Penggugat yang sudah dibayar secara lunas. Merasa tidak terima akhirnya
Penggugat menggugat seluruh ahli waris ke Pengadilan Negeri Tangerang
5

dengan mengajukan beberapa gugatan yang mana perkara tersebut sampai


menempuh upaya hukum terakhir yaitu peninjauan kembali, dan pada
akhirnya dari gugatan yang diajukan Penggugat tersebut, Penggugat berhasil
memenangkan perkara di pengadilan dan mempertahankan tanah yang telah
dibelinya walaupun hanya memiliki bukti kuitansi yang menjadi dasar
kepemilikan tanah Penggugat tersebut.
Dalam konteks ini pembuktian akan sangat penting guna
membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang telah terjadi baik dalam
bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Dari bukti-bukti tersebut ada yang
menghendaki bukti lebih kuat dan ada juga yang kekuatan pembuktiannya
lemah jika dihadapkan di pengadilan. Dalam hal menilai suatu alat bukti,
kedudukan hakim sangat penting, karena dalam proses perkara perdata yang
ditanganinya, hakim bisa menilai dengan baik. Dalam hal alat bukti
khususnya alat bukti surat di bawah tangan seperti halnya kuitansi, hakim
akan dapat menilai untuk memberikan putusan akhir. Barang siapa yang
berhasil membuktikan disertai bukti yang kuat dan mendukungnya, maka
dialah yang akan memenangkan perkara perdata tersebut. Jadi hakim harus
benar-benar yakin tentang penilaiannya terhadap alat bukti yang diajukan
padanya dalam suatu putusan akhir di pengadilan.
Dengan melihat latar belakang tersebut, peneliti sangat tertarik untuk
membahas masalah ini dengan mengambil judul “BUKTI KUITANSI
DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TANAH (Analisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012)”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan yang telah diuraikan dalam latar belakang terdapat
beberapa identifikasi masalah yaitu :
a. Syarat, mekanisme, dan prosedur keabsahan jual beli tanah
b. Jenis-jenis bukti otentik dan non otentik yang harus ada dalam jual
beli tanah.
6

c. Keadaan atau kondisi dimana kekuatan pembuktian alat bukti otentik


dikesampingkan.
d. Kekuatan hukum dari bukti kuitansi (surat di bawah tangan) dalam
transaksi jual beli tanah.
e. Pertimbangan hakim dalam menetapkan bahwa alat bukti kuitansi
dalam transaksi jual beli tanah dapat menang di muka pengadilan.

2. Pembatasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada alat bukti kuitansi
dalam transaksi jual beli tanah yang mengacu pada putusan Mahkamah
Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012.

3. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan-
permasalahan yang diteliti dan untuk mempermudah agar lebih terarah
dan mendalam sesuai sasaran yang ditentukan, maka pembuktian hukum
dari bukti kuitansi dalam transaksi jual beli tanah menjadi permasalahan
utama, sehingga dari permasalahan utama tersebut maka timbul pertanyaan
riset, yaitu:
a. Apakah bukti kuitansi dalam transaksi jual beli tanah sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
b. Bagaimana penerapan dan pertimbangan hakim dalam putusan
Mahkamah Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui tatacara dalam transaksi jual beli tanah yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
b. Untuk mengetahui penerapan dan pertimbangan-pertimbangan yang
dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012.
7

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan hukum di Indonesia terutama dalam ruang lingkup
hukum perdata tentang prosedur dalam transaksi jual beli tanah yang
aman dan memiliki kekuatan hukum apabila terjadi sengketa di
kemudian hari.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang bisa
diaplikasikan langsung dalam kehidupan sehari-hari yang
menekankan bahwa dalam proses pengalihan hak atas tanah karena
jual beli, kita harus berhati-hati dan lebih teliti lagi dalam tiap
prosedur yang dijalankan agar lebih memberikan perlindungan
hukum bagi seluruh pihak yang terlibat. Bukti-bukti kepemilikan
yang terkait dalam transaksi tersebut harus jelas dan nyata demi
lancarnya kepentingan para pihak.

D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach), dimana penelitian ini dilakukan dengan menelaah Undang-
undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani dan kasus nyata yang mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 673 PK/Pdt/2012.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yang
termasuk penelitian hukum normatif, yaitu penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya, yang dibangun berdasarkan objek hukum itu sendiri.4

4
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , (Surabaya :
Bayumedia Publishing, 2005), h. 57.
8

Penelitian hukum normatif merupakan objek kajian yang meliputi


keputusan pengadilan, serta literatur-literatur yang berhubungan dengan
pokok bahasan. Tipe penelitian hukumnya adalah analisis yuridis dari
norma-norma hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan terutama
dalam proses penyelesaian perkara perdata.
3. Data Penelitian dan Bahan Hukum
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan
pustaka.5 Sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Bahkan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, putusan
hakim, dll.6 Bahan hukum Primer dari penelitian ini yaitu:
1) Undang-undang Dasar 1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
5) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
6) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai
7) Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah
8) Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
9) Putusan No. 268/Pdt.G/2008/PN.TNG
10) Putusan No. 95/Pdt/2009/PT.BTN
11) Putusan No. 1324 K/Pdt/2010
12) Putusan No. 673 PK/Pdt/2012

5
Soerjono Soekanto dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2011, cet.XIII, edisi I,), h. 12.
6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2008), h.
181.
9

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang tidak mempunyai


kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait
dengan penelitian berupa buku-buku terkait, artikel dalam
majalah/media elektronik, laporan penelitian/jurnal hukum, makalah
yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan kuliah.7
c. Bahan Tertier (Non Hukum), yaitu bahan hukum yang bersumber
dari literatur diluar hukum yang masih ada kaitannya dengan tema
penelitian, yang kemudian memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder.8 Contohnya seperti
Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan
upaya untuk mencari dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, artikel dan jurnal hukum yang relevan dengan
penelitian agar dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau
untuk memecah suatu masalah.9
5. Teknik Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah semua data dikelompokkan sesuai dengan jenisnya,
setelah semua data dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis melalui
Putusan Nomor : 673 PK/Pdt/2012, selanjutnya diuraikan dalam bentuk
kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis, kemudian dilakukan
pembahasan dan penafsiran yang pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan
untuk menjawab pertanyaan dari masalah penelitian.

7
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003),
h.13-14.
8
Soerjono Soekanto dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011, cet. XIII, edisi I), h. 13.
9
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera,
2009), h. 56.
10

6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif. Peneliti mendapat hubungan variable-variabel sehingga
dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam
penelitian. Prinsip pokok teknik analisis data kualitatif ialah mengolah
dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik,
teratur, terstruktur dan mempunyai makna.
7. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan yang sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika ini merupakan gambaran dari penelitian agar
memudahkan dalam mempelajari seluruh isinya. Penelitian ini dibahas dan
diuraikan menjadi 5 (lima) bab, adapun bab-bab yang dimaksud adalah
sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan memuat secara keseluruhan mengenai latar


belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : Pada bab ini akan dibahas mengenai kerangka
konseptual yang digunakan dalam menjelaskan
mekanisme dan ketentuan umum peralihan hak atas
tanah dan pendaftarannya serta pembuktian dalam
hukum acara perdata yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan terkait dan tinjauan (review) kajian
terdahulu dari penelitian yang akan dibahas.
11

BAB III : Pada bab ini berisikan hasil data penelitian mengenai
profil tanah dan posisi kasus sesuai dengan studi kasus
putusan Mahkamah Agung Nomor 673 PK/Pdt/2012.

BAB IV : Pada bab ini akan dibahas mengenai analisa hasil data
penelitian yang menguraikan penerapan dan dasar
pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor : 673 PK/Pdt/2012.

BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan yang diambil dari uraian /


deskripsi yang menjawab masalah berdasarkan data yang
diperoleh, dan rekomendasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah merupakan pedoman yang lebih konkrit
dari kerangka teori yang berisi definisi operasional yang menjadi pegangan
dalam penulisan skripsi.1 Sumber yang digunakan untuk menentukan definisi
diambil dari peraturan perundang-undangan dan penelitian perpustakaan
sehingga metode yang digunakan adalah metode paraphrase2 yaitu
menjelaskan arti dengan menggunakan kalimat yang lain.
1. Alat Bukti
Alat Bukti adalah alat atau upaya yang diajukan pihak beperkara
yang digunakan hakim sebagai dasar dalam memutus perkara. Dipandang
dari segi pihak yang beperkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang
digunakan untuk meyakinkan hakim di muka sidang pengadilan.
Sedangkan dilihat dari segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat
bukti adalah alat atau upaya yang bisa digunakan hakim untuk memutus
perkara.3
2. Kuitansi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kuitansi adalah surat
bukti penerimaan uang. Kuitansi merupakan suatu surat atau dokumen
yang sering digunakan sebagai tanda bukti bahwa telah terjadinya
transaksi penerimaan sejumlah uang dari pemberi uang kepada penerima
uang, yang dilengkapi dengan beberapa rincian seperti tujuan dari

1
Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 133.
2
Parafrase adalah istilah linguistic yang berarti pengungkapan kembali suatu konsep
dengan cara lain dalam bahasa yang sama, namun tanpa mengubah maknanya. Paraphrase
memberikan kemungkinan kepada sang penulis untuk memberi penekanan yang agak berlainan
dengan penulis asli.
3
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Surabaya: Pustaka Pelajar, 2004), h. 25.

12
13

pembayaran atau transaksi, tempat dan tanggal dimana terjadinya


transaksi tersebut.
3. Transaksi
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bahwa
transaksi adalah persetujuan jual beli (dalam perdagangan) antara dua
pihak, atau bisa juga diartikan sebagai pelunasan pembayaran.
4. Jual Beli
Jual beli merupakan rangkaian kata yang terdiri dari kata jual dan
beli. Kata jual beli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna
yakni persetujuan yang saling mengikat antara penjual yaitu sebagai
pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang
membayar harga barang yang dijual.4 Sedangkan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Pasal 1457 bahwa jual beli adalah suatu
perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan.5
5. Tanah
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan
tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi
sebagai bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan
disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya
mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak-hak penguasaan atas tanah.

4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 478.
5
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006),
h. 366.
14

B. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli


1. Pengertian Jual Beli
Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas
dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai sekarang belum ada
peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah.
Dalam hal jual beli tanah dari bunyi Pasal 1457, Pasal 1458, dan Pasal
1459 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu
perjanjian, dimana satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
tanah dan pihak lainnya berkewajiban untuk membayar harga-harga yang
telah ditentukan.
Berkenaan dengan jual beli tanah, Boedi Harsono menyatakan
bahwa pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa
penyerahan Hak Milik atau penyerahan tanah untuk selama-lamanya oleh
penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan
harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak
milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu termasuk dalam hukum
agraria atau hukum tanah.6 Pengertian jual beli tanah menurut Boedi
Harsono, ruang lingkup objeknya terbatas hanya pada hak milik atas
tanah. Dalam hukum positif, hak atas tanah yang dapat menjadi objek
jual beli tidak hanya terbatas pada Hak Milik saja, namun juga Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, maupun Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun.
Menurut Hukum Adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan
pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti
perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala
adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan
sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut
diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan
hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena
6
Boedi Harsono (Selanjutnya disebut Boedi Harsono II), Undang-undang Pokok Agraria
Sedjarah Penjusunan, Isi, dan Pelaksanaannja, (Djakarta: Jambatan, 1971), h.81.
15

itu, maka tunai berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru
dibayar sebagian.7 Sisa harganya yang menurut kenyataannya belum
dibayar di anggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik atas dasar
perjanjian utang piutang yang di anggap terjadi antara pembeli dan bekas
pemilik setelah jual beli tanah tersebut terjadi.
Perjanjian utang piutang itu tidak ada hubungan hukumnya dengan
jual beli hak atas tanah. Apabila kemudian hari pembeli tidak membayar
sisa harganya, maka bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual
beli. Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut harus dilakukan
menurut hukum perjanjian utang piutang.

