Anda di halaman 1dari 44

Filsafat penting bagi pendidikan.

Tanpa filsafat, pendidik kehi


langan pedoman ketika merancang, melaksanakan dan meningkatkan
kualitas pendidikan (Ornstein, 2007: 5). Filsafat, yang mengkaji know-
ledge of the good life (Zais, 1976: 105), membantu pendidik memahami
hakikat hidup yang baik bagi individu dan masyarakat. Kehidupan yang
baik merupakan dasar dan domain pendidikan dan kurikulum, sebagai
respons atas pertanyaan bagaimana kita menjalani kehidupan yang baik
(Schubert, 1986: 116). Artinya, kurikulum memuat pedoman tentang
pengetahuan, keterampilan, sikap atau kompetensi yang perlu dikuasai siswa
agar ia dapat hidup dengan baik di masyarakat. Menurut Ornste- in dan
Hunkins (2013: 28), filsafat pendidikan menentukan keputus- an, alternatif
dan pilihan kependidikan yang dipedomani pendidik dan pengembang
kurikulum.

A. FILSAFAT DAN KURIKULUM


1. Mengapa Filsafat?

Filsafat muncul ketika manusia merasa perlu memiliki pengetahuan


untuk membuat keputusan bijaksana bagi pemecahan masalah kehidup- an.
Sebab, menurut Thut, kumpulan pengetahuan yang bermanfaat bagi
kesejahteraan hidup manusia adalah filsafat (Zais, 1976: 105). Menurut
Hirst (1968), filsafat mengklarifikasi konsep dan proposisi yang mem- buat
pengalaman dan kegiatan manusia bermakna (Print, 1993: 34). Bagi
pengembang kurikulum, pemahaman dan pengetahuan ten Tang filsafat
pendidikan diri sendiri sangat penting agar dapat membuat statement yang
bermanfaat dan bermakna tentang pengalaman yang akan diwariskan kepada
generasi muda (Print, 1993, 34). Karena itu Bafat membantu pengembang
kurikulum menetapkan kriteria tujuan proses, dan sasaran kurikulum
pendidikan (Ornstein & Hunkins, 2013 29) Int satu alasan mengapa filsafat
merupakan salah satu fondasi kuri kahan karena filsafat memuat
pengetahuan yang baik bagi siswa kelak untuk mencapai keberhasilan
hidup. Sebagai fondasi kurikulum, filsafat perlu dipelajari mahasiswa ke
pendulikan pendidik dan pengembang kurikulum, agar bangunan ku- kaum
yang didirikan di atasnya berdiri kukuh. Apalagi, filsafat hidup dan
kurikulum, menurut Zais (1976: 106), menjawab pertanyaan yang sama
yaitu "untuk menjadi apa anak manusia kelak Zais (1976:106) melanjutkan
bahwa menyusun dan mengembangkan serta mengimple- mentasi
kurikulum adalah suatu aspek filsafat, sedangkan filsafat, me- nurut John
Dewey (1916:383), adalah "teori umum pendidikan. Hakikat "filsafat hidup
dalam kurikulum adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai serta
bagaimana hal itu dapat dipelajari siswa melalui ku- rikulum yang relevan
dan efekut. Oleh karena pengetahuan merupakan mimu pokok kurikulum,
karakteratik filosofis ilmu pengetahuan perlu kita pahami. Filsafat yang
dianut suatu sekolah, pengelola dan pendidik di sekolah akan memengaruhi
orientasi, tujuan konten kurikulum, materi ajar, metode, dan kegiatan belajar
serta strategi penyampaian materi di sekolah nu (Ornstein & Hankins, 1988:
25). Dengan kata lain, se- bagai blueprint pendidikan, kunkulum memuat
panduan tentang arah das proses perjalanan pendidikan meniu pembentukan
siswa menjadi urang yang diinginkan (desirable men) Berdasarkan hal itu,
filsafat ti dak hanya penting bagi rancangan awal kurikulam, tetapi juga
krusial wak menetapkan proses pembelajaran Berikut disajikan surunan ka
jan filsafat umum sebelum fihafat pendidikan dibicarakan

2. Organisasi Posisi Filsafat

Filsafat dan asumsi filosofis adalah dasar-dasar kurikulum, karena


ia berkaitan dengan makna yang kita temui dalam kehidupan kita seba ri-
hari (Print, 1993-33) Selain itu, filsafat dan kurikulum adalah varian yang
sama atas jawaban pertanyaan. "What can man become?", "what can a
person become?," atau "What is the potential of a human being atau Apa
hakikat masyarakat (Zais, 1976: 106; Morris & Pai, 1976: 8) Jawaban atas
semua pertanyaan tersebut memberikan dasar berpikir pada pendidik dan
pengembang kurikulum ketika menentukan fondasi yang kuat dalam
mendesain kurikulum, menemukan alternatif kuriku lum yang tepat, mata
pelajaran yang relevan, materi ajar yang serasi, metode yang ampuh,
sistem evaluasi yang tepercaya dan arah perbaikan kurikulum yang benar
dalam konteks kehidupan masyarakat yang baik, kini, dan nanti. Statement
filsafat, menurut Wiles (2009), menyatakan Tujuan pendidikan yang akan
dicapai sekolah juga mengemukakan ni- lai-nilai yang mendasari program
pendidikan di sekolah. Pada tingkat kelas, filsafat memandu desain
instruksional yang secara filosofis ter baik, seperti pendekatan, materi dan
metode efektif (Wiles, 2009, 101). Tabel 3.1 memaparkan klasifikasi
kajian filosofis ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori, yaitu (1) Ontologi
atau metaphysics, hakikat rea lita (ontology): (2) Epistemologs
(epistemology), hakikat ilmu dan pe- ngetahuan: dan (3) Aksiologi
(axiology), hakikat nilai-nilai (Zais, 1976: 123). Bagaimana pengembang
kurikulum memandang dunia dan pen- didikan dapat diketahui melalui
jawaban atas tiga pertanyaan: (1) Apa yang nyata? (ontologi). (2) Apa
yang benar? (epistemologi), dan (3) Apa yang baik? (aksiologi).

Ontologi. Ontologi atau metaphysics adalah cabang filsafat yang


menjawab pertanyaan "Apakah realita itu?" Realita bisa dilihat orang
berbeda, walaupun yang nyata adalah menurut kultur masing-masing
Artinya, warga masyarakat yang berbeda memandang realita berbeda pula.
Di Abad Pertengahan, misalnya, warga menganggap dunia datar sebagai
suatu kenyataan (Print, 1993, 35). Pada Abad Pertengahan, re- alita juga
dipandang ada di dunia lain (other-worldly) atau kehidupan lain seperti
hari akhir, surga, neraka, dan lain-lain (Zais, 1976: 107). Pada masa
Renaisance terdapat perubahan tempat realita dalam kebu dayaan manusia
waktu itu; berpindah dari dunia lain (supernatural) ke alam dunia faria ini
(earth) disebabkan makna hidup juga berpindah ke dunia ini. Jadi, apa
yang nyata bagi suatu masyarakat sangat penting ke- taka kurikulum
dikonstruksi Pendidik dan perancang kurikulum me lalui kurikulum yang
dirancangnya berfungsi sebagai vehicle for change (kendaraan menuju
perubahan), karena kurikulum bisa mengubah re alita di masyarakat (Print,
1993: 35), seperti kurikulum mengajarkan dunia bukan datar tetapi bundar.
Hal yang agak sukar ditetapkan adalah realita ide-ide seperti ci- ta-
cita dan realita abstrak lainnya. Apakah realita abstrak dapat di anggap
eksis seperti benda-benda fisik lain di dunia ini? Kalau realita benda
abstrak seperti cita-cita, keadilan, demokrasi, kemuliaan, cinta, dan lain-
lain dapat dianggap riel, realita itu tidak selalu bisa dideteksi dengan
pancaindra untuk mengetahui keberadaannya (Zais, 1976: 107). Benda
abstrak itu pasti berada pada bentuk lain daripada keberadaan benda-benda
fisik yang ada di sekitar kita. Bagaimana hakikat benda abstrak yang
umumnya ada di dunia pendidikan?

Di dunia pendidikan, ontologi tentang benda, terutama yang


abstrak, biasanya ditunjukkan keberadaannya dengan menuliskan nama
benda itu. Kita tahu manusia bisa berkomunikasi melalui simbol
kebahasaan sehingga manusia dapat hidup dalam a word of symbols
(Mortis & Pai, 1976). Melalui simbol dari suatu benda, manusia tahu nama
benda itu, dan dapat merasakan dan menyelami keberadaan benda itu,
walau sebenarnya bukan benda itu sendiri, dan juga bukan tinta di atas
kertas atau papan putih tempat benda itu ditulis. Ini berarti bahwa ada
suatu realita yang berbeda dengan fisik benda itu sendiri. Dengan cara
demikian, realita yang direpresentasikan simbol atau huruf sangat ken- tara
eksistensinya sehingga simbol biasa dipakai sebagai cara utama da lam
memahami keberadaan suatu benda di muka bumi dan jagat raya ini (Zais,
1976: 109). Dengan simbol dari benda abstrak, terbuka cara
mengomunikasi keberadaan benda abstrak atau informasi dan ide-ide pada
zaman modern. Bahayanya adalah kecenderungan untuk menganggap
suatu benda abstrak, terutama di dunia pendidikan, sebagai benda itu
sendiri, dan malahan dianggap lebih superior dari benda yang
"disimbolinya" Akibatnya, kurikulum lebih fokus pada kajian abstrak mata
pelajaran tanpa disadari bahwa simbol tidak identik dengan benda itu
sendiri (Zais, 1976: 106-08).

Akibatnya, kegiatan belajar berdasarkan ontologi realita hampir


semuanya berbentuk verbal atau manipulasi simbol. Suasana belajar
berdasarkan ontologi ini bernuansa verbal learning, yaitu ekspose ver- bal
objek abstrak melalui presentasi lisan guru. Siswa cenderung ku- rang
memahami sajian verbal guru, baik berupa data, informasi, fakta, dan lain-
lain. Akibat yang lebih fatal ialah siswa menghafal, daripada mendalami
makna, materi yang abstrak tersebut sehingga pasti kurang dipahami
siswa.

Sebaliknya, bagi pendidik yang menilai tinggi ontologi benda atau objek
nyata (earth-centered) daripada simbol-simbol, akan melakukan
pengajaran berdasarkan kurikulum yang ditunjang media atau alat ban- tu
belajar nyata. Misalnya, mata pelajaran sains (IPA) akan lebih efek tif
jika dilakukan di laboratorium, bengkel atau lapangan, selain dalam kelas.
Sebabnya, karena pelajaran IPA bicara tentang fisik objek-objek serta
pekerjaan lain yang berkaitan manipulasi benda dan materiel lain. Ini
berarti, asumsi tentang hakikat realita tidak dapat diabaikan pakar
kurikulum dan pendidk, karena teori dan implementasi kurikulum d
tentukan asumsi penyusun dan pelaksana kurikulum berdasarkan ontologi
realita menurut filsafat tertentu.
Tabel 3.1 memperlihatkan pengelompokan ontologi atas tiga aliran
besar sumber realita, yaitu (1) ontologi supernatural (other-wordly), (2)
ontologi bumi (earth-centered), dan (3) ontologi manusia (man-cente mil).
Ontologi pertama, menurut Zais (1976), terkait pandangan fil fat pada masa
awal kebudayaan umat manusia yang sangat bervaria menurut aliran
keagamaan yang beragam Hampir semua pandangan tersebut dapat dibags
dua sumber ontologi (1) supernatural (the other world of the God) yaitu
dalam ranah spiritual ketuhanan seperti iman, Tuhan, malaikat, surga, dan
neraka, dan (2) ide-ide (the other world of the ideas), yaitu ranah ide-ide
seperti ide Plato, Aristoteles, dan Socrates Pengaruh ontologi ini masih
dominan terhadap para pengambil kepu tusan kurikulum di banyak negara
sampai hari ini (Zais, 1976: 110-23).

Sumber realita kedua, lanjut Zais (1976), bertumpu pada asumi


bahwa tempat realita ini berada di bumi (earth-centered) ini pada masa kini,
sekitar tempat manusia hidup. Aliran ontologi bumi sangat ber- pengaruh
pada pengembangan sains modern yang sangat dominan pada tahun 60-an,
terutama di Amerika Serikat, sebagai reaksi terhadap keberhasilan Soviet
Union mengorbitkan Sputnik. Ontologi yang keti- ga, Ontologi manusta
(man-centered) adalah aliran filsafat yang paling akhir yang mendasarkan
pikirannya pada asumsi bahwa realita ber tengger dalam pengalaman
manusia. Ontologi manusia menganggap pembicaraan tentang lokasi dan
hakikat realita tidak berdasar, karena manusia tidak paham realita secara
langsung dan karena realita terakhir terletak pada, dan berada dalam,
pengalaman setiap individu manusia (Zais, 1976: 106-11).

Masyarakat yang berbeda, misalnya, memandang realita berbeda


pula dan begitu juga warga masyarakat itu. Apa yang nyata bagi suatu
masyarakat sangat penting ketika kurikulum diberlakukan, baik untuk
menguatkan kenyataan atau mengubah kenyataan itu sehingga kuriku lum
berfungsi sebagai instrumen perubahan (Print, 1993 35). Misalnya. di suatu
masyarakat. Tuhan adalah suatu kenyataan sehingga keberada an Tuhan ini
dikuatkan kurikulum sekolah dengan mengajarkan iba- dah ibadah pokok
yang harus dilakukan siswa sesuai tuntutan agama sehingga kurikulum
berfungsi sebagai pemantapan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Tetapi, jika bagi suatu masyarakat, Tuhan belum merupakan suatu
kenyataan karena warga masih ateisme atau animis- me, kurikulum bisa
menjadi kendaraan perubahan agar warga masya- rakat bersangkutan
percaya pada keberadaan atau keesaan Tuhan. Pada kasus ini, kurikulum
berfungsi sebagai vehicle for change, kendaraan perubahan, karena
kurikulum bisa mengubah persepsi masyarakat tentang keberadaan dan
keesaan Tuhan menjadi suatu yang nyata. Di era modern ini, menurut Print
(1993: 35), selain sebagai vehicle for change, kurikulum bisa berfungsi
sebagai recreating reality (pencip taan kembali realita) seperti pengajaran
multikulturisme, persamaan hak, keadilan sosial, pendidikan lingkungan
hidup dan hak asasi ma- usia Dapat disimpulkan bahwa kurikulum
memegang peran penting dalam mengubah suatu realita atau muatan budaya
yang perlu dianggap benar dan diterima siswa dan anak-anak sesuai tujuan
kurikulum.

