Bukti Kuitansi Dalam Transaksi Jual Beli Tanah (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012)
Bukti Kuitansi Dalam Transaksi Jual Beli Tanah (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
i
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “BUKTI KUITANSI DALAM
TRANSAKSI JUAL BELI TANAH (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor:
673 PK/Pdt/2012)” dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa
kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini.
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat,S.H., M.H., ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya demi terselesainya skripsi peneliti.
4. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum (Alm), Dosen pembimbing akademik yang
begitu sabar membimbing dan menyemangati peneliti sejak awal perkuliahan,
serta Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH sebagai dosen pembimbing
akademik pengganti yang juga turut membantu dalam terselesainya skripsi ini.
5. Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk
peneliti mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Zulhendri dan Ibunda Yeniwarti yang
selalu mencurahkan doa dan memberikan motivasi serta dukungan terbaiknya
selama ini. Terimakasih juga kepada Abang dan Adikku Ziko Medri Saputra
dan Muhammad Rizky Zulny yang selalu menghibur disaat suka maupun
duka. Terima kasih untuk segala doa, curahan dan kasih sayang yang tulus
serta dukungan materiil maupun immateriil yang kalian berikan. Semoga
Peneliti dapat selalu membahagiakan dan membanggakan keluarga serta selalu
dalam ridho Allah SWT.
7. Sahabat-sahabat tersayang, Tina Deviana, Rizko, Kerina, Mutia, dan Bibah
yang selalu mendengar keluh dan kesah peneliti serta Dhaifina, Dalilah,
Marifa, Farah, Vira, Nia, Azhari, Ojo, dan Berlyyana, terimakasih telah hadir
selama 4 tahun ini mengarungi pahit manisnya bangku perkuliahan. Terkhusus
untuk Fajar M. Juanda yang selalu ada di masa-masa sulit peneliti.
Terimakasih untuk doa dan dukungan yang kalian berikan. Semoga kalian
selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
8. Seluruh civitas Ilmu Hukum 2014 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Teman-teman KKN 58 MAURA, terimakasih telah memberi warna dan
kenangan yang terukir selama satu bulan penuh terkhusus untuk Thoyibah Nur
Fitri (Otoy) yang sudah sangat baik memberikan dukungan kepada peneliti
hingga terselesainya skripsi ini.
Demikian peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 7 September 2018
Peneliti
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
viii
B. Kekuatan Alat Bukti Kuitansi dalam Jual Beli Tanah .......... 42
C. Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Nomor
673/PK/Pdt/2012 ................................................................... 43
A. Kesimpulan ........................................................................... 57
B. Rekomendasi ......................................................................... 58
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013, Edisi 1, Cetakan 5), h. 31.
1
2
masih ada praktek jual beli tanah yang belum bersertifkat. Terlebih jual beli
tersebut hanya bermodalkan kuitansi atas pembayaran tanah yang dibeli dari
pihak penjual sebagai tanda bahwa tanah tersebut sudah beralih kepada
pembeli. Yang menjadi pertanyaan peneliti adalah bagaimana keabsahan
kuitansi dalam jual beli seperti ini? Apakah dengan adanya kuitansi dan tanpa
dibuatkan akta jual beli oleh PPAT jual beli tersebut dapat dikatakan sah
menurut peraturan yang berlaku? Lalu bagaimana kepastian hukum dari si
pembeli yang hanya memiliki bukti kuitansi atas tanah yang sudah dibelinya?
Dalam konteks ini bukan berarti setiap jual beli yang tidak dilakukan
di hadapan Pejabat tidak sah, melainkan tetap sah karena UUPA berlandaskan
pada Hukum Adat yang mana dalam Hukum Adat sistem yang dipakai adalah
sistem yang nyata/konkret/riil. Tetapi apabila kita berbicara mengenai
kepastian hukum dari jual beli yang dilakukan bukan dihadapan PPAT,
tentulah yang sesuai dengan prosedur dan mempunyai akta otentik lebih kuat
daripada yang tidak sesuai prosedur undang-undang apalagi jual beli tersebut
dibuat di bawah tangan dengan bukti kuitansi sebagai tanda tanah tersebut
sudah dibeli dan beralih ke pihak lain.