2. Syarat-Syarat Sahnya Jual Beli


Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, bahwa syarat sahnya suatu perjanjian adalah di mana pihak
harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagai berikut:
a. Sepakat yang mengikatkan diri.
b. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.

Selain empat komponen diatas, sepatutnya kita juga mengetahui


asas-asas yang terdapat dalam perjanjian, adapun asas-asas hukum dalam
perjanjian tersebut meliputi:
a. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua
belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan
cukup dengan adanya kesepakatan para pihak. Menurut asas ini,
apabila tercapai kesepakatan antara para pihak berarti lahirlah
7
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 211.
16

perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk


memenuhi kesepakatan tersebut.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Landasan hukum pada asas ini terdapat dalam Pasal 1338 Ayat
(1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Frasa “semua perjanjian…” ini berarti adanya
kebebasan dalam membuat perjanjian apapun dan dengan siapa
perjanjian itu dibuat, dengan batasan bahwa selama kebebasan tetap
berada dalam syarat-syarat yang telah ditentukan hukum.
c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sun Servanda)
Asas kepastian hukum merupakan asas yang berkaitan dengan
akibat dari suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1)
KUH Perdata. Hakim ataupun pihak ketiga harus menghormati isi
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap kesepakatan yang telah lahir dari
kedua belah pihak karena perjanjian tersebut berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Selain itu, peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli harus
memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila syarat-syarat yang telah
ditentukan tidak terpenuhi maka akan membawa konsekuensi pada
legalitas jual beli hak atas tanah tersebut. Syarat-syarat jual beli hak atas
tanah terbagi menjadi dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat
materiil jual beli hak atas tanah adalah tertuju pada subyek dan obyek
hak yang akan diperjualbelikan. Pemegang hak atas tanah harus
mempunyai hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanah.
Disamping itu pembeli juga harus memenuhi syarat sebagai pemenang
(subyek) hak dari hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli, sedangkan
yang dimaksud dengan syarat formil dalam jual beli hak atas tanah
17

adalah meliputi formalitas transaksi jual beli tersebut. Formalitas tersebut


meliputi akta yang menjadi bukti perjanjian jual beli serta pejabat yang
berwenang membuat akta tersebut. Dalam rangka pendaftaran
pemindahan hak, maka syarat formil jual beli hak atas tanah harus
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT). Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan
atau dikualifikasikan sebagai akta otentik.
3. Pendaftaran Tanah
Pengertian Pendaftaran Tanah sesuai Pasal (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan
teratur meliputi pengumpulan pengolahan pembukuan dan penyajian
serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan
daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-
hak tertentu yang membebaninya. Data fisik yang dimaksud adalah,
mengenai letak, batas, luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang
didaftar, termasuk mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di
atasnya. Data Yuridis adalah mengenai status hukum bidang tanah dan
satuan rumah susun.
Pendaftaran tanah bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum
dikenal dengan sebutan Rechts Cadaster/ Legal Cadaster.8 Jaminan
kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini
meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan
kepastian objek hak yang mana dari hasil pendaftaran tanah tersebut
menghasilkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.

8
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2010), h.2.
18

C. Tinjauan Umum Hukum Pembuktian


1. Definisi Pembuktian
Pembuktian (Inggris: evidentiary; Belanda: bewijs) berasal dari
kata dasar bukti, yang berarti keterangan nyata; sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum, bukti diartikan sebagai
segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau
ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan,
guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya. Sementara itu,
membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan
sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan.9
Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti
memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu untuk
kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.
R. Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengkataan,10 sedangkan Achmad Ali dan Wiwie Heryani
mendefiniskan pembuktian (dalam hukum acara perdata) dengan batasan
sebagai berikut :
“Upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan
persengketaan mereka atau untuk memberi kepastian tentang
benar terjadinya peristiwa hukum tertentu, dengan menggunakan
alat bukti yang ditentukan hukum, sehingga dapat dihasilkan suatu
penetapan atau putusan oleh pengadilan”11

Dari beberapa macam pengertian pembuktian di atas, maka dapat


dipahami bahwa pembuktian merupakan sekumpulan alat bukti atau hal
lainnya yang bisa dijadikan sebagai alat bukti, yang disampaikan di muka
pengadilan oleh para pihak yang bersengketa dengan tujuan untuk

9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), h.133.
10
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Cetakan ke-17, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), h.1.
11
Achmad Ali & Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta:
Kencana, 2012), h.17
19

meyakinkan hakim bahwa apa yang para pihak dalilkan dalam


persidangan adalah benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Pembuktian tersebut dapat dilakukan kedua belah pihak,
yaitu Penggugat dan Tergugat, yang akan diakhiri dengan kesimpulan
hakim yang selanjutnya dituangkan dalam putusan atau penetapan.
2. Prinsip – Prinsip Dalam Hukum Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan
benar-benar ada atau tidak. Hubungan hukum inilah yang harus
dibuktikan apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu
perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya
yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak,
sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Hakim harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang menjadi
dasar dari landasan penerapan hukum pembuktian tersebut. Prinsip yang
dimaksud antara lain :
a. Pembuktian yang bertujuan untuk mencari kebenaran formil
Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan
diwujudkan hakim ialah kebenaran formil. Pada dasarnya tidak
dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran
materil. Akan tetapi bila kebenaran materil tidak ditemukan, hakim
dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran
formil.12
Dengan demikian, meskipun pembuktian Tergugat dalam
persidangan adalah bohong, tetapi pembuktian tersebut mengikat bagi
hakim. Karena itu, ketika Tergugat mengakui gugatan yang diajukan
kepadanya, maka hakim akan berkesimpulan bahwa gugatan
Penggugat telah terbukti kebenarannya (formil), tanpa harus mencari
kebeneran materil. Tetapi dalam hal ini, hakim dalam peradilan

12
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 498.
20

perdata tidak dilarang untuk menemukan kebenaran materil atau


kebenaran yang sesungguhnya dengan ketentuan bahwa kebenaran
materil itu diperoleh dari landasan alat bukti yang sah menurut
hukum.
b. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila
salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh
terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara
murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan penggugat,
dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan
pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum
yang terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, Jika penggugat
membenarkan dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat,
berarti sudah dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan
penggugat sama sekali tidak benar. Apalagi jika didekati dari ajaran
pasif, meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong
atau berlawanan dengan kebenaran, hakim harus menerima pengakuan
itu sebagai fakta dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim harus
mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan tersebut materi
pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas.13
c. Fakta-fakta yang perlu dibuktikan
Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fakta-fakta yang didalilkan
dalam gugatan Penggugat tidak harus dibuktikan seluruhnya. Fokus
pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum
yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan
dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang
disangkal pihak lawan pada sisi lain.14 Oleh karena itu, terdapat

13
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…, h. 505.
14
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…, h. 508.
21

beberapa fakta atau kondisi tertentu yang menyebabkan suatu fakta


tidak perlu dibuktikan, antara lain :
1) Hukum positif tidak perlu dibuktikan;
2) Fakta-fakta yang telah diketahui umum, tidak perlu dibuktikan;
3) Fakta yang dibantah, tidak perlu dibuktikan;
4) Fakta yang ditemukan dalam proses persidangan, tidak perlu
dibuktikan;
d. Bukti Lawan
Prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberikan
kesempatan yang sama kepada para pihak untuk mengajukan alat
bukti. Dalam hal ini, pihak lawan bisa mengajukan bukti lawan yang
hanya dimungkinkan dalam pemeriksaan perkara yang di dalamnya
terdapat minimal dua pihak, yaitu Penggugat dan Tergugat.
Pasal 1918 KUH Perdata menyatakan :
“Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak,
dengan mana seorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu
kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata
dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah
dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.”

Dengan kata lain, Pasal 1918 KUH Perdata ini memberi hak
kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya
terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang
dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs.
3. Alat – Alat Bukti
a. Definisi Alat Bukti
Salah satu unsur yang terpenting dalam pembuktian adalah
alat bukti. Eksistensi alat bukti di dalam pembuktian sangat penting
karena dengan alat-alat bukti itulah fakta-fakta yang didalilkan
oleh para pihak akan diuji kebenarannya satu sama lain.
22

Alat bukti adalah alat yang digunakan untuk membuktikan


kebenaran hubungan hukum yang dinyatakan baik oleh Penggugat
dan Tergugat15 serta meyakinkan hakim di muka pengadilan.
Alat bukti dalam hukum pembuktian pada dasarnya berbeda
dengan alat bukti pada umumnya. Tidak semua alat bukti yang
ditentukan sebagaimana maksud pasal 164 HIR/284 R.Bg. secara
otomatis bisa dijadikan alat bukti ketika diajukan di dalam
persidangan. Alat-alat bukti yang dimaksud terlebih dahulu harus
memenuhi sejumalah syarat baik itu formil maupun materil. Tidak
semua alat bukti yang telah memenuhi syarat formil dan materil
memiliki nilai atau kekuatan pembuktian, karena dalam penerapan
hukum pembuktian, suatu alat bukti dapat memiliki nilai atau
kekuatan pembuktian jika telah mencapai batas minimal
16
pembuktian.

b. Jenis-Jenis Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya


Dalam Pasal 164 HIR/284 R.Bg. dan Pasal 1866 KUH
Perdata membatasi alat-alat bukti sebagai berikut:
1) Alat Bukti Tertulis
2) Alat Bukti Saksi
3) Persangkaan
4) Pengakuan
5) Sumpah
Dari berbagai macam alat bukti tersebut di atas memiliki
tingkat kekuatan pembuktian masing-masing. Kekuatan
pembuktian yang dimaksud dalam alat bukti adalah kekuatan
pembuktian yang melekat dalam alat bukti yang diajukan oleh para
pihak di pengadilan. Kekuatan pembuktian itu terbagi menjadi dua,