Epistemologi. Epistemologi adalah masalah filsafat tentang hakikat ilmu


pengetahuan dan hakikat mengetahui (nature of knowing) (Zais, 1976:11).
Bagi Walker dan Evers (1988), epistemologi adalah studi ten tang hakikat,
cakupan, dan aplikasi pengetahuan (Print, 1993: 36), dan terkait pula dengan
prosedur bagaimana kita mencapai suatu penge: tahuan (Morris, & Pai,
1976. 104). Ketika kita mengajukan pertanya an epistemologis dalam
kurikulum, kita bertanya, "apa yang benar?"; bagaimana kita mengetahui
kebenaran?" dan "bagaimana kita menge- tahui apa yang kita ketahui?"
(Print, 1993: 36; Zais. 1976; 111). Perta nyaan ini penting dipertimbangkan,
terutama, misalnya, di masyarakat yang menganggap kejujuran sebagai
suatu realita dan masyarakat ingin mewariskan nilai kejujuran itu kepada
generasi berikut (Print, 1993: 36), atau kita menciptakan kembali kejujuran
yang telah banyak di- langgar warga suatu masyarakat. Dari contoh itu
terlihat hubungan erat antara ontologi (kejujuran suatu realita) dan
epistemologi (kejujuran diyakini benar).

Ilustrasi yang baik tentang pentingnya epistemologi dalam


kurikulum terlihat pada perdebatan hangat tentang asal usul manusia,
apakah berasal dari Adam atau dari kera sesuai teori Darwin. Versi mana
yang benar? Bagaimana kita tahu kebenaran itu? Sangat penting pengetahu-
an yang diajarkan kepada siswa benar, bukan yang salah atau yang me
nyesatkan (Zais, 1976: 111). Menetapkan manusia berasal dari Adam sesuai
ajaran agama berarti kebenaran diwahyukan (revealed) melal kekuatan
supernatural (other wordly reality). Sebaliknya, posisi y menyatakan
manusia berasal dari kera versi Darwin berarti kebenar ditemukan
(discovered) melalui studi ilmiah bahwa realita berada di da nia ini (Zais,
1976: 111). Ilustrasi ini menunjukkan bahwa postu epis temologis yang
dipegang seseorang dalam kurikulum bergantung pada posisi ontologinya,
dan ini menunjukkan ada keterkaitan erat antara ontologi dan epistemologi.

Keterkaitan epistemologi, ontologi (dan juga aksiologi) terlih pada


Tabel 3.1: ada tiga ontologi yang terbagi atas tiga epistemolog Karena itu,
suatu epistemologi terkait dengan ontologi yang satu lain nya, dan ini berarti
pemakaian ontologi yang tidak sesuai dengan epi temologi bersangkutan
menimbulkan masalah. Zais (1976: 112) mem berikan ilustrasi berikut.
Andaikata seorang guru harus menjawab pertanyaan siswa tentang asal-usul
manusia. "Apakah manusia berasal dari Adam dan Hawa, atau dari kera
menurut teori Darwin?" Kalau guru itu penganut ontologi supernatural, dia
akan menjawab bahwa asal uxul manusia adalah Adam dan Hawa sesuai
epistemologi dari ontologi supernatural pengetahuan yang diwahyukan
(revealed knowledge) di- terima manusia (received knowledge). Sebagai
penerima revealed know ledge, baik pengetahuan yang diwahyukan atau
yang diajukan filsuf, pe ran orang adalah sebagai penerima pasif
pengetahuan. Sebaliknya, jika guru penganut epistemologi bumi,
jawabannya ialah manusia berasal dari kera berdasarkan epistemologi bumi
sebagai hasil temuan peneli tian empiris Darwin (discovered knowledge)
(Zais, 1976: 114). Manusia berperan aktif menemukan pengetahuan empiris,
tetapi berperan pasif menerima pengetahuan yang diwahyukan Jenis
pengetahuan yang mungkin timbul dari realita tergantung pada konsepsi kita
tentang realita itu sendiri: jenis pengetahuan yang tersedia bagi kita
bervariasi dari metafisik ke metafisik (Morris & Pal. 1976: 105). Idealisme,
misalnya, menerima kemungkinan perceptual knowledge (pengetahuan
persepsi), walau bisa juga menerima pengeta huan yang lebih dari hasil
persepsi saja. Pengetahuan yang berasal dari realita persepsi mungkin
pengetahuan yang didasarkan pada realita menurut aliran realisme, yaitu
sensory knowledge, karena p jenis ini bisa menunjukkan asosiasi antar
benda-benda, tetapi belum pengetahuan bisa mengungkapkan ide-ide
(Morris & Pai, 1976: 105).

Dapat disimpulkan bahwa karakteristik cara memperoleh pengetahuan,


menurut ontologi supernatural, ilmu pengetahuan yang baik drima. Artinya,
manusia menerima (received) pengetahuan yang diturunkan dari dunia atas
sana seperti ajaran keagamaan oleh Tu- Jan, atau dalam hal ide-ide oleh
filsuf. Pengetahuan yang diterima Nabi welalui wahyu, atau ide-ide yang
diterima dari filsuf, dianggap pene- rimanya sebagai sesuatu yang autentik,
bernilai tinggi, dan memiliki kadar kebenaran yang mutlak benar (Zais,
1976: 114). Pada pengeta hain temuan (discovered knowledge), tidak ada
klaim mutlak benar atas pengetahuan temuan itu, malahan pengetahuan itu
bisa ditolak jika ada bukti empiris yang membatalkannya.

Oleh karena tidak semua orang dapat menerima wahyu, epistemologi


supernatural dapat memakai jalan lain untuk menyebarkan pengetahuan
supernatural. Kebanyakan ilmu yang diwahyukan ditulis pada kitab suci
agama bersangkutan, sehingga orang lain yang tidak dapat wahyu dapat
memperolehnya. Orang yang menguasai ilmu dalam buku suci itu dianggap
orang sakti atau orang pintar, dan kebenaran ilmunya dalam buku suci
dianggap mutlak benar yang dikenal sebagai knowing by authority (Zais,
1976 11). Selain pengetahuan yang diterima atau diwahyukan, intuisi mem-
beri pengetahuan yang diterima seseorang seolah-olah seperti wahyu. yata
pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris. Malahan ada
intuisi tidak memiliki konotasi mistik, tetapi sebagai pengetahuan yang tiba-
tiba muncul sebagai hasil akumulasi pengetahuan seseorang selama ini
(Zais, 1976: 114). Kesimpulan, intuisi atau inspirasi adalah epistemologi
yang bukan berdasar pengetahuan yang diterima atau diwahyukan. Implikasi
pada kurikulum, pendidik yang menganut ontologi supernatural tidak begitu
sukar menyeleksi konten kurikulum, karena konten telah diwahyukan yang
dapat diakses dari buku suci agama. Apalagi konten yang diwahyukan atau
yang ada pada buku suci bersifat mutlak benar, dan oleh karena itu, harus
masuk kurikulum.

Karakteristik cara mengetahui ilmu pengetahuan, menurut episte- mologi


bumi (earth-centered epistimology), disimpulkan Zais sebagai berikut. Oleh
karena ontologi bumi memandang materi dunia ini sebagai tempat
kebenaran terakhir, data yang diperoleh melalui indra di anggap jalan yang
paling utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Oleh karena paham ini melihat realita seperti apa yang diperoleh me lalui
pancaindra, epistemologinya juga melalui proses penemuan (di. covery)
yang berasal dari hasil temuan empiris tentang realita di dunia (Zais, 1976:
115-19).
Keyakinan berlebihan pada epistemologi penemuan melalui ke
mampuan indra manusia kurang diterima, karena persepsi indra ma nusia
tidak sesempurna yang dipikirkan banyak orang, manusia berada dalam
enkapsulasi (Bab 6). Kekurangsempurnaan persepsi indra ma nusia
membuka jalan untuk mencari bentuk pencarian lain, yaitu vy rifikasi antar
ahli atau persepsi kolektifnya yang dikenal sebagai akal sehat, common
sense (Zals, 1976: 115) Zais melanjutkan bahwa melalui simbol, orang
dapat berkomunikasi dengan saling mengecek kebenaran persepsi masing-
masing guna mencapai kesepakatan tentang pengeta huan yang lebih tepat
bagi pengambilan keputusan.

Metode logika merupakan karakteristik epistemologi bumi ber


ikutnya. Para pakar menganggap logika adalah suatu alat yang penting bagi
analisis data indra. Zais (1976, 116) mencontohkan silogism untuk
menunjukkan peran logika yang menghasilkan pengetahuan, karena tanpa
data sensori, yaitu: Dalil 1, Semua orang akan mati; Dalil 2. Ani adalah
orang. Kesimpulan, Ani akan mati. Pernyataan kedua dalil di peroleh
melalui pengalaman sensori. Tetapi Ani saat ini masih hidup dan segar
bugar. Kita tidak dapat mengetahui melalui pengalaman sen sori bahwa
nanti Ani akan mati. Nanti saat kematiannya sudah datang kita dapat yakin
dia akan meninggal. Kesimpulan silogisme tersebut mampu menghasilkan
pengetahuan untuk mencapai suatu kesimpulan yang benar, walaupun data
sensori tentang hal ini tidak tersedia saat ini (Zais, 1976 116). Yang lebih
unggul dari silogisme adalah perolehan pengetahuan oleh pemikir yang
sama sekali tidak didasarkan pada pengalaman sen sori Penulis memulai
proses berpikirnya dengan proposisi pembukti an sendiri, self-evident. Dia
mampu memperoleh pengetahuan dengan bantuan logika (logical
knowledge). Pembuktian sendiri banyak dipakai dalam matematika,
terutama geometri. Umpama, dua garis yang sama panjang dengan satu garis
lain memberikan pengetahuan bahwa ketiga garis tersebut sama panjang.
Oleh karena itu, matematika sering kali disebut ilmu murni, sebab
matematika memuat pengetahuan yang data- nya tidak didasarkan pada data
sensori. Ilmu-ilmu murni selalu dimulai dengan kebenaran self-evident
(terbukti sendiri), suatu kebenaran yang secara keseluruhan tidak tergantung
pada pengalaman sensori (Zais, 1976: 116). Kedua tipe perolehan
pengetahuan, baik dengan proses penemuan (discovery) atau penerimaan
(receiving), merupakan epistemologi yang mutlak benar (ilmu pasti alam).
Orang tidak meragukan kebenar an pengetahuan yang diterima dari sumber
supernatural dan pengeta- huan yang diperoleh melalui penemuan. Kedua
hasil pengetahuan ini dianggap konstan kebenarannya dan tidak berubah.
Tetapi keduanya juga memiliki perbedaan mencolok. Pada proses penemuan
terkandung pengertian aktivitas pencari seperti meneliti, berpikir,
mengumpulkan bukti-bukti empiris tentang suatu kebenaran, dan lain-lain.
Adapun pada proses penerimaan terkandung kepasifan penuntut ilmu,
seperti menerima wahyu, menerima pengetahuan (received knowledge)
yang dikemukakan pakar serta pengetahuan yang diajarkan guru (Zais,
1976: 117) Implikasi perbedaan kedua epistemologi tersebut pada konten
ku- rikulum ialah: epistemologi penemuan lebih mementingkan pelajaran
realita fisik dunia seperti fisika, kimia, biologi, dan lain-lain, agar siswa
memahami pola alamiah benda-benda alam nyata, dan akan mempel- ajari
sosiologi, psikologi, dan antropologi untuk memperoleh hukum tingkah laku
manusia secara individu atau secara kelompok.

Metode pemilikan pengetahuan, menurut epistemologi manusia,


hampir sama dengan epistemologi bumi. Tetapi, ada perbedaan besar antara
keduanya menurut ontologi manusia, tidak ada pernyataan mutlaknya
kebenaran yang diperoleh ontologi manusia. Ontologi ma- nusia memakai
persepsi sensual dengan logika dalam proses perolehan pengetahuan yang
menghasilkan pengalaman. Dasar pikirannya ialah bahwa manusia tidak
dapat mengetahui lingkungan mereka secara langsung seperti yang
dinyatakan penyokong metode penemuan. Me- nurut ontologi mariusia,
ilmu pengetahuan selalu disaring pengalaman. Artinya, pengalaman
merupakan "bahan baku" bagi pembentukan kep dunia yaitu lingkungan.
Perolehan ilmu pengetahuan, menurut nogi manusia, ialah melalui proses
konstruksi (constructed), bukan melalui penemuan (discovery) seperti
menurut ontologi bumi, atau pe- terimaan (received) menurut ontologi
supernatural. Jadi, ontologi ma- maia menganggap ilmu pengetahuan
dikonstruksi (constructed knowle 1) dari pengalaman manusia (Zais, 1976:
118).

Metode konstruksi pengetahuan terlihat pada metode ilmiah, be


pikir menyeluruh, berpikir reflektif atau berpikir kritis. Metode terseb
basanya terdiri atas lima tahap proses (1) kesadaran adanya masalah (2)
perumusan masalah, (3) identifikasi alternatif pemecahan masalah (4)
proyeksi konsekuensi yang akan timbul, dan (5) pengujian konse kemi
dalam pengalaman (Zais, 1976: 117). Zais mengingatkan bahwa tahap tahap
metode ilmiah tersebut cukup fleksibel, dan karena itu, da pat dimodifikasi
Ada dua keunggulan utama metode ini: (1) bersifat terbuka, vali ditas ilmu
pengetahuan dapat diverifikasi, malahan dapat ditolak sama sekali, oleh
siapa saja, (bandingkan dengan metode wahyu yang memer lukan status
khusus untuk dapat memiliki pengetahuan yang ditemukan secara empiris,
apalagi kalau menolaknya); dan (2) bersifat temporal dan tentatif, karena
pengetahuan didasarkan pada pengalaman: pengetahu an dapat direvisi
dimodifikasi, malahan dapat ditolak, kalau dapat di buktikan oleh
pengalaman yang berbeda (Zais, 1976: 118), (bandingkas dengan ontologi
supernatural yang menegaskan mutlaknya kebenaran).