Pada transaksi jual beli tanah, hak milik yang bersangkutan beralih
karena penyerahan tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya oleh
penjual kepada pembeli yang pada saat itu juga menyerahkan harganya
kepada penjual. Apabila sudah terjadi kesepakatan antara penjual dan
pembeli, maka akan disepakati harga yang akan dibayarkan, kemudian
dilakukan penyerahan terhadap hak atas tanah yang diperjualbelikan oleh para
pihak yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan pengalihan hak milik dari
yang semula ada ditangan penjual, lalu beralih ke tangan pembeli. Akan
tetapi, sering terjadi persoalan yang berujung ke arah persengketaan, dimana
tanah yang akan diperjualbelikan ternyata tidak hanya milik satu orang saja
sebagai pihak penjual, melainkan milik lebih dari satu orang. Kaitannya
dengan hal tersebut, maka tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan tanah
warisan.
4
2. Pembatasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada alat bukti kuitansi
dalam transaksi jual beli tanah yang mengacu pada putusan Mahkamah
Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012.
3. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan-
permasalahan yang diteliti dan untuk mempermudah agar lebih terarah
dan mendalam sesuai sasaran yang ditentukan, maka pembuktian hukum
dari bukti kuitansi dalam transaksi jual beli tanah menjadi permasalahan
utama, sehingga dari permasalahan utama tersebut maka timbul pertanyaan
riset, yaitu:
a. Apakah bukti kuitansi dalam transaksi jual beli tanah sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
b. Bagaimana penerapan dan pertimbangan hakim dalam putusan
Mahkamah Agung Nomor: 673 PK/Pdt/2012?
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan hukum di Indonesia terutama dalam ruang lingkup
hukum perdata tentang prosedur dalam transaksi jual beli tanah yang
aman dan memiliki kekuatan hukum apabila terjadi sengketa di
kemudian hari.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang bisa
diaplikasikan langsung dalam kehidupan sehari-hari yang
menekankan bahwa dalam proses pengalihan hak atas tanah karena
jual beli, kita harus berhati-hati dan lebih teliti lagi dalam tiap
prosedur yang dijalankan agar lebih memberikan perlindungan
hukum bagi seluruh pihak yang terlibat. Bukti-bukti kepemilikan
yang terkait dalam transaksi tersebut harus jelas dan nyata demi
lancarnya kepentingan para pihak.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach), dimana penelitian ini dilakukan dengan menelaah Undang-
undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani dan kasus nyata yang mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 673 PK/Pdt/2012.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yang
termasuk penelitian hukum normatif, yaitu penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya, yang dibangun berdasarkan objek hukum itu sendiri.4
4
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , (Surabaya :
Bayumedia Publishing, 2005), h. 57.
8
5
Soerjono Soekanto dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2011, cet.XIII, edisi I,), h. 12.
6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2008), h.
181.
9
7
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003),
h.13-14.
8
Soerjono Soekanto dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011, cet. XIII, edisi I), h. 13.
9
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera,
2009), h. 56.
10
6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif. Peneliti mendapat hubungan variable-variabel sehingga
dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam
penelitian. Prinsip pokok teknik analisis data kualitatif ialah mengolah
dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik,
teratur, terstruktur dan mempunyai makna.
7. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan yang sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika ini merupakan gambaran dari penelitian agar
memudahkan dalam mempelajari seluruh isinya. Penelitian ini dibahas dan
diuraikan menjadi 5 (lima) bab, adapun bab-bab yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
BAB III : Pada bab ini berisikan hasil data penelitian mengenai
profil tanah dan posisi kasus sesuai dengan studi kasus
putusan Mahkamah Agung Nomor 673 PK/Pdt/2012.