15
Achmad Ali & Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta:
Kencana, 2012), h.73.
16
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2006), h.241.
23

yaitu kekuatan pembuktian yang melekat (kekuatan intrinsik) dan


kekuatan pembuktian yang dipengaruhi oleh suatu keadaan di luar
alat bukti itu (kekuatan ekstrinsik).
Kekuatan pembuktian intrinsik adalah kekuatan pembuktian
karena adanya sifat dari alat bukti itu sendiri atau karena ketentuan
perundang-undangan yang mengaturnya. Sedangkan kekuatan
pembuktian ekstrinsik adalah kekuatan pembuktian yang lahir
dikarenakan kondisi atau faktor tersebut mempengaruhi kekuatan
pembuktian suatu alat bukti.17 Untuk itu, kekuatan pembuktian
suatu alat bukti tentu saja akan mempengaruhi penilaian hakim
terhadap alat bukti yang diajukan. Penilaian hakim terhadap alat
bukti tersebut selanjutnya akan berpengaruh terhadap keputusan
yang nantinya akan diputus oleh hakim.
Berikut akan peneliti uraikan lebih lanjut mengenai jenis-
jenis alat bukti dan kekutan pembuktiannya.
1. Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang
memuat tanda baca tertentu yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati untuk menyampaikan buah pikiran
sesorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.18 Bukti tulisan
atau bukti surat merupakan bukti yang sangat krusial dalam
pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Alat bukti tertulis
ini sengaja dibuat untuk kepentingan pembuktian di kemudian
hari bilamana terjadi sengketa.
Secara garis besar, alat bukti tertulis terdiri atas dua
macam, yaitu akta dan tulisan atau surat-surat lain. Akta ialah
surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan

17
M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press, 2013), h.41.
18
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya, 2010), h. 182-183.
24

bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh


pembuatnya.19 Ada dua macam akta, yaitu akta autentik dan
akta di bawah tangan. Pertama, akta autentik atau akta resmi
berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah suatu akta yang
dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang
menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat
akta tersebut di tempat di mana akta itu dibuat. Pejabat umum
yang dimaksud itu ialah notaris, hakim, pegawai pencatatan
sipil (ambtenaar burgerlijke stand),20 presiden, menteri,
gubernur, bupati, camat, pegawai pencatat nikah, panitera
pengadilan, jurusita, dan sebagainya.21
Berdasarkan undang-undang, suatu akta autentik
atau akta resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna (volledig bewijs). Artinya, jika suatu pihak
mengajukan suatu akta autentik, hakim harus menerimanya dan
menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu sungguh-
sungguh telah terjadi sehingga hakim itu tidak boleh
memerintahkan penambahan pembuktian lagi.22
Kedua adalah akta di bawah tangan, yaitu tiap akta
yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat
umum, yang mana akta itu dibuat dan ditandatangani sendiri
oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika
pihak yang menandatangani surat perjanjian atau akta itu

19
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2012),
h.82.
20
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29, (Jakarta: Intermasa,
2001),h.178.
21
H. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.71.
22
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29, (Jakarta: Intermasa,
2001),h.178-
179.
25

mengakui atau tidak menyangkal tanda tangannya, berarti ia


mengakui atau tidak menyangkal kebenaran semua hal yang
tertulis dalam surat perjanjian tersebut, maka akta di bawah
tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang
sama dengan suatu akta autentik atau akta resmi.
Sebaliknya, jika tanda tangan itu disangkal, pihak
yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk
membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akta
tersebut. Ini merupakan suatu hal yang sebaliknya dari hal yang
berlaku terhadap suatu akta resmi.23 Singkatnya, yang dibebani
beban pembuktian tersebut adalah orang yang akan
mempergunakan akta di bawah tangan tersebut.24
Selain akta autentik atau akta di bawah tangan,
bukti tulisan yang sering dijumpai dalam peradilan perdata juga
meliputi surat biasa atau korespondensi, catatan harian,
register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain.
Tulisan-tulisan atau surat-surat tersebut pada dasarnya
merupakan suatu bukti terhadap siapa yang membuatnya.
Kekuatan pembuktian surat-surat atau tulisan tersebut adalah
sebagai alat bukti bebas. Artinya, hakim tidak harus menerima
atau mempercayai surat-surat atau tulisan tersebut, kecuali
diperkuat oleh alat bukti lainnya.
2. Alat Bukti Saksi
Dalam konteks perdata, jika bukti tulisan dinyatakan
tidak cukup, pembuktian selanjutnya adalah dengan
menggunakan saksi yang dapat membenarkan dan menguatkan
dalil-dalil yang para pihak ajukan di muka persidangan.

23
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29…, h.179.
24
H. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.73.
26

Terlihat jelas bahwa bukti tulisan atau surat-surat lainnya


merupakan hal utama dalam pembuktian perkara perdata
Saksi adalah orang atau pihak yang melihat, mengalami,
atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. 25
Kesaksian para saksi pada prinsipnya dapat dipergunakan
dalam kepentingan apapun, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 1895 KUH Perdata.
3. Persangkaan
Dalam hukum acara perdata, persangkaan-persangkaan
adalah alat bukti yang bersifat pelengkap atau accessory
evidence. Artinya, persangkaan-persangkaan bukanlah alat
bukti yang mandiri. Persangkaan-persangkaan dapat menjadi
alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya. Demikian
juga satu persangkaan saja bukanlah alat bukti.26 Persangkaan-
persangkaan adalah kesimpulan mengenai kenyataan atau
kebenaran tertentu yang diambil berdasarkan undang-undang
atau pendapat hakim tentang suatu peristiwa yang ditanganinya
di pengadilan.
Ketentuan mengenai persangkaan dalam Pasal 173 dan
310 R.Bg hanya mengatur tentang petunjuk bagi hakim dalam
mempergunakan alat bukti persangkaan sebagai pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan. Definisi mengenai
persangkaan sendiri disebutkan secara rinci dalam Pasal 1915
KUH Perdata, yaitu kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-
undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang
terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.

25
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.623.
26
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2012),
h.87.
27

Persangkaan menurut Pasal 1915 KUH Perdata terbagi


menjadi dua, yaitu persangkaan undang-undang dan
persangkaan hakim. Pertama, persangkaan undang-undang
adalah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan
tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-
undang. Kedua, Persangkaan hakim adalah persangkaan yang
berdasar pada kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta
yang terbukti dalam persidangan.
4. Pengakuan
Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR meletakkan
pengakuan pada urutan keempat mengenai alat bukti.
Pengakuan adalah pernyataan yang diberikan oleh salah satu
pihak dalam persidangan bahwa apa yang didalilkan pihak
lawan adalah benar.27 Pengakuan bisa dilakukan secara lisan
atau secara tertulis. Pengakuan yang disampaikan para pihak
langsung di depan hakim akan sangat kuat. Tetapi pengakuan
lewat kuasa hukum juga dibenarkan. Pasal 174 HIR
menyebutkan :

“Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim cukup


menjadi bukti yang memberatkan orang yang mengaku itu,
baik yang diucapkan sendiri maupun dengan bantuan orang
lain yang khusus dikuasakan untuk itu.”

Pasal 1926 KUH Perdata menegaskan bahwa pengakuan


yang telah diucapkan salah satu pihak dalam persidangan tidak
dapat ditarik kembali, kecuali jika terbukti bahwa pengakuan
tersebut dilakukan atau diucapkan akibat suatu kekeliruan
mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
5. Sumpah
Salah satu alat bukti yang tidak terdapat pada
pembuktian perkara di persidangan pada umumnya, kecuali
27
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.722.
28

perkara perdata, adalah alat bukti sumpah. Sumpah sebagai alat


bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan
atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi
keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia
berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan
di muka hakim dalam persidangan dan dilaksanakan di hadapan
pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


1. Penyelesaian Sengketa Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah (Studi Kasus
Putusan No.13/Pdt.G/2007/PN.Padang Kasus Putusan
No.13/Pdt.G/2007/PN.Padang), skripsi ditulis oleh Muhammad Usep
Asnawi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010. Skripsi ini membahas mengenai
penyelesaian sengketa dalam bentuk alat bukti kepemilikan suatu hak
atas tanah berdasarkan studi kasus putusan Pengadilan Negeri Padang.
Perbedaan antara skripsi ini dengan yang akan dibahas oleh peneliti
adalah skripsi ini membahas mengenai permasalahan alat bukti serta
bukti kepemilikan hak atas tanah dalam penyelesaian sengketa tanah
sedangkan peneliti lebih menekankan pada kekuatan alat bukti kuitansi
yang dipermasalahkan dalam transaksi jual beli tanah.
2. Kekuatan Hukum dari Suatu Kuitansi Sebagai Alat Bukti dalam
Perjanjian Utang-Piutang Menurut Hukum Perdata (Studi Kasus
Putusan MA No. 183/K/PDT/2010), skripsi ditulis oleh Erita W.
Sitohang, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan
Sumatera Utara pada tahun 2011. Skripsi ini membahas mengenai
kekuatan hukum dari suatu kuitansi sebagai alat bukti dalam perjanjian
utang-piutang yang mengacu pada Putusan Mahkamah Agung No.
183/K/PDT/2010.
Perbedaan antara skripsi ini dengan yang akan diteliti oleh peneliti,
dimana skripsi ini membahas kekuatan hukum alat bukti kuitansi dalam
29

konteks perjanjian utang-piutang sedangkan peneliti membahas


mengenai kekutan alat bukti kuitansi dalam transaksi jual beli tanah di
pengadilan.
3. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, oleh Adrian Sutedi,
Penertbit Sinar Grafika, tahun 2013. Buku ini secara garis besar
membahas mengenai peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan
jual tanah dalam hukum adat, jual beli tanah dalam UUPA, penghibahan
tanah, pewarisan tanah dan perwakafan tanah serta permasalahan yang
ada dalam peralihan hak atas tanah, demikian juga dengan pendaftaran
tanah. Perbedaan dengan skripsi yang akan peneliti bahas adalah peneliti
hanya membahas mengenai peralihan hak atas tanah karena peristiwa jual
beli, tidak untuk penghibahan tanah atau pewarisan tanah yang turut di
bahas dalam buku ini. Pembahasan skripsi penulis juga akan terfokus
pada kasus sengketa perdata pengadilan yang sudah incracht sesuai
dengan Putusan Nomor: 673 PK/Pdt/2012.
4. Kajian Kepastian Hukum Pasal 26 Ayat (1) UUPA Dalam Transaksi Jual
Beli Hak Atas Tanah Bagi Para Pihak, jurnal ditulis oleh Istijab, Fakultas
Hukum, Universitas Merdeka Pasuruan tahun 2017. Jurnal ini membahas
mengenai perlindungan dan kepastian hukum dari suatu transaksi jual
beli tanah yang dilakukan di depan PPAT.
Perbedaan antara jurnal ini dengan yang akan dibahas oleh peneliti,
dimana jurnal ini lebih menekankan pada perlindungan dan kepastian
hukum para pihak dari suatu transaksi jual beli tanah yang dikaji
berdasarkan Pasal 26 Ayat (1) UUPA sedangkan peneliti lebih fokus
terhadap pembahasan mengenai alat bukti kuitansi dalam transaksi jual
beli tanah di pengadilan.
BAB III
DATA PENELITIAN

A. Profil Tanah Perkara


Pada sekira tahun 2001, Jaswar telah bertemu dengan tiga orang dari
Ahli Waris Nahlan Bin H.Nipan yang menawarkan untuk membeli sebidang
tanah kosong milik adat seluas 130 m2 yang terletak di Jl. Ir. H. Juanda
RT.01/01 Kelurahan Rempoa Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang,
dengan batas-batas:
- Utara berbatas dengan tanah H. Nipan
- Selatan berbatas dengan tanah H. Itra Suhadi
- Barat berbatas dengan tanah H. Nipan
- Timur berbatas dengan jalan Ir. H. Juanda
Pengertian tanah milik adat atau biasa disebut dengan tanah girik
merupakan tanah adat atau tanah-tanah yang belum dikonversi menjadi salah
satu tanah dengan hak tertentu (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
atau Hak Guna Usaha) dan belum didaftarkan atau disertifikatkan pada
Kantor Pertanahan setempat.1
Tanah sengketa merupakan bagian warisan Alm. Nahlan Bin H. Nipan
Bin Idjin yang belum dipecah secara resmi karena masih merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari tanah milik adat sebagaimana yang dimaksud
dalam Buku C Desa Rempoa Nomor C 36 Persil No.29 D.I Blok 014 Register
040 atas nama Nipan Bin Idjin, yang memiliki luas asal 3.120 m2 dimana
beberapa bagian lainnya juga telah dialihkan kepada pihak lain, sehingga
pada peta rincian Pajak Bumi dan Bangunan tersisa seluas 2.168 m2 dengan
batas-batas sebagai berikut:
- Utara berbatas dengan tanah Selly Susanto dan Eko Lindawati
- Timur berbatas dengan Jalan Ir. H. Juanda;
- Barat berbatas dengan tanah H.M Nasan;
- Selatan berbatas dengan tanah H.M Itra Suhadi.