Terkait kurikulum epistemologi konstruksi pengetahuan mem-


punyai beberapa karakteristik (1) konten cenderung fleksibel sebab ilmu
pengetahuan Hasd epistemologi rekonstruksi bersifat relatif, ti- dak mutlak
benar, dan karena itu, dapat berubah; (2) ilmu pengetahuan yang tentatif itu
berarti penguasaan konten (the whats) tidak sepenting penguasaan
bagaimana (the hoses) dalam memperoleh pengetahuan dan (3) implikasi
lanjutan dari prinsip butir 2 adalah bahwa kurikulum meletakkan tekanan
lebih besar pada pembelajaran proses (the how) daripada pembelajaran
konten (the whats). Maksudnya, kurikulum lebih mengutamakan pengajaran
bagaimana siswa dapat memproses (process learning), menggenerasi
(generative learning), atau mengkonstruksi (contructivum) konten menjadi
ilmu pengetahuan Kurikulum aktivitas (the activity curiculum) atau
kurikulum pemecahan masalah sebenarnya berpijak pada konsep
epistemologi rekonstruksi (Zais, 1976: 118) ide ini sejalan prinsip paling
penting psikologi pendidikan, yaitu guru ndak boleh memberi siswa
pengetahuan, tetapi siswa itu sendi- ri yang harus difasilitasi agar ia dapat
mengkonstruksi sendiri konten kurikulam menjadi ilmu pengetahuan
melalui kemampuan logika atau nalar sizwa masing-masing (Slavin, 1994:
224). Caranya, lanjut Slavin. dengan membuat konten kurikulum menjadi
bermakna (meaningful) dan relevan dengan siswa, Guru dapat memfasilitasi
proses ini dengan memberi kesempatan kepada siswa menemukan atau
mengaplikasikan ide-ide siswa sendiri dan menyadarkan siswa bahwa tiap
siswa sebenar- nya memiliki strategi belajar masing-masing (Slavin, 1994:
224) yang perlu upaya guru untuk terus membantu siswa memanfaatkan
strategi belajar tersebut.

Aksiologi. Aksiologi adalah cabang filsafat tentang hakikat nilai-


nilai(values). Pertanyaan aksiologis merupakan fitur penting kehidup an
kita, karena keputusan tentang nilai yang kita tetapkan berpengaruh besar
pada tingkah laku kita (Print, 1993: 36). Cabang filsafat ini beru- saha
menjawab pertanyaan, "apakah yang bagus (indah) itu?" "apa yang hak
dilakukan orang?" (Zais, 1976: 119). Jawaban aksiologis atas per- tanyaan
itu sangat penting bagi keberadaan kita, karena jawaban atas pertanyaan itu
selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga penting pula bagi
pengembangan kurikulum (Print, 1993: 36). Sebab, manusia bukan hanya
knowing mechanism tetapi juga valuing organism, sehingga karakteristik
manusia yang dipandu nilai-nilai barangkali, menurut Morris dan Pai (1976
204), lebih mengarahkan tingkah laku manusia yang sesungguhnya daripada
karakteristik tingkah laku yang dibentuk oleh pengetahuannya.

Aksiologi terdiri atas dua kategori utama etik dan estetika (Zais,
1976 119). Erik terkait pengertian benar dan salah, baik dan jelek dalam
kehi dupan manusia. Estetika menyangkut pengertian indah dan kesenangan
pengalaman manusia. Etik dan estetika berkaitan erat dengan kurikulum.
Menurut Print (1993:36), pertanyaan aksiologis adalah fitur penting kehi-
dupan kita, sebab keputusan aksiologis kita berpengaruh besar pada ting kah
laku kita. Kedua kategori aksiologis itu sebagai berikut.

Pertama, etika menyangkut masalah moral: konsep baik dan buruk,


benar dan salah dalam kaitannya dengan tingkah laku manusia (Print. 1993
36). Ketika mendesain kurikulum, lanjut Print, pengembang kuri- kalum
perlu menyadari posisi etika mereka sendiri yang diintegrasikan dengan
basis etika yang ada untuk masuk kurikulum. Dengan demiki an,
pengembang kurikulum akan menyeleksi objektif dan konten kuri- kulum
yang dalam pikiran pengembang lebih etis, baik yang menyang- kul
pengetahuan maupun prosesnya (Print, 1993: 36), Pendidikan, pada
dasarnya, merupakan suatu proses untuk memengaruhi para siswa
sedemikian rupa sehingga mereka dapat menjadi orang yang kalau tidak
diberi pendidikan etika, cenderung menjadi orang yang tidak beretika atau
kurang bermoral Untuk dapat mendidik mereka agar bermoral di perlukan
kurikulum yang sebagai instrumen yang menumbuhkan pada diri siswa
keinginan untuk memilih alternatif nilai yang baik dan benar agar dapat
fungsional dengan sukses di masyarakat dan sekaligus dapat pula
menghalangi mereka menganut nilai-nilai yang tidak diinginkan (Zais 1976,
119-20). Dengan kata lain, kurikulum harus menanamkan pengetahuan etika
(apa yang benar dan yang salah) termasuk keteram pilan yang diperlukan
siswa untuk menetapkan keputusan yang teput serusi etika (Print, 1993-371

Kedua, estetika menyangkut pertanyaan apakah keindahan itu, yang


mencakap nilai-nilai seperti keindahan dan kesenangan pengalaman
manusia. Pengalaman estetika yang dimiliki siswa mencakup penga laman
melalui penglihatan, pendengaran, perasaan, dan sebagainya. Ini berarti
kurikulum harus menumbuhkan pengalaman estetika pada anak dan
pengalaman yang perlu prioritas, karena biasanya manusia tidak se nang
pada hal-hal yang diharuskan (Zais, 1976: 120-21). Karena estetika
menyangkut apa yang indah dan pengalaman apa yang menghasilkan
kesenangan tingkat unges, hal ini akan menimbulkan kesulitan pada pe
ngembang kurikulum, sebab apa yang indah bagi seorang mungkin tidak
indah bagi yang lain, terutama bagi orang yang berbeda kultur. Untuk
menanggulangi hal ini, salah satu cara termudah yang dapat dilakukan
pengembang kurikulum dan pendidik ialah mengajarkan ni lai-nilai estetika
sesuai standar pendidikan yang berlaku, sebab standar in biasanya
ditetapkan dengan memperhatikan nilai-nilai estetika yang berlaku umum di
masyarakat atau negara bersangkutan. Jalan keluar tersebut tidak juah
berbeda dengan apa yang dikemukakan Zais (1976 121-22), yaitu dengan
memasukkan nilai-nilai estetika, sesuai komit- men ontologis yang
menghasilkan komitmen aksiologis. Artinya, nilai- nilai yang dimasukkan
dalam kurikulum ialah nilai-nilai yang dianggap watu masyarakat benar atau
nyata. Hal ini dapat dikreasi atau dikuat- kan kurikulum yang berlaku,
terutama nilai-nilai yang termasuk onto logi supernatural yang
kebenarannya mutlak. Jalan keluar lain dikemukakan Print (1993), yaitu ada
konsensus kuat dalam sekolah umumnya untuk memasukkan elemen apresia
si estetika dan perolehan keterampilan apresiasi itu dalam kurikulum
sekolah. Jadi, musik, seni, teater, tari, prakarya, dan sebagainya harus masuk
kurikulum. Tetapi perlu dipertimbangkan bagian apa dan be rapa banyak
dari setiap elemen apresiasi estetika itu yang harus masuk kurikulum.
Misalnya, gaya musik apakah (rok, pop, tradisional atau yang lainnya) dan
berapa porsi maxing-masingnya yang harus masuk kurikulum? (Print, 1993:
38).

B. FILSAFAT UMUM

Ada empat filsafat umum yang berpengaruh besar pada filsafat pen- didikan,
yaitu: (1) filsafat tradisional: (a) Idealisme, dan (b) Realisme, serta (2) filsafat
kontemprorer (c) Pragmatisme, dan (d) Eksistensial- ime (Orstein & Hunkins,
2013: 31), sebagai berikut:

1. Idealisme

Idealisme (lebih tepat "idea-ism"), adalah salah satu aliran filsafat


tertua dan tradisional gagasan Plato. Plato, menurut Thut (1957), men-
deskripsi benda nyata bukan seperti benda fisik di dunia yang kita tempati,
tetapi non-materiel berbentuk ide yang tidak pernah berubah se panjang
masa: dia itu "benda" walau tidak bisa dilihat dengan mata atau dipegang
dengan tangan (Zais, 1976: 130). Menurut Plato, jagat raya merupakan ide
lebih nyata daripada peristiwa yang diketahui (Schubert, 1986: 128). Ide ini
ditegaskan Plato: to see with the eye of the mind", me- lihat dengan mata
pikiran (Stone & Schneider, 1971: 268). Ketika filsuf Parmenindes berkata:
"apa yang tidak bisa dipikirkan tidak nyata, dia benarnya mendakwa bahwa
"dunia adalah ide saya" dan ini, menurut Kneller (1971; 9), merupakan
metafisik (ontologi) idealisme. Kaum idealis percaya, dunia spirit dan non-
materiel yang eksistensinya nyata itu, memandang jagat raya sebagai
ekspresi kecerdasan dan ketauan yang sangat tinggi, yaitu universal mind
(Ornstein & Levine, 2008 164). Idealis yakin bahwa esensi spiritual atau
jiwa seseorang me nakan elemen permanen manusia yang memberi
kekuatan kepada- nya untuk berpikir dan merasa. Dunia intelektual, atau
spirit ide-ide, Tidak pernah hilang sehingga tidak berubah, dan karena itu, ia
selalu ama dalam keteraturan dan kesempurnaan. Sama dengan spirit univer-
sal itu sendiri, kebaikan, kebenaran, dan keindahan bersifat universal dan
abadi (Ornstein & Levine, 2008: 164),

Karena dunia intelek atau spirit seseorang permanen, salah satu ciri
unik idealisme ialah pendekatan rasionalistik pemecahan semua persoalan
hidup (Johnson, 1968:32) Pemecahan masalah dimulai dari bentuk unum de
melalui cara cara berpikir deduktif dan rasional ata pemecahan masalah tiap
hari manusia (Smith, 1965 18-19, Johnson 1968 32). Karena itu, aliran ini
memberi prioritas tinggi pada pikiran (d) Seperti telah disinggung di muka,
pikiran dan ide-ide benife abadi, regaler atau teratur Dan, kebenaran dan
nilai-nilai bersifat absolut dan universal

Spirit atau ide-ide diyakini kaum idealis sebagai realita akhir (Stone &
Schneider, 1971, 69). Karena itu, menurut idealis, realita akhir ada spirit
daripada fisik dan mental daripada materiel. Aliran ini tidak menolak
eksistensi fik keduniaan di sekeliling kita, tetapi walau sem benda mu nyata
fik benda sebenarnya bukan mil, sebab dia hanya lah manifestas realita yang
lebih fundamental (Kneller, 1971: 9) yaitu ade-ide dalam pikiran individu
manusia. Walau begitu, kaum ideala memandang kebenaran terpisah dari
individu atau masyarakat tempat dia hidup, sehingga kebenaran harus
didapatkan. Apalagi, pikiran yang merupakan kekuatan hidup seseorang,
memberinya vitalitas dan dina mika hidup (Ornstein & Levine, 1985 188).

Bagi seorang idealis, hanya mental dan spirit yang realitas akhir (the
ultimate reality) (Stone & Schneider, 1971: 269). Ini juga berarti, bagi aliran
ini, jagat raya merupakan ekspresi dan inteligensi kemauan manusia yang
tinggi yang disebut "a universal mind" Esensi spiritual atau jrwa mampu
bertahan lama sehingga ia bersifat permanen, sching- ga pikiran atau
kekuatan hidup seseorang memberi utilitas dan dinami- ka hidup kepadanya
Stone & Schneider (1971-268), merangkum bahwa bagi idealis, individu
dilihat sebagai hasil akhir, bukan alat untuk men capai suatu akhir

Artinya, bagi kaum idealis, nilai-nilai merefleksi saling keterkaitan yang


baik di jagat raya. Nilai-nilai itu berufat absolut, abadi, dan uni versal, dan
karena itu, tingkah laku etis tumbuh dari aspek warisan bu daya permanen.
Ini berarti, etika terdapat dalam, dan ditransfer oleh. warisan ini. Juga
filsafat, teologi, sejarah, sastra dan seni yang kaya de ngan sumber nilai-
nilai, termasuk ke dalam mata pelajaran pokok alir an idealisme, karena
melalui pewarisan budaya kepada generasi muda. anak dapat akses atau
ekspose kepada model yang berharga, terutama yang klasik, yaitu karya
besar umat manusia (Ornstein & Levine, 1985: 190) yang tidak lapuk oleh
hujan dan tidak lekang oleh panas. Implikasi konsep idealisme ialah
pendidikan berfungsi memfasilitasi siswa untuk mencapai yang benar,
indah, baik dan sarat nilai.
Filosof Jerman George Wilhem Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa
eksistensi pikiran absolut dan menciptakan pandangan historis menyeluruh
tentang sejarah dunia adalah berdasar gagasan idealisme. Di Amerika
Serikat, filsuf transendental Ralph Waldo Emerson (1803- 1882) dan Henry
Thoreau (1817-1862) menukilkan konsep idealisme tentang realita. Dalam
bidang pendidikan, menurut Butler (1966), Fre- derick Froebel, (1889)
penggagas Sekolah Taman Kanak-Kanak adalah seorang pedagog idealis.
William Harris, lanjut Butler (1966), yang me mopulerkan gerakan taman
kanak-kanak, membuat idealisme sebagat sumber filsafat administrasi ketika
ia menjabat Komisioner pendidikan Amerika Serikat awal abad ke-20.
Penyokong aliran idealisme kontem- prorer ialah J. Donald Butler (1966)
(Ornstein & Hunkins, 2013: 31).

Terlihat bahwa idealisme menginginkan pendidikan terarah pada pewarisan


kekayaan intelektual dan kultural yang kaya kebenaran se- panjang abad. Ini
berarti siswa harus bergerak mendekati hal yang ide- al dengan mencontoh
guru melalui diskusi ide-ide (Johnson, 1968: 32) dalam mata pelajaran yang
saling menghubungkan ide-ide dan kon- sep-konsep, Menurut idealis,
sintesis antara sistem konsep pada mata pelajaran bahasa, matematika, dan
estetika mempresentasikan kera- gaman dimensi abolut.

Pendidikan idealis fokus pada warisan kultural dari kemanusiaan


(humankind) yang bersifat hierarkis dan berdasarkan ide-ide berkisar hal-hal
yang ideal. Hal yang ideal ini diperoleh dari masa lalu, seper- ti terdapat
dalam buku-buku dan kesusastraan klasik sebagai sumber ide-ide. Di sini,
siswa dilihat sebagai pikiran yang akan dibentuk guru dengan mengajarkan
hal-hal klasik melalui mata pelajaran tertentu. Cara ini dianggap terbaik
untuk memperoleh ide-ide yang sudah hidup selama berabad-abad. Karena
itu, kaum idealis yakin bahwa pendidikan harus menjunjung tinggi kebaikan
dan kebenaran, sebab kualitas ide ideal tersebut tidak akan berubah
sepanjang zaman: "truth and values are seen as absolute, timeless, and
universal" (Ornstein & Hunkins: 1988: 29). Ini berarti pendidikan terarah
pada pewarisan nilai-nilai (values) ideal kepada anak melalui mata pelajaran
yang sarat pengetahuan yang mengintegrasi konsep-konsep ideal.