BAB IV : Pada bab ini akan dibahas mengenai analisa hasil data
penelitian yang menguraikan penerapan dan dasar
pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor : 673 PK/Pdt/2012.
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah merupakan pedoman yang lebih konkrit
dari kerangka teori yang berisi definisi operasional yang menjadi pegangan
dalam penulisan skripsi.1 Sumber yang digunakan untuk menentukan definisi
diambil dari peraturan perundang-undangan dan penelitian perpustakaan
sehingga metode yang digunakan adalah metode paraphrase2 yaitu
menjelaskan arti dengan menggunakan kalimat yang lain.
1. Alat Bukti
Alat Bukti adalah alat atau upaya yang diajukan pihak beperkara
yang digunakan hakim sebagai dasar dalam memutus perkara. Dipandang
dari segi pihak yang beperkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang
digunakan untuk meyakinkan hakim di muka sidang pengadilan.
Sedangkan dilihat dari segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat
bukti adalah alat atau upaya yang bisa digunakan hakim untuk memutus
perkara.3
2. Kuitansi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kuitansi adalah surat
bukti penerimaan uang. Kuitansi merupakan suatu surat atau dokumen
yang sering digunakan sebagai tanda bukti bahwa telah terjadinya
transaksi penerimaan sejumlah uang dari pemberi uang kepada penerima
uang, yang dilengkapi dengan beberapa rincian seperti tujuan dari
1
Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 133.
2
Parafrase adalah istilah linguistic yang berarti pengungkapan kembali suatu konsep
dengan cara lain dalam bahasa yang sama, namun tanpa mengubah maknanya. Paraphrase
memberikan kemungkinan kepada sang penulis untuk memberi penekanan yang agak berlainan
dengan penulis asli.
3
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Surabaya: Pustaka Pelajar, 2004), h. 25.
12
13
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 478.
5
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006),
h. 366.
14
itu, maka tunai berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru
dibayar sebagian.7 Sisa harganya yang menurut kenyataannya belum
dibayar di anggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik atas dasar
perjanjian utang piutang yang di anggap terjadi antara pembeli dan bekas
pemilik setelah jual beli tanah tersebut terjadi.
Perjanjian utang piutang itu tidak ada hubungan hukumnya dengan
jual beli hak atas tanah. Apabila kemudian hari pembeli tidak membayar
sisa harganya, maka bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual
beli. Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut harus dilakukan
menurut hukum perjanjian utang piutang.
Selain itu, peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli harus
memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila syarat-syarat yang telah
ditentukan tidak terpenuhi maka akan membawa konsekuensi pada
legalitas jual beli hak atas tanah tersebut. Syarat-syarat jual beli hak atas
tanah terbagi menjadi dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat
materiil jual beli hak atas tanah adalah tertuju pada subyek dan obyek
hak yang akan diperjualbelikan. Pemegang hak atas tanah harus
mempunyai hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanah.
Disamping itu pembeli juga harus memenuhi syarat sebagai pemenang
(subyek) hak dari hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli, sedangkan
yang dimaksud dengan syarat formil dalam jual beli hak atas tanah
17
8
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2010), h.2.
18
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), h.133.
10
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Cetakan ke-17, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), h.1.
11
Achmad Ali & Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta:
Kencana, 2012), h.17
19
12
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 498.
20
13
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…, h. 505.
14
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…, h. 508.
21
Dengan kata lain, Pasal 1918 KUH Perdata ini memberi hak
kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya
terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang
dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs.
3. Alat – Alat Bukti
a. Definisi Alat Bukti
Salah satu unsur yang terpenting dalam pembuktian adalah
alat bukti. Eksistensi alat bukti di dalam pembuktian sangat penting
karena dengan alat-alat bukti itulah fakta-fakta yang didalilkan
oleh para pihak akan diuji kebenarannya satu sama lain.