1
Pengertian tanah milik adat diakses pada tanggal 10 September 2018 dari
http://www.hukumonline.com

30
31

B. Posisi Kasus
1. Para Pihak Berperkara
Para pihak yang terlibat dalam perkara putusan Mahkamah Agung Nomor
673/PK/Pdt/2012 adalah sebagai berikut:
a. JASWAR CHATIB, dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri selaku
pembeli tanah dari Pihak Ahli Waris Nahlan berdasarkan Girik Persil
Nomor C 36 No.29 D.I Blok 014 Register 040 atas nama Nipan Bin
Idjin seluas 2.186 m2.
b. REZA RHENALDI SYAIFUL dan DEWI MONITA, dalam hal ini
bertindak untuk diri sendiri selaku pembeli tanah dari pihak Ahli Waris
Nasan berdasarkan Girik Persil Nomor 29 Blok D1 Kohir Nomor C.655
seluas 1.438 m2 .
c. Para Ahli Waris dari NIPAN BIN IDJIN

(Alm) NIPAN BIN IDJIN

(Alm) NAHLAN (Alm) H.M. NASAN


BH.NIPANN HMUHAMMAD

NASROH Hj. NINIH

DIDING Hj. ANIH

NAHLIA Hj. UNAH

NANI SURYANI ZAENAL

SOFIAN SYARIFUDDIN

ETIK REMPHY FAHLEFI

TEDY IDA FARIDA


32

IWAN EVI TANTI


BH.NIPANN
.
DETY ENDANG. S

KIKI LISDIANA

DEWI INDAH. D

BUDI FABRIZAL

FERDY RIDYA. S

d. H. ABDILAH, bertindak sebagai Lurah


e. PEMERINTAH R.I. cq. KEPALA DESA REMPOA
f. Drs. YAYAT SUDRAJAT M.M, bertindak sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah
g. PEMERINTAH R.I. cq. KEPALA KANTOR PERTANAHAN
KABUPATEN TANGERANG
h. PT. PERTAMINA (Persero)

2. Duduk Perkara
Perkara dalam kasus ini pada pokoknya menjelaskan bahwa pada
sekira tahun 2001, Jaswar Chatib (Penggugat) bertemu dengan Nasroh
(Tergugat 1), Alm Nurasyid (Tergugat III) dan NANI SURYANI
(Tergugat V), yang menawarkan untuk membeli sebidang tanah kosong
milik adat seluas 130 m2 yang terletak di Jalan Ir.H.Juanda RT 01/01
Kelurahan Rempoa, Kecamatan Ciputat, Tangerang yang selanjutnya
disebut tanah perkara. Tanah perkara merupakan warisan untuk ahli waris
Alm. NAHLAN Bin H.NIPAN Bin IDJIN seluas 700 m2 yang belum
dipecah secara resmi, karenanya masih bagian tidak terpisahkan dari tanah
33

milik adat sebagaimana dimaksud dalam girik nomor C 36 Persil No.29


D.I Blok 014 Register 040 a.n NIPAN Bin IDJIN, yang memiliki luas asal
3.120 m2, dimana beberapa bagian lainnya juga telah dialihkan kepada
pihak lain sehingga pada peta rincian Pajak Bumi dan Bangunan tersisa
seluas 2.168 m2, dengan batas-batas sebagai berikut:
- Utara berbatas dengan tanah Selly Susanto dan Eko Lindawaty;
- Timur berbatas dengan Jalan Ir. H. Juanda;
- Barat berbatas dengan tanah H.M Nasan;
- Selatan berbatas dengan tanah H.M Itra Suhadi.
Tergugat I, III, dan V menjelaskan kepada Penggugat bahwa tanah
dalam girik Nomor C 36 Persil Nomor 29 adalah harta warisan dari Alm.
H.NIPAN bin IDJIN, yang semasa hidupnya memiliki dua orang anak
yang bernama Alm. H.M.NASAN Bin H.NIPAN dan Alm. NAHLAN Bin
H.NIPAN. Tergugat I, III, dan V mendalihkan bahwa uang pembelian
tanah perkara dari Penggugat dimaksudkan untuk biaya pengurusan
pembagian warisan dan atau untuk keperluan-keperluan keluarga lainnya,
sehingga disepakati pembelian tanah perkara dibayar oleh Penggugat
secara mencicil. Penggugat pun mengecek kebenaran kepada H. Abdilah
H.S (Tergugat XXII) dengan cara melihat langsung buku C Desa Rempoa
dan mendengarkan penjelasan Tergugat XXII yang pada pokoknya
membenarkan bahwa tanah perkara adalah bagian tidak terpisahkan dari
tanah milik adat.
Selanjutnya sejak tanggal 28 Maret 2001, Tergugat III mulai
mengambil dan menerima pembayaran pembelian tanah perkara dari
Penggugat secara cicilan untuk membiayai pengurusan dan penyelesaian
surat tanah dan pemecahan waris dengan kesepakatan harga seluruhnya
Rp. 178.000.000, dan selama proses pengurusan surat tersebut Penggugat
diizinkan untuk menempati tanah perkara oleh para ahli waris pengganti
dari Alm. NAHLAN Bin NIPAN, setelah itu Penggugat mulai membangun
toko di atas tanah perkara. Kemudian pada tanggal 13 Juni 2001,
Penggugat dengan Tergugat III kembali menemui Tergugat XXII, serta
34

menyerahkan uang sebesar Rp. 20.000.000 yang merupakan sebagian


biaya pembuatan akta pembagian waris tanah a.n NIPAN Bin IDJIN
sekaligus pembuatan akta jual beli tanah perkara dari ahli waris Alm.
NAHLAN Bin NIPAN kepada Penggugat.
Tergugat XXII pada waktu itu menyanggupi untuk menyelesaikan
akta tersebut dalam waktu kurang lebih satu bulan dengan biaya Rp.
35.000.000, dimana sisa biaya pembuatan akta sebesar Rp. 15.000.000
akan dibayar oleh Penggugat melalui Tergugat III setelah surat selesai
dibuat. Akan tetapi Tergugat XXII tidak memenuhi janjinya untuk
menyelesaikan akta tersebut pada waktunya dengan alasan tanah milik
adat atas nama H. NIPAN Bin IDJIN No. C 36 Persil 29 D.I telah diklaim
oleh ahli waris Alm. H. MUHAMAD NASAN Bin H. NIPAN berdasarkan
No. C 655 Persil No. 29 D.I atas nama Alm. H. MUHAMAD NASAN,
padahal bangunan toko milik Penggugat di atas tanah perkara, telah
mendapat persetujuan dari Endang Setiawan (Tergugat XV) yang
bertindak untuk dan atas nama ahli waris H. NASAN Bin H. NIPAN.
Atas saran Tergugat XXII, kemudian ahli waris dari Alm. NAHLAN
Bin H. NIPAN mengajukan gugatan terhadap ahli waris Alm. H. M.
NASAN Bin H. NIPAN di Pengadilan Agama Tigaraksa dengan register
perkara No. 246/Pdt/2002/PA.Tgrs jo No. 30/Pdt.G/2004/PTA.Bdg jo No.
183 K/AG/2006.
Kesanggupan Penggugat untuk melanjutkan proses jual beli tanah
perkara, dilandasi keyakinan berdasarkan data yang ada bahwa benar tanah
perkara adalah bagian harta warisan tanah milik adat atas nama H. NIPAN
Bin H. IDJIN yang belum dibagi, sesuai Buku C Desa Renpoa No. C 36
Persil No. 29 D.I Blok 014 Register 040 yang dikuatkan dengan surat
keterangan tanah lainnya.
Lebih lanjut ketika perkara antara ahli waris Alm. NAHLAN Bin
H.NIPAN melawan ahli waris Alm. H.M.NASAN Bin NIPAN masih
dalam proses upaya hukum, seluruh ahli waris Alm. H.M. NASAN Bin
NIPAN pada tanggal 20 September 2002 telah mengadakan jual beli
35

dengan Reza Rhenaldi Syaiful (Tergugat XX) dan Dewi Monita (Tergugat
XXI) di hadapan Drs.Yayat Sudrajat (Tergugat XXVI) selaku PPAT, atas
tanah seluar 1.438 m2 yang terletak di Desa Rempoa Kecamatan Ciputat
Kabupaten Tangerang berdasarkan Girik C. 655 Blok D.I Persil No.29 atas
nama Alm. H. M. NASAN dimana pada saat itu H. Abdillah H.S
(Tergugat XXII) turut menandatanganinya sebagai saksi dalam jual beli
tersebut.
Akta Jual Beli No. 1304/CIPUTAT/2002 tanggal 20 September 2002
yang dibuat Tergugat XXIV tersebut dilampiri dengan surat keterangan
waris yang tak bernomor, surat keterangan sketsa tanah tak bergambar dan
tak bernomor, surat pernyataan tanah atas nama Alm. H.M.NASAN tanpa
mencantumkan batas-batas tanah, surat pernyataan dari Zaenal (Tergugat
X) yang menyatakan bahwa tanah Persil No.29 D.I Girik C 655 belum
memiliki sertifikat, dan surat keterangan riwayat tanah nomor 590/49/2002
tanggal 25 September 2002 yang dibuat dan ditandatangani oleh
H.Abdilah H.S (Tergugat XXIII) yang menerangkan bahwa girik C 655
sedang tidak dalam sengketa.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
214/Pid.B/2005/PN.TNG tanggal 27 April 2005 yang telah berkekuatan
hukum tetap, H. Abdilah H.S (Tergugat XXIII) telah dijatuhi hukuman
karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan Surat
Keterangan Riwayat Tanah Nomor 590/49/2002 tanggal 25 September
2002, dimana tanah perkara terletak di dalamnya.
Akibat adanya surat tersebut, telah memicu tindakan anarkis yang
dilakukan oleh beberapa ahli waris dari Alm. H.M. NASAN terhadap
bangunan toko milik Penggugat di atas tanah perkara dengan melakukan
perusakan dan merobohkan bangunan pada bulan November 2003,
sehingga Penggugat mengalami kerugian sebesar Rp.85.000.000 dan
karena perbuatannya para ahli waris Alm. H.M NASAN tersebut dijatuhi
pidana penjara selama dua bulan dan masa percobaan empat bulan oleh
36

Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1020/Pid.B/2004/PN.TNG tanggal


24 November 2004.
Disamping itu, Penggugat tetap berusaha mempertahankan hak dan
kepentingannya atas tanah perkara yang sampai saat ini telah lunas
pembayarannya yaitu dengan cara memagarinya dengan pagar kawat tetapi
upaya tersebut secara sepihak kembali dirusak oleh Zaenal (Tergugat X)
dan Remphy Fahlefi (Tergugat XII) selaku ahli waris dari Alm. H.M.
NASAN.
Pada tanggal 25 Juni 2004, tanpa sepengetahuan Penggugat, Kantor
BPN Kabupaten Tangerang (Tergugat XXV) telah menerbitkan Sertifikat
Hak Milik Nomor 04044/Desa Rempoa atas nama Reza Rhenaldi Syaiful
(Tergugat XX) dan Dewi Monita (Tergugat XXI) di atas tanah dimana
tanah perkara yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan daripadanya,
yang saat itu masih dalam sengketa di Pengadilan Agama. Tergugat XX
dan XXI juga telah mendirikan Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU)
Pertamina sejak 2006 di atas tanah tersebut, dimana tepat di atas tanah
perkara terdapat dua unit mesin pompa dengan tangki penampungan bahan
bakar minyak dibawahnya yang menjadi bagian dari SPBU, sehingga dari
penjualan minyak tersebut telah mendatangkan keuntungan bagi Tergugat
yang seharusnya menjadi hak Penggugat atau setidaknya Penggugat
mendapatkan keuntungan dari pemanfaatan tanah perkara selama tanah
perkara masih digunakan untuk pompa bensin dan tidak diserahkan kepada
Penggugat dalam keadaan baik dan kosong.
Bahwa telah terbukti Tergugat-Tergugat baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama bekerja sama melakukan perbuatan melawan
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang
menimbulkan kerugian bagi Penggugat baik moril maupun materil
sehingga Penggugat mengajukan beberapa tuntutan yang pada intinya
meminta hakim agar menyatakan bahwa jual beli yang dilakukan oleh
Penggugat adalah sah tetapi dilain hal justru hakim memutuskan menolak
gugatan penggugat dengan berbagai pertimbangan.
37

Atas kekalahan Penggugat pada putusan Pengadilan Negeri


Tangerang tersebut, Penggugat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi
Banten pada tanggal 28 Mei 2009 yang mana dalam amarnya hakim
mengabulkan permohonan Banding dari Pembanding semula Penggugat
sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 18
Mei 2009 Nomor : 268/Pdt.G/2008/PN.TNG yang dimohonkan banding.
Hakim Pengadilan Tinggi Banten menyatakan bahwa tanah yang sudah
dibeli oleh Penggugat seluas 130 m2 dengan beberapa bukti kuitansi
sebagai bentuk pelunasannya adalah sah karena dilakukan secara terang
dan tunai antara Pembanding semula Penggugat dengan para ahli waris
NAHLAH Bin H. NIPAN.
Pada tanggal 15 Desember 2010 para ahli waris H.M. NASAN Bin
H. NIPAN serta Reza Rheinaldi Syaiful dan Dewi Monita mengajukan
Kasasi ke Mahkamah Agung karena merasa tidak puas dengan hasil
Banding yang diputus oleh hakim. Para pemohon kasasi tersebut
memberikan memori kasasinya dengan mengajukan beberapa keberatan
atas putusan hakim Pengadilan Tinggi Banten yang mana amar dari
putusan Mahkamah Agung tersebut adalah menolak permohanan kasasi
dari para pemohon kasasi dengan berbagai pertimbangan. Mahkamah
Agung berpendapat bahwa Putusan judex facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, oleh karena itu
permohonan kasasi dari pemohon kasasi harus ditolak.
Ketidakpuasan Para Pemohon Kasasi atas putusan hakim Mahkamah
Agung membuat Para Pemohon Kasasi menempuh upaya hukum terakhir
yaitu Peninjauan Kembali dengan perkara Nomor : 673 PK/PDT/2012
yang diputus pada tanggal 20 Mei 2014. Para pemohon peninjauan
kembali yang semula para pemohon kasasi melampirkan bukti-bukti baru
(novum) yang diberitahukan dalam memori peninjauan kembali. Atas
alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung menilai
bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena jika
dihubungkan dengan putusan judex juris dan judex facti dalam perkara a
38

quo ternyata tidak terdapat adanya kekhilafan hakim atau kekeliruran


nyata. Pertimbangan-pertimbangan hakim dinilai cukup tepat dalam
menerapkan hukum, oleh karena itu amar putusan Mahkamah Agung pada
tingkat terakhir ini adalah menolak permohonan peninjauan kembali dari
para pemohon peninjauan kembali, sehingga dalam hal Mahkamah Agung
menolak permohonan peninjauan kembali, maka tetap berlaku putusan
semula yang dimohonkan Peninjauan Kembali.
BAB IV
ANALISA DATA PENELITIAN

A. Keabsahan Transaksi Jual Beli Tanah dengan Bukti Kuitansi


Keabsahan merupakan bahasan yang penting untuk menilai status
kekuasaan apakah sejalan atau sesuai dengan aturan-aturan yang telah
diterima, artinya adanya kekuasan tersebut didasarkan atas sesuatu yang
diterima secara umum sebagai dasar pembenaran. Terlebih apabila seseorang
yang melakukan perbuatan hukum akan diperlukannya nilai keabsahan dari
perbuatan hukum yang telah ia lakukan, seperti salah satu contoh yang
peneliti bahas adalah keabsahan dalam melakukan transaksi jual beli yang
objeknya adalah tanah.
Jual beli tanah adalah suatu perjanjian yang objeknya adalah tanah yang
mana pihak penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas
tanah tersebut ke pihak pembeli dengan membayar harga yang sudah
diperjanjikan sebelumnya. Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut
sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah bahwa perjanjian jual
beli itu hanya “Obligatoir”, artinya jual beli itu belum memindahkan hak
milik, ia baru memberikan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu
memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik
atas barang yang dijual. Sifat ini terlihat jelas dari Pasal 1459 KUH Perdata,
yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah
berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan
(menurut ketentuan-ketentuan yang bersangkutan) seperti adanya akta otentik
(sertifikat) yang telah dibalik nama di Kantor Badan Pertanahan keatas nama
pembeli, sehingga sertifikat yang telah balik nama ke atas nama pembeli
tersebutlah yang menjadi bukti bahwa tanah tersebut sudah dialihkan ke pihak
lain yang dilakukan sesuai peraturan yang berlaku.
Berbeda dengan jual beli menurut hukum tanah nasional yang
bersumber pada hukum adat, dimana apa yang dimaksud dengan jual beli

39
40

bukan merupakan perbuatan hukum yang merupakan perjanjian obligatoir,


yaitu perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau
membayar sesuatu. Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan
hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu :1
1. Harus bersifat tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh
pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
2. Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas obyek
perbuatan hukum.
3. Bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditanda tangani akta pemindahan
hak tersebut, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai
bukti dilakukan perbuatan hukum tersebut.

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa untuk terjadinya jual beli


tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus bersifat final,
baik syarat formil maupun materiilnya, untuk syarat formil biasanya telah
dipenuhinya persyaratan kelengkapan surat-surat yang menjadi bukti hak atas
tanah, sedangkan untuk syarat materil adalah dipenuhinya harga yang telah
ditentukan dari jual beli tersebut yang telah dibayar secara lunas oleh pihak
pembeli. Bilamana pelunasan dari jual beli tersebut belum terpenuhi, maka
perjanjian pengikatan jual beli para pihak lah yang sementara menjadi dasar
terlaksananya jual beli yang belum terpenuhi tersebut.
Dalam hal ini, timbul pertanyaan bagi peneliti bagaimana keabsahan
dari jual beli yang terjadi apabila dalam transaksi jual beli tanah antara pihak
penjual dan pembeli tidak dilakukan di depan pejabat yang berwenang
terlebih apabila jual beli tersebut hanya bermodalkan sebuah kuitansi sebagai
tanda bahwa tanah tersebut sudah beralih ke pihak pembeli sekalipun
disaksikan oleh beberapa saksi termasuk kepala desa tanah setempat. Karena
sejatinya, ketentuan hukum yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5

1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum
Tanah, (Jakarta : Djambatan, 2002), h. 317.
41

Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur


bahwa jual beli tanah seharusnya dilakukan di hadapan PPAT dengan
dibuatkan suata akta jual beli tanah. Setelah proses jual beli dilakukan di
hadapan PPAT, haruslah didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan melalui
akta PPAT untuk dilakukan perubahan atas pemilik baru yang sebenarnya
atas tanah tersebut. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah tersebut, maka
pemilik akan mendapatkan sertifikat tanah dengan namanya tercantum di
sertifikat tersebut sebagai bukti kepemilikan tanah karena dengan
dilakukannya pendaftaran tanah maka terjaminnya kepastian hukum bagi
setiap orang yang memiliki, menguasai, dan memanfaatkan tanah tersebut
atas terbitnya surat tanda bukti hak berupa sertifikat.
Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 (dua) macam asas hukum,2 yaitu :
1. Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak
dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut
hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
2. Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak
melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi
pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar
atas nama siapapun.

Dari ketentuan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa transaksi jual


beli yang dilakukan hanya dengan bukti kuitansi dan disaksikan oleh
sejumlah saksi pada saat transaksi jual beli tersebut berlangsung, dapat
dikatakan sah apabila memenuhi unsur jual beli tanah menurut hukum adat.
Secara tidak langsung jual beli semacam itu statusnya telah mengikat pihak
penjual dan pihak pembeli dan telah terjadinya kesepakatan diantara kedua
belah pihak, akan tetapi perbuatan hukum tersebut tidak dapat didaftarkan di
Kantor Pertanahan untuk melakukan perubahan data kepemilikan atas tanah
dan bangunan tersebut.