Terlihat bahwa mata pelajaran utama idealisme ialah mata pel ajaran umum
atau abstrak seperti filsafat dan teologi yang menembus waktu, temput, dan
lingkungan di samping keunggulannya yang dapa diaplikasikan dalam
situasi dan pengalaman luas. Ke dalam kategori inj termasuk matematika,
karena pelajaran ini mengembangkan potensi intelektual siswa agar dia
terlatih mengembangkan kompetensi berpikir abstrak dan berpikir tingkat
tinggi (high-ranking thinking skills). Baha sa termasuk ke dalam mata
pelajaran penting, karena diperlukan bagi komunikasi selain dari
memfasilitasi pengembangan kemampuan ber pikir konsepsual. Mata
pelajaran abstrak lain ialah sejarah dan kesusa traan, karena mengandung
pesan moral dan model kultural yang baik. Sebaliknya, mata pelajaran sains,
alam, dan fisik termasuk rendah da lam daftar prioritas idealis, karena mata
pelajaran itu terkait sebab aki bat sapa (Ornstein & Hunkins, 2013:31), tidak
menyentuh perkembang- an kemampuan berpikir abstrak, logis, atau
konsepsual.

2. Realisme

Realiame, dikembangkan Aristotle (384-322 BC) murid Plato, ada- lah


filsafat tentang eksistensi real world, yang mengutamakan pengeta huan dan
nilai-nilai objektif (Ornstein & Levine, 2008: 166). Kaum realis modern
percaya realita akhir adalah dunia nyata, yaitu dunia yang bebas dari
pengalaman manusia (Stone & Scheneider, 1971: 276). Eksistensi materi
terlepas dari, dan di luar, pikiran kita. Basis pemahaman manusia tentang
realita terdapat dalam objek dunia dan persepsi manusia tentang objektu
(Ornstein & Levine, 1985: 191). Jadi, semua objek berbentuk benda dan
semua benda berada sesuai struktur masing-masing.

Konsep realisme oleh John Locke (1959, 1965) menganggap semua


pengetahuan diperoleh melalui pengalaman manusia (Schubert, 1986 129).
Thomas Aquinas (124-1274) menggabung ide realisme Aristote- Han dan
ajaran dasar Kristiani menjadi realisme, yaitu Thomism yang menjadi dasar
pendidikan Katolik (Ornstein & Levine, 2008: 167). Berdasarkan pokok
pikiran realisme itu juga, John Heinrich Pestalozzi (1746-1827) pendidik
Swiss, mengembangkan prinsip object lesson yang dimulai dengan
pengajaran benda konkret dan berakhir dengan bentuk abstrak benda itu.
Dari prinsip itu, Pestalozzi mengembangkannya m men- jadi tiga tipe
belajar-form, number and sound-yang terkenal sebagai the Three Rs
reading, writing arithmetic (Ornstein & Hunkins, 1988: 29).
Realisme muncul sebagai reaksi terhadap idealisme. Ada tiga
konsep dasar realisme (1) eksistensi dunia nyata yang tidak dibuat atau
dikonstruksi manusia: (2) eksistensi nyata ini dapat diketahui melalui
pikiran manusia, dan (3) pengetahuan itu adalah satu-satunya pedo man
yang sahih terhadap tingkah laku manusia, individual dan sosial (Ornstein &
Levine, 2008: 167). Sama dengan idealisme, realisme mengutamakan
pengetahuan objektif dan nilai. Tetapi, realis menolak anggapan idealis
bahwa dunia yang benar hanya ada dalam pikiran manusia atau
supernatural, dan sesuatu yang terlihat, menurut kaum realis, hanya
gambaran dari yang benar dan nyata.

Dasar memahami realita ditemukan dalam dunia ini dan dalam


persepsi manusia tentang objek tersebut. Semus objek terdiri atas henda
dalam format sesuai struktur benda bersangkutan (Ornstein & Levine, 1985
191), Manusia dapat mengetahui objek itu melalui indra dan rasio yang
terdiri atas dua tingkat, yaitu sensori dan abstraksi. Melalui sensori.
seseorang yang tahu melihat suatu objek sambil merekam data sensori
berupa atribut benda yang bersangkutan seperti bentuk, warna, berat, bunyi,
dan lain-lain yang lekat pada benda bersangkutan. Kemudian benda tersebut
beserta atributnya direkam pikiran kita. Melalui abstrak- si, seseorang
membentuk konsep suatu objek yang diklasifikasi pikiran manusia sesuai
atribut objek itu yang tentu berbeda dengan atribut ben- da lain (Ornstein &
Levine, 1985: 191-92). Kesimpulan, kaum realis mo dern menolak
supernatural dan hanya berpegang pada objek nyata yang dipersepsi melalui
pancaindra (sensori) dan abstraksi (pikiran).

Kaum realis tidak memberi penghargaan khusus pada pikiran


manusia seperti kaum idealis, karena pikiran itu hanya merupakan bagian
integral dari manusia yang diciptakan untuk melakukan tugas khusus
(Kneller, 1972: 24-25). Metode induksi dalam pengumpulan data dipa- kai
secara luas oleh kaum idealis dalam mengembangkan prinsip-prin- sip dan
generalisasi baru yang diaplikasi pada semua konsep kebenaran dan
keindahan. Kesimpulan ialah bahwa realisme menekankan hu- bungan
sebab akibat dalam dunia nyata yang berimplikasi bahwa rea- lisme lebih
realistik dari idealisme, yaitu yang lebih fokus pada benda seperti apa
adanya, bukan seperti apa seharusnya. Implikasi paham realisme itu pada
pendidikan ialah mengajar anak memahami dan menyesuaikan diri dengan
orde alam. Mereka harus belajar cara cara hidup harmonis dengan alam
yang memperlihatkan yang jala yang beragam, dan guru harus mampu
mengajar dan membimbing anak untuk memahami hakikat benda-benda dan
hukum alam penuh dengan keteraturan Karena itu, objektivitas melalui
penggunaan kemampuan berpikir dan indra dalam belajar sangat dijunjung
tingga aliran ini.

Selain itu, kurikulum menurut kaum realis terdiri terutama pada


pengajaran fisika dan ilmu sosial yang menerangkan fenomena alan
(Johnson 1968:34) Tekanan lebih besar diberikan pada pengajaran sa ins
dan matematika. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh validitas pan candra
dan mengecek validitas hasil kerja pancaindra itu serta hasilny dengan
mengembangkan kemampuan siswa menginterpretasi fakta dan gejala alam
nyata dan saling kaitan antara fakta-fakta dan gejala-gejala alam itu
(Schubert, 1986. 28-29). Telah disinggung di muka bahwa prin- sip
pembelajaran object lesson Pestalozi berakar pada aliran filsafat rea lisme.
Dia menganjurkan agar pendidikan dimulai dengan pengajaran objek
konkret yang berakhir dengan konsep abstrak.

Pendidik modern, seperti Harry Broudy (1961) dan John Wild


(1948), adalah penganut kaum realis terkemuka Sama dengan aliran
idealisme, kaum realis mengutamakan pelajaran umum dan abstrak karena
mata pelajaran tersebut terkait latihan kemampuan berpikir logis atau
berpikir rational. Dalam pelajaran tersebut, konsep dan sistem te lah disusun
ke dalam konsep abstrak seperti etika, politik, dan ekonomi yang mendapat
prioritas tinggi realisme (Ornstein & Hunkins, 2013:31).

Karena realisme memandang eksistensi dunia terlepas dari manusia


dan tergantung hukum alam yang hampir tidak dapat dikontrol manusia,
sekolah perlu mentransfer muatan pokok mata pelajaran agar Siswa
memahami dunia sekeliling mereka (Kneller, 1971: 12). Jelas bahwa
sekolah bertugas untuk mengajarkan dunia yang objektif (objective world)
kepada siswa melalui mata pelajaran tentang objek-objek dunia, karena
berbekal pengetahuan itu, siswa dapat mencapai kehidupan me-
nyenangkan.

Dengan kata lain, kaum realis menuntut guru menguasai konsep


dasar mata pelajaran dan menyusunnya dalam unit-unit yang diajat kan serta
dapat pula dipelajari siswa untuk memenuhi kebutuhan siswa bersangkutan
(Ornstein & Levine, 1985; 193). Artinya, agar mutu pen didikan kaum realis
dapat dicapai, guru harus kompeten dalam mata pelajaran yang
diajarkannya, karena realis memandang ahli mata pel- ajaran sebagai
sumber otoritas utama pendidikan. Bagi kaum realis tu juan pendidikan
ialah membantu siswa menjadi seorang intelek utuh serta mampu
beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial mereka (Kneller, 1971: 13).
Implikasi realisme, mengajar siswa kebenaran mela lui mata pelajaran
klasik, karena kurikulum dan konten tidak berubah sepanjang zaman.

3. Pragmatisme

Berlawanan dengan filsafat tradisional, pragmatism (juga disebut


experimentalism) berdasar pada ide perubahan, proses, dan relativitas.
Sementara idealisme dan realisme mengutamakan pengetahuan, prag-
matisme memandang pengetahuan sebagai proses di mana realita selalu
mengalami perubahan (Ornstein & Hunkisn, 2013: 32). Ciri lain prag-
matisme ialah keampuhan suatu ide bisa diketahui dengan mengaplika si ide
itu dalam kehidupan (Ornstein & Hunkins. 2008: 169). Ide yang sama
dikemukakan R.S. Peter (1977) bahwa pragmatisme atau experi mentalism
John Dewey (1859-1952), adalah filsafat berbasis perubahan, proses,
relativitas dan rekonstruksi pengalaman (Ornstein & Levine, 2008: 169).
Aliran Dewey ini sedikit berbeda dengan pandangan prag matis terkenal
lainnya seperti Charles Sander Pierce (1839-1914) dan William James
(1842-1910). Pragmatisme Pierce dipengaruhi oleh fi- sika dan matematika,
pragmatisme Dewey oleh ilmu sosial dan biologi dan pragmatisme James
bersifat persepsual, psikologikal, dan religius (Kneller, 1971: 13).

Dalam banyak hal, lanjut Kneller, pragmatisme dipengaruhi


kondisi abad ke-20 dibandingkan dengan idealisme dan realisme. Pragma-
tisme adalah suatu aliran filsafat yang memandang realita selalu berada
dalam pemulihan (perubahan), adanya relativitas nilai-nilai sehingga
diperlukan manusia seutuhnya yang berinteligensi kritis (an intellectu ally
well-balanced person), bukan manusia yang harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan hidup, fisik dan sosial, seperti diinginkan kaum idealis
dan realis (Kneller, 1972: 13). Misal, tahun 1920-an aliran ini me-
mentingkan individualisme, sedangkan selama masa depresi, pragmatis
menjagokan kesadaran sosial yang besar. Karena itu, aliran ini menoleh
pada sains untuk membantu manusia menemukan jawaban yang tepat
terhadap masalah manusia. Sebab menurut kaum pragmatis, sains telah
cukup maju untuk mengungkap berbagai masalah alam jagat raya melalui
penggunaan berbagai metode terbaik. Selain itu. pragmatisme memandang
realita berasal dari inter aksi antara apa yang dialami manusia dan
lingkungan yang saling "ber. koordinasi sehingga kedua elemen tersebut
sama-sama bertanggung jawab atas timbulnya realita (Kneller, 1972: 15).
Dikaitkan dengan pen didikan, aliran ini mengutamakan pengalaman siswa
sebagai hal pen. ting dalam setiap proses pembelajaran sebagai hasil
interaksi antar siswa, materi ajar dan lingkungan pendidikan.

Ini juga berarti bahwa pendidikan harus dilihat sebagai alat untuk
menciptakan kembali, mengontrol, dan mengarahkan pengalaman ma nusia
bagi pencapaian tujuan yaitu membantu siswa memecahkan ma salah riil
yang dihadapinya. Dengan demikian, pendidikan bukan suatu proses
persiapan siswa menghadapi kehidupan, tetapi merupakan bagi an integral
dari kehidupan itu sendiri (Zais, 1976: 14). Posisi pragmatis me disimpulkan
Stone & Schneider (1971: 281-82), untuk mengetahui validitas doktrin
pendidikan ialah setelah terbukti keampuhannya bagi pemecahan masalah
nyata.

Peran utama guru, menurut kaum pragmatis, menyiapkan suasana


atau lingkungan belajar yang memungkinkan siswa memperoleh
pengalaman belajar (learning experience) dalam mengidentifikasi ma salah,
dan mencarikan jalan ke luar dari masalah itu (Johnson, 1968: 36). Jelas
bahwa konsep Dewey (1902, 1908, 1923, 1938) tentang peng alaman
merupakan komponen kunci filosofi pragmatisme dan ekspe rimentalisme.
Kalau idealis dan realis fokus pada mata pelajaran seba- gai sumber
pengetahuan, John Dewey fokus pada proses atau metode perolehan
pengetahuan untuk memecahkan masalah riil manusia. Ide ini didasrkan
pada pertimbangan bahwa pembelajaran timbul ketika seseorang terlibat
dalam pemecahan masalah dengan memanfaatkan metode ilmiah, baik bagi
pemecahan masalah pribadi maupun masalah sosial (Ornstein & Levine,
1985: 199). Metode ilmiah ini dikembangkan sampai menjadi kompetensi
yang dapat ditransfer ke, dan dikembang kan dalam, pemecahan masalah
baru dalam konteks berbeda.

Dengan kata lain, pragmatisme melihat mata pelajaran dan


materinya sebagai alat atau kendaraan (content vehicle) untuk mencapai
pengalaman belajar, bukan sebagai target (content-based) dalam proses
pembelajaran. Sejalan dengan itu, kurikulum tidak fokus pada mata
pelajaran (subject matter-based) atau materinya (content-based) yang harus
dipelajari siswa seperti yang diinginkan kedua aliran filsafat tra- disional,
tetapi diarahkan pada seperangkat kegiatan belajar (learning activities)
melalui pemberian kesempatan belajar (learning opportuni- ties) oleh guru
kepada siswa agar siswa memperoleh pengalaman aplikatif konten
kurikulum.

Dengan cara itu, siswa mengkonstruksi sendiri realita yang ada


(Zais, 1976: 150). Maksudnya, kaum pragmatis memandang pembelajar- an
(learning) sebagai proses merekonstruksi pengetahuan atau peng- alaman
sesuai metode ilmiah untuk diaplikasi pada pemecahan masa- lah tertentu
yang jenis dan bentuknya dapat bervariasi pada lingkungan dan waktu yang
berbeda. Yang utama dalam proses ini ialah siswa perlu menguasai metode
pemecahan masalah dengan cara yang cerdas (intel- ligent maner), sehingga
guru tidak mendominasi proses pembelajaran. tetapi memfasilitasi siswa
untuk mengkonstruksi konten menjadi pengetahuan siswa.

