Untitled
Untitled
Sebaliknya, bagi pendidik yang menilai tinggi ontologi benda atau objek
nyata (earth-centered) daripada simbol-simbol, akan melakukan
pengajaran berdasarkan kurikulum yang ditunjang media atau alat ban- tu
belajar nyata. Misalnya, mata pelajaran sains (IPA) akan lebih efek tif
jika dilakukan di laboratorium, bengkel atau lapangan, selain dalam kelas.
Sebabnya, karena pelajaran IPA bicara tentang fisik objek-objek serta
pekerjaan lain yang berkaitan manipulasi benda dan materiel lain. Ini
berarti, asumsi tentang hakikat realita tidak dapat diabaikan pakar
kurikulum dan pendidk, karena teori dan implementasi kurikulum d
tentukan asumsi penyusun dan pelaksana kurikulum berdasarkan ontologi
realita menurut filsafat tertentu.
Tabel 3.1 memperlihatkan pengelompokan ontologi atas tiga aliran
besar sumber realita, yaitu (1) ontologi supernatural (other-wordly), (2)
ontologi bumi (earth-centered), dan (3) ontologi manusia (man-cente mil).
Ontologi pertama, menurut Zais (1976), terkait pandangan fil fat pada masa
awal kebudayaan umat manusia yang sangat bervaria menurut aliran
keagamaan yang beragam Hampir semua pandangan tersebut dapat dibags
dua sumber ontologi (1) supernatural (the other world of the God) yaitu
dalam ranah spiritual ketuhanan seperti iman, Tuhan, malaikat, surga, dan
neraka, dan (2) ide-ide (the other world of the ideas), yaitu ranah ide-ide
seperti ide Plato, Aristoteles, dan Socrates Pengaruh ontologi ini masih
dominan terhadap para pengambil kepu tusan kurikulum di banyak negara
sampai hari ini (Zais, 1976: 110-23).
Oleh karena paham ini melihat realita seperti apa yang diperoleh me lalui
pancaindra, epistemologinya juga melalui proses penemuan (di. covery)
yang berasal dari hasil temuan empiris tentang realita di dunia (Zais, 1976:
115-19).
Keyakinan berlebihan pada epistemologi penemuan melalui ke
mampuan indra manusia kurang diterima, karena persepsi indra ma nusia
tidak sesempurna yang dipikirkan banyak orang, manusia berada dalam
enkapsulasi (Bab 6). Kekurangsempurnaan persepsi indra ma nusia
membuka jalan untuk mencari bentuk pencarian lain, yaitu vy rifikasi antar
ahli atau persepsi kolektifnya yang dikenal sebagai akal sehat, common
sense (Zals, 1976: 115) Zais melanjutkan bahwa melalui simbol, orang
dapat berkomunikasi dengan saling mengecek kebenaran persepsi masing-
masing guna mencapai kesepakatan tentang pengeta huan yang lebih tepat
bagi pengambilan keputusan.
Aksiologi terdiri atas dua kategori utama etik dan estetika (Zais,
1976 119). Erik terkait pengertian benar dan salah, baik dan jelek dalam
kehi dupan manusia. Estetika menyangkut pengertian indah dan kesenangan
pengalaman manusia. Etik dan estetika berkaitan erat dengan kurikulum.
Menurut Print (1993:36), pertanyaan aksiologis adalah fitur penting kehi-
dupan kita, sebab keputusan aksiologis kita berpengaruh besar pada ting kah
laku kita. Kedua kategori aksiologis itu sebagai berikut.
B. FILSAFAT UMUM
Ada empat filsafat umum yang berpengaruh besar pada filsafat pen- didikan,
yaitu: (1) filsafat tradisional: (a) Idealisme, dan (b) Realisme, serta (2) filsafat
kontemprorer (c) Pragmatisme, dan (d) Eksistensial- ime (Orstein & Hunkins,
2013: 31), sebagai berikut:
1. Idealisme
Karena dunia intelek atau spirit seseorang permanen, salah satu ciri
unik idealisme ialah pendekatan rasionalistik pemecahan semua persoalan
hidup (Johnson, 1968:32) Pemecahan masalah dimulai dari bentuk unum de
melalui cara cara berpikir deduktif dan rasional ata pemecahan masalah tiap
hari manusia (Smith, 1965 18-19, Johnson 1968 32). Karena itu, aliran ini
memberi prioritas tinggi pada pikiran (d) Seperti telah disinggung di muka,
pikiran dan ide-ide benife abadi, regaler atau teratur Dan, kebenaran dan
nilai-nilai bersifat absolut dan universal
Spirit atau ide-ide diyakini kaum idealis sebagai realita akhir (Stone &
Schneider, 1971, 69). Karena itu, menurut idealis, realita akhir ada spirit
daripada fisik dan mental daripada materiel. Aliran ini tidak menolak
eksistensi fik keduniaan di sekeliling kita, tetapi walau sem benda mu nyata
fik benda sebenarnya bukan mil, sebab dia hanya lah manifestas realita yang
lebih fundamental (Kneller, 1971: 9) yaitu ade-ide dalam pikiran individu
manusia. Walau begitu, kaum ideala memandang kebenaran terpisah dari
individu atau masyarakat tempat dia hidup, sehingga kebenaran harus
didapatkan. Apalagi, pikiran yang merupakan kekuatan hidup seseorang,
memberinya vitalitas dan dina mika hidup (Ornstein & Levine, 1985 188).