2
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar
Grafika,2008), h. 117.
42

B. Kekuatan Alat Bukti Kuitansi dalam Jual Beli Tanah


Sebagaimana yang peneliti ketahui, bahwa kuitansi merupakan suatu
alat bukti di bawah tangan yang pembuktiannya bersifat formil saja, tidak
sempurna seperti akta otentik yang mana pembuktiannya bersifat formil dan
materil. Namun kuitansi ini dapat menjadi sah dan berkekuatan hukum
apabila tanda tangan yang tertera pada kuitansi tersebut diakui secara
langsung oleh para pihak yang terlibat. Kuitansi yang dijadikan pembuktian
dalam persidangan harus bermaterai karena untuk dapat dijadikan alat bukti
kuitansi tersebut harus memenuhi syarat administratif yaitu melunasi Bea
Materai yang terutang apabila kuitansi tersebut belum bermaterai. Hal ini
sesuai dengan Pasal 1 huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai yang menyatakan bahwa surat
perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat perdata, dikenakan Bea Materai sebagai pajak dokumen, walaupun
sebenarnya surat pernyataan akan tetap sah walaupun tidak dibubuhi materai
karena sejatinya semua perjanjian yang dibuat oleh siapapun secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Kuitansi yang memang merupakan surat di bawah tangan apabila
dijadikan bukti kepemilikan sebagai bentuk beralihnya hak atas tanah dalam
jual beli, menurut peneliti statusnya dapat dikatakan lemah untuk
membuktikan telah beralihnya hak atas tanah dari penjual ke si pembeli,
karena kuitansi tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk diajukannya
pendaftaran tanah di Kantor Badan Pertanahan setempat. Hal ini diperkuat
dengan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa “Pemindahan hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dimana pendaftaran
43

hak atas tanah ini menurut ketentuan Pasal 19 Ayat (1) UUPA merupakan
pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan
atas tanah tersebut. Artinya, alat bukti kuitansi disini sangat rentan menjadi
alat bukti sah dalam jual beli tanah, terlebih apabila objek tanah yang
dimaksud terjadi sengketa dikemudian hari oleh pihak ketiga. Walaupun pada
dasarnya bukti kuitansi dalam jual beli tanah tersebut bukan berarti tidak sah,
melainkan tetap sah apabila jual beli tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang
berlaku.

C. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor 673 PK/Pdt/2012


Mempelajari Memori Peninjauan Kembali yang diajukan, bahwa dalam
perkara Nomor 673 PK/Pdt/2012, Para Pemohon Peninjauan Kembali
mengajukan novum (bukti baru) berupa Putusan Kasasi Perkara Pidana
Nomor 281/K/PID/2010 tanggal 29 April 2010 yang amarnya :
- Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
: Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang tersebut,
- Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi kepada Negara.
Dengan dikeluarkannya putusan pada perkara pidana Nomor
281/K/PID/2010, maka Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
63/Pid.B/2009/PN.TNG tanggal 3 September 2009 yang berlaku, sehingga
dengan demikian, putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 63/Pid.B/2009/PN.TNG
tanggal 3 September 2009 memutuskan bahwa Terdakwa Hj. Ninih dan
kawan-kawan (Ahli waris dari Alm. H. Muhammad Nasan) tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, melanggar Pasal 266 ayat (91) KUHP
jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
63/Pid.B/2009/PN.TNG tanggal 3 September 2009 tersebut, pada
pertimbangan hukumnya, tanah yang diperjualbelikan dari beberapa para ahli
waris H. Muhammad Nasan kepada Reza Rhenaldi dan Dewi Monita adalah
44

sesuai dengan Akta Jual Beli Nomor 1304/Ciputat/2002 tanggal 20


September 2002 dihadapan Drs. Yayat Sudrajat, MM sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah persil Nomor 29 Blok D1 Kohir Nomor
C.655 seluas 1.438 m2 di Desa Rempoa, Kecamatan Ciputat, Kabupaten
Tangerang, Provinsi Banten, sedangkan yang merasa dibeli oleh Jaswar
adalah girik C.36 Persil 29 D1 yang tidak sama dengan objek jual beli Nomor
1304/Ciputat/2002 tanggal 20 September 2002 yang dipertegas dengan surat-
surat bukti dan berdasarkan keterangan saksi Abdillah.
Dari bukti tersebut, maka putusan Mahkamah Agung Nomor
673/PK/Pdt/2012 amar putusannya adalah menolak permohonan peninjauan
kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali serta menghukum para
peninjauan kembali untuk membayar biaya perkara. Alasan-alasan yang
diajukan oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali dalam memori peninjauan
kembali tersebut tidak dapat dibenarkan. dengan alasan setelah meneliti
memori Peninjauan Kembali dan kontra memori Peninjauan Kembali
dihubungkan dengan putusan Judex Juris dan Judex Facti dalam perkara a
quo ternyata tidak terdapat adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata
dalam putusan Judex Juris dan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) tidak salah
menerapkan hukum karena pertimbangannya telah tepat. Surat bukti
Pemohon Peninjauan Kembali berupa putusan pidana Nomor 281 K/Pid/2010
tidak bersifat menentukan dalam perkara a quo oleh karenanya alasan
Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Para Pemohon
Peninjauan Kembali Hj. Ninih binti H. Muhammad Nasan bin H. Nipan dan
kawan-kawan tersebut harus ditolak.
Menimbang bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari
Para Pemohon Peninjauan Kembali ditolak, maka Para Pemohon Peninjauan
Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan
peninjauan kembali ini.
45

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti setuju dengan
putusan hakim dalam memutus perkara pada putusan Mahkamah Agung
Nomor 673/PK/Pdt/2012.
Majelis Hakim dalam memberikan keputusan telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
Ketentuan ini merupakan kewajiban normatif bagi hakim untuk
menerapkan hukum adat yang masih hidup dan berkembang dalam
masyarakat di dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata di pengadilan.
Hakim menyatakan bahwa tanah perkara seluas 130 m2 adalah bagian
yang tak terpisahkan dari sebidang tanah milik adat sebagaimana dimaksud
dalam Buku C Desa Rempoa Nomor 36 Persil No. 29 D.I Blok 014 atas nama
Nipan bin Idjin seluas 2.168 m2 yaitu terletak di Jl. Ir. H. Juanda RT.01/01
Desa Rempoa Kecamatan Ciputat Tangerang dengan batas-batas sebagai
berikut:3
- Utara berbatas dengan tanah Selly Susanto dan Eko Lindawaty;
- Timur berbatas dengan Jl. Ir. H. Juanda;
- Barat berbatas dengan tanah H. M. Nasan;
- Selatan berbatas dengan tanah H. M. Itra Suhadi;

3
Putusan Pengadilan Tinggi Banding Nomor 95/Pdt/2009/PT.BTN, (Tangerang,
Pengadilan Tinggi, 2010), h.24.
46

Hakim mendasarkan diri pada hukum baik tertulis ataupun hukum yang
tidak tertulis (hukum adat) sebagai dasar mengabulkan beberapa tuntutan
yang diajukan Jaswar selaku Penggugat di pengadilan pada setiap
pertimbangan putusannya. Dasar hukum tertulis yang dijadikan sebagai dasar
pertimbangan hakim dalam putusan mencakup ketentuan berbagai pasal
perundang-undangan. Adapun dasar hukum tidak tertulis (hukum adat) yaitu
mencakup asas-asas hukum adat. Mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan
bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita
menggunakan konsepsi atau asas-asas Hukum Adat yang telah di-saneer.4
Jual beli yang dilakukan oleh Jaswar denga para ahli waris Nahlan
adalah sah karena dilakukan secara terang dan tunai atas tanah perkara seluas
130 m2 dan merupakan hak milik dari Jaswar. Hal ini selaras dengan asas
hukum adat dimana jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu
perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang
dalam artian jual beli tersebut dilakukan di depan kepala desa sebagai
pengganti PPAT setempat, dimana menurut Pasal 5 huruf (a) Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Kepala desa atau Camat bisa bertindak sebagai
pengganti PPAT Sementara atau PPAT Khusus untuk melayani golongan
masyarakat tertentu, sedangkan tunai ialah pembayaran harga dan penyerahan
haknya di lakukan pada saat yang bersamaan baik itu dibayar lunas ataupun
dibayar sebagian. Terang dan tunai dalam jual beli tanah yang dilakukan
Jaswar sehingga dinyatakan jual beli tersebut sah oleh hakim, membuktikan
bahwa hakim dalam dalam pertimbangan menerapkan prinsip jual beli hukum
adat dimana hukum adat dijadikan sumber hukum oleh hakim sebagai
perintah dari undang-undang nasional karena sejatinya tidak ada undang-
undang yang mengatur secara khusus dan tegas mengenai pemberlakuan
norma dan asas hukum adat.

4
Boedi Harsono (a), Hukum Agraria: Sejarah Pembentukan Isi dan Pelaksanannya,
Jakarta: Djambatan, 1997), h. 235.
47

Bahwa pada kenyataannya, hubungan hukum yang terjadi antara Jaswar


dengan Nasroh Binti Nahlan cs memang merupakan jual beli tanah, dimana
jual beli itu pun dilakukan di depan Kepala Desa dan dihadiri oleh para saksi
yaitu saksi Satiri yang menyatakan bahwa saksi Satiri pernah menjadi
perantara jual beli yang menjadi objek sengketa antara Jaswar dengan
keluarga Nahlan yang hendak menjual tanah peninggalan orang tuanya yaitu
H. Nipan dan saksi Satiri mengetahui pula bahwa Jaswar pernah mendirikan
bangunan di atas tanah sengketa yang sekarang telah didirikan Pom Bensin.
Jual beli Jaswar juga diperkuat dengan keterangan saksi Rosmala Dewi yang
menyatakan di bawah sumpah bahwa Jaswar pernah membeli sebidang tanah
sekitar tanggal 8 Mei 2001, yang mana tanah tersebut masih atas nama H.
Nipan yang terletak di Jl. Ir. H. Juanda, Desa Rempoa, Kecamatan Ciputat,
Kabupaten Tangerang dan sebelum dilakukannya jual beli, Jaswar sudah
mencek kebenaran atas tanah tersebut yang tercatat di dalam Buku Tanah
nomor C 36 Persil 29 D.I Blok 14 atas nama H. Nipan, bahkan menurut
keterangan Kepala Kelurahan setempat bahwa tanah tersebut tidak dalam
sengketa.
Peneliti berpendapat, bahwa jual beli yang dinyatakan sah oleh hakim
serta tanah tersebut benar hak milik atas Jaswar juga diperkuat dengan
terpenuhinya syarat-syarat sahnya jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:


1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal;
Empat komponen tersebut peneliti rasa sudah terpenuhi di dalam jual
beli yang dilakukan oleh Jaswar. Hal ini pun terbukti dengan Surat
Pernyataan Kakak dan Adik Keluarga H. Nahlan Bin H. Nipan yang telah
menunjuk A. Nurasyid Bin Nahlan untuk mewakili ahli waris dan sepakat
48

menjual tanah seluas 130 m2 yang berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda seharga Rp.
178.000.000,- (seratus tujuh puluh delapan juta rupiah) yang dibayar secara
cicil dengan bukti kuitansi disetiap pembayarannya sebanyak 42 lembar
kuitansi dan 1 (satu) lembar bukti setoran pada Bank BCA atas nama Ahmad
Dewanto tertanggal 11 November 2001. Hal ini pun selaras dengan Pasal
1457 KUH Perdata yang berbunyi :