22
15
Achmad Ali & Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta:
Kencana, 2012), h.73.
16
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2006), h.241.
23
17
M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press, 2013), h.41.
18
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya, 2010), h. 182-183.
24
19
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2012),
h.82.
20
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29, (Jakarta: Intermasa,
2001),h.178.
21
H. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.71.
22
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29, (Jakarta: Intermasa,
2001),h.178-
179.
25
23
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-29…, h.179.
24
H. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.73.
26
25
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.623.
26
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2012),
h.87.
27
1
Pengertian tanah milik adat diakses pada tanggal 10 September 2018 dari
http://www.hukumonline.com
30
31
B. Posisi Kasus
1. Para Pihak Berperkara
Para pihak yang terlibat dalam perkara putusan Mahkamah Agung Nomor
673/PK/Pdt/2012 adalah sebagai berikut:
a. JASWAR CHATIB, dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri selaku
pembeli tanah dari Pihak Ahli Waris Nahlan berdasarkan Girik Persil
Nomor C 36 No.29 D.I Blok 014 Register 040 atas nama Nipan Bin
Idjin seluas 2.186 m2.
b. REZA RHENALDI SYAIFUL dan DEWI MONITA, dalam hal ini
bertindak untuk diri sendiri selaku pembeli tanah dari pihak Ahli Waris
Nasan berdasarkan Girik Persil Nomor 29 Blok D1 Kohir Nomor C.655
seluas 1.438 m2 .
c. Para Ahli Waris dari NIPAN BIN IDJIN
SOFIAN SYARIFUDDIN
KIKI LISDIANA
DEWI INDAH. D
BUDI FABRIZAL
FERDY RIDYA. S
2. Duduk Perkara
Perkara dalam kasus ini pada pokoknya menjelaskan bahwa pada
sekira tahun 2001, Jaswar Chatib (Penggugat) bertemu dengan Nasroh
(Tergugat 1), Alm Nurasyid (Tergugat III) dan NANI SURYANI
(Tergugat V), yang menawarkan untuk membeli sebidang tanah kosong
milik adat seluas 130 m2 yang terletak di Jalan Ir.H.Juanda RT 01/01
Kelurahan Rempoa, Kecamatan Ciputat, Tangerang yang selanjutnya
disebut tanah perkara. Tanah perkara merupakan warisan untuk ahli waris
Alm. NAHLAN Bin H.NIPAN Bin IDJIN seluas 700 m2 yang belum
dipecah secara resmi, karenanya masih bagian tidak terpisahkan dari tanah
33
dengan Reza Rhenaldi Syaiful (Tergugat XX) dan Dewi Monita (Tergugat
XXI) di hadapan Drs.Yayat Sudrajat (Tergugat XXVI) selaku PPAT, atas
tanah seluar 1.438 m2 yang terletak di Desa Rempoa Kecamatan Ciputat
Kabupaten Tangerang berdasarkan Girik C. 655 Blok D.I Persil No.29 atas
nama Alm. H. M. NASAN dimana pada saat itu H. Abdillah H.S
(Tergugat XXII) turut menandatanganinya sebagai saksi dalam jual beli
tersebut.
Akta Jual Beli No. 1304/CIPUTAT/2002 tanggal 20 September 2002
yang dibuat Tergugat XXIV tersebut dilampiri dengan surat keterangan
waris yang tak bernomor, surat keterangan sketsa tanah tak bergambar dan
tak bernomor, surat pernyataan tanah atas nama Alm. H.M.NASAN tanpa
mencantumkan batas-batas tanah, surat pernyataan dari Zaenal (Tergugat
X) yang menyatakan bahwa tanah Persil No.29 D.I Girik C 655 belum
memiliki sertifikat, dan surat keterangan riwayat tanah nomor 590/49/2002
tanggal 25 September 2002 yang dibuat dan ditandatangani oleh
H.Abdilah H.S (Tergugat XXIII) yang menerangkan bahwa girik C 655
sedang tidak dalam sengketa.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
214/Pid.B/2005/PN.TNG tanggal 27 April 2005 yang telah berkekuatan
hukum tetap, H. Abdilah H.S (Tergugat XXIII) telah dijatuhi hukuman
karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan Surat
Keterangan Riwayat Tanah Nomor 590/49/2002 tanggal 25 September
2002, dimana tanah perkara terletak di dalamnya.