Implikasi logis adalah pendidikan pragmatisme lebih mengutama


kan proses daripada produk, fokus pada konstruksi pengalaman belajar
daripada menargetkan materi ajar, dan yang difasilitasi guru daripada
diajarkan guru, Kurikulum yang sesuai dengan prinsip pragmatisme adalah
kurikulum terpusat pada siswa (student-centered), berorientasi proses
(process learning), dan lebih mengutamakan pengalaman belajar (learning
experiences) untuk mengembangkan pengetahuan dan kete- rampilan yang
dapat diterapkan bagi pemecahan masalah (problem solving). Oleh karena
pengalaman hanya dapat diperoleh melalui asosiasi dengan materi ajar,
orang lain dan lingkungan belajar, siswa harus ting- gal di masyarakat,
bekerja sama dengan mereka dan mengadaptasi diri secara logis terhadap
kebutuhan dan aspirasi sosial (Kneller, 1972: 14) yang seharusnya telah
mereka pelajari di lingkungan sekolah sebagai suatu mini society.

Zais (1976: 15) memerinci kriteria selesksi mata pelajaran pragma-


tisme: (1) Apakah mata pelajaran itu berarti dan memperkaya penga- laman
anak?, (2) Apa kegunaan mata pelajaran tersebut bagi pengem bangan
kemampuan siswa dalam pemecahan masalah?, dan (3) Apakah kontribusi
mata pelajaran itu bagi pengembangan inteligensi siswa agar ia dapat
mengkonstruksi pengetahuan bagi pengambilan keputusan bijaksana dalam
kehidupan? Untuk mencapai sasaran itu, bagi p tis, menurut Ornstein &
Hunkins (2013: 32): "teaching should be t exploratory than explanatory" dan
"the method is more important than subject matter" Pengajaran harus
berorientasi eksplorasi daripada eks planasi, dan metode lebih penting dari
mata pelajaran. Berbeda denga kedua ontologi filosofi tradisional yang
memandang realita bersifat universal dan konstan, ontologi pragmatisme
melibatkan orang dalam lingkungan.

Kesimpulan, pembelajaran pragmatisme bukan fokus pada transfer


pengetahuan (knowledge transmission), tetapi pada fasilitasi kemampu an
siswa mengembangkan pengetahuan (knowledge generation) yang te lah
dipelajarinya, sehingga menjadi lebih banyak, lebih dalam dan lebih luas.
Strategi yang sesuai bukan mengutamakan pengajaran (teaching) tetapi
mementingkan pembelajaran (learning) dengan berbekali siswa dengan
kemampuan metode ilmiah untuk memecahkan masalah.

4 Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme muncul dari beberapa pemikir seperti


Soren Kieregaard (1942), Jean-Paul Sartre (1952), Karl Jaspers (1952),
Martin Heidegger (1946), dan Gabriel Marcel (1948) (Stone & Sch neider,
1971: 285). Para filsuf ini, lanjut Stone dan Schneider, menilai pentingnya
pengkajian introspeksi terhadap diri masing-masing untuk menjawab
pertanyaan, "Apa yang memberi makna pada eksistensi ma- nusia?"
Daripada merumuskan suatu pandangan filosofis, eksistensialis mengkaji
kehidupan pada tingkah laku personal manusia, karena mere- ka
menganggap jagat raya bersikap tak acuh kepadanya. Makna kebera
daannya itu, menurut mereka, tidak diperolehnya dari pelajaran agama,
filsafat sosial, atau sains. Karena orang tidak bernilai dalam jagat raya ini,
dia harus mencari keutamaan eksistensinya yang absolut melalui dirinya
sendiri. Dengan memperoleh nilai tentang keberadaan dirinya di dunia ini,
dia bebas memilih dan menentukan siapa dia dan akan menjadi apa dia.
Jawaban tentang pertanyaan ini dapat diperolehnya melalui pengembangan
kekuatan kemanusiaannya.

Ini berarti, pencapaian diri secara sendiri-sendiri lebih dipenting


kan dari pencarian diri itu secara bersama-sama (Smith, 1965: 208-09).
Moto kaum ini ialah "existence precedes essence", eksistensi saya antiseden
terhadap fakta lain atau pemahaman apa saja yang mungkin saya peroleh
tentang eksistensi saya (Morris & Pai, 1976: 13). Jadi, eksisten sosialisme
menuntut keaktifan penuh manusia bagi realisasi diri sehingga
keberadaannya di dunia memiliki arti penting yang dapat dicapai melalui
kemerdekaan berekspresi dengan pikiran dan karya masing-masing.

Kaum eksistensialis memandang pengetahuan sesuatu yang


personal, dan pendidikan harus membantu individu menemukan arti keber-
adaannya. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan kesempatan haas
kepada tiap individu mengembangkan kemampuan diri untuk mem- buat
keputusan moral yang berarti. Epistemologi eksistensialis meng- asumsi
bahwa tiap individu bertanggung jawab atas pengetahuan serta berasal dari,
dan terdiri atas, apa yang eksis dalam diri individu, terma- suk perasaan
sebagai hasil pengalaman hidupnya (Kneller, 1958: 59), Jadi, pengetahuan
tidak "diajarkan kepada siswa, tetapi ditawarkan melalui dialog agar dia
mampu berpikir sendiri sampai pengetahuan menjadi miliknya (Tanner &
Tanner, 1975: 93).

Karena eksistensialisme adalah filsafat individu, kita paham meng


apa pendidikan menurut aliran ini lebih fokus pada pengembangan in-
dividu, pengetahuan tentang diri dan pilihan diri. Mata pelajaran yang sesuai
adalah seni, seperti melukis, musik, mematung, sastra, menari, dan drama
(Zais, 1976: 154). Menurut Kneller (1958), eksistensialis memberi tempat
yang tinggi kepada mata pelajaran humaniora, bukan untuk analisis atau
apresiasi, tetapi untuk membangkitkan perasaan seperti rasa bersalah,
penderitaan, tragedi, kematian, kebencian, dan cinta. Mata pelajaran tersebut
menimbulkan pengenalan atas diri dan ekspresi individual, serta
menumbuhkan pikiran individu berdasarkan pikiran diri tentang nilai dan
makna eksistensi individu dalam hidup (Kneller, 1958: 59).

Kesimpulan, pilihan sendiri dan tanggung jawab pada konsekuensi


pilihan sendiri merupakan aspek terpenting filsafat eksistensialisme. Untuk
itu, mata pelajaran yang terpenting ialah mata pelajaran yang membantu
siswa merealisasi diri (self-fufillment) dan yang membuka kesadaran pada
keberadaan diri di dunia ini (Kneller, 1958: 82). Jadi, siswa menyadari,
melalui realisasi atas eksistensinya yang bebas, bah- wa ia bertanggung
jawab atas konsekuensi keputusan yang telah dite- tapkannya sendiri. Tabel
3.2 menggambarkan overview tentang empat filsafat umum utama.

C. FILSAFAT PENDIDIKAN
Beberapa pandangan filsafat umum telah mendasari aliran filsafat
pendidikan yang bukan saja berpengaruh pada kurikulum, bahkan
menentukan keputusan pendidikan, kurikulum, dan pembelajaran. Beberapa
aliran filsafat utama pendidikan tersebut sebagai berikut.

1. Perenialisme

Perenialisme, salah satu aliran filsafat klasik (Ornstein & Levine,


1985; Lapp et al., 1975), atau yang paling tradisional, berakar dari aliran
filsafat realisme yang termasuk the earth-centered philosophy. Filsafat yang
termasuk salah satu filsafat bumi dan tertua, berakar pada Aristotle yang
menyatakan manusia adalah makhluk rasional. Pendidikan yang sesuai
dengan filsafat ini ialah pengembangan intelektualitas manusia. Aliran realis
juga memandang bumi adalah tempat dan benda yang di- kenal manusia
melalui pancaindra dan rasio. Karena itu, perenialisme ingin agar
pendidikan memfasilitasi siswa memahami dan menyesuai kan diri dengan
orde alam. Kurikulum yang sesuai tentu membimbing siswa tentang cara
hidup harmonis dengan bumi dan hukum alam. Karena itu, pengembangan
kemampuan indra siswa untuk mempelajari alam dijunjung tinggi aliran ini
(Ornstein & Levine, 1985: 193; Lapp et al, 1975:21),

Menurut perenialis, karena manusia dianugerahi kemampuan ber


pikir, pendidikan harus lebih fokus pada pengembangan kemampuan
berpikir siswa. Pengembangan kemampuan berpikir anak dapat diper oleh
melalui permanent studies, yaitu kekayaan intelektual riil klasik yang
dimiliki manusia. Berdasarkan itu, pendidikan perenial dianggap lebih
mementingkan waktu lampau daripada waktu kini dan masa depan, sehingga
menurut pengamat, filsafat pendidikan perenialisme lebih fokus pada
eternerly present, sebagai basis kehidupan permanen sepanjang masa
(Lappetal., 1975: 24-25).

Prinsip utama perenialisme diringkas Kneller (1972); (1) Hakikat


manusia adalah sama di mana saja untuk semua orang di mana pun mereka
berada, walau mereka hidup dalam lingkungan berbeda (2) Manusia harus
memakai rasio yang mereka miliki sebagai kekayaan paling berharga untuk
menuntun insting mereka; (3) Tugas utama pendi dikan adalah mengajarkan
kebenaran abadi (eternal truth) yang sama di mana saja di dunia ini; (4)
Pendidikan bukan imitasi kehidupan, tetapi persiapan untuk menghadapi
kehidupan: (5) Siswa harus diajari "mata pelajaran utama yang akan
memperkenalkan mereka dengan hal-hal yang permanen di dunia melalui
pelajaran bahasa, sejarah, matematika, sains, filsafat, dan seni rupa; dan (6)
Siswa harus mempelajari karya be- sar sastra, filsafat, sejarah, dan sains,
karena melalui mata pelajaran ter sebut terlihat aspirasi dan prestasi besar
umat manusia (Kneller, 1972: 42-46)

Berdasarkan ide itu, filsafat perenialisme menjagokan kurikulum


terpusat, mata pelajaran bagi pengembangan kemampuan intelektual siswa,
seperti sejarah, geografi, ekonomi, kimia, biologi, fisika, dan ga- bungan
beberapa mata pelajaran seperti IPS dan IPA. Dengan kata lain. kaum
perenialis mengutamakan pembelajaran universal yang mencakup
pengetahuan yang sudah teruji validitasnya sepanjang masa dan yang
mengandung nilai-nilai moral dan luhur. Misalnya, di pendidikan dasar,
kurikulum harus mengutamakan the three Rs (reading, writing dan
arithmetics) di samping pembelajaran moral dan agama; di seko lah
menengah diutamakan mata pelajaran bahasa Latin, Yunani, tata bahasa,
retorika, logika, dan geometri (Ornstein & Hunkins, 1988:53).

Jadi, perenialisme memandang hakikat jagat raya, manusia, kebenaran,


pengetahuan, dan keindahan permanen menjadi fokus pendidikan

Robert Hutchins (1953), seorang penganut fanatik perenialisme,


mendakwa agar pendidikan perenialis fokus pada kekuatan intelektual meng
sissa, bukan pada pemenuhan kebutuhan siswa bukan pendidikan kejuruan
atau pendidikan profesional, tetapi pendidikan untuk optimalkan
kemampuan intelektual siswa (Ornstein et al. 2011: 1811 Hutchins lebih
lanjut menegaskan bahwa fungsi manusia di setiap masyarakat sama
sehingga pendidikan adalah konstan, absolut, dan universal (Ornsteins &
Hunkins, 2013: 34), Berdasarkan itu, tujuan pendidikan perenialis adalah
untuk memanusiakan siswa, bukan da lam arti modern, tetapi dalam arti
"tradisional" yaitu mengembangkan kemampuan rasio, moral, estetika, dan
agamais sehingga berkontribusi pada etika dan tingkah laku siswa melalui
pengembangan kemampu an intelektual (Lapp et al, 1975: 29, Ornstein et
al., 2011: 181). Sama dengan idealis, realis dan esenstalis, kurikulum
perenialis bersifat sub ject-centered, dan pembelajaran bernuansa teacher-
dominated classes yang mereka sebut liberal education dengan tekanan
utama pada ba hasa, sastra, matematika, logika, seni dan sains (Ornstein et
al. 2011: 181). Implikasi, guru harus seorang yang menguasai bidang studi
dan keterampilan yang tidak diragukan, karena ia membimbing diskusi ber-
dasarkan metode Socrates: eksposisi lisan, kuliah dan eksplikasi, Karena
mata pelajaran konstan, tugas pokok guru adalah mentransfer materi ajar ke
dalam memori siswa yang secara pasif menyerap materi itu tan- pa
mempertanyakan validitas materi atau tidak berupaya mengkajinya lebih
dalam lagi (Lapp et al. 1975: 29).

Implikasi ide perenialis terhadap kurikulum ialah mengabaikan


potensi siswa, bukan saja karena aliran ini menganggap bakat, minat, dan
aspirasi siswa tidak relevan bagi pengembangan kemampuan inte-
lektualitas, tetapi juga karena mereka memandang siswa belum matang
untuk menentukan sendiri pengetahuan apa yang terbaik dan berguna bagi
mereka. Karena itu, para siswa harus menerima saja materi yang diajarkan
guru tanpa memvalidasinya, selain untuk mengajar siswa memiliki nilai-
nilai kesabaran dan disiplin (Lapp et al, 1975: 29). Jadi, menurut
perenialisme, hanya ada satu jenis bentuk kurikulum untuk semua siswa di
mana pun mereka berada, sehingga hampir tidak ada kesempatan bagi siswa
memilih mata pelajaran yang mereka senangi.

Dapat diduga bahwa perenialisme tidak suka pada mata pelajaran


yang berkaitan dengan perasaan, pendidikan jasmani, kewarganega- raan,
kesejahteraan keluarga, dan lain-lain. Semua mata pelajaran ini. menurut
kaum perenialis, tidak perlu dimasukkan dalam kurikulum, a pelajaran itu
tidak ikut mengembangkan kemampuan nalar dan daya berpikir konsepsual
siswa. Sebaliknya, kemampuan membaca karena mata bahan bacaan klasik
dan materi yang "sukar" harus merupakan bagian penting kurikulum
perenialisme (Tanner & Tanner, 1975: 10). Menurut aliran ini, kebenaran
mutlak tentang realita yang objektif merupakan substansi penting yang
harus diajarkan sekolah melalui metode penga- jaran ekspositori (Lapp et
al., 1975:23), Kesimpulan, kurikulum pereni lis hanya ada satu kurikulum
homogen bagi semua siswa di mana pun mereka berada, tanpa peduli pada
perbedaan individual siswa, perbeda an lingkungan fisik, psikologis dan
kultural.