“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu


mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”
Selanjutnya Pasal 1458 juga mengatakan bahwa :

“Jual Beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelah rang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut
dengan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar”

Unsur pokok dalam perjanjian jual beli menurut Pasal 1458 KUH
Perdata menurut peneliti adalah seseorang yang memperoleh kata sepakat
tentang suatu benda dan harganya meskipun benda tersebut belum diserahkan
atau harganya belum dibayar. Hal ini sejalan dengan asas perjanjian yaitu
asas konsensualisme yang artinya bahwa pada dasarnya perjanjian sudah lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat5 sehingga tidak perlu lagi formalitas
tertentu kecuali dalam hal undang-undang yang memberikan syarat formalitas
terhadap suatu perjanjian seperti dalam kasus sengketa tanah milik Jaswar
dibutuhkannya akta otentik secara tertulis dalam jual beli tanah yang
dilakukan oleh Jaswar kepada para ahli waris sebagai bentuk syarat tertulis
yang ditentukan oleh undang-undang.
Asas konsensualisme yang dimaksud adalah bahwa dengan adanya
kesepakatan maka timbulah perjanjian bagi kedua belah pihak sebagaimana
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua kesepakatan yang

5
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Jakarta, Intermasa, 1987), h. 13.
49

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang


membuatnya. Hal ini berarti dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak
maka timbulah hak dan kewajiban bagi mereka sehingga menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian seperti ini bersifat “obligatoir”
yang artinya jual beli itu belum memidahkan hak milik, ia baru memberikan
hak dan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu memberikan kepada pembeli
hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas tanah yang dijual,
sedangkan penyerahan atas suatu hak milik dalam Hukum Perdata disebut
sebagai levering yang diatur dalam Pasal 584 KUH Perdata.
Menariknya, hakim dalam pertimbangan hukumnya, justru tidak
mempermasalahkan alat bukti kuitansi yang timbul dari jual beli antara
Jaswar dengan keluarga Nahlan. Kuitansi tersebut adalah satu-satunya bukti
kepemilikan hak atas tanah seluas 130 m2 yang sudah dibeli oleh Jaswar.
Justru kuitansi inilah yang menjadi salah satu alasan para Terbanding
(Keluarga Alm. Nasan cs) karena dianggap tidak memiliki bukti kepemilikan
yang sah atau setidaknya akta jual beli yang menjadi bukti bahwa benar tanah
tersebut sudah dibeli oleh Jaswar dari Keluarga Nahlan cs. Ini berarti bahwa
akibat hukum jual beli tanah dengan menggunakan kuitansi akan tetap sah
karena kuitansi tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak di depan
kepala desa dengan diketahui saksi, karena kuitansi bermaterai yang tanda
tangannya diakui oleh para pihak itu bisa dijadikan bukti karena sifatnya sah
dan berkekuatan hukum. Akibat hukum dari jual beli tanah dengan kuitansi
memiliki kekuatan hukum yang lemah karena tidak sesuai dengan prosedur
yang berlaku, karena sejatinya peralihan hak atas tanah secara yuridis hanya
dapat dilakukan dengan akta yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) untuk selanjutnya didaftarkan pada Badan Pertanahan
Nasional (BPN), hal ini selaras dengan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang menyebutkan bahwa:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan
dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan
50

hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan


akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Dengan dikabulkannya beberapa gugatan penggugat (Jaswar) oleh


hakim, dalam hal ini tidak terlepas dari bukti-bukti yang diajukan di
persidangan baik itu bukti tertulis ataupun saksi-saksi. Pihak Jaswar sudah
membuktikan bahwa memang benar tanah sengketa itu milikya dan ia telah
membayar secara lunas harga tanah tersebut kepada keluarga Nahlan cs
walaupun dengan cara mencicil. Semua bukti-bukti tertulis seperti girik
Nomor C 26 sebagai dasar pembelian tanah tersebut sudah dilampirkan pada
saat persidangan beserta bukti-bukti pendukung lainnya demi memperkuat
dalil-dalil Penggugat. Karena pada dasarnya pun tanah tersebut bukan
merupakan tanah sengketa. Sengketa terjadi setelah tanah tersebut sudah
beralih ke pihak Jaswar. Tidak adanya bukti otentik bahwa tanah tersebut
miliknya membuat tanah tersebut disengketakan oleh pihak ahli waris yang
lain terlebih karena tanah nya merupakan tanah warisan yang memang belum
dipecah waris. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal
1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Barangsiapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau
menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau
untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan
adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”

Kasus sengketa tanah yang peneliti bahas, pembuktian secara yuridis


berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim dalam memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan. Dengan kata lain, pembuktian merupakan suatu cara
untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar
gugatan atau dalil-dalil yang digunakan untuk menyangkal seperti alat-alat
bukti tertulis serta pengakuan sejumlah saksi baik dari Penggugat maupun
Tergugat di muka persidangan.
51

Hal lainnya adalah tanah warisan yang diklaim oleh keluarga Nasan cs
dengan girik letter C No.655 yang telah mereka jual dengan Reza Rhenaldi
Syaiful dan Dewi Monita dan telah terbukti dengan adanya Akta Jual Beli
Nomor 1304/Ciputat/2002 serta terbitnya Sertifikat Hak Milik Nomor
04044/Desa Rempoa tertanggal 25 Juni 2004 atas nama Dewi Monita dan
Reza Rhenaldi Syaiful tidak satupun ada yang dibatalkan oleh hakim.
Kenyataannya, dari beberapa bukti-bukti yang diajukan oleh pihak
Jaswar, ditemukan adanya unsur pemalsuan surat yang dilakukan oleh kepala
desa setempat dalam proses terjadinya jual beli yang dilakukan oleh Keluarga
Nasan cs dengan Rheza Rhenaldi dan Dewi Monita yang mana berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 214/Pid.B/2005/PN.TNG
tanggal 27 April 2005 kepala desa tersebut sudah terbukti bersalah melakukan
tindak pidana pemalsuan Surat Keterangan Riwayat Tanah Nomor
590/49/2002 tanggal 25 September 2002. Unsur cacat hukum lainnya yang
dilakukan oleh Keluarga Nasan cs juga timbul dengan diperjualbelikannya
tanah perkara yang sedang dalam sengketa di Pengadilan Agama Tigaraksa
antara Ahli Waris Nahlan Bin Nipan dengan Ahli Waris Nasan Bin Nipan,
dimana Ahli Waris Nasan Bin Nipan berada pada pihak yang kalah.
Menurut peneliti, tidak sepatutnya PPAT yang menandatangani Akta
Jual Beli tersebut bersedia membuatkan akta otentik dengan kompenen-
kompenen yang cacat akan hukum. Seharusnya dengan segala
kewenangannya, PPAT harus melakukan penelitian atas data fisik dan data
yuridis atas bidang tanah tersebut, salah satunya adalah PPAT berkewajiban
meneliti apakah tanah tersebut bersih dari sengketa atau masih dalam
sengketa, jika berstatus sebagai tanah sengketa, maka PPAT wajib untuk
menolak pembuatan akta peralihan hak atas tanah tersebut sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 39 Ayat (1) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 sebagai berikut:
52

“PPAT menolak untuk membuat akta, jika obyek perbuatan hukum yang
bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data
yuridisnya.”
Dengan demikian, apabila tanah masih dalam sengketa di pengadilan
(objek gugatan), maka BPN melalui PPAT wajib untuk menolak pembuatan
akta peralihan tanah tersebut secara tertulis kepada pihak-pihak yang
bersangkutan disertai alasannya.
Menurut Peraturan kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, pemberian keterangan yang tidak
benar dalam akta adalah termasuk pelanggaran berat oleh PPAT yang dapat
dikenakan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya oleh
Kepala Badan Pertanahaan Nasional Indonesia. Hakim seharusnya menggali
hal ini lebih dalam karena bagi setiap PPAT berlaku pula kode etik PPAT
yang mengatur kewajiban seorang PPAT, dimana dalam Pasal 3 huruf (f)
Kode Etik PPAT menegaskan bahwa setiap PPAT diwajibkan untuk :

“bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak
berpihak.”

Mengenai sanksi yang dapat dikenakan terhadap PPAT juga ditetapkan


dalam Pasal 6 ayat (1) Kode Etik PPAT yakni bagi anggota yang melakukan
pelanggaran Kode Etik dapat dikenai sanksi berupa teguran, peringatan,
schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT, onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan IPPAT serta pemberhentian dengan tidak
hormat dari keanggotaan IPPAT.
Disini terlihat jelas bahwa seharusnya hakim bisa mempertimbangkan
hal ini untuk tidak mensahkan jual beli tersebut. Mengenai sertifikat yang
telah terbit, pembatalan sertifikat yang cacat hukum administratif sejatinya
diperintahkan lewat putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena
hanya Putusan PTUN lah yang secara tegas diberikan kewenangan
memerintahkan pembatalan sertifikat hak atas tanah.
53

Disamping itu, dengan amar yang diputus oleh hakim dalam perkara
jual beli ini menurut peneliti ada keuntungan dan kerugian yang didapat oleh
pihak Jaswar. Pertama, kelebihanya tentu adalah disahkan oleh hakim tanah
seluas 130 m2 yang dibeli oleh Jaswar dari keluarga Nahlan cs karena
menurut hakim jual beli tersebut dilakukan secara “terang” dan “tunai”.
Sedangkan kekurangannya adalah Jaswar hanya menguasai tanah tersebut
secara fisik karena tanah seluas 130 m2 miliknya masih tergabung di dalam
sertifikat milik Rheza Rhenaldi dan Dewi Monita.
Jika dilihat dari teori kekuatan alat bukti, baik pihak Jaswar yang
memiliki kuitansi dan putusan pengadilan atas tanah yang dia beli dari ahli
waris Nahlan cs maupun pihak Rheza Rhenaldi dan Dewi Monita yang
memiliki sertifikat atas tanah yang dia peroleh dari ahli waris Nasan cs,
kekuatan pembuktiannya sama-sama kuat karena tiga alat bukti tersebut
merupakan alat bukti surat yang merupakan akta otentik. Akta otentik disini
merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti
Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil) di tempat akta itu
dibuat.6 Alat-alat bukti tersebut sama-sama memiliki kekuatan hukum yang
kuat terlebih apabila diajukan di dalam persidangan, karena pada dasarnya di
dalam beracara di peradilan perdata hakim mencari kebenaran formil dimana
kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama persidangan berlangsung berdasarkan
pembuktian yang diajukan para pihak. Dalam kasus ini, hakim lebih melihat
bagaimana alur atau prosedur terjadinya perbuatan hukum jual beli para pihak
apakah jual beli tersebut berlangsung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau bertolak belakang dengan peraturan.
Tidak ada pertimbangan mengenai alat bukti surat baik itu surat dibawah
tangan maupun akta otentik yang dimiliki para pihak.