Bagi seorang idealis, hanya mental dan spirit yang realitas akhir (the
ultimate reality) (Stone & Schneider, 1971: 269). Ini juga berarti, bagi aliran
ini, jagat raya merupakan ekspresi dan inteligensi kemauan manusia yang
tinggi yang disebut "a universal mind" Esensi spiritual atau jrwa mampu
bertahan lama sehingga ia bersifat permanen, sching- ga pikiran atau
kekuatan hidup seseorang memberi utilitas dan dinami- ka hidup kepadanya
Stone & Schneider (1971-268), merangkum bahwa bagi idealis, individu
dilihat sebagai hasil akhir, bukan alat untuk men capai suatu akhir
Terlihat bahwa mata pelajaran utama idealisme ialah mata pel ajaran umum
atau abstrak seperti filsafat dan teologi yang menembus waktu, temput, dan
lingkungan di samping keunggulannya yang dapa diaplikasikan dalam
situasi dan pengalaman luas. Ke dalam kategori inj termasuk matematika,
karena pelajaran ini mengembangkan potensi intelektual siswa agar dia
terlatih mengembangkan kompetensi berpikir abstrak dan berpikir tingkat
tinggi (high-ranking thinking skills). Baha sa termasuk ke dalam mata
pelajaran penting, karena diperlukan bagi komunikasi selain dari
memfasilitasi pengembangan kemampuan ber pikir konsepsual. Mata
pelajaran abstrak lain ialah sejarah dan kesusa traan, karena mengandung
pesan moral dan model kultural yang baik. Sebaliknya, mata pelajaran sains,
alam, dan fisik termasuk rendah da lam daftar prioritas idealis, karena mata
pelajaran itu terkait sebab aki bat sapa (Ornstein & Hunkins, 2013:31), tidak
menyentuh perkembang- an kemampuan berpikir abstrak, logis, atau
konsepsual.
2. Realisme
3. Pragmatisme
Ini juga berarti bahwa pendidikan harus dilihat sebagai alat untuk
menciptakan kembali, mengontrol, dan mengarahkan pengalaman ma nusia
bagi pencapaian tujuan yaitu membantu siswa memecahkan ma salah riil
yang dihadapinya. Dengan demikian, pendidikan bukan suatu proses
persiapan siswa menghadapi kehidupan, tetapi merupakan bagi an integral
dari kehidupan itu sendiri (Zais, 1976: 14). Posisi pragmatis me disimpulkan
Stone & Schneider (1971: 281-82), untuk mengetahui validitas doktrin
pendidikan ialah setelah terbukti keampuhannya bagi pemecahan masalah
nyata.
4 Eksistensialisme
C. FILSAFAT PENDIDIKAN
Beberapa pandangan filsafat umum telah mendasari aliran filsafat
pendidikan yang bukan saja berpengaruh pada kurikulum, bahkan
menentukan keputusan pendidikan, kurikulum, dan pembelajaran. Beberapa
aliran filsafat utama pendidikan tersebut sebagai berikut.
1. Perenialisme
Pada awal tahun 1980-an, ide perenialisme bangkit kembali melalui tulisan
Mortimer J. Adler (1982) Paideia Proposal: An Educational Ma nifesto yang
menyatakan setiap orang berhak memperoleh pendidikan umum dengan
kualitas terbaik. Menurut Adler (1982), Hutchin (1953, 1963), dan kaum
perenialis lainnya, siswa tidak boleh dikotak-kotak- kan dalam jurusan atau
kelompok lain sehingga menghalangi mereka memperoleh pendidikan
umum sebagai salah satu hak asasi manusia yang hakiki (Ornstein & Levin,
1985; 195). Untuk maksud tersebut, Adler (1982) mengusulkan tiga tipe
kurikulum untuk meningkatkan kemampuan intelektual siswa: (1) perolehan
pengetahuan melalui metode pengajaran didaktik (teaching), (2)
pengembangan keterampilan dasar melalui coaching tentang ide-ide, dan (3)
pemahaman nilai-nilai melalui metode Sokrates (Ornstein & Hunkins, 1988:
34). Kesimpulan jalah kurikulum perenialisme fokus pada pengembangan
kemampuan intelektual anak sebagai prioritas utama
2. Esensialisme
3. Progresivisme
Ornstein dan Hunkins (1988: 39), dan Ornstein dan Levin (1985:
2003) menyimpulkan kritik kaum progresivis terhadap tradisional- is, bahwa
dalam kurikulum tradisionalis: (1) guru yang otokratis, (2) sangat tergantung
pada buku teks, (3) hafalan fakta dan data melalui latihan. (4) tujuan dan materi
yang statis dan bertentangan dengan perubahan. (5) ketakutan dan hukuman
sebagai penegakan disiplin, dan solasi pendidikan dan pengalaman individu
dengan realita sosial. Secara agak detail, kontras antara posisi aliran filsafat
progresivisme dan aliran filsafat tradisional dikemukakan dengan baik oleh
Ornstein dan Hankins (1988), sebagai berikut:
Progressive education a theory that urged the liberation of the child from
the traditional emphasis on rate learning, lesson recitation, and textbook
authority. In opposition to the conventional subject matter of the
traditional curiculum, progressives experimented with alternati- ve modes
of curricular organization - utilizing activities, experiences, problem
solving and the project method. Progressive education focused on the child
as the learner rather than on the subject; emphasizing acti- vities and
experiences rather than verbal and literary skills; and enco- urage
cooperative group-learning activities rather than individualized lesson
learning (Ornstein dan Hunkins, 1988. 39).
4. Rekonstruksionisme
D. KESIMPULAN