Akibat adanya surat tersebut, telah memicu tindakan anarkis yang
dilakukan oleh beberapa ahli waris dari Alm. H.M. NASAN terhadap
bangunan toko milik Penggugat di atas tanah perkara dengan melakukan
perusakan dan merobohkan bangunan pada bulan November 2003,
sehingga Penggugat mengalami kerugian sebesar Rp.85.000.000 dan
karena perbuatannya para ahli waris Alm. H.M NASAN tersebut dijatuhi
pidana penjara selama dua bulan dan masa percobaan empat bulan oleh
36
39
40
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum
Tanah, (Jakarta : Djambatan, 2002), h. 317.
41
2
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar
Grafika,2008), h. 117.
42
hak atas tanah ini menurut ketentuan Pasal 19 Ayat (1) UUPA merupakan
pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan
atas tanah tersebut. Artinya, alat bukti kuitansi disini sangat rentan menjadi
alat bukti sah dalam jual beli tanah, terlebih apabila objek tanah yang
dimaksud terjadi sengketa dikemudian hari oleh pihak ketiga. Walaupun pada
dasarnya bukti kuitansi dalam jual beli tanah tersebut bukan berarti tidak sah,
melainkan tetap sah apabila jual beli tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang
berlaku.
3
Putusan Pengadilan Tinggi Banding Nomor 95/Pdt/2009/PT.BTN, (Tangerang,
Pengadilan Tinggi, 2010), h.24.
46
Hakim mendasarkan diri pada hukum baik tertulis ataupun hukum yang
tidak tertulis (hukum adat) sebagai dasar mengabulkan beberapa tuntutan
yang diajukan Jaswar selaku Penggugat di pengadilan pada setiap
pertimbangan putusannya. Dasar hukum tertulis yang dijadikan sebagai dasar
pertimbangan hakim dalam putusan mencakup ketentuan berbagai pasal
perundang-undangan. Adapun dasar hukum tidak tertulis (hukum adat) yaitu
mencakup asas-asas hukum adat. Mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan
bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita
menggunakan konsepsi atau asas-asas Hukum Adat yang telah di-saneer.4
Jual beli yang dilakukan oleh Jaswar denga para ahli waris Nahlan
adalah sah karena dilakukan secara terang dan tunai atas tanah perkara seluas
130 m2 dan merupakan hak milik dari Jaswar. Hal ini selaras dengan asas
hukum adat dimana jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu
perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang
dalam artian jual beli tersebut dilakukan di depan kepala desa sebagai
pengganti PPAT setempat, dimana menurut Pasal 5 huruf (a) Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Kepala desa atau Camat bisa bertindak sebagai
pengganti PPAT Sementara atau PPAT Khusus untuk melayani golongan
masyarakat tertentu, sedangkan tunai ialah pembayaran harga dan penyerahan
haknya di lakukan pada saat yang bersamaan baik itu dibayar lunas ataupun
dibayar sebagian. Terang dan tunai dalam jual beli tanah yang dilakukan
Jaswar sehingga dinyatakan jual beli tersebut sah oleh hakim, membuktikan
bahwa hakim dalam dalam pertimbangan menerapkan prinsip jual beli hukum
adat dimana hukum adat dijadikan sumber hukum oleh hakim sebagai
perintah dari undang-undang nasional karena sejatinya tidak ada undang-
undang yang mengatur secara khusus dan tegas mengenai pemberlakuan
norma dan asas hukum adat.