Pada awal tahun 1980-an, ide perenialisme bangkit kembali melalui tulisan
Mortimer J. Adler (1982) Paideia Proposal: An Educational Ma nifesto yang
menyatakan setiap orang berhak memperoleh pendidikan umum dengan
kualitas terbaik. Menurut Adler (1982), Hutchin (1953, 1963), dan kaum
perenialis lainnya, siswa tidak boleh dikotak-kotak- kan dalam jurusan atau
kelompok lain sehingga menghalangi mereka memperoleh pendidikan
umum sebagai salah satu hak asasi manusia yang hakiki (Ornstein & Levin,
1985; 195). Untuk maksud tersebut, Adler (1982) mengusulkan tiga tipe
kurikulum untuk meningkatkan kemampuan intelektual siswa: (1) perolehan
pengetahuan melalui metode pengajaran didaktik (teaching), (2)
pengembangan keterampilan dasar melalui coaching tentang ide-ide, dan (3)
pemahaman nilai-nilai melalui metode Sokrates (Ornstein & Hunkins, 1988:
34). Kesimpulan jalah kurikulum perenialisme fokus pada pengembangan
kemampuan intelektual anak sebagai prioritas utama

2. Esensialisme

Aliran esensialisme adalah filsafat klasik dan konservatif yang ke-


dua. Esensialisme berakar pada realisme dan idealisme yang muncul se-
bagai reaksi terhadap filsafat progresivisme. Aliran idealisme, the other-
word philasohy memakai metode induksi dalam pengumpulan data untuk
mengembangkan prinsip dan generalisasi baru yang diaplikasi pada semua
konsep kebenaran dan keindahan. Realisme juga mengutamakan hubungan
sebab akibat dalam dunia nyata. Adalah ciri pokok aliran ini untuk memakai
pendekatan rasio, melalui berpikir deduktif terhadap semua masalah (Smith,
1965: 18-19). Kaum idealis berasumsi bahwa kebenaran terpisah dari
individu atau masyarakat tempat kita hidup. Kebenaran harus didapatkan,
dan karena itu, dianggap bersifat mutlak. Idealisme memberi tekanan lebih
besar pada aspek intelektual, tetapi mengabaikan aspek fisik sehingga
pendidikan esesialisme fokus pada pewarisan kekayaan kultural yang
bermuatan kebenaran sepan jang abad. Artinya, pendidikan harus dapat
membawa siswa bergerak mendekati yang ideal dengan mencontoh guru
mendiskusikan ide-ide (Johnson, 1968: 32).

Sama dengan perenialisme, esensialisme adalah salah satu


pandangan filsafat yang paling tua dan paling banyak dipakai dalam
pendidikan. Aliran ini menginginkan agar pendidikan fokus pada
mempertahankan peradaban manusia dengan mentransfernya melalui
pengembangan kemampuan intelektual, baik dalam proses maupun dalam
konten pen- didikan. Karena itu pendidikan harus uniform (Johnson, 1968:
23; Orn- stein et al, 2011: 171).
Esensialisme mendasarkan pikirannya pada lima prinsip utama se perti yang
dikemukakan Weber (1960): (1) Manusia adalah makhluk bernalar; (2)
Pikiran terdiri atas fakulti (faculty) yang terpisah: (3) Tiap fakulti dapat
diperkuat melalui latihan; (4) Sekali fakulti itu diperkuat, pengaruhnya akan
terlihat pada perbuatan yang bernalar; dan (5) Hanya sedikit saja mata
pelajaran yang bersifat universal dan paling pen- ting (essensial subjects)
(Johnson, 1968: 23). Prinsip terakhir ini adalah ide pokok paham ini, bahwa
hanya beberapa mata pelajaran essential dalam kurikulum bagi semua anak.

Kalau kaum perenialis memandang pengajaran untuk


mengembangkan kemampuan nalar anak, suatu hal yang benar sepanjang
masa dan menghidupkan kekayaan kultural, kaum esensialis menginginkan
kemampuan intelektual anak diarahkan kepada pemenuhan kebutuh an
modern melalui disiplin akademik, kebahasaan, matematika, sains, sejarah,
dan bahasa asing. Kaum esensialis yakin bahwa disiplin ilmu tersebut amat
penting bagi pengembangan mental anak. Karena itu, pendidikan menurut
esensialisme, harus terpusat pada pembelajaran essential skills seperti
membaca, menulis, dan berhitung (3Rs), serta keterampilan riset di sekolah
dasar. Di sekolah menengah, mata pelajaran lalah sains, aritmetika, sejarah,
bahasa Inggris, dan bahasa asing sebagai instrumen untuk mencapai liberal
education sehingga bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan kemajuan sosial
siswa (Ornstein & Levin, 1985: 196), Sasarannya ialah untuk menyiapkan
siswa agar fungsional dalam masyarakat yang beradab. Berdasarkan pikiran
ini, kaum esensialisme- remehkan pelajaran yang "tidak sukar" seperti
vokasi, pendidikan jas mani dan seni (Tanner & Tanner, 1975: 11), serta
mata pelajaran "mu- dah lainnya seperti olahraga, civic, dan pendidikan
keluarga.

Menurut Arthur Bestor (1955), seorang tokoh esensialisme kon-


temporer, mata pelajaran sains dan liberal arts adalah inti pendidikan umum
untuk membantu orang berfungsi secara bijak dalam kehidupan (Kneller,
1972). Pernyataan ini sebagai reaksi atas progresivisme dan non-esensialis
lain yang pro pendidikan afektif. Misal, pendidikan pe oyesuaian diri,
bertentangan dengan aliran esensialisme dan perenialis- me yang fokus pada
pengembangan kemampuan akademik siswa saja. Kedua aliran,
esensialisme dan perenialisme, beranggapan bahwa pendidikan dasar harus
mengutamakan pengembangan keterampilan dasar (basic skills) siswa serta
pengetahuan esensial bagi pelajaran lanjutan. Tetapi, esensialis tidak
sependapat dengan perenialis bahwa pengetahu- an yang benar terdapat
pada verietas abadi (eternal varities) yang sudah terpelihara dalam buku
besar (great books) dunia Barat. Menurut esensialis, buku besar itu dapat
saja dipelajari tetapi harus dicarikan relevansinya dengan kenyataan masa
kini (Kneller, 1972:57).

Kembali ke Keterampilan Dasar. Kemunculan ide esensialisme


di Amerika Serikat timbul semenjak tahun 1970-an dengan gerakan Back-
to-basics Movement. Gerakan kembali ke dasar ini dipicu makin
merosotnya mutu pendidikan di Amerika Serikat. Penyokong gerakan ini
menyalahkan, antara lain, sistem naik kelas otomatis, banyaknya mata
pelajaran pilihan, buku teks yang kurang mendukung penguasaan mata
pelajaran esensial. Selain itu, inovasi pendidikan yang belum teruji
keampuhannya juga dijadikan alasan atas banyaknya siswa yang belum
menguasai keterampilan dasar di samping alasan terdahulu. Berdasarkan
fakta itu, esensialis mendesak pemberlakuan standar minimal ke lulusan
(minimal competency-based), kompetensi dasar untuk diterima di suatu
pekerjaan dan kemampuan hidup mandiri (self-survival) di dunia modern
(Ornstein & Hunkins, 1988: 36). Selain itu, kompetensi guru juga didesak
untuk ditingkatkan, termasuk metode mengajar da mutu augnments serta tes
yang harus diberikan secara lebih sering da biasanya, selain perlunya ditagih
akuntabilitas guru atas tugas profesin nal mereka (Ornstein & Levin, 1985;
197-98). Kesimpulan, gerakan is menjagokan ide konservatisme pendidikan
sesuai aliran esensialisme dan perenialisme yang menganggap sekolah
adalah institusi yang har fokus pada pengembangan keterampilan dasar dan
penguasaan mata pelajaran intelektual, bukan pada mata pelajaran yang
mereka sebu non-intelectual subjects.

Pendidikan Unggul (Ekselen). Pemunculan kembali ide esensia lisme yang


kedua terlihat pada gerakan Excellence in Education pad tahun 1980-an di
Amerika Serikat melalui beberapa tindakan sepen pengetatan kualitas
akademik. Gerakan ini sejalan era perang dingin pasca Sputnik ketika kaum
esensialis berpengaruh besar pada kuriku lum sekolah bersamaan dengan
tema yang lebih luas seperti teknologi dan kompetisi ekonomi (Ornstein &
Hunkins, 1988: 37). Ketidakpuas an publik terhadap rendahnya mutu
akademik lulusan sekolah terlihat pula dengan keluarnya beberapa laporan.
Salah satunya yang terkenal dan berpengaruh ialah laporan A Nation at Risk
pada pertengahan tahun 1980-an yang menuntut reformasi pendidikan untuk
meningkatkan mutu pendidikan di negara itu mengingat makin ketatnya
persaingan internasional. Sekarang pun, kualitas pendidikan bukan hanya
masalah yang dirisaukan publik, tetapi juga ahli pendidikan seperti yang
dikemukakan Edward E. Pajak (2007: 132), sekolah kini bertanggung jawab
untuk menciptakan pembelajaran berkualitas tinggi bagi semua anak.

Tuntutan yang nyaring dikeluarkan adalah untuk tingkat


pencapaian siswa yang lebih tinggi (higher achievement), bukan standar mi-
nimal untuk semua siswa, bukan untuk mereka yang akan melanjutkan ke
pendidikan tinggi saja (Ornstein & Hunkins, 1988: 37). Ini mensya- ratkan
supaya sekolah mementingkan pencapaian prestasi akademik bukan
pengembangan manusia seutuhnya; pengetatan nilai akademik dan testing,
bukan pada standar yang longgar, tetapi pada pemberla kuan standar
kelulusan akademik yang tinggi. Selanjutnya, Ornstein & Hunkins (1988)
menyimpulkan, pendekatan yang tepat untuk meres pons tuntutan
peningkatan kualitas pendidikan tersebut ialah melalui gerakan peningkatan
kemampuan dasar siswa agar mampu berpikir kritis, berpikir rasional dan
kemampuan pemecahan masalah. Pening- katan kualitas siswa untuk
menguasai semua mata pelajaran terkait kua litas pendidikan yang
diinginkan itu termasuk penguasaan teknologi yang direpresentasikan
keterampilan komputer (setelah the 4Rs) dalam persiapan menghadapi dunia
global masa depan (Ornstein & Hunkins, 1988:37)

Dari uraian di atas terlihat bahwa kedua gerakan Go-back to Basics


Jan Excellence in Education, merupakan representasi posisi perenialis- me
dan esensialisme yang menginginkan kurikulum lebih mengutama kan
latihan intelektual siswa. Menurut kedua aliran filsafat pendidikan
tradisional ini, satu-satunya jalan menuju peningkatan kualitas pendi- dikan
adalah pengajaran mata pelajaran akademik tertentu saja (Tanner & Tanner,
1975: 11-12). Bagi kaum perenialis dan esensialisme, kualitas pendidikan
hakiki harus memberikan pengalaman belajar intelektual tingkat tinggi bagi
semua orang. Penyokong kedua aliran ini menentang sekolah kejuruan.
Menurut kedua filsafat ini, hak untuk memperoleh akses ke pendidikan
berkualitas tinggi berlaku bagi semua siswa, bu- kan hanya bagi sekelompok
siswa tertentu saja. Ornstein dan Hunkins (1985) menyimpulkan dengan
baik posisi kedua aliran filsafat tersebut:
Overall, the trends is for higher achievement (not just minimum compe-
tency) for all children (not just for college-bound students) in the acade-
mic areas, which means that we need to stress cognitive achievement
Inot the whole child) and rigorous grading, testing, and discipline (not
relaxed standards). The emphasis is on higher standards for passing co-
urses and meeting graduation requirements (Ornstein & Hunkins,
1988: 371

Ini berarti kedua filsafat tradisional menginginkan agar kurikulum


fokus pada optimalisasi pengembangan kognitif atau keterampilan
intelektual siswa yang hanya dapat dicapai melalui mata pelajaran akademik
atau sains yang "sukar" saja. Artinya, aliran filsafat tradisional bersikukuh
bahwa untuk mencapai pendidikan ekselen, kurikulum hanya disusun
berdasarkan struktur displin ilmu. Sebab, menurut Schwab (1962), kalau
struktur disiplin ilmu tidak diperhatikan dan diturut sebagai bagian integral
kurikulum, akan terjadi malapetaka dan kegagalan belajar anak. Beberapa
ilmuwan lain bersuara lebih keras dari Schwab Mereka menganggap disiplin
ilmu harus satu-satunya sumber kurikulum. Salah satu ilmuwan itu ialah
Phenix (1961), yang menegaskan bahwa kurikulum harus terdiri hanya atas
ilmu pengetahuan yang berasal dari disiplin dmu saja Seperti akan terlihat di
bagian lain be In posisi kedua aliran filsafat pendidikan konservatif itu
berseberangan dengan posisi dua filsafat pendidikan kontemporer, dan
rekonstruksionisme

Perlu dikemukakan persamaan dan perbedaan mendasar antara


filsalat perenialisme dan esensialisme Kedua isme ini mendasarkan po sisi
filosofis mereka pada masyarakat yang statis (static view of society dan
pengetahuan yang statis (static body of knowledge), sehingga merek
beranggapan bahwa mata pelajaran yang harus masuk kurikulum sam untuk
semua siwa, yaitu mata pelajaran yang mengembangkan kemam puan
intelektual anak (Lapp et al, 1975; 21). Sasaran ini hanya dapa dicapai
melalui pengajaran mata pelajaran akademik tertentu saja yang hanya dapat
diajar ahli mata pelajaran yang menilai tinggi kemampuan rasio dan logika
(Tanner & Tanner, 1975. 13, Lapp et al, 1975: 22).

Karena mata pelajaran tertentu itu bersifat konstan, tugas guru,


menurut aliran filsafat ini, adalah mentransfer pengetahuan yang telah siap
pakai itu pada tiap mata pelajaran kepada siswa. Dan, adalah tugas siswa
untuk menerima saja presentasi guru tanpa bertanya dan tanpa berpikir
panjang apakah materi tersebut masuk akal (logic) atau bukan Tentu saja
tipe pembelajaran yang sesuai dengan ide tersebut ialah te acher-centered
dan suasana belajar dalam kelas akan menjadi teacher dominated
classrooms.