6
Pengertian Akta Otentik diakses pada tanggal 11 September 2018 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Akta_autentik
54

Dilihat secara hierarki dalam terbitnya putusan pengadilan dan sertifikat


tanah yang dimiliki masing-masing pihak, tentu Mahkamah Agung lebih
tinggi dibanding dibandingkan dengan Badan Kantor Pertanahan. Mahkamah
Agung merupakan kekuasaan yudikatif tertinggi di Indonesia yang dalam
menjalankan fungsinya tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan legislatif
maupun eksekutif. Terkait perkara pertanahan apabila putusan pengadilan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai negara yang menjunjung
tinggi supremasi hukum patutlah putusan tersebut dihormati dan dipatuhi oleh
BPN sebagai lembaga yang diamanatkan melaksanakan fungsi eksekutif
dibidang pertanahan walaupun pada dasarnya BPN lah yang berwenang
menerbitkan sertifikat hak atas tanah dan bertanggung jawab atas data fisik
maupun yuridis atas data-data bidang tanah di seluruh Indonesia, sehingga
jika terdapat suatu perubahan atas bidang tanah tersebut BPN yang
berwenang dalam merubah data-data atas bidang tanah tersebut.
Menurut peneliti, solusinya adalah tanah tersebut harus dikeluarkan 130
m2 dari luas yang tercantum di dalam sertifikat tersebut. Masalah akan timbul
apabila terjadi keengganan terhadap pemiliknya yaitu Reza Rhenaldi Syaiful
dan Dewi Monita untuk mengeluarkan tanah milik Jaswar karena tanah
Jaswar dengan luas 130 m2 berada persis di tengah-tengah pom bensin
tersebut. Apabila tanah tersebut dikeluarkan dari sertifikat milik Reza dan
Dewi, maka secara otomatis Pom Bensin yang mereka telah dirikan tidak
dapat beroperasi. Untuk itu diperlukan adanya perdamaian diantara kedua
belah pihak agar dapat menyelesaikan masalah atas tanah perkara tersebut.
Bukti putusan pengadilan dari hakim Mahkamah Agung yang Jaswar
miliki dengan kekuatan hukum yang in kracht bisa dijadikan dasar untuk
mengeluarkan tanah Jaswar dari luas tanah yang masih tergabung di dalam
sertifikat yang telah terbit tersebut karena secara garis besar pendaftaran
tanah berdasarkan putusan pengadilan telah diatur dalam Pasal 55 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu :
1) Panitera Pengadilan wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor
Pertanahan mengenai isi semua putusan Pengadilan yang telah
55

memperoleh kekuatan hukum tetap dan penetapan Ketua Pengadilan


yang mengakibat-kan terjadinya perubahan pada data mengenai bidang
tanah yang sudah didaftar atau satuan rumah susun untuk dicatat pada
buku tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin pada sertipikatnya
dan daftar-daftar lainnya.
2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan juga
atas permintaan pihak yang berkepen-tingan, berdasarkan salinan resmi
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau
salinan penetapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan yang
diserahkan olehnya kepada Kepala Kantor Pertanahan.
3) Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas
satuan rumah susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah
diperoleh surat keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan
dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1).
Namun, putusan pengadilan dalam hal ini yang mempunyai kekuatan
hukum tetap diharapkan dapat dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak
yang dihukum untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Karena tidak
jarang dijumpai dalam praktik bahwa pihak yang harus menjalankan putusan
hakim itu tidak mau secara sukarela memenuhi isi putusan sehingga akhirnya
terhadap mereka ini harus dilakukan eksekusi. Untuk itu, kembali pada solusi
yang peneliti katakan sebelumnya bahwa jalan satu-satunya untuk dapat
menyelesaikan perkara dalam kasus jual beli tanah sengketa ini adalah
dengan adanya perdamaian antara para pihak yang terlibat demi terselesainya
kasus ini tanpa adanya keberatan, ketidaksukarelaan ataupun hal hal yang
dapat menghambat kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat karena telah
adanya kesepakatan yang telah diselesaikan secara kekeluargaan.
Pembelajaran yang dapat kita ambil dengan bercermin terhadap sengketa
tanah diatas menurut peneliti adalah setiap orang yang ingin melakukan
peralihan hak atas tanah baik itu jual beli atau yang lainnya, agar dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akta otentik
56

yang dibuat oleh pejabat yang berwenang sangat amat penting di dalam
terjadinya suatu peralihan hak atas tanah terutama dalam proses jual beli
untuk dapat dijadikan bukti dan didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan
setempat guna memperoleh sertifikat yang menjadi dasar kepemilikan
seseoarang. Hal ini sesuai dengan kekuatan sertifikat sebagai alat bukti
sebagaimana penjelasan pada Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa sertifikat adalah tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dalam arti bahwa selama
data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang
benar, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data pada
buku tanah yang bersangkutan.
Dalam hal pendaftaran tanah, bukan berarti dengan didaftarkannya
peralihan hak di Kantor Badan Pertanahan merupakan syarat bagi sahnya
transaksi jual beli tanah, karena pendaftaran disini hanya difungsikan untuk
memperkuat pembuktian terhadap pihak ketiga sekaligus memberikan
kepastian hukum dari si pemegang hak atas tanah yang sebenarnya. Hal ini
sejalan dengan yang tercantum dalam Pasal 3 huruf (a) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah bertujuan
untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa peneliti pada bab-bab sebelumnya maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bukti kuitansi dalam transaksi jual beli tanah sengketa waris sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila dalam
pelaksanaan jual beli tersebut memenuhi unsur hukum adat dimana jual
beli tersebut dilakukan secara terang, tunai, dan riil (nyata). Terjadinya
kesepakatan antara para pihak yang lahir dari jual beli dengan bukti
kuitansi tersebut merupakan syarat perjanjian sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kuitansi
bermaterai yang merupakan surat di bawah tangan apabila tanda
tangannya diakui oleh para pihak memiliki nilai kekuatan pembuktian
walaupun tidak sesempurna bukti otentik. Jadi sebenarnya, jual beli
dengan kuitansi sebagai alat bukti bahwa telah terjadi peralihan hak atas
tanah dinyatakan sah, walaupun bertolak belakang dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
mengatur bahwa setiap peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT agar dapat didaftarkan di Kantor Badan
Pertanahan untuk dibuatkan sertifikat sebagai bukti kepemilikan hak atas
tanah ataupun mengganti nama pemilik hak yang lama ke pemilik baru
yang tertera dalam sertifikat sebelumnya.
2. Penerapan dan pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor: 673 PK/Pdt/2012 di dalam pertimbangannya, hakim menerapkan
sumber hukum tidak tertulis yaitu hukum adat yang mencakup asas
terang dan tunai dalam jual beli Jaswar dengan para ahli waris H. Nipan
atas tanah yang dibelinya. Mengingat di dalam UUPA Hukum Tanah
Nasional Indonesia adalah Hukum Adat maka kita menggunakan

57
58

konsepsi atau asas-asas hukum adat yang telah dihilangkan cacat


hukumnya. Atas dasar tersebut hakim mempertimbangkan bahwa jual
beli Jaswar dinyatakan sah karena dilakukan secara ‘terang’ dan ‘tunai’.
Dalam artian, terang berarti jual beli tersebut dilakukan dihadapan kepala
adat atau kepala desa sebagai pengganti PPAT setempat. Tunai berarti,
perbuatan pemindahan hak dan pembayaran dari jual beli tersebut
dilakukan secara bersamaan baik dibayar secara kontan ataupun
sebagian. Terhadap kedua asas-asas ini menurut pertimbangan hakim
sudah terpenuhi di dalam jual beli tanah tersebut. Selain itu juga jual beli
tersebut sudah memenuhi syarat jual beli menurut Pasal 1320 KUH
Perdata yaitu syarat sahnya perjanjian dengan 4 (empat) unsur di
dalamnya, sehingga dalam amar putusannya secara yakin hakim
memutus bahwa jual beli atas tanah yang disengketakan oleh ahli waris
H. Nipan Bin Idjin secara sah dan terbukti milik Jaswar karena walaupun
dengan bukti kepemilikan kuitansi yang Jaswar miliki, unsur-unsur
dalam perbuatan pemindahan hak atas tanah tersebut sudah sesuai dengan
Hukum Adat yang berlaku.

B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisa peneliti pada bab-bab sebelumnya maka
dapat diambil rekomendasi sebagai berikut:
1. Dalam melakukan suatu peralihan hak atas tanah baik itu jual beli atau
peralihan hak atas tanah lainnya seharus segera minta dibuatkan akta jual
beli ke PPAT demi adanya bukti kepemilikan atas tanah yang sudah
dialihkan sehingga dapat didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan baik
itu pembuatan sertifikat baru ataupun penggantian nama pemegang hak
yang baru.
2. Sebelum terjadinya pemindahan hak atas tanah melalui jual beli atau
peralihan hak yang lainnya diperlukan adanya ketelitian bagi si calon
pembeli mengenai data fisik maupun data yuridis terhadap bidang tanah
yang ingin dibeli agar terhindar dari masalah dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad & Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta :
Kencana, 2012.

Anshoruddin, H., Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Asnawi, M. Natsir, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia,


Yogyakarta : UII Press, 2013.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta : Balai Pustaka, 1990.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
______, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Harsono, Boedi, Undang-undang Pokok Agraria Sedjarah Penjusunan, Isi, dan
Pelaksanaannja, Djakarta : Jambatan, 1971.

______, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum


Tanah, Jakarta : Djambatan, 2002.

Hiariej, Eddy O.S, Teori & Hukum Pembuktian, Yogyakarta : Penerbit Erlangga,
2012.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:
Bayumedia Publishing, 2005.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta : Kencana, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media,
2008.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta :
Universitas Atma Jaya, 2010.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi ke-3, Jakarta : Balai Pustaka, 2005
Santoso, Urip, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta : PT. Adhitya
Andrebina Agung, 2010.

59
60

Sinamo, Nomensen, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Bumi Intitama


Sejahtera, 2009.
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Rajawali, 1983.
______, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : UI Press, 1984
______, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Soekanto, Soerjono dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, cet.XIII, edisi I, Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 2011.

Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29, Jakarta : Intermasa,


2001.

______, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Jakarta : Intermasa, 1987.

______, R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT Pradnya


Paramita, 2006.

______, R., Hukum Pembuktian, Cetakan ke-17, Jakarta : Pradnya Paramita,


2008.

Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar
Grafika, 2008.

______, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Edisi 1, Cet.5, Jakarta :
Sinar Grafika, 2013.

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai
Kitab Undang-Undang Perdata Republik Indonesia (KUHPerdata)
Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah


61

Peraturan kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan


Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah

Putusan :

Tingkat I. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor


268/Pdt.G/2008/PN.TNG

Tingkat Banding. Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 95/Pdt/2009/PT.BTN

Tingkat Kasasi. Putusan Makhamah Agung Republik Indonesia Nomor 1324


K/Pdt/2010

Tingkat Peninjauan Kembali. Putusan Mahkamah Agung Nomor 673


PK/Pdt/2012

Website :

Pengertian Tanah Milik Adat diakses pada tanggal 10 September 2018 dari
http://www.hukumonline.com

Pengertian Akta Otentik diakses pada tanggal 11 September 2018 dari


https://id.wikipedia.org/wiki/Akta_autentik

Anda mungkin juga menyukai