4
Boedi Harsono (a), Hukum Agraria: Sejarah Pembentukan Isi dan Pelaksanannya,
Jakarta: Djambatan, 1997), h. 235.
47
menjual tanah seluas 130 m2 yang berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda seharga Rp.
178.000.000,- (seratus tujuh puluh delapan juta rupiah) yang dibayar secara
cicil dengan bukti kuitansi disetiap pembayarannya sebanyak 42 lembar
kuitansi dan 1 (satu) lembar bukti setoran pada Bank BCA atas nama Ahmad
Dewanto tertanggal 11 November 2001. Hal ini pun selaras dengan Pasal
1457 KUH Perdata yang berbunyi :
“Jual Beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelah rang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut
dengan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar”
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli menurut Pasal 1458 KUH
Perdata menurut peneliti adalah seseorang yang memperoleh kata sepakat
tentang suatu benda dan harganya meskipun benda tersebut belum diserahkan
atau harganya belum dibayar. Hal ini sejalan dengan asas perjanjian yaitu
asas konsensualisme yang artinya bahwa pada dasarnya perjanjian sudah lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat5 sehingga tidak perlu lagi formalitas
tertentu kecuali dalam hal undang-undang yang memberikan syarat formalitas
terhadap suatu perjanjian seperti dalam kasus sengketa tanah milik Jaswar
dibutuhkannya akta otentik secara tertulis dalam jual beli tanah yang
dilakukan oleh Jaswar kepada para ahli waris sebagai bentuk syarat tertulis
yang ditentukan oleh undang-undang.
Asas konsensualisme yang dimaksud adalah bahwa dengan adanya
kesepakatan maka timbulah perjanjian bagi kedua belah pihak sebagaimana
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua kesepakatan yang
5
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Jakarta, Intermasa, 1987), h. 13.
49
Hal lainnya adalah tanah warisan yang diklaim oleh keluarga Nasan cs
dengan girik letter C No.655 yang telah mereka jual dengan Reza Rhenaldi
Syaiful dan Dewi Monita dan telah terbukti dengan adanya Akta Jual Beli
Nomor 1304/Ciputat/2002 serta terbitnya Sertifikat Hak Milik Nomor
04044/Desa Rempoa tertanggal 25 Juni 2004 atas nama Dewi Monita dan
Reza Rhenaldi Syaiful tidak satupun ada yang dibatalkan oleh hakim.
Kenyataannya, dari beberapa bukti-bukti yang diajukan oleh pihak
Jaswar, ditemukan adanya unsur pemalsuan surat yang dilakukan oleh kepala
desa setempat dalam proses terjadinya jual beli yang dilakukan oleh Keluarga
Nasan cs dengan Rheza Rhenaldi dan Dewi Monita yang mana berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 214/Pid.B/2005/PN.TNG
tanggal 27 April 2005 kepala desa tersebut sudah terbukti bersalah melakukan
tindak pidana pemalsuan Surat Keterangan Riwayat Tanah Nomor
590/49/2002 tanggal 25 September 2002. Unsur cacat hukum lainnya yang
dilakukan oleh Keluarga Nasan cs juga timbul dengan diperjualbelikannya
tanah perkara yang sedang dalam sengketa di Pengadilan Agama Tigaraksa
antara Ahli Waris Nahlan Bin Nipan dengan Ahli Waris Nasan Bin Nipan,
dimana Ahli Waris Nasan Bin Nipan berada pada pihak yang kalah.