Dapat diketahui bahwa kedua aliran filsafat tradisional ini tidak


acuh pada pemenuhan kebutuhan siswa. Mereka menolak relevansi
kurikulum, karena mereka yakin bahwa siswa belum mampu memahami
pengetahuan yang relevan bagi mereka, sehingga yang diperlukan ada- lah
sifat sabar dan disiplin siswa untuk menerima semua yang diajarkan guru
mata pelajaran (Lapp et al., 1975; 22). Pendekatan yang demikian biasa
disebut indoktrinasi, karena siswa tidak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapat, tetapi hanya sebagai penerima pasif presen tasi
guru Terlihat ada paradoks dalam pola pikir kedua filsafat tradisional ini,
yaitu sasarannya ingin mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi
dalam peroses pembelajaran, siswa tidak difasilitasi untukmemberdayakan
atau mengembangkan potensi intelektual tiap siswa

Di samping persamaan, terdapat perbedaan antara kedua filsafat


itu. Perenialisme berakar pada masyarakat agraris, sehingga paham ini lebih
bernuansa humanisme. Sebaliknya, esensialisme yang tumbuh pada
masyarakat industri, lebih berorientasi sains, Implikasi, kuriku lum
perenialis lebih fokus pada pengembangan kemampuan akademik siswa,
sedangkan kurikulum esensialis mengutamakan pengembangan kemampuan
untuk suatu vokasi atau pekerjaan. Walau keduanya me miliki persamaan,
tetapi ada perbedaan antara keduanya. Perenialisme bernuansa akademik
sehingga program pendidikannya sering dikenal dengan istilah liberal arts
program untuk mengembangkan kemampuan intelektual siswa. Adapun
esensialisme lebih bersifat praktis dan prag matik (Lapp et al. 1975: 23).

3. Progresivisme

Progresivisme bermula sebagai gerakan reformasi umum di masya


rakat dan kehidupan politik Amerika pada awal akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 (Ornstein & Hunkins, 2013: 184). Progresivisme di-
kembangkan berdasarkan filsafat pragmatisme sebagai protes terhadap
pendidikan tradisional perenialisme dan esensialisme. Kedua filsafat
tradisional ini, seperti telah diketahui, lebih mengutamakan intelek sis- wa
melalui pengajaran mata pelajaran tanpa mempertimbangkan bakat. minat
atau potensi siswa. Pragmatisme bukan menganggap mata pel- ajaran tidak
penting, tetapi menempatkan mata pelajaran sebagai alat (tools) bagi
pengembangan pengetahuan berdasarkan bakat dan minat siswa sehingga
pengetahuan yang dipelajari siswa dapat berkontribusi pada pengembangan
pengalamannya memecahkan masalah kehidupan (Johnson, 1968: 36).
Menurut pragmatisme, ketika siswa berhasil me- mecahkan suatu masalah,
atau dia dapat memuaskan keinginan tahunya terhadap sesuatu, ia akan lebih
termotivasi untuk mengasah kemampu- an pemecahan masalah atau untuk
memuaskan keinginannya di masa depan. Karena pragmatisme adalah suatu
pandangan filsafat manusia (man-centered philosophy) yang memandang
realita selalu berada dalam perubahan, pemulihan, relativitas nilai-nilai, dan
pemakaian inteligensi yang kritis (Kneller, 1972: 13), paham ini menoleh
pada science untuk membantu jawaban atas pemecahan masalah manusia
dan berpegang pada anggapan bahwa keampuhan akhir suatu ide ditentukan
oleh ke- ampuhannya waktu diaplikasikan di dunia nyata.

Aliran filsafat pragmatisme berakar pada tulisan Horace Mann dan


Henry Barnard pada abad ke-19, dan kemudian pada John Dewey pada awal
abad ke-20. Dewey memandang sekolah sebagai masyaraka mini (a mini
society), tempat siswa mempelajari dan mempraktikkan prinsip demokrasi
dalam kehidupan bermasyarakat (Ornstein & Hun kins, 1988: 35). Sebab,
menurut Dewey (1916), seseorang belajar jik la terlibat dalam pemecahan
masalah dan ketika itulah ia memerluka metode ilmiah untuk membantunya
memecahkan masalah pribadi das masalah sosial. Pengalaman yang
diperolehnya dalam memecahkan su atu masalah di masa lalu,
membantunya memecahkan masalah lain d waktu yang akan datang, baik
dalam pemecahan masalah yang hampir sama ataupun yang baru sama
sekali (Macdonald & Zaret, 1975: 2-3),

Ini berarti, menurut pragmatis, suatu proses pembelajaran harus


menumbuhkan meaningful learning experiences bagi siswa. Pengalam an
belajar yang bermakna, menurut Combs et al. (1974: 57), "involves secing
and feeling experiences", yaitu pengalaman yang diperoleh me lalui
penglihatan dan perasaan. Dari pandangan ini tersirat ide bah wa pendidikan
harus dilihat sebagai alat untuk menciptakan kembali. mengontrol, dan
mengarahkan pengalaman untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu
membantu siswa memecahkan masalah kehidupan. Dengan demikian,
menurut pragmatisme, pendidikan bukanlah suatu proses persiapan anak
untuk menghadapi kehidupan, tetapi merupa kan bagian integral dari
kehidupan itu sendiri (Zais, 1976: 14). Dalam konteks ini, peran guru
mencakup penyiapan lingkungan belajar yang memfasilitasi perolehan
pengalaman siswa mengidentifikasi masalah, dan mencarikan jalan ke luar
dari masalah itu dengan bantuan metode ilmiah (Johnson, 1968: 36). Hal
yang sama dikemukakan Ornstein dan Hunkins (1988: 38), bahwa guru
berfungsi sebagai fasilitator pemecah an masalah dan penyelesaian proyek
ilmiah. John Dewey (1902, 1906, 1923, 1938) dan William Kilpatrick
(1914) menyebut peran guru itu sebagai "leader of group activities" atau
disebut resourse facilitator oleh Ornstein dan Levine (1985: 205), karena
tugas guru yang baik, menurut Combs et al. (1974: 51), adalah untuk
memfasilitasi pembelajaran bu kan mengajari siswa.

Ornstein dan Hunkins (1988: 39), dan Ornstein dan Levin (1985:
2003) menyimpulkan kritik kaum progresivis terhadap tradisional- is, bahwa
dalam kurikulum tradisionalis: (1) guru yang otokratis, (2) sangat tergantung
pada buku teks, (3) hafalan fakta dan data melalui latihan. (4) tujuan dan materi
yang statis dan bertentangan dengan perubahan. (5) ketakutan dan hukuman
sebagai penegakan disiplin, dan solasi pendidikan dan pengalaman individu
dengan realita sosial. Secara agak detail, kontras antara posisi aliran filsafat
progresivisme dan aliran filsafat tradisional dikemukakan dengan baik oleh
Ornstein dan Hankins (1988), sebagai berikut:

Progressive education a theory that urged the liberation of the child from
the traditional emphasis on rate learning, lesson recitation, and textbook
authority. In opposition to the conventional subject matter of the
traditional curiculum, progressives experimented with alternati- ve modes
of curricular organization - utilizing activities, experiences, problem
solving and the project method. Progressive education focused on the child
as the learner rather than on the subject; emphasizing acti- vities and
experiences rather than verbal and literary skills; and enco- urage
cooperative group-learning activities rather than individualized lesson
learning (Ornstein dan Hunkins, 1988. 39).

Kurikulum progresif bukan fokus pada pengajaran pelajaran, tetapi


pada pemberian kegiatan dan kesempatan belajar kepada siswa untuk
memperoleh pengalaman. Dengan demikian, siswa harus difasilitasi dan
dimotivasi agar dapat mengkonstruksi sendiri realita yang ada (Zais, 1976
150) bermodalkan pengetahuan yang telah dipelajari selama ini. Implikasi,
kurikulum progresif lebih mengutamakan proses daripada produk,
menjadikan mata pelajaran sebagai alat daripada sebagai tar- get kurikulum,
dan siswa diberdayakan sebagai subjek pendidikan bagi dirinya daripada
sebagai objek pengajaran dari gurunya. Pendek kata, kurikulum progresif
terpusat siswa, berorientasi proses, mengutamakan pengalaman melalui
kesempatan belajar relevan dengan tujuan.

Oleh karena pengalaman diperoleh melalui interaksi siswa dengan


orang lain dan lingkungan belajar, siswa sebaiknya akrab dengan ma-
syarakat, belajar adaptasi diri dengan aspirasi sosial. Mata pelajaran di-
seleksi berdasarkan kriteria: (1) Apakah mata pelajaran itu bermanfaat dan
memperkaya pengalaman siswa? (2) Apa kegunaan mata pelajaran itu bagi
pemecahan masalah? (Kneller, 1972: 14); dan (3) Apa kontribu mata
pelajaran dan inteligensi siswa dalam mengkonstruksi pengeta huan bagi
pengambilan keputusan bijaksana dalam kehidupan? (Zais, 1976: 15).
Kesimpulan, posisi progresif bukan pada pemerolehan pengetahuan,
keterampilan dan sikap saja, tetapi juga aplikasi pengetahuan itu di
lapangan, bukan hanya perolehan keterampilan (skill-getting), tetapi juga
pada aplikasi keterampilan (skill-using) bagi pemecahan ma salah
kehidupan. Walaupun progresivisme memudar sekitar tahun 40an dan 50an
atas esensialisme, ide-ide progresivisme masih berbeka pada dunia
pendidikan seperti kurikulum relevan, kurikulum humanistik dan sekolah
alternatif.

Kurikulum Relevan, Salah satu prinsip kurikulum perenialisme


dan esensialisme ialah fokus pada mata pelajaran (subject matterfoccused),
tetapi kurang peduli pada relevansi mata pelajaran itu dengan siswa.
Padahal, salah satu prinsip progresivisme adalah kurikulum ha rus relevan
dengan kebutuhan siswa, realita sosial dan nilai-nilai kema nusiaan (Van
Til, 1974: 232), sesuai prinsip pendidikan progresif yang student-
centeredness (Ornstein & Levine, 1985: 203). Yang dimaksud relevansi,
antara lain, relevan antara materi dan kehidupan siswa, pembelajaran dan
latar belakang, tujuan dan kehidupan siswa, serta masya rakat tempat siswa
hidup (Van Til, 1974: 232-34).
Cara lain untuk mencapai relevansi kurikulum adalah: (1) indivi
dualisasi pembelajaran melalui independent study dan proyek khusus. (2)
revisi dan pengembangan mata pelajaran agar relevan dengan siswa. seperti
pemeliharaan lingkungan, kecanduan narkoba, masalah perko taan, dan lain-
lain; (3) penyediaan pendidikan alternatif seperti mata pelajaran elektif,
mata pelajaran mini, dan kelas terbuka yang memberi kan kemandirian dan
pilihan yang lebih luas kepada siswa; (4) perluas- an kurikulum di luar
sekolah melalui inovasi, seperti studi kerja, mata pelajaran di luar sekolah,
program gelar eksternal; dan (5) kelonggaran standar akademik dan
persyaratan masuk sekolah dan perguruan tinggi (Ornstein & Hunkins,
2013: 40-41).

Relevansi kurikulum, atau lebih khusus relevansi metode


pembelajaran, dapat juga dikaitkan dengan pernyataan Pajak (2007) tentang
petingnya guru mengenal dan menghargai keberagaman gaya belajar dan
kapasitas serap setiap siswa sehingga dapat meningkatkan relevansi
pembelajaran dengan masing-masing siswa. Berdasarkan perbedaan
individual, Pajak (2007: 132) menekankan pentingnya guru secara cer- dik
menyediakan beberapa alternatif metode belajar yang sesuai dengan gaya
belajar dan kapasitas serap siswa dalam suatu kelas. Hal yang sama disebut
Combs et al. (1974: 26) bahwa menemukan metode mengajar yang tepat dan
sesuai gaya belajar siswa, bukan yang sesuai dengan keinginan guru.
Sasarannya ialah memaksimalkan efektivitas pembelajaran melalui
optimalisasi perkembangan potensi siswa.

Kurikulum Hamanistik. Pendidikan humanistik komit pada


pendidikan dan latihan yang dilakukan melalui semua fase proses belajar
mengajar harus mengutamakan kebebasan, nilai-nilai, keberhargaan,
kemuliaan dan integritas setiap orang (Clute, 1978: 9). Untuk mencapai hal
itu, sekolah humanistik bekerja untuk membebaskan sis- wa agar mampu
memilih dan menetapkan pilihan bijaksana dari berba- gal opsi yang tersedia
padanya agar ia menjadi orang (Clute, 1976; 9), melalui kurikulum yang
serasi dengan prinsip pendidikan humanistik.

Kurikulum humanistik merupakan reaksi atas dominasi pendidikan


tradisional yang fokus pada pengembangan aspek kognitif melalui
pengajaran mata pelajaran pada sekitar tahun 1960-an dan 1970-an
(Ornstein & Hunkins (2013: 41). Kurikulum humanistik berakar pada
refleksi Arthur Jersild (1952, 1955). Arthur Combs dan Donald Snygg
(1959), dan Arthur Combs (1962, 1982). Jersid mengaitkan menga- jar yang
baik dan pengetahuan diri serta pengetahuan tentang siswa, sedangkan
Combs dan Snygg mengeksplorasi dampak konsep diri belfconcept) dan
motivasi terhadap prestasi siswa. Mereka menganggap konsep diri
merupakan penentu tingkah laku yang sangat penting (Ornstein & Hunkins,
2013: 41).

Psikologis humanistik (fenomenologis) atau the third force psycho-


logy berakar pada ide Abraham Maslow (1962, 1970) dan Carl Rogers
(1961, 1983) yang mengutamakan pengembangan ranah afektif daripa da
kognitif saja (McNeil, 1977: 9; Ornstein & Hunkins, 2013: 41). Alir- an
psiokologi ini sangat peduli pada orang sebagai organisme hidup, tumbuh,
berkembang, dan dinamik, karena aliran ini lebih fokus pada pendidikan
sebagai proses anak manusia menjadi orang, the process of becoming a
person. Karena pendidikan humanistik lebih mengutama- kan ranah afektif
daripada hasil kognitif semata (Ornstein & Hunkins, 1988: 40),
pembelajaran perlu fokus pada fasilitasi siswa secara optimal daripada
mengontrol atau mengarahkan siswa belajar. Karena itu, me- nurut Combs
et al. (1974: 19), peran guru adalah sebagai "facilitator, encourager, helper,
assister, colleague, and friends of his students". Da- pat disimpulkan, tugas
guru bukan sebagai teacher atau direktur yang bernuansa direktif, instruktif,
dan indoktrinatif, tetapi lebih bersifat dialogis, partispatif, dan non-direktif.
Karena lebih fokus pada afektif, teori humanistik dianggap kurang peduli
pada aspek kognitif atau intelektual siswa. Pendidikan humanis tik
cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat di samping kecen derungan
aliran ini untuk lebih fokus pada proses daripada hasil. Ke simpulan,
kurikulum humanistik, menurut Ornstein & Hunkins (2013) 41),
mementingkan kebahagiaan, aestetik, spiritualitas, perhatian, dan empati.