Menurut peneliti, tidak sepatutnya PPAT yang menandatangani Akta
Jual Beli tersebut bersedia membuatkan akta otentik dengan kompenen-
kompenen yang cacat akan hukum. Seharusnya dengan segala
kewenangannya, PPAT harus melakukan penelitian atas data fisik dan data
yuridis atas bidang tanah tersebut, salah satunya adalah PPAT berkewajiban
meneliti apakah tanah tersebut bersih dari sengketa atau masih dalam
sengketa, jika berstatus sebagai tanah sengketa, maka PPAT wajib untuk
menolak pembuatan akta peralihan hak atas tanah tersebut sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 39 Ayat (1) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 sebagai berikut:
52
“PPAT menolak untuk membuat akta, jika obyek perbuatan hukum yang
bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data
yuridisnya.”
Dengan demikian, apabila tanah masih dalam sengketa di pengadilan
(objek gugatan), maka BPN melalui PPAT wajib untuk menolak pembuatan
akta peralihan tanah tersebut secara tertulis kepada pihak-pihak yang
bersangkutan disertai alasannya.
Menurut Peraturan kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, pemberian keterangan yang tidak
benar dalam akta adalah termasuk pelanggaran berat oleh PPAT yang dapat
dikenakan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya oleh
Kepala Badan Pertanahaan Nasional Indonesia. Hakim seharusnya menggali
hal ini lebih dalam karena bagi setiap PPAT berlaku pula kode etik PPAT
yang mengatur kewajiban seorang PPAT, dimana dalam Pasal 3 huruf (f)
Kode Etik PPAT menegaskan bahwa setiap PPAT diwajibkan untuk :
“bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak
berpihak.”
Disamping itu, dengan amar yang diputus oleh hakim dalam perkara
jual beli ini menurut peneliti ada keuntungan dan kerugian yang didapat oleh
pihak Jaswar. Pertama, kelebihanya tentu adalah disahkan oleh hakim tanah
seluas 130 m2 yang dibeli oleh Jaswar dari keluarga Nahlan cs karena
menurut hakim jual beli tersebut dilakukan secara “terang” dan “tunai”.
Sedangkan kekurangannya adalah Jaswar hanya menguasai tanah tersebut
secara fisik karena tanah seluas 130 m2 miliknya masih tergabung di dalam
sertifikat milik Rheza Rhenaldi dan Dewi Monita.
Jika dilihat dari teori kekuatan alat bukti, baik pihak Jaswar yang
memiliki kuitansi dan putusan pengadilan atas tanah yang dia beli dari ahli
waris Nahlan cs maupun pihak Rheza Rhenaldi dan Dewi Monita yang
memiliki sertifikat atas tanah yang dia peroleh dari ahli waris Nasan cs,
kekuatan pembuktiannya sama-sama kuat karena tiga alat bukti tersebut
merupakan alat bukti surat yang merupakan akta otentik. Akta otentik disini
merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti
Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil) di tempat akta itu
dibuat.6 Alat-alat bukti tersebut sama-sama memiliki kekuatan hukum yang
kuat terlebih apabila diajukan di dalam persidangan, karena pada dasarnya di
dalam beracara di peradilan perdata hakim mencari kebenaran formil dimana
kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama persidangan berlangsung berdasarkan
pembuktian yang diajukan para pihak. Dalam kasus ini, hakim lebih melihat
bagaimana alur atau prosedur terjadinya perbuatan hukum jual beli para pihak
apakah jual beli tersebut berlangsung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau bertolak belakang dengan peraturan.
Tidak ada pertimbangan mengenai alat bukti surat baik itu surat dibawah
tangan maupun akta otentik yang dimiliki para pihak.
6
Pengertian Akta Otentik diakses pada tanggal 11 September 2018 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Akta_autentik
54
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang sangat amat penting di dalam
terjadinya suatu peralihan hak atas tanah terutama dalam proses jual beli
untuk dapat dijadikan bukti dan didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan
setempat guna memperoleh sertifikat yang menjadi dasar kepemilikan
seseoarang. Hal ini sesuai dengan kekuatan sertifikat sebagai alat bukti
sebagaimana penjelasan pada Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa sertifikat adalah tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dalam arti bahwa selama
data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang
benar, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data pada
buku tanah yang bersangkutan.
Dalam hal pendaftaran tanah, bukan berarti dengan didaftarkannya
peralihan hak di Kantor Badan Pertanahan merupakan syarat bagi sahnya
transaksi jual beli tanah, karena pendaftaran disini hanya difungsikan untuk
memperkuat pembuktian terhadap pihak ketiga sekaligus memberikan
kepastian hukum dari si pemegang hak atas tanah yang sebenarnya. Hal ini
sejalan dengan yang tercantum dalam Pasal 3 huruf (a) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah bertujuan
untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa peneliti pada bab-bab sebelumnya maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bukti kuitansi dalam transaksi jual beli tanah sengketa waris sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila dalam
pelaksanaan jual beli tersebut memenuhi unsur hukum adat dimana jual
beli tersebut dilakukan secara terang, tunai, dan riil (nyata). Terjadinya
kesepakatan antara para pihak yang lahir dari jual beli dengan bukti
kuitansi tersebut merupakan syarat perjanjian sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kuitansi
bermaterai yang merupakan surat di bawah tangan apabila tanda
tangannya diakui oleh para pihak memiliki nilai kekuatan pembuktian
walaupun tidak sesempurna bukti otentik. Jadi sebenarnya, jual beli
dengan kuitansi sebagai alat bukti bahwa telah terjadi peralihan hak atas
tanah dinyatakan sah, walaupun bertolak belakang dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
mengatur bahwa setiap peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT agar dapat didaftarkan di Kantor Badan
Pertanahan untuk dibuatkan sertifikat sebagai bukti kepemilikan hak atas
tanah ataupun mengganti nama pemilik hak yang lama ke pemilik baru
yang tertera dalam sertifikat sebelumnya.
2. Penerapan dan pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor: 673 PK/Pdt/2012 di dalam pertimbangannya, hakim menerapkan
sumber hukum tidak tertulis yaitu hukum adat yang mencakup asas
terang dan tunai dalam jual beli Jaswar dengan para ahli waris H. Nipan
atas tanah yang dibelinya. Mengingat di dalam UUPA Hukum Tanah
Nasional Indonesia adalah Hukum Adat maka kita menggunakan
57
58
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisa peneliti pada bab-bab sebelumnya maka
dapat diambil rekomendasi sebagai berikut:
1. Dalam melakukan suatu peralihan hak atas tanah baik itu jual beli atau
peralihan hak atas tanah lainnya seharus segera minta dibuatkan akta jual
beli ke PPAT demi adanya bukti kepemilikan atas tanah yang sudah
dialihkan sehingga dapat didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan baik
itu pembuatan sertifikat baru ataupun penggantian nama pemegang hak
yang baru.
2. Sebelum terjadinya pemindahan hak atas tanah melalui jual beli atau
peralihan hak yang lainnya diperlukan adanya ketelitian bagi si calon
pembeli mengenai data fisik maupun data yuridis terhadap bidang tanah
yang ingin dibeli agar terhindar dari masalah dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad & Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta :
Kencana, 2012.
Anshoruddin, H., Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Hiariej, Eddy O.S, Teori & Hukum Pembuktian, Yogyakarta : Penerbit Erlangga,
2012.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:
Bayumedia Publishing, 2005.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta : Kencana, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media,
2008.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta :
Universitas Atma Jaya, 2010.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi ke-3, Jakarta : Balai Pustaka, 2005
Santoso, Urip, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta : PT. Adhitya
Andrebina Agung, 2010.
59
60
Soekanto, Soerjono dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, cet.XIII, edisi I, Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar
Grafika, 2008.
______, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Edisi 1, Cet.5, Jakarta :
Sinar Grafika, 2013.
Peraturan Perundang-undangan :
Putusan :
Website :
Pengertian Tanah Milik Adat diakses pada tanggal 10 September 2018 dari
http://www.hukumonline.com