Pendidikan Alternatif. Sekolah alternatif muncul di Amerika


Serikat pada akhir tahun 1960-an dan tahun 1970-an sebagai reaksi keras
atas sistem sekolah umum dengan satu model pendidikan untuk semua anak
(Fantini, 1976: 3). Ketidakpuasan publik atas sistem pendidikan monolitik
disuarakan lantang oleh pengkritik radikal (radical roman tics) atau
(neoprogressives) melalui media massa dan penerbitan khusus sehingga
sangat besar pengaruhnya pada publik Amerika waktu itu.
Beberapa penulis radikal yang sangat vokal ialah John Holt (1964),
Paul Goodman (1964), Edgar Friedenberg (1959), A.S. Neill (1960), dan
Ivan Illich (1971) (Ornstein & Hunkins, 2013: 43; Fantini, 1976, 5). Me-
nurut penulis radikal tersebut, sistem monolistik di sekolah publik telah
menjadikan sekolah sebagai penjara dan guru sebagai sipirnya. Siswa
terpenjara oleh disiplin sekolah yang mengungkung kebebasan menge
luarkan pendapat sesuai prinsip demokrasi. Selain itu, para penulis ter sebut
memandang sekolah berkontribusi pada penguatan sistem kelas sosial yang
sudah mapan di masyarakat. Padahal, menurut John Holt. (1964, sekolah
harus sebagai tempat mempelajari apa yang diinginkan siswa, bukan apa
yang diwajibkan kepada siswa untuk dipelajarinya. Se- bagai penjara,
sekolah menjadi tempat guru mengharuskan siswa mem- berikan jawaban
yang benar sesuai buku teks, menjadikan siswa bodoh dan belajar untuk
tidak belajar (Holt, 1964: 175).

Freire (1970) menuduh sekolah menerapkan the banking concept


of education, pendidikan sebagai bank tempat deposito pengetahuan: siswa
sebagai bank penerima deposito pengetahuan dan guru sebagai depositor
pengetahuan. Padahal, pengetahuan adalah hasil temuan pe- neliti yang
tanpa lelah, sabar, dan berkelanjutan mengungkap penge tahuan baru
(Freire, 1970: 58). Selain itu, penulis John Holt (1964). Herbert Kohl
(1969), Jonathan Kozol (1972). George Dennison (1969) dan Paul Goodman
(1970) mengeluhkan dominasi otokratisme dalam irlas sekolah yang lebih
mementingkan nilai ujian dan disiplin kaku da ripada pembelajaran.
Akibatnya, sistem itu menghalangi keingintahu an alami siswa sehingga
menimbulkan ketergantungan terus-menerus uwa pada orang dewasa,
menimbulkan ketakutan, kebosanan, dan Irgagalan menemukan dan
mengembangkan kemampuan siswa yang bermuara pada rasa tidak penting
dan tidak punya harga diri (Strech, 1974 113).

Paul Goodman (1970) mengkritik sekolah dasar yang lebih ber-


fungsi sebagai pengasuh anak bagi orang tua yang bekerja di pabrik su- para
mereka tidak berkeliaran di jalan raya (Ornstein & Hunkins, 2013: 4.
Goodman menentang wajib belajar yang dinamakannya "compul sory mis-
education", karena bukan saja bertentangan dengan prinsip kebebasan, tetapi
juga karena berfungsi sebagai alat penguatan sistem sekolah otokrasi yang
melatih siswa menjadi penurut dan penerima pa- keadaan masyarakat yang
sudah bobrok (Van Til, 1974: 2). Sejalan dengan Goodman, Ivan Illich
(1974) mendakwa bahwa wajib belajar menghalangi hak sebagian besar
orang untuk belajar. Padahal, lanjut ich (1974), sebagian besar orang
memperoleh pengetahuan di luar sekolah. Karena itu, Illich menyarankan
agar we disestablish the school, kita robohkan sekolah agar lahir
deschooling society (masyarakat tanpa sekolah), sehingga orang bisa bebas
dari indoktrinasi institusional dan kapitalistik. Illich percaya setelah
masyarakat dibebaskan dari sekolah, orang tidak akan terdiskriminasi
berdasarkan titel akademik yang dibe- rikan pendidikan formal (Ornstein &
Hunkins, 2013: 43).

Terkait sekolah, Illich (1974) merekomendasikan small learning


networks yang ditandai tersedianya: (1) objek-objek pembelajaran: hengkel,
pustaka, museum, galeri seni, dan lain-lain yang terbuka untuk umum; (2)
peer matching (temu teman): identifikasi dan bertemu te- man/siswa lain
yang ingin melakukan kegiatan belajar tertentu, (3) skill exchanges
pertukaran keterampilan oleh orang yang kompeten pada suatu keterampilan
yang bersedia mengajarkannya kepada orang yang ingin mempelajarinya;
dan (4) educators at large: konselor yang mem- berikan konseling kepada
siswa dan orang tua yang dikelola inisiator dan administrator jaringan
(Ornstein & Hunkins, 2013:43). Pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-
an, kritik para penulis tadikal itu mencapai puncak ketika sasaran kritik
bukan hanya terarah pada kurikulum metode dan proses pembelajaran yang
tidak efekti saja, tetapi juga pada institusi pendidikan itu sendiri. Sekolah
dituding telah bekerja berdasarkan asumsi yang keliru, karena pendidikan di
paksakan kepada anak-anak oleh orang tua, bukan atas kemauan mereka
sendiri. Hal ini menyebabkan perpanjangan waktu ketergantungan siswa
pada orang dewasa, menghambat kemampuan menemukan sen diri,
membatasi perkembangan potensi belajar mandiri atau memperluas
keterbatasan gaya belajar yang mungkin dimiliki siswa (Stretch, 1974:113)

Menghadapi keadaan tersebut, makin banyak saja orang tua dan


guru mengembangkan sendiri sekolah baru untuk menjadikan siswa
mandiri, berani menghadapi tantangan hidup dunia modern yang pe nah
tantangan dan persaingan. Sekolah alternatif muncul di seluruh Amerika
Serikat dengan label New School, Free School, atau Commu mity School.
Gerakan sekolah alternatif ini tidak bebas fianansial, karena umumnya
mereka memungut blaya, tetapi sekolah-sekolah itu bebar dari cengkeraman
birokrasi yang melilit sekolah publik (Fantini, 1976 7). Sistem sekolah
alternatif sangat bervariasi sehingga tidak ada yang sama antara satu sekolah
dengan sekolah alternatif lain, kecuali dalam dua karakteristik utama
pendidikan kebebasan dan perikemanusiaan, humane education (Stretch,
1974: 113) bagi semua siswa.

Sekolah alternatif, dikenal dengan free school, terbagi dua bagian:


(1) sekolah alternatif eksternal (external free school alternative); dan (2)
sekolah alternatif internal (alternative within public school). Perta itta,
sekolah alternatif eksternal terbagi atas dua sayap: (1) Sekolah yang
mengikuti A.S. Neill (1960) menekankan kebebasan terutama bagi kaum
menengah putih; dan (2) sekolah sebagai lingkungan politik bagi persiapan
generasi muda yang aktif melakukan transformasi masya rakat (Fantini,
1976: 7). Sekolah jenis ini, menurut Graubald (1976). menentang asas
otokratik di sekolah publik tradisional seperti kelas besar, kekuasaan guru
yang mutlak mengikuti kurikulum sentralistik mengutamakan disiplin dan
kepatuhan, sistem evaluasi mencekam. motivasi berdasar kompetisi, dan
penjurusan berdasar kemampuan (Fantini, 1976: 7).

Kedua, sekolah alternatif internal didesain sebagai kelas terbuka


yang terbagi atas beberapa kategori. (1) Classroom Alternative yang
dilaksanakan dengan menyesuaikan metode dan materi ajar dengan gaya
belajar siswa pada kelas tertentu pada satu sekolah publik, misal nya, pada
kelas satu yang gurunya ingin menerapkan pendidikan ter- buka Sekolah
memberikan opsi pada siswa dan orang tuanya untuk masuk ke kelas
terbuka itu. (2) School Within School atau sekolah mini pada satu sekolah
publik tradisional. Siswa dan orang tua bebas memni- lih sekolah mana
yang ingin dimasuki anaknya; dan (3) Separate Alter- native School,
sekolah yang terpisah dari sekolah publik yang terbagi atas: (a) Multi
Culture School yang menempatkan siswa dari berbagai latar belakang sosial
ekonomi, umur, jenis kelamin, dan ras. Mereka bel- ajar bersama dalam
kelompok homogen untuk membicarakan berbagai hal tentang kelompok
masing-masing yang kemudian dibicarakan da- lam kelompok besar; (b)
Community School yang melibatkan institusi luar sebagai sumber belajar,
seperti pengadilan, pasar, museum, taman, dan sumber-sumber belajar
lainnya; (c) School Without Walls sekolah bagi pengembangan intelektual
individu siswa dan keterampilan pokok lain daripada fokus pada pengajaran
mata pelajaran saja (Fantini, 1976: 8-10)
Sistem pendidikan sekolah alternatif berbeda pada dua ujung kon-
tinium, teacher-directed teaching pada satu ujung dan student-directed
learning pada ujung lainnya. Di antara kedua kontinium itu terdapat be-
berapa variasi sekolah alternatif, baik berupa free school, open classroom,
school without walls, dan lain-lain.

4. Rekonstruksionisme

Ada pendidik yang menginginkan agar kurikulum menyubur kan


pengembangan aspek sosial, politik dan ekonomi masyarakat ser- ta
keadilan bagi rekonstruksi sosial (Ornstein & Hunkins, 2013: 171). Filsafat
rekonstruksionis berakar pada ide sosialistik dan utopia pada akhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20 dan merupakan pecahan dari progresivisme.
Anggota pecahan itu mengkritik ide progresif yang ter- lalu fokus pada
pengembangan individu anak yang hanya sesuai bagi masyarakat menengah
dan atas. George Count (1932) percaya bahwa masyarakat perlu ditata
kembali menuju orde baru sosial dan sekolah harus berperan besar untuk
ikut mendesain kembali masyarakat (Orn- stein & Hunkins, 2013: 171).
Artinya, kelompok ini menginginkan agar sekolah lebih terarah pada
pendidikan berbasis masyarakat yang peduli pada kebutuhan semua kelas
sosial (Ornstein & Hunkins, 2013:44), bu kan hanya pada pengembangan
individu anak bagi kepentingan dirin sendiri yang bisa menjadikan anak
kurang peduli pada kemaslahatan bersama

Golongan kedua ini disebut reconstructionismi atau social recons


truction. Aliran rekonstruksionisme menolak pendidikan untuk adaptasi
siswa terhadap kebudayaan yang ada. Para rekonstruksionis mes jagokan
pendidikan bagi perubahan sosial agar masyarakat kini lebih baik dari
sebelumnya. Theodore Brameld (1956) ingin agar sekolah mengembangkan
potensi individu anak, tetapi harus juga melakukas pengembangan dan
partisipasi anak guna melakukan rekonstruksi so sial (McNeil, 1977: 20).

Michail Schiro (1978) mengidentifikasi tiga asumsi dasar rekon


struksionisme: (1) Masyarakat yang tidak sehat dapat mengancam ke
hidupan umum; (2) Sesuatu perlu dilakukan untuk menghindarkan
kehancuran sosial masyarakat; dan (3) Pendidikan adalah cara tepat untuk
menanggulangi masalah itu (Schubert, 1986: 320). Sama dengan
progresivisme, rekonstruksionisme ingin kurikulum sebagai instrumen
untuk membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan agar siswa
bisa melakukan rekonstruksi sosial melalui mata pelajaran rele van seperti
sosiologi, antropologi, ekonomi, ilmu politik, dan psikology (Ornstein &
Hunkins, 1988: 207).

George Counts, tahun 1932, pada konferensi tahunan asosiasi pro-


gresivisme mengkritik sejawat progresifnya yang kurang peduli pada
masalah sosial ekonomi masyarakat bawah. Ia menginginkan agar seko- lah
ikut mereformasi masyarakat. La ingin kaum progresif memajukan society-
centered education sehingga pendidikan adalah untuk semua ke- las, bukan
hanya bagi warga kelas menengah atas saja.

Theodore Brameld (1950) ingin agar rekonstruksionisme menjadi


"filsafat krisis. Ia menggagas agar sekolah memiliki kawajiban moral untuk
memfasilitasi siswa aktif memunculkan kultur baru masyarakat, karena
lanjut Brameld (1932), masyarakat sudah jenuh dengan kerusak an,
kemiskinan, kejahatan, konflik rasial, pengangguran, opresi politik dan
perusakan lingkungan. Ia mendesak agar sekolah membantu siswa
berkembang menjadi makhluk sosial yang berdedikasi pada kepenting an
umum (Ornstein & Hunkins, 2013: 171). Hari ini, lanjut Ornstein &
Hunkins, pendidik rekonstruksionisme lebih suka disebut sebagai
reconcepsualists daripada reconstructionists.

D. KESIMPULAN

Filsafat, salah satu fondasi kurikulum, memandu pendidik meran-


cang, melaksanakan, dan mengembangkan kurikulum sekolah. Kuriku- lum
yang tanpa didasarkan pada suatu filsafat cenderung mudah di- pengaruhi
stakeholders pendidikan menuruti kepentingan pribadi atau kelompok
masing-masing.

Bab ini membicarakan empat filsafat pendidikan perenialisme.


esensialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme. Dua filsafat terdahulu
adalah filsafat tertua dan tradisional. Yang pertama berakar pada realisme
yang termasuk filsafat bumi, yang kedua berakar dari filsafa idealisme
tergolong filsafat the other-worldy philosphy dan realisme. Ke dua filsafat
progresivisme dan rekonstruksionisme, berakar pada prag matisme (man-
centered philosophy) dan tergolong filsafat pendidikan kontemporer.

Hampir tidak ada sekolah yang menganut satu filsafat saja.


Sebagian besar sekolah mengikuti gabungan empat aliran filsafat tersebut
sebagai dasar kurikulum. Filsafat pendidikan mana yang dianut suatu
sekolah tergantung pada kondisi dan situasi sekolah bersangkutan, terkait
tingkat kematangan siswa dan hakikat mata pelajaran tertentu atau latar
belakang pendidikan pendidik dan pengelola sekolah. Yang pen ting adalah
pemakaian satu atau lebih filsafat harus sesuai kebutuhan dan aspirasi
sebagian besar stakeholders pendidikan di suatu masyarakat, terutama sesuai
ide pemangku utama sekolah yaitu siswa, orang tua atau masyarakat dan
pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai